Initial namanya A, di kesatuan militer rankingnya masih perwira pertama, tetapi di bisnis yang ditekuni jabatannya orang nomor dua. pendidikannya tergolong tinggi, s2 manajemen, s1-nya hukum, waktu masuk tentara hanya modal ijasah sma. apa yang hebat dari A sehingga perlu ditulis di sini?
disiplin, semangat, kepemimpinan, jiwa sosial yang tinggi, dan ketrampilan berbisnis. itulah sederet atribut yang dapat sandangkan kepada A.
sebagai anggota kesatuan militer, disiplin sudah merupakan darah dan nafas yang selalu dibawa ke mana - mana. salah satu contoh disiplin yang susah bagi kebanyakan orang di kota jakarta adalah ontime, alias tepat waktu. entah bagaimana caranya, setiap saya janjian dengan A dia selalu datang tepat waktu, kalau kami sepakat ketemu pukul 7pm, lima menit sebelumnya dia sudah tiba di tempat. walau janjiannya mendadak, dan saat itu sedang entah di mana, tetapi kalau sudah okai ketemu jam tertentu, maka ia datang pada jam tersebut.
semangat? A merintis karier di militer dari sersan dua. dengan bekal ijasah sma dan semangat mengabdi kepada negeri ini, plus disiplin tadi, dalam tempo relatif cepat dia mendahului rekan- rekan seangkatannya. semangat ingin maju diwujudkannya dengan menuntut ilmu di perguruan tinggi di sela - sela tugas sebagai aparat pertahanan keamanan. dengan bekal semangat pula ia menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membiayai kuliah diri dan istrinya sehingga istrinya juga belum lama ini lulus s1.
ketika pertama jumpa, saya perhatikan gaya bicaranya, tegas dan determinasinya jelas, mungkin karena dia tentara. tidak hanya itu, beberapa kali saya tanyai anak buahnya, bagaimana pendapat mereka terhadap A. hampir semua menjawab bahwa A menjadikan anak buahnya sebagai partner, murid, dan sekaligus anak. sebagai partner atau mitra, kepada anak buahnya A mengajak mereka untuk menyadari bahwa bisnis yang mereka jalani adalah milik bersama, jadi kalau ada di antara mereka yang tidak disiplin dan berkinerja buruk, ini sama artinya mereka mulai meruntuhkan bangunan bisnis yang susah payah dirintis bersama. karena anak buahnya datang dari berbagai latar belakang pendidikan, sosial dan ekonomi, A senantiasa tekun mengajari dan melatih anak buahnya agar berkarya dengan optimal. dia sendiri melatih ketrampilan fisik, administrasi dan komunikasi kepada anak buahnya.
jiwa sosial yang tinggi dicerminkannya kepada tetangga kanan - kiri rumahnya, anak buah dan pelanggan atau mitra bisnis. di lingkungan tempat tinggalnya (A tinggal di kampung, tidak di komplek tentara) A cukup popular. banyak yang kenal. anak buah diperlakukan sebagai saudara khususnya ketika mereka menghadapi masalah keluarga atau hal-hal non-teknis terkait pekerjaan. kepada klien, A sangat akomodatif dan fleksible dalam menagih pembayaran atas jasa yang sudah diberikan. banyak klien yang mengalami masalah keuangan, sehingga pembayarannya tertunda, A dengan senyum masih bisa sabar menanti pembayaran, atau dapat menerima pembayaran secara berangsur. siapa pelanggan jasa bisnisnya A? banyak sekali, ada ratusan perusahaan besar dan kecil, terentang dari sumatera, jawa, kalimantan sulawesi hingga papua. berapa banyak anak buahnya? hampir dua ribu orang.
semalam ketika kami bertemu, A menunjukkan ketrampilan barunya dalam berbisnis, banyak ide dan gagasan yang dilontarkan, sebanyak cerita sukses dalam mendapatkan proyek - proyek dari banyak pelanggan. namun dia juga menyadari akan keberadaan dirinya, di satu sisi sebagai abdi negara yang bertugas menjaga pertahanan dan keamanan, namun di lain pihak diberi tanggung jawab sedemikian besar memimpin sebuah perusahaan yang punya ribuan pegawai. ketika A bertanya kepada saya, bagaimana sebaiknya ke depan, langsung saya sahut dengan kalimat "suatu hari, semakin cepat semakin baik, harus memutuskan apa mau terus sebagai tentara atau mau menanjak sebagai bisnisman."
oh ya, bisnis yang dijalankan A bersama kawan kawannya adalah bisnis pribadi, dilakukan di luar jam kerja, tidak memanfaatkan fasilitas negara.
Bermanfaat Bagi Manusia Lain Tidak Harus Memberi Dalam Bentuk Barang, Tetapi Dapat Memberi Dalam Wujud Ilmu Pengetahuan Yang Berguna Positif. Bermanfaat Itu Memberi Apa Yang Dibutuhkan, Bukan Apa Yang Diinginkan. Semoga Kumpulan Tulisan Ini Dapat Memenuhi Mereka Yang Membutuhkan. Illahi Anta Maqsudi Wa Ridhoka Matlubi. Ya Allah, Semua Yang Saya Kerjakan Tiada Lain Hanya Untuk Mendapat RidhoMu.
Saturday, January 31, 2009
Sunday, January 18, 2009
R&D Competition Dilemma
There always a lag time after R&D dept starts inovating and its products come to market. this everybody knows. what common people doesn't know? Sutton (2001:319) argues a firm engage in R&D competition faces dilemma as to whether it should publicize the fact that it has committed funds to a project or maintain secrecy. it gains from publishing its investment in that this may dissuade rivals from investing (coordination). It gains from secrecy when knowledge of its investment would encourage rivals to invest; here, secrecy delays rivals' responses.
Thus, which best way the firm should take? in simple thinking, the balance of advantage between openness and secrecy depends on how a firm's investment alters the profitability of rivals' investment? don't you believe? Why not?
Thus, which best way the firm should take? in simple thinking, the balance of advantage between openness and secrecy depends on how a firm's investment alters the profitability of rivals' investment? don't you believe? Why not?
Friday, January 16, 2009
what lesson learnt someone got today?
passion and patient, both are keys to any successes. don't you believe? someone almost prove it right. imagine, walking in the middle of dark tunnel, bushes impede your steps, snake may blowing its poison to you, some time literally mouths blamming and cursing to you, but you still consistent, walk through. until little light at the other end shiny. however, this little light some time kidding you, wild winds covered by vested interest, make litle light on only short time, and the rest dimmed even off. passion and pattient keep pushing steps ahead, until the gods kicked away the demons, and therefore little light back alite. for warrior, success is never an end, instead milestones one by one passed over and next destination decided. but what the warrior brings any where she goes? none but passion and patient. ahaa.....
Entry Under Asymetric
Naskah Asli Ditulis Oleh: Jaison R. Abel & Michel E. Clement
Diterjemahkan bebas Oleh; Fadzia Annie
Diedit Oleh: Mas WIgrantoro Roes Setiyadi
Problem
Dalam beberapa tahun ini, industri telepon telah berkembang dari struktur monopoli alami yang diregulasi secara tradisional menjadi persaingan yang memiliki perusahaan dominan. Namun, masih terdapat beberapa regulasi dari era monopoli dalam lingkungan baru tersebut, dan ditujukan kepada perusahaan dominan. Misalnya, banyak pengawas fasilitas umum menentukan persyaratan kualitas pelayanan kepada perusahaan yang beroperasi. Dalam beberapa instansi, regulasi tersebut bersifat asimetris seperti penerapan regulasi yang lebih ditekankan pada satu atau sekelompok perusahaan saja, terutama incumbent, dibandingkan pada perusahaan lainnya.
Regulasi yang asimetris terjadi pada saat sebuah perusahaan, atau sekelompok perusahaan dibedakan oleh pemerintah. Penelitian ini menganggap regulasi mengenai kualitas pelayanan menjadi asimetris jika hanya diterapkan hanya kepada incumbent dan tidak pada perusahaan pesaing.
Teori
Teori ekonomi menyatakan bahwa regulasi yang asimetris seperti ini akan mempengaruhi terjadinya persaingan. standard kualitas pelayanan asimentris mempengaruhi terjadinya persaingan melalui dua cara.
Pertama, standar kualitas pelayanan asimetris akan menurunkan biaya yang dikeluarkan pasaing. Biaya akan berkurang karena pesaing dapat memberlikan kualitas pelayanan yang lebih rendah. Selain itu, pesaing juga tidak berada dalam monitoring, pelaporan dan sanksi yang sama dengan incumbent. Monitoring, pelaporan dan sanksi yang dikenakan akan menaikkan biaya incumbent tanpa perlu meningkatkan kualitas pelayanan.
Kedua, standard kualitas pelayanan asimetri akan menciptakan pasar niches yang tidak dapat dilayani oleh incumbent karena terdapat kombinasi harga dan kualitas yang tidak dapat dipenuhi incumbent. Dengan adanya peningkatan biaya incumbent dan segmen pasar yang tidak dapat dilayani incumbent maka asimetrik standard kualitas pelayanan dapat meningkatkan persaingan.
Analisis
Persamaan yang digunakan pada penelitian ini adalah:
N = f (R, π, D, C, P)
Persamaan tersebut menyatakan bahwa N, jumlah pesaing dalam pasar telepon lokal dipengaruhi oleh variabel-variabel berikut: R, lingkungan regulasi; π, Peluang keuntungan; D, kondisi permintaan; C, faktor yang menentukan biaya; dan P, lingkungan politik dalam pasar.
Penelitian ini memperkirakan terdapat hubungan yang searah antara lingkungan regulasi dengan jumlah pesaing yang diteliti pada pasar telepon lokal karena standar kualitas pelayanan yang asimetris secara langsung meningkatkan biaya yang dikeluarkan perusahaan incumbent dan menciptakan segmen pasar yang hanya tersedia bagi pesaing sebagaimana yang telah disebutkan.
Variabel π (profit) mengukur secara langsung profitabilitas pesaing baru yang paling berpotensi dan diperkirakan memiliki hubungan positif dengan jumlah pesaing yang masuk dalam industri. Kondisi permintaan diukur dengan jumlah populasi dan tingkat pertumbuhan populasi pada daerah kota-kota besar yang menjadi sampel. Populasi yang lebih tinggi mengindikasikan potensi pelanggan yang lebih besar baik bagi bisnis layanan telepon maupun daerah yang dilayani. Untuk itu, pada penelitian ini juga terdapat variabel yang mengukur pendapatan perkapita pada kota-kota besar yang menjadi sampel penelitian. Karena teori ekonomi menyatakan bahwa jumlah pesaing yang masuk ke dalam pasar didorong oleh permintaan, maka ketiga variabel ini diperkirakan memiliki hubungan positif dengan jumlah pesaing yang masuk ke dalam pasar.
Lingkungan politik mempengaruhi jumlah pesaing yang masuk ke dalam pasa jarena memiliki hak hukum atas pasar telepon lokal. Dua ariabel yang memproksikan pengaruh lingkungan politik yaitu variabel yang menunjukkan apakah pejabat pemerintah tersebut dipilih atau ditunjuk dan kemanakah arah tujuan politik yang diterapkan (demokrat atau republik).
