Beberapa tahun lalu, kita menyaksikan pelaku industri komputer menggandrungi model vertikal. semua dibuat sendiri. dari processor, monitor, memory, hard disk dan I/O devices hingga OS semua dibuat sendiri, proprietary. ketika diperkenalkan open system konstelasi berubah. apalagi ketika muncul PC dan operating system yang independen, tidak tergantung mesin, maka model vertikal di bisnis komputer tinggal menjadi legenda. pada saat ini kita menyaksikan bagaimana suatu produk harus kompatibel dengan memenuhi standar konektivitas, agar apat diterima pasar. produk yang ekslusif, yang hanya mampu bicara dengan rekannya satu system, dijamin tidak laku di pasar.
perjalanan komputer merambah ke dunia telekomunikasi, ini jika dilihat dari perspektif komputer. dari arah sebaliknya, digitalisasi transmisi, modulasi dan mixing suara dengan frekuensi carrier membuka pandora, yang semula tidak dapat disimpan, teknologi digital mampu menyimpan informasi lebar pita frekuensi, signaling, pengalamatan, switching, routing dan interkoneksi. walhasil, inilah sebenarnya kunci jawaban mengapa lantas terjadi perkawinan antara komputer dan telekomunikasi, yang saya sebut sebagai telekomputasi atau orang pandai menyebutnya konvergensi. entahlah.. mana yang benar.
wujudnya kita saksikan hari - hari ini. yang semula komputer, selain ukurannya semakin kecil, akhirnya dilengkapi pula, dan sudah menjadi fitur standar, perangkat telekomunikasi, sehingga komputer dapat digunakan untuk "berbicara" dengan orang lain di seberang bagian dunia sana. dari seberang, perangkat kirim-terima telepon nirkabel (handphone) yang semula hanya dapat digunakan untuk bicara, lantas dilengkapi fitur untuk kirim text, gambar, membuat agenda, dokumen, ambil dan simpan gambar foto, dan lain sebagainya.
pertemuan dua stream bermuara pada perkawinan telekomputasi lambat laun bergerak pasti mengubah kemapanan tidak hanya di hilir, sebagaimana sudah banyak dirasakan oleh pengguna teknologi informasi, namun juga mengubah konstelasi di industri hulu-nya. apa itu?
industri selular sekarang mirip industri komputer yang diceritakan di atas. operator selular memiliki sendiri jaringan, switiching, system pendukung di back office, sampai ke lini pemasaran. hampir sebagian dikerjakan sendiri. ini mirip - mohon maaf - manajemen mikrolet atau topeng monyet. semua dikerjakan sendiri oleh sopir atau oleh dalang topeng monyet.
kala demand mulai berubah, yang muncul di hilir akibat telekomputasi, diwarnai oleh munculnya berbagai perusahaan software yang menyertai "new gadget" operator selular masih merasa dirinya sebagai pemain utama, lainnya hanyalah figuran, tidak penting. oleh karena itu, tidak aneh ketika banyak cerita dari pengusaha content provider yang mengeluhkan betapa kedudukan mereka hanya dipandang sebelah mata oleh para operator. marginal gitu loooh.
perubahan terus berlangsung, termasuk tingkat kematangan industri software, tingkat kecanduan masyarakat terhadap konten-konten favorit. di pihak lain krisis keuangan global mau tidak mau berpengaruh terhadap rencana laju investasi operator selular. tidak hanya investasi baru, pengaruh krisis ternyata cukup dalam, mengurangi revenue dan bahkan membuat rugi.
di setiap krisis selalu muncul peluang, demikian kata seorang pakar strategi. di satu sisi dihantui krisis keuangan yang terus menggerus laba, di pihak lain ada peningkatan potensi revenue yang hanya dapat diraih bila mau mengorbankan model vertikal yang hampir uang. apa artinya?
model horisontal mengacu pada: kedudukan yang sama (equal level of playing field); masing - masing pihak fokus pada kompetensinya; terjadi koneksititas setara antar-pihak untuk menghasilkan sinergi. walhasil, dengan model horisontal ini operator selular tidka perlu lagi membangun menara sendiri, membangun jaringan backbone dan last mile sendiri, membangn dan mengelola sistem billing sendiri, membangn dan memiliki content provider untuk layanan broadband, dan lain sebagainya. semua layanan tersebut diselenggarakan oleh masing- masing penyedia yang memiliki komitmen tinggi. operator tinggal bertindak sebagai impresario atau promotor yang mengintegrasikan semua layanan tersebut.
jadi, jika dahulu operator memiliki gedung pertunjukan, panggung, kursi, gamelan dan sekaligus crew wayang orang serta menentukan lakon cerita, dalam konsep horisontal ini, operator mungkin hanya menyediakan gedung dan panggungnya saja, kebutuhan lain agar pertunjukan berlangsung seru, seperti lakon, crew, gamelan, tata-rias dan lains ebagainya, disediakan oleh pihak lain dalam suatu model kerja sama setara dan saling menguntungkan.*****
Bermanfaat Bagi Manusia Lain Tidak Harus Memberi Dalam Bentuk Barang, Tetapi Dapat Memberi Dalam Wujud Ilmu Pengetahuan Yang Berguna Positif. Bermanfaat Itu Memberi Apa Yang Dibutuhkan, Bukan Apa Yang Diinginkan. Semoga Kumpulan Tulisan Ini Dapat Memenuhi Mereka Yang Membutuhkan. Illahi Anta Maqsudi Wa Ridhoka Matlubi. Ya Allah, Semua Yang Saya Kerjakan Tiada Lain Hanya Untuk Mendapat RidhoMu.
Friday, October 30, 2009
Kebijakan Fiskal Versus Daya Saing Industri
Bahwasanya Pemerintah dan masyarakat perlu berpihak pada industri dalam negeri tidak ada yang menyangkal, bahwasanya kebijakan fiskal merupakan aspek penting dalam upaya menyehatkan keuangan negara tidak ada satupun pihak yang menentangnya. Namun ketika dua kebijakan diterapkan bersama – sama yang terjadi bukan hubungan positif, melainkan sebuah paradoks. Daya saing industri dalam negeri bukan menguat, sebaliknya malah melemah, jangankan di pasar internasional, di pasar domestik-pun rata – rata produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor. Mengapa hal seperti ini terjadi?
Seorang sahabat, industriwan peralatan elektronika memberikan ilustrasi. Untuk membuat unit PBX (private branch exchange), perangkat penerima dan pembagi sambungan telepon, dia harus impor bahan baku, nilai kandungan impor mencapai 70%, artinya masih ada porsi komponen dalam negeri sebesar 30%. Total biaya untuk impor bahan baku (termasuk pajak dan bea masuk) per unit PBX $700, jika ditambah dengan komponen dalam negeri maka biaya produksi per unit menjadi $1,000. Dengan profit 20%, harga jual akan menjadi $1.200 plus PPN 10% maka konsumen akan membayar $1.320. Di pihak lain, jika dia impor unit PBX lengkap landed cost-nya hanya sebesar $700. Atas impor unit lengkap ini tidak dikenakan bea masuk, karena Indonesia sudah terikat perjanjian internasional yang mengenakan tarif bea masuk 0% untuk peralatan elektronika. Dengan profit 20% dan PPN 10% maka dia bisa menjual produk impor tersebut dengan harga $924, masih di bawah total biaya produksi di dalam negeri.
Kasus serupa di atas terjadi pula di industri manufaktur peralatan ketenagalistrikan. Dalam diskusi panel dengan thema “Dukungan Domestik Dalam Percepatan Proyek Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik” terungkap selisih harga impor dan produk lokal untuk kategori jenis pembangkit tertentu (2x8MW) mencapai 68%. Dan celakanya, selisih harga ini dikarenakan perbedaan perlakuan pajak. Sebagai contoh, untuk produk impor dari China, pemerintah memberikan keringanan bea masuk dan pajak rata-rata 17% dari porsi FOB (PPN Import 10%, PPh Import 2.55, dan Bea Masuk 5%) sebesar US$2,184,000. Sementara untuk produk dalam negeri keringanan pajak yang diberikan hanya sebesar US$ 472,500.
Perbedaan perlakukan pajak antara produk barang-jadi impor dan produk dalam negeri, berdampak pada pemungutan pajak yang lebih besar kepada produsen dalam negeri dari pada produsen luar negeri. Dari contoh unit pembangkit 2x8MW di atas pendapatan pemerintah akibat adanya import material untuk difabrikasi/assembly lokal mencapai US$ 665,446.81 sementara bila diimpor langsung sebagai barang jadi, pemerintah tidak memperoleh apa – apa. Selain itu, pendapatan pemerintah akibat adanya PPN terhadap porsi lokal juga berbeda cukup signifikan; untuk produk impor produsen luar negeri hanya menyumbang US$672.000 sementara produsen dalam negeri harus dibebani pajak mencapai US$1,532,200. Di sampiing itu, produsen dalam negeri masih dibebani PPh final sebesar 3% yang nominalnya mencapai US$591,000 sementara produsen luar negeri sama sekali tidak memberi kontribusi PPh kepada Pemerintah RI.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia bidang Energi mengatakan secara umum industri manufaktur lokal masih mengidap inferiority syndrome karena masih lemah dalam kemampuan rekayasa dan desain, belum ada perusahaan manufaktur yang berskala besar, masih lemah dalam kendali kualitas, tidak ada pihak yang secara terus menerus dan konsisten memperjuangkan industri dalam negeri, masih lemahnya dukungan pasar domestik, kurangnya ketersediaan modal, dan masih lekatnya karut-marut kebijakan fiskal. Pendapat pejabat Kadin ini diamini oleh pejabat Departemen Perindustrian yang menambahi faktor masih ada keraguan tentang mutu produk dalam negeri dan belum adanya dukungan dan keberpihakan.
Jadi siapa sebenarnya biang keladi dari lemahnya daya saing industri dalam negeri, bahkan di negeri sendiri? Departemen Perindustrian menyajikan sederet kebijakan pemerintah di bidang industri yang – konon – dimaksudkan meningkatkan kemampuan dan daya saing industri lokal. Di pihak lain pejabat Departemen Keuangan yang mengurusi kebijakan fiskal berusaha meyakinkan masyarakat bahwa sudah banyak sekali, kebijakan fiskal yang diterbitkan untuk mendukung industri nasional? Lantas kenapa industri daam negeri masih dan selalu lesu, loyo dan senantiasa kalah bersaing?
Menggunakan analisa sederhana dari disiplin public policy development bisa jadi apa (kebijakan) yang dibuat bukan yang dibutuhkan, baik secara substansi maupun konteksnya. Atau dapat juga karena yang membuat kebijakan tidak tahu apa yang dibutuhkan oleh pasar, atau tidak tahu “dunia luar” sehingga kebijakan yang dihasikan bersifat partial, sektoral, tidak merupakan kebijakan yang terintegrasi dapat mengakomidasi kepentingan multisektor. Sinyalemen dari kalangan pemerintah tentang tidak adanya dukungan dan keberpihakan bisa jadi merupakan pengakuan terhadap sikap diri sendiri. Yang pasti, kriteria kebijakan publik yang baik bukan hanya dari apa saja yang diatur namun juga tak kalah pentingnya adalah bagaimana implikasi dari kebijakan dan regulasi setelah diimplementasikan. Jika hasilnya negatif atau nol, maka kebijakan dan regulasi tersebut layak disebut sebagai flaw policies and regulations, kebijakan dan regulasi yang cacat.
Lantas bagaimana solusinya? Membiarkan saja? Atau melakukan sesuatu untuk mengubah kondisi yang tidak menguntungkan bagi industri manufaktur dalam negeri? Diam membela status quo bukan tugas pejabat publik, jadi pilihannya hanya lakukan perubahan. Selagi masih hangat duduk di kursi kabinet, para menteri terkait sebaiknya mulai memikirkan bagaimana merenovasi kebijakan industri dalam negeri agar lebih punya daya saing. Michael Porter dalam karya besarnya menyatakan “daya saing negara bukan di tangan pemerintah, namun industri; jika industri berdaya saing, maka ekonomi negara akan berdaya saing” Tidak ada yang salah dari pendapat Porter ini, kecuali hanya sebuah koreksi dari Richard Vietor yang menyatakan “bagaimanapun Pemerintah masih punya pengaruh dalam membangun daya saing perekonomiannya; melalui regulasi industri Pemerintah dapat menguatkan atau melemahkan industri dalam negeri.”
Sampai di sini benang merahnya jelas. Tujuan yang baik ternyata masih memerlukan keterbukaan wawasan, keberpihakan, dukungan berbagai pihak, dan keberanian untuk menyempurnakan kebijakan yang ada. Jika tidak, paradoks akan terus terjadi***
Seorang sahabat, industriwan peralatan elektronika memberikan ilustrasi. Untuk membuat unit PBX (private branch exchange), perangkat penerima dan pembagi sambungan telepon, dia harus impor bahan baku, nilai kandungan impor mencapai 70%, artinya masih ada porsi komponen dalam negeri sebesar 30%. Total biaya untuk impor bahan baku (termasuk pajak dan bea masuk) per unit PBX $700, jika ditambah dengan komponen dalam negeri maka biaya produksi per unit menjadi $1,000. Dengan profit 20%, harga jual akan menjadi $1.200 plus PPN 10% maka konsumen akan membayar $1.320. Di pihak lain, jika dia impor unit PBX lengkap landed cost-nya hanya sebesar $700. Atas impor unit lengkap ini tidak dikenakan bea masuk, karena Indonesia sudah terikat perjanjian internasional yang mengenakan tarif bea masuk 0% untuk peralatan elektronika. Dengan profit 20% dan PPN 10% maka dia bisa menjual produk impor tersebut dengan harga $924, masih di bawah total biaya produksi di dalam negeri.
Kasus serupa di atas terjadi pula di industri manufaktur peralatan ketenagalistrikan. Dalam diskusi panel dengan thema “Dukungan Domestik Dalam Percepatan Proyek Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik” terungkap selisih harga impor dan produk lokal untuk kategori jenis pembangkit tertentu (2x8MW) mencapai 68%. Dan celakanya, selisih harga ini dikarenakan perbedaan perlakuan pajak. Sebagai contoh, untuk produk impor dari China, pemerintah memberikan keringanan bea masuk dan pajak rata-rata 17% dari porsi FOB (PPN Import 10%, PPh Import 2.55, dan Bea Masuk 5%) sebesar US$2,184,000. Sementara untuk produk dalam negeri keringanan pajak yang diberikan hanya sebesar US$ 472,500.
Perbedaan perlakukan pajak antara produk barang-jadi impor dan produk dalam negeri, berdampak pada pemungutan pajak yang lebih besar kepada produsen dalam negeri dari pada produsen luar negeri. Dari contoh unit pembangkit 2x8MW di atas pendapatan pemerintah akibat adanya import material untuk difabrikasi/assembly lokal mencapai US$ 665,446.81 sementara bila diimpor langsung sebagai barang jadi, pemerintah tidak memperoleh apa – apa. Selain itu, pendapatan pemerintah akibat adanya PPN terhadap porsi lokal juga berbeda cukup signifikan; untuk produk impor produsen luar negeri hanya menyumbang US$672.000 sementara produsen dalam negeri harus dibebani pajak mencapai US$1,532,200. Di sampiing itu, produsen dalam negeri masih dibebani PPh final sebesar 3% yang nominalnya mencapai US$591,000 sementara produsen luar negeri sama sekali tidak memberi kontribusi PPh kepada Pemerintah RI.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia bidang Energi mengatakan secara umum industri manufaktur lokal masih mengidap inferiority syndrome karena masih lemah dalam kemampuan rekayasa dan desain, belum ada perusahaan manufaktur yang berskala besar, masih lemah dalam kendali kualitas, tidak ada pihak yang secara terus menerus dan konsisten memperjuangkan industri dalam negeri, masih lemahnya dukungan pasar domestik, kurangnya ketersediaan modal, dan masih lekatnya karut-marut kebijakan fiskal. Pendapat pejabat Kadin ini diamini oleh pejabat Departemen Perindustrian yang menambahi faktor masih ada keraguan tentang mutu produk dalam negeri dan belum adanya dukungan dan keberpihakan.
Jadi siapa sebenarnya biang keladi dari lemahnya daya saing industri dalam negeri, bahkan di negeri sendiri? Departemen Perindustrian menyajikan sederet kebijakan pemerintah di bidang industri yang – konon – dimaksudkan meningkatkan kemampuan dan daya saing industri lokal. Di pihak lain pejabat Departemen Keuangan yang mengurusi kebijakan fiskal berusaha meyakinkan masyarakat bahwa sudah banyak sekali, kebijakan fiskal yang diterbitkan untuk mendukung industri nasional? Lantas kenapa industri daam negeri masih dan selalu lesu, loyo dan senantiasa kalah bersaing?
Menggunakan analisa sederhana dari disiplin public policy development bisa jadi apa (kebijakan) yang dibuat bukan yang dibutuhkan, baik secara substansi maupun konteksnya. Atau dapat juga karena yang membuat kebijakan tidak tahu apa yang dibutuhkan oleh pasar, atau tidak tahu “dunia luar” sehingga kebijakan yang dihasikan bersifat partial, sektoral, tidak merupakan kebijakan yang terintegrasi dapat mengakomidasi kepentingan multisektor. Sinyalemen dari kalangan pemerintah tentang tidak adanya dukungan dan keberpihakan bisa jadi merupakan pengakuan terhadap sikap diri sendiri. Yang pasti, kriteria kebijakan publik yang baik bukan hanya dari apa saja yang diatur namun juga tak kalah pentingnya adalah bagaimana implikasi dari kebijakan dan regulasi setelah diimplementasikan. Jika hasilnya negatif atau nol, maka kebijakan dan regulasi tersebut layak disebut sebagai flaw policies and regulations, kebijakan dan regulasi yang cacat.
Lantas bagaimana solusinya? Membiarkan saja? Atau melakukan sesuatu untuk mengubah kondisi yang tidak menguntungkan bagi industri manufaktur dalam negeri? Diam membela status quo bukan tugas pejabat publik, jadi pilihannya hanya lakukan perubahan. Selagi masih hangat duduk di kursi kabinet, para menteri terkait sebaiknya mulai memikirkan bagaimana merenovasi kebijakan industri dalam negeri agar lebih punya daya saing. Michael Porter dalam karya besarnya menyatakan “daya saing negara bukan di tangan pemerintah, namun industri; jika industri berdaya saing, maka ekonomi negara akan berdaya saing” Tidak ada yang salah dari pendapat Porter ini, kecuali hanya sebuah koreksi dari Richard Vietor yang menyatakan “bagaimanapun Pemerintah masih punya pengaruh dalam membangun daya saing perekonomiannya; melalui regulasi industri Pemerintah dapat menguatkan atau melemahkan industri dalam negeri.”
Sampai di sini benang merahnya jelas. Tujuan yang baik ternyata masih memerlukan keterbukaan wawasan, keberpihakan, dukungan berbagai pihak, dan keberanian untuk menyempurnakan kebijakan yang ada. Jika tidak, paradoks akan terus terjadi***
Dilema Tarif Listrik Dalam Pertumbuhan Ekonomi
Bahwasanya terdapat hubungan dan saling pengaruh antara listrik dan aktivitas ekonomi sudah banyak diteliti dan bukti empirik sudah menunjukkan adanya hubungan positif di antara keduanya. Persoalan yang dihadapi oleh banyak negara berkembang termasuk Indonesia terkait dengan hubungan antara listrik dan aktivitas ekonomi tidak jauh dari pertumbuhan permintaan tenaga listrik sebagai akibat peningkatan aktivitas ekonomi di satu pihak dengan kemampuan menyediakan pasokan listrik di pihak lain. Ketidak-mampuan mencukupi permintaan listrik pada gilirannya akan menyusutkan aktivitas ekonomi, yang semula menandakan adanya pertumbuhan. Wal hasil, ekonomi gagal tumbuh alias stagnan atau bahkan menyusut hanya karena minimnya pasokan listrik.
