1. Pengantar
Menentukan arah sama dengan menentukan tujuan atau destinasi, ke mana langkah akan menuju. Dalam kontek perjalanan, destinasi-pun ada yang bersifat sementara, sebagai sebuah transit sebelum bergerak menuju destinasi – destinasi berikutnya; dan ada pula yang bersifat terminal atau tujuan akhir. Kesalahan menentukan arah dapat berakibat tidak tercapainya destinasi atau sasaran.
Terkait judul di atas, yang menjadi destinasi adalah pemenuhah kebutuhan dan harapan pelanggan. Adapun era konvergensi menggambarkan kontek perjalanan mencapai destinasi. Manusia sebagai subjek pelanggan senantiasa berubah, baik dalam hal kebutuhan maupun kesadaran terhadap perubahan lingkungan. Dengan demikian, kebutuhan pelanggan-pun senantiasa berubah, sejalan dengan perubahan karakter manusia atau kumpulan individu.
Perubahan yang senantiasa terjadi, dalam beberapa hal membuat sulit bagi para perencana kebijakan. Menyikapi hal ini, biasanya dibuat rentang waktu sebagai batasan dalam merespons perubahan. Kajian kebijakan difokuskan pada periode tertentu sesuai dengan konteks. Dalam hal ini, konteks yang dibahas adalah sebuah era yang disebut konvergensi. Konvergensi diartikan sebagai menyatunya layanan Teknologi Informasi (TI) dan Komunikasi, yang ketika beroperasi sendiri daya manfaatnya terbatas, namun ketika terintegrasi ke dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menghasilkan kekuatan layanan yang hampir tiada batas. Batasnya hanyalah daya inovasi dan kreatifitas manusia pencipta dan penggunanya.
Untuk mengetahui apa yang sedang dan memperkirakan apa yang akan terjadi biasanya dilakukan penelitian. Menentukan arah penelitian berarti kita sedang melihat kembali posisi saat ini dan memandang ke depan, posisi destinasi yang diharapkan. Sebagaimana diuraikan di atas, posisi destinasi tentu bukan yang paling akhir, karena senantiasa perubahan terus terjadi. Untuk memudahkan pembahasan, maka batasannya adalah sebuah konsep yang disebut era konvergensi, yang apabila dikonversikan ke dalam tahapan waktu, konvergensi yang akan menjadi acuan adalah konvergensi tahap atau generasi kedua (Convergensi 2.0) merujuk pada kondisi konvergensi yang diperkirakan akan terjadi menyusul telah berhasilnya integrasi antara Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagaimana dapat terlihat pada saat ini.
Interaksi antara arah, destinasi dan konteks menawarkan tantangan bagi para peneliti, akademisi dan pembuat kebijakan untuk memerkirakan apa yang bakal terjadi. Kualitas proyeksi ditentukan oleh akurasi, semakin akurat sebuah perkiraan semakin berkualitas. Untuk meningkatkan kualitas proyeksi, biasanya dilakukan penelitian. Penelitian pada umumnya bermula dari permasalahan yang ingin dipecahkan. Permasalahan senantiasa muncul karena keterbatasan kemampuan sumber daya pada suatu lingkungan masyarakat atau bidang tertentu.
Persoalan muncul manakala harapan tidak sama dengan kenyataan yang mampu diwujudkan, atau dalam kata lain perjalanan tidak sampai di destinasi. Persoalannya, apakah masalah akan dibiarkan sebagai masalah, atau dicarikan jalan keluar. Banyak cara dalam mencari solusi terhadap masalah. Ada yang praktikal, ada pula yang dilakukan menggunakan pendekatan akademik. Penelitian pada umumnya mengacu pada pendekatan akademik dalam mencari solusi.
Perkembangan TIK yang bermuara pada konvergensi layanan komunikasi dan informasi memberi inspirasi bagi akademisi dan peneliti untuk melakukan riset di sekitar pemanfaatan TIK dan implikasinya bagi masyarakat. Tidak diragukan lagi, pengembangan dalam area TIK merupakan pendorong utama munculnya Ekonomi Digital. Mengingat luasnya pemanfaatan TIK, hampir tidak ada sektor yang tidak dapat memanfaatkan TIK, dapat dikatakan hampir tidak ada batas topik penelitian tentang pemanfaatan TIK
2. Ekonomi Digital
Konvergensi diperkirakan akan mengubah tata ekonomi, dari posisi saat ini menjadi ekonomi digital (ED). ED mengacu pada transaksi dan komoditas ekonomi yang akan didominasi oleh mekanisme transaksi dan produk digital. Transaksi dan komoditas pada dasarnya adalah informasi yang memiliki nilai dan manfaat ekonomi. Dalam perkembangan selanjutnya, ED berpengaruh pada struktur kreasi nilai (value creation structures) yang memicu adanya perantara baru (new intermediaries) dan bentuk baru jejaring ekonomi; proses penciptaan nilai antar-organisasi (inter-organizational value creation processes) dimana pelanggan menjadi bagian integral dari proses penciptaan nilai; produk informasi (information intensive products) yang dapat dipisah dan ditata-ulang secara fleksibel dan kastemisasi massal sesuai dengan kebutuhan pelanggan; dan infrastruktur ekonomi baru guna mendukung layanan pasar seperti penjamin transaksi, sarana pembayaran secara elektronik, layanan logistik produk digital, serta infrastruktur fisik seperti jejaring pita lebar (broadband) yang memungkinkan pelanggan berinteraksi dengan perusahaan dan sesama konsumen di mana saja, setiap saat.
Dalam konteks konvensional informasi dihasilkan menggunakan media kertas atau media sejenis lainnya, didistribusikan secara fisik, menggunakan sarana transportasi hingga sampai tujuan dalam kurun waktu yang relatif lama. Perkembangan berikutnya, sebagian informasi sudah dapat dikodifikasi dalam format elektronik analog, didistribusikan melalui saluran telekomunikasi kecepatan rendah, dan diterima oleh tujuan dalam format yang sama. Pada tahap ini kualitas informasi yang diterima seringkali tidak sama dengan informasi yang dikirim.
Teknologi digital mengubah kelambanan dan memperbaiki kualitas. Semua bentuk informasi pada dasarnya bisa dikonversi ke dalam format digital tanpa mengubah isi dan substansi. Suara, gambar, data, grafik, teks yang secara sendiri maupun bersama membentuk informasi dapat diolah, disimpan dan ditransmisikan dalam format digital.
Implikasi ED besar sekali. Teknologi mengubah perilaku manusia. Tidak hanya itu, teknologi dalam beberapa hal juga mengubah tatanan sosial, politik, hukum dan budaya sebagai kumpulan perilaku manusia. Dalam dunia bisnis, selama dua dekade terakhir ini, telah terbukti TIK mengubah pola dan tata kerja organisasi bisnis. Efesiensi dan efektifitas yang senantiasa menjadi credo organisasi bisnis seperti mendapat moment dalam mendorong kinerja perusahaan. Banyak sekali perubahan yang terjadi dan dapat dirasakan setelah perusahaan memanfaatkan TIK.
Sebagai contoh, di dunia media massa cetak. Periodesasi yang menjadi ciri media cetak menjadi tidak ada lagi, setiap saat informasi dapat diterbitkan, tidak perlu menunggu deadline hari, minggu, bulan. Setiap saat adalah deadline. Selain hilangnya periodesasi, distribusi fisik menjadi berkurang. Saat sebuah informasi dipublikasikan, sejurus kemudian semua orang yang tersambung ke Internet memiliki peluang yang sama untuk memperoleh informasi tersebut. Demikian pula dengan tata kelola operasional, juru warta tidak harus kembali ke desk masing-masing di kantor, karena mereka dapat membuat laporan dari mana mereka berada sepanjang terhubung ke jaringan Internet. Banyak lagi contoh perubahan aktivitas ekonomi menyusul konvergensi TIK salah satunya dalam wujud Internet.