Hasil penelitian menunjukkan nilai adjusted R-Squared sebesar 0,72. Artinya seluruh variabel yang disebutkan memiliki pengaruh terhadap jumlah masuknya pesaing ke dalam pasar. Hasil penelitian juga menunjukkan antara hubungan variabel-variabel di atas dengan jumlah pesaing yang masuk ke dalam pasar sesuai dengan yang telah diprediksikan.
Selanjutnya, hasil penelitian menemukan bahwa jumlah pesaing yang masuk dalam pasar telepon lokal memiliki hubungan dengan pejabat pemerintah yang cenderung kepada partai Republik. Selain itu, pejabat pemerintah yang dipilih (bukan ditunjuk) memiliki hubungan yang bersifat positif terhadap jumlah pesaing yang masuk ke dalam pasar. Artinya, pejabat pemerintah yang dipilih memiliki perilaku yang berbeda dengan mereka yang ditunjuk.
Kesimpulan
Penelitian ini mendukung teori tersebut dengan mendemonstrasikan bahwa jumlah perusahaan yang masuk dalam pasar telepon lokal secara signifikan lebih tinggi pada saat terdapat standar kualitas pelayanan yang asimetris.
Penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan yang asimetris terhadap incumbent mengubah struktur evolusi industri telepon lokal dan mungkin menyebabkan masuknya pesaing yang tidak efisien.*****
Diterjemahkan bebas Oleh; Fadzia Annie
Diedit Oleh: Mas WIgrantoro Roes Setiyadi
Problem
Dalam beberapa tahun ini, industri telepon telah berkembang dari struktur monopoli alami yang diregulasi secara tradisional menjadi persaingan yang memiliki perusahaan dominan. Namun, masih terdapat beberapa regulasi dari era monopoli dalam lingkungan baru tersebut, dan ditujukan kepada perusahaan dominan. Misalnya, banyak pengawas fasilitas umum menentukan persyaratan kualitas pelayanan kepada perusahaan yang beroperasi. Dalam beberapa instansi, regulasi tersebut bersifat asimetris seperti penerapan regulasi yang lebih ditekankan pada satu atau sekelompok perusahaan saja, terutama incumbent, dibandingkan pada perusahaan lainnya.
Regulasi yang asimetris terjadi pada saat sebuah perusahaan, atau sekelompok perusahaan dibedakan oleh pemerintah. Penelitian ini menganggap regulasi mengenai kualitas pelayanan menjadi asimetris jika hanya diterapkan hanya kepada incumbent dan tidak pada perusahaan pesaing.
Teori
Teori ekonomi menyatakan bahwa regulasi yang asimetris seperti ini akan mempengaruhi terjadinya persaingan. standard kualitas pelayanan asimentris mempengaruhi terjadinya persaingan melalui dua cara.
Pertama, standar kualitas pelayanan asimetris akan menurunkan biaya yang dikeluarkan pasaing. Biaya akan berkurang karena pesaing dapat memberlikan kualitas pelayanan yang lebih rendah. Selain itu, pesaing juga tidak berada dalam monitoring, pelaporan dan sanksi yang sama dengan incumbent. Monitoring, pelaporan dan sanksi yang dikenakan akan menaikkan biaya incumbent tanpa perlu meningkatkan kualitas pelayanan.
Kedua, standard kualitas pelayanan asimetri akan menciptakan pasar niches yang tidak dapat dilayani oleh incumbent karena terdapat kombinasi harga dan kualitas yang tidak dapat dipenuhi incumbent. Dengan adanya peningkatan biaya incumbent dan segmen pasar yang tidak dapat dilayani incumbent maka asimetrik standard kualitas pelayanan dapat meningkatkan persaingan.
Analisis
Persamaan yang digunakan pada penelitian ini adalah:
N = f (R, π, D, C, P)
Persamaan tersebut menyatakan bahwa N, jumlah pesaing dalam pasar telepon lokal dipengaruhi oleh variabel-variabel berikut: R, lingkungan regulasi; π, Peluang keuntungan; D, kondisi permintaan; C, faktor yang menentukan biaya; dan P, lingkungan politik dalam pasar.
Penelitian ini memperkirakan terdapat hubungan yang searah antara lingkungan regulasi dengan jumlah pesaing yang diteliti pada pasar telepon lokal karena standar kualitas pelayanan yang asimetris secara langsung meningkatkan biaya yang dikeluarkan perusahaan incumbent dan menciptakan segmen pasar yang hanya tersedia bagi pesaing sebagaimana yang telah disebutkan.
Variabel π (profit) mengukur secara langsung profitabilitas pesaing baru yang paling berpotensi dan diperkirakan memiliki hubungan positif dengan jumlah pesaing yang masuk dalam industri. Kondisi permintaan diukur dengan jumlah populasi dan tingkat pertumbuhan populasi pada daerah kota-kota besar yang menjadi sampel. Populasi yang lebih tinggi mengindikasikan potensi pelanggan yang lebih besar baik bagi bisnis layanan telepon maupun daerah yang dilayani. Untuk itu, pada penelitian ini juga terdapat variabel yang mengukur pendapatan perkapita pada kota-kota besar yang menjadi sampel penelitian. Karena teori ekonomi menyatakan bahwa jumlah pesaing yang masuk ke dalam pasar didorong oleh permintaan, maka ketiga variabel ini diperkirakan memiliki hubungan positif dengan jumlah pesaing yang masuk ke dalam pasar.
Lingkungan politik mempengaruhi jumlah pesaing yang masuk ke dalam pasa jarena memiliki hak hukum atas pasar telepon lokal. Dua ariabel yang memproksikan pengaruh lingkungan politik yaitu variabel yang menunjukkan apakah pejabat pemerintah tersebut dipilih atau ditunjuk dan kemanakah arah tujuan politik yang diterapkan (demokrat atau republik).
Hasil penelitian menunjukkan nilai adjusted R-Squared sebesar 0,72. Artinya seluruh variabel yang disebutkan memiliki pengaruh terhadap jumlah masuknya pesaing ke dalam pasar. Hasil penelitian juga menunjukkan antara hubungan variabel-variabel di atas dengan jumlah pesaing yang masuk ke dalam pasar sesuai dengan yang telah diprediksikan.
Selanjutnya, hasil penelitian menemukan bahwa jumlah pesaing yang masuk dalam pasar telepon lokal memiliki hubungan dengan pejabat pemerintah yang cenderung kepada partai Republik. Selain itu, pejabat pemerintah yang dipilih (bukan ditunjuk) memiliki hubungan yang bersifat positif terhadap jumlah pesaing yang masuk ke dalam pasar. Artinya, pejabat pemerintah yang dipilih memiliki perilaku yang berbeda dengan mereka yang ditunjuk.
Kesimpulan
Penelitian ini mendukung teori tersebut dengan mendemonstrasikan bahwa jumlah perusahaan yang masuk dalam pasar telepon lokal secara signifikan lebih tinggi pada saat terdapat standar kualitas pelayanan yang asimetris.
Penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan yang asimetris terhadap incumbent mengubah struktur evolusi industri telepon lokal dan mungkin menyebabkan masuknya pesaing yang tidak efisien.*****
Interview Pendapat Saya Terhadap UU-ITE
1. Apa pendapat mas wig dengan adanya UU ITE yang resmi berlaku tahun lalu?
setidaknya Indonesia sejak tahun lalu sudah mulai sejajar dengan negara - negara di dunia yang sudah memiliki UU sejenis. dampaknya, di sektor ICT Indonesia dianggap lebih bermartabat. itu image yang bisa terbangun di kalangan internasional, di dalam negeri setidaknya merupakan sinyal bagi pengguna ICT, khususnya mereka yang suka merugikan pihak lain dengan menjadi hacker, penyebar spam, virus, tukang tipu liwat internet, handphone dan lain sebagainya, bahwa aksi mereka sekarang ini sebaiknya dihentikan, sudah ada UU yang melindungi penggunaan ICT.
2. Dari UU ITE ini, mas wig sering menyinggung perlunya sinkronisasi dengan undang-undang yang telah ada sebelumnya seperti KUHP dan UU Pers, apa usul konkrit demi perbaikan UU ITE ini.
ya, sinkronisasi itu perlu dan menjadi syarat dari apakah sebuah UU akan efektif ketika diundangkan. sesuai prosedur baku yang berlaku di negeri kita, sinkronisasi mestinya sudah dikerjakan oleh pengusul (Pemerintah c.q. Depkominfo bekerja sama dengan Depkumham). perbaikan sebuah undang - undang (yang telah berlaku) tidak mudah, sama panjang dan ruwetnya dengan membuat UU baru. jika DIRASA, dari segi substansi masih ada kekurangan atau ada hal - hal yang mestinya diatur namun tidak, atau yang tidak perlu diatur namun diatur, maka memperhatikan panjang dan ruwetnya proses perubahan, salah satu langkah yang dapat dilakukan agar UU tersebut menajdi "lebih bagus" adalah dengan mengakomodasikan perbaikan di Peraturan Pemerintah (PP) atau peraturan pelaksanaan di bawahnya. sebagaimana kita tahu, Pemerintah sekarang sedang menyelesaikan proses pembuatan PP yang diamanatkan dalam UU-ITE. maka sebenarnya jika masih ada yang kurang sempurna masih ada peluang untuk memperbaikinya.
3. Apakah masih ada celah yang dapat diterobos orang jahat sehingga terhindar dari jeratan UU ITE ini.
betatapun hebatnya sebuah Undang-Undang, celah - celah hukum selalu ada, persoalannya, siapa yang terlebih dahulu menemukan atau menyadari adanya celah tersebut. Bila yang menemukan celah para penegak hukum, mestinya mereka dapat mengantisipasinya. namun, ini yang sering terjadi, para penjahat, pelaku kriminal-lah yang sering menemukan celah - celah hukum. mengapa demikian? ya karena tentu saja pelaku kejahatan yang pandai tidak mau tertangkap dan dihukum, sehingga mereka secara sengaja mempelajari sebuah uu hanya untuk mencari celah. ada motivasi tertentu di balik upaya mereka mempelajari UU.
nah, disadari atau tidak oleh Pemerintah dan politisi di DPR selaku pembuat dan para penegak hukum yang melaksanakan, UU-ITE di sana - sini banyak mengandung kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh dua pihak sekaligus: kelompok pelaku kejahatan dan para penegak hukum. sebagai contoh, masih adanya pasal karet yang memungkinkan "open ended interpretation" sehingga yang mungkin tidak perlu dijadikan kasus hukum, dengan pasal - pasal karet tersebut dapat berubah menjadi kasus hukum. sementara itu, semakin cepatnya perkembangan Teknologi Informasi, menjadikan beberapa pasal teknis terasa sudah tidak mampu lagi menjaring jenis-jenis kejahatan atau mengakomodasi transaksi elektronik jenis baru.