Ada banyak hal yang dapat dijadikan “kambing hitam” minimnya pasokan listrik. Salah satu di antaranya, yang menyentuh semua stakeholder yang terlibat dalam penyediaan, distribusi dan penggunaan listrik, adalah tarif. Hingga hari ini listrik masih diperlakukan sebagai utilitas, belum sebagai komoditas, sehingga industri tenaga listrik masih bersifat regulated. Struktur, conduct dan kinerja diatur oleh Pemerintah selaku pembuat kebijakan dan regulator. Meskipun dalam visi dan misi regulator ketenagalistrikan dinyatakan penyediaan listrik untuk mendukung tercapainya kesejahteraan masyarakat, dalam kenyataannya regulasi tarif masih menciptakan jebakan pertumbuhan ekonomi. Mengapa demikian?
Indonesia mengandalkan energi primer BBM, Gas Alam, Batubara, dan Panas Bumi. Keempat sumber energi primer ini terdapat dalam jumlah besar tersebar di wilayah NKRI dari Sabang hingga Merauke. Ketergantungan PLN kepada empat jenis energi primer ini sangat tinggi. Persoalan muncul ketika kebijakan energi primer tidak nyambung dengan kebijakan energi listrik. Harga energi primer dilepas sesuai mekanisme pasar, sementara listrik yang masih dianggap sebagai utilitas tarif dasar atau harga jual kepada konsumen dibuat serendah mungkin. Akibatnya, timbul gap yang kemudian ditutup dengan subsidi. Tidak ada masalah dengan subsidi apabila kondisi fiskal senantiasa mencukupi. Menjadi masalah ketika subsidi dikurangi, sementara rakyat sudah telanjur menikmati listrik murah.
Masalah terkait tarif juga muncul di sisi pembangkitan. Ketika PLN sebagai pemegang mandat pemerintah untuk melaksanakan penyediaan listrik tidak mampu memenuhi seluruh permintaan, dan di pihak lain swasta sudah mulai mampu berinvestasi di sektor tenaga listrik, diselenggarakanlah listrik swasta (Independen Power Producer / IPP). IPP membangun pembangkit listrik berdasarkan perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement / PPA), dan daya listrik yang dihasilkan dijual kepada PLN. IPP generasi pertama praktis tidak banyak menemui masalah, hal ini terutama karena pada waktu itu Pemerintah masih berkenan menerbitkan Jaminan sehingga lembaga keuangan dan perbankan bersuka cita memberikan pendanaan. Selain itu, tarif harga jual listrik, oleh perbankan, masih dianggap layak untuk memberikan tingkat kembalian investasi yang memadai.
Masalah muncul di IPP generasi kedua. Pertama, pemerintah tidak lagi memberikan jaminan; kedua, tarif yang disepakati dalam PPA menjadikan proyek tidak layak (lagi) untuk didanai. Mengapa demikian? Tarif yang ditawarkan oleh para investor pada waktu tender pada umumnya dibawah US$ 5 cent per kWh. Angka ini merupakan angka imaginer yang diturunkan dari sebuah regulasi tentang tarif beli listrik oleh PLN kepada IPP yang kemudian dijadikan acuan dalam tender. Selain adanya “batas atas imaginer” rupanya program listrik swasta mengundang minat banyak investor. Akibatnya para investor bersedia menawarkan harga di bawah US$ 5 cent per kWh agar dapat memenangi tender IPP. Inilah awal dilema tarif yang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.
Dilema tidak hanya dihadapi oleh investor, namun juga oleh PLN, Pemerintah, lembaga keuangan, vendor teknologi, dan tentu saja masyarakat selaku konsumen listrik. Bagi investor jika proyek dihentikan, terbayang potensi kerugian; sebaliknya jika dilanjutkan dengan tarif yang sudah disepakati pun akan lebih besar lagi kerugiannya. Bagi PLN, jika listrik swasta tidak berhasil, ini dapat berarti kegagalan manajemen, kegagalan memenuhi pasokan listrik, dan kegagalan memenuhi komitmen yang telah dinyatakan kepada pemerintah.
Dengan harga di bawah US$ 5 cent per kWh dan kondisi pasar global yang volatile, harga bahan baku melejit dari yang semula diperkirakan, menjadikan hanya tinggal 8 (delapan) IPP yang terus melaju dari 160-an pemegang PPA. Yang 8 (delapan) inipun sekarang terhenti kemajuan proyeknya. Bank tidak bersedia mendanai proyek yang tidak feasible, walaupun produk dari proyek tersebut akan bermanfaat bagi segenap manusia.
Tantangannya sekarang, apakah kita mau membiarkannya saja sebagai suatu dilema sehingga semua pihak dirugikan, atau lakukan sesuatu sehingga semua pihak meraih manfaat. Dalam kebijakan publik tidak ada keajaiban timbul dari keputusan tidak melakukan sesuatu (status quo). Perubahan harus dengan sengaja direncanakan, dibuat keputusan dan dilaksanakan. Menteri ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) tentang tarif jual listrik yang semula diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi dilakukannya negosiasi ulang tarif PPA. Namun kenyataannya Permen tersebut tidak dapat diimplementasikan. PLN belum bersedia menyesuaikan tarif beli listrik dari IPP. Argumen manajemen PLN, masih dibutuhkan payung hukum yang lebih tinggi.
Undang – Undang Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan telah disahkan, dapatkah UU 30/09 ini menjadi payung hukum bagi upaya penyesuaian tarif jual-beli listrik? Sebagian pihak meragukan. Ada yang berargumen, masih diperlukan peraturan pelaksanaan (yang sampai sekarang belum diterbitkan), ada juga yang menyatakan terlalu tinggi, cukup dengan Peraturan atau Instruksi Presiden saja. Apapun yang akan menjadi payung hukum, ada satu hal esensial yang tidak boleh ditinggal, keberpihakan. Apakah kekuasaan hanya untuk kekuasaan, atau kekuasaan untuk berpihak kepada kemakmuran rakyat. Presiden tahu jawabnya.*****
Ada banyak hal yang dapat dijadikan “kambing hitam” minimnya pasokan listrik. Salah satu di antaranya, yang menyentuh semua stakeholder yang terlibat dalam penyediaan, distribusi dan penggunaan listrik, adalah tarif. Hingga hari ini listrik masih diperlakukan sebagai utilitas, belum sebagai komoditas, sehingga industri tenaga listrik masih bersifat regulated. Struktur, conduct dan kinerja diatur oleh Pemerintah selaku pembuat kebijakan dan regulator. Meskipun dalam visi dan misi regulator ketenagalistrikan dinyatakan penyediaan listrik untuk mendukung tercapainya kesejahteraan masyarakat, dalam kenyataannya regulasi tarif masih menciptakan jebakan pertumbuhan ekonomi. Mengapa demikian?
Indonesia mengandalkan energi primer BBM, Gas Alam, Batubara, dan Panas Bumi. Keempat sumber energi primer ini terdapat dalam jumlah besar tersebar di wilayah NKRI dari Sabang hingga Merauke. Ketergantungan PLN kepada empat jenis energi primer ini sangat tinggi. Persoalan muncul ketika kebijakan energi primer tidak nyambung dengan kebijakan energi listrik. Harga energi primer dilepas sesuai mekanisme pasar, sementara listrik yang masih dianggap sebagai utilitas tarif dasar atau harga jual kepada konsumen dibuat serendah mungkin. Akibatnya, timbul gap yang kemudian ditutup dengan subsidi. Tidak ada masalah dengan subsidi apabila kondisi fiskal senantiasa mencukupi. Menjadi masalah ketika subsidi dikurangi, sementara rakyat sudah telanjur menikmati listrik murah.
Masalah terkait tarif juga muncul di sisi pembangkitan. Ketika PLN sebagai pemegang mandat pemerintah untuk melaksanakan penyediaan listrik tidak mampu memenuhi seluruh permintaan, dan di pihak lain swasta sudah mulai mampu berinvestasi di sektor tenaga listrik, diselenggarakanlah listrik swasta (Independen Power Producer / IPP). IPP membangun pembangkit listrik berdasarkan perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement / PPA), dan daya listrik yang dihasilkan dijual kepada PLN. IPP generasi pertama praktis tidak banyak menemui masalah, hal ini terutama karena pada waktu itu Pemerintah masih berkenan menerbitkan Jaminan sehingga lembaga keuangan dan perbankan bersuka cita memberikan pendanaan. Selain itu, tarif harga jual listrik, oleh perbankan, masih dianggap layak untuk memberikan tingkat kembalian investasi yang memadai.
Masalah muncul di IPP generasi kedua. Pertama, pemerintah tidak lagi memberikan jaminan; kedua, tarif yang disepakati dalam PPA menjadikan proyek tidak layak (lagi) untuk didanai. Mengapa demikian? Tarif yang ditawarkan oleh para investor pada waktu tender pada umumnya dibawah US$ 5 cent per kWh. Angka ini merupakan angka imaginer yang diturunkan dari sebuah regulasi tentang tarif beli listrik oleh PLN kepada IPP yang kemudian dijadikan acuan dalam tender. Selain adanya “batas atas imaginer” rupanya program listrik swasta mengundang minat banyak investor. Akibatnya para investor bersedia menawarkan harga di bawah US$ 5 cent per kWh agar dapat memenangi tender IPP. Inilah awal dilema tarif yang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.
Dilema tidak hanya dihadapi oleh investor, namun juga oleh PLN, Pemerintah, lembaga keuangan, vendor teknologi, dan tentu saja masyarakat selaku konsumen listrik. Bagi investor jika proyek dihentikan, terbayang potensi kerugian; sebaliknya jika dilanjutkan dengan tarif yang sudah disepakati pun akan lebih besar lagi kerugiannya. Bagi PLN, jika listrik swasta tidak berhasil, ini dapat berarti kegagalan manajemen, kegagalan memenuhi pasokan listrik, dan kegagalan memenuhi komitmen yang telah dinyatakan kepada pemerintah.
Dengan harga di bawah US$ 5 cent per kWh dan kondisi pasar global yang volatile, harga bahan baku melejit dari yang semula diperkirakan, menjadikan hanya tinggal 8 (delapan) IPP yang terus melaju dari 160-an pemegang PPA. Yang 8 (delapan) inipun sekarang terhenti kemajuan proyeknya. Bank tidak bersedia mendanai proyek yang tidak feasible, walaupun produk dari proyek tersebut akan bermanfaat bagi segenap manusia.
Tantangannya sekarang, apakah kita mau membiarkannya saja sebagai suatu dilema sehingga semua pihak dirugikan, atau lakukan sesuatu sehingga semua pihak meraih manfaat. Dalam kebijakan publik tidak ada keajaiban timbul dari keputusan tidak melakukan sesuatu (status quo). Perubahan harus dengan sengaja direncanakan, dibuat keputusan dan dilaksanakan. Menteri ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) tentang tarif jual listrik yang semula diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi dilakukannya negosiasi ulang tarif PPA. Namun kenyataannya Permen tersebut tidak dapat diimplementasikan. PLN belum bersedia menyesuaikan tarif beli listrik dari IPP. Argumen manajemen PLN, masih dibutuhkan payung hukum yang lebih tinggi.
Undang – Undang Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan telah disahkan, dapatkah UU 30/09 ini menjadi payung hukum bagi upaya penyesuaian tarif jual-beli listrik? Sebagian pihak meragukan. Ada yang berargumen, masih diperlukan peraturan pelaksanaan (yang sampai sekarang belum diterbitkan), ada juga yang menyatakan terlalu tinggi, cukup dengan Peraturan atau Instruksi Presiden saja. Apapun yang akan menjadi payung hukum, ada satu hal esensial yang tidak boleh ditinggal, keberpihakan. Apakah kekuasaan hanya untuk kekuasaan, atau kekuasaan untuk berpihak kepada kemakmuran rakyat. Presiden tahu jawabnya.*****
Sunday, October 18, 2009
Harga saham untuk sektor telekomunikasi terlihat semakin "sexy". Bisa diartikan, sektor ini mencatatkan pertumbuhan yang cukup berarti. Bagaimana dengan prospek sektor telekomunikasi di tanah air pada 2010 nanti?
Tahun 2010 saya perkirakan tidak banyak perubahan dari tahun 2009. Mengapa demikian? Pertama, dari aspek teknologi, tidak ada implementasi teknologi baru. 2G sudah mencapai maturity, 3G secara teknologi sudah terpasang tinggal diupayakan penyebar-luasan basis pelanggan. Untuk teknologi selular lain seperti CDMA, profile-nya juga sama, sudah terpasang tinggal peningkatana pentrasi pasar. Jikapun ada perubahan, akan terjadi pada peningkatan kapasitas jaringan tulang punggung (backbone) khususnya di wilayah Indonesia bagian timur yang pada bulan Oktober ini mulai dipasang jaringan serat optik. Selain itu, tender Wimax di pertengahan tahun 2009, kemungkinan sudah ada perusahaan pemenang tender yang mulai menawarkan layanan. Inipun dengan catatan, apabila secara komersial layak dioperasionalkan mengingat, ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang menjadi syarat utama, sementara kemampuan manufaktur dalam negeri bisa jadi belum mampu memenuhi permintaan pasar, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Kedua, dari aspek regulasi, saya memperkirakan peluang terjadi perubahan dalam regulasi telekomunikasi relatif kecil. Regulasi signifikan seperti pengaturan tarif, interkoneksi, standarisasi peralatan, USO, frekuensi, dan perizinan sudah dibuat pada tahun 2009 ke belakang, dan secara substansial sudah mencukupi sebagai syarat dalam industri telekomunikasi yang kompetitif. Khusus tentang perizinan, suatu aspek yang sangat berpengaruh terhadap struktur industri, arahnya akan berubah, tidak lagi satu izin untuk satu jenis layanan seperti sekarang ini, namun mengarah ke satu izin untuk berbagai layanan (universal licensing = UL). Saya perkirakan sepanjang tahun 2010 diskursus kebijakan dan regulasi telekomunikasi akan diwarnai oleh topik UL ini. Hal ini dapat dimaklumi, karena Indonesia mulai memasuki tahap pendewasaan dalam era kompetisi, yang mensyaratkan pengelolaan sumberdaya telekomunikasi secara efisien dan efektif.
Masih terkait aspek regulasi, buntut dari kebijakan menteri Kominfo yang terbit di awal tahun 2008 tentang penggunaan bersama menara telekomunikasi masih akan eksis hingga akhir tahun 2010. Sepanjang tahun 2009, industri telekomunikasi khususnya layanan selular bergerak mendapat “musuh bersama” ketika muncul Perda-perda yang menolak pemberian izin baru pendirian menara telekomunikasi, bahkan di Kabupaten Badung, menara telekomunikasi yang semual memiliki IMB dirobohkan oleh Pemda, hanya karena Pemda telah bekerja-sama secara monopoli dengan suatu perusahaan penyedia menara telekomunikasi. Saya perkirakan “fenomena Badung” masih akan terulang oleh pemerintah daerah yang badung. Yang menarik, ternyata di balik tindakan badung beberapa pemertintah daerah, ada pengusaha yang berperan sebagai aktor intelektual. Sayangnya pengusaha semacam ini takut berkompetisi, sehingga mereka menggunakan tameng para pejabat daerah yang dalam beberapa hal, dapat dibodohi oleh pengusaha semacam ini.
Masih terkait aspek regulasi dan kebijakan, jika struktur Departemen Kominfo berubah, saya perkirakan karakter industri telekomunikasi Indonesia akan terpengaruh, dan apabila masa transisi pembuat kebijakan regulator ini tidak dikelola dengan baik, ada kemungkinan dapat menggoyahkan keyakinan investor, atau malah dapat menurunkan kualitas layanan. Dari rancangan struktur Kominfo yang saya terima tenagh bulan Spetember 2009, tidak terlihat posisi badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang jelasa dan tegas, sehingga eksistensinya masih menjadi tanda tanya besar.
Ketiga, dari aspek bisnis, persaingan harga akan semakin ketat. Namun demikian, saya menduga, para eksekutif telekomunikasi akan lebih bijak dalam bersaing. Belajar dari tahun – tahun lalu, persaingan tajam yang saling memprovokasi harga hanya berujung pada penurunan keuntungan. Sementara, loyalitas pelanggan yang meningkatkan value perusahaan susah tercapai lantaran mudahnya berganti-ganti nomor serta “berhasilnya” program provokasi harga.
Bisnis data dan akses Internet secara mobil yang mulai ditawarkan operator sejak awal 2008 (setelah infrastruktur 3G terpasang) dan mulai menanjak pada 2009, pada 2010 akan menemui tantangan persaingan dari operator Broadband Wireless Access (BWA) yang menggunakan Wimax. Memang lisensi BWA yang ditenderkan pada Mei 2009 untuk jenis layanan nomadic alias tetap (fixed) namun dapat bergerak selagi masih berada dalam jangkauan Base Transceve System (BTS) dan ketika pergerakan melewati batas jangkauan (coverage) pengguna harus menyambung kembali hubungan yang terputus. Mengingat apabila hanya mengandalkan layanan nomadic daya tariknya diperkirakan relatif rendah, maka saya menduga pemegang lisensi BWA akan mulai “memperkenalkan” secara diam-diam layanan mobile BWA, hal ini karena secara teknologi memungkinkan.
Masih dalam aspek bisnis, mulai maraknya layanan broadband internet access baik menggunakan teknologi EDGE, GPRS, 3g maupun Wimax, lazimnya akan menuntut ketersediaan konten. Tanpa konten, ibarat jalan raya yang dapat dilalui kendaraan berkecepatan tinggi, mobil sudah mampu melaju dengan kecepatan tinggi, namun tidak ada penumpang di dalamnya. Bicara konten, produk asing yang sudah terkenal oleh masyarakat penggunan perangkat ICT di Indonesia ada banyak sekali, salah satu contohnya facebook. Dari segi ini mestinya ketersediaan konten sudah tidak perlu diragukan lagi, orang asing luar negeri sudah banyak yang membuatnya, tinggal gunaka saja, gratis. Persoalannya, dari yang tersedia banyak ini, porsi konten produksi dalam negeri masih sangat sedikit, untuk menggantikan kata tidak ada yang meraih sukses pasar di negeri sendiri. Padahal, bisnis konten mestinya memberi nilai tambah yang cukup besar bagi bisnis telekomunkasi. Kalaupun ada konten prosuksi dalam negeri lebih banyak yang ecek-ecek, dan banyak pihak merasa dirugikan karena mengikuti layanan nilai tambah seperti sms berhadiah, sms ramalan, dan lain sebagainya.
Apa saja yang menjadi peluang dan tantangan sektor ini di tahun depan?
Peluang? Masih banyak daerah di wilayah Indonesia yang belum terjangkau layanan telekomunikasi baik untuk suara maupun data. Sementara, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tahu manfaat telekomunikasi. Artinya permintaan terhadap layanan telekomunikasi masih cukup besar untuk diberikan oleh semua operator telekomunikasi yang ada.
Tantangan? Bagaimanapun, suka atau benci, sadar atau tidak tahu, telekomunikasi sudah beralih rupa menjadi komoditas. Namun demikian, perlakuan penyediaan layanan telekomunikasi hanya dengan pendekatan bisnis tidak tepat. Masih banyak wilayah dan penduduk Indonesia yang membutuhkan “bantuan” hingga mampu memiliki “kebutuhan” terhadap telekomunikasi. Konflik kepentingan semacam ini perlu dijembatani oleh pembuat kebijakan dengan menyatakan bahwa untuk daerah – daerah tertentu, seperti misalnya kawasan tertinggal, daerah perbatasan, daerah terpencil, penyediaan layanan telekomunikasi menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam pelaksanaannya bisa saja diserahkena ke swasta atau BUMN, namun karena masih merugi sehingga pemerintah memberikan subsidi.