3. Kebutuhan dan Preferensi Pelanggan
Mari kita posisikan diri sebagai pelanggan. Apa yang kita butuhkan sebagai pelanggan suatu produk dan atau jasa. Pertama tentu saja harga, berapa harga layanan yang mampu kita beli, atau dari perspektif perusahaan, berapa harga yang akan diterapkan untuk suatu jenis layanan sedemikian rupa sehingga pasar mampu menerimanya. Kedua, berapa kuantitas yang mampu dibeli oleh masyarakat, baik secara individu maupun kolektif. Pertanyaan ini merefleksikan kekuatan sisi permintaan dan sekaligus kemampuan perusahaan dalam menyediakan layanan. Ketiga, bagaimana kualitas produk dan layanannya. Ketiga hal ini saya sebut sebagai Segitiga Kebutuhan Pelanggan (SKP).
Kemampuan membeli ditentukan oleh beberapa faktor, salah satunya pendapatan (income). Semakin tinggi pendapatan semakin besar kesempatan yang dimiliki untuk belanja apa saja yang diinginkan termasuk layanan TIK. Namun demikian, kebutuhan atau keinginan membeli tidak selalu dipengaruhi oleh besar kecilnya pendapatan. Latar belakang pendidikan, pekerjaan atau strata sosial dapat pula mempengaruhi preferensi dalam membeli sesuatu.
Sejalan dengan kompetisi, dan guna meningkatkan kualitas kompetisi, perlu diketahui preferensi pengguna dan pelanggan TIK. Preferensi diartikan sebagai mengapa pembeli lebih suka memilih produk A dari pada B atau lainnya. Yang menarik dari preferensi adalah bahwa pembeli seringkali tidak memedulikan harga dalam keputusan pembelian, tetapi tetap dihadapkan pada keterbatasan anggaran (budget constraints). Artinya, mereka memiliki pendapatan yang terbatas yang tidak memungkinkan untuk membeli semua keinginan. Dengan demikian pembeli mesti memilih kombinasi produk dan atau jasa yang menurutnya terbaik dan tepat sesuai dengan keinginan dan kemampuan.
4. Arah dan Peluang Penelitian
Topik – topik penelitian yang berpotensi mampu meningkatkan nilai (value) produk dan jasa TIK dalam hubungannya dengan pengguna atau pelanggan, terkait dengan semakin menyebarnya penggunaan TIK, boleh dikatakan hampir tidak terbatas banyaknya. Untuk memudahkan pembahasan, topik-topik tersebut dapat dikelompokkan ke dalam isu yang terkait dengan layanan, implikasi ekonomi, perubahan perilaku konsumen, pengaruh regulasi, daya saing dan pasar kompetitif, faktor penghambat non-ekonomi, isu gender, teknologi dan perlindungan konsumen.
a. Profil permintaan terhadap layanan TIK
Penelitian untuk mengetahui profil permintaan terhadap layanan TIK barangkali belum pernah dilakukan. Studi ini berangkat dari pertanyaan berapa besar dan di mana saja potensi bisnis informasi berada? Walaupun semua orang berhak untuk mendapatkan akses informasi, namun tidak semua orang mampu membeli layanan informasi. Hal ini mengingat tiga hal: informasi sudah menjadi komoditas, tidak semua orang mampu membeli informasi, dan kalaupun mampu (membeli) bisa jadi tidak butuh atau kebutuhan terhadap informasi (yang harus dibeli) kecil-kecil saja.
Selain yang terkait dengan kondisi calon konsumen, penelitian tentang profil permintaan terhadap layanan TIK ini juga dapat dikaitkan dengan semakin banyaknya jenis layanan TIK, menyusul meningkatnya kompetisi dan dorongan inovasi. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengungkap mengapa permintaan terhadap suatu jenis layanan TIK lebih tinggi dari pada permintaan terhadap jenis layanan TIK lainnya. Detil atau rincian dari profil permintaan dapat diturunkan pada tingkat provinsi, kabupaten/kota atau wilayah tertentu. Dengan adanya profil semacam ini, penyediaan jasa TIK akan mendekati efisien karena apa yang dibangun sesuai dengan yang diminta. Selain itu hasil penelitian ini dapat digunakan dalam perencanaan pembangunan maupun perencanaan bisnis.
b. Kesiapan masyarakat desa dalam menerima dan memanfaatkan teknologi
Bagi masyarakat yang tingal di kota – kota besar tidaklah sulit untuk mengetahui kemajuan berbagai produk dan jasa TIK. Tidak demikian halnya bagi mereka yang tinggal di wilayah rural, perdesaan, daerah tepencil atau perbatasan. Meskipun jangkauan layanan TIK seperti radio, televisi, telepon selular pada umumnya sudah masuk ke desa-desa, namun keterbatasan media tersebut dan keterbatasan kemampuan masyarakat desa dalam merespon informasi menjadikan lalu – lalang informasi yang bergerak melalui media penyiaran dan telepon hanya searah, sehingga kurang efektif dalam pertukaran informasi. Ke depan, dalam era demokrasi dan kemajuan teknologi informasi, arus informasi akan multi arah. Informasi bergerak dari mana saja ke siapa saja di mana saja, kapan saja. Internet memfasilitasi hal ini. Untuk itu pemerintah telah mencanangkan program Desa Pintar, menyediakan akses Internet di desa-desa. Permasalahannya, seberapa siap masyarakat desa akan dan mampu memanfaatkan internet? Jika mampu, kelak untuk apa? Apakah bersifat konsumtif atau produktif? Bagaimana sosialisasi dan edukasinya agar pemanfaatan Internet oleh masyarakat desa efektif dan efisien?
Pemerintah pusat dituntut tidak hanya menyiapkan sarananya saja, namun juga prasarana serta pemeliharaan, sehingga masyarakat desa tidak terjerumus ke dalam ekses negatif dari adanya Internet. Penelitian tentang bagaimana kesiapan masyarakat desa dalam menerima dan memanfaatkan teknologi perlu dipikirkan. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan, apa yang harus disiapkan ketika subisidi penggunaan Internet ditarik. Berapa besar sebaiknya subsidi diberikan? Kapan dan dalam kondisi apa sebaiknya subsidi ditarik dengan memerhatikan kelangsungan penggunaan oleh masyarakat setempat.
Terkait masalah sosial ekonomi di perdesaan, penelitian tentang perubahan preferensi masyarakat perdesaan setelah disediakannya akses informasi, juga perlu dipertimbangkan untuk diselenggarakan. Adakah perubahan, seperti misalnya kemudahan dalam bercocok tanam, gotong royong sebagai karakter kuat di masyarakat perdesaan, atau malah banyak yang beralih profesi dari yang semula petani menjadi pedagang atau malah adanya Internet ikut memacu arus urbanisasi. Banyaknya informasi di satu sisi akan membantu petani dalam meningkatkan taraf hidup, namun di sisi lain dapat pula menimbukan kebingungan. Untuk itu perlu penelitian menyusul penyediaan akses informasi dalam program USO atau desa pintar, apakah diperlukan pendampingan kepada masyarakat desa.
c. Perilaku penyedia jasa dalam menyusun produk dan harga
Penelitian tentang biaya produksi yang paling efisien dalam penyediaan layanan TIK juga merupakan salah satu hal penting terkait dengan konvergensi. Sebagaimana kita tahu, biaya produksi akan mempengaruhi harga yang harus dibayar oleh konsumen. Dari perspektif konsumen, semakin tinggi harga semakin mengurangi daya beli; dan semain rendah daya beli semakin rendah pula potensi pendapatan bagi para penyedia layanan TIK. Rendahnya tingkat pendapatan akan melemahkan kemampuan dalam pelayanan maupun investasi selanjutnya. Arah sebaliknya, jika harga terlalu murah, dalam jangka pendek konsumen senang, namun perusahaan akan gulung tikar dan akhirnya konsumen kehilangan jasa yang sudah sekian lama dinikmati. Artinya, perlu ditentukan harga yang pas dan seimbang. Persoalannya, dalam layanan TIK, produknya beragam dan setiap produk menggunakan sumber daya yang sama. Selain itu proses penghitungan biaya produksi senantiasa tidak transparan. Dalam banyak kasus, konsumen dirugikan dari kebijakan harga yang ditetapkan oleh penyedia jasa.
Penelitian untuk mengetahui perilaku perusahaan penyedia jasa dalam menyusun produk dan harga poduk perlu dilakukan. Dengan penelitian ini diharapkan dapat disusun formula umum sebagai acuan dalam menyusun harga layanan TIK, dengan mempertimbangkan optimalisasi manfaat di kedua belah pihak dan mendorong terbentuknya pasar yang kompetitif.
