Upaya pemberantasan korupsi sepertinya mendapat darah segar menyusul pernyataan Presiden SBY yang menegaskan komitmennya untuk secara tegas menindak para pelaku tindak pidana korupsi. Jika kita runut ke belakang, pernyataan perlunya menindak tegas dan menghukum para pelaku korupsi sudah berulangkali dilakukan oleh semua Presiden sejak Soeharto hingga Megawati. Upaya pemberantasan korupsi melalui pendekatan institusional dengan membentuk berbagai tim atau komisi pemberantasan korupsi-pun sudah pula dilakukan.
Sementara itu, tak kalah gencarnya berbagai kelompok masyarakat yang tergabung dalam organisasi sosial maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) telah pula membangun berbagai upaya pencegahan korupsi. Transparansi International Indonesia (TII) misalnya telah membuat Modul Pakta Integritas, Modul Prinsip Usaha Tanpa Suap, Modul Indeks Persepsi Korupsi, dan Modul Transparansi dan Akuntabilitas Publik. Demikian pula Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), wadah organisasi kaum pebisnis, tak ketinggalan membuat Modul Good Coorporate Governance. Modul Gerakan Moral Bersih Transparan dan Profesional (BTP), dan Modul Kampanye Nasional Anti Suap. Daftar modul yang dibuat oleh berbagai elemen masyarakat lain masih dapat dibuat lebih panjang lagi, hal ini menunjukkan persoalan korupsi bukan saja menjadi urusan pemerintah, tetapi juga sudah menjadi permasalahan bagi kalangan pebisnis serta masyarakat luas pada umumnya.
Persoalan yang selalu mengusik kita adalah mengapa sudah sekian lama kita berperang melawan korupsi, dengan berbagai senjata dan bala tentara, sekian banyak analisis pakar yang mencoba menggali sebab musababnya, dan berbagai persidangan pengadilan korupsi diselenggarakan, namun tetap saja korupsi becokol kuat di keseharian masyarakat Indonesia, tidak saja di lingkungan pemerintahan, tetapi juga di organisasi bisnis, organisasi sosial nirlaba, bahkan menghinggapi beberapa akademisi yang sebelumnya terkenal komitmennya di dalam memerangi tindak kriminal termasuk korupsi. Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia dapat disetarakan dengan penyakit sosial yang belum berhasil ditemukan akar penyebabnya dan oleh karena itu belum dapat ditemukan obatnya yang mujarab. Semua upaya yang telah dilakukan lebih merupakan tindakan uji coba, yang sayangnya masih lebih kuat penyakitnya dari pada obatnya.
Pendekatan serupa di atas dilakukan pula oleh para penggiat di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (Telematika) yang meyakini suatu hipotesa bahwa korupsi struktural yang terjadi di lingkungan pemerintahan dapat dicegah dengan pemanfaatan Telematika dalam bentuk electronic government (e-govt).
Banyak pihak memahami e-govt dalam konteks yang sempit, yakni sekadar instansi pemerintah memiliki situs internet (website) maka sudah ber-e-govt-lah mereka. Di pihak lain ada yang berpendirian bahwa suatu instansi pemerintah sudah menerapkan e-govt bila telah memanfaatkan aplikasi Telematika secara menyeluruh, tidak hanya sekedar memiliki website saja. Terlepas dari dua pemikiran yag berbeda tersebut, esensi yang terpenting dari e-govt adalah memanfaatkan Telematika untuk meningkatkan kinerja instansi pemerintah. Dalam konteks ini peningkatan kinerja tidak dapat diartikan dalam konteks yang sempit, namun dapat meliputi tercapainya tata pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, transparan, baik dalam pengelolaan internal maupun dalam pelayanan kepada publik.
Tata pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, dan transparan merupakan indikator dari rendahnya tingkat korupsi di lingkungan birokrasi. Secara generik, salah satu komponen utama e-govt adalah aplikasi sistem informasi pemerintahan yang mampu memberikan layanan secara online melalui media Internet. Aplikasi ini memberi fasilitas interaksi antara anggota masyarakat dengan penyelenggara layanan publik tanpa harus bertatap muka secara langsung. Berkurangnya tatap muka ini mengurangi peluang kong kali kong yang kemudian menjurus kepada kesepakatan untuk melakukan tindakan korupsi. Salah satu sumber korupsi terbesar adalah pada kegiatan pengadaan barang dan jasa. Dengan aplikasi pengadaan barang secara online (e-procurement) peluang terjadinya korupsi mengecil.
Masih banyak aplikasi Telematika lain dalam konteks e-govt yang menawarkan mekanisme untuk mengurangi kebocoran belanja negara, mengawasi perilaku pejabat pemerintah, meningkatkan produktivitas birokrasi, dan lain sebagainya. Namun demikian, muncul pertanyaan kritis, bukankah sebagian besar instansi pemerintah pusat dan daerah sudah ber-e-govt tetapi mengapa korupsi masih juga tidak beranjak pergi? Menjawab pertanyaan ini, perlu merujuk pada suatu hasil penelitian yang menjelaskan mengapa sebagian besar proyek e-govt gagal mencapai tujuan. Pertama, para proponen e-govt sebagai besar berlatar belakang Teknologi Informasi (TI), mereka melihat e-govt sama seperti implementasi aplikasi sistem informasi di organisasi privat/bisnis. Sistem dibangun khusus sesuai dengan cara kerja yang sudah ada yang belum efisien. Para konsultan TI ini sangat senang untuk merancang sistem semacam itu karena dapat mengajukan biaya yang mahal. Kedua, praktik yang digunakan dalam membiayai pembangunan e-govt menggunakan pendekatan proyek, ketika habis masa dan anggaran proyek tersebut, maka berakhirlah riwayat e-govt. Ketiga, kurangnya komitmen dari stakeholder, terutama keteladanan dan kemauan untuk berubah dari para birokrat. Ke-empat, belum ada skenario manajemen perubahan dari sistem lama ke sistem baru. Termasuk dalam skenario ini adalah perlunya meninjau ulang serta mengubah peraturan dan perundangan yang tidak sejalan dengan karakter e-govt.
Kebijakan perang melawan korupsi yang sudah dicanangkan Presiden memperoleh sambutan positif dari kalangan penggiat Telematika di Indonesia. Sambutan ini diwujudkan dengan berpartisipasi aktif mencegah korupsi melalui karya nyata sesuai dengan bidang keahliannya. Standar modul e-procurement sebagai salah satu komponen e-govt merupakan salah satu kontribusi yang ditawarkan untuk dapat diterapkan di semua instansi pemerintah. Aplikasi modul ini dapat dibangun oleh siapa saja yang memiliki keahlian di bidang TI, dengan demikian memberikan peluang usaha bagi para pengembang aplikasi sistem informasi.
Satu hal yang perlu diperhatikan, hendaknya dalam penerapan e-govt perlu memperhatikan empat hal penyebab kegagalan, agar tidak menambah keraguan manfaat e-govt dalam mencegah korupsi.
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
- Ketua, Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL)
- Peneliti, Lembaga Studi Kebijakan Ekonomi dan Telematika (GASKET)
Rempoa, 12 Mei 2005
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.