Tantangan lain? Masih banyak, khususnya bagi operator yang masuk ke pasar relatif belakangan, seperti 3 (baca: three) dan Axis. Mereka berdua masuk ke layanan GSM dan 3G ketika pasar sudah dikuasai oleh 3 pemain besar Telkomsel, Indosat dan XL. Tantangan pertama bagi kedua operator pendatang baru ini sudah terlewati, seperti mendapatkan interkoneksi dari semua operator lainnya, tantangan kedua juga sudah berhasil diatasi, ketika kedua operator baru ini mulai memasuki pasar dan memperkenalkan produk mereka dengan tarif yang lebih murah dari para pendahulunya. 2010 akan menjadi tahun penentu bagi kedua 3 dan Axis, apakah masing-masing sanggup meraih 10 juta pelanggan setia. Dengan layanan yang tidak berbeda dari para pesaingnya, tidak ada perbedaan signifikan segmentasi pasar yang disasar, serta wilayah jangkauan yang sama (nasional) maka hanya tersisa strategi perusahaan yang akan membedakan dua perusahaan ini dari golongan kalah atau menang. Jika kalah, maka saya perkirakan, merger dan akuisisi akan terjadi di 2011.
Apakah ketatnya persaingan di sektor ini akan memunculkan tren merger atau bahkan akuisisi?
Pembicaraan merger dan akuisisi antara dua operator telekomunikasi dengan teknologi yang sama (CDMA) sudah terjadi sejak tengah tahun 2009, sampai wawancara ini ditulis, transaksi belum terjadi. Jika segala sesuatunya lancar, awal 2010 akan diwarnai oleh bergabungnya dua operator CDMA. Atau jika sampai dengan tengah tahun 2010 berita merger dua operator CDMA ini tidak muncul, maka salah satu atau keduanya sudah diakuisisi oleh investor yang berbeda. Yang hampir pasti, kedua operator CDMA ini memerlukan “pertolongan” atau darah segar dari pemilik baru.
Untuk operator selular yang berbasis GSM dan 3G, profile knerjanya agak berbeda. Tiga operator besar (Telkomsel, Indosat dan XL) rasanya tidak ada perubahan dalam susunan pemilik saham. Hal ini dapat dimengerti karena motivasi pemegang saham lebih pada perluasan usaha serupa mereka di negerinya masing-masing, dan mereka mudah-mudahan bukan tergolong investor yang jangkauan wawasannya pendek. Ketiga operator sellular tersebut relatif sudah stabil, tinggal mengembangkan layana dan mempertahankan diri jika sewaktu-waktu terjadi goncangan pasar. Merger dua atau lebih operator selular berbasis GSM dan 3G keliatannya tidak terjadi di 2010, tetapi ada kemungkinan terjadi di tahun 2011. Itupun dengan asumsi kedua pendatang baru operator GSM/3G tersebut gagal mencapai moment perubahan pada kuartal 4 tahun 2010.
Akuisisi operator selular terhadap perusahaan pendukung atau penyedia jasa nilai tambah, ada kemungkinan akan terjadi lagi, setelah tahu 2008 dilakukan oleh Telkom terhadap Sigma. Motivasi akuisisi semacam ini lebih pada sinergi penyediaan aplikasi pendukung operasional seperti penyediaan aplikasi billing, ERP. SCM, dan atau CRM. Lebih jauh, akuisisi yang mungkin akan terjadi dimaksudkan untuk komplemen terhadap infrastruktur telekomunikasi yang sudah dimiliki. Dengan demikian, ke depan operator telekomunikasi tidak hanya menjual layanan konvensional suara dan data (akses Internet) namun juga melayani jasa nilai tambah seperti fasilitasi transaksi dan pembayaran secara elektronik, penyedia konten, jasa konsultasi ICT dan lain sebagainya yang semuanya memanfaatkan kompetensi dan sumber daya yang sudah dimiliki. Jadi hal ini semacam ekstensifikasi pemanfaatan sumber daya perusahaan.
Tahun 2010 saya perkirakan tidak banyak perubahan dari tahun 2009. Mengapa demikian? Pertama, dari aspek teknologi, tidak ada implementasi teknologi baru. 2G sudah mencapai maturity, 3G secara teknologi sudah terpasang tinggal diupayakan penyebar-luasan basis pelanggan. Untuk teknologi selular lain seperti CDMA, profile-nya juga sama, sudah terpasang tinggal peningkatana pentrasi pasar. Jikapun ada perubahan, akan terjadi pada peningkatan kapasitas jaringan tulang punggung (backbone) khususnya di wilayah Indonesia bagian timur yang pada bulan Oktober ini mulai dipasang jaringan serat optik. Selain itu, tender Wimax di pertengahan tahun 2009, kemungkinan sudah ada perusahaan pemenang tender yang mulai menawarkan layanan. Inipun dengan catatan, apabila secara komersial layak dioperasionalkan mengingat, ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang menjadi syarat utama, sementara kemampuan manufaktur dalam negeri bisa jadi belum mampu memenuhi permintaan pasar, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Kedua, dari aspek regulasi, saya memperkirakan peluang terjadi perubahan dalam regulasi telekomunikasi relatif kecil. Regulasi signifikan seperti pengaturan tarif, interkoneksi, standarisasi peralatan, USO, frekuensi, dan perizinan sudah dibuat pada tahun 2009 ke belakang, dan secara substansial sudah mencukupi sebagai syarat dalam industri telekomunikasi yang kompetitif. Khusus tentang perizinan, suatu aspek yang sangat berpengaruh terhadap struktur industri, arahnya akan berubah, tidak lagi satu izin untuk satu jenis layanan seperti sekarang ini, namun mengarah ke satu izin untuk berbagai layanan (universal licensing = UL). Saya perkirakan sepanjang tahun 2010 diskursus kebijakan dan regulasi telekomunikasi akan diwarnai oleh topik UL ini. Hal ini dapat dimaklumi, karena Indonesia mulai memasuki tahap pendewasaan dalam era kompetisi, yang mensyaratkan pengelolaan sumberdaya telekomunikasi secara efisien dan efektif.
Masih terkait aspek regulasi, buntut dari kebijakan menteri Kominfo yang terbit di awal tahun 2008 tentang penggunaan bersama menara telekomunikasi masih akan eksis hingga akhir tahun 2010. Sepanjang tahun 2009, industri telekomunikasi khususnya layanan selular bergerak mendapat “musuh bersama” ketika muncul Perda-perda yang menolak pemberian izin baru pendirian menara telekomunikasi, bahkan di Kabupaten Badung, menara telekomunikasi yang semual memiliki IMB dirobohkan oleh Pemda, hanya karena Pemda telah bekerja-sama secara monopoli dengan suatu perusahaan penyedia menara telekomunikasi. Saya perkirakan “fenomena Badung” masih akan terulang oleh pemerintah daerah yang badung. Yang menarik, ternyata di balik tindakan badung beberapa pemertintah daerah, ada pengusaha yang berperan sebagai aktor intelektual. Sayangnya pengusaha semacam ini takut berkompetisi, sehingga mereka menggunakan tameng para pejabat daerah yang dalam beberapa hal, dapat dibodohi oleh pengusaha semacam ini.
Masih terkait aspek regulasi dan kebijakan, jika struktur Departemen Kominfo berubah, saya perkirakan karakter industri telekomunikasi Indonesia akan terpengaruh, dan apabila masa transisi pembuat kebijakan regulator ini tidak dikelola dengan baik, ada kemungkinan dapat menggoyahkan keyakinan investor, atau malah dapat menurunkan kualitas layanan. Dari rancangan struktur Kominfo yang saya terima tenagh bulan Spetember 2009, tidak terlihat posisi badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang jelasa dan tegas, sehingga eksistensinya masih menjadi tanda tanya besar.
Ketiga, dari aspek bisnis, persaingan harga akan semakin ketat. Namun demikian, saya menduga, para eksekutif telekomunikasi akan lebih bijak dalam bersaing. Belajar dari tahun – tahun lalu, persaingan tajam yang saling memprovokasi harga hanya berujung pada penurunan keuntungan. Sementara, loyalitas pelanggan yang meningkatkan value perusahaan susah tercapai lantaran mudahnya berganti-ganti nomor serta “berhasilnya” program provokasi harga.
Bisnis data dan akses Internet secara mobil yang mulai ditawarkan operator sejak awal 2008 (setelah infrastruktur 3G terpasang) dan mulai menanjak pada 2009, pada 2010 akan menemui tantangan persaingan dari operator Broadband Wireless Access (BWA) yang menggunakan Wimax. Memang lisensi BWA yang ditenderkan pada Mei 2009 untuk jenis layanan nomadic alias tetap (fixed) namun dapat bergerak selagi masih berada dalam jangkauan Base Transceve System (BTS) dan ketika pergerakan melewati batas jangkauan (coverage) pengguna harus menyambung kembali hubungan yang terputus. Mengingat apabila hanya mengandalkan layanan nomadic daya tariknya diperkirakan relatif rendah, maka saya menduga pemegang lisensi BWA akan mulai “memperkenalkan” secara diam-diam layanan mobile BWA, hal ini karena secara teknologi memungkinkan.
Masih dalam aspek bisnis, mulai maraknya layanan broadband internet access baik menggunakan teknologi EDGE, GPRS, 3g maupun Wimax, lazimnya akan menuntut ketersediaan konten. Tanpa konten, ibarat jalan raya yang dapat dilalui kendaraan berkecepatan tinggi, mobil sudah mampu melaju dengan kecepatan tinggi, namun tidak ada penumpang di dalamnya. Bicara konten, produk asing yang sudah terkenal oleh masyarakat penggunan perangkat ICT di Indonesia ada banyak sekali, salah satu contohnya facebook. Dari segi ini mestinya ketersediaan konten sudah tidak perlu diragukan lagi, orang asing luar negeri sudah banyak yang membuatnya, tinggal gunaka saja, gratis. Persoalannya, dari yang tersedia banyak ini, porsi konten produksi dalam negeri masih sangat sedikit, untuk menggantikan kata tidak ada yang meraih sukses pasar di negeri sendiri. Padahal, bisnis konten mestinya memberi nilai tambah yang cukup besar bagi bisnis telekomunkasi. Kalaupun ada konten prosuksi dalam negeri lebih banyak yang ecek-ecek, dan banyak pihak merasa dirugikan karena mengikuti layanan nilai tambah seperti sms berhadiah, sms ramalan, dan lain sebagainya.
Apa saja yang menjadi peluang dan tantangan sektor ini di tahun depan?
Peluang? Masih banyak daerah di wilayah Indonesia yang belum terjangkau layanan telekomunikasi baik untuk suara maupun data. Sementara, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tahu manfaat telekomunikasi. Artinya permintaan terhadap layanan telekomunikasi masih cukup besar untuk diberikan oleh semua operator telekomunikasi yang ada.
Tantangan? Bagaimanapun, suka atau benci, sadar atau tidak tahu, telekomunikasi sudah beralih rupa menjadi komoditas. Namun demikian, perlakuan penyediaan layanan telekomunikasi hanya dengan pendekatan bisnis tidak tepat. Masih banyak wilayah dan penduduk Indonesia yang membutuhkan “bantuan” hingga mampu memiliki “kebutuhan” terhadap telekomunikasi. Konflik kepentingan semacam ini perlu dijembatani oleh pembuat kebijakan dengan menyatakan bahwa untuk daerah – daerah tertentu, seperti misalnya kawasan tertinggal, daerah perbatasan, daerah terpencil, penyediaan layanan telekomunikasi menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam pelaksanaannya bisa saja diserahkena ke swasta atau BUMN, namun karena masih merugi sehingga pemerintah memberikan subsidi.
Tantangan lain? Masih banyak, khususnya bagi operator yang masuk ke pasar relatif belakangan, seperti 3 (baca: three) dan Axis. Mereka berdua masuk ke layanan GSM dan 3G ketika pasar sudah dikuasai oleh 3 pemain besar Telkomsel, Indosat dan XL. Tantangan pertama bagi kedua operator pendatang baru ini sudah terlewati, seperti mendapatkan interkoneksi dari semua operator lainnya, tantangan kedua juga sudah berhasil diatasi, ketika kedua operator baru ini mulai memasuki pasar dan memperkenalkan produk mereka dengan tarif yang lebih murah dari para pendahulunya. 2010 akan menjadi tahun penentu bagi kedua 3 dan Axis, apakah masing-masing sanggup meraih 10 juta pelanggan setia. Dengan layanan yang tidak berbeda dari para pesaingnya, tidak ada perbedaan signifikan segmentasi pasar yang disasar, serta wilayah jangkauan yang sama (nasional) maka hanya tersisa strategi perusahaan yang akan membedakan dua perusahaan ini dari golongan kalah atau menang. Jika kalah, maka saya perkirakan, merger dan akuisisi akan terjadi di 2011.
Apakah ketatnya persaingan di sektor ini akan memunculkan tren merger atau bahkan akuisisi?
Pembicaraan merger dan akuisisi antara dua operator telekomunikasi dengan teknologi yang sama (CDMA) sudah terjadi sejak tengah tahun 2009, sampai wawancara ini ditulis, transaksi belum terjadi. Jika segala sesuatunya lancar, awal 2010 akan diwarnai oleh bergabungnya dua operator CDMA. Atau jika sampai dengan tengah tahun 2010 berita merger dua operator CDMA ini tidak muncul, maka salah satu atau keduanya sudah diakuisisi oleh investor yang berbeda. Yang hampir pasti, kedua operator CDMA ini memerlukan “pertolongan” atau darah segar dari pemilik baru.
Untuk operator selular yang berbasis GSM dan 3G, profile knerjanya agak berbeda. Tiga operator besar (Telkomsel, Indosat dan XL) rasanya tidak ada perubahan dalam susunan pemilik saham. Hal ini dapat dimengerti karena motivasi pemegang saham lebih pada perluasan usaha serupa mereka di negerinya masing-masing, dan mereka mudah-mudahan bukan tergolong investor yang jangkauan wawasannya pendek. Ketiga operator sellular tersebut relatif sudah stabil, tinggal mengembangkan layana dan mempertahankan diri jika sewaktu-waktu terjadi goncangan pasar. Merger dua atau lebih operator selular berbasis GSM dan 3G keliatannya tidak terjadi di 2010, tetapi ada kemungkinan terjadi di tahun 2011. Itupun dengan asumsi kedua pendatang baru operator GSM/3G tersebut gagal mencapai moment perubahan pada kuartal 4 tahun 2010.
Akuisisi operator selular terhadap perusahaan pendukung atau penyedia jasa nilai tambah, ada kemungkinan akan terjadi lagi, setelah tahu 2008 dilakukan oleh Telkom terhadap Sigma. Motivasi akuisisi semacam ini lebih pada sinergi penyediaan aplikasi pendukung operasional seperti penyediaan aplikasi billing, ERP. SCM, dan atau CRM. Lebih jauh, akuisisi yang mungkin akan terjadi dimaksudkan untuk komplemen terhadap infrastruktur telekomunikasi yang sudah dimiliki. Dengan demikian, ke depan operator telekomunikasi tidak hanya menjual layanan konvensional suara dan data (akses Internet) namun juga melayani jasa nilai tambah seperti fasilitasi transaksi dan pembayaran secara elektronik, penyedia konten, jasa konsultasi ICT dan lain sebagainya yang semuanya memanfaatkan kompetensi dan sumber daya yang sudah dimiliki. Jadi hal ini semacam ekstensifikasi pemanfaatan sumber daya perusahaan.
Mengintip Wajah Telekomunikasi 2010
Harga saham untuk sektor telekomunikasi terlihat semakin "sexy". Bisa diartikan, sektor ini mencatatkan pertumbuhan yang cukup berarti. Bagaimana dengan prospek sektor telekomunikasi di tanah air pada 2010 nanti?
Tahun 2010 saya perkirakan tidak banyak perubahan dari tahun 2009. Mengapa demikian? Pertama, dari aspek teknologi, tidak ada implementasi teknologi baru. 2G sudah mencapai maturity, 3G secara teknologi sudah terpasang tinggal diupayakan penyebar-luasan basis pelanggan. Untuk teknologi selular lain seperti CDMA, profile-nya juga sama, sudah terpasang tinggal peningkatana pentrasi pasar. Jikapun ada perubahan, akan terjadi pada peningkatan kapasitas jaringan tulang punggung (backbone) khususnya di wilayah Indonesia bagian timur yang pada bulan Oktober ini mulai dipasang jaringan serat optik. Selain itu, tender Wimax di pertengahan tahun 2009, kemungkinan sudah ada perusahaan pemenang tender yang mulai menawarkan layanan. Inipun dengan catatan, apabila secara komersial layak dioperasionalkan mengingat, ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang menjadi syarat utama, sementara kemampuan manufaktur dalam negeri bisa jadi belum mampu memenuhi permintaan pasar, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Kedua, dari aspek regulasi, saya memperkirakan peluang terjadi perubahan dalam regulasi telekomunikasi relatif kecil. Regulasi signifikan seperti pengaturan tarif, interkoneksi, standarisasi peralatan, USO, frekuensi, dan perizinan sudah dibuat pada tahun 2009 ke belakang, dan secara substansial sudah mencukupi sebagai syarat dalam industri telekomunikasi yang kompetitif. Khusus tentang perizinan, suatu aspek yang sangat berpengaruh terhadap struktur industri, arahnya akan berubah, tidak lagi satu izin untuk satu jenis layanan seperti sekarang ini, namun mengarah ke satu izin untuk berbagai layanan (universal licensing = UL). Saya perkirakan sepanjang tahun 2010 diskursus kebijakan dan regulasi telekomunikasi akan diwarnai oleh topik UL ini. Hal ini dapat dimaklumi, karena Indonesia mulai memasuki tahap pendewasaan dalam era kompetisi, yang mensyaratkan pengelolaan sumberdaya telekomunikasi secara efisien dan efektif.
Masih terkait aspek regulasi, buntut dari kebijakan menteri Kominfo yang terbit di awal tahun 2008 tentang penggunaan bersama menara telekomunikasi masih akan eksis hingga akhir tahun 2010. Sepanjang tahun 2009, industri telekomunikasi khususnya layanan selular bergerak mendapat “musuh bersama” ketika muncul Perda-perda yang menolak pemberian izin baru pendirian menara telekomunikasi, bahkan di Kabupaten Badung, menara telekomunikasi yang semual memiliki IMB dirobohkan oleh Pemda, hanya karena Pemda telah bekerja-sama secara monopoli dengan suatu perusahaan penyedia menara telekomunikasi. Saya perkirakan “fenomena Badung” masih akan terulang oleh pemerintah daerah yang badung. Yang menarik, ternyata di balik tindakan badung beberapa pemertintah daerah, ada pengusaha yang berperan sebagai aktor intelektual. Sayangnya pengusaha semacam ini takut berkompetisi, sehingga mereka menggunakan tameng para pejabat daerah yang dalam beberapa hal, dapat dibodohi oleh pengusaha semacam ini.
Masih terkait aspek regulasi dan kebijakan, jika struktur Departemen Kominfo berubah, saya perkirakan karakter industri telekomunikasi Indonesia akan terpengaruh, dan apabila masa transisi pembuat kebijakan regulator ini tidak dikelola dengan baik, ada kemungkinan dapat menggoyahkan keyakinan investor, atau malah dapat menurunkan kualitas layanan. Dari rancangan struktur Kominfo yang saya terima tenagh bulan Spetember 2009, tidak terlihat posisi badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang jelasa dan tegas, sehingga eksistensinya masih menjadi tanda tanya besar.
