Tuesday, June 05, 2007

Interaksi Strategi Inovasi dan Sistem Informasi Strategik Serta Pengaruhnya Terhadap Sustainable Competitive Advantage

Abstract
Interaksi Strategi Inovasi dan Sistem Informasi Strategik akan memberi manfaat bagi sustainable competitive advantage ketika keduanya dikelola dalam satu kombinasi strategi yang saling menunjang. Penelitian mengenai interaksi keduanya dan pengaruhnya terhadap sustainable competitive advantage perusahaan khususnya perusahaan di Indonesia diperkirakan akan memberi kontribusi bagi perkembangan bisnis, pemanfaatan Teknologi Infomormasi dan Komunikasi, serta perkembangan ilmu pengetahuan di bidang strategic management. Kontribusi ini perlu mengingat pada saat ini inovasi masih merupakan barang langka di Indonesia, sementara pemanfaatan Teknologi Informasi yang dikoordinasikan dalam Sistem Informasi Strategik sudah cukup luas.

Pendahuluan
Strategi Inovasi pada dasarnya menuntut perubahan (Barney, 2002). Sistem Informasi Strategik mensyaratkan manajemen perubahan (Bertoli & Hermel 2004). Beberapa peneliti terdahulu menyebutkan bahwa inovasi sudah menjadi bagian dari strategi bisnis (Drucker, 1993; Christensen & Overdorf, 2001; Pyka, 2002; Christensen, 2005; Govindarajan & Trimble, 2005;). Demikian pula dalam perkembangan dekade terakhir Teknologi Informasi sudah dikelola sebagai suatu disiplin strategi dan diselaraskan dengan strategi bisnis (Ward & Pepard, 2002; Galliers & Leidner, 2003; Davis, Miller & Russell, 2006). Dari kedua pernyataan ini tampak bahwa diperlukan penyelarasan antara strategi inovasi dan sistem informasi strategik sehingga menghasilkan kinerja organisasi yang optimum.

Meskipun Inovasi dan Sistem Informasi Strategik menjanjikan peningkatan kinerja, namun keengganan di kalangan manajemen puncak untuk menyinergikan keduanya masih cenderung tinggi. Hal ini dapat dipahami, karena penelitian yang terdahulu sebagian besar hanya memelajari pengaruh satu aspek saja terhadap kinerja, misalnya Inovasi atau Teknologi Informasi saja. Riset yang memelajari keterkaitan Strategi Inovasi dan Teknologi Informasi yang menjadi elemen utama dalam Sistem Informasi Strategik, serta pengaruhnya terhadap kinerja organisasi masih memiliki peluang besar untuk di-elaborasi. Banyak kajian tentang inovasi yang menelaah bagaimana organisasi merancang dan sekaligus melaksanakannya. Salah satu di antaranya dikembangkan oleh Terziovski (2002) yang mengajukan tiga alternatif strategi inovasi: bertahap (incremental), radikal, dan terintegrasi (integrated).

Sejumlah faktor stratejik dapat memengaruhi kecepatan, efektivitas dan kemajuan pengelolaan/pemanfaatan Teknologi Informasi (Ward & Peppard, 2002). Faktor tersebut adalah: kemampuan teknologi, pertimbangan ekonomi dalam memanfaatkan teknologi, kelayakan aplikasi, ketrampilan dan kemampuan mengembangkan aplikasi, tekanan terhadap organisasi dan industri tertentu untuk meningkatkan kinerja, dan kemampuan organisasi dalam menerapkan Teknologi Informasi. Indikator yang menunjukkan keberadaan faktor – faktor tersebut diajukan oleh IT Governance Institute dengan teori dan metoda yang disebut Control Objectives for Information and related Technology (COBIT).

Bisnis tidak dapat dijalankan hanya dengan mengandalkan satu dimensi. Agar kinerja organisasi selalu unggul dari pesaingnya, manajer perlu memerhatikan semua fungsi utama agar lebih baik dari para pesaing. Mencapai keunggulan bersaing pada akhirnya menjadi misi yang harus dijalankan. Bagaimana Inovasi dan Sistem Informasi Strategik dikombi-nasikan guna mendukung strategi bisnis yang kompetitif menentukan apakah keunggulan bersaing dapat dicapai atau tidak (Callon, 1996). Ada tiga perspektif yang diajukan Callon untuk memperkuat kombinasi Inovasi dan Sistem Informasi Strategik: lingkungan bisnis, industri spesifik di mana organisasi beroperasi, termasuk di dalamnya karakteristik utama industri tersebut dan bagaimana organisasi dapat berhasil dalam kompetisi di lingkungannya; lingkungan perusahaan, organisasi atau perusahaan itu sendiri, meliputi karakteristik utama, rekam jejak, kekuatan dan kelemahan; lingkungan teknologi khususnya teknologi informasi, yang dikelola oleh perusahaan dengan tujuan memperoleh keunggulan bersaing.

Pertautan antara inovasi dan sistem informasi strategik diduga memengaruhi kinerja organisasi. Perencanaan, operasional dan pengendalian stratejik diperlukan guna mengetahui apakah seluruh proses di dalam organisasi menghasilkan kinerja yang diharapkan. Kinerja dimaksud digolongkan ke dalam dua kelompok: keuangan dan non-keuangan. Kinerja keuangan terkait dengan parameter keuangan yang lazim digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan perusahaan, seperti rasio pendapatan (earning ratio), rasio pendapatan investasi (return on investment), dan lain – lain. Sedangkan kinerja non-keuangan dapat dikaitkan dengan hubungan eksternal dan intenal perusahaan. Hubungan eksternal seperti misalnya tingkat kepuasan pelanggan, pertumbuhan pangsa pasar, peningkatan/penurunan citra perusahaan, dan lain sebagainya. Hubungan internal dapat diketahui dari parameter kepuasan karyawan, tingkat turn-over karyawan, laju pertumbuhan perusahaan, dan lain – lain.


Permasalahan
Inovasi dan Sistem Informasi Strategik keduanya dapat berjalan sendiri – sendiri namun dapat saling menunjang. Pada awalnya inovasi menghasilkan teknologi, setelah teknologi hasil inovasi awal tersebut bermanfaat bagi masyarakat, ia memberi inspirasi bagi aktivitas inovasi selanjutnya (Khalil, 2000; Harrison & Samson, 2002). Dalam perjalanan waktu inovasi tidak selalu berhasil (Franklin, 2003; Christensen, 2003). Inovasi gagal karena berbagai alasan (Roger, 1995) antara lain: apakah masyarakat melihatnya sebagai suatu peningkatan dari yang sudah ada (relative advantage); apakah inovasi konsisten dengan sistem nilai (value system), pengalaman dan kebutuhan masyarakat yang diharapkan menggunakannya (compatibility); akankah pengguna potensial mudah memahami dan memanfaatkan karya inovasi (complexity); dapatkah masyarakat mencobanya dengan aman sebelum memutuskan untuk menggunakannya (trialability); dan seberapa mudah bagi masyarakat untuk melihat hasilnya (observability).

