((Artikel ini merujuk pada karya Robin Mansell))
Inovasi dilakukan untuk meningkatkan layanan informasi dan telekomunikasi. Inovasi yang berlangsung dengan cepat dapat menumbuhkan pasar persaingan. Pasar layanan informasi dan komunikasi yang memberikan peluang bagi pemain baru akan mengakhiri monopolisasi. Struktur industri telekomunikasi akan semakin kompleks dengan adanya perubahan teknologi dan institusi.
Pada tahun 1980-an tedapat beberapa perubahan dalam industri telekomunikasi yaitu, perubahan jaringan telekomunikasi (dari analog ke digital switching dan transmisi) dan perubahan kebijakan dan regulasi yang memberikan peluang bagi pemain baru untuk ikut serta dalam persaingan pada industri telekomunikasi.
Terdapat dua pandangan dalam menginterprestasikan pengaruh dari perubahan tersebut (Mansell, 1993). Pertama model Idealis, yang diperoleh dari teori yang menggambarkan munculnya pasar persaingan sempurna. Pasar persaingan sempurna ditandai dengan ketiadaan halangan bagi perusahaan untuk masuk dan keluar (Clark, 1961).
Pandangan yang kedua adalah model Strategis, yang menggambarkan teori persaingan tidak sempurna, monopolistik dan oligopolistik. Pada model ini diasumsikan bahwa perusahaan tidak menentukan, ketidakstabilan ligopoli dimana perubahaan korporasi dengan sengaja menggunakan strategi harga jangka pendek untuk mencapai pertahaanan jangka panjang dan kekuatan monopoli (Melody, 1985). Dalam model strategis, terdapat persaingan di antara perusahaan yang dominan, dan hasil dari monopolisasi tidak memberikan keuntungan yang sama kepada seluruh perusahaan dalam pasar.
Menurut Clark (1961) monopolisasi tidak mengarah kepada monopoli melainkan kepada kegiatan perusahaan (yang dominan) yang berusahaan untuk membentuk kekuatan pasar. Model Strategis mengakui bahwa monopolisasi merupakan proses yang terus menerus memberikan hasil yang tidak pasti.
Pandangan terhadap model Idealis tahun 1980-an mengandung dua asumsi yaitu, perluasan pasar melalui harga dan permintaan yang ”tepat pada waktunya” (Mansell dan Steinmueller, 1996). Perluasan pasar melalui harga diharapkan dapat mendorong liberalisasi dan privatisasi pasar, menciptakan persaingan melalui reduksi harga, dan meningkatkan elastisitas permintaan. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa dengan menghilangkan penghalang masuk dan dengan mengubah rangsangan terhadap perusahaan, maka persaingan pada layanan telekomunikasi akan mendekati sempurna.
Permintaan yang ”tepat waktu” diharapkan tidak hanya dapat mengubah penawaran pasar tetapi juga memberikan pendapatan yang besar. Model Idealis mengasumsikan bahwa liberalisasi pasar dan deregulasi akan menciptakan pasar persaingan sempurna. Dalam pasar persaingan sempurna, permasalahan investasi dan penawaran akan selesai dengan sendirinya.
Pada model idealis, pasar persaingan sempurna merupakan mekanisme yang paling efektif untuk mengkoordinasi interaksi diantara seluruh pemain di dalam pasar. Namun, pada model Strategis, diakui bahwa seluruh pemain tidak ditempatkan pada posisi yang sama. Incumbents, dan Insurgents diikutsertakan dalam proses persaingan dan monopolisasi yang memungkinkan pemain memperoleh kekuatan di dalam pasar. Penguasaan pasar akan tergantung pada kemampuan mereka untuk mempertahankan atau mendapatkan dominasi serta mengendalikan lingkungan jasa atau infrastruktur.
Hasil dari pasar tersebut dipengaruhi oleh (1) perubahan dalam keseimbangan kekuatan di antara pemasok sebagai akibat dari strategi investasi dan keputusan mengenai pengaturan dan kebijakan persaingan; (2) perbedaan tingkat perkembangan permintaan; dan (3) pengaruh yang tidak diharapkan dari pengembangan teknikal.
Analisis mengenai skenario perubahan pasar di Eropa dapat membantu untuk mengilustrasikan hasil tersebut dalam jangka panjang, menengah dan jangka pendek. (Bernard et.at. 1996; Mansell, 1996).
Dalam jangka pendek, kepemimpinan incumbent sangat mungkin bersifat mutlak. Sementara dalam jangka menengah dan jangka panjang, karena waktu pandangannya hingga pada dekade selanjutnya, terdapat tiga kemungkinan yang akan terjadi di mana masing-masing mengimplikasikan kombinasi dan distribusi kekuatan pasar yang berbeda.
Pertama, Kepemimpinan incumbent akan terus berlanjut selama jangka menengah jika incumbent menguasai permintaan yang cukup untuk membatasi masuknya persaingan dalam bidang jasa maupun infrastruktur. Kedua, kepemimpinan Incumbent beralih menjadi kepemimpinan Insurgent dimana suatu kombinasi teknologi yang berbeda akan tersebar untuk meningkatkan infrastruktur. Ketiga, komunitas virtual akan terbentuk dengan adanya pengembangan yang besar dari Internet sebagai dasar peningkatan teknologi informasi dan komunikasi.
Kemajuan yang signifikatn dalam keamanan jaringan publik telekomunikasi dan internet akan membutuhkan beberapa fitur keamanan seperti monitorisasi dan otorisasi. Dalam melaksanakannya akan membutuhkan biaya penggunaan jaringan tersebut bagi user. Beberapa user akan bersedia membayar lebih tinggi untuk mendapatkan akses dan layanan yang lebih tinggi untuk mendapatkan sambungan yang baik yang akan mengizinkan mereka untuk menerima informasi dalam audio-visual, audio, gambar serta file untuk keperluan usaha, sosial, hiburan dan pendidikan. Kebijakan mengenai hal tersebut harus dibuat dengan mempertimbangkan informasi yang bernilai tinggi.
Jika incumbent dan insurgent menggunakan kekuatan pasar mereka untuk mengganggu jalannya persaingan maka kebijakan dari pemenrintah akan sangat penting untuk menilai dan mengawasi berbagai investasi dalam infrastruktur dan konten (termasuk software). Walaupun penggabungan antara incumbent dan insurgent menguntungkan dalam meningkatkan kekuatan persaingan nasional dalam pasar global, namun akan menghalangi para pemain kecil untuk ikut serta dalam persaingan.
Refferensi:
Bernard, J.G., Cattanco,R., Mansell, R., Silverstone, and W.E Steinmueller. 1996, The Way Forward: Advanced Communication, Economic Growth and Social Development in Europe. Final Report for Europeean Commision ACTS FAIR project AC093, June, 1996.
Clark, J.M. 1961, Competition as Dynamic Process. The Brookings Institution, New York.
Mansell, R. 1993. The New Telecommunications: A Political Economy of Netwoek Evolution. Sage, London.
Mansell, R., and W.E Steinmueller. 1995. Intellectual Property Rights: The Development of Information Infrastructure for the Information Society: Final Report. Prepared for Scientific amd Technological Option Assessment (STOA) Programme of the European Parlement, Maastrichi, MERIT, October,17th.
Melody, W.H. 1985. The Information Society: Implication for Economic Institution and Market Theory. Journal of Economic Issue 19, No.2, 523-539.
Bermanfaat Bagi Manusia Lain Tidak Harus Memberi Dalam Bentuk Barang, Tetapi Dapat Memberi Dalam Wujud Ilmu Pengetahuan Yang Berguna Positif. Bermanfaat Itu Memberi Apa Yang Dibutuhkan, Bukan Apa Yang Diinginkan. Semoga Kumpulan Tulisan Ini Dapat Memenuhi Mereka Yang Membutuhkan. Illahi Anta Maqsudi Wa Ridhoka Matlubi. Ya Allah, Semua Yang Saya Kerjakan Tiada Lain Hanya Untuk Mendapat RidhoMu.
Wednesday, June 04, 2008
Pengaruh Evolusi Pasar Terhadap Dinamika Persaingan
Gatignon dan Soberman (2002) mengidentifikasi secara garis besar tiga hal yang menjelaskan mengapa evolusi pasar mempengaruhi respon terhadap masing-masing pesaing. Pertama, strategi pasar yang atraktif (dalam bentuk ukuran pasar yang diharapkan, pemenuhan kebutuhan konsumen, dan kemampuan untuk menghasilkan keuntungan jangka panjang). Kedua, jumlah pesaing (yang berubah dengan masuk dan keluarnya perusahaan dalam persaingan) dan yang terakhir, adanya evolusi reaksi konsumen.
1. Strategi Pasar Atraktif
Secara keseluruhan, pertumbuhan pasar merupakan hasil dari persaingan perusahaan yang membawa kelompok-kelompok konsumen yang berbeda ke dalam pasar. Hal ini akan membentuk struktur pasar yang kompleks di mana relativitas elastisitas silang harga dalam persaingan menjadi lemah. Dalam lingkungan yang penuh dengan ketidak pastian, perusahaan akan enggan untuk memberikan respon yang besar atau bahkan menundanya.
Dalam Proposisi 10a dan 10b, penelitian ini memasukkan faktor-faktor tersebut ke dalam pandangan umum bahwa reaksi persaingan dalam pasar yang sedang mengalami pertumbuhan adalah kuat dan cepat.
Proposisi 10a:
Secara umum, respon persaingan lebih kuat dalam pasar yang tingkat pertumbuhannya lebih tinggi.
Proposisi 10b:
Respon persaingan lebih rendah dalam pasar yang penuh dengan ketidakpastian dan dalam pasar yang memiliki struktur yang kompleks.
Jenis analisis dalam suatu industri yaitu, analisis reaksi persaingan dan ukuran pasar secara keseluruhan merupakan analisis standar dalam studi mengenai evolusi pasar. Sample industri yang besar akan memberikan perbedaan yang jelas mengenai kedua kondisi yang dinyatakan dalam Proposisi tersebut. Satu sumber yang potensial memisahkan panel data konsumen, walaupun data tersebut secara umum terbatas dalam frekuensi pembelian barang (Leeflang dan Wittink, 1992). Sebagai alternatif, dapat dilakukan pengukuran reaksi persaingan tanpa data yang lengkap dari seluruh pesaing. Misalnya, data PIMS menyediakan berbagai lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan studi terdahulu mengenai reaksi persaingan (Robinson, 1988; Ramawasmy et.al, 1994). Data survey juga telah digunakan pada studi reaksi persaingan (Gatignon et.al., 1997). Tanpa menghiraukan keabsahan data, proposisi tersebut dapat diuji dengan model regresi atau lebih tepat dari sudut pandang statistik, dengan menggunakan berbagai macam model parameter yang lebih baik.
Stabilitas lingkungan. Suatu kunci faktor eksogenous yang mempengaruhi evolusi pasar adalah stabilitas lingkungan dalam bentuk basis pelanggan, sistem distribusi, sistem produksi, dan teknologi. Belum lagi, cepatnya perubahan harga dan tersedianya komoditi dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan pasar.
Teknologi dapat dimasukkan ke dalam beberapa kategori dalam bentuk produk atau proses produksi (misalnya, mikroprosesor merupakan elemen integral dalam berbagai industri yang tidak ada hubungannya). Hal ini merupakan sumber ketidakpastian, khususnya dalam produk dengan kandungan teknologi yang signifikan (Mansfield, 1961). Kunci penentu kecenderungan perusahaan untuk merespon suatu inisiatif persaingan (seperti peluncuran produk baru) merupakan budaya dan sistem perusahaan tersebut. Perusahaan diamati untuk merespon dengan cepat terhadap masuknya produk baru dalam industri yang dikelompokkan berdasarkan tingkat perubahan teknologi (Bowman dan Gatignon, 1995). Hal ini disimpulkan dalam Proposisi 11.
Proposisi 11:
Dalam pasar yang sedang mengalami pertumbuhan, faktor yang paling mempengaruhi respon terhadap persaingan adalah lingkungan.
2. Jumlah Pesaing
Dalam pasar yang sudah dewasa, terdapat proses penggabungan (jumlah perusahaan yang aktif turun). Selain itu, perusahaan tersebut akan membuat kategori sepsifik investasi yang signifikan (fasilitas produk, tenaga penjualan, atau saluran distribusi). Inisitif baru tersebut, memberikan ancaman yang signifikan sehingga perusahaan-perusahaan lainnya akan memberikan perhatian untuk mengawasi aktivitas persaingan dan bereaksi dengan cepat (dan secara intensif) ketika terlihat suatu ancaman. Tentu saja, mengawasi pesaing lebih mudah jika jumlah pesaingnya sedikit. Oleh karena itu, dalam industri yang telah dewasa, reaksi terhadap inisiatif baru seharusnya menjadi lebih cepat dan lebih kuat. Bagaimanapun juga, pengaruh kedua dari pemusatan (ketika jumlah perusahaan penting berkurang menjadi lima atau lebih) adalah kordinasi dan ”pembatasan” persaingan menjadi lebih mudah. Suatu perusahaan mungkin tidak bereaksi pada persaingan inisiatif kecuali jika wilayahnya dalam keadaan terancam.
Karena kedua pengaruh tersebut bertindak dalam arah yang berbeda, sebagian besar penelitian menemukan bahwa konsentrasi pasar tidak signifikan dalam menjelaskan besar atau cepatnya reaksi peraingan.
Pendeknya, hal pertama dalam kehidupan suatu pasar, biasanya terdapat banyak atomisasi persaing yang tidak merespon (atau bahkan tidak mengetahui) pesaing lainnya. Dalam suatu studi kategori, kemajuan relatif dalam siklus hidup pasar, Kuester et.al. (1999) menemukan terdapat pengaruh negatif yang kuat dari pemusatan terhadap kecepatan, perluasan dan intensitas reakso persaingan. Analisis longitudinal menunjukkan bahwa kecepatan, intensitas dan kekuatan reaksi persaingan berbentuk U terbalik selama siklus hidup pasar, dan penelitian ini menyimpulkannya dalam Proposisi 12.
Proposisi 12:
Setelah tahap pengenalan, jumlah pesaing menurun dan reaksi incumbent dalam intensitas, kecepatan dan perluasan akan meningkat. Dalam pasar yang telah dewasa, jumlah pesaing semakin berkurang, reaksi persaingan dalam intensitas, kecepatan dan perluasan akan mengalami penurunan.
3. Perkembangan reaksi konsumen
Pada pasar yang telah dewasa, dapat terjadi dua hal pada struktur pasar. Pertama yaitu tipe komsumen yang ikut serta dalam perubahan pasar. Pada tahap pengenalan, pembeli merupakan inovator yang sensitif terhadap harga dan berkeinginan untuk mencoba. Berbeda dengan pasar yang telah dewasa, yang didominasi oleh pengikut yang lebih takut pada resiko dan sensitif terhadap harga. Demikian, terdapat kecenderungan alami dalam pasar menjadi lebih sensitif terhadap harga. Kedua, pada pasar yang telah dewasa, terdapat peningkatan yang signifikan terhadap pengetahuan mengenai industri. Perubahan ini menunjukkan sebagai suatu pengurangan dalam sensitivitas konsumen terhadap kegiatan periklanan dan pemasaran (konsumen memberitahukan dan mengetahui apa yang mereka inginkan, sehingga tidak akan mempengaruhi aktivitas pemasaran).
Terdapat dukungan untuk peranan elastisitas pasar sebagai prediktor dalam respon terhadap persaingan. Gatignon et.al. (1989), Shankar (1997, 1998) dan Kuester et.al (1999) menemukan bahwa semakin besar elastisitas pemasaran (berhubungan dengan pesaing), maka semain kuat reaksinya. Hubungan ini dikumpulkan berdasarkan evolusi elstisitas pasar yang diharapkan dalam Proposisi 13 dan 14.
Proposisi 13:
Pada pasar yang telah dewasa, elastisitas harga akan meningkat dan hasilnya, reaksi persaingan terhadap inisiatif harga akan menjadi semakin kuat.
Proposisi 14:
Pada pasar yang telah dewasa, elastisitas biaya (seperti periklanan, promosi, dan kekuatan penjualan) mengalami [enurunan dan hasilnya reaksi persaingan terhadap inisiatif biaya akan menjadi semakin rendah.
Terdapat banyak studi empiris yang menguji evolusi elastisitas bauran pemasaran dibandingakan dengan siklus hidup produk. Namun tidak terdapat bentuk yang konsisten pada elastisitas harga maupun elastisitas pemasaran yang telah diteliti. Satu penjelasan yang potensial untuk hal ini yaitu bahwa interaksi antara perusahaan dan konsumen dapat mengubah perkembangan pasar secara signifikan. Misalnya, Bergemann dan Valimaki (1996) menganalisis pengaruh dari ”pembelajaran konsumen melalui percobaan” terhadap persaingan perusahaan. Percobaan ini mengasumsikan konsumen dapat mempelajari tentang produk. Hasil penelitian menunjukkan perusahaan yang memilih perkenalan harga yang murah untuk menopang percobaan (mengasumsikan produk makanan baru). Harga meningkat setelah periode perkenalan, kelebihan bersaing produk akan dikeetahui. Untuk menguji Proposisi 13 dan 14, diperlukan pembenaran untuk bertindak seperti ”harga perkenalan yang murah sebagai percobaan” (mungkin tergantung pada industrinya). Tindakan seperti itu menyebabkan peningkatan pada harga pasar sebagai perkembangan pasar dan mungkin menimbulkan kekeliruan dalam menyimpulkan bahwa pasar menjadi kurang sensitif terhadap harga.
1. Strategi Pasar Atraktif
Secara keseluruhan, pertumbuhan pasar merupakan hasil dari persaingan perusahaan yang membawa kelompok-kelompok konsumen yang berbeda ke dalam pasar. Hal ini akan membentuk struktur pasar yang kompleks di mana relativitas elastisitas silang harga dalam persaingan menjadi lemah. Dalam lingkungan yang penuh dengan ketidak pastian, perusahaan akan enggan untuk memberikan respon yang besar atau bahkan menundanya.
Dalam Proposisi 10a dan 10b, penelitian ini memasukkan faktor-faktor tersebut ke dalam pandangan umum bahwa reaksi persaingan dalam pasar yang sedang mengalami pertumbuhan adalah kuat dan cepat.
Proposisi 10a:
Secara umum, respon persaingan lebih kuat dalam pasar yang tingkat pertumbuhannya lebih tinggi.
Proposisi 10b:
Respon persaingan lebih rendah dalam pasar yang penuh dengan ketidakpastian dan dalam pasar yang memiliki struktur yang kompleks.
Jenis analisis dalam suatu industri yaitu, analisis reaksi persaingan dan ukuran pasar secara keseluruhan merupakan analisis standar dalam studi mengenai evolusi pasar. Sample industri yang besar akan memberikan perbedaan yang jelas mengenai kedua kondisi yang dinyatakan dalam Proposisi tersebut. Satu sumber yang potensial memisahkan panel data konsumen, walaupun data tersebut secara umum terbatas dalam frekuensi pembelian barang (Leeflang dan Wittink, 1992). Sebagai alternatif, dapat dilakukan pengukuran reaksi persaingan tanpa data yang lengkap dari seluruh pesaing. Misalnya, data PIMS menyediakan berbagai lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan studi terdahulu mengenai reaksi persaingan (Robinson, 1988; Ramawasmy et.al, 1994). Data survey juga telah digunakan pada studi reaksi persaingan (Gatignon et.al., 1997). Tanpa menghiraukan keabsahan data, proposisi tersebut dapat diuji dengan model regresi atau lebih tepat dari sudut pandang statistik, dengan menggunakan berbagai macam model parameter yang lebih baik.