Ketiga, dari aspek bisnis, persaingan harga akan semakin ketat. Namun demikian, saya menduga, para eksekutif telekomunikasi akan lebih bijak dalam bersaing. Belajar dari tahun – tahun lalu, persaingan tajam yang saling memprovokasi harga hanya berujung pada penurunan keuntungan. Sementara, loyalitas pelanggan yang meningkatkan value perusahaan susah tercapai lantaran mudahnya berganti-ganti nomor serta “berhasilnya” program provokasi harga.
Bisnis data dan akses Internet secara mobil yang mulai ditawarkan operator sejak awal 2008 (setelah infrastruktur 3G terpasang) dan mulai menanjak pada 2009, pada 2010 akan menemui tantangan persaingan dari operator Broadband Wireless Access (BWA) yang menggunakan Wimax. Memang lisensi BWA yang ditenderkan pada Mei 2009 untuk jenis layanan nomadic alias tetap (fixed) namun dapat bergerak selagi masih berada dalam jangkauan Base Transceve System (BTS) dan ketika pergerakan melewati batas jangkauan (coverage) pengguna harus menyambung kembali hubungan yang terputus. Mengingat apabila hanya mengandalkan layanan nomadic daya tariknya diperkirakan relatif rendah, maka saya menduga pemegang lisensi BWA akan mulai “memperkenalkan” secara diam-diam layanan mobile BWA, hal ini karena secara teknologi memungkinkan.
Masih dalam aspek bisnis, mulai maraknya layanan broadband internet access baik menggunakan teknologi EDGE, GPRS, 3g maupun Wimax, lazimnya akan menuntut ketersediaan konten. Tanpa konten, ibarat jalan raya yang dapat dilalui kendaraan berkecepatan tinggi, mobil sudah mampu melaju dengan kecepatan tinggi, namun tidak ada penumpang di dalamnya. Bicara konten, produk asing yang sudah terkenal oleh masyarakat penggunan perangkat ICT di Indonesia ada banyak sekali, salah satu contohnya facebook. Dari segi ini mestinya ketersediaan konten sudah tidak perlu diragukan lagi, orang asing luar negeri sudah banyak yang membuatnya, tinggal gunaka saja, gratis. Persoalannya, dari yang tersedia banyak ini, porsi konten produksi dalam negeri masih sangat sedikit, untuk menggantikan kata tidak ada yang meraih sukses pasar di negeri sendiri. Padahal, bisnis konten mestinya memberi nilai tambah yang cukup besar bagi bisnis telekomunkasi. Kalaupun ada konten prosuksi dalam negeri lebih banyak yang ecek-ecek, dan banyak pihak merasa dirugikan karena mengikuti layanan nilai tambah seperti sms berhadiah, sms ramalan, dan lain sebagainya.
Apa saja yang menjadi peluang dan tantangan sektor ini di tahun depan?
Peluang? Masih banyak daerah di wilayah Indonesia yang belum terjangkau layanan telekomunikasi baik untuk suara maupun data. Sementara, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tahu manfaat telekomunikasi. Artinya permintaan terhadap layanan telekomunikasi masih cukup besar untuk diberikan oleh semua operator telekomunikasi yang ada.
Tantangan? Bagaimanapun, suka atau benci, sadar atau tidak tahu, telekomunikasi sudah beralih rupa menjadi komoditas. Namun demikian, perlakuan penyediaan layanan telekomunikasi hanya dengan pendekatan bisnis tidak tepat. Masih banyak wilayah dan penduduk Indonesia yang membutuhkan “bantuan” hingga mampu memiliki “kebutuhan” terhadap telekomunikasi. Konflik kepentingan semacam ini perlu dijembatani oleh pembuat kebijakan dengan menyatakan bahwa untuk daerah – daerah tertentu, seperti misalnya kawasan tertinggal, daerah perbatasan, daerah terpencil, penyediaan layanan telekomunikasi menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam pelaksanaannya bisa saja diserahkena ke swasta atau BUMN, namun karena masih merugi sehingga pemerintah memberikan subsidi.
Tantangan lain? Masih banyak, khususnya bagi operator yang masuk ke pasar relatif belakangan, seperti 3 (baca: three) dan Axis. Mereka berdua masuk ke layanan GSM dan 3G ketika pasar sudah dikuasai oleh 3 pemain besar Telkomsel, Indosat dan XL. Tantangan pertama bagi kedua operator pendatang baru ini sudah terlewati, seperti mendapatkan interkoneksi dari semua operator lainnya, tantangan kedua juga sudah berhasil diatasi, ketika kedua operator baru ini mulai memasuki pasar dan memperkenalkan produk mereka dengan tarif yang lebih murah dari para pendahulunya. 2010 akan menjadi tahun penentu bagi kedua 3 dan Axis, apakah masing-masing sanggup meraih 10 juta pelanggan setia. Dengan layanan yang tidak berbeda dari para pesaingnya, tidak ada perbedaan signifikan segmentasi pasar yang disasar, serta wilayah jangkauan yang sama (nasional) maka hanya tersisa strategi perusahaan yang akan membedakan dua perusahaan ini dari golongan kalah atau menang. Jika kalah, maka saya perkirakan, merger dan akuisisi akan terjadi di 2011.
Apakah ketatnya persaingan di sektor ini akan memunculkan tren merger atau bahkan akuisisi?
Pembicaraan merger dan akuisisi antara dua operator telekomunikasi dengan teknologi yang sama (CDMA) sudah terjadi sejak tengah tahun 2009, sampai wawancara ini ditulis, transaksi belum terjadi. Jika segala sesuatunya lancar, awal 2010 akan diwarnai oleh bergabungnya dua operator CDMA. Atau jika sampai dengan tengah tahun 2010 berita merger dua operator CDMA ini tidak muncul, maka salah satu atau keduanya sudah diakuisisi oleh investor yang berbeda. Yang hampir pasti, kedua operator CDMA ini memerlukan “pertolongan” atau darah segar dari pemilik baru.
Untuk operator selular yang berbasis GSM dan 3G, profile knerjanya agak berbeda. Tiga operator besar (Telkomsel, Indosat dan XL) rasanya tidak ada perubahan dalam susunan pemilik saham. Hal ini dapat dimengerti karena motivasi pemegang saham lebih pada perluasan usaha serupa mereka di negerinya masing-masing, dan mereka mudah-mudahan bukan tergolong investor yang jangkauan wawasannya pendek. Ketiga operator sellular tersebut relatif sudah stabil, tinggal mengembangkan layana dan mempertahankan diri jika sewaktu-waktu terjadi goncangan pasar. Merger dua atau lebih operator selular berbasis GSM dan 3G keliatannya tidak terjadi di 2010, tetapi ada kemungkinan terjadi di tahun 2011. Itupun dengan asumsi kedua pendatang baru operator GSM/3G tersebut gagal mencapai moment perubahan pada kuartal 4 tahun 2010.
Akuisisi operator selular terhadap perusahaan pendukung atau penyedia jasa nilai tambah, ada kemungkinan akan terjadi lagi, setelah tahu 2008 dilakukan oleh Telkom terhadap Sigma. Motivasi akuisisi semacam ini lebih pada sinergi penyediaan aplikasi pendukung operasional seperti penyediaan aplikasi billing, ERP. SCM, dan atau CRM. Lebih jauh, akuisisi yang mungkin akan terjadi dimaksudkan untuk komplemen terhadap infrastruktur telekomunikasi yang sudah dimiliki. Dengan demikian, ke depan operator telekomunikasi tidak hanya menjual layanan konvensional suara dan data (akses Internet) namun juga melayani jasa nilai tambah seperti fasilitasi transaksi dan pembayaran secara elektronik, penyedia konten, jasa konsultasi ICT dan lain sebagainya yang semuanya memanfaatkan kompetensi dan sumber daya yang sudah dimiliki. Jadi hal ini semacam ekstensifikasi pemanfaatan sumber daya perusahaan.
Tahun 2010 saya perkirakan tidak banyak perubahan dari tahun 2009. Mengapa demikian? Pertama, dari aspek teknologi, tidak ada implementasi teknologi baru. 2G sudah mencapai maturity, 3G secara teknologi sudah terpasang tinggal diupayakan penyebar-luasan basis pelanggan. Untuk teknologi selular lain seperti CDMA, profile-nya juga sama, sudah terpasang tinggal peningkatana pentrasi pasar. Jikapun ada perubahan, akan terjadi pada peningkatan kapasitas jaringan tulang punggung (backbone) khususnya di wilayah Indonesia bagian timur yang pada bulan Oktober ini mulai dipasang jaringan serat optik. Selain itu, tender Wimax di pertengahan tahun 2009, kemungkinan sudah ada perusahaan pemenang tender yang mulai menawarkan layanan. Inipun dengan catatan, apabila secara komersial layak dioperasionalkan mengingat, ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang menjadi syarat utama, sementara kemampuan manufaktur dalam negeri bisa jadi belum mampu memenuhi permintaan pasar, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Kedua, dari aspek regulasi, saya memperkirakan peluang terjadi perubahan dalam regulasi telekomunikasi relatif kecil. Regulasi signifikan seperti pengaturan tarif, interkoneksi, standarisasi peralatan, USO, frekuensi, dan perizinan sudah dibuat pada tahun 2009 ke belakang, dan secara substansial sudah mencukupi sebagai syarat dalam industri telekomunikasi yang kompetitif. Khusus tentang perizinan, suatu aspek yang sangat berpengaruh terhadap struktur industri, arahnya akan berubah, tidak lagi satu izin untuk satu jenis layanan seperti sekarang ini, namun mengarah ke satu izin untuk berbagai layanan (universal licensing = UL). Saya perkirakan sepanjang tahun 2010 diskursus kebijakan dan regulasi telekomunikasi akan diwarnai oleh topik UL ini. Hal ini dapat dimaklumi, karena Indonesia mulai memasuki tahap pendewasaan dalam era kompetisi, yang mensyaratkan pengelolaan sumberdaya telekomunikasi secara efisien dan efektif.
Masih terkait aspek regulasi, buntut dari kebijakan menteri Kominfo yang terbit di awal tahun 2008 tentang penggunaan bersama menara telekomunikasi masih akan eksis hingga akhir tahun 2010. Sepanjang tahun 2009, industri telekomunikasi khususnya layanan selular bergerak mendapat “musuh bersama” ketika muncul Perda-perda yang menolak pemberian izin baru pendirian menara telekomunikasi, bahkan di Kabupaten Badung, menara telekomunikasi yang semual memiliki IMB dirobohkan oleh Pemda, hanya karena Pemda telah bekerja-sama secara monopoli dengan suatu perusahaan penyedia menara telekomunikasi. Saya perkirakan “fenomena Badung” masih akan terulang oleh pemerintah daerah yang badung. Yang menarik, ternyata di balik tindakan badung beberapa pemertintah daerah, ada pengusaha yang berperan sebagai aktor intelektual. Sayangnya pengusaha semacam ini takut berkompetisi, sehingga mereka menggunakan tameng para pejabat daerah yang dalam beberapa hal, dapat dibodohi oleh pengusaha semacam ini.
Masih terkait aspek regulasi dan kebijakan, jika struktur Departemen Kominfo berubah, saya perkirakan karakter industri telekomunikasi Indonesia akan terpengaruh, dan apabila masa transisi pembuat kebijakan regulator ini tidak dikelola dengan baik, ada kemungkinan dapat menggoyahkan keyakinan investor, atau malah dapat menurunkan kualitas layanan. Dari rancangan struktur Kominfo yang saya terima tenagh bulan Spetember 2009, tidak terlihat posisi badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang jelasa dan tegas, sehingga eksistensinya masih menjadi tanda tanya besar.
Ketiga, dari aspek bisnis, persaingan harga akan semakin ketat. Namun demikian, saya menduga, para eksekutif telekomunikasi akan lebih bijak dalam bersaing. Belajar dari tahun – tahun lalu, persaingan tajam yang saling memprovokasi harga hanya berujung pada penurunan keuntungan. Sementara, loyalitas pelanggan yang meningkatkan value perusahaan susah tercapai lantaran mudahnya berganti-ganti nomor serta “berhasilnya” program provokasi harga.
Bisnis data dan akses Internet secara mobil yang mulai ditawarkan operator sejak awal 2008 (setelah infrastruktur 3G terpasang) dan mulai menanjak pada 2009, pada 2010 akan menemui tantangan persaingan dari operator Broadband Wireless Access (BWA) yang menggunakan Wimax. Memang lisensi BWA yang ditenderkan pada Mei 2009 untuk jenis layanan nomadic alias tetap (fixed) namun dapat bergerak selagi masih berada dalam jangkauan Base Transceve System (BTS) dan ketika pergerakan melewati batas jangkauan (coverage) pengguna harus menyambung kembali hubungan yang terputus. Mengingat apabila hanya mengandalkan layanan nomadic daya tariknya diperkirakan relatif rendah, maka saya menduga pemegang lisensi BWA akan mulai “memperkenalkan” secara diam-diam layanan mobile BWA, hal ini karena secara teknologi memungkinkan.
Masih dalam aspek bisnis, mulai maraknya layanan broadband internet access baik menggunakan teknologi EDGE, GPRS, 3g maupun Wimax, lazimnya akan menuntut ketersediaan konten. Tanpa konten, ibarat jalan raya yang dapat dilalui kendaraan berkecepatan tinggi, mobil sudah mampu melaju dengan kecepatan tinggi, namun tidak ada penumpang di dalamnya. Bicara konten, produk asing yang sudah terkenal oleh masyarakat penggunan perangkat ICT di Indonesia ada banyak sekali, salah satu contohnya facebook. Dari segi ini mestinya ketersediaan konten sudah tidak perlu diragukan lagi, orang asing luar negeri sudah banyak yang membuatnya, tinggal gunaka saja, gratis. Persoalannya, dari yang tersedia banyak ini, porsi konten produksi dalam negeri masih sangat sedikit, untuk menggantikan kata tidak ada yang meraih sukses pasar di negeri sendiri. Padahal, bisnis konten mestinya memberi nilai tambah yang cukup besar bagi bisnis telekomunkasi. Kalaupun ada konten prosuksi dalam negeri lebih banyak yang ecek-ecek, dan banyak pihak merasa dirugikan karena mengikuti layanan nilai tambah seperti sms berhadiah, sms ramalan, dan lain sebagainya.
Apa saja yang menjadi peluang dan tantangan sektor ini di tahun depan?
Peluang? Masih banyak daerah di wilayah Indonesia yang belum terjangkau layanan telekomunikasi baik untuk suara maupun data. Sementara, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tahu manfaat telekomunikasi. Artinya permintaan terhadap layanan telekomunikasi masih cukup besar untuk diberikan oleh semua operator telekomunikasi yang ada.
Tantangan? Bagaimanapun, suka atau benci, sadar atau tidak tahu, telekomunikasi sudah beralih rupa menjadi komoditas. Namun demikian, perlakuan penyediaan layanan telekomunikasi hanya dengan pendekatan bisnis tidak tepat. Masih banyak wilayah dan penduduk Indonesia yang membutuhkan “bantuan” hingga mampu memiliki “kebutuhan” terhadap telekomunikasi. Konflik kepentingan semacam ini perlu dijembatani oleh pembuat kebijakan dengan menyatakan bahwa untuk daerah – daerah tertentu, seperti misalnya kawasan tertinggal, daerah perbatasan, daerah terpencil, penyediaan layanan telekomunikasi menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam pelaksanaannya bisa saja diserahkena ke swasta atau BUMN, namun karena masih merugi sehingga pemerintah memberikan subsidi.
Tantangan lain? Masih banyak, khususnya bagi operator yang masuk ke pasar relatif belakangan, seperti 3 (baca: three) dan Axis. Mereka berdua masuk ke layanan GSM dan 3G ketika pasar sudah dikuasai oleh 3 pemain besar Telkomsel, Indosat dan XL. Tantangan pertama bagi kedua operator pendatang baru ini sudah terlewati, seperti mendapatkan interkoneksi dari semua operator lainnya, tantangan kedua juga sudah berhasil diatasi, ketika kedua operator baru ini mulai memasuki pasar dan memperkenalkan produk mereka dengan tarif yang lebih murah dari para pendahulunya. 2010 akan menjadi tahun penentu bagi kedua 3 dan Axis, apakah masing-masing sanggup meraih 10 juta pelanggan setia. Dengan layanan yang tidak berbeda dari para pesaingnya, tidak ada perbedaan signifikan segmentasi pasar yang disasar, serta wilayah jangkauan yang sama (nasional) maka hanya tersisa strategi perusahaan yang akan membedakan dua perusahaan ini dari golongan kalah atau menang. Jika kalah, maka saya perkirakan, merger dan akuisisi akan terjadi di 2011.
Apakah ketatnya persaingan di sektor ini akan memunculkan tren merger atau bahkan akuisisi?
Pembicaraan merger dan akuisisi antara dua operator telekomunikasi dengan teknologi yang sama (CDMA) sudah terjadi sejak tengah tahun 2009, sampai wawancara ini ditulis, transaksi belum terjadi. Jika segala sesuatunya lancar, awal 2010 akan diwarnai oleh bergabungnya dua operator CDMA. Atau jika sampai dengan tengah tahun 2010 berita merger dua operator CDMA ini tidak muncul, maka salah satu atau keduanya sudah diakuisisi oleh investor yang berbeda. Yang hampir pasti, kedua operator CDMA ini memerlukan “pertolongan” atau darah segar dari pemilik baru.
Untuk operator selular yang berbasis GSM dan 3G, profile knerjanya agak berbeda. Tiga operator besar (Telkomsel, Indosat dan XL) rasanya tidak ada perubahan dalam susunan pemilik saham. Hal ini dapat dimengerti karena motivasi pemegang saham lebih pada perluasan usaha serupa mereka di negerinya masing-masing, dan mereka mudah-mudahan bukan tergolong investor yang jangkauan wawasannya pendek. Ketiga operator sellular tersebut relatif sudah stabil, tinggal mengembangkan layana dan mempertahankan diri jika sewaktu-waktu terjadi goncangan pasar. Merger dua atau lebih operator selular berbasis GSM dan 3G keliatannya tidak terjadi di 2010, tetapi ada kemungkinan terjadi di tahun 2011. Itupun dengan asumsi kedua pendatang baru operator GSM/3G tersebut gagal mencapai moment perubahan pada kuartal 4 tahun 2010.
Akuisisi operator selular terhadap perusahaan pendukung atau penyedia jasa nilai tambah, ada kemungkinan akan terjadi lagi, setelah tahu 2008 dilakukan oleh Telkom terhadap Sigma. Motivasi akuisisi semacam ini lebih pada sinergi penyediaan aplikasi pendukung operasional seperti penyediaan aplikasi billing, ERP. SCM, dan atau CRM. Lebih jauh, akuisisi yang mungkin akan terjadi dimaksudkan untuk komplemen terhadap infrastruktur telekomunikasi yang sudah dimiliki. Dengan demikian, ke depan operator telekomunikasi tidak hanya menjual layanan konvensional suara dan data (akses Internet) namun juga melayani jasa nilai tambah seperti fasilitasi transaksi dan pembayaran secara elektronik, penyedia konten, jasa konsultasi ICT dan lain sebagainya yang semuanya memanfaatkan kompetensi dan sumber daya yang sudah dimiliki. Jadi hal ini semacam ekstensifikasi pemanfaatan sumber daya perusahaan.
Perbaikan Jalan: Bodoh, Cuek, atau Korupsi?
