Analisa kondisi kompetisi pada level industri telah mendominasi upaya peneliti dalam memahami dan meramalkan kinerja perusahaan selama dua puluh tahun terakhir (Warren, 2002). Dominasi ini muncul dari pengaruh paradigma Structure-Conduct-Performance (SCP) dalam ekonomi industri. Paradigma SCP beragumen bahwa perilaku manajerial dalam strategi perusahaan (entry, differensiasi, pricing, dll.) lebih banyak ditentukan oleh kondisi industri yang membatasai kemampuan perusahaan untuk melakukan sesuatu yang berbeda dari perusahaan-perusahaan lain secara signifikan. Kondisi industri terkait dengan barriers yang menghalangi perusahaan lain yang berniat memasuki atau meninggalkan industri, atau beralih kepada supplier dan atau produk lain. Hambatan ini dapat berupa financial (seperti biaya membangun kapasitas, mendapatkan akses pasar, membangun produk yang kompertitif) atau yang bersifat strategik (memperkirakan tidak-balasan pesaing, keengganan pelanggan untuk beralih dari supplier yang telah dipercayainya).
Implikasi SCP bagi manajemen strategik cukup berarti. Jika kondisi industri mendominasi kinerja perusahaan, yang dapat dilakukan hanyalah memilih industri yang atraktif, dan nasib manajer lebih banyak diukur dari profitabilitas yang dicapai. Tidak ada peran lebih lanjut bagi manajemen. Pandangan ini didukung oleh fakta bahwa banyak perusahaan yang gagal untuk menampilkan kinerja yang lebih baik dari rata-rata industri, meraih profitabilitas yang signifikan dan menyingkirkan para pesaing.
Manajemen memiliki peran untuk berkiprah dalam menentukan kinerja strategik perusahaan. Pertama, studi bidang strategi mengakui bahwa kondisi industri masih menjadi salah satu faktor diperolehnya kinerja yang buruk. McGahan dan Porter (1997) menyatakan bahwa kondisi suatu industri hanya menjelaskan 15% dari varians dalam profitabilitas di antara sejumlah besar perusahaan. Suatu hal yang masih menjadi pertanyaan adalah bagaimana beberapa perusahaan berhasil memperoleh untung atau lebih unggul dari lainnya.
Namun demikian, fakta adanya perusahaan yang gagal untuk unggul dalam industri tidak serta-merta membuktikan bahwa kondisi industri mendominasi. Kondisi ini juga bukan faktor tunggal yang mengubah melalui perubahan manajemen. Alasan kedua, karena adanya perbedaan kinerja di antara perusahaan. artinya unit bisnis juga punya andil dalam mencapai kinerja tertentu.
Kegagalan faktor – faktor industri untuk menjelaskan kinerja perusahaan menimbulkan pertanyaan terhadap paradigma SCP sebagai basis dalam mengiden-tifikasi peluang strategik atau memberi saran bagi manajemen bagaimana yang terbaik untuk mengambil peluang tersebut. Kinerja merupakan fungsi langsung dari sumberdaya strategik yang dimiliki atau yang dapat dikelola oleh perusahaan.
Kinerja Perusahaan
Ada banyak faktor yang mempengaruhi kinerja perusahaan di antaranya faktor lingkungan bisnis eksternal seperti kebijakan pemerintah, kekuatan hukum dan politik, teknologi, sumber daya, pesaing, selera pelanggan dan pengelolaan perusahaan. Dalam perspektif manajemen strategi, lingkungan merupakan faktor kontekstual penting yang mempunyai dampak terhadap kinerja perusahaan (Hamel & Prahalad, 1994). Lingkungan bisnis eksternal merupakan lingkungan yang berada di luar organisasi, namun dipertim-bangkan dalam pengambilan keputusan bisnis. Fisher (1998) menemukan faktor-faktor kontekstual lainnya yang mempengaruhi kinerja yaitu teknologi, ketidak-pastian, strategi dan kompetensi. Globalisasi, kondisi perekonomian, perubahan teknologi juga dapat mempengaruhi kinerja perusahaan. Selain itu, lingkungan industri juga berperan dalam mempercepat perubahan lingkungan yang akhirnya juga berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Lingkungan industri yang dimaksud adalah bargaining power yang dimiliki oleh pembeli dan pemasok, masuknya pendatang baru (new entrants) yang potensial, adanya barang substitusi, dan intensitas persaingan perusahaan dalam industri (Porter, 1996: 22).
Pengukuran kinerja dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu pengukuran kinerja keuangan (financial performance measurement) dan non keuangan (non-financial performance measurement). Pada dasarnya aspek keuangan merupakan muara segala keputusan, tindakan dan aktivitas manajemen. Namun ukuran yang didasarkan hanya pada kinerje keuangan tidak dapat mengungkapkan kemampuan organisasi (perusahaan) untuk menciptakan nilai ekonomik masa yang akan datang (Kaplan, 1996). Walaupun beberapa peneliti memperlihatkan keprihatian penggunaan tingkat pengembalian akuntansi (Fisher dan McGowan, 1983), sebagian besar penelitian menganggap ukuran akuntansi dapat diterima. Chen dan Lee (1995) dan Gosh (2002) menyatakan bahwa return on asset (ROA) masih sering digunakan sebagai ukuran keuntungan perusahaan dan nilai investasi intelektual. Meskipun demikian, beberapa peneliti memberikan kritik bahwa ROA memiliki beberapa masalah. Sebaliknya, pengukuran pendapatan operasi dengan penjualan dapat mengatasi masalah terdapatnya biaya historis dan asset yang tidak digunakan pada perhitungan ROA.*****
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.