Di tengah janji memberikan manfaat, inovasi jika tidak dikelola dengan hati – hati dapat menyebabkan kegagalan organisasi (Christensen, Raynor, 2003; Davila, Epstein, Shelton, 2006). Terjadi dilema antara manfaat investasi yang diharapakan dan dampak yang diperoleh dari pemanfaatan hasil inovasi (Christensen, 2005). Untuk mengatasi masalah kemungkinan kegagalan inovasi atau dalam kata lain guna meningkatkan probabilitas keberhasilan inovasi, diperlukan strategi inovasi (Govindarajan & Trimble, 2005). Persoalannya, sejalan dengan meningkat-pesatnya pemanfaatan Teknologi Informasi, inovasi di dunia bisnis yang bertumpu pada Teknologi Informasi semakin berkembang, dan pada kondisi tertentu diperlukan kerangka teori yang dapat menjelaskan hubungan sebab-akibat antara inovasi, Teknologi Informasi dan kombinasi keduanya terhadap kinerja organisasi.

Akumulasi investasi Teknologi Informasi semakin hari semakin tinggi. Namun peningkatan nilai investasi Teknologi Informasi tidak selalu dibarengi dengan peningkatan kinerja organisasi. Sinyalemen tentang hubungan tidak linier antara investasi Teknologi Informasi dengan kinerja ekonomi sudah menjadi perhatian banyak ahli. Robert Solow (1985) dalam McCarty (2001) disebut menyatakan perusahaan yang memanfaatkan Teknologi Informasi ternyata tidak serta merta meningkat bahkan menurun kinerjanya. Teknologi Informasi digunakan untuk perencanaan dan pengendalian produksi, pengendalian persediaan, dukungan pemasaran, otomatisasi keuangan, dan lain sebagainya, tetapi tidak jelas apakah penggunaan Teknologi Informasi semacam itu menghasilkan peningkatan kinerja (output).

Pertanyaan yang lebih mendasar terkait dengan investasi Teknologi Informasi diajukan oleh Lucas (1999), “adakah value yang dapat diperoleh dari investasi Teknologi Informasi?” Menjawab pertanyaannya sendiri Lucas mengajukan premis bahwa selalu ada value dari investasi Teknologi Informasi dan ada perangkat (tools) serta mekanisme untuk menunjukkan manfaat investasi Teknologi Informasi, namun demikian penting untuk diketahui dalam kondisi apa dan bagaimana perusahaan dapat mengharapkan return yang terukur dari investasi Teknologi Informasi. Kegagalan memahami keterkaitan Teknologi Informasi dengan strategi bisnis menghasilkan paradoks produktivitas Teknologi Informasi. Hal ini menjelaskan permasalahan mengapa organisasi gagal menerima manfaat dari investasi Teknologi Informasi.


Mengapa Organisasi Memerlukan Informasi?
Ketidak-pastian dan ketidak-jelasan merupakan dua faktor yang memenga-ruhi pemrosesan informasi di dalam organisasi. Struktur organisasi dan sistem internal menentukan jumlah dan kekayaan informasi yang diberikan kepada manajer (Daft & Lengel, 1986). Hambatan yang seringkali muncul bukan terletak pada kesediaan data, namun lebih pada ketidak-jelasan mengenai informasi yang dibutuhkan oleh masing-masing manajer. Mengatasi hambatan tersebut, sebuah organisasi dapat dirancang untuk memenuhi kebutuhan informasi tentang teknologi, hubungan inter-departmental, lingkungan, serta menyediakan mekanisme guna mening-katkan kejelasan dan kepastian.

Ketidak-pastian dan ketidak-jelasan merepresentasikan dua kekuatan yang memengaruhi pengolahan informasi yang diperlukan bagi organisasi untuk mencapai kinerja yang mencukupi. Organisasi dapat disusun melalui penggunaan mekanisme personal atau impersonal guna mengatasi ketidak-jelasan dan ketidak-pastian. Mekanisme struktural dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan manajemen dalam menambah data atau kebutuhan menciptakan common grammar dan interpretasi tentang event yang ambigu. Dalam implementasinya, mekanisme struktural dipengaruhi oleh type teknologi, tingkat kebutuhan integrasi atau hubungan antar-depertemen, dan kondisi lingkungan.


Strategi Inovasi
Sukses bisnis di abad milenium ditentukan oleh inovasi (Hammel, 1999). Inovasi diartikan sebagai proses di dalam organisasi untuk memanfaatkan ketrampilan dan sumber daya untuk mengembangkan produk dan atau jasa baru atau untuk membangun sistem produksi dan operasional baru sehingga mampu menjawab kebutuhan pelanggan (Jones, 2004). Pengaruh inovasi terhadap indikator kinerja perusahaan (kepuasan pelanggan, produktivitas dan daya saing teknologi) telah dibuktikan oleh Terziovski (2002). Strategi berkelanjutan dari bawah – atas (bottom – up) lebih disukai untuk peningkatan kepuasan pelanggan dan produktivitas (Terziovski, 2002; Light, 1998, p3). Sementara strategi top-down lebih cocok untuk peningkatan daya saing teknologi. Studi Terziovski lebih lanjut menunjukkan bahwa strategi terintegrasi tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap kinerja, hal ini disebabkan karena perusahaan pada umumnya belum mencapai tahap integrasi sistem dan kemampuan beroperasi dalam jaringan (networking). Kesimpulan yang dapat diambil dari studi Terziovski, strategi incremental lebih tepat digunakan sebagai pendorong bagi inovasi yang berkelanjutan, sedangkan strategi radikal lebih tepat digunakan untuk melakukan inovasi yang menghasilkan perubahan produk dan proses secara cepat.

Pengetahuan dan informasi yang dimiliki tidak menjamin terjadinya inovasi, kemampuan untuk secara kreatif memanfaatkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki merupakan kunci menuju inovasi dan penciptaan keunggulan bersaing (Jones, 2004). Inovasi dapat menghasilkan sukses luar biasa bagi perusahaan. Inovasi pada dasarnya berkenaan dengan perubahan, selain itu juga berkaitan dengan resiko karena seringkali inovasi merupakan luaran aktivitas penelitian dan pengembangan yang hasilnya tidak dapat dipastikan. Inovasi diawali dengan ide kreatif. Ide kreatif ini tidak selalu harus berupa upaya penemuan atau atau pencapaian sesuatu yang “besar” namun dapat juga berwujud upaya perubahan kecil untuk memperbaiki praktek yang sedang berlaku.