Pengaruh TIK terhadap bisnis besar sekali. Bagaimana selama ini UKM TIK di Indonesia telah memanfaatkan TIK perlu diteliti guna mengetahui sejauh mana UKM Indonesia mampu mengekploitasi kemampuan TIK dalam mendukung aktivitas bisnis mereka. Memang topik UKM dan TIK sudah lama menjadi perhatian, tetapi bidang yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dan harapan pelanggan TIK oleh UKM yang bergerak di bidang TIK, seperti Warnet, penyedia jasa nilai tambah, penyedia jasa akses Internet, penyedia konten, belum banyak mendapat perhatian untuk diteliti.
d. Pengaruh regulasi terhadap kompetisi layanan TIK
Ada pertanyaan, benarkah Indonesia merupakan pasar yang kompetitif bagi penyediaan layanan TIK? Pertanyaan dijawab dengan pertanyaan lain “mengapa harus kompetitif? Apa hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan dan harapan pelanggan?” Permasalahan yang dihadapi konsumen - seperti keputusan untuk membeli produk dan atau jasa – dan yang dihadapi oleh penyedia jasa – seperti berapa banyak kapasitas yang harus disediakan, di mana saja dan kapan – secara bersama – sama akan mempengaruhi daya saing nasional. Pasar yang terlalu didominasi oleh penyedia (seller market) dalam jangka panjang akan menjadi tidak kompetitif karena menjurus ke praktek monopoli dan atau oligopoli. Di pihak lain, pasar yang didominasi pembeli (buyer market) akan kurang atraktif bagi pelaku bisnis, karena posisi tawarnya ditentukan oleh pembeli yang jumlahnya sedikit namun membeli dalam jumlah yang sangat besar hampir seluruh kapasitas produksi yang tersedia.
Pasar kompetitif yang sehat memberi peluang bagi semua pemain usaha untuk tumbuh dan berkembang. Pasar kompetitif pada gilirannya akan menawarkan produk terbaik kepada konsumen. Benefit akan dinikmati oleh kedua belah pihak, produsen dan konsumen. Persoalannya, pasar kompetitif tidak dengan sendirinya terbentuk, ia harus dibangun dan diatur, diawasi dan dibina. Beberapa penelitian terdahulu menyimpulkan Indonesia sudah memiliki syarat bagi terbentuknya pasar TIK yang kompetitif. Jumlah penyedia jasa sudah cukup banyak, entry dan exit relatif mudah, produk dan jasa sudah bervariasi, bahkan dalam beberapa hal sudah membentuk pasar dengan sifat monopolistic competition, konsumen dan calon konsumen juga besar sekali proporsional dengan populasi penduduk, wilayah geografis yang cukup luas dan tersebar dalam ribuan pulau. Dapat disimpulkan Indonesia merupakan pasar yang ideal bagi penyediaan produk dan jasa TIK.
Apakah sudah selesai? Tentu belum. Bagaimana posisi Indonesia jika dibandingkan dengan negara – negara tetangga atau setaraf lainnya? Indeks pembangunan TIK yang diterbitkan ITU atau PBB dapat digunakan sebagai acuan untuk melihat posisi Indonesia. Para ahli mengatakan pasar kompetitif akan terbentuk apabila para pelaku usaha memiliki daya saing. Ahli lain menambahkan, daya saing saja belum cukup, masih diperlukan keterlibatan Pemerintah dalam penyediaan fasilitasi kebijakan dan regulasi. Persoalan yang berawal pada tuntutan adanya pasar kompetitif berujung pada penelitian tentang kebijakan dan regulasi. Penelitian untuk mengetahui sejauh mana regulasi TIK di Indonesia berpengaruh terhadap kompetisi layanan TIK perlu dilakukan dalam era konvergensi generasi dua (Convergensi 2.0). Penelitian ini diharapkan dapat menjawab antara lain apakah regulator memiliki keberpihakan yang sama terhadap pelaku usaha dan konsumen, apakah regulasi yang ada sudah efektif dan efisien dalam menjawab tuntutan perubahan, baik yang disebabkan oleh perkembangan teknologi maupun perubahan preferensi konsumen.
e. Faktor penghambat non-ekonomi
Penelitian tentang faktor – faktor non-ekonomi yang dapat menghambat terpenuhinya kebutuhan dan harapan konsumen TIK, seperti hambatan birokrasi, politik, budaya, sosial, pendidikan, demografi, geografis, ketersediaan infrastruktur perlu mendapat perhatian. Kenyataannya pertimbangan ekonomi hanya salah satu faktor dari berbagai faktor yang diperlukan dalam pemenuhan kebutuhan konsumen akan layanan TIK.
Penelitian tentang pengaruh birokrasi terhadap penyediaan jasa TIK perlu dilakukan. Dalam tataran normatif birokrasi berfungsi memfasiltasi pelaku usaha dan masyarakat dalam kegiatan ekonomi dan sosial. Namun pada kenyataannya, masih terdapat birokrasi yang menghambat, baik karena aturan yang ada, maupun terkait dengan karakter kepentingan birokratnya sendiri. Kasus perobohan menara di kabupaten Badung dapat dijadikan contoh bagaimana birokrasi dapat menghambat penyelenggaraan TIK yang pada gilirannya menjadikan kebutuhan dan harapan pelanggan telekomunikasi tidak terpenuhi.
Belajar dari kasus – kasus serupa, ke depan dalam era Convergensi 2.0 hal serupa mestinya tidak boleh terjadi lagi di manapun di Indonesia. Kepastian hukum harus ditegakkan dan menjadi realita bukan hanya utopis saja. Penelitian tentang hambatan birokrasi menjadi penting guna memberikan gambaran apa sebenarnya penyebab hambatan birokrasi, bagaimana mengatasinya, serta bagaimana mencegah munculnya kembali hambatan birokrasi tersebut.
Politik dapat pula menjadi hambatan bagi terpenuhinya kebutuhan dan harapan konsumen TIK. Cakupan politik dimaksud di sini dibatasi pada aktivitas politik di parlemen. Dua tugas utama parlemen: membuat undang-undang dan mengawasi perencanaan dan penggunaan anggaran. Terkait dengan tugas membuat undang-undang, parlemen diharapkan memiliki keberpihakan terhadap kepentingan konsumen tarkait dengan pemanfaatan TIK. Keberpihakan ini dapat diwujudkan dalam kesediaan menyediakan undang-undang pemanfaatan TIK guna melengkapi undang-undang yang sudah ada, seperti misalnya Undang-Undang Konvergensi, atau mengamandemen UU yang ada karena sudah tidak sesuai dengan arus perubahan dan kepentingan umum. Permasalahannya, dalam banyak kasus parlemen seperti tidak memiliki kepedulian, atau kalaupun ada tidak dinyatakan dalam tindak dan keberpihakan tanpa pamrih.
Penelitian tentang hambatan politik dalam pemenuhan kebutuhan dan harapan pelanggan di era convergensi 2.0 akan menjawab permasalahan seperti tersebut di atas. Benarkah anggota parlemen tidak pro konsumen, atau lebih pro terdapat perusahaan penyedia jasa? berapa banyak anggota parlemen yang akrab dengan dan peduli terhadap TIK? Mengapa ada anggota parlemen yang mendukung sementara ada pula yang acuh tak acuh bahkan menolak untuk membahas isu – isu TIK? Manfaat dari penelitian ini akan sangat besar, terutama bagi suksesnya setiap upaya legislasi kebijakan TIK.
f. Isu gender
Perubahan demografi dan adanya pengarus-utamaan peran wanita dalam pembangunan merupakan destinasi penelitian yang dapat dikembangkan. Semakin banyaknya wanita yang bekerja, membuka peluang yang lebih besar dalam memanfaatkan TIK, sementara di pihak lain masih dituntut peran sebagai istri, orang tua dan ibu rumah, menjadikan topik gender menarik dan perlu dieksplorasi.