Aku tinggal di Rempoa sudah hampir 20 tahun. Selama itu pula jalan raya Rempoa rasanya tidak permah atau jarang sekali mulus dalam tempo lama. Saya katakan "lama" untuk ukuran jalan tentu dalam kurun tahun, dua tahun lah paling tidak. dari catatan dan ingatan, usia jalan mulus paling lama dua sampai tiga bulan, sesudah itu jalan akan mulau berlubang lagi, untuk beberapa bulan dan tahun. begitu seterusnya,
Ada beberapa ruas jalan yang oleh warga diurug dengan sisa reruntuhan bahan bangunan, atau bahkan di-semen, namun hasilnya sama saja, tetap akan berlubang lagi. di ruas jalan masuk dari jalan raya ke komplek perumahan di mana kami tinggal, seingat saya sejak tahun 1991 sampai sekaranghanya diaspal satu kali saja. menjelang pilkada bupati tangerang di bagian depan sepanjang kurang lebih 30 meter diaspal halus. sisanya sepanjang 500 meter tetap saja dibiarkan berlubang, menahan laju ratusan kendaraan (termasuk truk tanah yang sedang mengurug situ untuk dijadikanperluasan sebuah komplek perumahan di atas lokas perumahan di mana kami tinggal), rus jalan ini sering dipakai parkir metromini, truck tanki atau bis yang entah siapa yang punya. semakin hari semakin merata lubang sehingga susah dibedakan mana jaan halus mana lubang kerana semuanya tiada lagi yang rata nan halus.
kembali ke jalan raya, dari arah pertigaaan situ gintung, sekitar dua tahun lalu ada tiga ruas jalan yang ditinggikan dengan disemen. ruas pertama tidak jauh dari pertigaan situ gintung sepanjang kurang lebih 100 meter, setelah ruas pertama ini jalan aspal kembali seperti tiada perubahan. ruas kedua, juga disemen, mulai dari pertigaan Mabad hingga ujung utara tembok Sandratex, kurang lebih sepanjang 400 meter, sesudah itu jaan kembali berlobang, besar dan jika hujan air tergenang mirip kubangan kerbau. ruas ketiga hanya sekitar 50 meter setelah klinik panti nugraha hingga bakmi rempoa. tiga ruas ini sebelumnya senantiasa berlobang, setelah dibeton terlihat agak lumayan. permasalahan yang masih tersisa di dibiarkan tetap menjadi masalah adalah pada tanjakan dan turunan ke dan dari jalan beton tersebut yang cukup terjal dan tidak ada tanda - tanda dibuat landai secara permanen. setiap kali mobil akan memasuki ruas jalan betin ini, setidaknya perlu memperlambat jalan dan meletakkan ban sedemikian rupa agar bagian bawah mobil tidak membentur muka jalan. di antara ketiga ruas ini, jalan tetap berlobang.
beberapa minggu belakangan ini, terlihat ada kegiatan perbaikan jalan, ruas jalan dari masjid Al Falah rempoa yang tidak jauh dari ujung tembok Sandratex ditinggikan dengan dibeton. pembetonan hingga minggu siang ini sudah sampai mulut pertigaan jalan Delima jaya. namun itupun baru di sisi barat. di satu sisi kami - warga - menyambut gembira atas upaya pemerintah daerah memperbaiki jalan rempoa raya ini. namun di pihak lain, kami sedih, geleng-geleng kepala, tidak ngerti apa yang dikehendaki atau yang dipikirkan oleh kontraktor yang memborong pembetonan jalan tersebut.
mengapa demikian? frekuensi lalu lintas jalan rempoa raya cukup padat, terutama di pagi, sore hingga malam, bahkan pada hari libur. jalan rempoa raya merupakan jalan penghubung dan atau jalan alternatif bagi kendaraan dari arah ciputat menuju kebayoran. selain itu di sepanjang jalan rempoa raya, veteran hingga tanah kusir sekarangini sudah banyak sekali komplek perumahan, yang semuanya menggunakan jalan raya rempoa untuk menuju jakarta dan atau daerah lain di luar rempoa. frekuensi lalu lintas yang padat ini rupanya tidak dimengerti atau setidaknya diantisipasi oleh pemborong pembetonan jalan. buktinya?
beberapa hari sebelum proyek di mulai, beberapa orang menaruh macadam (batu pecah) di pinggir hingga separuh badan jalan, tindakan tersebut tentu saja menyempitkan badan jalan dan menghambat arus lalu lintas dari dua arah. antrian panjang hinga satu kilometer setiap pagi menjadi pemandangan lazim, tanpa ada yang merasa bersalah. tidak lama setelah penimbunan macadam di pinggir dan badan jalan, mulailah petugas memasang cetakan beton dan meratakan batu-bat tersebut. praktis hanya separuh badan jalan yang dapat digunakan selama pengecoran.
masalah muncul ketika pengecorang jalan berhenti tepat di mulut pertigaan jalan delima raya. konstruksi jalan beton yang tebalnya hingga 20 centimeter dan tepat di mulut pertigaan membuat kendaraan dari jalan delima yang akan berbelok ke kanan atau kendaraan dari arah situ gintung yang akan belok kiri ke jalan delima tidak bisa keluar masuk lantaran perbedaan ketinggian badan jalan tidak dibuatkan penghubung atau pelandai jalan. selain itu kendaraan yang akan masuk atau keluar jaan delima juga mesti antri satu persatu dengan memasuki halaman parkir toko 69 yang terpaksa mencabut tiang pembatas agar halamannya dapat diliwati mobil.
sejak pembetonan berhenti dan setiap kali saya keluar masuk jalan delima selalau tanya di dalam benak muncul. "sampai kapan pembetonan ini akan dibuat selesai?, sampai ujung mana jalan beton ini akan berakhir? siapa yang merancang pekerjaan seperti ini? insinyurkah, atau hanya tukang yang tidak pernah sekolah sama sekali? jika insinyur kenapa bodoh benar? ya bodoh karena tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa jalan raya itu untuk kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi. tujuannya membangun, namun dalam prosesnya menyengsarakan rakyat. lebih jauh lagi, kenapa pembangunannya berhenti, jalan, berhenti, jalan, on-off-on-off seperti nyala lampu lalu lintas.
sampai kapan model pembangunan jalan semacam ini akan tuntas? sampai kapan kami pembayar pajak akan "dirajakan" oleh pengelola uang rakyat? lebih jauh lagi saya sering membatin, bagaimana mau kompetitif? bagaimana mau maju? bagaimana mau mengalahkan negara - negara lain? bagaimana mau modern? bagaimana mau menguasai teknologi tinggi? lha wong memperbaiki jalan yang teknologinya rendah saja membuat sengsara rakyat.....
Ada beberapa ruas jalan yang oleh warga diurug dengan sisa reruntuhan bahan bangunan, atau bahkan di-semen, namun hasilnya sama saja, tetap akan berlubang lagi. di ruas jalan masuk dari jalan raya ke komplek perumahan di mana kami tinggal, seingat saya sejak tahun 1991 sampai sekaranghanya diaspal satu kali saja. menjelang pilkada bupati tangerang di bagian depan sepanjang kurang lebih 30 meter diaspal halus. sisanya sepanjang 500 meter tetap saja dibiarkan berlubang, menahan laju ratusan kendaraan (termasuk truk tanah yang sedang mengurug situ untuk dijadikanperluasan sebuah komplek perumahan di atas lokas perumahan di mana kami tinggal), rus jalan ini sering dipakai parkir metromini, truck tanki atau bis yang entah siapa yang punya. semakin hari semakin merata lubang sehingga susah dibedakan mana jaan halus mana lubang kerana semuanya tiada lagi yang rata nan halus.
kembali ke jalan raya, dari arah pertigaaan situ gintung, sekitar dua tahun lalu ada tiga ruas jalan yang ditinggikan dengan disemen. ruas pertama tidak jauh dari pertigaan situ gintung sepanjang kurang lebih 100 meter, setelah ruas pertama ini jalan aspal kembali seperti tiada perubahan. ruas kedua, juga disemen, mulai dari pertigaan Mabad hingga ujung utara tembok Sandratex, kurang lebih sepanjang 400 meter, sesudah itu jaan kembali berlobang, besar dan jika hujan air tergenang mirip kubangan kerbau. ruas ketiga hanya sekitar 50 meter setelah klinik panti nugraha hingga bakmi rempoa. tiga ruas ini sebelumnya senantiasa berlobang, setelah dibeton terlihat agak lumayan. permasalahan yang masih tersisa di dibiarkan tetap menjadi masalah adalah pada tanjakan dan turunan ke dan dari jalan beton tersebut yang cukup terjal dan tidak ada tanda - tanda dibuat landai secara permanen. setiap kali mobil akan memasuki ruas jalan betin ini, setidaknya perlu memperlambat jalan dan meletakkan ban sedemikian rupa agar bagian bawah mobil tidak membentur muka jalan. di antara ketiga ruas ini, jalan tetap berlobang.
beberapa minggu belakangan ini, terlihat ada kegiatan perbaikan jalan, ruas jalan dari masjid Al Falah rempoa yang tidak jauh dari ujung tembok Sandratex ditinggikan dengan dibeton. pembetonan hingga minggu siang ini sudah sampai mulut pertigaan jalan Delima jaya. namun itupun baru di sisi barat. di satu sisi kami - warga - menyambut gembira atas upaya pemerintah daerah memperbaiki jalan rempoa raya ini. namun di pihak lain, kami sedih, geleng-geleng kepala, tidak ngerti apa yang dikehendaki atau yang dipikirkan oleh kontraktor yang memborong pembetonan jalan tersebut.
mengapa demikian? frekuensi lalu lintas jalan rempoa raya cukup padat, terutama di pagi, sore hingga malam, bahkan pada hari libur. jalan rempoa raya merupakan jalan penghubung dan atau jalan alternatif bagi kendaraan dari arah ciputat menuju kebayoran. selain itu di sepanjang jalan rempoa raya, veteran hingga tanah kusir sekarangini sudah banyak sekali komplek perumahan, yang semuanya menggunakan jalan raya rempoa untuk menuju jakarta dan atau daerah lain di luar rempoa. frekuensi lalu lintas yang padat ini rupanya tidak dimengerti atau setidaknya diantisipasi oleh pemborong pembetonan jalan. buktinya?
beberapa hari sebelum proyek di mulai, beberapa orang menaruh macadam (batu pecah) di pinggir hingga separuh badan jalan, tindakan tersebut tentu saja menyempitkan badan jalan dan menghambat arus lalu lintas dari dua arah. antrian panjang hinga satu kilometer setiap pagi menjadi pemandangan lazim, tanpa ada yang merasa bersalah. tidak lama setelah penimbunan macadam di pinggir dan badan jalan, mulailah petugas memasang cetakan beton dan meratakan batu-bat tersebut. praktis hanya separuh badan jalan yang dapat digunakan selama pengecoran.
masalah muncul ketika pengecorang jalan berhenti tepat di mulut pertigaan jalan delima raya. konstruksi jalan beton yang tebalnya hingga 20 centimeter dan tepat di mulut pertigaan membuat kendaraan dari jalan delima yang akan berbelok ke kanan atau kendaraan dari arah situ gintung yang akan belok kiri ke jalan delima tidak bisa keluar masuk lantaran perbedaan ketinggian badan jalan tidak dibuatkan penghubung atau pelandai jalan. selain itu kendaraan yang akan masuk atau keluar jaan delima juga mesti antri satu persatu dengan memasuki halaman parkir toko 69 yang terpaksa mencabut tiang pembatas agar halamannya dapat diliwati mobil.
sejak pembetonan berhenti dan setiap kali saya keluar masuk jalan delima selalau tanya di dalam benak muncul. "sampai kapan pembetonan ini akan dibuat selesai?, sampai ujung mana jalan beton ini akan berakhir? siapa yang merancang pekerjaan seperti ini? insinyurkah, atau hanya tukang yang tidak pernah sekolah sama sekali? jika insinyur kenapa bodoh benar? ya bodoh karena tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa jalan raya itu untuk kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi. tujuannya membangun, namun dalam prosesnya menyengsarakan rakyat. lebih jauh lagi, kenapa pembangunannya berhenti, jalan, berhenti, jalan, on-off-on-off seperti nyala lampu lalu lintas.
sampai kapan model pembangunan jalan semacam ini akan tuntas? sampai kapan kami pembayar pajak akan "dirajakan" oleh pengelola uang rakyat? lebih jauh lagi saya sering membatin, bagaimana mau kompetitif? bagaimana mau maju? bagaimana mau mengalahkan negara - negara lain? bagaimana mau modern? bagaimana mau menguasai teknologi tinggi? lha wong memperbaiki jalan yang teknologinya rendah saja membuat sengsara rakyat.....
Sunday, October 04, 2009
UU Rahasia Negara: Perlu atau Tidak?
bincang ngomong soal UU Rahasia Negara (dan UU lainnya) yang menuai banyak keberatan oleh berbagai kalangan khususnya sahabat pers, saya yang awam urusan ini, jadi berpikir, apa ya kira - kira solusinya?
1. apakah tidak perlu ada uu rahasia negara?
2. jika perlu, mengapa perlu? jika tidak perlu, mengapa tidak perlu?
3. jika perlu, siapa yang dirugikan? siapa yang diuntungkan?
4. jika tidak perlu, siapa juga yang dirugikan dan yang diuntungkan?
sekarang sudah hampir menjadi UU, dan dianggap (akan) menghambat kegiatan pers, demokrasi, dan lain sebagainya. jadi pertanyaannya
5. apakah perlu di-stop? agar tidak disahkan sebagai UU.
6. jika mau di-stop, apa ada dan perlu UU sejenis yang menggantikannya?
7. jika tidak bisa di-stop, apakah pasal - pasal yang dianggap akan merugikan masyarakat masih bisa diubah?
8. jika tetap akan disahkan, seberapa besar kekhawatiran sementara pihak akan terwujud?
lantas, jika kita menukik kepada UU,
9. adakah UU yang di dalamnya tidak ada sanksi atau hukuman pidananya?
10. jadi bagaimana sebaiknya isi UU Rahasia Negara itu (yang dianggap tidak membahayakan masyarakat)?
11. jika tidak berisi ancaman pidana atau jenis hukuman lainnya, apakah masih layak disebut UU?
12. jika tidak mengatur dan membatasi runag gerak masyarakat atas suatu kegiatan tertentu, masihkah dapat disebut peraturan publik (UU sebagai wujud peraturan publik)?
saya juga penasaran, dan sedang mencari jawabnya:
13. adakah UU (bukan UUD) yang menyenangkan (satisfy) semua stakeholders dalam entitas negara/bangsa?
14. jika ada, bolehkah diberi contohnya? di mana (negara mana)? uu tentang apa?
15. jika tidak ada, lantas siapa yang boleh dirugikan paling banyak/besar? (politisi, kelompok tertentu, masyarakat luas, dlsb).
16, jika ada yang dirugikan, mengapa mesti dibuat rugi? bukankah bernegara dan berbangsa itu dimaksudkan untuk kemaslahatan bersama?
17. jika da yang dirugikan, benarkah yang diuntungkan menerima benefit nyata dari UU yang dibuat khusus untuk itu?
demikianlah kawan, pertanyaan orang awam bin bodoh dari saya, mudah-mudahan ada yang berkenan menjawab dan memberi pencerahan kepadaku.
kalau hanya mengumpat, mengeluh, memprotes, menolak, rasanya banyak yang bisa melakukannya, namun memberi jalan keluar, mengajukan solusi konkret dan sekaligus memberi contoh melaksanakannya, rasanya hanya para pemimpin sejati yang bisa memberikannya. Anda termasuk yang mana?
1. apakah tidak perlu ada uu rahasia negara?
2. jika perlu, mengapa perlu? jika tidak perlu, mengapa tidak perlu?
3. jika perlu, siapa yang dirugikan? siapa yang diuntungkan?
4. jika tidak perlu, siapa juga yang dirugikan dan yang diuntungkan?
sekarang sudah hampir menjadi UU, dan dianggap (akan) menghambat kegiatan pers, demokrasi, dan lain sebagainya. jadi pertanyaannya
5. apakah perlu di-stop? agar tidak disahkan sebagai UU.
6. jika mau di-stop, apa ada dan perlu UU sejenis yang menggantikannya?
7. jika tidak bisa di-stop, apakah pasal - pasal yang dianggap akan merugikan masyarakat masih bisa diubah?
8. jika tetap akan disahkan, seberapa besar kekhawatiran sementara pihak akan terwujud?
lantas, jika kita menukik kepada UU,
9. adakah UU yang di dalamnya tidak ada sanksi atau hukuman pidananya?
10. jadi bagaimana sebaiknya isi UU Rahasia Negara itu (yang dianggap tidak membahayakan masyarakat)?
11. jika tidak berisi ancaman pidana atau jenis hukuman lainnya, apakah masih layak disebut UU?
12. jika tidak mengatur dan membatasi runag gerak masyarakat atas suatu kegiatan tertentu, masihkah dapat disebut peraturan publik (UU sebagai wujud peraturan publik)?
saya juga penasaran, dan sedang mencari jawabnya:
13. adakah UU (bukan UUD) yang menyenangkan (satisfy) semua stakeholders dalam entitas negara/bangsa?
14. jika ada, bolehkah diberi contohnya? di mana (negara mana)? uu tentang apa?
15. jika tidak ada, lantas siapa yang boleh dirugikan paling banyak/besar? (politisi, kelompok tertentu, masyarakat luas, dlsb).
16, jika ada yang dirugikan, mengapa mesti dibuat rugi? bukankah bernegara dan berbangsa itu dimaksudkan untuk kemaslahatan bersama?
17. jika da yang dirugikan, benarkah yang diuntungkan menerima benefit nyata dari UU yang dibuat khusus untuk itu?
demikianlah kawan, pertanyaan orang awam bin bodoh dari saya, mudah-mudahan ada yang berkenan menjawab dan memberi pencerahan kepadaku.
kalau hanya mengumpat, mengeluh, memprotes, menolak, rasanya banyak yang bisa melakukannya, namun memberi jalan keluar, mengajukan solusi konkret dan sekaligus memberi contoh melaksanakannya, rasanya hanya para pemimpin sejati yang bisa memberikannya. Anda termasuk yang mana?
Kisah Nyata: Optimisme dan Pengeluh
Saya baru balik dari Kalimantan, kebetulan ada bisnis dengan BUMN Listrik Wilayah Kaltim (menyewakan generator pembangkit listrik). Dan kebetulan lagi, eh ternyata satu dari beberapa orang yang saya temui, adik kelas sewaktu sekolah di STM Pembangunan Semarang. Kisah di bawah ini, cerita nyata tentang Sukarno, adik kelas saya yang sekarang bekerja di BUMN tersebut cabang Kaltim, yang mungkin dari situ kita (terutama saya) bisa mengambil hikmahnya.
Ceritanya, 10 (tahun 1998) tahun lalu Karno masih jadi teknisi listrik di Pembangkit Listrik Tenaga Diesel yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN Kaltim. Suatu hari, ia ditugasi untuk service dan memperbaiki switchgear tegangan 20KV, berdua dengan rekan sejawatnya (sebutlah namanya Djoko). bersamaan dengan mereka berdua ada seorang siswa STM (sebut namanya Agus) yang sedang kerja praktek.
Setelah semua prosedur dilakukan, termasuk mematikan aliran listrik, melepas circuit breaker dan lain sebagainya sesuai dengan SOP yang berlaku, Karno masuk ke Cubical. Cubical ini masih model lama (warisan Belanda, yang tidak ada lampu otomatis menyala ketika pintu dibuka). Ketika Karno masuk ke cubical, Djoko mengawasi dari luar sambil memegangi lampu senter. Kondisi ruangan di dalam cubical agak gelap karena cahaya lampu terhalang oleh cable conduit dan Bus Bar 20KV. Rupanya Agus yang diperintahkan untuk menunggu tidak jauh dari cubical pengin tahu apa yang sedang dikerjakan oleh kedua orang ini, tanpa sepengetahuan Djoko dan Karno, Agus berjalan ke arah sisi lain dari cubical untuk melihat keduanya bekerja.