Teknologi, peluang bisnis, modal, kewira-usahaan, regulasi dan budaya, dan metodologi merupakan variabel yang mempengaruhi praktek inovasi di suatu organisasi (Abend, 2005). Inovasi di lain pihak juga merupakan dilema bagi manajemen, kelangsungan hidup organisasi dalam jangka panjang memerlukan komitmen untuk selalu melakukan transformasi melalui disruptive growth, namun demikian fakta membuktikan hanya sedikit perusahaan yang dapat sukses dengan strategi ini (Denning, 2005). Organisasi inovatif memiliki komitmen untuk mengendalikan lingkungan; struktur organisasi yang memberikan kebebasan untuk berkreasi; kepemimpinan yang mendorong organisasi untuk berinovasi; dan sistem manajemen yang melayani misi organisasi (Light, 1998). Hambatan alamiah yang seringkali dihadapi dalam upaya inovasi antara lain: struktur organisasi yang padat (dense), keterbatasan sumber daya, keengganan untuk mendelegasikan kewenangan, dan tingkat pemeriksaan internal yang tinggi (Aiken dan Hage, 1971; Pierce dan Delbecq, 1977).

Agar inovasi dapat berkelanjutan dan mendukung kinerja perusahaan diperlukan strategi inovasi (Terziovski, 2002). Terzioski menggolongkan strategi inovasi ke dalam tiga kelompok: radical, incremental, dan integrated. Radical merupakan strategi yang merujuk pada aktivitas inovasi yang tidak pernah ada sebelumnya, mengubah secara drastis kemapanan, menghasilkan produk atau proses baru yang berbeda dari sebelumnya. Incremental merupakan strategi berkembang secara bertahap, memperbaiki produk atau proses bisnis yang sudah ada dengan langkah inovatif. Integrated menggabungkan dua pendekatan terdahulu – radical dan incremental – selain menemukan hal – hal baru (invention) strategi integrated juga menganjurkan inovasi dengan cara mengembangkan dari yang sudah ada.


Siapa Yang Memiliki Ide? Investigasi Keyakinan Karyawan Tentang Hak Kepemilikan Ide
Ketika karyawan meyakini bahwa mereka, dan bukan majikan, yang memiliki hak kepemilikan ide, mereka dapat memilih untuk tetap memegang idenya dan tidak menyerahkannya kepada majikan/perusahaan (Hannah, 2004). Apabila hal ini terjadi, dapat menghambat kemampuan perusahaan menghasilkan produk atau layanan baru. Ada beberapa faktor yang memengaruhi kepercayaan karyawan tentang siapa yang berhak atas ide yang dimilikinya: keyakinan karyawan tentang siapa yang berhak memiliki idenya dipengaruhi secara langsung oleh keyakinan karyawan tentang kekuatan upayanya mengajukan klaim melawan kekuatan upaya perusahaan mengajukan klaim yang sama. Kedua variable ini (kekuatan karyawan dan kekuatan perusahaan) dipengaruhi secara spesifik oleh sifat dan kegunaan ide itu sendiri, tingkat keterlibatan perusahaan dalam proses pembentukan ide, serta dipengaruhi juga oleh keyakinan karyawan tentang tanggung jawab atas tugas – tugas yang diberikan padanya serta pemahaman karyawan terhadap prosedur organisasi.

Perusahaan sebagai pemberi kerja perlu memerkuat klaim hak hukum atas ide dengan memastikan bahwa mereka terlibat ketika ide pertama kali diusulkan, dikembangkan dan dibakukan; dengan melakukan sosialisasi kepada karyawan bahwa tanggung jawab tugas mereka termasuk memberikan hak atas ide yang dihasilkannya kepada perusahaan, sesuai dengan substansi yang termaktub dalam undang-undang hak atas kekayaan intelektual, yang menyatakan bahwa setiap penemuan atau karya cipta yang dihasilkan dari suatu ikatan kerja, maka hak atas kekayaan intelektual yang muncul dari karya cipta tersebut menjadi milik pemberi kerja.


Memerkirakan Yang Tidak Dapat Diperkirakan, Mengantisipasi Inovasi Yang Bersfifat Disruptif
Di tengah dunia bisnis yang diwarnai dengan kondisi persaingan yang semakin sengit, organisasi menghadapi tantangan paradoks dualisme: berfungsi secara efisien, sementara juga melakukan inovasi secara efektif guna memersiapkan diri menghadapi hari esok (Paap & Katz, 2004). Tidak peduli bagaimanapun strukturnya, harus mengelola kedua hal tersebut secara simultan. Untuk melakukannya perusahaan harus memahami dan belajar mengelola dinamika inovasi yang mendasari inovasi yang disruptif dan berkelanjutan.

Di hampir setiap industri selalu ada perusahaan besar yang ketika sampai pada periode perubahan gagal untuk menjaga kepemimpinan pasarnya dalam menghadapi munculnya produk atau layanan dengan teknologi baru. Perusahaan yang sangat disegani dan sudah tergolong mapan, tiba –tiba kehilangan pasar yang sebelumnya dikuasai, dan akhirnya mengalami kebangkrutan akibat munculnya produk dengan teknologi baru yang menggantikan produk lama. Kondisi semacam ini disebut tyranny of success, di mana pemenang sering kali dan tiba-tiba menjadi yang dikalahkan, karena kehilangan daya saingnya.

Kepemimpinan, visi, fokus strategik, kompetensi nilai, struktur, kebijakan, penghargaan dan budaya perusahaan yang di masa sebelumnya menjadi faktor-faktor kritis dalam membangun pertumbuhan perusahaan dan competitive advantage pada suatu periode, dapat menjadi titik lemah ketika teknologi dan kondisi pasar berubah dengan berjalannya waktu. Sukses merupakan pencapaian yang tidak permanen yang dapat lepas dari tangan (Watson Jr., 1963). Memerhatikan hal tersebut, menjadi penting untuk mengenali pola sukses yang diikuti dengan kegagalan – inovasi yang dibuntuti dengan keengganan untuk berubah (inertia) dan rasa puas diri (complacency). Basis kekuatan competitive advantage berubah setiap waktu. Karena inovasi secara esensial melibatkan integrasi teknik dan informasi pasar sepanjang waktu, hal ini memungkinkan organisasi untuk melakukan dua perkara: mendeteksi perubahan teknologi, atau gagal untuk mendeteksi perubahan kebutuhan pelanggan dan atau kondisi pasar.

