Sampai hari ini masih ada diskriminasi tarif layanan Fixed-Wired Access, yang disenggarakan oleh Telkom (Flexi), Indosat (StarOne), Bakri (Esia) yang semuanya menggunakan teknologi CDMA, dibanding dengan layanan Mobile Cellular yang diselenggarakan oleh Telkomsel, Indosat, XL, Natrindo, Hutch (menggunakan teknologi GSM) dan Mobile-8, Sampoerna (CDMA). Jadi ini isu perizinan jenis layanan, bukan isu persaingan teknologi GSM vs CDMA.
Dikatakan diskriminasi karena dari sisi kemampuan kedua teknologi memiliki kemampuan yang sama untuk mobile communication, namun FWA, karena dianggap menggantikan telepon tetap diberi tarif penggunaan frekuensi yang lebih murah dari tarif yang dikenakan kepada layanan selular. Padahal dalam prakteknya, FWA ternyata digunakan untuk mobile juga (kasus Flexi Combo). Hasilnya, terjadi unbalanced tarif Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi antara selular dan FWA.
Setidaknya ada 3 opsi untuk melakukan penyesuaian tarif BHP frekuensi: alternatif pertama, tarif FWA dinaikkan agar sama dengan tarif selular, atau sebaliknya, tarif selular diturunkan agar sama dengan FWA. Konsekuensi dari pilihan pertama, tarif ritel FWA(yang dibayar pelanggan) akan naik, sedangkan dampak alternatif kedua, tarif selular akan turun. Opsi ketiga, FWa dinaikkan dan selular diturunkan. Opsi ketiga ini agak sulit dan cukup lama prosesnya karena mesti mengubah Peraturan Menteri dan regulasi terkait lainnya.
Secara agregat, proporsi pelanggan FWA, hanya sekitar 5% dari total pelanggan telepon di Indonesia. Jika pilihan pertama diambil, kemungkinan kenaikan tarif sebesar ± 40% secara langsung akan dirasakan oleh sekitar 3 juta pelanggan Flexi, StarOne dan Esia. Sementara jika pilihan 2 yang diambil, 5% pelanggan selular akan diuntungkan, namun pada saat yang bersamaan operator selular akan mengalami penurunan revenue dan pemerintah akan kehilangan ±40% dari total Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor telekomunikasi yang jumahnya mencapai triliunan rupiah per tahunnya.
Walhasil, keduanya merupakan pilihan yang sulit. Nah dengan asumsi rasional, bahwa kecenderungan dalam pengambilan keputusan kebijakan publik adalah memilih alternatif yang dampak negatifnya paling kecil bagi masyarakat luas (termasuk Pemerintah), maka saya memerkirakan Regulator Telekomunikasi akan memilih menaikkan tarif CDMA dari pada menurunkan tarif seluar.
Sialnya, kebiasaan yang sampai sekarang berlaku di sektor telekomunikasi, kurva permintaan (demand curve) ternyata tidak elastis, setiap kenaikan harga tidak serta merta diikuti dengan penurunan permintaan. Sebaliknya malah meningkat atau tetap (mirip kurva permintaan terhadap BBM, beras dan komoditas primer lainnya). Dari sini, saya menduga, bahwa meski tarif FWA naik, permintaan terhadap layanan telekomunikasi akan terus meningkat, dan karena demand yang masih tinggi ini, maka ada alasan kuat bagi operator sular untuk ikut menaikkan harga layanan.
Artikelnya sangat amat bagus, Pak.. Boleh tidak ikut menyebarkan Informasi tentang ICT nya...
ReplyDeleteDan Numpang Link nya...
Saya selalu menunggu dan menunggu Artikel2 tentang ICT dan perkembangan - kendala penerapan ICT dewasa ini..