Penelitian tentang peluang wanita dalam memanfaatkan TIK dapat pula dikaitkan dengan permasalahan non-ekonomi yang dihadapi di berbagai wilayah Indonesia, seperti masih adanya kebiasaan membedakan perlakuan kepada anak perempuan dari pada anak laki; atau adanya kekhawatiran bahwa wanita relatif lebih rentan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan dari pemanfaatan Internet seperti penipuan, bujuk-rayu, pelecehan dan sebagainya. Di pihak lain, bukti empirik menunjukkan semakin banyaknya wanita yang menggeluti TIK meraih sukses.
Penelitian ini dapat pula dikaitkan dengan perilaku konsumen, apakah benar wanita lebih banyak belanja di Internet dari pada kaum pria? Jika benar, bagaimana mereka tertarik untuk belanja di Internet? Bagaimana mereka membuat keputusan? Seberapa banyak proporsi belanja di Internet dibandingkan belanja konvensional untuk produk yang sama? Berapa persen dari disposable income mereka yang dibelanjakan untuk jasa Internet? Dan masih banyak pertanyaan penelitian yang dapat dikembangkan. Manfaat dari penelitian ini tidak hanya bagi konsumen dan atau calon konsumen namun pula bagi perusahaan penyedia electronic commerce atau e-business.
g. Faktor teknologi
Sejalan dengan upaya berbagai pihak dalam merespon perubahan iklim, meningkatkan efiensi pemanfaatan energi, maka penelitian tentang penggunaan TIK yang hemat energi, perlu dijadikan destinasi dalam kegiatan penelitian di era Convergensi 2.0. Beberapa produsen perangkat TIK sudah menyatakan dirinya telah menerapkan konsep go green, dalam proses produksi telah menggunakan teknologi yang hemat energi, menggunakan energi alternatif dan atau terbarukan yang rendah kadar carbon dan rendah polusi terhadap lingkungan.
Bagaimana Indonesia khususnya sektor TIK menanggapi isu hemat energi, penggunaan energi terbarukan dalam layanan TIK perlu mendapat perhatian serius. Manfaatnya tidak hanya bagi perusahaan, namun juga bagi pelanggan. Sebagai contoh, pada saat ini ada sebuah operator selular yang sudah memanfaatkan bahan bakar hydrogen untuk menggerakkan generator pembangkit listrik yang dibutuhkan oleh Base Transceiver System (BTS). Demikian juga ada operator selular lainnya yang sedang melakukan uji coba penggunaan lapisan (coating) pada bangunan tempat menaruh perangkat BTS (shelter) untuk menurunkan konsumsi energi listrik. Lapisan tersebut dimaksudkan mengurangi pengaruh panas yang diakibatkan sinar matahari, dengan adanya coating konsumsi energi listri yang dibutuhkan pendingin udara menjadi berkurang. Upaya lain terkait dengan efisiensi energi juga sedang dilakukan oleh sebuah operator selular lainnya, yang sedang menguji penggunaan alat pendingin yang konon, dengan suatu teknologi pengaturan secar elektronik dapat menurunkan konsumsi listrik sampai separo dari sebelum menggunakan alat tersebut.
Selain teknologi yang dapat menghemat konsumsi energi, faktor teknologi yang layak menjadi bahan penelitian antara lain pengaruh implementasi broadband terhadap industri dan pelanggan. Sebagaimana diketahui, belum lama ini pemerintah berhasil menyelenggarakan tender Broadband Wireless Access (BWA) yang diperkirakan akan mengubah konstelasi pasar layanan Internet. Benarkah akan berubah? Berapa besar potensi perubahan? Siapa saja yang akan diuntungkan? Bagaimana konsumen dapat mengoptimalkan manfaat broadband, dan masih banyak lagi pertanyaan penelitian yang layak diajukan.
Selain BWA, sekarang sudah diperkenalkan teknologi baru seperti Long Term Evolution (LTE) yang di-claim sebagai telekomunikasi generasi empat (4G) untuk menggantikan 3G yang saat ini baru saja take-off, setelah mulai dipakai di Indonesia sejak 2006 lalu. Fokus dari penelitian terkait teknologi, barangkali bukan tentang teknologi itu sendiri, karena kita bukan pembuat teknologi, melainkan pada bagaimana pemanfaatannya dan regulasi apa yang diperlukan sehingga teknologi tersebut menjadi optimal. Dapat diterima dan terjangkau oleh konsumen. Sejarah mengajarkan bagaimana ketiadaan skenario transisi teknologi, ketika layanan radio panggil (pager) dihabisi oleh selular, ketika teknologi NMT dan AMPS harus ditingalkan dan beralih ke CDMA, ketika pita frekuensi harus dipindah ke lokasi yang baru karena akan digunakan untuk layanan lain. Di setiap transisi semacam ini, kecenderungannya konsumen selalu menjadi korban, kemudian pengusaha. Pemerintah tidak pernah mengambil posisi sebagai pihak yang menanggung akibat dari perubahan kebijakan maupun terkait dengan perubahan teknologi.
Benefit dari penelitian terkait pemanfaatan teknologi, dapat dilihat dari rendahnya biaya transisi baik yang harus ditanggung oleh penyedia jasa, maupun oleh konsumen. Bagi pemerintah, penelitian ini akan bermanfaat bagi penyiapan kebijakan dan regulasi sehingga mengurangi periode ketertinggalan sebagaimana selalu terjadi selama ini.
h. Perlindungan Konsumen
Undang – Undang Perlindungan Konsumen memastikan adanya perlindungan bagi konsumen. Di pihak lain, pelanggan TIK tergolong rentan terdapat kerugian yang diakibatkan oleh penggunaan layanan TIK, baik yang disebabkan oleh dirinya sendiri, penyedia jasa, atau pihak ketiga. Dalam era Convergensi 2.0 resiko munculnya kerugian diperkirakan semakin meningkat, terutama bagi mereka yang melakukan transaksi melalui Internet atau media elektronik lainnya. Walaupun perangkat perlindungan seperti institusi penjaminan (certification authority), sistem identifikasi pengguna atau pelaku transkasi telah semakin canggih, sistem keamanan jejaring telah di sempurnakan, namun celah senantiasa terbuka bagi mereka yang berniatjahat untuk merugikan pengguna TIK lainnya. Prasaranan hukum seperti undang – undang sudah ada, tetapi penegakkannya masih sering menimbulkan masalah baru, yang merugikan pengguna TIK. Bahkan statistik menunjukkan adanya peningkatan incident kejahatan dan pelanggaran di dunia maya.
Penelitian tentang bagaimana menyempurnakan upaya perlindungan terhadap penggunan TIK perlu secara serius dilakukan dan mendapat perhatian dari berbagai pihak. Dengan penelitian ini diharapkan dapat diungkap motivasi pelaku pelanggaran dan kejahatan TIK, alternatif penyempurnaan upaya perlindungan, serta tindakan yang diperlukan dalam mencegah terjadinya pelanggaran atau kejahatan yang merugikan konsumen TIK.
5. Kesimpulan
Ada banyak cara untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. Jika harapannya tidak beda dengan kondisi yang ada, maka pilihan tidak melakukan perubahan atau status quo, dapat menjadi opsi terbaik. Kondisi seperti itu, tidak ada perubahan, jarang sekali atau mungkin tidak ada. Artinya, selalu ada tuntutan perubahan dari pelanggan. Menyikapi tuntutan perubahan, pemerintah selaku fasilitator - bukan pelaku usaha dan bukan pula pelanggan – dan sekaligus pembuat kebijakan serta regulator perlu menyiapkan strategi perubahan, dengan asumsi kedua belah pihak, baik pelanggan maupun penyedia jasa membutuhkan fasilitasi pemerintah. Hal ini perlu ditekankan mengingat tidak semua yang disediakan oleh pemerintah dibutuhkan atau diperlukan oleh pelanggan dan atau penyedia jasa. Oleh karena itu, sebelum membuat kebijakan dan atau regulasi, perlu dilakukan penelitian agar kebijakan dan atau regulasi yang akan diterbitkan berdaya guna, efektif dan efisien ketika diimplementasikan.