Pada saat ini perusahaan, tidak peduli bagaimana bentuk struktur dan organisasinya, harus menemukan cara untuk menginternalisasikan dan mengelola dualisme: menjalankan fungsi secara efisien untuk memer-tahankan suksesnya model bisnis sekarang dan melaksanakan inovasi yang bersifat disruptif yang akan memungkinkan mereka mampu bersaing di masa depan. Perusahaan sebaiknya tidak hanya menaruh perhatian pada sukses keuangan dan penetrasi pasar, tetapi mereka juga harus fokus pada kemampuan jangka panjang guna membangun atau mengomersialkan apa yang akan muncul sebagai hasil pengembangan teknologi dan disukai oleh pelanggan, dalam waktu respon yang cepat dan tepat.

Eksekutif perusahaan mulai memahami bahwa teknologi baru akhirnya memiliki potensi mengakhiri sukses bisnis yang telah berhasil diraih, padahal mereka juga tergolong pembuat atau bahkan pioner dari teknologi sebe-lumnya. Industri jam tangan memberikan contoh yang jelas. Perusahaan jam tangan Swis menginvestasikan dan menemukan disruptive technology – quartz batteries dan jam tangan digital – yang akhirnya dikomersialkan oleh peru-sahaan Jepang dan mengalahkan perusahaan Swis.

Teknologi yang bersifat mengakhiri teknologi sebelumnya (disruptive technology) merupakan efek dari beberapa teknologi yang muncul di pasar yang disebabkan oleh inovasi berbasis teknologi dan penurunan keberhasilan perusahaan besar yang bersaing dalam pasar tertentu ketika mereka tidak berhasil mengadopsi teknologi baru tersebut dalam waktu yang tepat. Memahami kapan dan bagaimana teknologi baru perlu diadopsi dapat membantu mengantisipasi pengenalan teknologi masa depan, di mana beberapa di antaranya berpotensi menjadi teknologi disruptif. Menjadi penting untuk mengenali bahwa teknologi substitusi terjadi ketika ada kebu-tuhan yang tidak terpenuhi dalam dominant driver dan teknologi yang ada tidak mampu bersaing menghadapi teknologi baru.

Dengan menggunakan kerangka Dinamika Inovasi, dapat diidentifikasi tiga pola substitusi di mana dua di antaranya mendorong pada susbtitusi: teknologi lama mengalami pendewasaan relatif terhadap dominant driver; driver mengalami pendewasaan, driver baru muncul dan teknologi lama tidak mampu memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh dominant driver baru; lingkungan berubah menciptakan dominant driver baru. Mengenali teknologi baru yang dapat menyebabkan disrutif merupakan tantangan, terutama ketika pelanggan tidak mengenali bahwa kebutuhan kinerja yang menjadi dasar dari keputusan masa lalu tidak mengubah keputusan masa depan. Tantangan ini dapat dipenuhi dengan: (1) memahami dinamika inovasi dan substitusi. Ada alasan-alasan tertentu mengapa teknologi baru muncul: ada kebutuhan yang tidak terpenuhi (baru atau lama) dan teknologi yang ada tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan; (2) tidak mengabaikan pelanggan (yang sudah atau yang akan dimiliki). Namun demikian jangan fokus hanya pada memenuhi apa yang diminta pelanggan pada saat ini. Lebih penting, fokus pada apa yang mereka butuhkan. Isu yang perlu diperhatikan adalah mengidentifikasikan driver masa depan, sesuatu yang muncul ketika driver lama mencapai batas maksimum, dan yang muncul ketika lingkungan pelanggan berubah; (3) tidak meninggalkan teknologi lama hanya karena ia sudah menjadi tua. Kecuali ada kebutuhan yang tidak terpenuhi, mungkin tidak ada manfaatnya untuk menggantinya dengan teknologi baru; (4) pada saat bersamaan, jangan hanya fokus pada bagaimana dapat menggunakan teknologi yang ada untuk menjawab driver yang sedang berkembang. Beralih ke teknologi yang lebih baru yang dapat meningkatkan kinerja pada batas kemampuan driver lama mungkin diperlukan untuk memenuhi kemampuan minimum driver baru; (5) implemen proses yang membantu mengantisipasi dan mengelola perubahan.


Sistem Informasi Strategik
Bagi perusahaan modern, memiliki strategi bisnis saja tidak cukup untuk menghadapi persaingan dewasa ini. Strategi bisnis yang biasa dituangkan dalam dokumen atau cetak biru Business Plan harus pula dilengkapi dengan Sistem Infromasi Strategik (Indrajit, 2003). Tujuannya jelas, yaitu untuk memanfaatkan secara optimum penggunaan Teknologi Informasi sebagai komponen utama sistem informasi perusahaan (sistem yang terdiri dari komponen-komponen untuk melakukan pengolahan data dan pengiriman informasi hasil pengolahan ke fungsi-fungsi organisasi terkait). Tantangan yang dihadapi para pengelola Teknologi Informasi pada umumnya adalah bagaimana mengendalikan Teknologi Informasi sebagai sumber daya perusahaan sehingga dapat menyajikan informasi sesuai yang dibutuhkan perusahaan, bagaimana mengelola resiko dan mengamankan infrastruktur Teknologi Informasi yang menjadi hidup-matinya operasional perusahaan.

Untuk itu diperlukan proses memutuskan sasaran organisasi Teknologi Informasi dan mengidentifikasikan aplikasi Teknologi Informasi potensial yang harus diimplementasikan oleh organisasi secara keseluruhan (Lederer & Sethi, 1998), dan proses identifikasi portofolio aplikasi berbasis komputer untuk diselaraskan dengan strategi perusahaan sehingga memiliki kemampuan untuk menciptakan keunggulan atas para pesaing. Manajemen menetapkan sasaran umum Sistem Informasi Strategik dikaitkan dengan dukungan terhadap Strategi Bisnis yang sedikitnya meliputi: penyelarasan Teknologi Informasi dengan bisnis guna mengidentifikasikan di mana Teknologi Informasi memberi kontribusi paling besar, dan penentuan prioritas investasi; memperoleh keunggulan kompetitif dari peluang bisnis yang diciptakan dengan memanfaatkan Teknologi Informasi; membangun infrastruktur masa depan yang fleksibel dan hemat biaya; memperkuat sumber daya dan kompetensi dalam memanfaatkan Teknologi Informasi dengan sukses di organisasi.


Implementasi Teknologi Informasi Dalam Organisasi
Anthony (1965) mengelompokkan implementasi Teknologi Informasi ke dalam tiga kategori: sistem operasional (Operational Systems), sistem pengendalian (Control Systems), dan sistem perencanaan (Planning Systems). Termasuk dalam sistem operasional antara lain: order entry/processing, tracking shipping documents, vehicle scheduling/loading, invoicing, sales and purchase ledgers, cost accounting, stock control, shop floor, scheduling, bill of materials, purchase orders, receiving, employee records, payroll, word processing, dan lain – lain. Sedangkan yang tergolong sistem pengendalian antara lain: sales analysis, budgetary control, management accounting, inventory management, quality analysis, expense reporting, market, research/analysis, WIP control, requirement planning, supplier analysis, dan lain - lain. Dan yang digolongkan sebagai sistem perencanaan antara lain: sales forecasting, operating plans, capacity planing, profit/earnings forecast, business mix analysis, manpower planning, financial modelling.