Tanpa disadari oleh Agus, di balik cubical di bagian atas ada batang besi penghantar (busbar) 20KV dari transformer menuju circuit breaker lainnya yang sedang life, dan karena posturnya yang tinggi, pas berdiri di belakang punggungnya Karno (yang sedang duduk di lantai cubical), Agus tersengat listrik 20KV. badan Agus menyentuh badan Karno, sehingga Karno ikut kena setrum.
Apa yang terjadi kemudian? badan Agus hangus, dengkul Karno menyentuh sisi cubical dan cubical setebal 4 mm jebol berlubang, pantat Karno hancur, muka, tangan dan sebagian besar badannya hangus. dua buah generator masing-masing berkapasitas 20MW trip, meskipun kejadian hanya berlangsun 3 seconda saja. Agus akhirnya meninggal setelah tiga hari dirawat di rumah sakit. Karno berhasil diselamatkan dan sampai sekarang masih bekerja di PLN Samarinda, posisinya saat ini Manager Unit Pembangkitan.
Apa yang membuat Karno berhasil sehat kembali? Selain karena kuasa Allah SWT, ternyata optimisme dan semangat hidup Karno tinggi sekali. Enam hari tidak sadarkan diri, dioperasi plastik sampai 11 kali, wajahnya direnovasi, diambil kulit dari sekujur bagian tubuh yang masih utuh. dirawat di rumah sakit selama 6 bulan, dan selama itu tidak pernah mengeluh sedikitpun. Awalnya anggota badan (kaki, dan tangan termasuk jari jemari) tidak bisa digerakkan. dengan semangat keras, Karno berusaha menggerakkan anggota badannya, meski - katanya - sakit sekali. teman-teman sekantor yang diwajibkan untuk menjagainya (karena waktu itu keluarga Karno masih di Semarang) tidak pernah mendengar sekalipun teriakan atau keluhan dari mulutnya. selama dua bulan sebelum dinyatakan boleh pulang dari rumah sakit, setiap saat Karno berlatih menggerakkan anggota badannya. Hasilnya, ketika sembuh, walau punggung masih bolong selebar bola pingpong (di bagian ini, Agus menyentuh badan Karno), dan kulit masih seperti sisik ikan, bekas luka bakar, namun sudah bisa berjalan dan memegang sesuatu dengan benar. Sampai sekarang Karno sehat wal afiat.
Selain cerita Karno, ada lagi cerita (sebutlah Imran) yang juga mengalami kesetrum listrik tegangan 20KV, namun tidak se-dramatis peristiwa Karno. ceritanya, Imran ditugasi membersihkan switchgear. Setelah menyapu lantai (jadi ingat waktu saya masih jadi electrician di Arjuna Sakti dan Quarters), Imran melihat panel breaker kotor. maka dengan maksud membersihkan, dia kibaskan kain ke panel tersebut. apa lacur, entah kenapa, sewaktu mengibaskan kain tersebut, tangannya tertarik ke panel dan kesetrumlah ia. tangan kanannya hingga muka bagian kanan hangus luka kesetrum listrik tegangan tinggi.
Imran dibawa ke rumah sakit, dirawat selama 4 bulan. selama perawatan lebih banyak menggerutu, mengeluh dan menyalahkan orang lain, serta yang kemudian berpengaruh sampai hari ini, dia tidak melakukan latihan seperti yang dilakukan oleh Karno. Walhasil, setelah luka bakarnya sembuh, jari - jari hingga lengan tangan kanan tidak bisa digerakkan, kaku dan - maaf - jadi bengkok seperti tangan Gareng. sekarang Imran masih bekerja tetapi sudah tidak bisa pulih seperti sebelumnya. mau pensiun usianya masih muda, tidak pensiun praktis sudah tidak produktif lagi. Pimpinan masih memberinya tugas sebagai tenaga pembantu administrasi.
Kisah nyata teman saya Karno dan Imran, membuka mata dan hati saya, ketika dihadapkan pada suasana tidak menguntungkan atau sangat sulit, optimisme dan kerja nyata (latihan yang dilakukan oleh Karno) pada akhirnya memberi hasil lebih bagus dari pada hanya mengeluh, menyalahkan orang lain, berdiam diri, hanya menerima nasib (seperti yang dilakukan oleh Imran).
Ceritanya, 10 (tahun 1998) tahun lalu Karno masih jadi teknisi listrik di Pembangkit Listrik Tenaga Diesel yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN Kaltim. Suatu hari, ia ditugasi untuk service dan memperbaiki switchgear tegangan 20KV, berdua dengan rekan sejawatnya (sebutlah namanya Djoko). bersamaan dengan mereka berdua ada seorang siswa STM (sebut namanya Agus) yang sedang kerja praktek.
Setelah semua prosedur dilakukan, termasuk mematikan aliran listrik, melepas circuit breaker dan lain sebagainya sesuai dengan SOP yang berlaku, Karno masuk ke Cubical. Cubical ini masih model lama (warisan Belanda, yang tidak ada lampu otomatis menyala ketika pintu dibuka). Ketika Karno masuk ke cubical, Djoko mengawasi dari luar sambil memegangi lampu senter. Kondisi ruangan di dalam cubical agak gelap karena cahaya lampu terhalang oleh cable conduit dan Bus Bar 20KV. Rupanya Agus yang diperintahkan untuk menunggu tidak jauh dari cubical pengin tahu apa yang sedang dikerjakan oleh kedua orang ini, tanpa sepengetahuan Djoko dan Karno, Agus berjalan ke arah sisi lain dari cubical untuk melihat keduanya bekerja.
Tanpa disadari oleh Agus, di balik cubical di bagian atas ada batang besi penghantar (busbar) 20KV dari transformer menuju circuit breaker lainnya yang sedang life, dan karena posturnya yang tinggi, pas berdiri di belakang punggungnya Karno (yang sedang duduk di lantai cubical), Agus tersengat listrik 20KV. badan Agus menyentuh badan Karno, sehingga Karno ikut kena setrum.
Apa yang terjadi kemudian? badan Agus hangus, dengkul Karno menyentuh sisi cubical dan cubical setebal 4 mm jebol berlubang, pantat Karno hancur, muka, tangan dan sebagian besar badannya hangus. dua buah generator masing-masing berkapasitas 20MW trip, meskipun kejadian hanya berlangsun 3 seconda saja. Agus akhirnya meninggal setelah tiga hari dirawat di rumah sakit. Karno berhasil diselamatkan dan sampai sekarang masih bekerja di PLN Samarinda, posisinya saat ini Manager Unit Pembangkitan.
Apa yang membuat Karno berhasil sehat kembali? Selain karena kuasa Allah SWT, ternyata optimisme dan semangat hidup Karno tinggi sekali. Enam hari tidak sadarkan diri, dioperasi plastik sampai 11 kali, wajahnya direnovasi, diambil kulit dari sekujur bagian tubuh yang masih utuh. dirawat di rumah sakit selama 6 bulan, dan selama itu tidak pernah mengeluh sedikitpun. Awalnya anggota badan (kaki, dan tangan termasuk jari jemari) tidak bisa digerakkan. dengan semangat keras, Karno berusaha menggerakkan anggota badannya, meski - katanya - sakit sekali. teman-teman sekantor yang diwajibkan untuk menjagainya (karena waktu itu keluarga Karno masih di Semarang) tidak pernah mendengar sekalipun teriakan atau keluhan dari mulutnya. selama dua bulan sebelum dinyatakan boleh pulang dari rumah sakit, setiap saat Karno berlatih menggerakkan anggota badannya. Hasilnya, ketika sembuh, walau punggung masih bolong selebar bola pingpong (di bagian ini, Agus menyentuh badan Karno), dan kulit masih seperti sisik ikan, bekas luka bakar, namun sudah bisa berjalan dan memegang sesuatu dengan benar. Sampai sekarang Karno sehat wal afiat.
Selain cerita Karno, ada lagi cerita (sebutlah Imran) yang juga mengalami kesetrum listrik tegangan 20KV, namun tidak se-dramatis peristiwa Karno. ceritanya, Imran ditugasi membersihkan switchgear. Setelah menyapu lantai (jadi ingat waktu saya masih jadi electrician di Arjuna Sakti dan Quarters), Imran melihat panel breaker kotor. maka dengan maksud membersihkan, dia kibaskan kain ke panel tersebut. apa lacur, entah kenapa, sewaktu mengibaskan kain tersebut, tangannya tertarik ke panel dan kesetrumlah ia. tangan kanannya hingga muka bagian kanan hangus luka kesetrum listrik tegangan tinggi.
Imran dibawa ke rumah sakit, dirawat selama 4 bulan. selama perawatan lebih banyak menggerutu, mengeluh dan menyalahkan orang lain, serta yang kemudian berpengaruh sampai hari ini, dia tidak melakukan latihan seperti yang dilakukan oleh Karno. Walhasil, setelah luka bakarnya sembuh, jari - jari hingga lengan tangan kanan tidak bisa digerakkan, kaku dan - maaf - jadi bengkok seperti tangan Gareng. sekarang Imran masih bekerja tetapi sudah tidak bisa pulih seperti sebelumnya. mau pensiun usianya masih muda, tidak pensiun praktis sudah tidak produktif lagi. Pimpinan masih memberinya tugas sebagai tenaga pembantu administrasi.
Kisah nyata teman saya Karno dan Imran, membuka mata dan hati saya, ketika dihadapkan pada suasana tidak menguntungkan atau sangat sulit, optimisme dan kerja nyata (latihan yang dilakukan oleh Karno) pada akhirnya memberi hasil lebih bagus dari pada hanya mengeluh, menyalahkan orang lain, berdiam diri, hanya menerima nasib (seperti yang dilakukan oleh Imran).
taqwa hanya ada apabila ada iman, iman terwujud bila ada ikhtiar dan ikhlas
niatku hanya mau share apa yang kulihat semalam di televisi BBC Knowledge, dan beberapa buku yang kubaca hari-hari belakangan ini siapa tahu bermanfaat.
semalam di BBC Knowledge aku menyaksikan tayangan perjalanan seorang pendeta (pelayan umat) Kristen warga negara inggris yang sedang berupaya mencari Tuhan. Jones, demikian nama pria ini, sudah mengelana ke Cina untuk mendalami Theologi Budha, kemudian dia pergi ke India untuk "mencari" Tuhan sebagaimana dilakukan umat Hindu di India. tayangan semalam, dia pergi ke Mesir untuk menapak-tilasi, menirukan dan merasakan apa yang dahulu, 1800 tahun lalu, dilakukan oleh Saint (orang suci) Antonius dengan mengasingkan diri di gua di gurun pasir Mesir.
dari buku dan tayangan TV tersebut, saya kombinasikan, ada dua hal menarik yang menurut saya layak kita ketahui. pertama, jiwa manusia merupakan cermin dari eksistensi Tuhan Allah, jiwa manusia sebagai microcosmic sedangkan Allah dengan segala sifatnya merupakan marocosmic. cermin yang bersih, rata, dan bening akan memantulkan Nur-IIlahi yang bersifat baik, inilah tanda taqwa. sebaliknya cermin yang buram, legam dan tidak rata, tidak mampu memantulkan Nur-Illahi yang bersifat baik. Yang keluar dari cermin tersebut sebagian besar berupa cahaya hitam yang berasal dari sisi-sisi gelap alam (yang juga diciptakan oleh Tuhan Allah). Sampai di sini, saya berkesimpulan bahwa baik dan jahat keduanya berasal dari dzat tertinggi Maha Pencipta Alam.
manusia diciptakan dengan kesadaran nalar dan kemampuan berpikir. artinya, sama - sama makhluk, manusia diberi kebebasan untuk menentukan kualitas cermin jiwanya, apakah akan mengupayakan dirinya sebagai cermin bening atau legam. lantas apa yang mempengaruhi seseorang sehingga memiliki cermin yang berbeda-beda? jawabnya, Iman. Pertanyaannya, apakah Iman yang dimiliki seseorang itu diberi oleh Tuhan, atau terbangun karena upaya manusia itu sendiri? saya menduga, di dalam ruh atau jiwa manusia, sudah tertanam Iman, sejalan dengan perubahan fisik manusia, modal iman yang diberikan oleh Allah ini juga mengalami perubahan, ada yang semakin berkilat, halus, menguat dan bercahaya putih, ada juga yag tetap saja, atau ada pula yang berubah tidak berkilat, melainkan buram, hitam, kasar, bopeng, legam.
pertanyaan berikutnya, apakah yang buram, hitam, kasar, bopeng dan legam itu buruk, dan sebaliknya yang berklilat, halus dan bercahaya putih itu bagus? jawabnya tergantung di sisi mana kesadaran seseorang akan iman yang ada pada dirinya relatif terhadap orang lain itu berada. di sinilah barangkali titik singgung dengan teori relativitasnya Einstein. terlepas dari relativitas, yang masih perlu jawab adalah sebuah tanya teknis tentang bagaimana menggosok iman agar relative baik di mata manusia lain, dan secara mutlak bagus di hadapan sang Maha Mutlak Allah Azza Wajalla. Di sinilah berkah atau modal lain yang diberikan Allah perlu didaya-fungsikan. apa itu? tiada lain, Ikhtiar atau usaha dan Ikhlas atau sabar dan menerima sepenuh hati apa yang sudah menjadi hak dan kewajibannya. jadi taqwa hanya ada apabila ada iman, iman terwujud bila ada ikhtiar dan ikhlas.
hal kedua yang menurut saya menarik adalah, ketika ditayangkan ritual (tata cara) berdoa yang dilakukan oleh mereka (penganut Kristen Ortodok) yang masih setia mengikuti ajaran Kristiani sebagaimana diajarkan oleh Saint Antonius. Narasi menceritakan, St. Antonius adalah orang suci Kristiani pertama yang mengajarkan "pencarian Tuhan" dengan mengasingkan diri dari kerumunan manusia lain. Konon, biara seperti dikenal pada hari ini, yang mengawali adalah St. Antonius. Biara Kristen pertama di dunia ada di Mesir, yang sampai sekarang masih terawat dengan baik. diceritakan, sekarang ini ada sekitar 100-an rahib yang dengan setia menjalani hidup dalam kesunyian di bihara di tengah gurun pasir ini. walaupun terletak di tengah gurun, namun tanah di dalamnya subur, ada banyak bunga mawar dan berbagai tumbuhan lain terlihat hijau. yang menarik bagi saya, dan oleh karenanya saya sajikan di tulisan ini, dalam melakukan ritual berdoa, para rahib di dalam bihara ini mengerjakannya seperti orang Islam melakukan sholat. berdiri, mengangkat tangan, kemudian ruku' dan sujud. narasi menjelaskan bahwa cara berdoa seperti inilah yang dulu diajarkan oleh Saint Antonius mengikuti apa yang dia dapat dari Jesus. ditambahkan, Islam kemudian meng-adopt cara berdoa seperti ini, sementara penganut kristen modern sudah meningggalkannya.
di antara100-an orang pengikut Kristen Ortodoks ini ada satu orang yang tinggal sendirian (seorang diri) di dalam gua jauh terpisah dari yang lain. namanya Pastur Lazarus. dalam dialog antara Lazarus dengan Jones, Lazarus banyak mengajarkan ke-Tuhan-an, kedudukan manusia di hadapan Tuhan, hingga bagaimana berdoa. ternyata doa para rahib di bihara dan Lazarus menggunakan bahasa Arab (ini mungkin karena mereka warganegara Mesir), dan di-narasi-kan ke dalam bahasa Inggris, serta teks terjemahan dalam bahasa Indonesia yang persis sama dengan doa kita orang Islam, seperti misalnya "ya Allah ampuni kami."
jadi sementara ini saya membuat kesimpulan, yang semula berasal dari satu, perjalanan waktu membuatnya menjadi beragam dan berbeda, tujuannya untuk apa? agar di antara kita saling mengenal? kalau sudah saling kenal lalu apa? terjadi relasi. relasi ini salah satu bentuk ikhtiar. jika dilakukan dengan ikhlas akan menumbuhkan iman, dan bila iman sudah kuat akan membentuk taqwa. sedangkan taqwa itu tanda berterima kasih kepada Sang Pencipta. Oleh karena itu, kalau kita pada hari ini masih ribut soal perbedaan dengan kelompok lain, penganut agama lain, penganut paham lain dalam satu agama, dan sebagainya yang serba berbeda pada tataran ikhtiarnya (tata cara, ritual, hukum, syar'a adat, budaya, aturan, dlsb), maka, pada hemat saya, kita masih jauh dari mencapai target taqwa, berterima kasih kepada Sang Maha Pencipta.
semalam di BBC Knowledge aku menyaksikan tayangan perjalanan seorang pendeta (pelayan umat) Kristen warga negara inggris yang sedang berupaya mencari Tuhan. Jones, demikian nama pria ini, sudah mengelana ke Cina untuk mendalami Theologi Budha, kemudian dia pergi ke India untuk "mencari" Tuhan sebagaimana dilakukan umat Hindu di India. tayangan semalam, dia pergi ke Mesir untuk menapak-tilasi, menirukan dan merasakan apa yang dahulu, 1800 tahun lalu, dilakukan oleh Saint (orang suci) Antonius dengan mengasingkan diri di gua di gurun pasir Mesir.
dari buku dan tayangan TV tersebut, saya kombinasikan, ada dua hal menarik yang menurut saya layak kita ketahui. pertama, jiwa manusia merupakan cermin dari eksistensi Tuhan Allah, jiwa manusia sebagai microcosmic sedangkan Allah dengan segala sifatnya merupakan marocosmic. cermin yang bersih, rata, dan bening akan memantulkan Nur-IIlahi yang bersifat baik, inilah tanda taqwa. sebaliknya cermin yang buram, legam dan tidak rata, tidak mampu memantulkan Nur-Illahi yang bersifat baik. Yang keluar dari cermin tersebut sebagian besar berupa cahaya hitam yang berasal dari sisi-sisi gelap alam (yang juga diciptakan oleh Tuhan Allah). Sampai di sini, saya berkesimpulan bahwa baik dan jahat keduanya berasal dari dzat tertinggi Maha Pencipta Alam.
manusia diciptakan dengan kesadaran nalar dan kemampuan berpikir. artinya, sama - sama makhluk, manusia diberi kebebasan untuk menentukan kualitas cermin jiwanya, apakah akan mengupayakan dirinya sebagai cermin bening atau legam. lantas apa yang mempengaruhi seseorang sehingga memiliki cermin yang berbeda-beda? jawabnya, Iman. Pertanyaannya, apakah Iman yang dimiliki seseorang itu diberi oleh Tuhan, atau terbangun karena upaya manusia itu sendiri? saya menduga, di dalam ruh atau jiwa manusia, sudah tertanam Iman, sejalan dengan perubahan fisik manusia, modal iman yang diberikan oleh Allah ini juga mengalami perubahan, ada yang semakin berkilat, halus, menguat dan bercahaya putih, ada juga yag tetap saja, atau ada pula yang berubah tidak berkilat, melainkan buram, hitam, kasar, bopeng, legam.
pertanyaan berikutnya, apakah yang buram, hitam, kasar, bopeng dan legam itu buruk, dan sebaliknya yang berklilat, halus dan bercahaya putih itu bagus? jawabnya tergantung di sisi mana kesadaran seseorang akan iman yang ada pada dirinya relatif terhadap orang lain itu berada. di sinilah barangkali titik singgung dengan teori relativitasnya Einstein. terlepas dari relativitas, yang masih perlu jawab adalah sebuah tanya teknis tentang bagaimana menggosok iman agar relative baik di mata manusia lain, dan secara mutlak bagus di hadapan sang Maha Mutlak Allah Azza Wajalla. Di sinilah berkah atau modal lain yang diberikan Allah perlu didaya-fungsikan. apa itu? tiada lain, Ikhtiar atau usaha dan Ikhlas atau sabar dan menerima sepenuh hati apa yang sudah menjadi hak dan kewajibannya. jadi taqwa hanya ada apabila ada iman, iman terwujud bila ada ikhtiar dan ikhlas.