Stabilitas lingkungan. Suatu kunci faktor eksogenous yang mempengaruhi evolusi pasar adalah stabilitas lingkungan dalam bentuk basis pelanggan, sistem distribusi, sistem produksi, dan teknologi. Belum lagi, cepatnya perubahan harga dan tersedianya komoditi dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan pasar.
Teknologi dapat dimasukkan ke dalam beberapa kategori dalam bentuk produk atau proses produksi (misalnya, mikroprosesor merupakan elemen integral dalam berbagai industri yang tidak ada hubungannya). Hal ini merupakan sumber ketidakpastian, khususnya dalam produk dengan kandungan teknologi yang signifikan (Mansfield, 1961). Kunci penentu kecenderungan perusahaan untuk merespon suatu inisiatif persaingan (seperti peluncuran produk baru) merupakan budaya dan sistem perusahaan tersebut. Perusahaan diamati untuk merespon dengan cepat terhadap masuknya produk baru dalam industri yang dikelompokkan berdasarkan tingkat perubahan teknologi (Bowman dan Gatignon, 1995). Hal ini disimpulkan dalam Proposisi 11.
Proposisi 11:
Dalam pasar yang sedang mengalami pertumbuhan, faktor yang paling mempengaruhi respon terhadap persaingan adalah lingkungan.
2. Jumlah Pesaing
Dalam pasar yang sudah dewasa, terdapat proses penggabungan (jumlah perusahaan yang aktif turun). Selain itu, perusahaan tersebut akan membuat kategori sepsifik investasi yang signifikan (fasilitas produk, tenaga penjualan, atau saluran distribusi). Inisitif baru tersebut, memberikan ancaman yang signifikan sehingga perusahaan-perusahaan lainnya akan memberikan perhatian untuk mengawasi aktivitas persaingan dan bereaksi dengan cepat (dan secara intensif) ketika terlihat suatu ancaman. Tentu saja, mengawasi pesaing lebih mudah jika jumlah pesaingnya sedikit. Oleh karena itu, dalam industri yang telah dewasa, reaksi terhadap inisiatif baru seharusnya menjadi lebih cepat dan lebih kuat. Bagaimanapun juga, pengaruh kedua dari pemusatan (ketika jumlah perusahaan penting berkurang menjadi lima atau lebih) adalah kordinasi dan ”pembatasan” persaingan menjadi lebih mudah. Suatu perusahaan mungkin tidak bereaksi pada persaingan inisiatif kecuali jika wilayahnya dalam keadaan terancam.
Karena kedua pengaruh tersebut bertindak dalam arah yang berbeda, sebagian besar penelitian menemukan bahwa konsentrasi pasar tidak signifikan dalam menjelaskan besar atau cepatnya reaksi peraingan.
Pendeknya, hal pertama dalam kehidupan suatu pasar, biasanya terdapat banyak atomisasi persaing yang tidak merespon (atau bahkan tidak mengetahui) pesaing lainnya. Dalam suatu studi kategori, kemajuan relatif dalam siklus hidup pasar, Kuester et.al. (1999) menemukan terdapat pengaruh negatif yang kuat dari pemusatan terhadap kecepatan, perluasan dan intensitas reakso persaingan. Analisis longitudinal menunjukkan bahwa kecepatan, intensitas dan kekuatan reaksi persaingan berbentuk U terbalik selama siklus hidup pasar, dan penelitian ini menyimpulkannya dalam Proposisi 12.
Proposisi 12:
Setelah tahap pengenalan, jumlah pesaing menurun dan reaksi incumbent dalam intensitas, kecepatan dan perluasan akan meningkat. Dalam pasar yang telah dewasa, jumlah pesaing semakin berkurang, reaksi persaingan dalam intensitas, kecepatan dan perluasan akan mengalami penurunan.
3. Perkembangan reaksi konsumen
Pada pasar yang telah dewasa, dapat terjadi dua hal pada struktur pasar. Pertama yaitu tipe komsumen yang ikut serta dalam perubahan pasar. Pada tahap pengenalan, pembeli merupakan inovator yang sensitif terhadap harga dan berkeinginan untuk mencoba. Berbeda dengan pasar yang telah dewasa, yang didominasi oleh pengikut yang lebih takut pada resiko dan sensitif terhadap harga. Demikian, terdapat kecenderungan alami dalam pasar menjadi lebih sensitif terhadap harga. Kedua, pada pasar yang telah dewasa, terdapat peningkatan yang signifikan terhadap pengetahuan mengenai industri. Perubahan ini menunjukkan sebagai suatu pengurangan dalam sensitivitas konsumen terhadap kegiatan periklanan dan pemasaran (konsumen memberitahukan dan mengetahui apa yang mereka inginkan, sehingga tidak akan mempengaruhi aktivitas pemasaran).
Terdapat dukungan untuk peranan elastisitas pasar sebagai prediktor dalam respon terhadap persaingan. Gatignon et.al. (1989), Shankar (1997, 1998) dan Kuester et.al (1999) menemukan bahwa semakin besar elastisitas pemasaran (berhubungan dengan pesaing), maka semain kuat reaksinya. Hubungan ini dikumpulkan berdasarkan evolusi elstisitas pasar yang diharapkan dalam Proposisi 13 dan 14.
Proposisi 13:
Pada pasar yang telah dewasa, elastisitas harga akan meningkat dan hasilnya, reaksi persaingan terhadap inisiatif harga akan menjadi semakin kuat.
Proposisi 14:
Pada pasar yang telah dewasa, elastisitas biaya (seperti periklanan, promosi, dan kekuatan penjualan) mengalami [enurunan dan hasilnya reaksi persaingan terhadap inisiatif biaya akan menjadi semakin rendah.
Terdapat banyak studi empiris yang menguji evolusi elastisitas bauran pemasaran dibandingakan dengan siklus hidup produk. Namun tidak terdapat bentuk yang konsisten pada elastisitas harga maupun elastisitas pemasaran yang telah diteliti. Satu penjelasan yang potensial untuk hal ini yaitu bahwa interaksi antara perusahaan dan konsumen dapat mengubah perkembangan pasar secara signifikan. Misalnya, Bergemann dan Valimaki (1996) menganalisis pengaruh dari ”pembelajaran konsumen melalui percobaan” terhadap persaingan perusahaan. Percobaan ini mengasumsikan konsumen dapat mempelajari tentang produk. Hasil penelitian menunjukkan perusahaan yang memilih perkenalan harga yang murah untuk menopang percobaan (mengasumsikan produk makanan baru). Harga meningkat setelah periode perkenalan, kelebihan bersaing produk akan dikeetahui. Untuk menguji Proposisi 13 dan 14, diperlukan pembenaran untuk bertindak seperti ”harga perkenalan yang murah sebagai percobaan” (mungkin tergantung pada industrinya). Tindakan seperti itu menyebabkan peningkatan pada harga pasar sebagai perkembangan pasar dan mungkin menimbulkan kekeliruan dalam menyimpulkan bahwa pasar menjadi kurang sensitif terhadap harga.
Penelitian Pelengkap: Model Resource-Based View (RBV)
RBV membahas mengenai sumber daya dan kemampuan internal perusahaan serta hubungannya dengan pengambilan keputusan strategis. Selain itu, RBV menjelaskan bagaimana sumber daya perusahaan mempengaruhi hasil dan proses yang kompetitif secara eksternal. Tambahan dari RBV adalah faktor persaingan perusahaan dan peranan dari sumber daya internal pada perusahaan dalam menentukan hasil yang kompetitif.
RBV merupakan teori yang berakar dalam perekonomian, selain itu, RBV berorientasi pada isi dan formulasi strategi.
Memahami RBV
Teori RBV memandang perusahaan sebagai kumpulan sumber daya dan kemampuan (Penrose 1959; Wernerfelt, 1984). Asumsi RBV yaitu bahwa perusahaan bersaing berdasarkan sumber daya dan kemampuan. Perbedaan sumber daya dan kemampuan perusahaan dengan perusahaan pesaing akan memberikan keuntungan kompetitif (Peteraf, 1993).
Sumber daya perusahaan dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu, berwujud, tidak berwujud dan sumber daya manusia (Grant, 2002). Kemampuan menunjukkan apa yang dapat dilakukan perusahaan dengan sumber dayanya (Amit and Schoemaker, 1993). Tingkat kemampuan perusahaan yang lebih tinggi dikenal dengan ‘dinamika kemampuan’ / capability dynamics (Teece, Pisano, dan Shuen, 1997). Dinamika kemampuan merupakan kemampuan perusahaan untuk menciptakan, mempertahankan, atau mengubah kemampuan perusahaan lainnya (Winter 2003).
Menurut RBV, strategi dilakukan dengan mengalokasikan sumber daya kepada kebutuhan pasar pada saat kemampuan perusahaan pesaing tidak mencukupi sehingga akan memberikan hasil yang efektif bagi perusahaan. Sumber daya dan kemampuan perusahaan merupakan hal yang penting dalam strategi tingkat bisnis. Dan sumber daya bernilai yang dapat mempengaruhi berbagai usaha yang dilakukan perusahaan merupakan hal yang penting dalam strategi tingkat korporasi (Montgomery, 1997)
Pada tingkat bisnis, para peneliti telah meneliti hubungan antara sumber daya dan keberlangsungan keunggulan kompetitif (seperti Dierick dan Cool, 1989; Barney, 1991; dan Peteraf, 1993). Fokus RBV yaitu apa yang dapat membuat sumber daya menjadi superior dan mengapa para pesaing tidak bisa mendapatkan, menciptakan atau meniru sumber daya yang lebih baik dengan mudah. Jawabannya adalah karakteristik sumber daya dan kemampuan yang disebut sebagai ’aset strategis’ (Amit dan Schoemaker, 1993) Aset strategis seperti budaya perusahaan yang secara sosial kompleks, bersifat diam dan menyebabkan kebiasan telah menjadi perhatian.
Pada Tingkat korporasi juga memperhatikan bagaimana aset strategis mempengaruhi kinerja perusahaan (Montgomery dan Wernerfelt, 1988). Pengaruhnya tidak hanya berdasarkan pada karakteristik sumber daya, tetapi juga pada mekanisme komunikasi dan koordinasi perusahaan. Faktor-faktor ini memungkinkan perusahaan mengembangkan aset strategis hingga pada kegiatan usahanya. Kinerja suatu perusahaan bergantung pada konsistensi internal diantara ketiga elemen ’ strategi segitiga korporasi’ tersebut – sumber daya, usaha, dan mekanisme organisasi, dimana didalamnya termasuk struktur, sistem dan proses organisasi. (Collins and Montgomery, 1997).
Hal penting lainnya dalam strategi korporasi adalah bagaimana sumber daya membawa pertumbuhan perusahaan. Aset strategis, misalnya, dapat mengurangi masuknya perusahaan ke dalam pasar baru (Montgomery dan Hariharan, 1991). Aset strategis dapat memberikan jalan pada strategi akuisisi sama seperti petunjuk pengambilan keputusan investasi.
Keberhasilan pertumbuhan dan keberlangsungan perusahaan, akan bergantung pada pengembangan sumber daya baru sama seperti mengeksploitasi sumber daya yang lama (Wernerfelt, 1984). Ini juga terjadi pada perubahan kondisi eksternal. Dengan demikian, RBV juga memperhatikan pembelajaran organisasi, akumulasi pengetahuan, kemampuan pengembangan, dan proses perubahan asosiasi (Helfat, 2000). Dinamika RBV memberikan perhatian pada hubungan hal-hal tersebut (Helfat dan Peteraf, 2003)
Model RBV dan RAP: Pertanda Sinergi
Kemampuan manajerial pada berbagai tingkatan organisasi
Satu sisi pada RBV dengan hubungan sinergi pada model RAP berfokus pada sumber daya manajerial, yang disebut sebagai ‘pimpinan yang memiliki keahlian dan kemampuan’ (Castanias dan Helfat, 2001). Penelitian ini memandang manajemen puncak perusahaan sebagai sumber daya penting dalam mencapai keunggulan bersaing yang berkelanjutan dari para pesaingnya (Castanias dan Helfat, 1991). Kemampuan manajerial manajer puncak, termasuk kemampuan dalam memimpin perusahaan akan berbeda seiring terjadinya perubahan waktu (Adner dan Helfat, 2003). Manajer puncak dengan kemampuan yang tinggi dapat menghasilkan keuntungan finansial yang besar baik bagi perusahaannya maupun bagi dirinya sendiri.
Permasalahannya sederhana yaitu, strategi pada tingkat bisnis harus konsisten dengan strategi tingkat korporasi agar perusahaan terus berkembang (Collis dan Montgomery, 1997). Pertalian korporasi merupakan aspek yang penting dalam strategi korporasi. Artinya, ada peran lain bagi manajemen puncak, yaitu memastikan strategi tingkat bisnis dan korporasi sesuai. Dengan demikian, manaemen puncak tidak akan membiarkan suatu unit bisnis berdiri atau membuat penambahan sendiri yang dapat merubah arah perusahaan (Collis dan Johnson, 1994).
Pada perusahaan yang melakukan diferensiasi, terdapat peranan manajemen puncak dalam merancang strategi yang dapat bermain secara unik. RBV pada strategi korporasi memperjelas hal tersebut (Collis dan Montgomery, 1997).
Pada strategi tingkat bisnis RBV menyatakan bahwa perusahaan bersaing berdasarkan pada sumber daya dan kemampuannya (Wernerfelt, 1984). Perusahaan yang memiliki sumber daya yang besar memiliki keunggulan kompetitif dalam bentuk kemampuan untuk menciptakan nilai yang lebih dibandingkan dengan para pesaingnya (Peteraf dan Barney, 2003). Tetapi hal ini harus direalisasikan dengan menggunakan strategi sebagai penuntun dalam pelaksanaannya.
Untuk memperkirakan nilai sumber daya perusahaan dibutuhkan pengetahuan yang mendalam mengenai area persaingan dan kemampuan para pesaing. Hal ini berarti dibutuhkan pengetahuan mengenai para pelanggan dan permintaannya. Dan juga membutuhkan pengetahuan mengenai kemampuan perusahaan itu sendiri, tetapi yang paling penting diperlukan adanya kebijaksanaan untuk mengetahui batasan kemampuan tersebut. Kebijaksanaan ini dan keinginan untuk mengikuti pelaksanaan strategi dibandingkan dengan rangkaian munculnya peluang mungkin hanya dapat ditemukan pada tingkat manajemen puncak dalam perusahaan. Artinya, manajemen puncak memainkan peran yang penting dalam menentukan strategi pada perusahaan yang melakukan pemusatan. Strategi ini akan memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan perusahaan dan, yang lebih penting, apa yang seharusnya tidak dilakukan (Porter, 1996).
RBV memberi perhatian terhadap dinamika organisasi dan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan. RBV menganggap variasi, pemilihan, retensi dan kompetisi sebagai proses yang penting, serta pentingnya rutinitas dan peranan aspirasi dalam mencapai perubahan. *****
RBV merupakan teori yang berakar dalam perekonomian, selain itu, RBV berorientasi pada isi dan formulasi strategi.
Memahami RBV
Teori RBV memandang perusahaan sebagai kumpulan sumber daya dan kemampuan (Penrose 1959; Wernerfelt, 1984). Asumsi RBV yaitu bahwa perusahaan bersaing berdasarkan sumber daya dan kemampuan. Perbedaan sumber daya dan kemampuan perusahaan dengan perusahaan pesaing akan memberikan keuntungan kompetitif (Peteraf, 1993).
Sumber daya perusahaan dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu, berwujud, tidak berwujud dan sumber daya manusia (Grant, 2002). Kemampuan menunjukkan apa yang dapat dilakukan perusahaan dengan sumber dayanya (Amit and Schoemaker, 1993). Tingkat kemampuan perusahaan yang lebih tinggi dikenal dengan ‘dinamika kemampuan’ / capability dynamics (Teece, Pisano, dan Shuen, 1997). Dinamika kemampuan merupakan kemampuan perusahaan untuk menciptakan, mempertahankan, atau mengubah kemampuan perusahaan lainnya (Winter 2003).
Menurut RBV, strategi dilakukan dengan mengalokasikan sumber daya kepada kebutuhan pasar pada saat kemampuan perusahaan pesaing tidak mencukupi sehingga akan memberikan hasil yang efektif bagi perusahaan. Sumber daya dan kemampuan perusahaan merupakan hal yang penting dalam strategi tingkat bisnis. Dan sumber daya bernilai yang dapat mempengaruhi berbagai usaha yang dilakukan perusahaan merupakan hal yang penting dalam strategi tingkat korporasi (Montgomery, 1997)
Pada tingkat bisnis, para peneliti telah meneliti hubungan antara sumber daya dan keberlangsungan keunggulan kompetitif (seperti Dierick dan Cool, 1989; Barney, 1991; dan Peteraf, 1993). Fokus RBV yaitu apa yang dapat membuat sumber daya menjadi superior dan mengapa para pesaing tidak bisa mendapatkan, menciptakan atau meniru sumber daya yang lebih baik dengan mudah. Jawabannya adalah karakteristik sumber daya dan kemampuan yang disebut sebagai ’aset strategis’ (Amit dan Schoemaker, 1993) Aset strategis seperti budaya perusahaan yang secara sosial kompleks, bersifat diam dan menyebabkan kebiasan telah menjadi perhatian.
Pada Tingkat korporasi juga memperhatikan bagaimana aset strategis mempengaruhi kinerja perusahaan (Montgomery dan Wernerfelt, 1988). Pengaruhnya tidak hanya berdasarkan pada karakteristik sumber daya, tetapi juga pada mekanisme komunikasi dan koordinasi perusahaan. Faktor-faktor ini memungkinkan perusahaan mengembangkan aset strategis hingga pada kegiatan usahanya. Kinerja suatu perusahaan bergantung pada konsistensi internal diantara ketiga elemen ’ strategi segitiga korporasi’ tersebut – sumber daya, usaha, dan mekanisme organisasi, dimana didalamnya termasuk struktur, sistem dan proses organisasi. (Collins and Montgomery, 1997).
Hal penting lainnya dalam strategi korporasi adalah bagaimana sumber daya membawa pertumbuhan perusahaan. Aset strategis, misalnya, dapat mengurangi masuknya perusahaan ke dalam pasar baru (Montgomery dan Hariharan, 1991). Aset strategis dapat memberikan jalan pada strategi akuisisi sama seperti petunjuk pengambilan keputusan investasi.
