Oleh : Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Ketua, Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL)
Peneliti, Lembaga Studi Kebijakan Ekonomi dan Telematika (GASKET)
Harian Bisnis Indonesia (HBI) membuat sejarah baru sepanjang usia penerbitannya. Pada hari yang sama, Rabu 18 Mei 2005, sekaligus menyajikan berita utama tentang perijinan layanan 3G di halaman pertama dan ditambah dengan berita setengah halaman di lembar pertama halaman Teknologi Informasi. Hal ini setidaknya menunjukkan dua hal, pertama substansi berita dianggap sangat penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak, dan kedua, HBI menunjukkan dirinya sebagai media cetak yang memiliki perhatian besar terhadap kemajuan industri telekomunikasi di Indonesia.
Menyimak substansi berita, bahwasanya Pemerintah akan menender ulang ijin penyelenggaraan selular generasi ketiga (3G), dan sekaligus akan membersihkan frekuensi 3G sebagaimana disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informasi dan didukung oleh Menko Perekonomian, sungguh hal ini merupakan berita yang menggembirakan, mengejutkan, namun sekaligus juga menuai banyak komentar dan pertanyaan yang tak sempat diajukan dalam acara dialog publik dengan tajuk Restrukturisasi Frekuensi untuk Keunggulan Industri Infokom di Indonesia.
Sinyal Kebijakan
Menggembirakan, karena pemerintah melalui Menteri Kominfo telah memberi sinyal komitmen untuk memperbaiki kinerja industri telekomunikasi di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, penetrasi telepon di Indonesia masih tergolong rendah, rasio satuan sambungan telepon tetap terpasang dengan populasi penduduk masih berkisar 4: 100, sementara untuk layanan nirkabel (wireless) sudah lebih baik, yakni 15:100. Rasio teledensity seperti ini mengandung makna masih diperlukannya investasi yang sangat besar untuk membangun jaringan dan layanan telekomunikasi, sehingga semakin banyak warga masyarakat yang dapat menikmati kemajuan teknologi infokom.
Jika saja semua dana yang diperlukan untuk membangun infrastruktur telekomunikasi dapat disediakan oleh negara, eksistensi layanan telekomunikasi secara monopoli dapat dipertahankan dengan menugaskan badan penyelenggara telekomunikasi – sesuai mandat Undang – Undang Nomor 3 tahun 1989 - untuk menyediakan semua jenis layanan. Yang menjadi persoalan, Pemerintah dihadapkan pada keterbatasan anggaran sementara banyak sektor pembangunan yang harus mendapat prioritas. BUMN yang mengemban amanat sebagai badan penyelenggara telekomunikasi-pun masih digelayuti dengan berbagai persoalan manajerial sehingga kinerjanya hingga akhir dekade 90-an belum mampu melayani semua wilayah negeri ini. Sementara itu, desakan liberalisasi dan globalisasi ekonomi dengan karakter arus investasi yang mengalir tanpa mengenal batas negara, mendorong dilakukannya restrukturisasi pasar, dari yang semula monopolistik menjadi kompetitif.
Konsekuensi dari pasar yang kompetitif adalah adanya lebih dari satu operator telekomunikasi. Undang – Undang Telekomunikasi Nomor 36 tahun 1999 menjadi landasan hukum bagi diselenggarakannya layanan telekomunikasi secara kompetitif. Sesudah hampir enam tahun monopoli dihapuskan, ternyata kompetisi yang diidamkan belum optimal, hal ini terlihat dari masih dominannya operator lama yang menguasai hampir semua jenis layanan telekomunikasi dengan pangsa pasar untuk tiap – tiap layanan di atas 50%. Agar kompetisi dapat dioptimalkan baik secara kuantitatif maupun kualitatif, diperlukan kebijakan yang memberikan peluang bagi masuknya pendatang baru (new entrants), khususnya untuk layanan telekomunikasi yang tergolong baru dengan teknologi baru.
Kebijakan semacam ini telah ditunjukkan oleh Pemerintah, salah satunya dengan membuka layanan telekomunikasi selular generasi tiga (3G), dan layanan selular lain yang menempati pita frekuensi yang dialokasikan untuk layanan 3G. Pernyataan Menteri Kominfo tentang rencana membersihkan frekuensi 3G dapat dibaca sebagai sinyal kebijakan dari Pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu untuk mendorong kemajuan industri telekomunikasi yang selama ini masih dirasa kurang optimal.