4.Di negara yang telah menerapkan UU semacam ini apakah terjadi penurunan kejahatan siber secara signifikan.
kalau saya tidak salah kutip, secara umum di negara - negara yang sudah memiliki UU semacam ini angka kejahatan cyber dari tahun ke tahun nominalnya meningkat. jadi memang harus diakui bahwa keberadaan UU semacam ini (termasuk ITE) tidak dapat menjadi jaminan bahwa angka kejahatan TI akan menurun. sebaliknya justru kecenderungannya meningkat, seiring faktor sosial yang berkembang di masayarakat, seperti misalnya, semakin banyak lulusan perguruan tinggi TI yang susah memperoleh pekerjaan, sehingga energi dan intelektualitas mereka berpeluang untuk disalah-gunakan. atau desakan ekonomi, dan lain sebagainya. jika demikian lalu apa gunanya UU-ITE ini? seperti saya katakan di atas, salah satu fungsi UU adalah sebagai sinyal bagi masyarakat, bahwa "conduct" atau perilaku mereka tidak dapat seenaknya saja, mesti ikuti aturan, dan UU menjadi batas formal antara yang boleh dan tidak boleh dilakukan. dengan sinyal ini, masyarakat diharapkan akan mematuhinya. persoalannya, tidak semua orang atau warga akan mematuhinya. oleh karena itu diperlukan perangkat hukum lainnya guna menjaga agar UU ini dapat ditegakkan. perangkat hukum lain itu antara lain, polisi, jaksa, hakim dan pengacara yang memahami substansi UU ITE ini.
5.Bagaimana mas wig melihat kesiapan aparat hukum seperti kepolisian dan kejaksaksaan dalam menjalankan UU ITE ini.
kondisi aparat penegak hukum (polisi, hakim dan jaksa) yang memahami ICT dan UU-ITE ini menurut amatan saya, semakin tahun semakin lebih baik. semakin banyak perwira polisi yang mendapat pelatihan cyber-forensic dan cyber investigation. di organisasi polisi, sampai tingkat polda sekarang sudah dibentuk tim khusus yang menangani kejahatana cyber. kondisi jaksa meski belum semaju polisi, saya amati, sudah ada beberapa jaksa yang ditugaskan untuk belajar hukum telematika (ICT). yang - menurut amatan saya - masih jauh tertinggal adalah kelompok hakim. untuk kelompok pengacara, mereka belajar kalau ada kasus, jadi sifatnya on demand saja. pengacara yang tidak pernah menangani kasus IT, besar kemungkinan mereka tidak tahu apa itu UU-ITE.*****
setidaknya Indonesia sejak tahun lalu sudah mulai sejajar dengan negara - negara di dunia yang sudah memiliki UU sejenis. dampaknya, di sektor ICT Indonesia dianggap lebih bermartabat. itu image yang bisa terbangun di kalangan internasional, di dalam negeri setidaknya merupakan sinyal bagi pengguna ICT, khususnya mereka yang suka merugikan pihak lain dengan menjadi hacker, penyebar spam, virus, tukang tipu liwat internet, handphone dan lain sebagainya, bahwa aksi mereka sekarang ini sebaiknya dihentikan, sudah ada UU yang melindungi penggunaan ICT.
2. Dari UU ITE ini, mas wig sering menyinggung perlunya sinkronisasi dengan undang-undang yang telah ada sebelumnya seperti KUHP dan UU Pers, apa usul konkrit demi perbaikan UU ITE ini.
ya, sinkronisasi itu perlu dan menjadi syarat dari apakah sebuah UU akan efektif ketika diundangkan. sesuai prosedur baku yang berlaku di negeri kita, sinkronisasi mestinya sudah dikerjakan oleh pengusul (Pemerintah c.q. Depkominfo bekerja sama dengan Depkumham). perbaikan sebuah undang - undang (yang telah berlaku) tidak mudah, sama panjang dan ruwetnya dengan membuat UU baru. jika DIRASA, dari segi substansi masih ada kekurangan atau ada hal - hal yang mestinya diatur namun tidak, atau yang tidak perlu diatur namun diatur, maka memperhatikan panjang dan ruwetnya proses perubahan, salah satu langkah yang dapat dilakukan agar UU tersebut menajdi "lebih bagus" adalah dengan mengakomodasikan perbaikan di Peraturan Pemerintah (PP) atau peraturan pelaksanaan di bawahnya. sebagaimana kita tahu, Pemerintah sekarang sedang menyelesaikan proses pembuatan PP yang diamanatkan dalam UU-ITE. maka sebenarnya jika masih ada yang kurang sempurna masih ada peluang untuk memperbaikinya.
3. Apakah masih ada celah yang dapat diterobos orang jahat sehingga terhindar dari jeratan UU ITE ini.
betatapun hebatnya sebuah Undang-Undang, celah - celah hukum selalu ada, persoalannya, siapa yang terlebih dahulu menemukan atau menyadari adanya celah tersebut. Bila yang menemukan celah para penegak hukum, mestinya mereka dapat mengantisipasinya. namun, ini yang sering terjadi, para penjahat, pelaku kriminal-lah yang sering menemukan celah - celah hukum. mengapa demikian? ya karena tentu saja pelaku kejahatan yang pandai tidak mau tertangkap dan dihukum, sehingga mereka secara sengaja mempelajari sebuah uu hanya untuk mencari celah. ada motivasi tertentu di balik upaya mereka mempelajari UU.
nah, disadari atau tidak oleh Pemerintah dan politisi di DPR selaku pembuat dan para penegak hukum yang melaksanakan, UU-ITE di sana - sini banyak mengandung kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh dua pihak sekaligus: kelompok pelaku kejahatan dan para penegak hukum. sebagai contoh, masih adanya pasal karet yang memungkinkan "open ended interpretation" sehingga yang mungkin tidak perlu dijadikan kasus hukum, dengan pasal - pasal karet tersebut dapat berubah menjadi kasus hukum. sementara itu, semakin cepatnya perkembangan Teknologi Informasi, menjadikan beberapa pasal teknis terasa sudah tidak mampu lagi menjaring jenis-jenis kejahatan atau mengakomodasi transaksi elektronik jenis baru.
4.Di negara yang telah menerapkan UU semacam ini apakah terjadi penurunan kejahatan siber secara signifikan.
kalau saya tidak salah kutip, secara umum di negara - negara yang sudah memiliki UU semacam ini angka kejahatan cyber dari tahun ke tahun nominalnya meningkat. jadi memang harus diakui bahwa keberadaan UU semacam ini (termasuk ITE) tidak dapat menjadi jaminan bahwa angka kejahatan TI akan menurun. sebaliknya justru kecenderungannya meningkat, seiring faktor sosial yang berkembang di masayarakat, seperti misalnya, semakin banyak lulusan perguruan tinggi TI yang susah memperoleh pekerjaan, sehingga energi dan intelektualitas mereka berpeluang untuk disalah-gunakan. atau desakan ekonomi, dan lain sebagainya. jika demikian lalu apa gunanya UU-ITE ini? seperti saya katakan di atas, salah satu fungsi UU adalah sebagai sinyal bagi masyarakat, bahwa "conduct" atau perilaku mereka tidak dapat seenaknya saja, mesti ikuti aturan, dan UU menjadi batas formal antara yang boleh dan tidak boleh dilakukan. dengan sinyal ini, masyarakat diharapkan akan mematuhinya. persoalannya, tidak semua orang atau warga akan mematuhinya. oleh karena itu diperlukan perangkat hukum lainnya guna menjaga agar UU ini dapat ditegakkan. perangkat hukum lain itu antara lain, polisi, jaksa, hakim dan pengacara yang memahami substansi UU ITE ini.
5.Bagaimana mas wig melihat kesiapan aparat hukum seperti kepolisian dan kejaksaksaan dalam menjalankan UU ITE ini.
kondisi aparat penegak hukum (polisi, hakim dan jaksa) yang memahami ICT dan UU-ITE ini menurut amatan saya, semakin tahun semakin lebih baik. semakin banyak perwira polisi yang mendapat pelatihan cyber-forensic dan cyber investigation. di organisasi polisi, sampai tingkat polda sekarang sudah dibentuk tim khusus yang menangani kejahatana cyber. kondisi jaksa meski belum semaju polisi, saya amati, sudah ada beberapa jaksa yang ditugaskan untuk belajar hukum telematika (ICT). yang - menurut amatan saya - masih jauh tertinggal adalah kelompok hakim. untuk kelompok pengacara, mereka belajar kalau ada kasus, jadi sifatnya on demand saja. pengacara yang tidak pernah menangani kasus IT, besar kemungkinan mereka tidak tahu apa itu UU-ITE.*****
how can a venture company go global?
this is exactly a question addressed to me during a business meeting. a brand new venture company was established by so called "holding company". the holding, already 6o years exist running its business domestic. the management of new company confess that they neither have expertise nor experience manage global business.
in simple way, for a company go global it requires at least two things (beside others that also important); firstly, understanding about international market arena, precisely, exact condition in the country where the company wants to put investment. and secondly, the company has sufficient resources required for competing in global arena. this idea, similar with a group of army going into a battle. if, the commander doesn't know everything about the battlefield (the arena) and the group of army (the company) doesn't have weapons, staples, etc, (sufficent resources) how can the group winning the battle?
ambitions, and vision are not enough. so, my question back to the questioner, du yu hev these two basic conditions? wanna know what is their answer? "that is why we invite you to discuss with us". ahaaaa... ****
in simple way, for a company go global it requires at least two things (beside others that also important); firstly, understanding about international market arena, precisely, exact condition in the country where the company wants to put investment. and secondly, the company has sufficient resources required for competing in global arena. this idea, similar with a group of army going into a battle. if, the commander doesn't know everything about the battlefield (the arena) and the group of army (the company) doesn't have weapons, staples, etc, (sufficent resources) how can the group winning the battle?
ambitions, and vision are not enough. so, my question back to the questioner, du yu hev these two basic conditions? wanna know what is their answer? "that is why we invite you to discuss with us". ahaaaa... ****
Sunday, January 04, 2009
Waktu Terus Bergerak
kertas bertumpuk di meja, almari dan kolong langit-langit; menanti dinikmati, halaman per halaman, digerayangi mata
dicerna, menajamkan lidah mengubah jelaga di gigi tumpul.
di lantai berserak plastik, tas plastik dan kardus plastik, hatta selalu bertambah hari demi hari; tiada menggunung kaya harta, ilmupun diragukan. benarkah isi kertas sudah beralih ke benak botak. ketika si bijak bertanya, entah kemana lidah bersuara.
tugas menanti, di kanan dan kiri, menggayut sepeti sulur beringin enggan tumbang, semakin hari meruyak tak tertahankan. menjulur ke ruang - ruang pribadi, mengurangi kenikmatan duniawi. tak kuasa menolak, walau hati menjerit, arah mana yang akan ditempuh.
masa berlalu, tahun genap beranjak, tahun gasal mulai ditapaki; berita koran membiru di hati, gambar tivi membara, menyala di ujung dunia sana. akankah manusia terus saling bunuh demi sejengkal tanah.
di kota ini dan kota - kota lain di negeri si pulan, panji-panji mulai berkibar; wajah ramah tersenyum, terpaku di pohon pinggir jalan menawarkan uang. entah apa yang akan dilakukannya bila terpilih.
masihkah ia jahat kepada pembatu - pembantunya, atau akankah hilang tabiatnya mengurangi timbangan kala berdagang,
benarkah dia mewakili rakyat atau sekedar memperjuangkan kepentingannya sendiri saja.
nun di dunia maya, si pandir egois mengaku cendekia nir-bijaksana. dituduhnya si terhina, tersiksa, tercerabut akar kehidupannya sebagai penyebab onar. diputar-balikkanlah fakta nyata nan gamblang yang si pandir tak pernah melihatnya.
kembali ke dunia kecil, halaman kalender sudah kusam walau sehari lalu baru terbilang; inilah tanda alam, tak peduli baru sesaat lalu, yang telah lewat tak mungkin kembali. kertas bertulis tak kan kembali putih walau direndam air kembang setaman.
ketika dunia kecil berdialog dengan dunia besar, kesadaran atau kebenarankah yang ada atau hanya ilusi seiring waktu berlalu, laksana kertas hanya bergerak diam ketika sinar laser menyemprot tinta. aku atau Engkau yang bicara, kasih atau nafsu yang bergolak, jawabnya setia menunggu di ujung jalan kehidupan.
