T: (Tanya)
J; (Jawab)
T: Depkominfo sedang merancang peraturan agar 30% capex industri telekomunikasi untuk belanja komponen lokal, dari dalam negeri, komentar pak mas wig?
J: Isu local content dalam penyediaan ICT, sudah berkali – kali muncul. Dulu, zaman Pak Harto malahan pernah ada Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Dalam Negeri, yang berkoordinasi dengan Menteri Perindustrian. Pada waktu itu keluar kebijakan komputer produk dalam negeri, sehingga pernah ada puluhan produk komputer personal asembling lokal yang diberi merek aneka rupa. Masih ingat komputer merk Jayacom? Atau OKB, Alpha, Panasatek, Mugen dan lain sebagainya? Ketika regim berganti kebijakan berubah, industri komputer lokal dengan merek lokal pun menghilang menyusul perubahan politik, dan inkonsistensi birokrasi.
Pengalaman serupa komputer pun menimpa industri perangkat telekomunikasi. Pernah pemerintah mendirikan perusahaan peralatan telekomunikasi – PT INTI, yang daam perjalan waktu bekerja sama dengan Siemens membangun switching telekomunikasi. Kemudian Lembaga Elektroteknika Nasional (LEN) yang semula bagian dari LIPI di-spin off menjadi perusahaan tersediri yang memproduksi perangkat elektronika dan telekomunikasi. Di pihak swasta, di kota Bandung pada tengah tahun 1980-an tak kurang banyaknya perusahaan di bidang telekomunikasi, seperti Philip, Radio Frequency Communication (RFC), Compact Microwave Indonesia (CMI), Telnic, Harriff, dan lain sebagainya.
Dengan sedemikian banyak perusahaan perintis yang membangun peralatan telekomunikasi, mestinya konten lokal sudah tidak menjadi isu lagi. Namun kenyataannya, hampir 90% kebutuhan peralatan telekomunikasi nasional harus diimpor. Bahkan untuk switching angkanya mendekati 100%, karena belum ada satupun perusahaan lokal yang mampu membangun sistem layanan 3G, GSM, CDMA secara utuh.
Kembali ke rencana depkominfo, saya kira dari segi substansi rencana tersebut sudah bukan rencana kebijakan yang genuine, hanya mengulang apa yang sudah pernah dilakukan oleh para birokrat terdahulu.
T: Apakah jika disahkan bisa diimplementasikan?
J: Di sinilah esensi yang menjadi tantangan utama bagi pemerintah dengan kebijakan konten lokal ini. Pemerintah sebaiknya tidak hanya membuat dan menerbitkan kebijakan konten lokal, namun perlu belajar dari kegagalan kebijakan serupa di masa lalu, dan menyiapkan strategi jitu guna menghadapi berbagai tantangan yang selalu muncul ketika kebijakan semacam ini akan diimplementasikan.
T: Apakah bagi operator ini tidak membuat pilihan investasi menjadi terbatas? dan malah membuat biaya investasi membengkak?
J: Ada atau tidak kebijakan kebijakan konten lokal ini, tidak secara langsung membatasi investasi, persoalannya bukan di situ. Namun lebih pada kesiapan industri peralatan telekomunikasi lokal, apakah sudah mampu mendukung kebutuhan investasi jasa telekomunikasi nasional. Ketika operator bermaksud investasi, demi efisiensi dan agar menang dalam persaingan tentu mereka akan memilih produk yang kompetitif, murah dan kualitasnya bagus. Dihadapkan pada ketentuan 30% konten lokal, tentu mereka akan memberikan kesempatan kepada perusahan manufaktur lokal. Namun bila harga dan kualitas produk lokal tidak kompetitif (karena berbagai faktor), operator cenderung mencari jalan keluar untuk memperoleh perangkat yang diinginkannya dari mana saja sumbernya.
Nah, ketidak siapan manufaktur lokal, kebutuhan investasi yang tidak bisa dicegah, ruwetnya infra dan supra struktur industri lokal yang menjadikan produk lokal tidak kompetitif, merupakan beberapa faktor yang dapat menjadikan kebijakan ini gagal lagi dan gagal lagi.
T: Bagaimana dengan solusi lebih murah dari huawei serta perusahaan dari China lainnya?
J: Itulah yang saya maksudkan dari jawaban di atas. China dan negara – negara lain produsen perangkat telekomunikasi yang selama ini menjadi pemasok peralatan telekomunikasi ke Indonesia, tentu tidak suka dengan kebijakan Pemerintah tersebut. Mereka mengantisipasi dengan berbagai cara, seperti menurunkan harga, meningkatkan kualitas produk, meningkatkan lobby kepada eksekutif operator telekomunikasi, dan lobby – lobby politik agar kebijakan tersebut masih banyak look hole-nya yang dapat ditembus setelah diterbitkan.
Apalagi jika antara produsen internasional sudah ada perjanjian dengan pemegang saham majoritas untuk menggunakan produk dan atau merek tertentu, semacam international agreement, dan dengan lemahnya pengawasan oleh birokrat (karena mudah disuap), maka bukan mustahil produk lokal hanya akan menjadi pelengkap penggembira saja. Wal hasil, kebijakan capex dengan konten lokal 30% kembali menjadi retorika belaka.
T: Besarannya sendiri 30%, apakah sudah pas? kenapa tidak sekaligus 50% ?