Pertimbangan pertama dalam menyelenggarakan penelitian tentu saja melihat dari perspektif pelanggan, bukan dari perspektif pembuat aturan atau penyedia jasa. Dengan demikian topik – topik penelitian akan terfokus pada pemenuhan kebutuhan dan harapan pelanggan. Pertimbangan kedua menyangkut aspek perubahan konteks, yang sekarangdan ke depan akan ssangat dipengaruhi oleh teknologi digital dan konvergensi. Konvergensi bukan sesuatu yang baru saja terjadi, namun merupakan proses yang sudah sedang dan akan terus berlanjut. Memperhatikan terus berlanjutnya konveensi, maka dapat dikatakan konvergensi yang sedang dan dalam waktu dekat akan terjadi disebut sebagai Convergensi 2.0, untuk menandai tahap selanjutnya dari tahap yang bar saja dilewati. Pertimbangan ketiga, menyangkut preferensi dan kebutuhan pelanggan. Segitiga Kebutuhan Pelanggan (SKP) terdiri dari harga, kuantiti dan kualitas, merupakan tiga faktor yang digunakan pelanggan dalam memutuskan untuk membeli produk. Apabla digenapi pendapatan (income) SKP menjadi empat faktor yang mempengaruh perilaku pelanggan.
Menggunakan empat faktor tersebut sebagai konteks, dan dengan ilustrasi sebuah perjalanan, maka arah atau destinasi penelitian dapat diajukan dalam beberapa alternatif yang dapat berdiri sendiri atau saling melengkapi. Satu hal yang juga penting untuk disimpulkan di sini, bukan hanya kuantiti dan cakupan arah penelitian yang dapat diajukan, namun bagaimana destinasi penelitian tersebut bermanfaat bagi kepentingan negara, bukan hanya kepentingan pemerintah saja.***
Referensi
1. Pindyck & Rubenfield, 1998, 4th Ed; Microeconomics, Prentice Hall.
2. Muller & Zimmermaan, 2002; Beyond Mobile: Research Topics for upcoming Technologies in the Insurance Industry, IEEE.
3. Banker & Kauffman, 2004; The Evolution of Research on Information Systems: A Fiftieth-Year Survey of the Literature in Management Science, Management Science Journal.
4. Dong-Hee Shin, 2006; Convergence of telecommunications, media and information technology, and implications for regulation, Emerald Group Publishing.
Jakarta, 2 November 2009.
Bermanfaat Bagi Manusia Lain Tidak Harus Memberi Dalam Bentuk Barang, Tetapi Dapat Memberi Dalam Wujud Ilmu Pengetahuan Yang Berguna Positif. Bermanfaat Itu Memberi Apa Yang Dibutuhkan, Bukan Apa Yang Diinginkan. Semoga Kumpulan Tulisan Ini Dapat Memenuhi Mereka Yang Membutuhkan. Illahi Anta Maqsudi Wa Ridhoka Matlubi. Ya Allah, Semua Yang Saya Kerjakan Tiada Lain Hanya Untuk Mendapat RidhoMu.
Monday, September 20, 2010
China Dalam Perspektif Budaya Bisnis dan Etos Kerja
1. Pendahuluan
China dapat mengacu pada wilayah suatu negara, yang terletak di timur laut benua Asia, berbatasan dengan Mongolia dan Rusia di sebelah utara, dan beberapa negara (Vietnam, Laos, Nepal, Buthan, Myanmar, India, Buthan, Pakistan) di sebelah selatan, Korea dan Jepang di sebelah Timur, Phillipina di tenggara, serta Tadzikistan, Kirghiztan dan Kazakhztan di sebelah Barat; atau mengacu pada etnik yang kemudian dapat dikelompokkan lagi ke dalam suku – suku bangsa China yang dibedakan dari wilayah (di daratan China) mereka berasal.
Sebagai suatu negara, China memiliki sejarah panjang, dari beratus bahkan beribu tahun lalu. Negara China yang dikenal seperti sekarang ini dahulu kala merupakan kumpulan dari banyak kerajaan kecil, yang satu sama lain saling mempengaruhi melalui perang dan konflik. Peperangan berakhir dengan integrasi negara-negara kecil menjadi satu negara China.
Selama lima dekade, pasca perang dunia kedua, China merupakan negara dengan ekonomi tertutup, hal ini merupakan konsekuensi dari pilihan politik yang dianut oleh regim yang berkuasa. Perubahan terjadi ketika Deng Hsiao Ping, pemimpin China pada tahun 1978 membuka perekonomian dengan mengijinkan investasi asing masuk ke China.
Perkembangan selanjutnya selama dua dekade terakhir ini, China berhasil meraih pertumbuhan ekonomi dengan cepat dan reformasi kelembagaan secara drastis. Banyak argumen menyatakan bahwa etnik (warga negara) China cenderung menjadi individualistik, namun demikian ada bukti kuat yang menunjukkan masih adanya pengaruh budaya tradisional dalam setiap tindak individu, bisnis maupun pemerintahan.
Ditinjau dari perspektif budaya, fenomena yang terjadi di China moderen dapat disajikan dalam suatu titik fokus tertentu, yang diharapkan dapat memberikan pemahaman atas pertanyaan-pertanyaan dasar seperti apa, siapa, mengapa, kapan, dan bagaimana. Bidang perekonomian sebagai ujung tombak pembangunan negara melahirkan banyak elemen kebudayaan baik itu simbol-simbol, cara interaksi, distribusi konsep, jaringan bisnis, norma-etika bisnis, dan lain-lain. Ini semua yang kemudian dapat mengantarkan kita pada pemahaman terhadap keberhasilan bisnis Cina di era globalisasi.
2. Kekuatan Ekonomi Baru
Bergsten dkk, 2006 dalam China: The Balance Sheet, What the World Needs to Know About the Emerging Superpower, kebangkitan China sebagai kekuatan ekonomi dan politik global merupakan event transformatif, yang menuntut perhatian khusus bagi negara – negara maju lainnya, termasuk negara berkembang di wilayah Asia Pacific untuk memahami lebih jelas “tantangan China” yang datang menyusul keberhasilan ekonomi domestik China. Lebih jauh, China bagaimanapun sudah menjadi “ancaman” bagi kemapanan yang selama beberapa dekade menjadi milik negara maju di Amerika dan Eropa.
Perkembangan dan kemajuan ekonomi China bagaimanapun menimbulkan peluang dan sekaligus tantangan bahkan ancaman, yang jika dikelola dengan baik dapat memberi manfaat bagi China dan negara – negara lain, namun bila salah dalam memahami fenomena China, dapat membawa kerugian bagi negara – negara lain termasuk Indonesia.
Dari perspektif perdagangan internasional, China dikenal dengan sebutan walled world, suatu istilah yang mengacu pada negara dapat berdagang satu dengan lainnya dalam pasar global namun masih memelihara kendali terhadap masa depan ekonominya sendiri, sistem politik dan kebijakan luar negeri. Walled world merupakan tantangan ideologis terhadap filosofi dunia datar-nya (flat world) Amerika dan paham multilateralisme liberal-nya Eropa. Budaya China dianggap dapat berpeluang menjadi jalan ketiga (third path) yang akan menjadi alternatif bagi struktur kognitif dari governance global.
Model Pembangunan
Model pembangunan yang dilakukan China menawarkan kepada negara – negara sedang membangun suatu alternatif dari norma yang berlaku di Barat. Keberhasilan sistem pasar bebas yang bersifat authoritarian merupakan tantangan bagi keterhubungan tradisional antara pasar bebas dan keberhasilan demokrasi. Kerangka budaya China menekankan pada kedaulatan negara, suatu hal yang tidak lagi diperhatikan oleh negara – negara barat, dan hal ini dapat memulihkan rasa kebanggaan pada negara – negara sedang berkembang yang merasakan kedaulatan mereka tidak dihormati oleh negara – negara maju.
3. Kunci Sukses Bisnis
Ada 3 (tiga) yang dapat dirujuk sebagai kunci sukses bisnis China: Guanxi (jaringan bisnis); Ganqing, menghormati dan menjaga ikatan perasaan/hubungan batin yang dalam; serta Xinyong, jaringan antar-pribadi, berkaitan dengan reputasi.
Guanxi
Guanxi secara literal berarti relasi (relationships). Dalam dunia bisnis China, Guanxi juga diatribusi sebagai jaringan di antara berbagai pihak yang bekerja sama dan mendukung satu sama lain. Mentalitas pelaku bisnis China diibaratkan seperti “engkau garuk punggungku, aku garuk punggungmu”, yang maknanya kurang lebih saling tukar jasa, yang diharapkan dilakukan secara normal dan atas dasar keikhlasan. Guanxi merupakan konsep penting untuk memahami apakah seseorang dapat diterima secaar efektif dalam masyarakat China.