Rempoa, Minggu 4 Januari 2009
dicerna, menajamkan lidah mengubah jelaga di gigi tumpul.
di lantai berserak plastik, tas plastik dan kardus plastik, hatta selalu bertambah hari demi hari; tiada menggunung kaya harta, ilmupun diragukan. benarkah isi kertas sudah beralih ke benak botak. ketika si bijak bertanya, entah kemana lidah bersuara.
tugas menanti, di kanan dan kiri, menggayut sepeti sulur beringin enggan tumbang, semakin hari meruyak tak tertahankan. menjulur ke ruang - ruang pribadi, mengurangi kenikmatan duniawi. tak kuasa menolak, walau hati menjerit, arah mana yang akan ditempuh.
masa berlalu, tahun genap beranjak, tahun gasal mulai ditapaki; berita koran membiru di hati, gambar tivi membara, menyala di ujung dunia sana. akankah manusia terus saling bunuh demi sejengkal tanah.
di kota ini dan kota - kota lain di negeri si pulan, panji-panji mulai berkibar; wajah ramah tersenyum, terpaku di pohon pinggir jalan menawarkan uang. entah apa yang akan dilakukannya bila terpilih.
masihkah ia jahat kepada pembatu - pembantunya, atau akankah hilang tabiatnya mengurangi timbangan kala berdagang,
benarkah dia mewakili rakyat atau sekedar memperjuangkan kepentingannya sendiri saja.
nun di dunia maya, si pandir egois mengaku cendekia nir-bijaksana. dituduhnya si terhina, tersiksa, tercerabut akar kehidupannya sebagai penyebab onar. diputar-balikkanlah fakta nyata nan gamblang yang si pandir tak pernah melihatnya.
kembali ke dunia kecil, halaman kalender sudah kusam walau sehari lalu baru terbilang; inilah tanda alam, tak peduli baru sesaat lalu, yang telah lewat tak mungkin kembali. kertas bertulis tak kan kembali putih walau direndam air kembang setaman.
ketika dunia kecil berdialog dengan dunia besar, kesadaran atau kebenarankah yang ada atau hanya ilusi seiring waktu berlalu, laksana kertas hanya bergerak diam ketika sinar laser menyemprot tinta. aku atau Engkau yang bicara, kasih atau nafsu yang bergolak, jawabnya setia menunggu di ujung jalan kehidupan.
Rempoa, Minggu 4 Januari 2009
Thursday, January 01, 2009
Wawancara Akhir Tahun 2008 dengan Majalah Trust
T (Trust Tanya)
J: (Jawaban Maswig)
T: Bagaimana anda melihat industri telekomunikasi selama tahun 2008 ini? Apakah menunjukkan arah yang positif? Apa acuannya?
J: Kinerja industri telekomunikasi selama tahun 2008 menurut hemat saya tidak terlalu istimewa dibandingkan dengan tahun – tahun sebelumnya. Meskipun tidak sampai negatif, namun pertumbuhan tidak signifikan, perhitungan sementara, rata – rata pertumbuhan (meliputi aspek pelanggan, EBITDA, jaringan) berkisar antara 9 s.d 15%.
T: Bagaimana anda melihat peluang industri ini ditahun 2009 mendatang? Sebab saat ini tengah terjadi krisis global. Apakah jumlah pelanggan masih bisa digenjot seperti tahun 2008?
J: Jika dilihat dari perspektif makro, dapat dikatakan masih cukup besar, karena wilayah yang belum terlayani fasilitas telekomunikasi masih sekitar 45% dari total wilayah Indonesia, khususnya di luar pulau Jawa. Selain itu, dari perspektif demografi, masih ada tidak kurang dari 80 juta rumah tangga (house holds) yang tempat tinggalnya belum tersedia layanan telepon tetap (fixed line). Dan, dari 180-an juta penduduk Indonesia yang sudah pantas memiliki layanan telepon selular, baru sekitar 40-an juta yang sudah benar-benar menikmati layanan telepon selular.
Namun demikian jika dianalisa dari sudut pandang mikro, peluang masing-masing operator telekomunikasi dalam meraih peluang pasar ternyata tidak linier. Operator besar memiliki peluang untuk meraih lebih banyak dibandingkan operator kecil. Bahkan, di tahun 2009, saya memprediksi, beberapa operator kecil sudah sangat sulit untuk tumbuh bila tidak sejak awal tahun mengubah strategi bisnisnya.
Terkait dengan krisis global, tentu ada dan akan banyak pengaruhnya terhadap industri telekomunikasi Indonesia secara keseluruhan, khususnya dalam pendanaan untuk meningkatkan jangakuan dan kapasitas jaringan. Sebagaimana kita tahu, krisis keuangan global menyebabkan kelangkaan likuiditas untuk investasi. Padahal daya saing operator telekomunikasi akan sebanding dengan network coverage dan capacity (NCC). Untuk mewujudkan peningkatan NCC diperlukan tambahan investasi, maka jika sumber investasi langka, otomatis NCC akan mengalami stagnan.
Bagi operator besar yang National NCC-nya sudah mencapai lebih dari 75% kemandegan atau perlambatan pertumbuhan NCC tidak terlalu masalah, bagi mereka tinggal mempertahankan kualitas layanan guna meningkatkan loyalitas pelanggan, atau membuat produk – produk inovatif guna mengoptimalisasi utilisasi jaringan dan fasilitas jaringan sekaligus meningkatkan revenue. Di pihak lain, bagi operator kecil yang National NCC-nya kurang dari 25%, akan mengalami dilema, untuk tumbuh dibutuhkan tambahan investasi, sementara sumber investasi sedang langka; sebaliknya jika tidak tumbuh, ceruk pasar (market niche) yang sudah dikuasasi akan terambil oleh operator besar, karena terjadi migrasi pelanggan (akibat pelanggan kecewa, atau terjadi penurunan kualitas layanan).
Wal hasil, saya kira, secara umum strategi terbaik bagi semua operator telekomunikasi adalah survival; bertahan, bergerak perlahan dengan seksama dan waspada. Sebaiknya tidak terlalu ambisius menetapkan sekian persen pertumbuhan pelanggan baru. Sebaliknya, saya malah menyarankan, perhatikan berapa persen pelanggan yang lari ke operator lain. Atau beraap persen pertumbuhan nomor yang non-aktif atau hangus (churn).
T: Apakah industri telekomunikasi di tanah air dapat melewatinya?
J: Kita pernah mengalami krisis seperti ini di tahun 1997-98, dan waktu itu industri telekomunikasi Indonesia mampu membuktikan diri sebagai sektor yang tetap tumbuh, sementara sektor-sektor lain terpuruk. Meski kontek nasional dan lingkungan industri telekomunikasi pda waktu itu berbeda dengan kondisi saat ini dan tahun 2009, namun dua hal utama: karakter industri telekomunikasi (termasuk pelanggan dan pengguna) dan pengalaman operator dalam berhubungan dengan lingkungan bisnis yang sedang dalam kondisi tidak stabil; pada hemat saya memberi keyakinan kepada kita semua bahwa industri telekomunikasi nasional mampu bertahan dan akan kembali memelopori pertumbuhan ekonomi nasional.
Di atas saya sebutkan karakter industri telekomunikasi dapat menjadi faktor pembangkit optimisme dalam menghadapi krisis global. Kenapa demikian? Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, informasi sudah menjadi kebutuhan penting yang dapat disetarakan dengan kebutuhan mereka terhadap bahan pangan. Dalam kata lain, pada kelompok ini (yang jumlahnya semakin besar, informasi sudah setara dengan kebutuhan pokok hidup yang tidak dapat ditunda, namun hanya bisa dikurangi konsumsinya (ketika uang di saku menipis) sama seperti beras, air minum, BBM, dan lain sejenisnya. Jika sudah begini, walaupun operator telekomunikasi sedang mengaami kesulitan memperoleh tambahan investasi dari pasar modal, namun karena demand telekomunikasi masih tinggi, operator dapat terselamatkan cash flow-nya dari arus revenue yang relatif terjaga. Jika masih tetap ingin investasi, maka tantangan bagi operator adalah meningkatkan efisiensi sehingga mampu menekan boaya operational, dan akhirnya menghasilkan laba yang selanjutnya digunakan untuk tambahan investasi.
Jadi operator yang akan sukses dalam menghadapi situasi krisis finansial global adalah operator yang masih memiliki atau mampu menjaga likuiditasnya, meningkatkan efisiensi operasional, sehingga tingkat profitabilitas masih relatif tinggi, dan mampu digunakan sebagai sumber pendanaan internal. Operator yang mengandalkan pendanaan investasi dari luar, saya kira akan sakit parah.
T: Dari operator yang saat ini beroperasi, apakah akan ada yang gulung tikar? Siapa saja mereka yang kemungkinan besar akan gulung tikar?
J: Sampai gulung tikar (baca: bangkrut) saya kira tidak akan ada. Belum pernah ada sejarah di Indonesia (atau bahkan di dunia) operator telekomunikasi bangkrut. Kalaupun ada (MCI di USA) lebih disebabkan karena managemen perusahaan melakukan fraud. Jika kesulitan keuangan dialami oleh operator telekomunikasi milik negara atau yang terafiliasi dengan negara, tentu akan mendapat bantuan (bail out) dari pemerintah, karena menyangkut kebanggaan nasional. Bagi operator telekomunikasi milik konglomerat, ketika menghadapi kesulitan, pemilik (pemegang saham majoritas) akan mempertahankan mati-matian eksistensi perusahaan, karena menyangkut kredibilitas mereka sebagai businessman.
Untuk mencegah bangkrut, beberapa strategi sering diambil oleh pemilik perusahaan, antara lain, merger dengan operator yang lebih besar, atau mencari strategic partner, dengan menjual sebagian besar sahamnya kepada investor besar. Di semester dua tahun 2008, saya lihat beberapa pemegang saham operator kecil sudah mulai menawarkan sahamnya kepada perator lain ataupun kepada investor asing.
Krisis global mudah-mudahan menjadi moment yang tepat bagi pelaku industri telekomunikasi Indonesia untuk melakukan konsolidasi pasar, dengan cara merger antar operator yang teknologinya sejenis (CDMA dengan CDMA; dan GSM/3G dengan GSM/3G). Jika hal ini dapat terlaksana, besar kemungkinan di tahun 2009, kita akan menyaksikan hanya ada 4 operator GSM/3G, dan 2 atau 3 operator CDMA.
T: Bagaimana solusi yang harus mereka lakukan agar dapat bertahan dan melalui krisis?
