Artikel ini telah dimuat sebagai kolom di Majalah Human Capital.
Seorang eksekutif perusahaan multinasional pernah mengingatkan kepada rekan bisnisnya, hati – hati ketika perusahaan mengalami sukses terus menerus. Karena menganggap apa saja dapat diraih, jangan – jangan akan percaya bahwa sebagai pimpinan perusahaan-sukses akan dapat berjalan kaki di atas air. Penyakit sukses lainnya antara lain menihilkan peran serta pihak lain yang tidak terlihat secara langsung dalam proses mencapai sukses tersebut. Padahal, disadari atau tidak, di dalam keberhasilan yang diraih selalu ada campur tangan pihak lain baik yang terlihat maupun yang invisible. Pribadi semacam ini berkecenderungan memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi, dan seringkali tidak menghargai upaya dan jasa orang lain yang membantunya. Di sisi lain, ada pula sebagian orang yang karena selalu merasa gagal, sehingga menganggap dirinya diperlakukan secara tidak adil oleh alam dan lingkungan. Mereka yang berada pada kelompok ini cenderung melihat dunia dari perspektif negatif, tidak percaya bahwa selalu ada pihak yang dapat membantu atau dapat diajak bekerja sama, meringankan beban atau memudahkan tugas.
Dua kondisi ekstrem, yang satu selalu sukses yang dan lainnya selalu gagal, dapat pula terjadi pada level perusahaan. Perusahaan yang selalu sukses, tumbuh besar, dapat menjadi monopolist, namun karena besarnya dan budaya perusahaan yang terbentuk menjadikannya tidak menyadari bahaya lingkungan. Semua hal dianggap sebagai luaran dari keputusan manajemen yang rasional setelah dilakukan analisis komprehensif. Ketika pesaing yang semula tidak dianggap (karena kemampuannya masih lemah), berubah menjadi sama besarnya, perusahaan tidak melihatnya sebagai suatu kesalahan atas tindakannya sendiri, melainkan menyalahkan lingkungan dan pihak lain. Perusahaan semacam ini, hanya mampu beraksi pada tataran alam rasional. Mereka tidak mau menyadari bahwa di luar batas kemampuan rasional manusia masih ada kemampuan yang maha dahsyat yang menguasai jagad kecil dan alam raya.
Dalam era bisnis yang diwarnai persaingan sengit, kemampuan manusia baik dia berperan sebagai pemimpin, staf dan pelaksana, selalu ada batasnya. Berupaya terus menerus sesuai kekuatan individu atau perusahaan merupakan suatu keniscayaan. Kapasitas kepemimpinan individu atau perusahaan justru diuji ketika dihadapkan pada permasalahan – permasalahan yang tidak dihadapi sehari – hari.
Jika percaya bahwa alam semesta merupakan sebuah ekosistem, maka apa saja yang dilakukan manusia selalu merupakan mata rantai dari ekosistem alam raya. Perusahaan yang secara sadar mulai memasukkan elemen ekosistem alam raya, termasuk kekuatan – kekuatan spiritual di dalam proses keputusan maupun operasional sehari – hari dapat digolongkan sebagai Spiritual Company. Pimpinan perusahaan dan segenap pegawai menyadari kekuasaan dan campur tangan Tuhan di dalam setiap tindakan dan pilihan kebijakan yang diambil.
Spiritual mengacu pada suatu sifat yang mengandung energi, semangat, kekuatan yang ada namun tiada dapat terlihat, hanya dapat dirasakan keberadaannya. Secara khusus, Spiritual Company tidak berkaitan dengan agama yang dianut oleh setiap pimpinan dan pegawai perusahaan. Ia lebih merupakan perwujudan dari pengakuan bahwa gagal suksesnya perusahaan tidak hanya sebagai resultan dari upaya fisik yang dilakukan manusia, namun di dalamnya ada intervensi dari Tuhan Yang Maha Esa, sebagai sumber spirit.
Pertanyaannya, bagaimana mewujudkan Spiritual Company? Di dalam membentuk perusahaan menjadi Spritual Company, pertama pimpinan perusahaan perlu memasukkan hal ini sebagai pembinaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Selanjutnya, perlu dialokasikan waktu agar semua pegawai dapat melakukan doa bersama secara berkelompok sesuai dengan agama dan keyakinannya. Masing – masing kelompok berdoa menggunakan tata caranya sendiri dengan substansi yang sama, menyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan, memohon bimbingan dan perlindungan, mendoakan para pemimpin agar dalam membuat keputusan yang terbaiklah yang dipilih, dan meminta agar seluruh pegawai selalu diberi iman dan taqwa, jauh dari perbuatan dosa dan tercela, dihindarkan dari kejahatan, mara-bahaya serta cobaan berat yang tidak mampu dipikul. Selain doa bersama, pimpinan perusahaan secara berkala dapat mengundang tokoh agama atau tokoh spiritual untuk memberikan pencerahan kepada seluruh elemen perusahaan.
Jika kegiatan seperti tersebut di atas dilakukan secara terus menerus, niscaya akan berpengaruh positif kepada perusahaan. Sukses merupakan tujuan, namun jika dalam upaya meraih sukses ditemui hambatan, tidak lantas bersumpah serapah, menyalahkan kambing hitam. Jika sukes telah diraih, tidak lantas sombong atau lupa diri, namun segera menyatakan terima kasih kepada semua pihak, termasuk kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Spiritual Company mengubah perilaku individu dan perusahaan dari yang semula congkak menjadi santun dan peduli kepada lingkungan sekitarnya. Trend perusahaan yang bercita – cita menjadi Spiritual Company, semakin hari semakin banyak. Biasanya dimulai dari pemimpinnya terlebih dahulu. Microsoft salah satunya. Setelah selama dua dekade lebih memimpin pasar piranti lunak komputer, Bill Gates, pendiri Microsoft, mulai menyadari bahwa sukses yang telah diraihnya selama ini merupakan berkah dan anugerah dari Tuhan. Maka yang dilakukannya, tidak lagi memikirkan menumpuk untung, namun Gates mendirikan yayasan amal yang menyantuni mereka yang masih terbelakang ekonomi dan pendidikannya. Langkah Bill Gates yang semula wujud dari kesadaran individu, lambat laun diadopsi sebagai strategi dan kebijakan Microsoft.
Di Indonesia, ada seorang wanita yang sukses berbisnis, sejak awal menyadari bahwa upaya bisnisnya merupakan perwujudan ibadah, tidak hanya menyejahterakan dia dan keluarganya, namun juga lingkungan terdekat, pegawai dan pelanggan. Falsafah Spiritual Company ini kemudian ditularkan kepada anak buah dan mitra bisnisnya. Hasilnya? sukses yang damai dan menentramkan.*****
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.