J: Sebagaimana saya uraikan di atas, persoalannya bukan angka persentase, namun lebih pada pelibatan secara menyeluruh dan terintegrasi (comprehensiveness) semua pihak yang terkait atau terkena dampak dari kebijakan tersebut. Perlu disadari bahwa tidak semua pihak gembira dengan kebijakan tersebut. Mereka yang kepentingan pribadinya terancam, tentu akan melakukan kegitana kontra agar kebijakan tersebut tidak mulus dalam implementasinya. Selain itu, daya tahan (stamina dan endurance) birokrasi dalam menegakkan kebijakan ini juga perlu.
Jika syarat dasar ini sudah terpenuhi mau berapapun angka persentasenya, itu hanya masalah skenario pertumbuhan industri lokal saja.
T: Sebenarnya industri telekomunikasi lokal sendiri apakah sudah siap? selain PT Inti, perusahaan mana yang bisa diharapkan?
J: Jawaban saya di atas menjelaskan bagaimana kesiapan industri lokal termasuk PT. INTI. Terkait kesiapan industri telekomunikasi lokal, tidak hanya ditentukan oleh manajemen perusahaan, tetapi juga oleh kebijakan dan regulasi lain terkait dengan industri pada umumnya.
T: Di bidang apa yang mungkin digarap oleh industri dalam negeri?
J: Barangkali yang cocok untuk digarap industri dalam negeri adalah industri yang mempunyai ciri – ciri sebagai berikut: kebutuhan investasi dan modal kerja relatif tidak besar, terjangkau oleh perusahaan nasional dengan sumber permodalam dalam negeri; tersedia sdm dalam negeri di bidang tersebut yang mumpuni; pasar dalam negeri dalam menyerap produk tersebut cukup dan relatif besar; produk pesaing dari luar negeri tidak cukup banyak; dan, pasar luar negeri sangat besar.
Dengan kriteria tersebut di atas, industri kreatif berbasis ICT, seperti soft switch, sistem manajemen jaringan, sistem jaringan pintar, dan sejenis itu barangkali dapat dikembangkan secara optimal.
T: Apakah ke depan produk industri telekomunikasi Indonesia bisa di ekspor? atau untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saja tidak akan mampu?
J: Jika industri yang dipilih dan menjadi andalan Indonesia mendekati kriteria yang saya jelaskan di atas, dan pemerintah secara konsisten mendukung industri (melalui kebijakan dan regulasi yang favorable), serta industri lain terkait (perbankan, asuransi, pendidikan tinggi) juga mendukung (tidak saling menjegal), sangat mungkin Indonesia akan menjadi pemain internasional dalam industri software pendukung sistem telekomunikasi.
T: Penggunaan komponen lokal ini ujung-ujungnya yg diharapkan oleh konsumen adalah tarif murah dalam arti sebenarnya, apakah itu mungkin?
J: Ya, memang itulah tujuan utama yang ingin dicapai dari kebijakan tersebut. Jadi bukan hanya untuk memberi kesempatan kepada pemain lokal saja, tetapi juga menjadikan harga layanan telekomunikasi murah.
T: Komponen lokal naik 30%, apakah artinya tarif bakal turun 30%?
J: Tidak otomatis semacam itu. Pada prakteknya sekarang, harga komponen lokal justru lebih mahal dari produk serupa buatan luar negeri. Akibatnya penggunaan produk lokal dengan kondisi harga yang lebih mahal alih – alih membuat harga layanan telekomunikasi (tarif) lebih murah, malahan mendorong semakin mahal. Kebijakan komponen lokal akan mendorong penurunan tarif hanya bila harga komponen lokal lebih besar dari komponen impor.
Hitung-hitungan matematikanya seperti ini. Asumsi proporsi komponen asing dan lokal sudah mencapai kesetimbangan maksimum, yaitu 70:30, dengan harga masing- masing sudah mencapai kesetimbangan antara demand dan supply. Dengan kuantiti yang sama, jika harga komponen lokal lebih mahal 10% dari produk asing sejenis, dan jika dipaksakan dengan menggunakan komponen lokal (karena tunduk pada kebijakan, maka biaya investasi akan naik 10% dan secara proporsional akan menaikkan tarif 10%.
Jika kompetitor asing menurunkan harga 10%, sementara harga lokal tetap, maka operator akan rugi 10%, tarif tidak turun (walaupun bisa) pelangan dirugikan (karena tarif tidak turun).
Jika porsi produk asing (yang 70%) menurunkan harganya 10%, dan kompetitor produk lokal juga menurunkan harga 10% sementara produsen porsi lokal tidak mengubah harga, operator tetap membeli produk lokal, maka kerugian operator hanya tinggal 10%, tetapi kerugian pelanggan naik menjadi 20%. Wal hasil, bila mash tetap ingin memberi manfaat kepada pelanggan, dalam kondisi semacam ini, kompetitor dan vendor uatama menurunkan harga masing – masing 10%, maka vendor konten lokal harus menurunkan sedikitnya 20%. Jika manufaktur lokal tidak mampu menurunkan harga,maka kebijakan ini akan sia – sia belaka dalam upaya menurunkan harga layanan telekomunikasi.
Persoalannya, bagi industri manufaktur (dalam negeri) yang tidak punya kemampuan R&D, yang regulasi pendukungnya saling tumpang tindih, lebih mudah menaikkan harga dari pada menurunkan biaya, bukan?*****
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.