J: Di atas sudah saya jelaskan, dalam masa krisis strategi terbaik adalah survival strategy. Menunda rencana ekspansi, kalaupun ekspansi harus diteruskan, karena melanjutkan proses yang sudah berlangsung dari tahun sebelumnya, lakukan dengan membuat skala prioritas berdasarkan kemampuan masing – masing proyek dalam menghasilkan revenue baik dari kecepatan maupun jumlah. Meningkatkan kualitas layanan kepada pelanggan agar pelanggan puas dan tidak lari ke operator lain. Meningkakan efisiensi guna mengurangi biaya operasional. Melakukan promosi dan pemasaran dengan sangat selektif. Strategi penurunan atau perang harga tidak dianjurkan. Dan tidak kalah pentingnya adalah inovasi menciptakan kreasi produk baru (seperti layanan konten) dengan maksud menggali potensi revenue di luar jasa yang sudah ada (layanan suara, sms, mms, akses internet, dll.)
T: Saat ini promo tarif gencar diberikan operator. Apakah di tahun 2009 konsumen masih bisa mendapatkan tarif yang murah?
J: Pada hemat saya, jika di tahun 2009 masih ada operator yang perang harga, atau promosi penurunan harga, menawarkan harga discount secara jor-joran seperti tahun – tahun lalu, maka hanya ada tiga kemungkinan: manajemen operator tersebut bodoh, tidak tahu apa yang terbaik harus dilakukan dalam lingkungan krisis; atau perusahaan masih memiliki likuiditas yang luar biasa besar, National NCC sudah mencapai 100%, dan operator tersebut ingin mematikan operator lain; atau manajemen dengan sengaja ingin membuat perusahan bangkrut.
Kepada konsumen saya berharap dapat memahami kesulitan yang sedang dihadapi oleh para operator telekomunikasi. Jika mereka (operator) masih dituntut untuk menurunkan harga layanan, tarif, namun akibatnya operator pada gulung tikar, bukankah kita sendiri, konsumen yang akan kehilangan kenyamanan yang sudah dirasakan.
Berhemat dalam berkomunikasi adalah kata kunci yang mari kita (operator dan pelanggan) sama – sama lakukan.
T: Apakah operator yang memberikan tarif murah atau promo tersebut nanti bisa bertahan menghadapi krisis?
J: Saya sudah menjawab pertanyaan ini di atas.
T: Bagaimana anda melihat pelayanan operator kepada konsumen di tahun 2008 ini? Apakah tahun 2009 nanti mereka masih memberikan kwalitas layanan yang sama? Atau malah makin buruk?
J: Dengan skala 1 s.d. 7 (1 untuk sangat tidak memuaskan, dan 7 sangat memuaskan), pelayanan operator telekomunikasi kepada pelanggan, secara umum saya nilai dalam skala 4 (cukup memuaskan), di bawah memuaskan (5), lebih memuaskan (6), dan sangat memuaskan (7).
Meskipun tahun depan kita akan mengalami krisis yang semakin dalam, saya tentu berharap operator mampu meningkatkan kualitas pelayanan kepada pelanggan sehingga score-nya meningkat. Mengapa demikian, sebagaimana saya uraikan di atas, krisis sebaiknya digunakan sebagai moment untuk memulai upaya serius peningkatan kualitas pelayanan, selagi konsentrasi manajemen tidak fokus kepada ekspansi NCC.
T: Dari pengamatan anda, operator mana yang memberikan layanan paling baik bagi pelanggannya? Lalu yang paling buruk?
J: Maaf, karena mendukung semua operator, dan dalam kedudukan saya sebagai pengurus (Ketua) Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) di mana mereka (semua operator) adalah anggota kami, maka rasanya akan tidak etis jika saya menyebut operator A paling baik, atau operator B paling buruk. Baik buruk saya kembalikan kepada pelanggan untuk menilainya. *****
J: (Jawaban Maswig)
T: Bagaimana anda melihat industri telekomunikasi selama tahun 2008 ini? Apakah menunjukkan arah yang positif? Apa acuannya?
J: Kinerja industri telekomunikasi selama tahun 2008 menurut hemat saya tidak terlalu istimewa dibandingkan dengan tahun – tahun sebelumnya. Meskipun tidak sampai negatif, namun pertumbuhan tidak signifikan, perhitungan sementara, rata – rata pertumbuhan (meliputi aspek pelanggan, EBITDA, jaringan) berkisar antara 9 s.d 15%.
T: Bagaimana anda melihat peluang industri ini ditahun 2009 mendatang? Sebab saat ini tengah terjadi krisis global. Apakah jumlah pelanggan masih bisa digenjot seperti tahun 2008?
J: Jika dilihat dari perspektif makro, dapat dikatakan masih cukup besar, karena wilayah yang belum terlayani fasilitas telekomunikasi masih sekitar 45% dari total wilayah Indonesia, khususnya di luar pulau Jawa. Selain itu, dari perspektif demografi, masih ada tidak kurang dari 80 juta rumah tangga (house holds) yang tempat tinggalnya belum tersedia layanan telepon tetap (fixed line). Dan, dari 180-an juta penduduk Indonesia yang sudah pantas memiliki layanan telepon selular, baru sekitar 40-an juta yang sudah benar-benar menikmati layanan telepon selular.
Namun demikian jika dianalisa dari sudut pandang mikro, peluang masing-masing operator telekomunikasi dalam meraih peluang pasar ternyata tidak linier. Operator besar memiliki peluang untuk meraih lebih banyak dibandingkan operator kecil. Bahkan, di tahun 2009, saya memprediksi, beberapa operator kecil sudah sangat sulit untuk tumbuh bila tidak sejak awal tahun mengubah strategi bisnisnya.
Terkait dengan krisis global, tentu ada dan akan banyak pengaruhnya terhadap industri telekomunikasi Indonesia secara keseluruhan, khususnya dalam pendanaan untuk meningkatkan jangakuan dan kapasitas jaringan. Sebagaimana kita tahu, krisis keuangan global menyebabkan kelangkaan likuiditas untuk investasi. Padahal daya saing operator telekomunikasi akan sebanding dengan network coverage dan capacity (NCC). Untuk mewujudkan peningkatan NCC diperlukan tambahan investasi, maka jika sumber investasi langka, otomatis NCC akan mengalami stagnan.
Bagi operator besar yang National NCC-nya sudah mencapai lebih dari 75% kemandegan atau perlambatan pertumbuhan NCC tidak terlalu masalah, bagi mereka tinggal mempertahankan kualitas layanan guna meningkatkan loyalitas pelanggan, atau membuat produk – produk inovatif guna mengoptimalisasi utilisasi jaringan dan fasilitas jaringan sekaligus meningkatkan revenue. Di pihak lain, bagi operator kecil yang National NCC-nya kurang dari 25%, akan mengalami dilema, untuk tumbuh dibutuhkan tambahan investasi, sementara sumber investasi sedang langka; sebaliknya jika tidak tumbuh, ceruk pasar (market niche) yang sudah dikuasasi akan terambil oleh operator besar, karena terjadi migrasi pelanggan (akibat pelanggan kecewa, atau terjadi penurunan kualitas layanan).
Wal hasil, saya kira, secara umum strategi terbaik bagi semua operator telekomunikasi adalah survival; bertahan, bergerak perlahan dengan seksama dan waspada. Sebaiknya tidak terlalu ambisius menetapkan sekian persen pertumbuhan pelanggan baru. Sebaliknya, saya malah menyarankan, perhatikan berapa persen pelanggan yang lari ke operator lain. Atau beraap persen pertumbuhan nomor yang non-aktif atau hangus (churn).
T: Apakah industri telekomunikasi di tanah air dapat melewatinya?
J: Kita pernah mengalami krisis seperti ini di tahun 1997-98, dan waktu itu industri telekomunikasi Indonesia mampu membuktikan diri sebagai sektor yang tetap tumbuh, sementara sektor-sektor lain terpuruk. Meski kontek nasional dan lingkungan industri telekomunikasi pda waktu itu berbeda dengan kondisi saat ini dan tahun 2009, namun dua hal utama: karakter industri telekomunikasi (termasuk pelanggan dan pengguna) dan pengalaman operator dalam berhubungan dengan lingkungan bisnis yang sedang dalam kondisi tidak stabil; pada hemat saya memberi keyakinan kepada kita semua bahwa industri telekomunikasi nasional mampu bertahan dan akan kembali memelopori pertumbuhan ekonomi nasional.
Di atas saya sebutkan karakter industri telekomunikasi dapat menjadi faktor pembangkit optimisme dalam menghadapi krisis global. Kenapa demikian? Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, informasi sudah menjadi kebutuhan penting yang dapat disetarakan dengan kebutuhan mereka terhadap bahan pangan. Dalam kata lain, pada kelompok ini (yang jumlahnya semakin besar, informasi sudah setara dengan kebutuhan pokok hidup yang tidak dapat ditunda, namun hanya bisa dikurangi konsumsinya (ketika uang di saku menipis) sama seperti beras, air minum, BBM, dan lain sejenisnya. Jika sudah begini, walaupun operator telekomunikasi sedang mengaami kesulitan memperoleh tambahan investasi dari pasar modal, namun karena demand telekomunikasi masih tinggi, operator dapat terselamatkan cash flow-nya dari arus revenue yang relatif terjaga. Jika masih tetap ingin investasi, maka tantangan bagi operator adalah meningkatkan efisiensi sehingga mampu menekan boaya operational, dan akhirnya menghasilkan laba yang selanjutnya digunakan untuk tambahan investasi.
Jadi operator yang akan sukses dalam menghadapi situasi krisis finansial global adalah operator yang masih memiliki atau mampu menjaga likuiditasnya, meningkatkan efisiensi operasional, sehingga tingkat profitabilitas masih relatif tinggi, dan mampu digunakan sebagai sumber pendanaan internal. Operator yang mengandalkan pendanaan investasi dari luar, saya kira akan sakit parah.
T: Dari operator yang saat ini beroperasi, apakah akan ada yang gulung tikar? Siapa saja mereka yang kemungkinan besar akan gulung tikar?
J: Sampai gulung tikar (baca: bangkrut) saya kira tidak akan ada. Belum pernah ada sejarah di Indonesia (atau bahkan di dunia) operator telekomunikasi bangkrut. Kalaupun ada (MCI di USA) lebih disebabkan karena managemen perusahaan melakukan fraud. Jika kesulitan keuangan dialami oleh operator telekomunikasi milik negara atau yang terafiliasi dengan negara, tentu akan mendapat bantuan (bail out) dari pemerintah, karena menyangkut kebanggaan nasional. Bagi operator telekomunikasi milik konglomerat, ketika menghadapi kesulitan, pemilik (pemegang saham majoritas) akan mempertahankan mati-matian eksistensi perusahaan, karena menyangkut kredibilitas mereka sebagai businessman.
Untuk mencegah bangkrut, beberapa strategi sering diambil oleh pemilik perusahaan, antara lain, merger dengan operator yang lebih besar, atau mencari strategic partner, dengan menjual sebagian besar sahamnya kepada investor besar. Di semester dua tahun 2008, saya lihat beberapa pemegang saham operator kecil sudah mulai menawarkan sahamnya kepada perator lain ataupun kepada investor asing.
Krisis global mudah-mudahan menjadi moment yang tepat bagi pelaku industri telekomunikasi Indonesia untuk melakukan konsolidasi pasar, dengan cara merger antar operator yang teknologinya sejenis (CDMA dengan CDMA; dan GSM/3G dengan GSM/3G). Jika hal ini dapat terlaksana, besar kemungkinan di tahun 2009, kita akan menyaksikan hanya ada 4 operator GSM/3G, dan 2 atau 3 operator CDMA.