Keberhasilan pertumbuhan dan keberlangsungan perusahaan, akan bergantung pada pengembangan sumber daya baru sama seperti mengeksploitasi sumber daya yang lama (Wernerfelt, 1984). Ini juga terjadi pada perubahan kondisi eksternal. Dengan demikian, RBV juga memperhatikan pembelajaran organisasi, akumulasi pengetahuan, kemampuan pengembangan, dan proses perubahan asosiasi (Helfat, 2000). Dinamika RBV memberikan perhatian pada hubungan hal-hal tersebut (Helfat dan Peteraf, 2003)
Model RBV dan RAP: Pertanda Sinergi
Kemampuan manajerial pada berbagai tingkatan organisasi
Satu sisi pada RBV dengan hubungan sinergi pada model RAP berfokus pada sumber daya manajerial, yang disebut sebagai ‘pimpinan yang memiliki keahlian dan kemampuan’ (Castanias dan Helfat, 2001). Penelitian ini memandang manajemen puncak perusahaan sebagai sumber daya penting dalam mencapai keunggulan bersaing yang berkelanjutan dari para pesaingnya (Castanias dan Helfat, 1991). Kemampuan manajerial manajer puncak, termasuk kemampuan dalam memimpin perusahaan akan berbeda seiring terjadinya perubahan waktu (Adner dan Helfat, 2003). Manajer puncak dengan kemampuan yang tinggi dapat menghasilkan keuntungan finansial yang besar baik bagi perusahaannya maupun bagi dirinya sendiri.
Permasalahannya sederhana yaitu, strategi pada tingkat bisnis harus konsisten dengan strategi tingkat korporasi agar perusahaan terus berkembang (Collis dan Montgomery, 1997). Pertalian korporasi merupakan aspek yang penting dalam strategi korporasi. Artinya, ada peran lain bagi manajemen puncak, yaitu memastikan strategi tingkat bisnis dan korporasi sesuai. Dengan demikian, manaemen puncak tidak akan membiarkan suatu unit bisnis berdiri atau membuat penambahan sendiri yang dapat merubah arah perusahaan (Collis dan Johnson, 1994).
Pada perusahaan yang melakukan diferensiasi, terdapat peranan manajemen puncak dalam merancang strategi yang dapat bermain secara unik. RBV pada strategi korporasi memperjelas hal tersebut (Collis dan Montgomery, 1997).
Pada strategi tingkat bisnis RBV menyatakan bahwa perusahaan bersaing berdasarkan pada sumber daya dan kemampuannya (Wernerfelt, 1984). Perusahaan yang memiliki sumber daya yang besar memiliki keunggulan kompetitif dalam bentuk kemampuan untuk menciptakan nilai yang lebih dibandingkan dengan para pesaingnya (Peteraf dan Barney, 2003). Tetapi hal ini harus direalisasikan dengan menggunakan strategi sebagai penuntun dalam pelaksanaannya.
Untuk memperkirakan nilai sumber daya perusahaan dibutuhkan pengetahuan yang mendalam mengenai area persaingan dan kemampuan para pesaing. Hal ini berarti dibutuhkan pengetahuan mengenai para pelanggan dan permintaannya. Dan juga membutuhkan pengetahuan mengenai kemampuan perusahaan itu sendiri, tetapi yang paling penting diperlukan adanya kebijaksanaan untuk mengetahui batasan kemampuan tersebut. Kebijaksanaan ini dan keinginan untuk mengikuti pelaksanaan strategi dibandingkan dengan rangkaian munculnya peluang mungkin hanya dapat ditemukan pada tingkat manajemen puncak dalam perusahaan. Artinya, manajemen puncak memainkan peran yang penting dalam menentukan strategi pada perusahaan yang melakukan pemusatan. Strategi ini akan memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan perusahaan dan, yang lebih penting, apa yang seharusnya tidak dilakukan (Porter, 1996).
RBV memberi perhatian terhadap dinamika organisasi dan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan. RBV menganggap variasi, pemilihan, retensi dan kompetisi sebagai proses yang penting, serta pentingnya rutinitas dan peranan aspirasi dalam mencapai perubahan. *****
Model Skala dan Ruang Lingkup dalam Industri Telekomunikasi: Permasalahan dalam Analisis Persaingan dan Inovasi
Sistem telekomunikasi selalu didefinisikan sebagai lapisan jaringan dan sering cenderung kepada interkoneksi. Pemahaman yang tepat mengenai skala dan ruang lingkup ekonomi dalam sektor telekomunikasi sangat penting bagi anggota industri, investor yang potensial dan pembuat kebijakan. Untuk itu, pengukuran skala dan lingkup harus dipertimbangkan pada tingkat sektor dan tingkan perusahaan. Pengukuran dalam tingkat produk (atau fungsi) juga penting karena menunjukkan parameter teknologi yang digunakan.
Bagi perusahaan besar, selama periode jangka pendek, akan sulit untuk menyesuaikan proses produksi terutama bagi perusahaan yang memiliki biaya tetap dan menurun. Dalam jangka pendek, skala dan lingkup ekonomi relatif menjadi tinggi. Perusahaan besar perlu melakukan perubahan sebagai reaksi terhadap perubahan kondisi pasar. Seringkali perubahan tersebut mengubah skala dan lingkup peluang melalui teknologi atau inovasi yang kompetitif.
Penurunan biaya dan pasar monopoli mungkin dapat memberikan penghematan dalam struktur, tetapi tidak memberikan efisiensi yang menguntungkan perusahaan (atau masyarakat). Kedua faktor tersebut justru tidak memberikan efisiensi dan menghalangi terjadinya persaingan. Data yang paling sering tersedia adalah data mengenai kinerja incumbent sehingga data tersebut tidak dapat menggambarkan kekuatan persaingan pasar. Artinya, data seperti itu tidak memberikan pengertian mengenai permasalahan persaingan dan dimensi tantangan yang benar-benar dihadapi oleh incumbents dan perusahaan sejenis lainnya.
Kegagalan persaingan yang terjadi karena para investor enggan untuk menyetujui ikut masuk dalam industri. Hal ini merupakan suatu keuntungan bagi incumbent (Dawson, 2002). Namun keuntungan ini tidak lama karena inovasi yang telah membantu incumbents dalam mengantisipasi dan memberikan perlawanan terhadap perubahan pasar mulai hilang (Horan, 2002).
Integrasi incumbent dalam industri telekomunikasi menegaskan analisis mengenai faktor-faktor yang menentukan dan bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi keseimbangan antara efisiensi dan inefisiensi. Gasmi et. al. (2002) menunjukkan bahwa, dalam kondisi informasi asimetris, maksimalisasi keuntungan yang dilakukan incumbent secara otomatis akan membedakan perlawanan para pesaing dalam membuat keputusan harian seperti keputusan alokasi sumber daya.
Armstrong (2002) menunjukkan pasar monopoli yang tidak menciptakan produk penengah, yaitu produk yang proses produksinya tidak dapat dipisahkan, atau tidak diintegrasikan secara vertikal. Pasar monopoli mampu menciptakan produk penengah dengan biaya (untuk mengganti kerugian karena tidak dapat dipisahkan). Pada keadaan seperti itu, pemain baru harus cukup inovatif agar dapat mengganti kerugian incumbent dalam memciptakan produk penengah. Model Amstrong dan asumsi bahwa tingkat perpecahan terlalu rendah dalam menghalangi incumbent untuk berinvestasi. Dalam model ini, asumsi bahwa integrasi incumbent secara vertikal yang mendasari keputusan investasi pada integrasi kegiatan hulu dan hilir tidak kosisten dengan maksimalisasi keuntungan. Incumbent harus mempertimbangkan kemungkinan yang lebih efisien. Jika tidak, maka keputusan yang diambil incumbent, seperti keputusan investasi dan alokasi sumber daya, tidak efisien baik bagi masyarakat maupun pemegang saham.
Tantangan yang paling mendasar pada sektor telekomunikasi adalah kurangnya pengalaman dalam persaingan. Permasalahan tersebut membutuhkan beberapa percobaan untuk mengidentifikasi isu dalam perubahan pasar monopoli ke pasar persaingan dan membangun pola perubahannnya. Incumbents dan para pembuat kebijakan cenderung menekankan pada penurunan biaya dalam implementasi persaingan.
Skala ekonomi yang relevan adalah skala ekonomi dimana seluruh jaringan mampu berinterkoneksi pada suatu rangkaian jaringan telekomuniikasi. Demikian juga, penurunan biaya berhubungan dengan wilayah geografi yang terbatas, luar kota, dan jangkauan. Individual dari luar kota masih akan memiliki permintaan yang sama atas jasa telekomunikasi. Perusahaan telepon sebagai monopolis menciptakan biaya buatan dengan menolak untuk memberikan jaringan telekomunikasi, ketika pemain baru sudah efisien dalam memanfaatkan sistem limbah, kanal, dan bawah tanah.
Lingkungan industri telekomunikasi memerlukan banyak inovasi yang potensial dalam mengubah kebijakan monopoli menjadi persaingan. Inovasi dapat menjadi ancaman yang potensial terhadap keberadaan pasar tetapi juga memberikan pertumbuhan dan keuntungan yang besar bagi perusahaan. Pada pasar monopoli, inovasi terfokus pada penggunaan biaya yang rendah untuk meningkatkan keuntungan. Pada pasar persaingan, inovasi dilakukan untuk mencari peluang pasar baru. Perencanaan optimalisasi digunakan untuk memenuhi peluang inovasi dari seluruh perspektif termasuk penghematan biaya, mengantisipasi persaingan, peluang pasar barum dan mengelola perubahan pasar.
Dinamika lingkungan tidak hanya menciptakan pesaing baru bagi pemain dan pasar yang sudah ada, tetapi juga menciptakan peluang untuk pertumbuhan dan keuntungan. Hal yang sebaiknya dikembangkan, yaitu kemampuan yang lebih baik untuk mengenali peluang pasar baru yang terbuka oleh perubahan kebijakan dan cara yang lebih baik untuk menghadapi dinamika lingkungan. Dalam perencanaan perkiraan ekonomi pada sektor telekomunikasi mengikutsertakan perbandingan pasar dan pengidentifikasian tingkatan dimana skala dan lingkup ekonomi benar-benar berjalan dalam dinamika lingkungan pada saat ini.*****
Bagi perusahaan besar, selama periode jangka pendek, akan sulit untuk menyesuaikan proses produksi terutama bagi perusahaan yang memiliki biaya tetap dan menurun. Dalam jangka pendek, skala dan lingkup ekonomi relatif menjadi tinggi. Perusahaan besar perlu melakukan perubahan sebagai reaksi terhadap perubahan kondisi pasar. Seringkali perubahan tersebut mengubah skala dan lingkup peluang melalui teknologi atau inovasi yang kompetitif.
Penurunan biaya dan pasar monopoli mungkin dapat memberikan penghematan dalam struktur, tetapi tidak memberikan efisiensi yang menguntungkan perusahaan (atau masyarakat). Kedua faktor tersebut justru tidak memberikan efisiensi dan menghalangi terjadinya persaingan. Data yang paling sering tersedia adalah data mengenai kinerja incumbent sehingga data tersebut tidak dapat menggambarkan kekuatan persaingan pasar. Artinya, data seperti itu tidak memberikan pengertian mengenai permasalahan persaingan dan dimensi tantangan yang benar-benar dihadapi oleh incumbents dan perusahaan sejenis lainnya.
Kegagalan persaingan yang terjadi karena para investor enggan untuk menyetujui ikut masuk dalam industri. Hal ini merupakan suatu keuntungan bagi incumbent (Dawson, 2002). Namun keuntungan ini tidak lama karena inovasi yang telah membantu incumbents dalam mengantisipasi dan memberikan perlawanan terhadap perubahan pasar mulai hilang (Horan, 2002).
Integrasi incumbent dalam industri telekomunikasi menegaskan analisis mengenai faktor-faktor yang menentukan dan bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi keseimbangan antara efisiensi dan inefisiensi. Gasmi et. al. (2002) menunjukkan bahwa, dalam kondisi informasi asimetris, maksimalisasi keuntungan yang dilakukan incumbent secara otomatis akan membedakan perlawanan para pesaing dalam membuat keputusan harian seperti keputusan alokasi sumber daya.
Armstrong (2002) menunjukkan pasar monopoli yang tidak menciptakan produk penengah, yaitu produk yang proses produksinya tidak dapat dipisahkan, atau tidak diintegrasikan secara vertikal. Pasar monopoli mampu menciptakan produk penengah dengan biaya (untuk mengganti kerugian karena tidak dapat dipisahkan). Pada keadaan seperti itu, pemain baru harus cukup inovatif agar dapat mengganti kerugian incumbent dalam memciptakan produk penengah. Model Amstrong dan asumsi bahwa tingkat perpecahan terlalu rendah dalam menghalangi incumbent untuk berinvestasi. Dalam model ini, asumsi bahwa integrasi incumbent secara vertikal yang mendasari keputusan investasi pada integrasi kegiatan hulu dan hilir tidak kosisten dengan maksimalisasi keuntungan. Incumbent harus mempertimbangkan kemungkinan yang lebih efisien. Jika tidak, maka keputusan yang diambil incumbent, seperti keputusan investasi dan alokasi sumber daya, tidak efisien baik bagi masyarakat maupun pemegang saham.
Tantangan yang paling mendasar pada sektor telekomunikasi adalah kurangnya pengalaman dalam persaingan. Permasalahan tersebut membutuhkan beberapa percobaan untuk mengidentifikasi isu dalam perubahan pasar monopoli ke pasar persaingan dan membangun pola perubahannnya. Incumbents dan para pembuat kebijakan cenderung menekankan pada penurunan biaya dalam implementasi persaingan.
Skala ekonomi yang relevan adalah skala ekonomi dimana seluruh jaringan mampu berinterkoneksi pada suatu rangkaian jaringan telekomuniikasi. Demikian juga, penurunan biaya berhubungan dengan wilayah geografi yang terbatas, luar kota, dan jangkauan. Individual dari luar kota masih akan memiliki permintaan yang sama atas jasa telekomunikasi. Perusahaan telepon sebagai monopolis menciptakan biaya buatan dengan menolak untuk memberikan jaringan telekomunikasi, ketika pemain baru sudah efisien dalam memanfaatkan sistem limbah, kanal, dan bawah tanah.
Lingkungan industri telekomunikasi memerlukan banyak inovasi yang potensial dalam mengubah kebijakan monopoli menjadi persaingan. Inovasi dapat menjadi ancaman yang potensial terhadap keberadaan pasar tetapi juga memberikan pertumbuhan dan keuntungan yang besar bagi perusahaan. Pada pasar monopoli, inovasi terfokus pada penggunaan biaya yang rendah untuk meningkatkan keuntungan. Pada pasar persaingan, inovasi dilakukan untuk mencari peluang pasar baru. Perencanaan optimalisasi digunakan untuk memenuhi peluang inovasi dari seluruh perspektif termasuk penghematan biaya, mengantisipasi persaingan, peluang pasar barum dan mengelola perubahan pasar.
Dinamika lingkungan tidak hanya menciptakan pesaing baru bagi pemain dan pasar yang sudah ada, tetapi juga menciptakan peluang untuk pertumbuhan dan keuntungan. Hal yang sebaiknya dikembangkan, yaitu kemampuan yang lebih baik untuk mengenali peluang pasar baru yang terbuka oleh perubahan kebijakan dan cara yang lebih baik untuk menghadapi dinamika lingkungan. Dalam perencanaan perkiraan ekonomi pada sektor telekomunikasi mengikutsertakan perbandingan pasar dan pengidentifikasian tingkatan dimana skala dan lingkup ekonomi benar-benar berjalan dalam dinamika lingkungan pada saat ini.*****
Konstribusi Organisasi Industri Terhadap Manajemen Strategis
((Artikel ini merujuk pada karya Michael Porter))
Model tradisional Organisasi Industri (Industrial Organization/IO) dari Bain/Mason memberikan manajemen strategis suatu model sistematis untuk menaksir persaingan yang terjadi di dalam industri, namun model ini jarang digunakan dalam kebijakan bisnis(Business Policy/BP). IO dan BP memiliki perbedaan dalam kerangka referensi (publik lawan privasi), unit analisis (industri lawan perusahaan), pandangan dalam pengambilan keputusan, stabilitas struktur, dan dalam hal signifikan lainnya. Perkembangan teori IO selama tahun 1970-an telah memperkecil kesenjangan antara kedua bidang tersebut, dan membuktikan bahwa IO harus menjadi pusat perhatian bagi pengambil kebijakan.
Organisasi Industri dapat mempengaruhi konsep strategi kebijakan bisnis, dan kebijakan bisnis juga mempengaruhi Organisasi Industri. Organisasi Industri dapat memberikan berbagai pilihan analisis strategis bagi perusahaan dalan industri, dan penelitian mengenai hal tersebut tumbuh dengan cepat.
Model tradisional organisasi industri memberikan dasar dalam formulasi strategi. Hal ini dijelaskan melalui pengujian kerangka Learned, Christensen, Andrews, dan Guth (LCAG) yang telah menjadi dasar dalam kebijakan bisnis (1969; Andrews,1971). LCAG mendefinisikan strategi sebagai suatu cara perusahaan untuk bersaing dalam lingkungannya, yang meliputi tujuan, produk, pasar, pemasaran, manufaktur, dan lainnya. Formulasi strategi yang efektif menurut LCAG merupakan hubungan dari empat elemen yang digambarkan pada gambar di bawah ini.
Model LCAG melatar belakangi penelitian selanjutnya, yaitu model tradisional IO Bain/Mason. Inti dari model ini adalah bahwa kinerja perusahaan dalam penempatan pasar sangat tergantung pada karakteristik lingkungan industrinya. Hal ini ditunjukkan dalam kerangka structure-conduct-performance di bawah ini.
Struktur indusstri menentukan perilaku perusahaan, selanjutnya perilaku tersebut akan menentukan kinerja perusahaan dalam penempatan pasar (Bain,1968; Mason,1953). Kinerja didefinisikan secara luas termasuk kinerja social, yang meliputi profitabilitas, efisiensi biaya, dan inovasi. Perilaku meripakan keputusan perusahaan mengenai harga, periklanan, kapasitas dan kualitas. Struktur industri didefinisikan sebagai relativitas kestabilan ekonomi dan teknikal dimensi suatu industri yang memberikan konteks terjadinya persaingan (Bain, 1972). Elemen utama dalam struktur industri adalah rintangan masuknya pemain baru dalam industri (Bain, 1956), jumlah dan ukuran distribusi perusahaan, dan elastisitas permintaan total (Bain, 1968).
Namun, terdapat beberapa kelemahan dalam teori ini, yaitu:
1. Terdapat masalah kepemilikan terhadap perbedaan kerangka referensi. Para pelaksana kebijakan lebih tertarik meningkatkan kinerja perusahaan dari sudut pandang privasi, misalnya meningkatkan return on investment (ROI), sementara peneliti IO lebih memilih pada sudut pandang sosial yang artinya mengurangi ROI untuk mencapai tingkat persaingan.
2. Unit analisis dan asumsinya pada IO berbeda dengan BP. Para pelaksana kebijakan sangat menaruh perhatian pada permasalahan di dalam perusahaan, dan memandang bahwa setiap perusahaan sebagai suatu entitas yang unik dengan kekuatan dan permasalahan yang berbeda-beda. Sementara teori IO mengasumsikan bahwa seluruh perusahaan dalam suatu industri adalah identik dalam pengertian ekonomi, selain ukuran perusahaan.
3. IO dan BP memiliki pandangan yang berbeda mengenai pengambilan keputusan. IO memandang perusahaan sebagai suatu unit tunggal dalam mengambil keputusan, membuat pilihan berdasarkan tujuan ekonomi. Di sisi lain, para pelaksana kebijakan menempatkan tekanan yang besar terhadap personalitas pemimpin, proses politisi dalam perusahaan, dan kemungkinan tujuan perusahaan memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku perusahaan dalam pasar. Artinya, terdapat dimensi manusia dalam BP sementara tidak ada pada IO.