Perusahaan yang secara konsisten mencapai nilai (value) tinggi atas investasi Teknologi Informasi mereka memiliki lima karakteristik umum: manajemen puncak memiliki komitmen terhadap Teknologi Informasi; relatif kecil atau bahkan tidak ada turbulensi politik di dalam perusahaan; lebih banyak pengguna sistem yang dipuaskan; terdapat integrasi dalam perencanaan bisnis dan Teknologi Informasi; serta lebih berpengalaman dalam memanfaatkan Teknologi Informasi (Wheelen & Hunger, 2004). Di pihak lain, kegagalan memenuhi komitmen untuk memberikan value dari investasi Teknologi Informasi seringkali disebabkan karena manajer Teknologi Informasi lebih banyak memerhatikan masalah perangkat keras dan kurang menguasai soft science tentang bagaimana pengguna sistem informasi memanfaatkan Teknologi Informasi secara optimal (Davenport, 1999). Disadari bahwa mengimplementasikan Sistem Informasi Strategik menggu-nakan pendekatan kemanusiaan lebih sulit dari pada menata sistem komputer (Davis, Miller & Russell, 2006).


Pengaruh Teknologi Informasi Pada Keputusan Strategik
Untuk memahami pengaruh Teknologi Informasi pada proses pembuatan keputusan strategik terutama yang berkaitan dengan strategi bisnis digunakan Matrik McFarlan. Sumbu vertikal menggambarkan asesmen pengaruh Teknologi Informasi terhadap operasional perusahaan. Pada organisasi tertentu – seperti perbankan, penerbangan, lembaga keuangan, layanan infrastruktur pada saat ini - eksekusi operasional Teknologi Informasi merupakan hal krusial bagi hidup-matinya perusahaan. Kerusakan atau hambatan sekecil apapun berpengaruh besar terhadap kinerja bisnis secara keseluruhan. Sumbu horisontal menggambarkan asesmen pengaruh Teknologi Informasi terhadap Strategi Bisnis yang akan memengaruhi keunggulan bersaing perusahaan dalam jangka panjang. Pada beberapa perusahaan, inisiatif bisnis yang memanfaatkan Teknologi Informasi merupakan faktor kritis bagi posisi stratejik jangka panjang. Namun di pihak lain, aplikasi Teknologi Informasi seringkali memberikan peningkatan kondisi lokal perusahaan namun tidak berpengaruh terhadap strategi (Applegate, et al, 1999).

Applegate et all, (1999) lebih jauh menjelaskan bahwa dengan memetakan Teknologi Informasi dan pengaruhnya terhadap keputusan stratejik memberi kemudahan bagi manajer untuk memilih pendekatan terbaik bagi pengelolaan bisnis yang memanfaatkan Teknologi Informasi. Lima pertanyaan kunci dapat digunakan untuk memberi panduan dalam memetakan pengaruh Teknologi Informasi pada keputusan stratejik:
1. Dapatkah Teknologi Informasi digunakan untuk rekayasa aktivitas inti yang menghasilkan value dan mengubah basis kompetisi?
2. Dapatkah Teknologi Informasi mengubah sifat alamiah hubungan dan keseimbangan kekuatan di antara perusahaan sebagai pembeli dan pemasok?
3. Dapatkah Teknologi Informasi membangun atau mengurangi hambatan masuk (barriers to entry)?
4. Dapatkah Teknologi Informasi menaikkan atau mengurangi switching costs?
5. Dan dapatkah Teknologi Informasi menambah nilai pada produk dan atau jasa yang sudah ada, dan menciptakan yang baru?


Hubungan Antara Knowledge Management Dan Kinerja Inovasi
Proses inovasi banyak bergantung pada pengetahuan, terutama karena knowledge merepresentasikan suatu bidang (realm) jauh lebih dalam dari pada data, informasi dan logika konvensional; oleh karenanya, kekuatan knowledge terletak pada subjektivitasnya, yang mendasari value dan asumsi yang menjadi pondasi bagi proses pembelajaran (Nonaka dan Takeuchi, 1995). Dari pemahaman ini, dapat dikatakan bahwa knowledge management (KM) serta sumber daya manusia merupakan elemen penting dalam menjalankan setiap bisnis. Namun demikian, banyak organisasi tidak konsisten dalam pendekatannya kepada KM, hal ini terjadi karena dipengaruhi dan banyak didominasi oleh kerangka teknologi informasi (IT) atau humanis (Gloet & Terziovski, 2004). Studi Gloet dan Terziovski (2004) menganjurkan para manajer di perusahaan manufaktur perlu memberi perhatian lebih banyak pada manajemen sumber daya manusia (HRM) ketika membangun strategi inovasi bagi inovasi produk dan proses. KM mendukung kinerja inovasi jika pendekatan simultan dari soft HRM practices dan hard IT practices diimplementasikan bersama-sama secara sinergi.

KM berkembang menjadi bidang kajian tersendiri dalam studi organisasi dan berperan signifikan dalam membangun competitive advantage (Nonaka, 1991; Nonaka & Takeuchi, 1995; Davis, 1998; Matusik & Hill, 1998; Miller, 1999; Moore & Birkinshaw, 1998, Stewart, 1997). Meskipun demikian KM mendapat kritik dari berbagai pihak, dikatakan sebagai penggunaan istilah yang tidak cocok (misnomer) atau oxymoron, penggunaan dua kata yang maknanya saling bertentangan (Coleman, 1999), atau membingungkan dan tidak tepat (McCune, 1999). Dari ide dan kritik ini, akhirnya menjadikan KM berkembang dan memiliki sistem fisik dan proses serta ruang lingkup yang semakin jelas, tidak ada hambatan dalam mendefinisikannya (Liebowitz, 1999). KM memberi perhatian pada formalisasi akses kepada pengalaman, pengetahuan dan keahlian guna menciptakan kemampuan baru, mendukung kinerja unggul, mendorong inovasi, dan meningkatkan customer value (Beckman, 1999). Sementara itu, Coleman (1999) mendefinisikan KM sebagai sebuah payung bagi berbagai fungsi yang saling berketergantungan dan terkait satu dengan lainnya yang terdiri dari knolwedge creation; knowledge valuation dan metrics; knowledge mapping dan indexing; knowledge transport, storage dan distribusi; serta knowledge sharing.