T: Bagaimana solusi yang harus mereka lakukan agar dapat bertahan dan melalui krisis?
J: Di atas sudah saya jelaskan, dalam masa krisis strategi terbaik adalah survival strategy. Menunda rencana ekspansi, kalaupun ekspansi harus diteruskan, karena melanjutkan proses yang sudah berlangsung dari tahun sebelumnya, lakukan dengan membuat skala prioritas berdasarkan kemampuan masing – masing proyek dalam menghasilkan revenue baik dari kecepatan maupun jumlah. Meningkatkan kualitas layanan kepada pelanggan agar pelanggan puas dan tidak lari ke operator lain. Meningkakan efisiensi guna mengurangi biaya operasional. Melakukan promosi dan pemasaran dengan sangat selektif. Strategi penurunan atau perang harga tidak dianjurkan. Dan tidak kalah pentingnya adalah inovasi menciptakan kreasi produk baru (seperti layanan konten) dengan maksud menggali potensi revenue di luar jasa yang sudah ada (layanan suara, sms, mms, akses internet, dll.)
T: Saat ini promo tarif gencar diberikan operator. Apakah di tahun 2009 konsumen masih bisa mendapatkan tarif yang murah?
J: Pada hemat saya, jika di tahun 2009 masih ada operator yang perang harga, atau promosi penurunan harga, menawarkan harga discount secara jor-joran seperti tahun – tahun lalu, maka hanya ada tiga kemungkinan: manajemen operator tersebut bodoh, tidak tahu apa yang terbaik harus dilakukan dalam lingkungan krisis; atau perusahaan masih memiliki likuiditas yang luar biasa besar, National NCC sudah mencapai 100%, dan operator tersebut ingin mematikan operator lain; atau manajemen dengan sengaja ingin membuat perusahan bangkrut.
Kepada konsumen saya berharap dapat memahami kesulitan yang sedang dihadapi oleh para operator telekomunikasi. Jika mereka (operator) masih dituntut untuk menurunkan harga layanan, tarif, namun akibatnya operator pada gulung tikar, bukankah kita sendiri, konsumen yang akan kehilangan kenyamanan yang sudah dirasakan.
Berhemat dalam berkomunikasi adalah kata kunci yang mari kita (operator dan pelanggan) sama – sama lakukan.
T: Apakah operator yang memberikan tarif murah atau promo tersebut nanti bisa bertahan menghadapi krisis?
J: Saya sudah menjawab pertanyaan ini di atas.
T: Bagaimana anda melihat pelayanan operator kepada konsumen di tahun 2008 ini? Apakah tahun 2009 nanti mereka masih memberikan kwalitas layanan yang sama? Atau malah makin buruk?
J: Dengan skala 1 s.d. 7 (1 untuk sangat tidak memuaskan, dan 7 sangat memuaskan), pelayanan operator telekomunikasi kepada pelanggan, secara umum saya nilai dalam skala 4 (cukup memuaskan), di bawah memuaskan (5), lebih memuaskan (6), dan sangat memuaskan (7).
Meskipun tahun depan kita akan mengalami krisis yang semakin dalam, saya tentu berharap operator mampu meningkatkan kualitas pelayanan kepada pelanggan sehingga score-nya meningkat. Mengapa demikian, sebagaimana saya uraikan di atas, krisis sebaiknya digunakan sebagai moment untuk memulai upaya serius peningkatan kualitas pelayanan, selagi konsentrasi manajemen tidak fokus kepada ekspansi NCC.
T: Dari pengamatan anda, operator mana yang memberikan layanan paling baik bagi pelanggannya? Lalu yang paling buruk?
J: Maaf, karena mendukung semua operator, dan dalam kedudukan saya sebagai pengurus (Ketua) Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) di mana mereka (semua operator) adalah anggota kami, maka rasanya akan tidak etis jika saya menyebut operator A paling baik, atau operator B paling buruk. Baik buruk saya kembalikan kepada pelanggan untuk menilainya. *****
Wawancara dengan Winoto Budi soal Tarif Telekomunikasi
T: (Tanya)
J: (Jawab)
T: Sekarang mulai ada resistensi dari masyarakat dan makin tidak percaya, kalau tarif yang diberlakukan operator benar-benar murah tapi tetap mahal seperti dulu. Pak mas wig melihatnya seperti apa? apakah sehat bagi industri telekomunikasi di Indonesia?
J: Soal mahal-murah itu persepsi yang setiap orang dapat berbeda dari orang lainnya. Walau semakin banyak orang yang punya persepsi bahwa tarif telekomunikasi masih/semakin mahal (atau murah), persepsi dapat diterima sebagai suatu fakta bila dikumpulkan dengan mengikuti metoda pengumpulan data yang dilakukan sesuai dengan kaidah ilmiah. Bila bertindak hanya berdasarkan apa kata orang (hearsay), saya khawatir kondisinya bukan semakin baik, namun dapat semakin buruk. Jika sudah tambah buruk, bukan hanya operator saja yang merugi, namun masyarakat pun akan merugi karena kehilangan kenikmatan yang sudah dialami.
Terlepas dari benar – tidaknya persepsi masyarakat, saya kira operator perlu mawas diri. Pertama, karena kompeitisi. Jika masih ada operator yang tidak efisien (tercermin dari mahalnya jasa yang ditawarkan), atau yang suka “mengurangi timbangan” curang dalam penghitungan pulsa, maka lambat laun perusahaan semacam ini akan ditinggalkan oleh pelanggan.
T: Banyak iklan operator yang mengklaim murah, tanpa menyantumkan lembaga independen sebagai sumber penelitian apakah ini sehat?
J: Saya tidak tahu apa atau siapa yang Anda maksud dengan lembaga independen. Saya ragu apakah ada lembaga risetyang benar – benar independen? (dalam pengertian tidak dipengaruhi atau terpengaruh oleh kesediaan pemesan (operator) untuk membayar hasil riset dengan harga tinggi.
Dalam nada canda, saya sering sampaikan kepada teman-teman operator telekomunikasi bahwa mereka persis perusahaan kecap, yang selalu mengklaim sebagai nomor satu. Apa jawab mereka? Lha memang menurut kami, kami ini nomor satu, kalau menurut orang lain kami nomor sekian yang itu hak mereka untuk mengatakan apa saja, hak kami adalah mengatakan kami nomr satu, atau kami paling murah.
Akhirnya saya menyadari bahwa iklan (termasuk yang memuat tarif) memang bukan jenis hasil karya scientific, yang secara metrik harus terukur. Parameter kontrolnya hanya etika saja. Kalau yang masih memegang teguh etika tentu kalimatnya terjaga. Persoalannya, etika itu juga masalah persepsi yang bagi banyak orang berbeda satu dengan lainnya. Walhasil, kondisi keshatan atau keburukan industri telekomunikasi sebaiknya tidak hanya diukur dari iklan tarif.
T: Iklan operator selalu menyembunyikan Syarat dan Ketentuan Berlaku, bukankah kurang etis?
J: Menurut hemat saya justru pencantuman kata “syarat dan ketentuan berlaku” menjadikan sebuah iklan memenuhi etika periklanan. Mari kita lihat segi posistifnya, iklan tersebut mendorong pembaca, pelanggan untuk mencari informasi tambahan sebelum membeli atau mengkonsumsi produk yang diiklankan. Dan apabila syarat dan ketentuan yang ditawarkan tidak sesuai dengan acuan atau selera calon pembeli, maka tidak ada paksaan bagi calon pembeli untuk membeki produk dimaksud.
Bagi operator kalimat “syarat dan ketentuan berlaku” juga menjadi exit clause ketika ada complain dari pelanggan/pembeli yang merasa dirugikan. Kalaupun ada dispute, operator dengan santai punya hak untuk berkata “kan saya sudah bilang, ada syarat dan ketentuannya, makanya baca dulu informasinya sebelum membeli”.
T: Ada operator yang mengeluh, dengan tekanan agar tarif makin murah, upaya perluasan cakupan menjadi terganggu, dan malas membuka pasar yang potensinya kecil, serta konsentrasi di pasar yang menguntungkan saja. Apakah ini mungkin terjadi?
J: Ini pasti keluhan operator kecil, atau operator yang baru masuk ketika pasar sudah rame, kompetisi sudah marak. Bagi operator besar atau yang masuk di awal – awal kompetisi, isu semacam ini tidak dirasakan.*****
J: (Jawab)
T: Sekarang mulai ada resistensi dari masyarakat dan makin tidak percaya, kalau tarif yang diberlakukan operator benar-benar murah tapi tetap mahal seperti dulu. Pak mas wig melihatnya seperti apa? apakah sehat bagi industri telekomunikasi di Indonesia?
J: Soal mahal-murah itu persepsi yang setiap orang dapat berbeda dari orang lainnya. Walau semakin banyak orang yang punya persepsi bahwa tarif telekomunikasi masih/semakin mahal (atau murah), persepsi dapat diterima sebagai suatu fakta bila dikumpulkan dengan mengikuti metoda pengumpulan data yang dilakukan sesuai dengan kaidah ilmiah. Bila bertindak hanya berdasarkan apa kata orang (hearsay), saya khawatir kondisinya bukan semakin baik, namun dapat semakin buruk. Jika sudah tambah buruk, bukan hanya operator saja yang merugi, namun masyarakat pun akan merugi karena kehilangan kenikmatan yang sudah dialami.
Terlepas dari benar – tidaknya persepsi masyarakat, saya kira operator perlu mawas diri. Pertama, karena kompeitisi. Jika masih ada operator yang tidak efisien (tercermin dari mahalnya jasa yang ditawarkan), atau yang suka “mengurangi timbangan” curang dalam penghitungan pulsa, maka lambat laun perusahaan semacam ini akan ditinggalkan oleh pelanggan.
T: Banyak iklan operator yang mengklaim murah, tanpa menyantumkan lembaga independen sebagai sumber penelitian apakah ini sehat?
J: Saya tidak tahu apa atau siapa yang Anda maksud dengan lembaga independen. Saya ragu apakah ada lembaga risetyang benar – benar independen? (dalam pengertian tidak dipengaruhi atau terpengaruh oleh kesediaan pemesan (operator) untuk membayar hasil riset dengan harga tinggi.
Dalam nada canda, saya sering sampaikan kepada teman-teman operator telekomunikasi bahwa mereka persis perusahaan kecap, yang selalu mengklaim sebagai nomor satu. Apa jawab mereka? Lha memang menurut kami, kami ini nomor satu, kalau menurut orang lain kami nomor sekian yang itu hak mereka untuk mengatakan apa saja, hak kami adalah mengatakan kami nomr satu, atau kami paling murah.
Akhirnya saya menyadari bahwa iklan (termasuk yang memuat tarif) memang bukan jenis hasil karya scientific, yang secara metrik harus terukur. Parameter kontrolnya hanya etika saja. Kalau yang masih memegang teguh etika tentu kalimatnya terjaga. Persoalannya, etika itu juga masalah persepsi yang bagi banyak orang berbeda satu dengan lainnya. Walhasil, kondisi keshatan atau keburukan industri telekomunikasi sebaiknya tidak hanya diukur dari iklan tarif.
T: Iklan operator selalu menyembunyikan Syarat dan Ketentuan Berlaku, bukankah kurang etis?