hal kedua yang menurut saya menarik adalah, ketika ditayangkan ritual (tata cara) berdoa yang dilakukan oleh mereka (penganut Kristen Ortodok) yang masih setia mengikuti ajaran Kristiani sebagaimana diajarkan oleh Saint Antonius. Narasi menceritakan, St. Antonius adalah orang suci Kristiani pertama yang mengajarkan "pencarian Tuhan" dengan mengasingkan diri dari kerumunan manusia lain. Konon, biara seperti dikenal pada hari ini, yang mengawali adalah St. Antonius. Biara Kristen pertama di dunia ada di Mesir, yang sampai sekarang masih terawat dengan baik. diceritakan, sekarang ini ada sekitar 100-an rahib yang dengan setia menjalani hidup dalam kesunyian di bihara di tengah gurun pasir ini. walaupun terletak di tengah gurun, namun tanah di dalamnya subur, ada banyak bunga mawar dan berbagai tumbuhan lain terlihat hijau. yang menarik bagi saya, dan oleh karenanya saya sajikan di tulisan ini, dalam melakukan ritual berdoa, para rahib di dalam bihara ini mengerjakannya seperti orang Islam melakukan sholat. berdiri, mengangkat tangan, kemudian ruku' dan sujud. narasi menjelaskan bahwa cara berdoa seperti inilah yang dulu diajarkan oleh Saint Antonius mengikuti apa yang dia dapat dari Jesus. ditambahkan, Islam kemudian meng-adopt cara berdoa seperti ini, sementara penganut kristen modern sudah meningggalkannya.
di antara100-an orang pengikut Kristen Ortodoks ini ada satu orang yang tinggal sendirian (seorang diri) di dalam gua jauh terpisah dari yang lain. namanya Pastur Lazarus. dalam dialog antara Lazarus dengan Jones, Lazarus banyak mengajarkan ke-Tuhan-an, kedudukan manusia di hadapan Tuhan, hingga bagaimana berdoa. ternyata doa para rahib di bihara dan Lazarus menggunakan bahasa Arab (ini mungkin karena mereka warganegara Mesir), dan di-narasi-kan ke dalam bahasa Inggris, serta teks terjemahan dalam bahasa Indonesia yang persis sama dengan doa kita orang Islam, seperti misalnya "ya Allah ampuni kami."
jadi sementara ini saya membuat kesimpulan, yang semula berasal dari satu, perjalanan waktu membuatnya menjadi beragam dan berbeda, tujuannya untuk apa? agar di antara kita saling mengenal? kalau sudah saling kenal lalu apa? terjadi relasi. relasi ini salah satu bentuk ikhtiar. jika dilakukan dengan ikhlas akan menumbuhkan iman, dan bila iman sudah kuat akan membentuk taqwa. sedangkan taqwa itu tanda berterima kasih kepada Sang Pencipta. Oleh karena itu, kalau kita pada hari ini masih ribut soal perbedaan dengan kelompok lain, penganut agama lain, penganut paham lain dalam satu agama, dan sebagainya yang serba berbeda pada tataran ikhtiarnya (tata cara, ritual, hukum, syar'a adat, budaya, aturan, dlsb), maka, pada hemat saya, kita masih jauh dari mencapai target taqwa, berterima kasih kepada Sang Maha Pencipta.
Menghadirkan Surga dan Neraka Selagi Masih Hidup Di Alam DUnia, Mungkinkah?
setiap umat beragama pasti percaya dan yakin akan eksistensi surga dan neraka. suatu "tempat" yang telah disediakan kelak ketika manusia sudah tiba di alam akhirat, alam kelanggengang. surga dijanjikan sebagai "tempat" yang diliputi kenikmatan, penuh pesona nan tiada tara. di pihak lain, neraka dijanjikan akan ditempati oleh mereka yang ketika masih hidup di alam dunia berperilaku jahat, ingkar kepada Tuhan.
sebagai anggota dari umat beragama, yang diberi karunia kemampuan berpikir, bernalar, saya seringkali berwacana pada diri sendiri, apakah untuk menyaksikan dan tinggal di surga atau neraka mesti menunggu sampai mati, jasad ditinggalkan oleh ruh, jasad masuk liang lahat, ruh pergi entah ke mana? jika begitu lama, dan demikian adanya, apakah hal ini tidak berarti bahwa surga dan neraka itu sebagai suatu tempat yang akan digunakan untuk menampung ruh kita? lalau kalau hanya dengan ruh, bagaimana kesadaran kita (sebagai wujud manusia) masih bisa merasakan nikmat surga dan atau siksa neraka? dalam keterbatasan kemampuan nalar, saya berpendapat, bahwa yang dapat merasakan nikmat dan siksa adalah raga (fisik) yang di dalam raga tersebut masih dihidupi oleh ruh atau nyawa.
ketika ruh atau nyawa sudah tidak menetap di raga, baik karena kondisi raga tidak mampu lagi mendukung eksistensi nyawa; atau raga masih sehat, kuat dan mampu, namun ruh atau nyawa sudah tidak menghendaki atau ditugasi (oleh Allah) lagi utuk meninggalkan raga. dalam kondisi seperti ini, disebut mati, dan raga tidak memiliki kemampuan lagi merasakan, sementara barangkali, nyawa atau ruh juga tidak punya alat lagi untuk merasakan suasana alam manusia.
dengan bermonolog seperti tersebut di atas, saya mereka-reka, mungkinkah surga dan neraka yang diajarkan kepada manusia, sebagai suatu konsep pencegahan dari pada penindakan. dalam tataran konsep, surga dan neraka itu sama saja, keduanya sebagai wahana untuk pembalasan baik dalam bentuk reward maupun punishment. yang membedakan hanyalah positioning-nya saja. surga diposisikan sebagai tempat penuh kenikmatan, kesenangan; di pihak lain neraka merujuk pada suatu tempat untuk penyiksaan, derita. namun sampai di sini pertanyaan kembali muncul bagian mana dari ke-manusia-an kita yang masih dapat merasakan nikmat dan atau siksa setelah jasad remuk hancur dimakan ulat.
selain itu, saya juga sering bermonolog. bukankah alam dan jagad raya itu representasi dari Allah? sama seperti ada sepatu tentu ada pembuatnya. sang pembuat kekuasaannya (power) tentu lebih dari yang dibuat. kalau tiada yang dibuat maka tiada pula yang membuat. premis dalam kalimat terakhir ini bisa jadi kurang kuat, karena bukankah bisa saja si pembuat dengan kuasaNya tidak mau membuat apa - apa. kenyataanya telah banyak tak terhitung materi yang dibuat oleh Sang Pembuat. artinya, walaupun premise-nya lemah, namun buktinya kuat. kenapa demikian? jawabnya, untuk membuktikan eksistensi Sang Pembuat. sama dengan manusia, Anda tidak pernah akan dikatakan pembuat sepatu bila tidak pernah membuat sepatu.
lantas, adakah Sang Pembuat berkeinginan menghancur-leburkan karyaNya? walau ada pelajaran yang menyatakan bahwa bumi dan alam raya akan hancur, dengan keberanian nalar saya mengartikannya berbeda. kalau pembuat sepatu menghancurkan sepatu buatannya dan kemudian tidak lagi membuat sepatu, maka ia akan disebut mantan pembuat sepatu. hal ini tentu berbeda dengan pembuat sepatu memodifikasi sepatunya dengan memotong, mengurangi dan menambah di sana - sini sehingga muncul sepatu baru hasil pengembangan dari sepatu lama. jika hal ini dilakukan secara terus menerus, eksistens sebagai tukang sepatu akan hidup terusdan sepatunya akan terus bermanfaat. demikian juga kiranya dengan alam raya ini, Sang Pembuat dengan kuasaNya, tidak akan menghancur-leburkan sehingga merupa debu dan meniadakan sifat benda dunia. manusia pencetus Hukum kekekalan energi sudah diberi pencerahan akan tidak dihancurkannya alam raya. apa yang terjadi? modifikasi alam. gempa bumi, banjir, kekeringan, gunung meletus dan masih banyak lagi, bagi saya semuanya merupakan upaya modifikasi agar keseimbangan alam senanatiasa terjaga. mereka (yang kemudian disebut sebagai bencana) juga merupakan sinyal bahwa Sang Pembuat masih eksis, dan pasca "sinyal" akan muncul keseimbangan - kesimbangan baru.
surga dan neraka juga merupakan konsep keseimbangan. jika ditarik pada kebiasaaan yang terjadi di dunia manusia, bukankah banyak bukti yang menunjukkan tiada beda antara nikmat dan derita? Nikmat yang amat nikmat, nikmat yang rasa nikmatnya terlalu lama, bukankah akan berubah menjadi siksa dan derita? saya kasih contoh, anda suka makan soto ayam ambengan, dan soto ayam ambengan memang nikmat, bukan? jika disajikan semangkok-dua mangkok tatkala lapar, nikmat bukan? tetapi saya yakin anda tidak akan pernah mau jika terus menerus, setiap saat dikasih makan soto ambengan tiada berhenti. akan berubah jadi siksa.
siksa dan derita-pun jika terjadi pada kurun lama, berangsur akan menjadi nikmat. mau contoh? coba tanya kepada mereka yang dipenjara karena melakukan kesalahan. pada hari, mingggu dan bulan - bulan pertama stres, marah, derita itu yang dirasakan, namun pada bulan ketiga menjelang keempat sudah merasakan nikmatnya tinggal di penjara. setidaknya itulah yang saya dengar dari seseorang teman yang pada hari ini masih harus tinggal di penjara karena dihukum dengan tuduhan melakukan pidana publik.
jadi baik nikmat dan derita, pada kenyataannya hanya bersifat sementara (short term), ketika nikmat dan derita berusia panjang (long term) maka keduanya akan saling bertukar yang satu menjadi lainnya, nikmat berubah menjadi derita, demikian pula derita menjadi nikmat.
kembali ke atas, jika dikatakan surga dan neraka itu suatu tempat yang menandakan suasana alam kelanggengan dengan sifat tetap, yang nikmat tetap nikmat dan derita tiada berubah, maka pertanyaan berikutnya, apakah tidak ada hubungan sifat alam dunia dengan sifat alam akhirat. mencoba menjawab pertanyaan ini, saya menemukan ambiguity. pertama, ya ada hubungan, surga dan neraka adalah sarana pembalasan atas apa yang dilakukan manusia ketika masih hidup di alam dunia, jadi ada hubungan positif. sebaliknya, untuk sifat alam dunia dan alam akhirat, tidak ada hubungan. jika di dunia nikmat dan derita saling berubah, di alam akhirat nikmat dan derita sifatnya langgeng. walau dalam keyakinan Islam, akan ada yang masuk neraka, setelah menjalani siksaan untuk waktu tertentu baru dientaskan ke surga.
masih penasaran juga. apakah untuk merasakan surga dan neraka harus mati dari alam dunia dulu? apakah tidak ada cara lain untuk merasakan surga dan neraka selagi masih hidup di alam dunia? saya berani mengatakan, "karena Allah Maha Kasih dan Maha Adil" maka keinginan untuk merasakan surga dan neraka selagi masih jidup di dunia dapat dikabulkan. bagaimana caranya?
jangan lupa surga dan neraka sebagai konsep pembalasan, ada hubungan sebab akibat di dalam konsep surga neraka ini. ada juga konsep keseimbangan. selain itu, di dalam surga dan neraka juga mengandung konsep non-ragawi, non-fisik, jadi lebih kepada jiwa, ruh, nyawa. kemudian, surga dan neraka itu sifatnya langgeng, tetap untuk waktu yang tidak berbatas. bukan temporer. nah bila kita dapat menghadirkan tiga karakter surga neraka di dalam kehidupan di alam dunia, secara teoretis manusia dapat menghadirkan surga dan neraka di alam dunia. wallahu alam bisawab.
sebagai anggota dari umat beragama, yang diberi karunia kemampuan berpikir, bernalar, saya seringkali berwacana pada diri sendiri, apakah untuk menyaksikan dan tinggal di surga atau neraka mesti menunggu sampai mati, jasad ditinggalkan oleh ruh, jasad masuk liang lahat, ruh pergi entah ke mana? jika begitu lama, dan demikian adanya, apakah hal ini tidak berarti bahwa surga dan neraka itu sebagai suatu tempat yang akan digunakan untuk menampung ruh kita? lalau kalau hanya dengan ruh, bagaimana kesadaran kita (sebagai wujud manusia) masih bisa merasakan nikmat surga dan atau siksa neraka? dalam keterbatasan kemampuan nalar, saya berpendapat, bahwa yang dapat merasakan nikmat dan siksa adalah raga (fisik) yang di dalam raga tersebut masih dihidupi oleh ruh atau nyawa.
ketika ruh atau nyawa sudah tidak menetap di raga, baik karena kondisi raga tidak mampu lagi mendukung eksistensi nyawa; atau raga masih sehat, kuat dan mampu, namun ruh atau nyawa sudah tidak menghendaki atau ditugasi (oleh Allah) lagi utuk meninggalkan raga. dalam kondisi seperti ini, disebut mati, dan raga tidak memiliki kemampuan lagi merasakan, sementara barangkali, nyawa atau ruh juga tidak punya alat lagi untuk merasakan suasana alam manusia.
dengan bermonolog seperti tersebut di atas, saya mereka-reka, mungkinkah surga dan neraka yang diajarkan kepada manusia, sebagai suatu konsep pencegahan dari pada penindakan. dalam tataran konsep, surga dan neraka itu sama saja, keduanya sebagai wahana untuk pembalasan baik dalam bentuk reward maupun punishment. yang membedakan hanyalah positioning-nya saja. surga diposisikan sebagai tempat penuh kenikmatan, kesenangan; di pihak lain neraka merujuk pada suatu tempat untuk penyiksaan, derita. namun sampai di sini pertanyaan kembali muncul bagian mana dari ke-manusia-an kita yang masih dapat merasakan nikmat dan atau siksa setelah jasad remuk hancur dimakan ulat.
selain itu, saya juga sering bermonolog. bukankah alam dan jagad raya itu representasi dari Allah? sama seperti ada sepatu tentu ada pembuatnya. sang pembuat kekuasaannya (power) tentu lebih dari yang dibuat. kalau tiada yang dibuat maka tiada pula yang membuat. premis dalam kalimat terakhir ini bisa jadi kurang kuat, karena bukankah bisa saja si pembuat dengan kuasaNya tidak mau membuat apa - apa. kenyataanya telah banyak tak terhitung materi yang dibuat oleh Sang Pembuat. artinya, walaupun premise-nya lemah, namun buktinya kuat. kenapa demikian? jawabnya, untuk membuktikan eksistensi Sang Pembuat. sama dengan manusia, Anda tidak pernah akan dikatakan pembuat sepatu bila tidak pernah membuat sepatu.
lantas, adakah Sang Pembuat berkeinginan menghancur-leburkan karyaNya? walau ada pelajaran yang menyatakan bahwa bumi dan alam raya akan hancur, dengan keberanian nalar saya mengartikannya berbeda. kalau pembuat sepatu menghancurkan sepatu buatannya dan kemudian tidak lagi membuat sepatu, maka ia akan disebut mantan pembuat sepatu. hal ini tentu berbeda dengan pembuat sepatu memodifikasi sepatunya dengan memotong, mengurangi dan menambah di sana - sini sehingga muncul sepatu baru hasil pengembangan dari sepatu lama. jika hal ini dilakukan secara terus menerus, eksistens sebagai tukang sepatu akan hidup terusdan sepatunya akan terus bermanfaat. demikian juga kiranya dengan alam raya ini, Sang Pembuat dengan kuasaNya, tidak akan menghancur-leburkan sehingga merupa debu dan meniadakan sifat benda dunia. manusia pencetus Hukum kekekalan energi sudah diberi pencerahan akan tidak dihancurkannya alam raya. apa yang terjadi? modifikasi alam. gempa bumi, banjir, kekeringan, gunung meletus dan masih banyak lagi, bagi saya semuanya merupakan upaya modifikasi agar keseimbangan alam senanatiasa terjaga. mereka (yang kemudian disebut sebagai bencana) juga merupakan sinyal bahwa Sang Pembuat masih eksis, dan pasca "sinyal" akan muncul keseimbangan - kesimbangan baru.
surga dan neraka juga merupakan konsep keseimbangan. jika ditarik pada kebiasaaan yang terjadi di dunia manusia, bukankah banyak bukti yang menunjukkan tiada beda antara nikmat dan derita? Nikmat yang amat nikmat, nikmat yang rasa nikmatnya terlalu lama, bukankah akan berubah menjadi siksa dan derita? saya kasih contoh, anda suka makan soto ayam ambengan, dan soto ayam ambengan memang nikmat, bukan? jika disajikan semangkok-dua mangkok tatkala lapar, nikmat bukan? tetapi saya yakin anda tidak akan pernah mau jika terus menerus, setiap saat dikasih makan soto ambengan tiada berhenti. akan berubah jadi siksa.
siksa dan derita-pun jika terjadi pada kurun lama, berangsur akan menjadi nikmat. mau contoh? coba tanya kepada mereka yang dipenjara karena melakukan kesalahan. pada hari, mingggu dan bulan - bulan pertama stres, marah, derita itu yang dirasakan, namun pada bulan ketiga menjelang keempat sudah merasakan nikmatnya tinggal di penjara. setidaknya itulah yang saya dengar dari seseorang teman yang pada hari ini masih harus tinggal di penjara karena dihukum dengan tuduhan melakukan pidana publik.
jadi baik nikmat dan derita, pada kenyataannya hanya bersifat sementara (short term), ketika nikmat dan derita berusia panjang (long term) maka keduanya akan saling bertukar yang satu menjadi lainnya, nikmat berubah menjadi derita, demikian pula derita menjadi nikmat.
kembali ke atas, jika dikatakan surga dan neraka itu suatu tempat yang menandakan suasana alam kelanggengan dengan sifat tetap, yang nikmat tetap nikmat dan derita tiada berubah, maka pertanyaan berikutnya, apakah tidak ada hubungan sifat alam dunia dengan sifat alam akhirat. mencoba menjawab pertanyaan ini, saya menemukan ambiguity. pertama, ya ada hubungan, surga dan neraka adalah sarana pembalasan atas apa yang dilakukan manusia ketika masih hidup di alam dunia, jadi ada hubungan positif. sebaliknya, untuk sifat alam dunia dan alam akhirat, tidak ada hubungan. jika di dunia nikmat dan derita saling berubah, di alam akhirat nikmat dan derita sifatnya langgeng. walau dalam keyakinan Islam, akan ada yang masuk neraka, setelah menjalani siksaan untuk waktu tertentu baru dientaskan ke surga.
masih penasaran juga. apakah untuk merasakan surga dan neraka harus mati dari alam dunia dulu? apakah tidak ada cara lain untuk merasakan surga dan neraka selagi masih hidup di alam dunia? saya berani mengatakan, "karena Allah Maha Kasih dan Maha Adil" maka keinginan untuk merasakan surga dan neraka selagi masih jidup di dunia dapat dikabulkan. bagaimana caranya?
jangan lupa surga dan neraka sebagai konsep pembalasan, ada hubungan sebab akibat di dalam konsep surga neraka ini. ada juga konsep keseimbangan. selain itu, di dalam surga dan neraka juga mengandung konsep non-ragawi, non-fisik, jadi lebih kepada jiwa, ruh, nyawa. kemudian, surga dan neraka itu sifatnya langgeng, tetap untuk waktu yang tidak berbatas. bukan temporer. nah bila kita dapat menghadirkan tiga karakter surga neraka di dalam kehidupan di alam dunia, secara teoretis manusia dapat menghadirkan surga dan neraka di alam dunia. wallahu alam bisawab.
