Pernyataan Ketua Komisi V DPR Sofhian Mile tentang larangan bagi pemegang ijin operator telekomunikasi dalam berita bertajuk “PT. CAC Tidak Boleh Jual Saham” (Kompas, 8 Maret 2005) mengundang tanda tanya kalangan pemerhati telekomunikasi, khususnya komunitas telekomunikasi. Pernyataan Ketua Komisi V DPR tersebut selain menunjukkan kekurang – tahuan yang bersangkutan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi termasuk materi Undang – Undang Telekomunikasi dan peraturan di bawahnya, juga dapat berdampak serius terhadap upaya peningkatan pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang sekarang sedang digalakkan di negara ini.
Sofhian Mile sebagaimana dikutip Kompas menyatakan larangan pengalihan saham sesuai dengan Undang – Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Ternyata, sebutir katapun yang menunjukkan adanya larangan terhadap pengalihan saham bagi perusahaan operator telekomunikasi tidak pernah ada dalam UU 36/1999. Klausa tentang perijinan tercantum dalam pasal 11, ayat 1 mengatur tentang penyelenggaraan telekomunikasi dapat diselenggarakan setelah mendapat izin dari Menteri, ayat 2 tentang hal yang harus diperhatikan dalam memberikan perijinan, serta ayat 3 tentang ketentuan mengenai perijinan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan pasal 11 menyatakan bahwa perizinan penyelenggaraan telekomunikasi dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah dalam rangka pembinaan untuk mendorong pertumbuhan penyelenggaraan telekomunikasi yang sehat. Pemerintah berkewajiban untuk mempublikasikan secara berkala atas daerah/wilayah yang terbukan untuk penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi. Selain pasal 11 dan penjelasannya, dalam UU 36/1999 tidak ada lagi pasal yang mengatur masalah perijinan. Dengan demikian yang dapat menjadi acuan berikutnya tentang masalah teknis dan konsekuensi perijinan adalah Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Perhubungan, atau Keputusan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel).
Pemerintah menerbitkan dua Peraturan Pemerintah (PP) yang dapat dijadikan acuan dalam hal perijinan telekomunikasi, yakni PP 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, dan PP 53 tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Dalam PP 52/2000 Bab IV Pasal 55 ayat 1 menyatakan penyelenggaraan telekomunikasi diberikan izin melalui tahapan izin prinsip dan izin penyelenggaraan, selanjutnya dalam pasal 56 ayat 1 dinyatakan izin prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) diberikan paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang, dan pada ayat 3 dinyatakan izin prinsip tidak dapat dipindah-tangankan.
Dalam PP 53/2000 persoalan mengenai perijinan penggunaan spektrum frekuensi diatur dari Pasal 17 hingga 26. Larangan pemindah – tanganan tercantum dalam Pasal 25 yang selengkapnya dinyatakan sebagai berikut: ayat 1, Pemegang alokasi frekuensi radio tidak dapat mengalihkan alokasi frekuensi radio yang telah diperolehnya kepada pihak lain; ayat 2, izin stasiun radio tidak dapat dialihkan kepada pihak lain kecuali ada persetujuan dari Menteri.
Menyimak apa yang dikatakan Ketua Komisi V DPR, dapat ditarik kesimpulan yang ingin disorot beliau adalah permasalahan pemindah – tanganan izin prinsip dari pemegang izin kepada pihak lain. Pertanyaannya, apa yang dimaksud pindah – tangan dan benarkah telah terjadi izin prinsip yang telah dipindah – tangankan, bagaimana sebenarnya kondisi di lapangan berkenaan dengan perijinan penyelengaaran telekomunikasi, serta apa hubungannya dengan jual beli saham perusahaan pemegang ijin prinsip operator telekomunikasi.
Penjelasan ahli hukum menyatakan “pindah tangan” dalam kontek kepemilikan ijin adalah penggunaan ijin oleh pihak lain dengan persetujuan pemiliknya yang sah. Dalam hal ini yang diserahkan kepada pihak lain adalah ijin, untuk selanjutnya ijin tersebut digunakan oleh pihak lain seolah – olah pemilik yang sah. Praktek pemindah – tanganan jelas menunjukkan pemegang ijin yang tidak bertanggung jawab, karena telah membohongi publik. Namun demikian jika dalam pelaksanaan pembangunan untuk memenuhi komitmen ternyata pemegang ijin memerlukan tambahan investasi tentunya sah – sah saja apabila kemudian mengajak mitra investor lainnya untuk bergabung dan bersama – sama membangun jaringan dan layanan telekomunikasi. Hal ini jug aselaras dengan penjelasan Pasal 25 PP 53/2000 yang menyatakan bahwa pada prinsipnya izin stasiun radio tidak dapat dialihkan. Namun, dalam hal kepemilikan perusahaan dialihkan dan atau ada penggabungan antar dua perusahaan atau lebih, maka pengalihan izin stasiun radio dimungkinkan setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri.
Industri jasa telekomunikasi adalah sektor yang menyerap banyak dana investasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan peningkatan penetrasi telepon hanya dapat dicapai bila ada aliran investasi yang secara nyata digunakan untuk membangun jaringan telekomunikasi. Kenyataan di lapangan menunjukkan ada beberapa pemegang ijin prinsip yang memang tidak berniat membangun, hanya menunggu waktu untuk menjual perusahaan termasuk ijin yang dimilikinya kepada investor yang berminat. Kelompok ini tergolong spekulan yang mementingkan diri sendiri saja. Kelompok inilah yang sebenarnya layak menjadi sasaran dari pernyataan Ketua Komisi V DPR.
Kelompok spekulan hanyalah sedikit, yang lebih banyak adalah mereka yang memiliki izin dan benar – benar ingin membangun tetapi menghadapi keterbatasan dana, dan calon investor yang ingin ikut membangun tetapi tidak mempunyai ijin. Pertemuan dua kepentingan yang saling komplemen inilah yang akhir – akhir ini banyak mewarnai percaturan sektor telekomunikasi di Indonesia. Dalam kasus Lippo Telecom misalnya, setelah mengalami stagnan dan mendekati kebangkrutan. Akhirnya bermitra dengan Maxis dari Malaysia. Cyber Access Communication (CAC) sebagaimana ditunjuk Ketua Komisi V DPR memang sedang mencari mitra investor untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan jaringan. Mengenai PT WIN yang disebut Sofhian Mille sebagai belum beroperasi dan melayani kepentingan masyarakat, ada sedikit ketidak - akuratan yang disampaikannya. PT WIN telah memiliki ijin penyelenggaraan untuk layanan komunikasi data dengan teknologi nirkabel CDMA. Ini artinya PT WIN telah memberikan layanan kepada masyarakat meski dalam skala kecil. Kabar terakhir mengatakan untuk mengembangkan layanan agar lebih luas lagi, pemilik PT WIN telah memperoleh mitra investor dan mereka berencana menambah jenis layanan dari semula hanya komunikasi data ditambah dengan layanan suara. Dalam hal PT. WIN, tidak terjadi perubahan kepemilikan saham apalagi pemindah – tanganan izin prinsip. PT. Primasel semula memperoleh izin penyelenggaraan telekomunikasi bergerak dengan teknologi PHS, dan hanya untuk wilayah jawa Timur saja. Uji coba jaringan telah dilakukan pada tahun 1997 di kota Surabaya dan sekitarnya, namun demikian krisis moneter mengharuskan Primasel menghentikan uji cobanya.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.