J: Menurut hemat saya justru pencantuman kata “syarat dan ketentuan berlaku” menjadikan sebuah iklan memenuhi etika periklanan. Mari kita lihat segi posistifnya, iklan tersebut mendorong pembaca, pelanggan untuk mencari informasi tambahan sebelum membeli atau mengkonsumsi produk yang diiklankan. Dan apabila syarat dan ketentuan yang ditawarkan tidak sesuai dengan acuan atau selera calon pembeli, maka tidak ada paksaan bagi calon pembeli untuk membeki produk dimaksud.
Bagi operator kalimat “syarat dan ketentuan berlaku” juga menjadi exit clause ketika ada complain dari pelanggan/pembeli yang merasa dirugikan. Kalaupun ada dispute, operator dengan santai punya hak untuk berkata “kan saya sudah bilang, ada syarat dan ketentuannya, makanya baca dulu informasinya sebelum membeli”.
T: Ada operator yang mengeluh, dengan tekanan agar tarif makin murah, upaya perluasan cakupan menjadi terganggu, dan malas membuka pasar yang potensinya kecil, serta konsentrasi di pasar yang menguntungkan saja. Apakah ini mungkin terjadi?
J: Ini pasti keluhan operator kecil, atau operator yang baru masuk ketika pasar sudah rame, kompetisi sudah marak. Bagi operator besar atau yang masuk di awal – awal kompetisi, isu semacam ini tidak dirasakan.*****
Wawancara dengan Winoto Budi Soal Local Content
T: (Tanya)
J; (Jawab)
T: Depkominfo sedang merancang peraturan agar 30% capex industri telekomunikasi untuk belanja komponen lokal, dari dalam negeri, komentar pak mas wig?
J: Isu local content dalam penyediaan ICT, sudah berkali – kali muncul. Dulu, zaman Pak Harto malahan pernah ada Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Dalam Negeri, yang berkoordinasi dengan Menteri Perindustrian. Pada waktu itu keluar kebijakan komputer produk dalam negeri, sehingga pernah ada puluhan produk komputer personal asembling lokal yang diberi merek aneka rupa. Masih ingat komputer merk Jayacom? Atau OKB, Alpha, Panasatek, Mugen dan lain sebagainya? Ketika regim berganti kebijakan berubah, industri komputer lokal dengan merek lokal pun menghilang menyusul perubahan politik, dan inkonsistensi birokrasi.
Pengalaman serupa komputer pun menimpa industri perangkat telekomunikasi. Pernah pemerintah mendirikan perusahaan peralatan telekomunikasi – PT INTI, yang daam perjalan waktu bekerja sama dengan Siemens membangun switching telekomunikasi. Kemudian Lembaga Elektroteknika Nasional (LEN) yang semula bagian dari LIPI di-spin off menjadi perusahaan tersediri yang memproduksi perangkat elektronika dan telekomunikasi. Di pihak swasta, di kota Bandung pada tengah tahun 1980-an tak kurang banyaknya perusahaan di bidang telekomunikasi, seperti Philip, Radio Frequency Communication (RFC), Compact Microwave Indonesia (CMI), Telnic, Harriff, dan lain sebagainya.
Dengan sedemikian banyak perusahaan perintis yang membangun peralatan telekomunikasi, mestinya konten lokal sudah tidak menjadi isu lagi. Namun kenyataannya, hampir 90% kebutuhan peralatan telekomunikasi nasional harus diimpor. Bahkan untuk switching angkanya mendekati 100%, karena belum ada satupun perusahaan lokal yang mampu membangun sistem layanan 3G, GSM, CDMA secara utuh.
Kembali ke rencana depkominfo, saya kira dari segi substansi rencana tersebut sudah bukan rencana kebijakan yang genuine, hanya mengulang apa yang sudah pernah dilakukan oleh para birokrat terdahulu.
T: Apakah jika disahkan bisa diimplementasikan?
J: Di sinilah esensi yang menjadi tantangan utama bagi pemerintah dengan kebijakan konten lokal ini. Pemerintah sebaiknya tidak hanya membuat dan menerbitkan kebijakan konten lokal, namun perlu belajar dari kegagalan kebijakan serupa di masa lalu, dan menyiapkan strategi jitu guna menghadapi berbagai tantangan yang selalu muncul ketika kebijakan semacam ini akan diimplementasikan.
T: Apakah bagi operator ini tidak membuat pilihan investasi menjadi terbatas? dan malah membuat biaya investasi membengkak?
J: Ada atau tidak kebijakan kebijakan konten lokal ini, tidak secara langsung membatasi investasi, persoalannya bukan di situ. Namun lebih pada kesiapan industri peralatan telekomunikasi lokal, apakah sudah mampu mendukung kebutuhan investasi jasa telekomunikasi nasional. Ketika operator bermaksud investasi, demi efisiensi dan agar menang dalam persaingan tentu mereka akan memilih produk yang kompetitif, murah dan kualitasnya bagus. Dihadapkan pada ketentuan 30% konten lokal, tentu mereka akan memberikan kesempatan kepada perusahan manufaktur lokal. Namun bila harga dan kualitas produk lokal tidak kompetitif (karena berbagai faktor), operator cenderung mencari jalan keluar untuk memperoleh perangkat yang diinginkannya dari mana saja sumbernya.
Nah, ketidak siapan manufaktur lokal, kebutuhan investasi yang tidak bisa dicegah, ruwetnya infra dan supra struktur industri lokal yang menjadikan produk lokal tidak kompetitif, merupakan beberapa faktor yang dapat menjadikan kebijakan ini gagal lagi dan gagal lagi.
T: Bagaimana dengan solusi lebih murah dari huawei serta perusahaan dari China lainnya?
J: Itulah yang saya maksudkan dari jawaban di atas. China dan negara – negara lain produsen perangkat telekomunikasi yang selama ini menjadi pemasok peralatan telekomunikasi ke Indonesia, tentu tidak suka dengan kebijakan Pemerintah tersebut. Mereka mengantisipasi dengan berbagai cara, seperti menurunkan harga, meningkatkan kualitas produk, meningkatkan lobby kepada eksekutif operator telekomunikasi, dan lobby – lobby politik agar kebijakan tersebut masih banyak look hole-nya yang dapat ditembus setelah diterbitkan.
Apalagi jika antara produsen internasional sudah ada perjanjian dengan pemegang saham majoritas untuk menggunakan produk dan atau merek tertentu, semacam international agreement, dan dengan lemahnya pengawasan oleh birokrat (karena mudah disuap), maka bukan mustahil produk lokal hanya akan menjadi pelengkap penggembira saja. Wal hasil, kebijakan capex dengan konten lokal 30% kembali menjadi retorika belaka.
T: Besarannya sendiri 30%, apakah sudah pas? kenapa tidak sekaligus 50% ?
J: Sebagaimana saya uraikan di atas, persoalannya bukan angka persentase, namun lebih pada pelibatan secara menyeluruh dan terintegrasi (comprehensiveness) semua pihak yang terkait atau terkena dampak dari kebijakan tersebut. Perlu disadari bahwa tidak semua pihak gembira dengan kebijakan tersebut. Mereka yang kepentingan pribadinya terancam, tentu akan melakukan kegitana kontra agar kebijakan tersebut tidak mulus dalam implementasinya. Selain itu, daya tahan (stamina dan endurance) birokrasi dalam menegakkan kebijakan ini juga perlu.
Jika syarat dasar ini sudah terpenuhi mau berapapun angka persentasenya, itu hanya masalah skenario pertumbuhan industri lokal saja.
T: Sebenarnya industri telekomunikasi lokal sendiri apakah sudah siap? selain PT Inti, perusahaan mana yang bisa diharapkan?
J: Jawaban saya di atas menjelaskan bagaimana kesiapan industri lokal termasuk PT. INTI. Terkait kesiapan industri telekomunikasi lokal, tidak hanya ditentukan oleh manajemen perusahaan, tetapi juga oleh kebijakan dan regulasi lain terkait dengan industri pada umumnya.
T: Di bidang apa yang mungkin digarap oleh industri dalam negeri?
J: Barangkali yang cocok untuk digarap industri dalam negeri adalah industri yang mempunyai ciri – ciri sebagai berikut: kebutuhan investasi dan modal kerja relatif tidak besar, terjangkau oleh perusahaan nasional dengan sumber permodalam dalam negeri; tersedia sdm dalam negeri di bidang tersebut yang mumpuni; pasar dalam negeri dalam menyerap produk tersebut cukup dan relatif besar; produk pesaing dari luar negeri tidak cukup banyak; dan, pasar luar negeri sangat besar.
Dengan kriteria tersebut di atas, industri kreatif berbasis ICT, seperti soft switch, sistem manajemen jaringan, sistem jaringan pintar, dan sejenis itu barangkali dapat dikembangkan secara optimal.
T: Apakah ke depan produk industri telekomunikasi Indonesia bisa di ekspor? atau untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saja tidak akan mampu?
J: Jika industri yang dipilih dan menjadi andalan Indonesia mendekati kriteria yang saya jelaskan di atas, dan pemerintah secara konsisten mendukung industri (melalui kebijakan dan regulasi yang favorable), serta industri lain terkait (perbankan, asuransi, pendidikan tinggi) juga mendukung (tidak saling menjegal), sangat mungkin Indonesia akan menjadi pemain internasional dalam industri software pendukung sistem telekomunikasi.
T: Penggunaan komponen lokal ini ujung-ujungnya yg diharapkan oleh konsumen adalah tarif murah dalam arti sebenarnya, apakah itu mungkin?
J: Ya, memang itulah tujuan utama yang ingin dicapai dari kebijakan tersebut. Jadi bukan hanya untuk memberi kesempatan kepada pemain lokal saja, tetapi juga menjadikan harga layanan telekomunikasi murah.
T: Komponen lokal naik 30%, apakah artinya tarif bakal turun 30%?
J: Tidak otomatis semacam itu. Pada prakteknya sekarang, harga komponen lokal justru lebih mahal dari produk serupa buatan luar negeri. Akibatnya penggunaan produk lokal dengan kondisi harga yang lebih mahal alih – alih membuat harga layanan telekomunikasi (tarif) lebih murah, malahan mendorong semakin mahal. Kebijakan komponen lokal akan mendorong penurunan tarif hanya bila harga komponen lokal lebih besar dari komponen impor.
Hitung-hitungan matematikanya seperti ini. Asumsi proporsi komponen asing dan lokal sudah mencapai kesetimbangan maksimum, yaitu 70:30, dengan harga masing- masing sudah mencapai kesetimbangan antara demand dan supply. Dengan kuantiti yang sama, jika harga komponen lokal lebih mahal 10% dari produk asing sejenis, dan jika dipaksakan dengan menggunakan komponen lokal (karena tunduk pada kebijakan, maka biaya investasi akan naik 10% dan secara proporsional akan menaikkan tarif 10%.
Jika kompetitor asing menurunkan harga 10%, sementara harga lokal tetap, maka operator akan rugi 10%, tarif tidak turun (walaupun bisa) pelangan dirugikan (karena tarif tidak turun).
