Dua hari berturut-turut, muncul dua berita yang dapat dikaitkan dengan proses penggabungan dua operator telekomunikasi Bakrie Telecomm (BTEL) dengan produknya Esia dan Telekomunikasi Indonesia (TLKM) dengan produknya Flexi . Berita Utama Bisnis Indonesia (BI) Selasa 1 Desember 2010 “Bakrie rambah seluler” di paragraf terakhir disebutkan Serikat Karyawan (Sekar) Telkom menolak rencana penggabungan Flexi-Esia karena menganggap kebijakan ini sama dengan membuka rahasia negara. Di hari Rabu, head line BI bertajuk “Pertamina-Encore gagal closing”. Salah satu alasan kegagalan yang dirujuk oleh Hilmi Panigoro, Komisaris Medco Energi International, adalah rumitnya administrasi perkawinan perusahaan publik dan BUMN, selain kurangnya dukungan dari Komisi VI dan VII DPR serta Kementerian BUMN. Menjadi pertanyaan, kegagalan Pertamina-Medco, akankah menjadi pelajaran atau bahkan diikuti Esia-Flexi?
Kesamaan Kondisi
Pertamina sebagai BUMN beroperasi selayaknya korporasi. Mesti meraup laba, memberikan deviden kepada Pemerintah selaku pemegang saham, menyejahterakan pegawainya, memberi manfaat bagi pengguna produk dan jasanya, serta diharapkan terus tumbuh sepanjang usia Republik. Guna mencapai kinerja yang diharapkan, Pertamina perlu dikelola secara efisien, berdaya saing dan profesional. Manajemennya harus diberi kewenangan untuk menetapkan strategi korporasi dan bisnis guna mecapai visi dan menjalankan misi. Persoalnya, karena majoritas sahamnya dimiliki negara, apapun dan bagaimanapun strategi bisnis yang dikembangkan manajemen Pertamina mesti tunduk pada peraturan perundangan yang mengatur keberadaan BUMN. Selain itu, tak dipungkiri berbagai kepentingan ekonomis dan politis dari para elite senantiasa memengaruhi kebijakan manajemen. Saling berkelindannya berbagai kepentingan ini tak ayal cenderung menghambat laju pertumbuhan perusahaan. Padahal, pesaing sudah dengan mudah diizinkan masuk ke negeri ini, mengeksplorasi kekayaan sumber daya alam nasional.
TLKM setali tiga uang dengan Pertamina, hanya bidang usahanya saja yang berbeda. Sebelum Pertamina berniat mengakuisisi Encore, TLKM lebih dahulu berbicara dengan BTEL untuk menggabungkan dua layanan mereka (Flexi dan Esia). Alasan formal keduanya pun hampir sama, untuk memastikan pertumbuhan di tengah melaju pesatnya kompetisi di masing – masing sektor bisnis.
Perbedaan
Dalam kasus Pertamina-Encore, Komisi VI dan VII DPR terlihat aktif bersuara. Seperti biasanya ada yang mendukung, ada yang diam tak jelas posisinya, namun lebih banyak suara yang keberatan dengan berbagai alasan. Barangkali, lantaran suara DPR lebih banyak menolak, Kementerian BUMN yang konon pada awalnya mendukung rencana akuisisi ini, tak sampai sebulan posisinya memudar, mengikuti majoritas rekan kerjanya di Senayan. Walhasil, meski secara bisnis akuisisi ini dapat menambah value bagi para pihak yang bertransaksi, tak ada satupun pimpinan Pertamina yang berani mengambil resiko “melawan petunjuk” pemilik perusahaan.
Di internal perusahaan, baik di Pertamina maupun di Medco tidak ada suara keberatan, jikapun ada barangkali hanya satu dua yang khawatir akan kehilangan kursi jabatan. Berbeda halnya dengan rencana penggabungan Esia-Flexi, dari Kementerian BUMN selaku pemilik dan Jajaran Kementerian Kominfo selaku pembina sektor telekomunikasi maupun Komisi I DPR tidak terdengar suara penolakan, dukungan, maupun anjuran. Semuanya senyap. BRTI selaku regulator telekomunikasi bahkan hanya bersikap menunggu saja, barangkali lantaran kewenangannya tidak sampai ke sana. Satu institusi Pemerintah yang terdengar bersuara hanya KPPU, itupun terbatas pada isu apakah penggabungan akan menciptakan monopoli, suatu struktur pasar yang sudah diharamkan oleh Undang-Undang.
Hal lain yang membedakan adalah pada penolakan Sekar Telkom, suatu organisasi karyawan yang terkenal militan, dan telah berhasil “melindungi” kepentingannya agar TLKM tetap sebagaimana yang mereka inginkan. Ketika Telkom Regional IV Jawa Tengah hendak di-akuisisi Indosat (2002), Sekar turun ke jalan, mengadu ke DPR bahkan ke Presiden untuk menolak, dan mereka berhasil. Pertanyaannya, apakah dalam menghadapi rencana penggabungan Esia-Flexi Sekar Telkom akan tetap militan dan konsisten seperti waktu-waktu sebelumnya? Atau akan terjadi kompromi sehingga sikapnya melunak?
Pelajaran
Bagi BTEL dan TLKM kegagalan akuisisi Pertamina atas Encore selayaknya menjadi pelajaran berharga, tentu bila keduanya serius untuk melaksanakan cita-citanya. Persoalannya, publik melihat rencana penggabungan Esia-Flexi, bagi BTEL hanyalah strategi alternatif saja senyampang apabila gagal meraih izin layanan Sistem Telekomunikasi Bergerak Seluler Bergerak (STBS) untuk melengkapi izin FWA dan komunikasi data. Ternyata izin STBS diperoleh. Pertanyaannya, masihkah BTEL berminat melanjutkan rencananya, apalagi muncul penolakan dari Sekar Telkom? Ditambah, kelak dihadapkan pada kerumitan adminstrasi “perkawinan BUMN-Swasta” yang membuat perusahaan sekelas Medco dan Pertamina pun tak sanggup menembusnya.
Bagi sebagian besar publik jadi atau tidaknya penggabungan Esia-Flexi mungkin tidak ada beda yang signifikan. Bagi industri jasa telekomunikasi? Bila wujudnya menciptakan perusahaan baru, inipun tak sejalan dengan keinginan Pemerintah dan pelaku usaha untuk melakukan konsolidasi industri agar lebih ramping dan efisien. Jadi bagaimana? Kita tunggu saja hasil akhirnya.*****
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.