4. IO memandang perusahaan sebagai suatu entitas yang bebas berdiri yang bersaing dalam suatu bisnis usaha sementara para pemakai kebijakan menganggap bahwa unit bisnis individual merupakan bagian dari diversifikasi portofolio perusahaan dalam bisnis. Untuk mengatasi pembagian biaya, perusahaan haru memformulasikan strategi baik dalam tingkatan unit bisnis maupun keseluruhan unit bisnis.
5. IO memiliki perspektif yang statis. Model Bain/Mason menjelaskan bahwa kinerja industri merupakan hasil dari pengaruh struktur industri dan struktur industri diasumsikan stabil sedangkan para pemakai kebijakan harus mengatasi perubahan yang terjadi dalam struktur industri. Struktur industri terus berubah sebagaimana dalam model IO bahwa rintangan masuknya pemain baru dan hal lainnya dapat mempengaruhi struktur organisasi.
6. Determinisme merupakan elemen dari teori IO. Teori IO tradisional beranggapan bahwa strategi dan kinerja perusahaan ditentukan oleh struktur industri. Sementara para pemakai kebijakan menyatakan bahwa perusahaan secara fundamental dapat mengubah struktur industrinya melalui tindakan mereka. Namun demikian, perusahaan tidak selalu bisa mengubah struktur industri.
7. IO sangat terbatas. Teori IO hanya menerangkan sedikit aspek penting pada struktur industri, seperti penyebaran ukuran perusahaan dan barriers to entry. Sementara pemakai kebijakan memberikan variabel penting lainnya bagi strategi dalam industri. Banyak variabel yang relevan dalam struktur industri yang tidak ditemukan dalam teori IO pada tahun 1950-an dan 1960-an.
8. IO dan BP memiliki fungsi yang berbeda. Peneliti IO tertarik pada hubungan kinerja/struktur yang terjadi secara umum yang dapat meningkatkan persaingan dibandingkan dengan resiko dari hubungan tersebut pada situasi tertentu. Sedangkan para pelaksana kebikajan selalu memusatkan perhatian pada setiap situasi yang dihadapi oleh perusahaan. Secara statistik, perbedaan tersebut akan memberikan perbedaan dalam mengembangkan teori secara fundamental bagi para pelaksana kebijakan dan peneliti IO.
9. Teori Oligopoli adalah abstrak dan harus diuraikan lebih dalam. Model oligopoli dibangun dengan asumsi yang tidak realistis seperti mekanisme fungsu reaksi, fungsi biaya dan permintaan yang serupa diantara pesaing, dan sebagainya. Game theory, yang menggunakan analisis marginal dalam membentuk oligopoli tidak menggunakan contoh langsung yang diambil dari persaingan industri seperti perang nuklir, perundingan tenaga kerja, atau strategi keputusan harga. Pengujian teori oligopoli dan game theory hampir selalu dilakukan pada situasi percobaan, bukan pada industri yang sebenarnya.
Dengan demikian, walaupun model IO sangat berguna dalam formulasi strategi industri, namun model ini tidak dapat digunakan pada BP dalam fungsi manajemen secara umum. IO memberikan pemahamana sistematis mengenai lingkungan industri, namun hanya dapat digunakan pada analisis tertentu.
Dengan adanya berbagai kelemahan tersebut, model IO terus dikembangkan guna mengatasi kelemahannya dalam pembentukan kebijakan bisnis. Pengembangan model IO tersebut, yaitu:
1. Keberadaan model IO pada perspektif pembentukan strategi mulai muncul dalam berbagai literatur untuk memudahkan dalam penjelasan mengenai model IO.
2. Para peneliti IO mulai menggeser unit analisis model IO dalam perusahaan dan industry yang menumbuhkan konsep kelompok strategis (strategic groups). Konsep ini menyatakan bahwa perusahaan dalam industru dapat dikelompokkan menurut strateginya, dan reaksi perusahaan terhadap gangguan dan pola persaingan ditentukan oleh bentuk kelompok tersebut. Selanjutnya, perubahan kendala (mobile barriers) pada model IO menjelaskan perbedaan kinerja berdasarkan perusahaan dalam industri yang sama dan memberikan pengertian dasar mengenai posisi perusahaan dalam suatu industri. Keberadaan kelompok strategis/perubahan kendala dalam model IO meningkatkan konstribusi IO pada analisis strategis. Selain itu keduanya juga merupakan titik awal dari model dinamika perubahan industri, dimana perbedaan strategi dan tujuan dapat meningkatkan posisi strategis perusahaan.
3. Penelitian IO mulai meneliti hubungan antara unit bisnis dengan induk perusahaannya dalam model industri.
4. Penelitian IO mulai mengikutsertakan model dinamika perubahan inndustri, beberapa kerangka mengenai keputusan strategis perusahaan. Sejumlah model telah meneliti beberapa aspek tambahan berupa investasi perusahaan dan inovasi dalam konteks dinamika.
5. Model IO yang baru mengakui adanya pengaruh balik terhadap perilaku (strategi) perusahaan dalam struktur pasar.
6. Peneliti IO telah mengidentifikasi elemen struktur industri lainnya yang penting dalam interaksi persaingan, seperti kendala keluar dari industri (exit barriers), hubungan tawar menawar pemasok dan pembeli, perdagangan dan persiangan internasional, pasar modal, integrasi vertikan dan franchise, serta variable lainnya yang dapat digunakan dalam formulasi strategi.
7. Peneliti IO pada akhirnya mengakui perbedaan fungsi di dalam suatu perusahaan dan di dalam suatu industri.
8. Beberapa langkah telah dilakukan dalam mengaplikasikan teori oligopoli dan teor permainan (game theory) pada kondisi pasar yang sebenarnya, misalnya pada industri penerbangan, industri peralatan elektronik, pembentukan pasar, dan pengembangan anak perusahaan oleh perusahaan multinasional.
Dengan adanya pengembangan dari teori IO, maka teori ini pun mulai digunakan dalam kebijakan bisnis. Kerangka IO untuk menganalisis struktur dan perubahan industri, posisi perusahaan dalam industri, dan interaksi persaingan dan tindakan strategis telah berkembang dengan pesat sehingga memberikan konstribusi dalam kebijakan bisnis bagi para pemakainya.
Model tradisional Organisasi Industri (Industrial Organization/IO) dari Bain/Mason memberikan manajemen strategis suatu model sistematis untuk menaksir persaingan yang terjadi di dalam industri, namun model ini jarang digunakan dalam kebijakan bisnis(Business Policy/BP). IO dan BP memiliki perbedaan dalam kerangka referensi (publik lawan privasi), unit analisis (industri lawan perusahaan), pandangan dalam pengambilan keputusan, stabilitas struktur, dan dalam hal signifikan lainnya. Perkembangan teori IO selama tahun 1970-an telah memperkecil kesenjangan antara kedua bidang tersebut, dan membuktikan bahwa IO harus menjadi pusat perhatian bagi pengambil kebijakan.
Organisasi Industri dapat mempengaruhi konsep strategi kebijakan bisnis, dan kebijakan bisnis juga mempengaruhi Organisasi Industri. Organisasi Industri dapat memberikan berbagai pilihan analisis strategis bagi perusahaan dalan industri, dan penelitian mengenai hal tersebut tumbuh dengan cepat.
Model tradisional organisasi industri memberikan dasar dalam formulasi strategi. Hal ini dijelaskan melalui pengujian kerangka Learned, Christensen, Andrews, dan Guth (LCAG) yang telah menjadi dasar dalam kebijakan bisnis (1969; Andrews,1971). LCAG mendefinisikan strategi sebagai suatu cara perusahaan untuk bersaing dalam lingkungannya, yang meliputi tujuan, produk, pasar, pemasaran, manufaktur, dan lainnya. Formulasi strategi yang efektif menurut LCAG merupakan hubungan dari empat elemen yang digambarkan pada gambar di bawah ini.
Model LCAG melatar belakangi penelitian selanjutnya, yaitu model tradisional IO Bain/Mason. Inti dari model ini adalah bahwa kinerja perusahaan dalam penempatan pasar sangat tergantung pada karakteristik lingkungan industrinya. Hal ini ditunjukkan dalam kerangka structure-conduct-performance di bawah ini.
Struktur indusstri menentukan perilaku perusahaan, selanjutnya perilaku tersebut akan menentukan kinerja perusahaan dalam penempatan pasar (Bain,1968; Mason,1953). Kinerja didefinisikan secara luas termasuk kinerja social, yang meliputi profitabilitas, efisiensi biaya, dan inovasi. Perilaku meripakan keputusan perusahaan mengenai harga, periklanan, kapasitas dan kualitas. Struktur industri didefinisikan sebagai relativitas kestabilan ekonomi dan teknikal dimensi suatu industri yang memberikan konteks terjadinya persaingan (Bain, 1972). Elemen utama dalam struktur industri adalah rintangan masuknya pemain baru dalam industri (Bain, 1956), jumlah dan ukuran distribusi perusahaan, dan elastisitas permintaan total (Bain, 1968).
Namun, terdapat beberapa kelemahan dalam teori ini, yaitu:
1. Terdapat masalah kepemilikan terhadap perbedaan kerangka referensi. Para pelaksana kebijakan lebih tertarik meningkatkan kinerja perusahaan dari sudut pandang privasi, misalnya meningkatkan return on investment (ROI), sementara peneliti IO lebih memilih pada sudut pandang sosial yang artinya mengurangi ROI untuk mencapai tingkat persaingan.
2. Unit analisis dan asumsinya pada IO berbeda dengan BP. Para pelaksana kebijakan sangat menaruh perhatian pada permasalahan di dalam perusahaan, dan memandang bahwa setiap perusahaan sebagai suatu entitas yang unik dengan kekuatan dan permasalahan yang berbeda-beda. Sementara teori IO mengasumsikan bahwa seluruh perusahaan dalam suatu industri adalah identik dalam pengertian ekonomi, selain ukuran perusahaan.
3. IO dan BP memiliki pandangan yang berbeda mengenai pengambilan keputusan. IO memandang perusahaan sebagai suatu unit tunggal dalam mengambil keputusan, membuat pilihan berdasarkan tujuan ekonomi. Di sisi lain, para pelaksana kebijakan menempatkan tekanan yang besar terhadap personalitas pemimpin, proses politisi dalam perusahaan, dan kemungkinan tujuan perusahaan memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku perusahaan dalam pasar. Artinya, terdapat dimensi manusia dalam BP sementara tidak ada pada IO.
4. IO memandang perusahaan sebagai suatu entitas yang bebas berdiri yang bersaing dalam suatu bisnis usaha sementara para pemakai kebijakan menganggap bahwa unit bisnis individual merupakan bagian dari diversifikasi portofolio perusahaan dalam bisnis. Untuk mengatasi pembagian biaya, perusahaan haru memformulasikan strategi baik dalam tingkatan unit bisnis maupun keseluruhan unit bisnis.
5. IO memiliki perspektif yang statis. Model Bain/Mason menjelaskan bahwa kinerja industri merupakan hasil dari pengaruh struktur industri dan struktur industri diasumsikan stabil sedangkan para pemakai kebijakan harus mengatasi perubahan yang terjadi dalam struktur industri. Struktur industri terus berubah sebagaimana dalam model IO bahwa rintangan masuknya pemain baru dan hal lainnya dapat mempengaruhi struktur organisasi.
6. Determinisme merupakan elemen dari teori IO. Teori IO tradisional beranggapan bahwa strategi dan kinerja perusahaan ditentukan oleh struktur industri. Sementara para pemakai kebijakan menyatakan bahwa perusahaan secara fundamental dapat mengubah struktur industrinya melalui tindakan mereka. Namun demikian, perusahaan tidak selalu bisa mengubah struktur industri.
7. IO sangat terbatas. Teori IO hanya menerangkan sedikit aspek penting pada struktur industri, seperti penyebaran ukuran perusahaan dan barriers to entry. Sementara pemakai kebijakan memberikan variabel penting lainnya bagi strategi dalam industri. Banyak variabel yang relevan dalam struktur industri yang tidak ditemukan dalam teori IO pada tahun 1950-an dan 1960-an.
8. IO dan BP memiliki fungsi yang berbeda. Peneliti IO tertarik pada hubungan kinerja/struktur yang terjadi secara umum yang dapat meningkatkan persaingan dibandingkan dengan resiko dari hubungan tersebut pada situasi tertentu. Sedangkan para pelaksana kebikajan selalu memusatkan perhatian pada setiap situasi yang dihadapi oleh perusahaan. Secara statistik, perbedaan tersebut akan memberikan perbedaan dalam mengembangkan teori secara fundamental bagi para pelaksana kebijakan dan peneliti IO.
9. Teori Oligopoli adalah abstrak dan harus diuraikan lebih dalam. Model oligopoli dibangun dengan asumsi yang tidak realistis seperti mekanisme fungsu reaksi, fungsi biaya dan permintaan yang serupa diantara pesaing, dan sebagainya. Game theory, yang menggunakan analisis marginal dalam membentuk oligopoli tidak menggunakan contoh langsung yang diambil dari persaingan industri seperti perang nuklir, perundingan tenaga kerja, atau strategi keputusan harga. Pengujian teori oligopoli dan game theory hampir selalu dilakukan pada situasi percobaan, bukan pada industri yang sebenarnya.
Dengan demikian, walaupun model IO sangat berguna dalam formulasi strategi industri, namun model ini tidak dapat digunakan pada BP dalam fungsi manajemen secara umum. IO memberikan pemahamana sistematis mengenai lingkungan industri, namun hanya dapat digunakan pada analisis tertentu.
Dengan adanya berbagai kelemahan tersebut, model IO terus dikembangkan guna mengatasi kelemahannya dalam pembentukan kebijakan bisnis. Pengembangan model IO tersebut, yaitu:
1. Keberadaan model IO pada perspektif pembentukan strategi mulai muncul dalam berbagai literatur untuk memudahkan dalam penjelasan mengenai model IO.
2. Para peneliti IO mulai menggeser unit analisis model IO dalam perusahaan dan industry yang menumbuhkan konsep kelompok strategis (strategic groups). Konsep ini menyatakan bahwa perusahaan dalam industru dapat dikelompokkan menurut strateginya, dan reaksi perusahaan terhadap gangguan dan pola persaingan ditentukan oleh bentuk kelompok tersebut. Selanjutnya, perubahan kendala (mobile barriers) pada model IO menjelaskan perbedaan kinerja berdasarkan perusahaan dalam industri yang sama dan memberikan pengertian dasar mengenai posisi perusahaan dalam suatu industri. Keberadaan kelompok strategis/perubahan kendala dalam model IO meningkatkan konstribusi IO pada analisis strategis. Selain itu keduanya juga merupakan titik awal dari model dinamika perubahan industri, dimana perbedaan strategi dan tujuan dapat meningkatkan posisi strategis perusahaan.
3. Penelitian IO mulai meneliti hubungan antara unit bisnis dengan induk perusahaannya dalam model industri.
4. Penelitian IO mulai mengikutsertakan model dinamika perubahan inndustri, beberapa kerangka mengenai keputusan strategis perusahaan. Sejumlah model telah meneliti beberapa aspek tambahan berupa investasi perusahaan dan inovasi dalam konteks dinamika.
5. Model IO yang baru mengakui adanya pengaruh balik terhadap perilaku (strategi) perusahaan dalam struktur pasar.
6. Peneliti IO telah mengidentifikasi elemen struktur industri lainnya yang penting dalam interaksi persaingan, seperti kendala keluar dari industri (exit barriers), hubungan tawar menawar pemasok dan pembeli, perdagangan dan persiangan internasional, pasar modal, integrasi vertikan dan franchise, serta variable lainnya yang dapat digunakan dalam formulasi strategi.
7. Peneliti IO pada akhirnya mengakui perbedaan fungsi di dalam suatu perusahaan dan di dalam suatu industri.
8. Beberapa langkah telah dilakukan dalam mengaplikasikan teori oligopoli dan teor permainan (game theory) pada kondisi pasar yang sebenarnya, misalnya pada industri penerbangan, industri peralatan elektronik, pembentukan pasar, dan pengembangan anak perusahaan oleh perusahaan multinasional.
Dengan adanya pengembangan dari teori IO, maka teori ini pun mulai digunakan dalam kebijakan bisnis. Kerangka IO untuk menganalisis struktur dan perubahan industri, posisi perusahaan dalam industri, dan interaksi persaingan dan tindakan strategis telah berkembang dengan pesat sehingga memberikan konstribusi dalam kebijakan bisnis bagi para pemakainya.
Kebijakan Telekomunikasi: Pengukuran dan Faktor-taktor yang Menentukannya
((Artikel ini mendapat inspirasi dari makalah ilmiah karya Jordi Gual dan Francesc Trillas))
Perbaikan telekomunikasi diukur melalui dua dimensi, yaitu entry barriers dan kebebasan regulator. Data yang diperoleh dikombinasikan dengan data kinerja, kelembagaan dan politik untuk menganalisis faktor-faktor yang menentukan kebijakan telekomunikasi. Hasilnya, entry barriers berhubungan secara positif dengan tingkat di mana negara memiliki campur tangan dari tradisi yang sah, tetapi tidak berhubungan dengan pendukung ideologi pemerintah. Selain itu, negara dengan proteksi terhadap invetornya lemah, quasi rent dengan cara lain, dan negara yang memiliki jumlah incumbent yang besar lebih mudah untuk menciptakan agen regulator yang independent.
Kemampuan dalam menjalankan dan meyokong kelembagaan menjadi kunci penenti dalam perbaikan kebijakan. Kebijakan akan dipengaruhi oleh kelompok yang berkepentingan yang bersaing dalam arena politik untuk menghasilkan kebijakan yang menguntungkan (Peltzman, 1976; Grossman dan Helpman, 2001)
Ketika sektor telekomunikasi dihadapkan pada keputusan untuk membuka industri menjadi pasar persaingan, operator-operator baru harus menghadapi berbagai halangan. Karena itu variabel kebijakan, yang diukur dengan indeks entry barrier, akan menggambarkan kebijakan untuk mengurangi entry to barrier dan berbagai kasus di mana regulator membantu para operator baru (nilai yang tinggi pada indeks ini mengindikasikan entry barrier yang rendah). Selanjutnya variabel kebijakan menunjukkan bagaiman regulatur bebas dari pengaruh pemerintah (nilai yang tinggi pada indeks ini mengindikasikan kebebasan regulator dari pemerintah)
Kebijakan yang mengurangi entry barriers akan lebih kuat dalam suatu negara dengan campur tangan tradisi (LaPorta et. al., 1999 dan 2002), karena kelembagaan dan hukun di negara tersebut dapat memperluas lingkup pasar dan mendesak kekuatan pasar incumbent. Levy dan Spiller (1996) dan Henisz dan Zelner (2000) menyatakan bahwa Menciptalan agen independent merupakan satu di antara beberapa pilihan bagi negara yang ingin mendapat kepercayaan untuk tidak mengambil alih investasi yang menggolongkan industri jaringan. Apakah pilihan ini akan dilaksanakan atau tidak tergantung pada dukungan kelembagaan dan struktur kelompok yang berkepentingan.