Dari berbagai pendekatan KM menunjukkan adanya perluasan dari organisational learning dan sistem informasi bisnis, dan dua pendekatan ini dipengaruhi oleh IT paradigm dan humanist paradigm. IT paradigm fokus pada aspek tangible dari KM, seperti pengumpulan, penyimpanan dan pengolahan informasi, menggunakan metodologi yang secara implisit membentuk organisasi sebagai sebuah sistem pemrosesan informasi; sementara humanis paradigm lebih menekankan pada sifat pembelajaran dan peningkatan pengetahuan sebagai sumber daya organisasi, menyorot peran individu dan kelompok dalam proses penyebaran knowledge.

Sementara itu, elemen organisasi lainnya seperti infrastruktur memiliki kekuatan untuk memengaruhi sukses atau gagalnya KM di dalam organisasi. Elemen ini antara lain: budaya organisasi dan dukungan infrastruktur (Beckman, 1999; Zand, 1997; Quinn et al, 1997); dukungan manajemen dan kepemimpinan yang proaktif (Davenport, 1996; Beckman, 1999), pember-dayaan karyawan (Davenport & Prusak, 1998; Liebowitz & Beckman, 1998), memahami KM sebagai strategi bisnis (Ruggles & Holtshouse, 1999), ssaluran komunikasi yang kuat (Koulopoulos & Frappaolo, 1999), dan komitmen untuk membangun dan memertahankan iklim pembelajaran di dalam organisasi (Starbuck, 1997; Liebowitz & Beckman, 1998).

Inovasi berkaitan dengan knowledge yang dapat digunakan untuk menciptakan produk atau proses dan layanan baru guna meningkatkan competitive advantage dan memenuhi kebutuhan pelanggan yang selalu berubah (Nystrom, 1990). Carnegie dan Butlin (1993) mendefinisikan inovasi sebagai “sesuatu yang baru atau ditingkatkan yang dihasilkan oleh perusahaan guna menciptakan nilai tambah yang signifikan baik secara langsung atau tidak langsung yang memberi manfaat kepada perusahaan dan atau pelanggannya”. Sementara itu, Livingstone et al (1998) melihat inovasi sebagai produk atau proses baru yang dimaksudkan untuk meningkatkan value. Dari lingkup definisi inovasi di atas, setidaknya ada empat mekanisme yang memberi kontribusi bagi inovasi yang dilakukan secara terus menerus, yaitu kapabilitas, perilaku, ungkit (lever) dan contingencies (Gieski, 1999).

Dalam format ideal, inovasi memiliki kapasitas meningkatkan kinerja, menyelesaikan persoalan, menambah value, serta menciptakan competitive advantage bagi organisasi (Gloet & Terziovski, 2004). Inovasi secara umum dapat dijelaskan sebagai implementasi penemuan (discoveries) dan hasil rekayasa (inventions) serta proses yang menghasilkan luaran (outcome) baru, apakah berupa produk, sistem atau proses (William, 1999). Lebih jauh, inovasi menempati posisi sangat penting dalam organisasi (Davenport & Prusak, 1998). Stewart (1997) menyatakan, KM dan modal intelektual berperan besar sebagai sumber inovasi, oleh karena itu strategi bisnis perlu memberi perhatian utama pada ketiga aspek ini (KM, intellectual capital, inovasi).

Sumber daya manusia dapat dilihat sebagai pendongkrak (lever) stratejik dalam penciptaan competitive advantage melalui value dari knowledge, ketrampilan dan pelatihan (Becker dan Gerhart, 1996). Di pihak lain, competitive advantage juga membutuhkan infrastruktur TI yang kuat di dalam organisasi (Davenport & Prusak, 1998; Zand, 1997). Guna memahami inovasi dengan lebih baik, manajemen harus memastikan bahwa inovasi menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya perusahaan (Cottrill, 1998). Model KM yang didasarkan pada TI dan HRM merupakan instrumen yang dapat dipercaya dan valid bagi pengukuran dan memperkirakan hubungan antara praktek KM dengan kinerja inovasi. Selanjutnya, ada hubungan positif yang signifikan antara praktek KM yang didasarkan pada kombinasi TI/HRM dan kinerja inovasi, Dari dua pernyataan ini dapat disarnkan bahawa organisasi perlu berupaya membangun pendekatan KM yang integratif guna memaksimalkan kinerja inovasi dalam upaya mencapai competitive advantage.

Hal tersebut perlu dicermati, karena ada hubungan negatif yang cukup signifikan antara elemen-elemen TI (dari IT paradigm) yang fokus pada pengembangan teknologi (seperti e-commerce) dan kinerja inovasi. Hal ini dapat dijelaskan karena e-commerce masih pada tahap awal pertumbuhan, dan oleh karenanya rasa percaya diri pada e-commerce sebagai pendorong utama dalam peningkatan dan kelangsungan dari kinerja inovasi belum dianggap nyata oleh para manajer.


Hubungan Antara Inovasi, Teknologi Informasi dan Kinerja
Inovasi memiliki hubungan non-linear dengan kinerja perusahaan (inverted U-shape); dan Teknologi Informasi (TI) tidak memiliki pengaruh signifikan pada kinerja perusahaan. Namun demikian sesudah memertimbangkan interaksi antara inovasi dan TI, ada efek positif pada kinerja perusahaan (Cheng & Chun, 2005). Dari pernyataan di atas dapat ditarik pendapat bahwa lebih banyak investasi pada modal intelektual tidak selalu lebih baik. Perusahaan sebaiknya mengkoordinasikan perbedaan perspektif dari modal intelektual guna meningkatkan kinerja.

Menghadapi meningkatnya kompetisi global, tumbuh pemahaman bahwa inovasi merupakan kekuatan kritis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya, komunitas internasional, khususnya negara-negara yang relatif maju dalam sain dan teknologi, memberi nilai yang tinggi pada pengembangan sain dan teknologi. Dalam beberapa tahun terakhir pengembangan TI telah berubah sedemikian cepatnya, sehingga dikatakan investasi TI membentuk infrastruktur knowledge management di dalam organisasi (Stewart, 1997; Bontis, 2002; Banker, 2003; Youndt et al, 2004). Demikian juga investasi perangkat keras dan lunak telah menunjukkan pertumbuhan yang menakjubkan. Meski demikian, TI tidak dapat menciptakan sustainable competitive advantage bagi sebuah perusahaan karena TI dapat dengan mudah ditiru oleh pesaing. Lebih lanjut, munculnya open standard juga mendorong pelanggan dan pemasok mengubah ikatan kemitraan lebih mudah (Banker, 2003). Oleh karena itu, masih ada pendapat yang inkonsisten tentang apakah investasi TI dapat memberi manfaat substansial bagi perusahaan.