Keseimbangan Kebijakan
Para penganjur New Public Management (NPM) menyatakan, agar suatu regim pemerintah dapat terus berada di tampuk kekuasaan pada era globalisasi, perlu secara pragmatis mengubah pendekatan kebijakan. Pemerintahan yang otoriter cenderung tidak berusia panjang, sebaliknya yang sangat demokratis sehingga membolehkan setiap aksi massa, juga tidak dapat efektif. Pergantian regim penguasa sebaiknya tidak selalu diterjemahkan sebagai peluang untuk mengganti kebijakan yang pernah diterbitkan oleh pemerintah sebelumnya. Dalam beberapa hal, kelangsungan dan keseimbangan kebijakan perlu dibangun, agar biaya sosial yang telah dibelanjakan untuk pembuatan kebijakan dapat dikompensasi dengan manfaat sosial yang seringkali perolehannya jauh sesudah suatu kebijakan diterbitkan.
Menggunakan pola pikir di atas dan diterapkan dalam persoalan yang menghangat pada akhir – akhir ini seputar perijinan layanan 3G, sungguh merupakan kejutan besar apabila pernyataan Menteri tentang pencabutan ijin layanan 3G yang sudah diberikan kepada beberapa operator jadi dilaksanakan. Dikatakan kejutan karena hal serupa belum pernah terjadi sebelumnya, demikian pula, pencabutan ijin yang diterbitkan pemerintahan terdahulu oleh pemerintahan penggantinya akan merupakan preseden baru yang berimplikasi politik, hukum, sosial ekonomi yang cukup serius.
Dikatakan cukup serius dan multi dampak cukup beralasan, karena perijinan yang diberikan kepada tiga operator layanan 3G dan satu operator layanan CDMA yang disebut Menteri Kominfo akan dicabut, sejatinya memperoleh ijin yang sudah menggunakan model Perijinan Modern / PM (modern licensing), dimana perijinan diberlakukan sebagai kontrak antara Pemerintah dan Operator. Kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban. Dalam PM, ijin penyelenggaraan layanan 3G berlaku sampai jangka waktu yang tidak terbatas, sepanjang penerima ijin mengikuti ketentuan peraturan perundang – undangan di bidang telekomunikasi yang berlaku. Kinerja operator ditetapkan dalam tolok ukur target pembangunan jaringan dan kinerja operasional yang dievaluasi secara menyeluruh setiap lima tahun. Sebagaimana diketahui ijin operasional 3G yang sudah diterbitkan semuanya baru dimulai tahun 2004.
Bahwasanya ada pihak yang belum memperoleh ijin layanan 3G dan hal ini dianggap sebagai suatu ketidak-adilan, atau proses pemberian ijin di masa lalu yang dinilai tidak konsisten, semua argumen ini dapat diterima. Namun demikian adanya kebijakan yang tidak seimbang dalam pengertian mendahulukan suatu pihak sementara banyak pihak yang lain harus dikorbankan, merupakan pengulangan kebijakan yang tidak konsisten, dan dikhawatirkan akan ditiru oleh regim pemerintah berikutnya. Belum lagi tentunya akan muncul keberatan atau bahkan tuntutan hukum dari para pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah tersebut, yang semua ini berdampak pada makin melambatnya laju pembangunan telekomunikasi akibat dari berkurangnya kepercayaan investor terhadap kepastian regulasi di Indonesia.
Solusi Optimal
Satu hal, terucap di media publik atau hanya bisik – bisik di lingkungan terbatas, pernyataan Menteri Kominfo tentang pencabutan ijin dan tender ulang telah menuai berbagai komentar dan pertanyaan. Ada yang ragu dan pesimis bahwa Pemerintah benar – benar akan melaksanakan ucapannya, ada pula yang mempertanyakan masa depan bisnisnya, namun ada pula yang menganggapnya sebagai terbukanya peluang untuk ikut bisnis 3G. Berbagai komentar dan pertanyaan tersebut memerlukan klarifikasi lebih detail dari Pemerintah agar laju pembangunan sektor telekomunikasi tidak tersendat atau bahkan stagnan. Selain itu, adanya klarifikasi dapat berdampak positif pada kepastian komitmen investasi.