Informasi mengenai indeks entry barrier dapat dilihat dari beberapa indikator berikut:
• Kondisi Investasi. Semakin besar permintaan investasi, semakin besar biaya untuk masuk ke dalam pasar. Artinya entry barrier dalam industri semakin tinggi
• Jumlah mobile provider dari tahun ke tahun
• Metode alokasi spektrum
• Tingkat profitabilitas
• Pemilihan dalam telepon lokal, jarak jauh, dan internasional
• Kesediaan incumbent untuk membagi fasilitas infrastruktur kepada para pemain baru
Informasi mengenai indeks kebebasan regulatory dapat dilihat dari beberapa indikator berikut:
• Keputusan kebijakan mengenai lisensi, tarif, interkoneksi, alokasi sumberdaya langka (spektrum frekuensi dan penomoran)
• Keleluasaan dalam memperoleh sumber dana dari pemerintah
• Kekuasaan penunjukkan pimpinan regulator
• Lamanya masa jabatan pimpinan atau anggota regulator
• Aturan mengenai kewajiban untuk melapor kepada pemerintah, parlemen atau badan lainnya.
• Lamanya regulator beroperasi dengan efektif.
• Presentase kepemilikan atas incumbent.
Referensi:
Grossman, G. M., Helpman, E. 2001. Special Interest Politics, The MIT Press, Cambridge.
Henisz, W.J., Zelner, B. A. 2000. Political constrain, interest groun competition and infrastructure investment in the electrict utility industry: A cross-national study, mimeo, WP-00-03,, Reginald H. Joner Center, The Wharton School, University of Pennsylvania.
La Porta, R., López de Silanes, F., Shleifer, A., dan Vishy, R. 1999. The quality of government, Journal of Law, Economics and Organization, vol. 15, no.1, 222-279.
Peltzman, S. 1976. Toward a more general theory of regulation, Journal of Law and Economics, vol.19, 211-240.
Perbaikan telekomunikasi diukur melalui dua dimensi, yaitu entry barriers dan kebebasan regulator. Data yang diperoleh dikombinasikan dengan data kinerja, kelembagaan dan politik untuk menganalisis faktor-faktor yang menentukan kebijakan telekomunikasi. Hasilnya, entry barriers berhubungan secara positif dengan tingkat di mana negara memiliki campur tangan dari tradisi yang sah, tetapi tidak berhubungan dengan pendukung ideologi pemerintah. Selain itu, negara dengan proteksi terhadap invetornya lemah, quasi rent dengan cara lain, dan negara yang memiliki jumlah incumbent yang besar lebih mudah untuk menciptakan agen regulator yang independent.
Kemampuan dalam menjalankan dan meyokong kelembagaan menjadi kunci penenti dalam perbaikan kebijakan. Kebijakan akan dipengaruhi oleh kelompok yang berkepentingan yang bersaing dalam arena politik untuk menghasilkan kebijakan yang menguntungkan (Peltzman, 1976; Grossman dan Helpman, 2001)
Ketika sektor telekomunikasi dihadapkan pada keputusan untuk membuka industri menjadi pasar persaingan, operator-operator baru harus menghadapi berbagai halangan. Karena itu variabel kebijakan, yang diukur dengan indeks entry barrier, akan menggambarkan kebijakan untuk mengurangi entry to barrier dan berbagai kasus di mana regulator membantu para operator baru (nilai yang tinggi pada indeks ini mengindikasikan entry barrier yang rendah). Selanjutnya variabel kebijakan menunjukkan bagaiman regulatur bebas dari pengaruh pemerintah (nilai yang tinggi pada indeks ini mengindikasikan kebebasan regulator dari pemerintah)
Kebijakan yang mengurangi entry barriers akan lebih kuat dalam suatu negara dengan campur tangan tradisi (LaPorta et. al., 1999 dan 2002), karena kelembagaan dan hukun di negara tersebut dapat memperluas lingkup pasar dan mendesak kekuatan pasar incumbent. Levy dan Spiller (1996) dan Henisz dan Zelner (2000) menyatakan bahwa Menciptalan agen independent merupakan satu di antara beberapa pilihan bagi negara yang ingin mendapat kepercayaan untuk tidak mengambil alih investasi yang menggolongkan industri jaringan. Apakah pilihan ini akan dilaksanakan atau tidak tergantung pada dukungan kelembagaan dan struktur kelompok yang berkepentingan.
Informasi mengenai indeks entry barrier dapat dilihat dari beberapa indikator berikut:
• Kondisi Investasi. Semakin besar permintaan investasi, semakin besar biaya untuk masuk ke dalam pasar. Artinya entry barrier dalam industri semakin tinggi
• Jumlah mobile provider dari tahun ke tahun
• Metode alokasi spektrum
• Tingkat profitabilitas
• Pemilihan dalam telepon lokal, jarak jauh, dan internasional
• Kesediaan incumbent untuk membagi fasilitas infrastruktur kepada para pemain baru
Informasi mengenai indeks kebebasan regulatory dapat dilihat dari beberapa indikator berikut:
• Keputusan kebijakan mengenai lisensi, tarif, interkoneksi, alokasi sumberdaya langka (spektrum frekuensi dan penomoran)
• Keleluasaan dalam memperoleh sumber dana dari pemerintah
• Kekuasaan penunjukkan pimpinan regulator
• Lamanya masa jabatan pimpinan atau anggota regulator
• Aturan mengenai kewajiban untuk melapor kepada pemerintah, parlemen atau badan lainnya.
• Lamanya regulator beroperasi dengan efektif.
• Presentase kepemilikan atas incumbent.
Referensi:
Grossman, G. M., Helpman, E. 2001. Special Interest Politics, The MIT Press, Cambridge.
Henisz, W.J., Zelner, B. A. 2000. Political constrain, interest groun competition and infrastructure investment in the electrict utility industry: A cross-national study, mimeo, WP-00-03,, Reginald H. Joner Center, The Wharton School, University of Pennsylvania.
La Porta, R., López de Silanes, F., Shleifer, A., dan Vishy, R. 1999. The quality of government, Journal of Law, Economics and Organization, vol. 15, no.1, 222-279.
Peltzman, S. 1976. Toward a more general theory of regulation, Journal of Law and Economics, vol.19, 211-240.
Jika Keunggulan Kompetitif Tidak Menunjukkan Kinerja
((Disarikan dari artikel "Teori Resource-Based View dan Kekuatan Tawar-Menawar Stakeholder karya Russell W. Coff.))
Bagaimana jika keunggulan kompetitif tidak dapat menjadi ukuran kinerja perusahaan? Teori Resource-Based View (RBV) tidak memformulasikan siapa akan yang memperoleh keunggulan tersebut. Paper ini memaparkan faktor-faktor yang menunjukkan keuntungan resource-base dan siapa yang akan mendapatkan keuntungan tersebut. Peranan pihak internal, terutama para investor, mungkin memberikan transaksi yang besar dari kekuatan tawar menawar. Penggabungan RBV dengan kekuatan tawar-menawar dilakukan dengan mengasumsikan perusahaan sebagai suatu kumpulan kontrak. Pandangan ini dapat membantu dalam menjelaskan kapan keuntungan akan dihasilkan dan siapa yang akan mendapatkannya. Dalam pelaksanaannya, diperlukan teori mengenai kinerja perusahaan yang lebih kuat dari RBV.
Pada saat perusahaan memiliki keunggulan kompetitif, berapa banyak keuntungan yang diperoleh para pegawai? Hal ini penting karena keuntunga tersebut mungkin tidak dapat ditinjau dalam pengukuran kinerja (seperti gaji dan keuntungan yang berkurang). Teori RBV sangat berguna untuk memprediksikan kinerja, namun tidak dapat memprediksi hasil yang diterima oleh para pegawai. Sementara itu, Konsep kekuatan tawar-menawar stakeholder dapat menjelaskan hubungan antara aset strategis dengan pengukuran kinerja perusahaan.
Bukan Perusahaan yang Membagikan Keuntungan, Melainkan Orang-orangnya: Perusahaan sebagai Kumpulan Kontrak
Teori RBV menyatakan jika perusahaan memiliki sumber daya yang beraneka ragam, perusahaan akan memperoleh keuntungan berdasarkan pada sumber daya yang jarang ada. (Barney, 1991; Wernerfelt, 1984). Pendukung teori RBV mengasumsikan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara sumber daya strategis dan kinerja perusahaan (Amit dan Schoemaker, 1993; Hall, 1993; Peteraf, 1993). Artinya, untuk meningkatkan kinerja perusahaan dapat dilakukan dengan fokus pada akuisisi dan pengelolanaan sumber daya strategis. Namun pernyataan tersebut tidak akurat karena teori RBV hanya mengasumsikan kinerja perusahaan diukur pada tahap pertama, yaitu perolehan keuntungan, sementara pembagian keuntungan tidak diikutsertakan.
Teori RBV menganggap bahwa perusahaan merupakan kumpulan sumber daya yang unik, sehingga harus ditetapkan pokok-pokok mengenai kumpulan sumber daya tersebut dalam perusahaan. Kenyataannya, sumber daya strategis merupakan knowledge-base yang kompleks yang mungkin dimiliki oleh berbagai pihak yang terikat dengan perusahaan. Asumsi perusahaan sebagai kumpulan kontrak2 (nexus of contracts) memperdalam RBV melalui dua cara. Pertama, asumsi tersebut menyorot proses berdasarkan sumber daya yang terikat pada perusahaan dengan kurang teliti. Kedua, memastikan bahwa perusahaan tidak dapat membagikan keuntungan karena perusahaan tidak dimiliki oleh satu orang melainkan beberapa orang sehingga menjadi lebih rumit. Karena sumber daya strategis tidak sepenuhnya dimiliki perusahaan, maka hak kepemilikan menjadi bias.
Kumpulan keuntungan adalah jumlah seluruh keuntungan yang dikumpulkan tanpa menghiraukan siapa yang akan mendapatkannya, baik karyawan, investor, maupun pihak lainnya. Keunggulan kompetitif, konsep yang sangat berhubungan dengan perolehan keuntungan, merupakan pokok dari manajemen strategis.
RBV terfokus pada aset yang unik yang meningkatkan nilai perusahaan dan kemampuan yang tidak dapat ditiru (Barney, 1991). Pembagian keuntungan dipandang sebagai faktor eksogen. Berdasarkan pandangan ini, keunggulan kompetitif hanya menggunakan perolehan keuntungan dari kemampuan strategis perusahaan. Artinya, perusahaan tetap memperoleh keuntungan dari pesaing walaupun keuntungan tersebut tidak diberikan kepada investor, melainkan diberikan kepada berbagai pihak dalam perusahaan. RBV dapat digunakan untuk memprediksi kinerja perusahaan jika menyelidiki bagaimana keuntungan dihasilkan dan bagaimana pembagiannya secara simultan.
Menentukan Kekuatan Tawar-menawar Stakeholder
Kekuatan tawar-menawar akan semakin tinggi jika stakeholders: dapat bertindak dalam kesatuan perusahaan, mempunyai akses informasi penting, memiliki biaya pengganti yang sangat tinggi bagi perusahaan, dan mendapat kerugian yang rendah bila pindah ke perusahaan lainnya.
Pembagian Keuntungan dalam Tim yang Sederhana
Dalam tim yang sederhana, bagian yang penting dalam menghasilkan keuntungan seharusnya adalah pemilik atau manajer. Total keuntungan dihasilkan dalam kelompok dibagikan kepada seluruh anggota sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi lebih kecil.
Pembagian Keuntungan dalam Korporasi
Karena sumber daya manusia merupakan inti dalam menghasilkan keuntungan, maka para karyawan juga memiliki kekuatan tawar-menawar, yaitu akan ada biaya jika mengganti karyawan dalam perusahaan, terutama karyawan yang bekerja pada inti teknologi perusahaan karena kemungkinan pengetahuan mereka tidak dapat digantikan maupun ditiru.
Manajemen harus dapat mengidentifikasi dan memperoleh sumber daya bagi perusahaan dan mengawasi pengembangan pengetahuan dan kinerja dalam perusahaan. Hal ini membuat manajemen menjadi stakeholder yang sangat berharga dalam memperoleh keuntungan perusahaan. Kekuatan tawar-menawar manajemen mungkin berada pada urutan paling atas karena manajer dapat menggunakan kekuasaannya untuk meningkatkan kekuatan tawar-menawar tersebut.
Kekuatan tawar menawar investor akan semakin lemah karena sumber daya keuangan yang mereka berikan bersifat umum, berubah-ubah, tidak khusus dan dapat digantikan dengan mudah (Barney, 1991; Castanias dan Helfat; 1991). Selain itu, jika perusahaan memiliki keuntungan yang berkelanjutan, sumber daya keuangan akan berlimpah sehingga perusahaan tidak akan mengalami kerugian yang besar jika investor mengundurkan diri. Faktor yang paling signifikan dalam lemahnya kekuatan tawar-menawar investor adalah karena mereka tidak memiliki informasi dan keahlian yang cukup mengenai perusahaan. Kekuatan tawar-menawar pemegang saham tergantung pada kemampuan mereka dalam mengendalikan dan memberikan dorongan bagi perusahaan (menguasai perusahaan).
Internal stakeholder memiliki informasi yang lebih baik, kemampuan yang penting untuk menghasilkan keuntungan, dan biaya pengganti yang sangat tinggi sehingga mereka berhak untuk mendapatkan bagian dari keuntungan yang telah diperoleh. Namun pembagian keuntungan tersebut sulit untuk dideteksi dalam pengukuran kinerja tradisional. Artinya, walaupun stakeholder memiliki kekuatan dalam peusahaan, keuntungan tersebut mungkin tidak dapat dirasakan. Jika perusahaan terus menerus mendapatkan keuntungan, sudah pasti keuntungan tersebut akan berkorelasi dengan pengukuran kinerja perusahaan. Meskipun demikian, hubungan antara perolehan keuntungan dan kinerja seharusnya lebih kuat pada saat investor luar memiliki kekuatan tawar-menawar.
Kestabilan dalam pembagian keuntungan kemungkinan akan mendapat gangguan dari kebiasan hak milik perusahaan (Barzel, 1989). Pemilik perusahaan akan mendapatkan keuntungan yang lebih kecil dibandingkan dengan para karyawannya karena karyawan merupakan sumber daya manusia yang berperan lebih besar dalam memperoleh keuntungan. Namun, kepemilikan perusahaan akan semakin bias karena pada saat ini banyak perusahaan yang menghargai para karyawannya dengan memberikan mereka opsi saham.
Terdapat dua ancaman utama dari pasar yang dapat mengurangi keuntungan. Pertama ancaman dari persaingan normal. Serangan pesaing merupakan penyebab utama keuntungan perusahaan terus berkurang (Jacobsen, 1988). Ancaman eksternal kedua adalah pengendalian pasar pada korporasi. Namun, perusahaan mungkin akan menghindari hutang pajak, pesaing, investor dan penjarah yang tidak mengetahui adanya keuntungan dari sumber daya perusahaan.
Dengan demikian, agar dapat memprediksi kinerja perusahaan dengan lebih baik, model RBV harus dintegrasikan dengan konsep kekuatan tawar menawar stakeholder. Model keunggulan sumber daya perusahaan (resource-base advantage) yang lengkap harus memasukkan konsep kekuatan tawar menawar dalam memprediksikan keuntungan diatas normal.*****
Bagaimana jika keunggulan kompetitif tidak dapat menjadi ukuran kinerja perusahaan? Teori Resource-Based View (RBV) tidak memformulasikan siapa akan yang memperoleh keunggulan tersebut. Paper ini memaparkan faktor-faktor yang menunjukkan keuntungan resource-base dan siapa yang akan mendapatkan keuntungan tersebut. Peranan pihak internal, terutama para investor, mungkin memberikan transaksi yang besar dari kekuatan tawar menawar. Penggabungan RBV dengan kekuatan tawar-menawar dilakukan dengan mengasumsikan perusahaan sebagai suatu kumpulan kontrak. Pandangan ini dapat membantu dalam menjelaskan kapan keuntungan akan dihasilkan dan siapa yang akan mendapatkannya. Dalam pelaksanaannya, diperlukan teori mengenai kinerja perusahaan yang lebih kuat dari RBV.
Pada saat perusahaan memiliki keunggulan kompetitif, berapa banyak keuntungan yang diperoleh para pegawai? Hal ini penting karena keuntunga tersebut mungkin tidak dapat ditinjau dalam pengukuran kinerja (seperti gaji dan keuntungan yang berkurang). Teori RBV sangat berguna untuk memprediksikan kinerja, namun tidak dapat memprediksi hasil yang diterima oleh para pegawai. Sementara itu, Konsep kekuatan tawar-menawar stakeholder dapat menjelaskan hubungan antara aset strategis dengan pengukuran kinerja perusahaan.
Bukan Perusahaan yang Membagikan Keuntungan, Melainkan Orang-orangnya: Perusahaan sebagai Kumpulan Kontrak
Teori RBV menyatakan jika perusahaan memiliki sumber daya yang beraneka ragam, perusahaan akan memperoleh keuntungan berdasarkan pada sumber daya yang jarang ada. (Barney, 1991; Wernerfelt, 1984). Pendukung teori RBV mengasumsikan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara sumber daya strategis dan kinerja perusahaan (Amit dan Schoemaker, 1993; Hall, 1993; Peteraf, 1993). Artinya, untuk meningkatkan kinerja perusahaan dapat dilakukan dengan fokus pada akuisisi dan pengelolanaan sumber daya strategis. Namun pernyataan tersebut tidak akurat karena teori RBV hanya mengasumsikan kinerja perusahaan diukur pada tahap pertama, yaitu perolehan keuntungan, sementara pembagian keuntungan tidak diikutsertakan.
Teori RBV menganggap bahwa perusahaan merupakan kumpulan sumber daya yang unik, sehingga harus ditetapkan pokok-pokok mengenai kumpulan sumber daya tersebut dalam perusahaan. Kenyataannya, sumber daya strategis merupakan knowledge-base yang kompleks yang mungkin dimiliki oleh berbagai pihak yang terikat dengan perusahaan. Asumsi perusahaan sebagai kumpulan kontrak2 (nexus of contracts) memperdalam RBV melalui dua cara. Pertama, asumsi tersebut menyorot proses berdasarkan sumber daya yang terikat pada perusahaan dengan kurang teliti. Kedua, memastikan bahwa perusahaan tidak dapat membagikan keuntungan karena perusahaan tidak dimiliki oleh satu orang melainkan beberapa orang sehingga menjadi lebih rumit. Karena sumber daya strategis tidak sepenuhnya dimiliki perusahaan, maka hak kepemilikan menjadi bias.
Kumpulan keuntungan adalah jumlah seluruh keuntungan yang dikumpulkan tanpa menghiraukan siapa yang akan mendapatkannya, baik karyawan, investor, maupun pihak lainnya. Keunggulan kompetitif, konsep yang sangat berhubungan dengan perolehan keuntungan, merupakan pokok dari manajemen strategis.
RBV terfokus pada aset yang unik yang meningkatkan nilai perusahaan dan kemampuan yang tidak dapat ditiru (Barney, 1991). Pembagian keuntungan dipandang sebagai faktor eksogen. Berdasarkan pandangan ini, keunggulan kompetitif hanya menggunakan perolehan keuntungan dari kemampuan strategis perusahaan. Artinya, perusahaan tetap memperoleh keuntungan dari pesaing walaupun keuntungan tersebut tidak diberikan kepada investor, melainkan diberikan kepada berbagai pihak dalam perusahaan. RBV dapat digunakan untuk memprediksi kinerja perusahaan jika menyelidiki bagaimana keuntungan dihasilkan dan bagaimana pembagiannya secara simultan.