Jika porsi produk asing (yang 70%) menurunkan harganya 10%, dan kompetitor produk lokal juga menurunkan harga 10% sementara produsen porsi lokal tidak mengubah harga, operator tetap membeli produk lokal, maka kerugian operator hanya tinggal 10%, tetapi kerugian pelanggan naik menjadi 20%. Wal hasil, bila mash tetap ingin memberi manfaat kepada pelanggan, dalam kondisi semacam ini, kompetitor dan vendor uatama menurunkan harga masing – masing 10%, maka vendor konten lokal harus menurunkan sedikitnya 20%. Jika manufaktur lokal tidak mampu menurunkan harga,maka kebijakan ini akan sia – sia belaka dalam upaya menurunkan harga layanan telekomunikasi.
Persoalannya, bagi industri manufaktur (dalam negeri) yang tidak punya kemampuan R&D, yang regulasi pendukungnya saling tumpang tindih, lebih mudah menaikkan harga dari pada menurunkan biaya, bukan?*****
J; (Jawab)
T: Depkominfo sedang merancang peraturan agar 30% capex industri telekomunikasi untuk belanja komponen lokal, dari dalam negeri, komentar pak mas wig?
J: Isu local content dalam penyediaan ICT, sudah berkali – kali muncul. Dulu, zaman Pak Harto malahan pernah ada Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Dalam Negeri, yang berkoordinasi dengan Menteri Perindustrian. Pada waktu itu keluar kebijakan komputer produk dalam negeri, sehingga pernah ada puluhan produk komputer personal asembling lokal yang diberi merek aneka rupa. Masih ingat komputer merk Jayacom? Atau OKB, Alpha, Panasatek, Mugen dan lain sebagainya? Ketika regim berganti kebijakan berubah, industri komputer lokal dengan merek lokal pun menghilang menyusul perubahan politik, dan inkonsistensi birokrasi.
Pengalaman serupa komputer pun menimpa industri perangkat telekomunikasi. Pernah pemerintah mendirikan perusahaan peralatan telekomunikasi – PT INTI, yang daam perjalan waktu bekerja sama dengan Siemens membangun switching telekomunikasi. Kemudian Lembaga Elektroteknika Nasional (LEN) yang semula bagian dari LIPI di-spin off menjadi perusahaan tersediri yang memproduksi perangkat elektronika dan telekomunikasi. Di pihak swasta, di kota Bandung pada tengah tahun 1980-an tak kurang banyaknya perusahaan di bidang telekomunikasi, seperti Philip, Radio Frequency Communication (RFC), Compact Microwave Indonesia (CMI), Telnic, Harriff, dan lain sebagainya.
Dengan sedemikian banyak perusahaan perintis yang membangun peralatan telekomunikasi, mestinya konten lokal sudah tidak menjadi isu lagi. Namun kenyataannya, hampir 90% kebutuhan peralatan telekomunikasi nasional harus diimpor. Bahkan untuk switching angkanya mendekati 100%, karena belum ada satupun perusahaan lokal yang mampu membangun sistem layanan 3G, GSM, CDMA secara utuh.
Kembali ke rencana depkominfo, saya kira dari segi substansi rencana tersebut sudah bukan rencana kebijakan yang genuine, hanya mengulang apa yang sudah pernah dilakukan oleh para birokrat terdahulu.
T: Apakah jika disahkan bisa diimplementasikan?
J: Di sinilah esensi yang menjadi tantangan utama bagi pemerintah dengan kebijakan konten lokal ini. Pemerintah sebaiknya tidak hanya membuat dan menerbitkan kebijakan konten lokal, namun perlu belajar dari kegagalan kebijakan serupa di masa lalu, dan menyiapkan strategi jitu guna menghadapi berbagai tantangan yang selalu muncul ketika kebijakan semacam ini akan diimplementasikan.
T: Apakah bagi operator ini tidak membuat pilihan investasi menjadi terbatas? dan malah membuat biaya investasi membengkak?
J: Ada atau tidak kebijakan kebijakan konten lokal ini, tidak secara langsung membatasi investasi, persoalannya bukan di situ. Namun lebih pada kesiapan industri peralatan telekomunikasi lokal, apakah sudah mampu mendukung kebutuhan investasi jasa telekomunikasi nasional. Ketika operator bermaksud investasi, demi efisiensi dan agar menang dalam persaingan tentu mereka akan memilih produk yang kompetitif, murah dan kualitasnya bagus. Dihadapkan pada ketentuan 30% konten lokal, tentu mereka akan memberikan kesempatan kepada perusahan manufaktur lokal. Namun bila harga dan kualitas produk lokal tidak kompetitif (karena berbagai faktor), operator cenderung mencari jalan keluar untuk memperoleh perangkat yang diinginkannya dari mana saja sumbernya.
Nah, ketidak siapan manufaktur lokal, kebutuhan investasi yang tidak bisa dicegah, ruwetnya infra dan supra struktur industri lokal yang menjadikan produk lokal tidak kompetitif, merupakan beberapa faktor yang dapat menjadikan kebijakan ini gagal lagi dan gagal lagi.
T: Bagaimana dengan solusi lebih murah dari huawei serta perusahaan dari China lainnya?
J: Itulah yang saya maksudkan dari jawaban di atas. China dan negara – negara lain produsen perangkat telekomunikasi yang selama ini menjadi pemasok peralatan telekomunikasi ke Indonesia, tentu tidak suka dengan kebijakan Pemerintah tersebut. Mereka mengantisipasi dengan berbagai cara, seperti menurunkan harga, meningkatkan kualitas produk, meningkatkan lobby kepada eksekutif operator telekomunikasi, dan lobby – lobby politik agar kebijakan tersebut masih banyak look hole-nya yang dapat ditembus setelah diterbitkan.
Apalagi jika antara produsen internasional sudah ada perjanjian dengan pemegang saham majoritas untuk menggunakan produk dan atau merek tertentu, semacam international agreement, dan dengan lemahnya pengawasan oleh birokrat (karena mudah disuap), maka bukan mustahil produk lokal hanya akan menjadi pelengkap penggembira saja. Wal hasil, kebijakan capex dengan konten lokal 30% kembali menjadi retorika belaka.
T: Besarannya sendiri 30%, apakah sudah pas? kenapa tidak sekaligus 50% ?
J: Sebagaimana saya uraikan di atas, persoalannya bukan angka persentase, namun lebih pada pelibatan secara menyeluruh dan terintegrasi (comprehensiveness) semua pihak yang terkait atau terkena dampak dari kebijakan tersebut. Perlu disadari bahwa tidak semua pihak gembira dengan kebijakan tersebut. Mereka yang kepentingan pribadinya terancam, tentu akan melakukan kegitana kontra agar kebijakan tersebut tidak mulus dalam implementasinya. Selain itu, daya tahan (stamina dan endurance) birokrasi dalam menegakkan kebijakan ini juga perlu.
Jika syarat dasar ini sudah terpenuhi mau berapapun angka persentasenya, itu hanya masalah skenario pertumbuhan industri lokal saja.
T: Sebenarnya industri telekomunikasi lokal sendiri apakah sudah siap? selain PT Inti, perusahaan mana yang bisa diharapkan?
J: Jawaban saya di atas menjelaskan bagaimana kesiapan industri lokal termasuk PT. INTI. Terkait kesiapan industri telekomunikasi lokal, tidak hanya ditentukan oleh manajemen perusahaan, tetapi juga oleh kebijakan dan regulasi lain terkait dengan industri pada umumnya.
T: Di bidang apa yang mungkin digarap oleh industri dalam negeri?
J: Barangkali yang cocok untuk digarap industri dalam negeri adalah industri yang mempunyai ciri – ciri sebagai berikut: kebutuhan investasi dan modal kerja relatif tidak besar, terjangkau oleh perusahaan nasional dengan sumber permodalam dalam negeri; tersedia sdm dalam negeri di bidang tersebut yang mumpuni; pasar dalam negeri dalam menyerap produk tersebut cukup dan relatif besar; produk pesaing dari luar negeri tidak cukup banyak; dan, pasar luar negeri sangat besar.
Dengan kriteria tersebut di atas, industri kreatif berbasis ICT, seperti soft switch, sistem manajemen jaringan, sistem jaringan pintar, dan sejenis itu barangkali dapat dikembangkan secara optimal.
T: Apakah ke depan produk industri telekomunikasi Indonesia bisa di ekspor? atau untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saja tidak akan mampu?
J: Jika industri yang dipilih dan menjadi andalan Indonesia mendekati kriteria yang saya jelaskan di atas, dan pemerintah secara konsisten mendukung industri (melalui kebijakan dan regulasi yang favorable), serta industri lain terkait (perbankan, asuransi, pendidikan tinggi) juga mendukung (tidak saling menjegal), sangat mungkin Indonesia akan menjadi pemain internasional dalam industri software pendukung sistem telekomunikasi.
T: Penggunaan komponen lokal ini ujung-ujungnya yg diharapkan oleh konsumen adalah tarif murah dalam arti sebenarnya, apakah itu mungkin?
J: Ya, memang itulah tujuan utama yang ingin dicapai dari kebijakan tersebut. Jadi bukan hanya untuk memberi kesempatan kepada pemain lokal saja, tetapi juga menjadikan harga layanan telekomunikasi murah.
T: Komponen lokal naik 30%, apakah artinya tarif bakal turun 30%?
J: Tidak otomatis semacam itu. Pada prakteknya sekarang, harga komponen lokal justru lebih mahal dari produk serupa buatan luar negeri. Akibatnya penggunaan produk lokal dengan kondisi harga yang lebih mahal alih – alih membuat harga layanan telekomunikasi (tarif) lebih murah, malahan mendorong semakin mahal. Kebijakan komponen lokal akan mendorong penurunan tarif hanya bila harga komponen lokal lebih besar dari komponen impor.
Hitung-hitungan matematikanya seperti ini. Asumsi proporsi komponen asing dan lokal sudah mencapai kesetimbangan maksimum, yaitu 70:30, dengan harga masing- masing sudah mencapai kesetimbangan antara demand dan supply. Dengan kuantiti yang sama, jika harga komponen lokal lebih mahal 10% dari produk asing sejenis, dan jika dipaksakan dengan menggunakan komponen lokal (karena tunduk pada kebijakan, maka biaya investasi akan naik 10% dan secara proporsional akan menaikkan tarif 10%.
Jika kompetitor asing menurunkan harga 10%, sementara harga lokal tetap, maka operator akan rugi 10%, tarif tidak turun (walaupun bisa) pelangan dirugikan (karena tarif tidak turun).
Jika porsi produk asing (yang 70%) menurunkan harganya 10%, dan kompetitor produk lokal juga menurunkan harga 10% sementara produsen porsi lokal tidak mengubah harga, operator tetap membeli produk lokal, maka kerugian operator hanya tinggal 10%, tetapi kerugian pelanggan naik menjadi 20%. Wal hasil, bila mash tetap ingin memberi manfaat kepada pelanggan, dalam kondisi semacam ini, kompetitor dan vendor uatama menurunkan harga masing – masing 10%, maka vendor konten lokal harus menurunkan sedikitnya 20%. Jika manufaktur lokal tidak mampu menurunkan harga,maka kebijakan ini akan sia – sia belaka dalam upaya menurunkan harga layanan telekomunikasi.
Persoalannya, bagi industri manufaktur (dalam negeri) yang tidak punya kemampuan R&D, yang regulasi pendukungnya saling tumpang tindih, lebih mudah menaikkan harga dari pada menurunkan biaya, bukan?*****
Subscribe to:
Posts (Atom)