Di China, Guanxi berpengaruh besar terhadap sukses bisnis. Dengan menerapkan Guanxi secara benar, organisasi dapat meminimalkan resiko, frsutasi dan ketidak –nyamanan ketika melakukan bisnis. Dengan filosofi Guanxi, pengusaha berupaya menjalin hubungan dengan pejabat pemerintahan yang dimaksudkan untuk mendapatkan posisi bisnis yang lebih baik, meretas hambatan, memudahkan dalam segala urusan perizinan maupun operasional perusahaan yang ada hubungannya dengan pemerintah.
Meskipun membangun dan mempertahankan Guanxi di China sangat membutuhkan waktu dan sumber daya, namun semuanya itu merupakan investasi yang akan sepadan dengan hasil yang akan diperoleh. Apa yang didapat dari rekan bisnis, seringkali bernilai lebih besar dari pada materi dan waktu yang kita berikan, khususnya jika dilihat dalam perspektif jangka panjang, dan utamanya ketika kita sedang membutuhkan.
Pelaku bisnis di China menjalin jaringan bisnis dengan pemasok, pengecer, bank, pejabat pemerintah daerah, dan stakeholder lainnya, tidak hanya untuk sekedar basa-basi, namun suatu hubungan yang dilandasi oleh saling pengertian dan kesediaan untuk saling membantu. Memberikan hadiah kepada mitra bisnis menjadi hal lumrah di kalangan pelaku bisnis China.
Ganqing
Secara harafiah ganqing berarti perasaan (Toruan, 2009). Dalam budaya bisnis China konsep ganqing masih berhubungan dekat dengan guanxi. Ganqing merefleksikan suasana umum dari hubungan sosial dari dua orang atau dua badan yang saling berinteraksi. Seseorang dapat dikatakan memiliki ganqing yang baik jika hubungannya dengan orang lain tersebut baik, selain track-record hubungan yang baik di antara keduanya. Sedangkan ganqing yang mendalam adalah terdapatnya ikatan perasaan / hubungan batin yang dalam pada hubungan sosial itu sendiri.
Konsep ganqing juga dekat sekali maknanya dengan konsep ‘muka’ dalam budaya China. Konsep ‘muka’ dalam kebudayaan China mengacu kepada dua hal yang berbeda tapi saling berhubungan, yaitu mianzi 面子 dan lianzi 脸子. Lian adalah kepercayaan masyarakat dalam karakter moral seseorang. Sedangkan mianzi merepresentasikan persepsi sosial terhadap prestise seseorang. Konsep menjaga muka sangat penting halnya dalam hubungan sosial masyarakat China karena muka mewakili kekuasaan dan pengaruh. Kehilangan lian berakibat pada hilangnya kepercayaan sosial terhadap seseorang. Dan kehilangan mianzi berakibat pada kehilangan wibawa dan wewenang seseorang. Contoh gampangnya, gosip tentang seseorang yang mencuri dari kas toko; Ia akan kehilangan lian bukan mianzi. Pada kejadian lainnya, memotong pembicaraan bos/atasan seseorang menyebabkannya kehilangan mianzi bukan lian.
Orang China berusaha sebisa mungkin menghindari suatu konflik dalam melanggengkan hubungan dengan sesamanya. Ketika mereka menghindari konflik biasanya orang China akan berusaha untuk tidak menyebabkan seseorang kehilangan mianzi-nya, yaitu dengan tidak memunculkan kenyataan-kenyataan yang memalukan ke hadapan publik. Sebaliknya, ketika mereka ingin menantang suatu wewenang atau orang lain dalam suatu komunitas tertentu, orang China akan berusaha menyebabkan orang tersebut kehilangan lian atau mianzi.
Xinyong
Xinyong dalam budaya bisnis China bermakna sebagai sebuah jaringan antar pribadi. Bagi orang China kepercayaan antar pribadi merupakan hal yang terpenting. Para pengusaha China biasanya hanya berhubungan komersial dengan orang yang sudah mereka kenal. Oleh karena itu, reputasi seseorang penting artinya bagi transaksi bisnis. Dahulu, para pebisnis China secara pribadi akan berhubungan langsung dengan rekan-rekan bisnisnya, karena hal ini akan meningkatkan kemutlakan peran pemilik di samping tetap menjaga reputasinya sebagai pemilik perusahaan. Fenomena serupa terjadi hingga kini di perusahaan-perusahaan milik etnis China di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan lain-lain. Sebaliknya, fenomena di China Daratan menunjukkan bahwa kehadiran seorang pemimpin perusahaan dalam sebuah pertemuan bisnis tidak selalu signifikan, karena keputusan final tetap dipegang oleh komune/dewan eksekutif yang belum tentu hadir di pertemuan tersebut, yang bisa saja mengakibatkan suatu pertemuan bisnis dengan tema yang sama dapat terjadi berkali-kali dan mungkin sangat alot bagi pihak asing yang masuk ke dalam lingkaran mereka.
Xinyong dapat tertuang dalam kontrak verbal di suatu transaksi bisnis. Penandatanganan kontrak kadang-kadang tidak diperlukan, biasanya hanya diperlukan dengan badan-badan pemerintah. Persetujuan verbal dianggap sudah cukup. Jika pihak I mengatakan akan melakukan sesuatu maka dia tidak akan ingkar. Bagi mereka ingkar adalah perbuatan yang dapat mencoreng mianzi. Jika tersebar reputasinya akan jatuh dan tidak akan ada lagi yang bersedia bisnis dengannya lagi (atau kehilangan lian).
4. Sumber Kekuatan
Sumber kekuatan China terletak pada perilaku masyarakatnya. Untuk memahami perilaku masyarakat China, sebaiknya melakukan eksaminasi keterkaitan antara gerakan sosial kontemporer dengan kepercayaan dan tata nilai tradisional. Keberhasilan materi mulai mempengaruhi perilaku ekonomi, namun secara umum perilaku sosial masyarakat China masih mengacu pada kepercayan dan tata nilai tradisional.
Dengan norma sosial dan karakteristik kelembagaan di China yang masih bertahan hingga saat ini, keberhasilan materi menjadi suatu hal yang diutamakan. Di lain pihak, banyak orang China yang memiliki sifat kewira-usahaan, rajin dan tekun, fokus pada sasaran mereka, lebih banyak dimotivasi oleh keinginan meraih perubahan taraf hidup, dan dalam beberapa kasus mendorong terjadinya korupsi.
Budaya China Tradisional
Budaya China tradisional banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai Konfusianisme. Dalam ajaran Konfusian, masyarakat dibentuk dalam hirarki berdasarkan profesi dan atau peran mereka di dalam masyarakat. Paling atas adalah para intelektual, pemuka masyarakat dan mereka yang bekerja sebagai pejabat pemerintah. Kemudian lapisan di bawahnya adalah kaum atau golongan petani yang menghasilkan bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan semua penduduk. Di bawah kaum petani adalah perajin, tukang kayu, tukan batu, dan profesi semacam itu. Kaum perajin menempati posisi ketiga karena dianggap karya mereka tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan dasar manusia. Pada hirarki terbawah berkumpul pedagang, pemain teater, dan tentara.
Memperhatikan hirarki masyarakat China tradisional, tampak nyata betapa struktur masyarakat China dibangun berdasar satu organisasi sosial yang otokratis, hierarkis, dan tidak demokratis. Kemakmuran bersama dicapai dari hasil-hasil pertanian. Kestabilan suatu negara dapat dijamin dengan hierarki yang jelas. Dengan kata lain, yang lebih rendah taat kepada yang lebih tinggi, dan yang lebih tinggi menunjukkan kemurahan hati sebagai balasan terhadap kesetiaan tersebut.
Diaspora
Salah satu ciri dari etnik China adalah diaspora, penyebaran dari daratan China ke negeri - negeri lain di seluruh dunia. Boleh dikatakan, hampir tidak ada negara yang tidak ada etnik China sebagai penduduk, baik sebagai warga negara, maupun penduduk sementara. Dengan diaspora ini muncul pembedaan antara Warga Negara China (WNC) dan China Perantauan (Overseas China), WNC atau etnik China yang tinggal, menetap atau sudah menjadi warga negara selain China.