Menentukan Kekuatan Tawar-menawar Stakeholder
Kekuatan tawar-menawar akan semakin tinggi jika stakeholders: dapat bertindak dalam kesatuan perusahaan, mempunyai akses informasi penting, memiliki biaya pengganti yang sangat tinggi bagi perusahaan, dan mendapat kerugian yang rendah bila pindah ke perusahaan lainnya.
Pembagian Keuntungan dalam Tim yang Sederhana
Dalam tim yang sederhana, bagian yang penting dalam menghasilkan keuntungan seharusnya adalah pemilik atau manajer. Total keuntungan dihasilkan dalam kelompok dibagikan kepada seluruh anggota sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi lebih kecil.
Pembagian Keuntungan dalam Korporasi
Karena sumber daya manusia merupakan inti dalam menghasilkan keuntungan, maka para karyawan juga memiliki kekuatan tawar-menawar, yaitu akan ada biaya jika mengganti karyawan dalam perusahaan, terutama karyawan yang bekerja pada inti teknologi perusahaan karena kemungkinan pengetahuan mereka tidak dapat digantikan maupun ditiru.
Manajemen harus dapat mengidentifikasi dan memperoleh sumber daya bagi perusahaan dan mengawasi pengembangan pengetahuan dan kinerja dalam perusahaan. Hal ini membuat manajemen menjadi stakeholder yang sangat berharga dalam memperoleh keuntungan perusahaan. Kekuatan tawar-menawar manajemen mungkin berada pada urutan paling atas karena manajer dapat menggunakan kekuasaannya untuk meningkatkan kekuatan tawar-menawar tersebut.
Kekuatan tawar menawar investor akan semakin lemah karena sumber daya keuangan yang mereka berikan bersifat umum, berubah-ubah, tidak khusus dan dapat digantikan dengan mudah (Barney, 1991; Castanias dan Helfat; 1991). Selain itu, jika perusahaan memiliki keuntungan yang berkelanjutan, sumber daya keuangan akan berlimpah sehingga perusahaan tidak akan mengalami kerugian yang besar jika investor mengundurkan diri. Faktor yang paling signifikan dalam lemahnya kekuatan tawar-menawar investor adalah karena mereka tidak memiliki informasi dan keahlian yang cukup mengenai perusahaan. Kekuatan tawar-menawar pemegang saham tergantung pada kemampuan mereka dalam mengendalikan dan memberikan dorongan bagi perusahaan (menguasai perusahaan).
Internal stakeholder memiliki informasi yang lebih baik, kemampuan yang penting untuk menghasilkan keuntungan, dan biaya pengganti yang sangat tinggi sehingga mereka berhak untuk mendapatkan bagian dari keuntungan yang telah diperoleh. Namun pembagian keuntungan tersebut sulit untuk dideteksi dalam pengukuran kinerja tradisional. Artinya, walaupun stakeholder memiliki kekuatan dalam peusahaan, keuntungan tersebut mungkin tidak dapat dirasakan. Jika perusahaan terus menerus mendapatkan keuntungan, sudah pasti keuntungan tersebut akan berkorelasi dengan pengukuran kinerja perusahaan. Meskipun demikian, hubungan antara perolehan keuntungan dan kinerja seharusnya lebih kuat pada saat investor luar memiliki kekuatan tawar-menawar.
Kestabilan dalam pembagian keuntungan kemungkinan akan mendapat gangguan dari kebiasan hak milik perusahaan (Barzel, 1989). Pemilik perusahaan akan mendapatkan keuntungan yang lebih kecil dibandingkan dengan para karyawannya karena karyawan merupakan sumber daya manusia yang berperan lebih besar dalam memperoleh keuntungan. Namun, kepemilikan perusahaan akan semakin bias karena pada saat ini banyak perusahaan yang menghargai para karyawannya dengan memberikan mereka opsi saham.
Terdapat dua ancaman utama dari pasar yang dapat mengurangi keuntungan. Pertama ancaman dari persaingan normal. Serangan pesaing merupakan penyebab utama keuntungan perusahaan terus berkurang (Jacobsen, 1988). Ancaman eksternal kedua adalah pengendalian pasar pada korporasi. Namun, perusahaan mungkin akan menghindari hutang pajak, pesaing, investor dan penjarah yang tidak mengetahui adanya keuntungan dari sumber daya perusahaan.
Dengan demikian, agar dapat memprediksi kinerja perusahaan dengan lebih baik, model RBV harus dintegrasikan dengan konsep kekuatan tawar menawar stakeholder. Model keunggulan sumber daya perusahaan (resource-base advantage) yang lengkap harus memasukkan konsep kekuatan tawar menawar dalam memprediksikan keuntungan diatas normal.*****
Investasi Infrastruktur Telekomunikasi (Bagian Pertama)
Investasi infrastruktur telekomunikasi dapat mendukung pertumbuhan ekonomi melalui beberapa cara (Roler dan Waverman ,1996). Yang kasat mata dan langsung dapat dirasakan, investasi telekomunikasi akan meningkatkan permintaan terhadap produk peralatan telekomunikasi seperti kabel, switch, dan lain-lain. Selain itu, economic return dari investasi infastruktur telekomunikasi jauh lebih besar dari pada sekedar return dari investasi telekomunikasi itu sendiri. Ketika sarana telekomunikasi masih buruk, komunikasi antar-perusahaan relatif terbatas. Biaya transaksi untuk pemesanan barang, pengumpulan informasi, mencari layanan relatif tinggi. Ketika infrastruktur dan layanan telekomunikasi lebih baik, biaya operasional bisnis berkurang, dan output meningkat baik dalam satu perusahaan maupun secara agregat pada industri dan negara. Pengaruh telekomunikasi terhadap ekonomi nasional, dilakukan melalui peningkatan kapasitas manajer untuk berkomunikasi satu sama lain secara cepat dalam jarak yang semakin jauh (Hardy, 1980, p.279).
Karakteristik penting pada teknologi komunikasi yang tidak terdapat pada type infrastruktur lain yaitu network externalities: semakin besar jumlah pemakainya, semakin tinggi value yang ditimbulkan dari para pemakai tersebut. Implikasi adanya network externalities yaitu, pengaruh infrastruktur telekomunikasi dalam pertum-buhan ekonomi kemungkinan tidak berbentuk linear. Dengan bentuk nonlinear, terdapat hubungan positif antara infrastruktur telekomunikasi dengan pertumbuhan ekonomi selama critical mass infrastruktur telekomunikasi dalam negara telah dicapai.***
Karakteristik penting pada teknologi komunikasi yang tidak terdapat pada type infrastruktur lain yaitu network externalities: semakin besar jumlah pemakainya, semakin tinggi value yang ditimbulkan dari para pemakai tersebut. Implikasi adanya network externalities yaitu, pengaruh infrastruktur telekomunikasi dalam pertum-buhan ekonomi kemungkinan tidak berbentuk linear. Dengan bentuk nonlinear, terdapat hubungan positif antara infrastruktur telekomunikasi dengan pertumbuhan ekonomi selama critical mass infrastruktur telekomunikasi dalam negara telah dicapai.***
Hubungan antara LIS dan RBV untuk Keunggulan Kompetitif yang Berkelanjutan: Suatu Integrasi Model Konseptual
(Artikel ini hasil menyadur dari beberapa artikel)
Faktor penting yang menjamin adanya keunggulan kompetitif yang terus berlanjut adalah kemampuan atau kompetensi perusahaan yang berkelanjutan (Chandler dan Hanks, 1994). Kemampuan tersebut dapat membentuk sandaran bagi strategi perusahaan. Selain itu, sistem informasi (SI) juga penting dalam membentuk keunggulan kompetitif perusahaan. Kebanyakan kegagalan perusahaan dapat dihubungkan dengan fakta bahwa sumber daya dan kemampuan perusahaan tidak ditempatkan dengan benar. Dengan mengabaikan hubungan SI dengan sumber daya dan kemampuan merupakan penyebab utama kegagalan perusahaan. Karena itu, untuk memperoleh keunggulan kompetitif yang berkelanjutan adalah dengan memasukkan Logistics Information System (LIS) sebagai sumber spesifik dalan kompetensi perusahaan
Teori RBV menggunakan berbagai bentuk sumber daya perusahaan, termasuk kompetensi (Prahalad dan Hamel, 1990), keahlian (Grant, 1991), aset strategis (Amit dan Schoemaker, 1993; Ross, Beath dan Goodhue, 1996) dan saham (Capron, dan Huiland, 1999). Menurut Barney (1991), RBV bersandar pada dua asumsi fundamental. Pertama, perusahaan memiliki sumber daya produktif yang berbeda dari perusahaan lainnya. Kedua, sumber daya tersebut sangat sulit untuk ditiru atau memiliki penawaran yang inelastis. Penyebab utama pertumbuhan dan keberhasilan perusahaan adalah dengan membangun dasar untuk memperoleh keuntungan dan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan melaui sumber daya dan kemampuan yang superior (Peteraf, 1991). Sumber daya dan kemampuan perusahaan merupakan kompetensi utama dalam memformulasikan strategi (Grant, 1991). Menurut Grant (1991), terdapat perbedaan antara sumber daya dan kemampuan. Sumber daya merupakan masukan (inputs) dalam proses produksi, termasuk peralatan modal, aset intelektual, hak paten, merk, dan lainnya. Sedangnkan kemampuan adalah kapasitas dari kumpulan sumber daua dalam melaksanakan berbagai tugas atau aktivitas perusahaan.
Barney (1991) mengembangkan struktur model VRIO dalam bentuk pertanyaan mengenai sumber daya penting perusahaan, yaitu pertanyaan mengenai nilai sumber daya (Value), keberadaan sumber daya yang jarang (Rarity), tiruan sumber daya (Imitability), dan pengorganisiran sumber daya (Organisation). Jawaban atas pertanyaan tersebut akan menentukan sumber daya atau kemampuan perusahaan sebagai kekuatan atan kelemahan.
Teori RBV juga dapat digunakan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi. Teori ini memberikan kerangka untuk mengevalluasi nilai strategis dari sumber daya teknologi informasi dan komunikasi. RBV juga menyediakan pedoman dalam membedakan berbagai jenis LIS (Santhanam dan Hartono, 2003). Menurut Wade dan Hulland (2004), sumber daya sistem informasi jarang berperan secara langsung dalam mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Sistem informasi berpengaruh pada perusahaan melalui hubungan yang saling melengkapi di antara aset perusahaan dengan kemampuan. Sumber daya LIS tidak dapat membantu perusahaan dalam mencapai keunggulan koompetitif yang berkelanjutan tanpa sumber daya manusia yang memiliki keahlian teknikal dalam menggunakannya. Walaupun mobilitas pegawai SI/TI tinggi, beberapa keahlian SI (Bharadwaj, 2000) dan keahlian integrasi teknologi (Feeny dan Willcocks, 1998) tidak dapat dipindahkan dengan mudah, sehingga sumber daya tersebut dapat digunakan untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.
RBV juga dapat diaplikasikan pada konteks logistik. Logistik, menurut kemampuannya yang khusus, merupakan instrument mengenai waktu, tempat, bentik dan kepemilikan di dalam perusahaan (Novack, Rinehart dan Wells, 1992). Kemampuan tersebut bernilai, jarang, dan sulit untuk ditiru (Olavarrieta dam Ellinger, 1997) maka sumber untuk menciptakan keunggulan kompetitif.
Logistics Information System (LIS) didefinisikan sebagai orang, peralatan dan prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan, mengurutkan, menganalisis, mengevaluasi dan mendistribusikan kebutuhan, waktu dan informasi yang akurat dalam pengambilan keputusan (Murphy dan Wood, 2004). Implementasi SI yang berhasil dalam mendukung proses logistik akan memberikan keuntungan bagi perusahaan (Lai, Ngai dan Cheng, 2005). SI tidak hanya meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses logistik, tetapi juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap strategi logistik dan struktur organisasi (Bowersox dan Daugherty, 1995). Menggunakan SI dalam logistik juga memberikan pengaruh dalam mencapai keunggulan kompetitif.
Evaluasi sumber daya dan kemampuan perusahaan tidak cocok untuk menganalisis LIS dalam memperoleh keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Namun, jika dibatasi dengan model VRIO yang diajukan oleh Barney (1991) untuk mengevaluasi kekuatan sumber daya dan kemampuan yang berhubungan dengan LIS maka dapat dilakukan.*****
Referensi
Amit, R., Schoemaker, P. 1993. Strategic assets and organizational Rent. Strategic Management Journal, vol. 14, 33-46.
Barney, J.B. 1991. Firm resource and sustained competitive advantage, Journal of Management, Vol.17, 99-120.
Bharadwaj, A.S. 2000. A resource based perspective on information technology capability and firm performance: an empirical investigation. MIS Quartely, vol. 24, no.1 169-196.
Bowersox, D.J. Daugherty, P. 1995. Logistics paradigms: The impact of information technology, Journal of Business Logistics, vol. 16, No. 1, 65-81.
Capron, L., Hulland, J. 1999. Redeployment of brands, sales forces, and general following horizontal acquisitions: A resource based-view, Journal of Marketing, vol. 63, no. 2, 41-54.
Chandler, G., Hanks, S. 1994. Market attractiveness resource-based capabilities, venture strategies and venture performance, Journal of Business Venturing, vol. 9, 331-349.
Feeny, D.F., Willcocks, L. P. 1998. Core IS capabilities for exploiting information technology, Sloan Management Review, vol. 39, no. 3, 9-21.
Grant, R.M. 1991. The resource-based theory of competitive advantage: Implications for strategy formulation, California Management Review, Spring, 114-135.
Lai, K. Ngai, E., Cheng, T. 2005. Information technology adoption in Hong Kong’s logistics industry, Transportation Journal, vol. 44, no. 4, 1-10.
Murphy, P., Wood, D. 2004. Contemporary Logistics, 8th Ed., Upper Saddle River, NJ, Prentice-Hall.
Novack, R., Rinehart, L., Wells, M. 1992. Rethinking concept foundation in Logistics, Journal of Business Logistics, vol. 13, No. 2, 233-268.
Olavarrieta, S., Ellinger, A. 1997. Resource-based view and strategic logistics research, International Journal of Physical Distribution and Logistics Management, vol. 27, No. 9/10, 559-587.
Peteraf, M. 1993. The cornerstone of competitive advantage: A resource-based view, Strategic Management Journal, vol. 14, 179-191.
Prahalad, C., Hamel, G. 1990. The core competence of the corporation, Harvard Business Review, Vol. 68 May – June, 79-91.
Roes, J. W., Beath, C. M., Goodhue, D. L. 1996. Develop long-term competitiveness trough IT assets. Sloan Management Review, vol. 38, 31-42.
Santhanam, R., Hartono, E. 2003. Issue in linking information technology capability to firm performance, MIS Quartely, vol. 27, No.1, 125-153.
Wade, M., Hulland, J. 2004. The resource-based view and information syatems research: review, extension, and suggestion for future research, MIS Quartely, vol.28, No.1, 107-142.
Faktor penting yang menjamin adanya keunggulan kompetitif yang terus berlanjut adalah kemampuan atau kompetensi perusahaan yang berkelanjutan (Chandler dan Hanks, 1994). Kemampuan tersebut dapat membentuk sandaran bagi strategi perusahaan. Selain itu, sistem informasi (SI) juga penting dalam membentuk keunggulan kompetitif perusahaan. Kebanyakan kegagalan perusahaan dapat dihubungkan dengan fakta bahwa sumber daya dan kemampuan perusahaan tidak ditempatkan dengan benar. Dengan mengabaikan hubungan SI dengan sumber daya dan kemampuan merupakan penyebab utama kegagalan perusahaan. Karena itu, untuk memperoleh keunggulan kompetitif yang berkelanjutan adalah dengan memasukkan Logistics Information System (LIS) sebagai sumber spesifik dalan kompetensi perusahaan
Teori RBV menggunakan berbagai bentuk sumber daya perusahaan, termasuk kompetensi (Prahalad dan Hamel, 1990), keahlian (Grant, 1991), aset strategis (Amit dan Schoemaker, 1993; Ross, Beath dan Goodhue, 1996) dan saham (Capron, dan Huiland, 1999). Menurut Barney (1991), RBV bersandar pada dua asumsi fundamental. Pertama, perusahaan memiliki sumber daya produktif yang berbeda dari perusahaan lainnya. Kedua, sumber daya tersebut sangat sulit untuk ditiru atau memiliki penawaran yang inelastis. Penyebab utama pertumbuhan dan keberhasilan perusahaan adalah dengan membangun dasar untuk memperoleh keuntungan dan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan melaui sumber daya dan kemampuan yang superior (Peteraf, 1991). Sumber daya dan kemampuan perusahaan merupakan kompetensi utama dalam memformulasikan strategi (Grant, 1991). Menurut Grant (1991), terdapat perbedaan antara sumber daya dan kemampuan. Sumber daya merupakan masukan (inputs) dalam proses produksi, termasuk peralatan modal, aset intelektual, hak paten, merk, dan lainnya. Sedangnkan kemampuan adalah kapasitas dari kumpulan sumber daua dalam melaksanakan berbagai tugas atau aktivitas perusahaan.
Barney (1991) mengembangkan struktur model VRIO dalam bentuk pertanyaan mengenai sumber daya penting perusahaan, yaitu pertanyaan mengenai nilai sumber daya (Value), keberadaan sumber daya yang jarang (Rarity), tiruan sumber daya (Imitability), dan pengorganisiran sumber daya (Organisation). Jawaban atas pertanyaan tersebut akan menentukan sumber daya atau kemampuan perusahaan sebagai kekuatan atan kelemahan.
Teori RBV juga dapat digunakan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi. Teori ini memberikan kerangka untuk mengevalluasi nilai strategis dari sumber daya teknologi informasi dan komunikasi. RBV juga menyediakan pedoman dalam membedakan berbagai jenis LIS (Santhanam dan Hartono, 2003). Menurut Wade dan Hulland (2004), sumber daya sistem informasi jarang berperan secara langsung dalam mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Sistem informasi berpengaruh pada perusahaan melalui hubungan yang saling melengkapi di antara aset perusahaan dengan kemampuan. Sumber daya LIS tidak dapat membantu perusahaan dalam mencapai keunggulan koompetitif yang berkelanjutan tanpa sumber daya manusia yang memiliki keahlian teknikal dalam menggunakannya. Walaupun mobilitas pegawai SI/TI tinggi, beberapa keahlian SI (Bharadwaj, 2000) dan keahlian integrasi teknologi (Feeny dan Willcocks, 1998) tidak dapat dipindahkan dengan mudah, sehingga sumber daya tersebut dapat digunakan untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.
RBV juga dapat diaplikasikan pada konteks logistik. Logistik, menurut kemampuannya yang khusus, merupakan instrument mengenai waktu, tempat, bentik dan kepemilikan di dalam perusahaan (Novack, Rinehart dan Wells, 1992). Kemampuan tersebut bernilai, jarang, dan sulit untuk ditiru (Olavarrieta dam Ellinger, 1997) maka sumber untuk menciptakan keunggulan kompetitif.