Merupakan tugas Pemerintah untuk memperkuat fungsi monitoring yang efektif agar aktivitas utama di bidang telekomunikasi dapat berjalan dengan benar. Upaya ini dimaksudkan agar muncul transparansi dan adanya perlakuan yang sama (equal treatment) terhadap semua operator dan calon operator yang berniat meramaikan kompetisi, membangun jaringan dan layanan telekomunikasi, memajukan industri Infokom di Indonesia. Lebih jauh, dalam fungsinya sesuai dengan makna Pasal 4 UU 36/1999, Pemerintah selain berupaya meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi dengan berbagai kebijakan yang bersifsat fasilitasi, dapat pula menaruh perhatian yang besar pada pengawasan pemenuhan komitmen dari operator atau calon operator, bukan pada kepemilikan dari perusahaan.
Jika persoalan intinya adalah perlunya Pemerintah memberikan ijin penyelenggaraan 3G kepada incumbent operators, dan adanya pemegang ijin yang masih lambat dalam memenuhi komitmennya membangun jaringan, sementara dianggap terlalu cepat dalam bermitra dengan investor internasional, maka sebenarnya hal ini tidak perlu memperlambat masuknya pendatang baru /calon operator yang memiliki komitmen untuk membangun jaringan dan layanan telekomunikasi. Isu kepemilikan menjadi kurang relevan pada era kompetisi dan globalisasi seperti sekarang ini karena arus modal dapat dan akan datang dari mana saja, sementara pada masa sekarang kita justru harus memaksimalkan penarikan dana dari luar se-efisien mungkin dengan berbagai macam cara/instrumen yang ada di luar pendanaan dalam negeri yang sangat terbatas.
Dengan memperhatikan berbagai aspek permasalahan yang terkait dengan penyelenggaraan layanan 3G, ada solusi optimal (win – win solution) yang dapat ditempuh tanpa ada pihak yang harus dirugikan, sementara tujuan pembangunan telekomunikasi dapat terwujud. Pemerintah diharapkan memanggil semua operator 3G dan calon operator CDMA di pita frekuensi 3G. Kepada semua operator ini diminta untuk membuat komitmen baru pembangunan jaringan dalam tempo setahun. Besarnya komitmen disesuaikan dengan spektrum frekuensi yang telah diberikan, semakin lebar semakin besar jumlah satuan sambungan yang harus dipasang. Komitmen baru ini dibuat secara transparan, diumumkan ke publik, dan disepakati tolok ukur keberhasilannya. Jika pada tempo yang telah ditetapkan operator tersebut tidak mampu membangun sesuai komitmennya maka kepada operator bersangkutan Pemerintah harus secara tegas menerapkan sangsi berupa pengurangan lebar pita frekuensi, atau bahkan pembatalan ijin secara keseluruhan tanpa ganti rugi.
Konsekuensi dari solusi ini, operator dipacu untuk membangun jaringan dan layanan dalam tempo singkat, jika tercapai hasilnya akan menambah penetrasi telepon. Jika komitmen pembangunan juga termasuk di wilayah – wilayah yang dikehendaki Pemerintah, maka pemerataan jaringan dan layanan telekomunikasi akan terwujud dengan lebih cepat. Konsekuensi lain, incumbent operators yang saat ini belum memperoleh ijin 3G harus bersabar, sedikitnya setahun, hingga tersedia pita frekuensi yang dikembalikan dari operator yang tidak mampu memenuhi komitmen. Jika diinginkan untuk mempercepat masa tunggu, sebelum komitmen semua operator dilaksanakan, Pemerintah dapat menguji kemampuan operator dalam mewujudkan rencana pembangunannya. Jika kemampuan keuangan tidak memadai untuk melaksanakan pembangunan jaringan dan layanan, sebaiknya sebagian lebar pita yang sudah dialokasikan dikembalikan kepada Pemerintah, untuk selanjutnya melalui mekanisme tender diberikan kepada incumbent operators.
Dengan menerapkan solusi di atas, biaya yang harus ditanggung oleh incumbent operators hanyalah ”biaya kesabaran” belaka yang implikasinya juga tidak terlalu signifikan. Wajar jika muncul kekhawatiran akan mengalami keterlambatan dalam memasuki pasar layanan 3G, tetapi bukankah second followers tidak selalu akan menjadi yang nomor buntut. Bukankan Telkomsel harus muncul belakangan dan memulai bisnis dari Batam setelah Satelindo lebih dahulu beroperasi di Jakarta, dan kita lihat sekarang, siapa operator GSM di Indonesia yang terbesar? *****
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.