Masyarakat China percaya pada kebersamaan (collectivism) yang menjadi sifat dasar mereka, di mana patriotisme merupakan bentuk tertinggi dari kebersamaan. Selain itu, China cenderung menjunjung tinggi tegaknya kehormatan.
Budaya Bisnis
Dari perspektif awam, atau barangkali bahkan oleh kalangan ahli, China dan budaya serta praktek keseharian masyarakat China dipandang sebagai kompleks, kadangkala kontradiktif, dan membingungkan - susah bagi pihak luar memahami pola pikir mereka. Hal ini yang seringkali menjadikan kesimpulan berbagai studi tentang China (yang dilakukan oleh bukan orang China) tidak tepat, bahkan terdistorsi oleh sudut pandang dari kepentingan dan posisi masing – masing.
Banyak pihak memandang China sebagai pasar yang sangat besar, karena populasinya yang terbesar di seluruh dunia. Sejatinya China merupakan pasar yang terpecah, tidak terkonsentrasi (fragmented). Bagi mereka yang terbiasa berbisnis di lingkungan yang berorientasi Barat, pasar domestik China merupakan arena yang menantang. Strategi bisnis yang berhasil diimplementasikan di Beijing, dalam banyak kasus, tidak dapat dengan mudah, berhasil diterapkan di kota – kota lain seperti Shanghai atau Shenyang. Oleh karena itu menjadi kurang tepat apabila membuat umum (generalize) Budaya Bisnis China per se.
Sumber Etos China
Pendapat ahli China yang menyatakan bahwa sumber etos China adalah keseragaman dan kesamaan budaya, pada saat ini dianggap sudah tidak valid lagi. Ada tiga hal yang dianggap sebagai sumber etos China: budaya, nasionalisme, dan pragmatisme.
Neo-Confucianism
Neo-confusianisme sebagai sebuah ideologi internal yang signifikan, dan memiliki akar sejarah yang mempengaruhi kehidupan masarakat China hingga sekarang. Ideologi ini menjadi alat yang sangat kuat bagi Partai Komunis China (PKC). Sebagai implikasi dari kebijakan politik longgar yang membuka peluang investasi asing pada gilirannya menghilangkan filosofi dan moralitas China. Kapitalisme barat menggantikan kebijakan ekonomi Marxis, dan ideologi jalur keras digantikan oleh pragmatisme yang fleksibel. Para pemimpin garis keras masih tetap duduk sebagai petinggi di partai politik namun mereka tidak memiliki suara majoritas lagi. Meskipun demikian konsep baru yang diperkenalkan ini dianggap tidak kontradiktif dengan idealisme China yang sudah lama tertanam. Pada kenyataannya, perubahan yang terjadi terlihat seperti alamiah dibandingkan dengan ketika China mengadopsi Marxisme pada awal kemerdakaan di tahun 1949.
Basis dari gabungan antara paradigma lama dan baru adalah kembalinya China ke Konfusianisme suatu tradisi yang lama dianut; bedanya sekarang diaplikasikan dalam konteks modern. Sifat pragmatis budaya Konfusian memberi China kebebasan untuk bertindak dalam mencapai manfaat hubungan dagang dan diplomatik. Di pihak lain, Barat (Eropa dan Amerika) sering menilai hal ini sebagai suatu sikap oportunis dan ancaman. Sebaliknya, China memiliki pengalaman sejarah panjang di bawah bayang – bayang ancaman dari kekuatan Barat. Warisan perasaan sebagai korban setidaknya dapat ditelusuri ke belakang hingga peristiwa Perang Candu, yang tidak pernah dapat dilupakan. Dari pengalaman tersebut China menganggap bahwa penilian Barat terhadap China sebagai sebuah penghinaan, dan lebih buruk dari itu merupakan tindakan opresif. Contoh nyata yang belum lama terjadi dapat terlihat menjelang Olimpiade Musim Panas (OMP) di tahun 2008 lalu. Banyak tokoh selebriti Barat yang menyerang dan meragukan kemampuan China menyelenggarakan event olah raga terbesar di dunia. Hal tersebut meski dirasakan sebagai penghinaan, namun direspon sebagai tantangan bagi China agar dapat sukses menjadi tuan rumah OMP.
Dalam perjalanan waktu, China membangun “nasionalisme pragmatis” (pragmatic nationalism) yang diwarnai oleh upaya mencapai kebijakan efektif yang tidak harus konsisten dengan ideologi. Wacana yang berkembang kemudian, adakah kompatibiltas antara Neo-Konfusianisme dengan nasionalisme pragmatis? Pertanyaan ini mengemuka karena nasionalisme pragmatis dianggap jalan tengah antara Konfusianisme tradisional dengan dunia modern yang diwakili Barat.
Pidato atau pernyataan dari pimpinan Partai menjadi indikator kuat eksistensi arah ideologi baru Partai. President Hu Jintao pernah menyatakan etika Konfusian sebagai selaras namun tidak homogen, berbeda namun tidak bertentangan. Kalimat ini diulang-ulang dalam berbagai kesempatan, suatu hal yang mengindikasikan sebagai penanda dimulainya etika China modern.
Dalam format lain, pihak berkuasa memanfaatkan media cetak untuk mempromosikan agenda Partai. Meskipun dekade terakhir ini kehidupan pers di China sudah ditandai adanya kebebasan pers di sektor komersial, namun dominasi partai masih mewarnai kebebasan tersebut. Publikasi yang dikendalikan partai cenderung lebih normatif dan moralis, sementara koran – koran swasta sudah mulai menyuarakan realita dan kehidupan politik nyata.
Pragmatisme
Dalam banyak hal, China bertindak berdasarkan pemikiran pragmatis. Hal ini tercermin tidak hanya pada bagaimana individu China membuat keputusan, atau melatar-belakangi suatu tindakan; namun sampai pada bagaimana kebijakan politik dan perdangan luar negeri. Sebagaimana bangsa-bangsa lain, China berharap untuk melihat adanya tatanan dunia yang dapat memperbaiki posisi relatif terhadap bangsa – bangsa lain di dunia. Mengacu pada harapan tersebut, China menghomai kedaulatan negara – negara lain dan memegang prinsip untuk tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri negara lain. Hal ini sejalan dengan etika yang dinyatakan oleh Presiden Hu Jintao “selaras namun tidak homogen, berbeda namun tidak bertentangan.” Dalam perspektif lain, pragmatisme dianggap sebagai ideologi yang tidak meyakinkan, tidak memiliki apa-apa, sangat tidak mencukupi dibandingkan dengan ideologi komunis atau liberal. Pragmatisme dianggap sebagai jalan untuk mencapai tujuan dengan segala cara, atau perilaku strategik yang didorong oleh kepentingan nasional, yang dikondisikan secara substansial oleh lingkungan geostrategic dan pengalaman sejarah China.
Namun demikian, hal tersebut tidak mengindikasikan adanya kontradiksi antara strategi pragmatis dengan Neo-Konfusianisme, karena pragmatisme dianggap sebagai ideologi netral. Kekuatan pendukung strategi pragmatis adalah nasionalisme masyarakat China, yang masih berakar kuat sebagai kepercayaan politik yang dianut oleh majoritas masyarakat China, termasuk mereka yang berseberangan paham dengan regim komunis yang berkuasa.
Nasionalisme
Nasionalisme merupakan perekat yang menyatukan budaya China Neo-Konfusianisme dan strategi pragmatis. Jika nasionalisme China hancur, ia akan secara pasti merusak etos kesatuan nasional. Rakyat China senantiasa melibatkan diri dalam praktek budaya tradisional dan penerimaan prinsip dan nila moral China. Sikap ini tidak selalu disertai dengan kecintaan terhadap Partai atau ketaatan terhadap “Empat Prinsip Utama” yang merupakan garis kebijakan Partai. Ideologi politik telah kehilangan salah satu tujuannya di China, memberi identitas bagi warga negara RRC.
Sumber – sumber identitas China modernu menggantikan kebijakan lama Partai dan bahkan menimbulkan konflik di antara satu dengan lainnya. Nasionalisme budaya (demikian istilah ini mulai disosialisasikan) secara fundamental bertentangan dengan ideologi Partai, bukan dengan negara, juga bukan dengan nasionalisme secara keseluruhan.