Logistics Information System (LIS) didefinisikan sebagai orang, peralatan dan prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan, mengurutkan, menganalisis, mengevaluasi dan mendistribusikan kebutuhan, waktu dan informasi yang akurat dalam pengambilan keputusan (Murphy dan Wood, 2004). Implementasi SI yang berhasil dalam mendukung proses logistik akan memberikan keuntungan bagi perusahaan (Lai, Ngai dan Cheng, 2005). SI tidak hanya meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses logistik, tetapi juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap strategi logistik dan struktur organisasi (Bowersox dan Daugherty, 1995). Menggunakan SI dalam logistik juga memberikan pengaruh dalam mencapai keunggulan kompetitif.
Evaluasi sumber daya dan kemampuan perusahaan tidak cocok untuk menganalisis LIS dalam memperoleh keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Namun, jika dibatasi dengan model VRIO yang diajukan oleh Barney (1991) untuk mengevaluasi kekuatan sumber daya dan kemampuan yang berhubungan dengan LIS maka dapat dilakukan.*****
Referensi
Amit, R., Schoemaker, P. 1993. Strategic assets and organizational Rent. Strategic Management Journal, vol. 14, 33-46.
Barney, J.B. 1991. Firm resource and sustained competitive advantage, Journal of Management, Vol.17, 99-120.
Bharadwaj, A.S. 2000. A resource based perspective on information technology capability and firm performance: an empirical investigation. MIS Quartely, vol. 24, no.1 169-196.
Bowersox, D.J. Daugherty, P. 1995. Logistics paradigms: The impact of information technology, Journal of Business Logistics, vol. 16, No. 1, 65-81.
Capron, L., Hulland, J. 1999. Redeployment of brands, sales forces, and general following horizontal acquisitions: A resource based-view, Journal of Marketing, vol. 63, no. 2, 41-54.
Chandler, G., Hanks, S. 1994. Market attractiveness resource-based capabilities, venture strategies and venture performance, Journal of Business Venturing, vol. 9, 331-349.
Feeny, D.F., Willcocks, L. P. 1998. Core IS capabilities for exploiting information technology, Sloan Management Review, vol. 39, no. 3, 9-21.
Grant, R.M. 1991. The resource-based theory of competitive advantage: Implications for strategy formulation, California Management Review, Spring, 114-135.
Lai, K. Ngai, E., Cheng, T. 2005. Information technology adoption in Hong Kong’s logistics industry, Transportation Journal, vol. 44, no. 4, 1-10.
Murphy, P., Wood, D. 2004. Contemporary Logistics, 8th Ed., Upper Saddle River, NJ, Prentice-Hall.
Novack, R., Rinehart, L., Wells, M. 1992. Rethinking concept foundation in Logistics, Journal of Business Logistics, vol. 13, No. 2, 233-268.
Olavarrieta, S., Ellinger, A. 1997. Resource-based view and strategic logistics research, International Journal of Physical Distribution and Logistics Management, vol. 27, No. 9/10, 559-587.
Peteraf, M. 1993. The cornerstone of competitive advantage: A resource-based view, Strategic Management Journal, vol. 14, 179-191.
Prahalad, C., Hamel, G. 1990. The core competence of the corporation, Harvard Business Review, Vol. 68 May – June, 79-91.
Roes, J. W., Beath, C. M., Goodhue, D. L. 1996. Develop long-term competitiveness trough IT assets. Sloan Management Review, vol. 38, 31-42.
Santhanam, R., Hartono, E. 2003. Issue in linking information technology capability to firm performance, MIS Quartely, vol. 27, No.1, 125-153.
Wade, M., Hulland, J. 2004. The resource-based view and information syatems research: review, extension, and suggestion for future research, MIS Quartely, vol.28, No.1, 107-142.
Persaingan Memperebutkan Sumber Daya
Persaingan tidak hanya terjadi pada perebutan pelanggan tetapi juga pada sumber daya lainnya yang langka sehingga selalu diperebutkan oleh perusahaan dan pesaingnya. Terdapat tiga jenis persaingan, yaitu:
1. Persaingan dalam pengembangan sumber daya potensial yang baru;
2. Persaingan dalam memperoleh sumber daya;
3. Persaingan dalam mendapatkan perhatian pelanggan dan sumber daya lainnya.
1. Mengembangkan pelanggan potensial yang baru
Perusahaan akan berusaha untuk mendapatkan pelanggan yang baru memasuki industri lebih dulu dari pesaingnya sehingga perusahaan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan potensi pelanggan tersebut. Jumlah pelanggan menentukan kinerja perusahaan, dan jumlah pelanggan dipengaruhi oleh produk yang dikeluarkan perusahaan. Basis pelanggan yang dibangun perusahaan dapat berkembang dengan cepat, tetapi juga dapat melambat jika sumber daya yang potensial habis. Agar dapat meraih pelanggan, tidak hanya dilakukan dengan mengembangkan sumber daya perusahaan, tetapi juga mengurangi sumber daya yang dimiliki oleh pesaing.
Pelanggan yang potensial diperoleh melalui sistem pemasaran dan relative value yang berupa nilai produk yang ditawarkan yang seimbang dengan harga yang harus dibayar pelanggan. Selain itu, pertumbuhan pelanggan juga dapat didorong dengan adanya mekanisme pemasaran dari mulut ke mulut. Konsep relative value, juga dapat dikembangkan pada sumber daya potensial lainnya, misalnya penghargaan terhadap karyawan atas prestasinya dalam perusahaan.
Tingkat pertumbuhan pelanggan biasanya didorong oleh produk atau layanan perusahaan yang paling menarik bagi mereka. Pelanggan yang potesial akan tetap memilih produk perusahaan walaupun produk tersebut mengalami perubahan baik pada fungsi maupun harganya.
Tingkat pertumbuhan industri dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, yaitu faktor politik, ekonomi, sosial dan teknologi (yang dikenal sebagai analisis PEST). Keempat faktor ini sering dipertimbangkan perusahaan dalam mengevaluasi peluang industri. Perubahan situasi politik dapat mempengaruhi seluruh industri, misalnya dengan adanya ketentuan privatisasi dan deregulasi. Perubahan ekonomi dapat mendatangkan kelompok pelanggan baru bagi industri. Perubahan sosial juga mendorong perubahan pada konsumen, tenaga kerja, dan lainnya menjadi sumber daya yang potensial dan aktual bagi perusahaan atau justru sebaliknya, menjadi sumber daya yang tidak potensial. Perkembangan teknologi dapat memberikan dua pengaruh, yaitu mengubah kualitas produk dan jasa yang ditawarkan dan mengurangi biaya yang dikeluarkan perusahaan.
Analisis mengenai evolusi industri telekomunikasi tidak hanya tertera pada faktor harga, tetapi juga faktor-faktor berikut:
Peningkatan penggunaan jasa telekomunikasi yang didorong dengan adanya penurunan tarif.
Struktur tarif yang diterapkan perusahaan dan pesaing dalam penetapan tarif berdasarkan bulanan, penggunaan, dan lainnya.
Peluang peningkatan pendapatan dengan adanya perkembangan jaringan dan pengguna jasa telekomunikasi.
Sistem pemasaran yang diterapkan untuk mendapatkan pelanggan yang potensial.
Tersedianya produk dalam eceran.
Kapasitas yang dibutuhkan sejalan dengan berjambahnya jumlah pelanggan, berupa pembangunan jaringan di berbagai daerah dan infrastruktur lainnya.
Pelanggan churn.
Kebijakan pesaing dalam usahanya untuk membangun basis pelanggan, meningkatkan permintaan dan pendapatan.
2. Merebut pelanggan pesaing
Dengan berkembangnya pasar, tipe persaingan kedua mulai bermain. Setiap perusahaan berusaha menarik pelanggan yang telah dikembangkan oleh para pesaing untuk menjadi pelanggannya. Pada saat yang sama, perusahaan juga berusaha untuk mempertahankan pelanggannya agar tidak direbut oleh pesaing. Terdapat berbagai cara untuk mendapatkan pelanggan, antara lain dengan memberikan harga yang lebih murah dan memberikan efisiensi dalam penggunaan produk.
Perusahaan incumbent sering menggunakan asset dengan tidak efisien sehingga pemain baru dalam industri yang muncul diberikan fasilitas dengan menggunakan aset tersebut tanpa dipungut biaya. Akibatnya, pemain baru tersebut dapat memberikan harga produk yang lebih murah dan merebut pelanggan dari incumbent . Namun, pemain baru tidak dapat terus mempertahankan keadaan ini sehingga pelanggan akan kembali kepada incumbent.
Perubahan regulasi dan teknologi menyebabkan terbukanya persaingan dengan munculnya para pemain baru yang berusaha untuk memperoleh pelanggan dengan harga yang kompetitif atau menawarkan produk yang memberikan fungsi yang menguntungkan pelanggan. Untuk mempertahankan kedudukannya, incumbent lebih baik berusaha untuk menciptakan dan mempertahankan loyalitas dan retensi pelanggan dibandingkan dengan menurunkan harga produk.
3. Bersaing dalam penjualan untuk berbagi pelanggan.
Jika kondisinya memungkinkan, perusahaan dan pesaingnya dapat saling berbagi pelanggan. Dalam beberapa pasar, seperti pasar barang-barang konsumsi, bahan baku, dan periklanan, terdapat pelanggan yang membeli suatu produk atau menggunakan jasa yang berasal dari dua perusahaan atau lebih. Pada tipe persaingan ini, perusahaan akan berusaha untuk mendapatkan perhatian pelanggan atas produk-produknya sehingga pelanggan lebih memilih produk perusahaan dibandingkan dengan produk pesaing.
Persaingan seperti ini merupakan kombinasi dari dua tipe persaingan sebelumnya. Pada pasar yang sudah mapan, sering terjadi persaingan dalam menciptakan dan mempertahankan loyalitas pelanggan (sebagaimana pada tipe persaingan yang kedua), dan para pelanggan baru berdatangan sehingga mendorong terjadinya persaingan seperti pada tipe pertama. Namun pada persaingan tipe 1 dan tipe 2, perusahaan menghadapi kelompok pelanggan yang hanya berlangganan satu perusahaan secara eksklusif, sementara pada tipe 3, pelanggan suatu perusahaan mungkin juga pelanggan perusahaan pesaingnya.
Ketiga tipe persaingan tersebut akan sulit untuk dikendalikan pada industri yang memiliki banyak pesaing. Untuk menghadapi persaingan seperti itu, dapat dilakukan dengan menerapkan segmentasi industri, yaitu dengan mencari perbedaan karakteristik dan kebijakan perusahaan pesaing, misalnya segmen pasar yang dilayani. Dengan demikian, perusahaan dapat mengidentifikasi pesaing sebenarnya yang berada pada segmentasi yang serupa. Perubahan pada kinerja perusahaan dapat digambarkan melalui tingkat keberhasilannya memenangkan persaingan terhadap pesaingnya secara individu maupun persaingan dalam segementasi industrinya.
Persaingan dalam meraih sumber daya tidak hanya terjadi pada perusahaan-perusahaan komersial, tetapi juga pada organisasi nirlaba, seperti lembaga amal, pemerintah, pelayanan masyarakat, dan kelompok politik. Strategi yang diterapkan tidak hanya mempengaruhi kinerja perusahaan, tetapi juga dapat mempengaruhi industri.
1. Persaingan dalam pengembangan sumber daya potensial yang baru;
2. Persaingan dalam memperoleh sumber daya;
3. Persaingan dalam mendapatkan perhatian pelanggan dan sumber daya lainnya.
1. Mengembangkan pelanggan potensial yang baru
Perusahaan akan berusaha untuk mendapatkan pelanggan yang baru memasuki industri lebih dulu dari pesaingnya sehingga perusahaan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan potensi pelanggan tersebut. Jumlah pelanggan menentukan kinerja perusahaan, dan jumlah pelanggan dipengaruhi oleh produk yang dikeluarkan perusahaan. Basis pelanggan yang dibangun perusahaan dapat berkembang dengan cepat, tetapi juga dapat melambat jika sumber daya yang potensial habis. Agar dapat meraih pelanggan, tidak hanya dilakukan dengan mengembangkan sumber daya perusahaan, tetapi juga mengurangi sumber daya yang dimiliki oleh pesaing.
Pelanggan yang potensial diperoleh melalui sistem pemasaran dan relative value yang berupa nilai produk yang ditawarkan yang seimbang dengan harga yang harus dibayar pelanggan. Selain itu, pertumbuhan pelanggan juga dapat didorong dengan adanya mekanisme pemasaran dari mulut ke mulut. Konsep relative value, juga dapat dikembangkan pada sumber daya potensial lainnya, misalnya penghargaan terhadap karyawan atas prestasinya dalam perusahaan.
Tingkat pertumbuhan pelanggan biasanya didorong oleh produk atau layanan perusahaan yang paling menarik bagi mereka. Pelanggan yang potesial akan tetap memilih produk perusahaan walaupun produk tersebut mengalami perubahan baik pada fungsi maupun harganya.
Tingkat pertumbuhan industri dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, yaitu faktor politik, ekonomi, sosial dan teknologi (yang dikenal sebagai analisis PEST). Keempat faktor ini sering dipertimbangkan perusahaan dalam mengevaluasi peluang industri. Perubahan situasi politik dapat mempengaruhi seluruh industri, misalnya dengan adanya ketentuan privatisasi dan deregulasi. Perubahan ekonomi dapat mendatangkan kelompok pelanggan baru bagi industri. Perubahan sosial juga mendorong perubahan pada konsumen, tenaga kerja, dan lainnya menjadi sumber daya yang potensial dan aktual bagi perusahaan atau justru sebaliknya, menjadi sumber daya yang tidak potensial. Perkembangan teknologi dapat memberikan dua pengaruh, yaitu mengubah kualitas produk dan jasa yang ditawarkan dan mengurangi biaya yang dikeluarkan perusahaan.
Analisis mengenai evolusi industri telekomunikasi tidak hanya tertera pada faktor harga, tetapi juga faktor-faktor berikut:
Peningkatan penggunaan jasa telekomunikasi yang didorong dengan adanya penurunan tarif.
Struktur tarif yang diterapkan perusahaan dan pesaing dalam penetapan tarif berdasarkan bulanan, penggunaan, dan lainnya.
Peluang peningkatan pendapatan dengan adanya perkembangan jaringan dan pengguna jasa telekomunikasi.
Sistem pemasaran yang diterapkan untuk mendapatkan pelanggan yang potensial.
Tersedianya produk dalam eceran.
Kapasitas yang dibutuhkan sejalan dengan berjambahnya jumlah pelanggan, berupa pembangunan jaringan di berbagai daerah dan infrastruktur lainnya.
Pelanggan churn.
Kebijakan pesaing dalam usahanya untuk membangun basis pelanggan, meningkatkan permintaan dan pendapatan.
2. Merebut pelanggan pesaing
Dengan berkembangnya pasar, tipe persaingan kedua mulai bermain. Setiap perusahaan berusaha menarik pelanggan yang telah dikembangkan oleh para pesaing untuk menjadi pelanggannya. Pada saat yang sama, perusahaan juga berusaha untuk mempertahankan pelanggannya agar tidak direbut oleh pesaing. Terdapat berbagai cara untuk mendapatkan pelanggan, antara lain dengan memberikan harga yang lebih murah dan memberikan efisiensi dalam penggunaan produk.
Perusahaan incumbent sering menggunakan asset dengan tidak efisien sehingga pemain baru dalam industri yang muncul diberikan fasilitas dengan menggunakan aset tersebut tanpa dipungut biaya. Akibatnya, pemain baru tersebut dapat memberikan harga produk yang lebih murah dan merebut pelanggan dari incumbent . Namun, pemain baru tidak dapat terus mempertahankan keadaan ini sehingga pelanggan akan kembali kepada incumbent.
Perubahan regulasi dan teknologi menyebabkan terbukanya persaingan dengan munculnya para pemain baru yang berusaha untuk memperoleh pelanggan dengan harga yang kompetitif atau menawarkan produk yang memberikan fungsi yang menguntungkan pelanggan. Untuk mempertahankan kedudukannya, incumbent lebih baik berusaha untuk menciptakan dan mempertahankan loyalitas dan retensi pelanggan dibandingkan dengan menurunkan harga produk.
3. Bersaing dalam penjualan untuk berbagi pelanggan.
Jika kondisinya memungkinkan, perusahaan dan pesaingnya dapat saling berbagi pelanggan. Dalam beberapa pasar, seperti pasar barang-barang konsumsi, bahan baku, dan periklanan, terdapat pelanggan yang membeli suatu produk atau menggunakan jasa yang berasal dari dua perusahaan atau lebih. Pada tipe persaingan ini, perusahaan akan berusaha untuk mendapatkan perhatian pelanggan atas produk-produknya sehingga pelanggan lebih memilih produk perusahaan dibandingkan dengan produk pesaing.
Persaingan seperti ini merupakan kombinasi dari dua tipe persaingan sebelumnya. Pada pasar yang sudah mapan, sering terjadi persaingan dalam menciptakan dan mempertahankan loyalitas pelanggan (sebagaimana pada tipe persaingan yang kedua), dan para pelanggan baru berdatangan sehingga mendorong terjadinya persaingan seperti pada tipe pertama. Namun pada persaingan tipe 1 dan tipe 2, perusahaan menghadapi kelompok pelanggan yang hanya berlangganan satu perusahaan secara eksklusif, sementara pada tipe 3, pelanggan suatu perusahaan mungkin juga pelanggan perusahaan pesaingnya.
Ketiga tipe persaingan tersebut akan sulit untuk dikendalikan pada industri yang memiliki banyak pesaing. Untuk menghadapi persaingan seperti itu, dapat dilakukan dengan menerapkan segmentasi industri, yaitu dengan mencari perbedaan karakteristik dan kebijakan perusahaan pesaing, misalnya segmen pasar yang dilayani. Dengan demikian, perusahaan dapat mengidentifikasi pesaing sebenarnya yang berada pada segmentasi yang serupa. Perubahan pada kinerja perusahaan dapat digambarkan melalui tingkat keberhasilannya memenangkan persaingan terhadap pesaingnya secara individu maupun persaingan dalam segementasi industrinya.
Persaingan dalam meraih sumber daya tidak hanya terjadi pada perusahaan-perusahaan komersial, tetapi juga pada organisasi nirlaba, seperti lembaga amal, pemerintah, pelayanan masyarakat, dan kelompok politik. Strategi yang diterapkan tidak hanya mempengaruhi kinerja perusahaan, tetapi juga dapat mempengaruhi industri.
Sumber Daya Strategik – Bahan Bakar bagi Kinerja Perusahaan
Sebagian besar manajer mengerti pentingnya membangun atau memelihara sumberdaya bagi binis mereka, baik yang bersifat tangible seperti staf dan pelanggan, dan intangible seperti moralitas staf dan dukungan investor. Sumber daya interdependen - kualitas produk yang baik - hanya memberi value yang sedikit jika penyampaiannya merusak reputasi di hadapan pelanggan, dan wiraniaga yang hebat sekalipun tidak dapat melakukan apapun terhadap berbagai produk yang buruk. Sumber daya merupakan hal penting bagi perusahaan, namun sumberdaya bukanlah satu-satunya yang terpenting. Satu sumber daya yang baik perlu diimbangi dengan sumberdaya lainnya. Artinya di antara sumberdaya terjadi keterkaitan, saling mempengaruhi.