Kepemilikan pengetahuan, pengalaman yang telah diterapkan, teknologi yang dimiliki organisasi, hubungan dengan pelanggan dan ketrampilan profesional yang dapat memberikan kemampuan kompetisi di dalam pasar tertentu, merupakan definisi intellectual capital (Edvinson & Malon, 1997). Yang menjadi persoalan, tidak selalu intelectual capital dapat memberi keuntungan bagi perusahaan. Persoalan ini tidak hanya dihadapi oleh pelaku bisnis, namun juga menjadi pertanyaan di kalangan akademisi. Sebagian ahli berpendapat bahwa investasi intellectual capital secara nyata memberi kontribusi bagi diperolehnya profit (Bontis et al, 2000, 2002; Youndt, et al, 2004). Di pihak lain, beberapa ahli lain menyimpulkan bahwa intellectual capital tidak memiliki hubungan tetap positif dengan kinerja perusahaan (Huselid et al, 1997; Bharadwaj et al, 1999). Meski ada perbedaan pendapat tentang peran intellectual capital bagi kinerja perusahaan, sebagian besar sependapat tentang korelasi mutual di antara komponen intellectual capital.

Mengacu pada resource-based view (RBV), perusahaan merupakan kombinasi dari sumber daya dan kemampuan (Barney, 1991). Ketika sumber daya ini bersifat unik, memiliki nilai, jarang dimiliki oleh perusahaan lain, dan sulit untuk ditiru, penggunaan semuanya dengan cara yang tepat akan memberi kontribusi bagi sustainable competitive advantage. Ketika menghadapi lingkungan ekonomi yang diwarnai dengan persaingan sengit, perusahaan harus memiliki kemampuan dalam inovasi, kualitas, serta kecepatan dalam membangun daya saing. Oleh karena itu, memberi perhatian khusus pada sumber daya guna mengakumulasikan inovasi dan TI akan memiliki dampak positif bagi kinerja perusahaan. Studi menunjukkan investasi TI memiliki asosiasi positif yang signifikan terhadap nilai perusahaan (Bharadwaj et al, 1999; Abody & Lev, 2001).

Mengacu pada teori di atas, investasi inovasi dan TI yang lebih besar akan memberi lebih banyak kemudahan bagi tercapainya kinerja yang lebih baik. Namun demikian, pendapat ini tidak selalu didukung oleh fakta yang konsisten. Berdasarkan teori pertumbuhan, perusahaan akan selalu memiliki batasan untuk berkembang, salah satunya disebabkan oleh kemampuan manajemen (Penrose, 1959). Demikian pula teori kurva-S, dan investasi R&D yang relatif tinggi tidak serta merta dapat menghasilkan kinerja (Foster, 1986). Ketika aktivitas R&D mencapai titik tertentu, produktivitas R&D mulai menurun. Lebih jauh, ketika teknologi mencapai tingkat kedewasaan, investasi TI berada pada lapisan terbawah, dan resiko fluktuasi teknologi akan berkurang. Namun demikian hal ini juga akan menurunkan return yang sebelumnya berhasil dicapai oleh invetasi TI.

Meskipun investasi TI memiliki hubungan positif dengan kinerja perusahaan, besarannya telah mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir (Chang & Chun, 2005). Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Pertama, disebabkan oleh perubahan teknologi yang sangat cepat, investasi TI cenderung terdepresiasi dengan cepat pula. Selain itu, ketika perusahaan telah menjadi lebih canggih dengan memanfaatkan TI, tidak lama kemudian pesaing akan membuat duplikasi kemampuan TI yang sama atau bahkan lebih baik dari yang dimiliki perusahaan, sehingga periode keunggulan sebagai pelaku pertama menjadi lebih singkat.


Meraih Kinerja Unggul Melalui Strategi Yang Terintegrasi, Antara Inovasi Radikal Dan Peningkatan Yang Kontinyu
Inovasi merupakan proses yang kompleks, meski dapat diindentifikasi dengan mudah sebagai faktor kritikal bagi sukses organisasi namun tidak selalu mudah untuk mengelolanya (Terziovski, 2002). Sejalan dengan meningkatnya intensitas kompetisi internasional dan siklus produk yang semakin singkat, tekanan bagi dilakukannya inovasi menjadi semakin kuat. Strategi peningkatan yang dilakukan secara kontinyu dari bawah ke atas (bottom up) merupakan strategi yang dianjurkan guna meningkatkan kepuasan pelanggan dan produktivitas dalam perusahaan manufaktur. Di pihak lain, strategi dengan pendekatan top-down dianggap tepat guna meningkatkan daya-saing-relatif teknologi. Strategi yang terintegrasi memiliki pengaruh yang paling kecil pada kinerja unggul. Pada tataran praktis, strategi peningkatan secara incremental yang dilakukan kontinyu merupakan pendorong utama di belakang berbagai upaya peningkatan kinerja, dan inovasi radikal sebaiknya digunakan untuk jump-start produk-produk kritikal, layanan dan proses.
Implikasi
Interaksi Strategi Inovasi dan Sistem Informasi Strategik akan memberi manfaat bagi sustainable competitive advantage ketika keduanya dikelola dalam satu kombinasi strategi yang saling menunjang. Penelitian mengenai interaksi keduanya dan pengaruhnya terhadap sustainable competitive advantage perusahaan khususnya perusahaan di Indonesia diperkirakan akan memberi kontribusi bagi perkembangan bisnis khususnya dan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang strategic management. Kontribusi ini perlu mengingat pada saat ini inovasi masih merupakan barang langka di Indonesia, sementara pemanfaatan Teknologi Informasi yang dikoordinasikan dalam Sistem Informasi Strategik sudah cukup luas di kalangan bisnis. Sebagaimana diketengahkan oleh Roger, McCarty, Sollow, maupun Christensen inovasi selain menawarkan manfaat juga mengandung potensi yang dapat menghancurkan perusahaan. Memahami bagaimana mengelola inovasi menjadi suatu tantangan bagi manajer Indonesia. Tantangan yang lebih besar lagi bagi kalangan akademisi adalah menawarkan teori unggul tentang inovasi dan kaitannya dengan bagaimana inovasi tersebut dapat meningkatkan kinerja dan daya saing, sementara potensi negatifnya dapat diantisipasi dan dieliminasi sedini mungkin.

Demikian halnya dengan Sistem Informasi Strategik, investasi yang selalu meningkat dari tahun ke tahun membutuhkan pertanggung – jawaban mengenai bagaimana investasi tersebut memberikan hasil. Pendekatan klasik kalangan praktisi Teknologi Informasi yang mengetengahkan manfaat Teknologi Informasi dari sekedar lebih cepat, lebih baik dan lebih murah (faster, better and cheaper) perlu dikoreksi. Sistem Informasi Strategik yang selaras dengan Strategi Bisnis perlu dikembangkan. Teori mengenai hal ini sudah banyak dihasilkan, namun demikian peluang menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang ini masih terbuka, terutama ketika Teknologi Informasi dikaitkan dengan inovasi. Hal ini mengingat penelitian terdahulu pada umumnya hanya menggunakan salah satu aspek saja untuk melihat pengaruhnya terhadap kinerja.