Batas Nalar dan Iman
agama, menurut sebagian ahli, berdasarkan asal-usulnya, dibedakan ke dalam dua golongan: yang berasal dari Tuhan dan berasal dari kreasi manusia (yang memperoleh pencerahan). agama apapun menjanjikan surga dan neraka sebagai pembalasan atas apa yang manusia lakukan selagi masih hidup di alam dunia. majoritas manusia di dunia memeluk agama. di antara pemeluk agama ada yang sangat taat, banyak taat, kadang-kadang taat, sedikit taat dan sama sekali tidak taat. tingkat ketaatan dalam menjalankan ajaran agama yang dianut secara umum mestinya mencerminkan tingkat baik-buruk perilaku manusia dengan acuan ajaran agama tertentu. benarkah demikian?
di pihak lain, ada kelompok manusia yang mengaku dirinya tidak ber-Tuhan dan tidak ber-agama, atau mengenal Tuhan tetapi tidak percaya agama. sebagai manusia, dua kelompok terakhir ini pun berperilaku dalam continuum dari sangat baik hingga sangat jahat.
dari dua paragraf di atas dapat dipertanyakan, apakah ada hubungan dan pengaruh antara ber-Tuhan atau tidak ber-Tuhan, dan ber-agama atau tidak ber-agama dengan baik-buruknya perilaku secara umum? saya tidak tahu apakah pernah ada orang yang memperkarakan ihwal semacam ini. mudah -mudahan ada, sehingga saya bukan orang pertama yang menyoalnya. logika umum menyatakan orang yang ber-Tuhan dan ber-Agama tentu perilakunya lebih baik dari yang tidak ber-Tuhan dan tidak ber-Agama. faktanya? bukankah secara nominal, bukti empirik menunjukkan pelanggaran hukum Agama justru dilakukan lebih banyak oleh manusia ber-Agama dari pada yang tidak ber-agama? wah mengapa demikian? Ah jangan-jangan maswig sedang gundah, bingung atau sedang mengajak orang untuk tidak ber-Agama.
Bukan itu, wacana ini disajikan justru untuk mengajak agar manusia ber-Agama lebih mencintai lagi, lebih mau menjalankan perintah-perintah agamanya masing-masing. bagaimana bisa?
begini, dalam artikel sebelumnya saya menyinggung surga dan neraka sebagai sebuah janji pembalasan yang kemudian dengan kemampuan nalar, saya katakan sebagai pencegahan dari pada penindakan. mencegah manusia dari berbuat jahat dan dosa, melanggar perintah Tuhan. selanjutnya, sebagai sebuah janji, untuk dapat merasakan nikmat atau derita mesti menunggu sampai ruh manusia masuk ke alam akhirat, meninggalkan jasad di alam dunia. di luar itu, selagi manusia masih ada di alam dunia, Tuhan memberikan kebebasan serta kemampuan berpikir dan bertindak. Kebebesan yang diberikan Tuhan ini bukan absolut, karena ia dibatasi oleh hukum Tuhan yang tertuang dalam kitab yang dibawa oleh para Utusan Tuhan (the Messengers of God).
nah di sinilah permasalahannya, di satu sisi manusia ber-agama tunduk akan sifatnya sebagai makhluk TUhan, dan mengerti serta meyakini aturan TUhan yang tertuang dalam Agama, namun karena pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan dan Agama hanya dihukum dengan janji akan diberi neraka, sementara jasad pelaku pengingkaran tidak lagi dapat merasakan eksistensi neraka, tidak aneh bila semakin banyak manusia yang berani meninggalkan perintah dan laranganNya. dengan kalimat ini apakah berarti saya melemahkan eksistensi TUhan? tidak juga. sifat Tuhan tidak berubah, apakah manusia ciptaannya taat atau ingkar, Tuhan tetap yang Maha Perkasa.
di pihak lain, sebagian orang yang memosisikan dirinya taat, perlu membuat diri mereka berbeda dari orang yang ingkar. namun demikian, walaupun taat serta percaya bahwa Tuhan akan membalas apapun perbuatan manusia, tetapi karena ada balasan TUhan yang tidak seketika, maka dengan ajaran agama yang dibawa oleh para Utusan Allah, mereka ingin menyegerakan menghukum orang lain yang dianggap tidak taat. di titik inilah muncul para "pembela agama". persoalannya, apakah agama perlu dibela? apakah Tuhan perlu dibela? jika saya jawab Ya, sebagaimana mereka yang meng-klaim dirinya pembela Agama, secara tidak langsung berarti saya menganggap bahwa agama yang dibawa para Rasul itu lemah sehingga perlu dibela; agama yang diajarkan para RAsul itu ada kekurang-sempurnaan sehingag perlu dibel; Tuhan itu lemah sehingga perlu dibela. Padahal Tuhan yang menciptakan manusia. mestinya manusia mengakui keperkasaan Tuhan, bukan. padahal, Tuhan melalui RasulNya menyatakan Agama (Islam) itu sempurna. Jadi siapa yang perlu dibela oleh manusia? menurut nalar saya, yang perlu dibela oleh manusia ya manusia lainnya, alias sesama manusia saling membela dan melindungi.
melindungi dari apa? dari tindak kejahatan manusia lain yang merugikan manusia lain, seperti membunuh, menipu, mengganggu kehormatan, menganggu keyakinan, mencuri, dan lain sebagainya. jadi wahai manusia, belalah dirimu sendiri, bukan membela apa yang lebih tinggi kedudukannya dari dirimu.
kembali ke masalah pembalasan, apakah manusia yang ketika hidup di dunia tidak mengakui eksistensi Tuhan dan tidak ber-agama otomatis kelak akan mendapat jatah neraka? Tuhan dalam hukumNya yang tertuang dalam Kitab Suci yang dibawa para Rasul memastikan jawabnya. YA. persoalannya, bagi sebagian orang yang lebih banyak mengandalkan daya pikir, masih dapat beragumen "berikan buktinya!", atau "apakah sudah ada bukti empirik?" atau lebih jauh lagi, ini khususnya bagi mereka yang suka ingkar, "biarlah neraka, toh jasadku akan membusuk duluan di tanah kubur, sama akan membusuknya seperti mereka yang taat."
di sinilah batasnya ke-iman-an yang berujung taqwa. bagi yang ber-Iman namun takut ke-iman-annya terganggu tentu akan berhenti pada batas nalar, dan kemudian menguatkan hukum Tuhan sebagai suatu keyakinan. bagi yang ingin memperkuat keimanan dan keyakinan, bisa jadi belum berhenti sampai di situ, ia akan terus berkelana mencari tahu rahasia Tuhan, bukti surga neraka, sampai kuasa Tuhan memberikan pencerahan atau membiarkannya saja. wallahu alam bisawab.
di pihak lain, ada kelompok manusia yang mengaku dirinya tidak ber-Tuhan dan tidak ber-agama, atau mengenal Tuhan tetapi tidak percaya agama. sebagai manusia, dua kelompok terakhir ini pun berperilaku dalam continuum dari sangat baik hingga sangat jahat.
dari dua paragraf di atas dapat dipertanyakan, apakah ada hubungan dan pengaruh antara ber-Tuhan atau tidak ber-Tuhan, dan ber-agama atau tidak ber-agama dengan baik-buruknya perilaku secara umum? saya tidak tahu apakah pernah ada orang yang memperkarakan ihwal semacam ini. mudah -mudahan ada, sehingga saya bukan orang pertama yang menyoalnya. logika umum menyatakan orang yang ber-Tuhan dan ber-Agama tentu perilakunya lebih baik dari yang tidak ber-Tuhan dan tidak ber-Agama. faktanya? bukankah secara nominal, bukti empirik menunjukkan pelanggaran hukum Agama justru dilakukan lebih banyak oleh manusia ber-Agama dari pada yang tidak ber-agama? wah mengapa demikian? Ah jangan-jangan maswig sedang gundah, bingung atau sedang mengajak orang untuk tidak ber-Agama.
Bukan itu, wacana ini disajikan justru untuk mengajak agar manusia ber-Agama lebih mencintai lagi, lebih mau menjalankan perintah-perintah agamanya masing-masing. bagaimana bisa?
begini, dalam artikel sebelumnya saya menyinggung surga dan neraka sebagai sebuah janji pembalasan yang kemudian dengan kemampuan nalar, saya katakan sebagai pencegahan dari pada penindakan. mencegah manusia dari berbuat jahat dan dosa, melanggar perintah Tuhan. selanjutnya, sebagai sebuah janji, untuk dapat merasakan nikmat atau derita mesti menunggu sampai ruh manusia masuk ke alam akhirat, meninggalkan jasad di alam dunia. di luar itu, selagi manusia masih ada di alam dunia, Tuhan memberikan kebebasan serta kemampuan berpikir dan bertindak. Kebebesan yang diberikan Tuhan ini bukan absolut, karena ia dibatasi oleh hukum Tuhan yang tertuang dalam kitab yang dibawa oleh para Utusan Tuhan (the Messengers of God).
nah di sinilah permasalahannya, di satu sisi manusia ber-agama tunduk akan sifatnya sebagai makhluk TUhan, dan mengerti serta meyakini aturan TUhan yang tertuang dalam Agama, namun karena pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan dan Agama hanya dihukum dengan janji akan diberi neraka, sementara jasad pelaku pengingkaran tidak lagi dapat merasakan eksistensi neraka, tidak aneh bila semakin banyak manusia yang berani meninggalkan perintah dan laranganNya. dengan kalimat ini apakah berarti saya melemahkan eksistensi TUhan? tidak juga. sifat Tuhan tidak berubah, apakah manusia ciptaannya taat atau ingkar, Tuhan tetap yang Maha Perkasa.
di pihak lain, sebagian orang yang memosisikan dirinya taat, perlu membuat diri mereka berbeda dari orang yang ingkar. namun demikian, walaupun taat serta percaya bahwa Tuhan akan membalas apapun perbuatan manusia, tetapi karena ada balasan TUhan yang tidak seketika, maka dengan ajaran agama yang dibawa oleh para Utusan Allah, mereka ingin menyegerakan menghukum orang lain yang dianggap tidak taat. di titik inilah muncul para "pembela agama". persoalannya, apakah agama perlu dibela? apakah Tuhan perlu dibela? jika saya jawab Ya, sebagaimana mereka yang meng-klaim dirinya pembela Agama, secara tidak langsung berarti saya menganggap bahwa agama yang dibawa para Rasul itu lemah sehingga perlu dibela; agama yang diajarkan para RAsul itu ada kekurang-sempurnaan sehingag perlu dibel; Tuhan itu lemah sehingga perlu dibela. Padahal Tuhan yang menciptakan manusia. mestinya manusia mengakui keperkasaan Tuhan, bukan. padahal, Tuhan melalui RasulNya menyatakan Agama (Islam) itu sempurna. Jadi siapa yang perlu dibela oleh manusia? menurut nalar saya, yang perlu dibela oleh manusia ya manusia lainnya, alias sesama manusia saling membela dan melindungi.
melindungi dari apa? dari tindak kejahatan manusia lain yang merugikan manusia lain, seperti membunuh, menipu, mengganggu kehormatan, menganggu keyakinan, mencuri, dan lain sebagainya. jadi wahai manusia, belalah dirimu sendiri, bukan membela apa yang lebih tinggi kedudukannya dari dirimu.
kembali ke masalah pembalasan, apakah manusia yang ketika hidup di dunia tidak mengakui eksistensi Tuhan dan tidak ber-agama otomatis kelak akan mendapat jatah neraka? Tuhan dalam hukumNya yang tertuang dalam Kitab Suci yang dibawa para Rasul memastikan jawabnya. YA. persoalannya, bagi sebagian orang yang lebih banyak mengandalkan daya pikir, masih dapat beragumen "berikan buktinya!", atau "apakah sudah ada bukti empirik?" atau lebih jauh lagi, ini khususnya bagi mereka yang suka ingkar, "biarlah neraka, toh jasadku akan membusuk duluan di tanah kubur, sama akan membusuknya seperti mereka yang taat."
di sinilah batasnya ke-iman-an yang berujung taqwa. bagi yang ber-Iman namun takut ke-iman-annya terganggu tentu akan berhenti pada batas nalar, dan kemudian menguatkan hukum Tuhan sebagai suatu keyakinan. bagi yang ingin memperkuat keimanan dan keyakinan, bisa jadi belum berhenti sampai di situ, ia akan terus berkelana mencari tahu rahasia Tuhan, bukti surga neraka, sampai kuasa Tuhan memberikan pencerahan atau membiarkannya saja. wallahu alam bisawab.
Menentukan Reaksi Atas Aksi Pesaing
Manakala pesaing masuk dan mulai menganggu arena bisnis kita, sebagai manajer perusahaan apa yang akan Anda lakukan? pertanyaan seperti ini sering muncul dalam wawancara rekrutmen calon manajer bisnis atau ketika dalam ujian di sekolah - sekolah bisnis, khususnya bagi mereka yang mengambil mata kuliah dinamika persaingan. sebagian besar dari mereka yang ditanya menjawab akan menghadapi persaingan bisnis dengan gagah berani, membalas api dengan api, atau melakukan tindakan yang kurang lebih sama dengan yang dilakukan pesaing, atau membalas penurunan harga dengan penurunan harga yang lebih tajam, dan aksi lain yang lebih banyak berupa tindakan responsif dari pada reaksi cerdas sehingga memenangkan persaingan.
Apa itu reaksi cerdas? sejatinya, ada banyak sekali opsi untuk menjawab tantangan pesaing yang tidak bersifat head to head atau api balas api, nyawa balas nyawa. contohnya? Anda dapat merespon provokasi perang harga dengan reaksi tak terduga seperti meluncurkan produk atau jenis layanan baru yang menawarkan value lebih tinggi dari produk/jasa pesaing (yang harganya sedang di-discount besar-besaran). Atau bisa juga bereaksi dengan menambah tenaga penjualan, atau membuka pasar baru yang berbeda sama sekali dengan produk dan atau wilayah pasar yang sudah dimiliki pesaing. Intinya, membuat pesaing kecele (ah apa ya istilah yang tepat?) naaah ini dia, membuat pesaing keliru sangka. dikiranya kita terprovokasi, mengikuti ritme pasar persaingan yang ingin dimainkannya, eh kita malah lakukan sesuatu yang tidak terduga, yang dapat membuat pesaing garuk-garuk kepala, bingung seperti orang bertepuk sebelah tangan.
jadi alternatif pertama guna menjawab pertanyaan dalam kalimat pembuka artikel ini adalah menghadapi provokasi persaingan dengan menghindar dari persaingan. hanya itu? tentu tidak, masih ada langkah lain.
setelah tahu ada "naga di halaman bisnis kita", selain menghindar, ada pilihan reaksi lain. Bila masih ada waktu dan keberadaan pesaing belum terlalu membahayakan, Anda dapat secara perlahan - lahan mempertimbangkan apakah akan menghindar, membiarkan (toh naganya masih kecil sementara aku naga besaaar sekali) atau menghadapi bukan untuk memusuhi tetapi mengakomodasi sehingga malah terjadi coopetition alias kerja sama dalam kompetisi. jadi pilihan apakah akan membiarkan dulu dan kemudian melawan atau mengakomodasi, atau bereaksi segera setelah ada provokasi sepenuhnya ditentukan oleh seberapa besar penilaian kita atas implikasi provokasi persaingan terhadap eksistensi dan interest perusahaan.
secara umum setidaknya ada lima isu kunci yang perlu diperhatikan ketika perusahaan berinteraksi dengan pesaing dan selanjutnya menentukan sikap dalam menghadapi persaingan. pertama, posisi kompetitif, apakah perusahaan perlu merespon? jika perlu seberapa agresif? kedua, besaran atau magnitude dari tindakan responsif yang akan diambil, apakah akan menghadapi semua lini persaingan atau di beberapa front saja, misalnya. ketiga kecepatan (speed), seberapa cepat perusahaan sebaiknya merespons terhadap aksi pesaing? apakah perlu wait and see? atau tindakan segera sebelum kompetitor mengambil sebagian besar kue pasar yang selama ini dikuasai perusahaan. keempat, wilayah kerja atau domain, di mana (segmen pasar atau wilayah geografi) perusahaan perlu merespon? apakah hanya di wilayah pasar yang sedang diserang saja? atau juga termasuk wilayah pasar lain yang masih adem ayem. kelima, senjata (weapon) atau instrument pemasaran dan atau strategi bisnis yang perlu disiapkan untuk menjawab tantangan perang. selain itu, masih termasuk dalam weapon ini adalah bagaimana perusahaan memutuskan instrument strategi yang akan digunakan.
Apa itu reaksi cerdas? sejatinya, ada banyak sekali opsi untuk menjawab tantangan pesaing yang tidak bersifat head to head atau api balas api, nyawa balas nyawa. contohnya? Anda dapat merespon provokasi perang harga dengan reaksi tak terduga seperti meluncurkan produk atau jenis layanan baru yang menawarkan value lebih tinggi dari produk/jasa pesaing (yang harganya sedang di-discount besar-besaran). Atau bisa juga bereaksi dengan menambah tenaga penjualan, atau membuka pasar baru yang berbeda sama sekali dengan produk dan atau wilayah pasar yang sudah dimiliki pesaing. Intinya, membuat pesaing kecele (ah apa ya istilah yang tepat?) naaah ini dia, membuat pesaing keliru sangka. dikiranya kita terprovokasi, mengikuti ritme pasar persaingan yang ingin dimainkannya, eh kita malah lakukan sesuatu yang tidak terduga, yang dapat membuat pesaing garuk-garuk kepala, bingung seperti orang bertepuk sebelah tangan.
jadi alternatif pertama guna menjawab pertanyaan dalam kalimat pembuka artikel ini adalah menghadapi provokasi persaingan dengan menghindar dari persaingan. hanya itu? tentu tidak, masih ada langkah lain.
setelah tahu ada "naga di halaman bisnis kita", selain menghindar, ada pilihan reaksi lain. Bila masih ada waktu dan keberadaan pesaing belum terlalu membahayakan, Anda dapat secara perlahan - lahan mempertimbangkan apakah akan menghindar, membiarkan (toh naganya masih kecil sementara aku naga besaaar sekali) atau menghadapi bukan untuk memusuhi tetapi mengakomodasi sehingga malah terjadi coopetition alias kerja sama dalam kompetisi. jadi pilihan apakah akan membiarkan dulu dan kemudian melawan atau mengakomodasi, atau bereaksi segera setelah ada provokasi sepenuhnya ditentukan oleh seberapa besar penilaian kita atas implikasi provokasi persaingan terhadap eksistensi dan interest perusahaan.
secara umum setidaknya ada lima isu kunci yang perlu diperhatikan ketika perusahaan berinteraksi dengan pesaing dan selanjutnya menentukan sikap dalam menghadapi persaingan. pertama, posisi kompetitif, apakah perusahaan perlu merespon? jika perlu seberapa agresif? kedua, besaran atau magnitude dari tindakan responsif yang akan diambil, apakah akan menghadapi semua lini persaingan atau di beberapa front saja, misalnya. ketiga kecepatan (speed), seberapa cepat perusahaan sebaiknya merespons terhadap aksi pesaing? apakah perlu wait and see? atau tindakan segera sebelum kompetitor mengambil sebagian besar kue pasar yang selama ini dikuasai perusahaan. keempat, wilayah kerja atau domain, di mana (segmen pasar atau wilayah geografi) perusahaan perlu merespon? apakah hanya di wilayah pasar yang sedang diserang saja? atau juga termasuk wilayah pasar lain yang masih adem ayem. kelima, senjata (weapon) atau instrument pemasaran dan atau strategi bisnis yang perlu disiapkan untuk menjawab tantangan perang. selain itu, masih termasuk dalam weapon ini adalah bagaimana perusahaan memutuskan instrument strategi yang akan digunakan.
Subscribe to:
Posts (Atom)