Sumber daya strategik (strategic resources), dapat dikatakan sebagai sesuatu yang berguna ketika perusahaan memiliki akses untuk memanfaatkannya. Kapabilitas dan kompetensi (sesuatu yang perusahaan bagus dalam melakukannya) tidak dapat digolongkan sebagai sumberdaya strategik. Proses yang terjadi di dalam perusahaan (seperti pengurangan biaya, rekayasa produksi, order processing) juga tidak dapat dimasukkan sebagai sumberdaya. Jika dimasukkan dapat tumpang-tindih (overlap) dengan daftar kapabilitas yang menunjukkan apa yang dikerjakan perusahaan dari pada apa yang dimiliki perusahaan. Item lain yang sebaiknya tidak dimasukkan dalam sumberdaya strategik adalah semua item yang terdapat di laporan laba rugi atau pernyataan cashflow. Item – item tersebut lebih menunjukkan satu tingkat (rate) pada suatu periode di mana aktivitas keuangan terjadi dari pada besaran (amount) sesuatu yang dimiliki perusahaan pada suatu waktu.
Diskusi tentang bagaimana sumberdaya memberi kontribusi bagi keunggulan kompetitive dapat ditemukan di berbagai literatur. Lihat Penrose (1959), Wernerfelt (1984), Barney (2001) dan Grant (2001). Beberapa pertimbangan dalam menentukan kualitas sumberdaya:
• Seberapa tahan lama (durable)? sumber daya yang dapat rusak, luntur, atau menjadi obsolete tidak dapat mendukung sustainable advantage. Mesin-mesin pabrik menjadi usang, ketrampilan pegawai menurun, antusiasme investor untuk mendanai perusahaan menghilang. Atau dalam hal lain, sumber daya tidak berubah (seperti efisiensi fasilitas produksi atau standar layanan) tetapi secara efektif menjadi tidak durable karena kemajuan teknologi atau meningkatkan ekspektasi pelanggan yang tidak dapat dipenuhi pelanggan.
• Seberapa mudah berpindah (mobile) atau dapat dipertukarkan (tradeable)? Berbagai sumber daya, sementara penting bagi operasi bisnis yang efektif, juga mudah didapat atau dipindahkan dari perusahaan satu ke perusahaan lainnya, di mana hal ini dapat berdampak pada berkurangnya sustainable advantage. Sumberdaya bersifat mobile jika ia dapat dengan mudah dibeli atau dijual. Produsen peralatan sangat bersemangat menjual teknologinya kepada siapa saja (termasuk pesaing). Pegawai dapat tergoda oleh gaji lebih tinggi yang ditawarkan oleh pesaing. Sumber daya dapat berpindah dari perusahaan karena alasan apapun di luar harga.
• Seberapa mudah dibuat tiruannya (replicable)? Banyak sumber daya yang dengan mudah dapat ditiru oleh pesaing, dan akibatnya mengurangi competitive advantage. Perusahaan dapat menambah produk baru, dan melakukan kampanye pemasaran untuk meningkatkan pangsa pasar dalam waktu singkat, namun jika produk tersebut dengan mudah dapat di-copy, manfaatnya akan menguap dalam jangka pendek.
• Dapatkah sumber daya digantikan (substituted)? Meski suatu bisnis tidak dapat membeli atau meniru sumber daya yang dimiliki pesaing, tidak berarti kehilangan peluang untuk mendapatkan competitive advantage, jika mampu menciptakan sumber daya alternatif (pengganti) yang mampu memenuhi tujuan serupa. Contohnya, penggunaan pesanan melalui telepon atau website untuk mengatasi kesenjangan akses kepada toko ritel.
• Apakah sumberdaya saling melengkapi (complementary)? Apakah di antara sumberdaya dapat bekerja sama dengan baik? Pemahaman yang tinggi terhadap suatu merek hanya memberikan sedikit value jika tidak disertai dengan saluran distribusi untuk menghasilkan penjualan.
Yang perlu diperhatikan, karakter sumberdaya yang direpresentasikan dalam menjawab pertanyaan di atas tidak selalu absolute atau bersifat hitam-putih. Jarang sekali sumber daya sepenuhnya bersifat durable, absolut tidak dapat dipertukarkan, atau sama sekali tidak dapat ditiru atau digantikan. Pada kenyataannya hanya pada tingkat tertentu dapat memenuhi kriteria tersebut. Selain itu, kemampuan untuk merawat, memindahkan, meniru atau mencari pengganti sumber daya secara inherent merupakan isu dinamis. Dengan pengecualian sumberdaya yang dapat dipertukarkan, tidak ada yang dapat dengan mudah didapat dalam tempo segera. Selalu terjadi masalah seberapa cepat suatu sumber daya dapat dibangun atau mulai berkurang manfaatnya. Tanpa sarana pengukuran dan penyajian laju perubahan level sumber daya, kemajuan di dalam memahami skala dan variasi competitive advantage perusahaan menjadi sulit.*****
Sumber daya strategik (strategic resources), dapat dikatakan sebagai sesuatu yang berguna ketika perusahaan memiliki akses untuk memanfaatkannya. Kapabilitas dan kompetensi (sesuatu yang perusahaan bagus dalam melakukannya) tidak dapat digolongkan sebagai sumberdaya strategik. Proses yang terjadi di dalam perusahaan (seperti pengurangan biaya, rekayasa produksi, order processing) juga tidak dapat dimasukkan sebagai sumberdaya. Jika dimasukkan dapat tumpang-tindih (overlap) dengan daftar kapabilitas yang menunjukkan apa yang dikerjakan perusahaan dari pada apa yang dimiliki perusahaan. Item lain yang sebaiknya tidak dimasukkan dalam sumberdaya strategik adalah semua item yang terdapat di laporan laba rugi atau pernyataan cashflow. Item – item tersebut lebih menunjukkan satu tingkat (rate) pada suatu periode di mana aktivitas keuangan terjadi dari pada besaran (amount) sesuatu yang dimiliki perusahaan pada suatu waktu.
Diskusi tentang bagaimana sumberdaya memberi kontribusi bagi keunggulan kompetitive dapat ditemukan di berbagai literatur. Lihat Penrose (1959), Wernerfelt (1984), Barney (2001) dan Grant (2001). Beberapa pertimbangan dalam menentukan kualitas sumberdaya:
• Seberapa tahan lama (durable)? sumber daya yang dapat rusak, luntur, atau menjadi obsolete tidak dapat mendukung sustainable advantage. Mesin-mesin pabrik menjadi usang, ketrampilan pegawai menurun, antusiasme investor untuk mendanai perusahaan menghilang. Atau dalam hal lain, sumber daya tidak berubah (seperti efisiensi fasilitas produksi atau standar layanan) tetapi secara efektif menjadi tidak durable karena kemajuan teknologi atau meningkatkan ekspektasi pelanggan yang tidak dapat dipenuhi pelanggan.
• Seberapa mudah berpindah (mobile) atau dapat dipertukarkan (tradeable)? Berbagai sumber daya, sementara penting bagi operasi bisnis yang efektif, juga mudah didapat atau dipindahkan dari perusahaan satu ke perusahaan lainnya, di mana hal ini dapat berdampak pada berkurangnya sustainable advantage. Sumberdaya bersifat mobile jika ia dapat dengan mudah dibeli atau dijual. Produsen peralatan sangat bersemangat menjual teknologinya kepada siapa saja (termasuk pesaing). Pegawai dapat tergoda oleh gaji lebih tinggi yang ditawarkan oleh pesaing. Sumber daya dapat berpindah dari perusahaan karena alasan apapun di luar harga.
• Seberapa mudah dibuat tiruannya (replicable)? Banyak sumber daya yang dengan mudah dapat ditiru oleh pesaing, dan akibatnya mengurangi competitive advantage. Perusahaan dapat menambah produk baru, dan melakukan kampanye pemasaran untuk meningkatkan pangsa pasar dalam waktu singkat, namun jika produk tersebut dengan mudah dapat di-copy, manfaatnya akan menguap dalam jangka pendek.
• Dapatkah sumber daya digantikan (substituted)? Meski suatu bisnis tidak dapat membeli atau meniru sumber daya yang dimiliki pesaing, tidak berarti kehilangan peluang untuk mendapatkan competitive advantage, jika mampu menciptakan sumber daya alternatif (pengganti) yang mampu memenuhi tujuan serupa. Contohnya, penggunaan pesanan melalui telepon atau website untuk mengatasi kesenjangan akses kepada toko ritel.
• Apakah sumberdaya saling melengkapi (complementary)? Apakah di antara sumberdaya dapat bekerja sama dengan baik? Pemahaman yang tinggi terhadap suatu merek hanya memberikan sedikit value jika tidak disertai dengan saluran distribusi untuk menghasilkan penjualan.
Yang perlu diperhatikan, karakter sumberdaya yang direpresentasikan dalam menjawab pertanyaan di atas tidak selalu absolute atau bersifat hitam-putih. Jarang sekali sumber daya sepenuhnya bersifat durable, absolut tidak dapat dipertukarkan, atau sama sekali tidak dapat ditiru atau digantikan. Pada kenyataannya hanya pada tingkat tertentu dapat memenuhi kriteria tersebut. Selain itu, kemampuan untuk merawat, memindahkan, meniru atau mencari pengganti sumber daya secara inherent merupakan isu dinamis. Dengan pengecualian sumberdaya yang dapat dipertukarkan, tidak ada yang dapat dengan mudah didapat dalam tempo segera. Selalu terjadi masalah seberapa cepat suatu sumber daya dapat dibangun atau mulai berkurang manfaatnya. Tanpa sarana pengukuran dan penyajian laju perubahan level sumber daya, kemajuan di dalam memahami skala dan variasi competitive advantage perusahaan menjadi sulit.*****
Faktor Industri dan Kinerja Perusahaan
Analisa kondisi kompetisi pada level industri telah mendominasi upaya peneliti dalam memahami dan meramalkan kinerja perusahaan selama dua puluh tahun terakhir (Warren, 2002). Dominasi ini muncul dari pengaruh paradigma Structure-Conduct-Performance (SCP) dalam ekonomi industri. Paradigma SCP beragumen bahwa perilaku manajerial dalam strategi perusahaan (entry, differensiasi, pricing, dll.) lebih banyak ditentukan oleh kondisi industri yang membatasai kemampuan perusahaan untuk melakukan sesuatu yang berbeda dari perusahaan-perusahaan lain secara signifikan. Kondisi industri terkait dengan barriers yang menghalangi perusahaan lain yang berniat memasuki atau meninggalkan industri, atau beralih kepada supplier dan atau produk lain. Hambatan ini dapat berupa financial (seperti biaya membangun kapasitas, mendapatkan akses pasar, membangun produk yang kompertitif) atau yang bersifat strategik (memperkirakan tidak-balasan pesaing, keengganan pelanggan untuk beralih dari supplier yang telah dipercayainya).
Implikasi SCP bagi manajemen strategik cukup berarti. Jika kondisi industri mendominasi kinerja perusahaan, yang dapat dilakukan hanyalah memilih industri yang atraktif, dan nasib manajer lebih banyak diukur dari profitabilitas yang dicapai. Tidak ada peran lebih lanjut bagi manajemen. Pandangan ini didukung oleh fakta bahwa banyak perusahaan yang gagal untuk menampilkan kinerja yang lebih baik dari rata-rata industri, meraih profitabilitas yang signifikan dan menyingkirkan para pesaing.
Manajemen memiliki peran untuk berkiprah dalam menentukan kinerja strategik perusahaan. Pertama, studi bidang strategi mengakui bahwa kondisi industri masih menjadi salah satu faktor diperolehnya kinerja yang buruk. McGahan dan Porter (1997) menyatakan bahwa kondisi suatu industri hanya menjelaskan 15% dari varians dalam profitabilitas di antara sejumlah besar perusahaan. Suatu hal yang masih menjadi pertanyaan adalah bagaimana beberapa perusahaan berhasil memperoleh untung atau lebih unggul dari lainnya.
Namun demikian, fakta adanya perusahaan yang gagal untuk unggul dalam industri tidak serta-merta membuktikan bahwa kondisi industri mendominasi. Kondisi ini juga bukan faktor tunggal yang mengubah melalui perubahan manajemen. Alasan kedua, karena adanya perbedaan kinerja di antara perusahaan. artinya unit bisnis juga punya andil dalam mencapai kinerja tertentu.
Kegagalan faktor – faktor industri untuk menjelaskan kinerja perusahaan menimbulkan pertanyaan terhadap paradigma SCP sebagai basis dalam mengiden-tifikasi peluang strategik atau memberi saran bagi manajemen bagaimana yang terbaik untuk mengambil peluang tersebut. Kinerja merupakan fungsi langsung dari sumberdaya strategik yang dimiliki atau yang dapat dikelola oleh perusahaan.
Kinerja Perusahaan
Ada banyak faktor yang mempengaruhi kinerja perusahaan di antaranya faktor lingkungan bisnis eksternal seperti kebijakan pemerintah, kekuatan hukum dan politik, teknologi, sumber daya, pesaing, selera pelanggan dan pengelolaan perusahaan. Dalam perspektif manajemen strategi, lingkungan merupakan faktor kontekstual penting yang mempunyai dampak terhadap kinerja perusahaan (Hamel & Prahalad, 1994). Lingkungan bisnis eksternal merupakan lingkungan yang berada di luar organisasi, namun dipertim-bangkan dalam pengambilan keputusan bisnis. Fisher (1998) menemukan faktor-faktor kontekstual lainnya yang mempengaruhi kinerja yaitu teknologi, ketidak-pastian, strategi dan kompetensi. Globalisasi, kondisi perekonomian, perubahan teknologi juga dapat mempengaruhi kinerja perusahaan. Selain itu, lingkungan industri juga berperan dalam mempercepat perubahan lingkungan yang akhirnya juga berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Lingkungan industri yang dimaksud adalah bargaining power yang dimiliki oleh pembeli dan pemasok, masuknya pendatang baru (new entrants) yang potensial, adanya barang substitusi, dan intensitas persaingan perusahaan dalam industri (Porter, 1996: 22).
Pengukuran kinerja dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu pengukuran kinerja keuangan (financial performance measurement) dan non keuangan (non-financial performance measurement). Pada dasarnya aspek keuangan merupakan muara segala keputusan, tindakan dan aktivitas manajemen. Namun ukuran yang didasarkan hanya pada kinerje keuangan tidak dapat mengungkapkan kemampuan organisasi (perusahaan) untuk menciptakan nilai ekonomik masa yang akan datang (Kaplan, 1996). Walaupun beberapa peneliti memperlihatkan keprihatian penggunaan tingkat pengembalian akuntansi (Fisher dan McGowan, 1983), sebagian besar penelitian menganggap ukuran akuntansi dapat diterima. Chen dan Lee (1995) dan Gosh (2002) menyatakan bahwa return on asset (ROA) masih sering digunakan sebagai ukuran keuntungan perusahaan dan nilai investasi intelektual. Meskipun demikian, beberapa peneliti memberikan kritik bahwa ROA memiliki beberapa masalah. Sebaliknya, pengukuran pendapatan operasi dengan penjualan dapat mengatasi masalah terdapatnya biaya historis dan asset yang tidak digunakan pada perhitungan ROA.*****
Implikasi SCP bagi manajemen strategik cukup berarti. Jika kondisi industri mendominasi kinerja perusahaan, yang dapat dilakukan hanyalah memilih industri yang atraktif, dan nasib manajer lebih banyak diukur dari profitabilitas yang dicapai. Tidak ada peran lebih lanjut bagi manajemen. Pandangan ini didukung oleh fakta bahwa banyak perusahaan yang gagal untuk menampilkan kinerja yang lebih baik dari rata-rata industri, meraih profitabilitas yang signifikan dan menyingkirkan para pesaing.
Manajemen memiliki peran untuk berkiprah dalam menentukan kinerja strategik perusahaan. Pertama, studi bidang strategi mengakui bahwa kondisi industri masih menjadi salah satu faktor diperolehnya kinerja yang buruk. McGahan dan Porter (1997) menyatakan bahwa kondisi suatu industri hanya menjelaskan 15% dari varians dalam profitabilitas di antara sejumlah besar perusahaan. Suatu hal yang masih menjadi pertanyaan adalah bagaimana beberapa perusahaan berhasil memperoleh untung atau lebih unggul dari lainnya.
Namun demikian, fakta adanya perusahaan yang gagal untuk unggul dalam industri tidak serta-merta membuktikan bahwa kondisi industri mendominasi. Kondisi ini juga bukan faktor tunggal yang mengubah melalui perubahan manajemen. Alasan kedua, karena adanya perbedaan kinerja di antara perusahaan. artinya unit bisnis juga punya andil dalam mencapai kinerja tertentu.
Kegagalan faktor – faktor industri untuk menjelaskan kinerja perusahaan menimbulkan pertanyaan terhadap paradigma SCP sebagai basis dalam mengiden-tifikasi peluang strategik atau memberi saran bagi manajemen bagaimana yang terbaik untuk mengambil peluang tersebut. Kinerja merupakan fungsi langsung dari sumberdaya strategik yang dimiliki atau yang dapat dikelola oleh perusahaan.
Kinerja Perusahaan
Ada banyak faktor yang mempengaruhi kinerja perusahaan di antaranya faktor lingkungan bisnis eksternal seperti kebijakan pemerintah, kekuatan hukum dan politik, teknologi, sumber daya, pesaing, selera pelanggan dan pengelolaan perusahaan. Dalam perspektif manajemen strategi, lingkungan merupakan faktor kontekstual penting yang mempunyai dampak terhadap kinerja perusahaan (Hamel & Prahalad, 1994). Lingkungan bisnis eksternal merupakan lingkungan yang berada di luar organisasi, namun dipertim-bangkan dalam pengambilan keputusan bisnis. Fisher (1998) menemukan faktor-faktor kontekstual lainnya yang mempengaruhi kinerja yaitu teknologi, ketidak-pastian, strategi dan kompetensi. Globalisasi, kondisi perekonomian, perubahan teknologi juga dapat mempengaruhi kinerja perusahaan. Selain itu, lingkungan industri juga berperan dalam mempercepat perubahan lingkungan yang akhirnya juga berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Lingkungan industri yang dimaksud adalah bargaining power yang dimiliki oleh pembeli dan pemasok, masuknya pendatang baru (new entrants) yang potensial, adanya barang substitusi, dan intensitas persaingan perusahaan dalam industri (Porter, 1996: 22).
Pengukuran kinerja dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu pengukuran kinerja keuangan (financial performance measurement) dan non keuangan (non-financial performance measurement). Pada dasarnya aspek keuangan merupakan muara segala keputusan, tindakan dan aktivitas manajemen. Namun ukuran yang didasarkan hanya pada kinerje keuangan tidak dapat mengungkapkan kemampuan organisasi (perusahaan) untuk menciptakan nilai ekonomik masa yang akan datang (Kaplan, 1996). Walaupun beberapa peneliti memperlihatkan keprihatian penggunaan tingkat pengembalian akuntansi (Fisher dan McGowan, 1983), sebagian besar penelitian menganggap ukuran akuntansi dapat diterima. Chen dan Lee (1995) dan Gosh (2002) menyatakan bahwa return on asset (ROA) masih sering digunakan sebagai ukuran keuntungan perusahaan dan nilai investasi intelektual. Meskipun demikian, beberapa peneliti memberikan kritik bahwa ROA memiliki beberapa masalah. Sebaliknya, pengukuran pendapatan operasi dengan penjualan dapat mengatasi masalah terdapatnya biaya historis dan asset yang tidak digunakan pada perhitungan ROA.*****
Subscribe to:
Posts (Atom)