Referensi

Text Books:
Abend, C.J., 2005, In Search of Innovation Synthesis, Ideas for a Unified Innovation Theory, Technology Transfer Society.
Applegate L. M|Austin R.D. |McFarlan W. F., 2003, Corporate Information Strategy and Management, McGraw Hill
Callon J.D, 1996, Competitive Advantage Through Information Technology, McGraw Hill
Christensen C.M, 2005, The Innovator’s Dilemma, Collins Business Essentials
Christensen C.M., Raynor M.E., 2003, The Innovator’s Solution, Creating And SustainingSuccessful Growth, Harvard Business School Publishing Corporations
Christensen C.M.| Overdroft M., 2001, Meeting the Challenge of Disruptive Change dalam Harvard Business Review on Innovation
Davenport T.H., 1999, Putting The Enterprise Into The Enterprise System, dalam Harvard Business Review on The Business Value of IT.
Davila | Epstein | Shelton, 2006, Making Innovation Work, How to Manage it, Measure it, and Profit from it, Wharton School Publishing
Davis J.|Miller G.|Russell A., 2006, Information Revolution, Using The Information Evolution Model to Grow Your Business, John Wiley & Son.
Drucker P. F., 1993, Innovation and Entrepreneurship, Harper & Row Publisher
Franklin C., 2003, Why Innovation Fails, Spiro Press
Galliers R.|Dorothy L., 2003, Strategic Information Management, Challenges and Strategies in Managing Information Systems, Butterworth & Heinemann
Govindarajan V.| Trimble C., 2005, 10 Rules for Strategic Innovators, From Idea to Execution, Harvard Business School Press
Harrison N.|Samson D., 2002, Technology Management, Text and International Cases, McGraw Hill
Indrajit, R.E. 2003, Manajemen Sistem Informasi dan Teknologi Informasi. Renaissance.
Jones G. R. 2004, Organizational Theory, Design, and Change, Prentice Hall.
Khalil T., 2000, Management of Technology, The Key to Competitiveness and Wealth Creation, McGraw Hill
Laudon & Laudon, 2004, Management Information Systems
Light P. 1998, Sustaining Innovation: Creating nonprofit and Government Organizations That Innovate Naturally, Jossey-Bass Publishers
Lucas H.C, Jr., 1999, Information Technology and the Productivity Paradox, Assessing the Value of Investing in IT, Oxford Univerisity Press.
McCarty M.H., 2001, The Nobel Laureates, McGraw Hill
Ward, John & Joe Peppard, 2002, Strategic Planning for Information Systems
Wheelen, Thomas L. & J. David Hunger, 2004, Strategic Management & Business Policy

Jurnal Strategic Information Systems:
Cao, Q | Schniederjans, M.J., Empirical study of the relationship between operations strategy and information system strategic orientation in an e-commerce environment, International Journal of Production Research, Volume 42, No. 15, August 2004, 2915-2939.
Chan, Joseph O, Enterprise Information Systems Strategy and Planning, Journal of American Academy of Business, Cambridge, Volume 6, Numner 2, March, 2005
Cunningham, Nigel, Risc and Reward? A Model For The Role of Information Systems in Strategic Change Within Healthcare Organizations, Organization Development Journal, Volume 19, Number 1, 2001, 93-108.
Daft, Richard L | Lengel, Robert H, Organizational Information Requirement, Media Richness and Structural Design, Management Science, Vol. 32, No. 5, Organization Design (May, 1986, 554-571.
Kotter, John P, Why Transformation Efforts Fail, Harvard Business Review, April 1995.
Macdonald, Stuart | Anderson, Pat | Kimbel, Dieter, Measurement or Management?: Revisiting the Productivity Paradox of Information Technology, Vierteljahrshefte zur Wirtschaftsforschung 69, Jahrgang, Hect 4/200. S. 601-617.
Scarbrough, Harry, Making The Matrix Matter: Strategic Information Systems in Financial Services, Journal of Management Studies, Volume 34, Number 2, March 1997.
Strassmann, Paul, Foundations of Information Economics – Part III, Information Economics Journal, September 2004.


Journal Innovation Strategy:
Cheng Jen Huang | Chun Ju Liu, Exploration for the relationship between innovation, IT and performance, Journal of Intellectual Capital: 2005; 6, 2.
Eibel-Spanyi, Katalin, Innovation in a Re-emerging Economy: Leasons from the Hungarian Experience, The Innovation Journal: The Public Sector Innovation Journal, Volume 11, Number 2, 2004.
Girardi, Antonia | Soutar, Geoffrey N | Ward, Steven, The Validation of a Use Innovativeness Scale, European Journal of Innovation Management, Volume 8, Number 4, 2005.
Gloet, Marianne | Tersziovski, Mile, Exploring the relationship between knowledge management practices and inovation performance, Journal of ManufacturingTechnology Management, Volume 15, Number 5, 2004, 402-409.
Kodama, Mitsuru, Tehnological Innovation Through Networked Strategic Communities: A Case Study on a High-Tech Company in Japan, SAM Advanced Management Journal, Winter 2005; 70, 1.
Leiponen, Aija, Organization of Knowledge and Innovation: The Case of Finnish Business Service, Journal of Industry and Innovation, June 2005; 12,2.
Pijpers, Guus G.M. | Monfort, van Kees, An Investigation of Factors that Influence Senior Executives to Accept Innovations in Information Technology, International Journal of Management, March 2006, 23, 1.
Berawi, M.A., Quality Revolution: Leading the Innovation and Competitive Advantages, The International Journal of Quality and Relaibility Management, 2004; 21, 4.
Terziovski, Mile, Achieveing Performance Excellence Through an Integrated Strategy of Radical Innovation and Continuous Improvement, Measuring Business Excellence, 2002; 6, 2.
Paap, Jay | Katz, Ralph, Predicting the Unpredictable, Anticipating Disruptive Innovation, Research Technology Management, Sep/Oct 2004; 47, 5.
Hannah, David R., Who Owns Ideas? An Investigation of Employees’Beliefs about the Legal Ownership of Ideas, Creativity and Innovation Management, Volume 13, Number 4, December 2004.
Greenhalgh, Trisha | Robert, Glenn | Macfarlane, Fraser | Bate, Paul | Kyriakidou, Olivia, Diffusion of Innovation in Service Organizations: Systematic Review and Recommendations, The Milbank Quarterly, Volume 82, Number 4, 2004, pp 581-629.

1 comment:

  1. terima kasih maswig, ini sangat bermanfaat bagi kami
    salam hangat, Agus Salim

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.