Nasionalisme China dipengaruhi sejarah panjang yang lebih banyak menunjukkan sikap defensif dari pada ofensif dalam hubungannya dengan negara – negara lain. Hal ini cukup beralasan karena elite politik China menganggap nasionalisme sebagai alat proses regenerasi dan pertahanan melawan imperialisme. Kebangkitan China di wilayah Asia Timur, dan kemudian global tidak mengubah kekuasaan teritorial mereka. Inilah wajah kebangkitan dan sekaligus ekspansi ekonomi di era global, penguasaan teritori yang menggangu kedaulatan negara lain, sudah tidak relevan lagi, digantikan oleh aliran investasi, produk, informasi, dan ide.
Prioritas Etos China
Keunikan etos China terletak pada kuatnya upaya untuk menjadi berbeda dari lainnya, namun pada cara yang dipilih untuk memprioritaskan upaya tersebut. Faktor keamanan menjadi pertimbangan utama. Selama bertahun – tahun China terbiasakan dengan keharusan menjaga ketertiban dan stabilitas masyarakatnya, lebih banyak “melihat ke dalam” dan menerapkan “kebijakan tutup pintu” dari pada berupaya mencapai kemajuan dan melakukan ekspansi ke luar negeri. Dalam kontek ini, kepentingan negara lebih diutamakan dari apda kepentingan individu. Hal ini memfasilitasi konsistensi antara kebijakan dalam dan luar negeri, karena keduanya memprioritaskan hal yang sama baik di domestik mapun di aras internasional.
Kebangkitan ekonomi China baik di dalam negeri maupun pengaruh ekspansinya ke luar negeri, jika kita amati, berbeda dengan era ketika peristwa serupa dilakukan oleh negara - negara Barat (melalui penjajahan, kolonialisme). Hampir tidak ada konflik berupa sikap penolakan ketika China masuk ke pasar internasional. Sejarah panjang China menunjukkan postur mereka tidak hanya sebagai produk dari kebijakan geopolitik, namun dimaksudkan sebagai pre-disposisi budaya unik yang diaplikasikan untuk mencari solusi anti kekerasan atas permasalahan politik dalam negeri, pola pikir defensif.
5. Manfaat Bagi Indonesia
Dalam hubungan antara China dan Indonesia, Majalah The Economist edisi 12-18 September 2009, dalam liputan khusus tentang Indonesia, memperkenalakan terminologi baru “Chindonesia” untuk merujuk adanya hubungan simbiotik antara China dan Indonesia. China merupakan importer utama sarang burung walet yang banyak dihasilkan masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia. Di Bali, jumlah turis China sudah mengalahkan turis Australia dan Jepang yang selama bertahun – tahun dikenal sebagai pengunjung utama pulau Bali. Pertumbuhan ekonomi China dan India berdampak besar bagi permintaan terhadap produk-produk Indonesia, tidak hanya sarang burung walet namun juga termasuk komoditas utama seperti minyak sawit (palm oil) dan batubara (coal) untuk pembangkit listrik. Ekspor Indonesia ke Chindia (Chinda dan India) tahun 2008 mencapai 14% dari total export , lebih besar dari eksport ke Amerika (10%).
Melihat ke dalam negeri (Indonesia) kita memiliki kekayaan sosial yang tak kalah bermutunya dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat China. Pertanyaannya, mengapa masyarakat China yang bertahun – tahun menderita dalam kemiskinan dan kelaparan, hanya dengan kebijakan ekonomi terbuka, dalam tempo tiga dekade sudah melejit meninggalkan negara-negara di kawasan Asia yang tergolong berkembang, dan sekarang mendekati keberhasilan yang dicapai oleh negara – negara maju.
Nilai – nilai gotong royong yang secara suka rela dianut masyarakat pedesaan, pada saat ini – barangkali – sudah meluntur, sejalan dengan meningkatnya orientasi terhadap materi dan kapitalisme. Nilai serupa, collectivism, yang dilatar-belakangi paham Konfusian, menjadi semakin kuat karena merupakan kebijakan Partai tunggal yang berkuasa. Perbedaan antara China dan Indonesia dalam hal ini, gotong royong merupakan tindakan suka rela, sementara collectivism merupakan tindakan wajib.
Pendekatan otoriter melalui kewajiban yang harus dilakukan warga negara yang digariskan oleh negara, dan tidak boleh dilanggar inilah yang barangkali menjadi kunci pertama suksesnya China. Selain otoriter, suatu model pemerintahan yang pada saat ini sudah ditolak oleh Indinesia, Indonesia mungkin bisa belajar dari bagaimana masyarakat China membina nasionalisme-nya.
Dari aspek bisnis, trilogi Guanxi, Ganqing, dan Xinyong merupakan suatu karakter hubungan antar manusia dalam dunia bisnis yang perlu digali apakah tepat untuk diterapkan di Indonesia. Dalam wujud nyata, pola hubungan seruap Guanxi misalnya juga sudah menjadi karakter dalam tata hubungan sosial masyarakat di beberapa suku di Indonesia. Namun barangkali belum dimanfaatkan secara optimal dalam aktivitas bisnis.*****
China dapat mengacu pada wilayah suatu negara, yang terletak di timur laut benua Asia, berbatasan dengan Mongolia dan Rusia di sebelah utara, dan beberapa negara (Vietnam, Laos, Nepal, Buthan, Myanmar, India, Buthan, Pakistan) di sebelah selatan, Korea dan Jepang di sebelah Timur, Phillipina di tenggara, serta Tadzikistan, Kirghiztan dan Kazakhztan di sebelah Barat; atau mengacu pada etnik yang kemudian dapat dikelompokkan lagi ke dalam suku – suku bangsa China yang dibedakan dari wilayah (di daratan China) mereka berasal.
Sebagai suatu negara, China memiliki sejarah panjang, dari beratus bahkan beribu tahun lalu. Negara China yang dikenal seperti sekarang ini dahulu kala merupakan kumpulan dari banyak kerajaan kecil, yang satu sama lain saling mempengaruhi melalui perang dan konflik. Peperangan berakhir dengan integrasi negara-negara kecil menjadi satu negara China.
Selama lima dekade, pasca perang dunia kedua, China merupakan negara dengan ekonomi tertutup, hal ini merupakan konsekuensi dari pilihan politik yang dianut oleh regim yang berkuasa. Perubahan terjadi ketika Deng Hsiao Ping, pemimpin China pada tahun 1978 membuka perekonomian dengan mengijinkan investasi asing masuk ke China.
Perkembangan selanjutnya selama dua dekade terakhir ini, China berhasil meraih pertumbuhan ekonomi dengan cepat dan reformasi kelembagaan secara drastis. Banyak argumen menyatakan bahwa etnik (warga negara) China cenderung menjadi individualistik, namun demikian ada bukti kuat yang menunjukkan masih adanya pengaruh budaya tradisional dalam setiap tindak individu, bisnis maupun pemerintahan.
Ditinjau dari perspektif budaya, fenomena yang terjadi di China moderen dapat disajikan dalam suatu titik fokus tertentu, yang diharapkan dapat memberikan pemahaman atas pertanyaan-pertanyaan dasar seperti apa, siapa, mengapa, kapan, dan bagaimana. Bidang perekonomian sebagai ujung tombak pembangunan negara melahirkan banyak elemen kebudayaan baik itu simbol-simbol, cara interaksi, distribusi konsep, jaringan bisnis, norma-etika bisnis, dan lain-lain. Ini semua yang kemudian dapat mengantarkan kita pada pemahaman terhadap keberhasilan bisnis Cina di era globalisasi.
2. Kekuatan Ekonomi Baru
Bergsten dkk, 2006 dalam China: The Balance Sheet, What the World Needs to Know About the Emerging Superpower, kebangkitan China sebagai kekuatan ekonomi dan politik global merupakan event transformatif, yang menuntut perhatian khusus bagi negara – negara maju lainnya, termasuk negara berkembang di wilayah Asia Pacific untuk memahami lebih jelas “tantangan China” yang datang menyusul keberhasilan ekonomi domestik China. Lebih jauh, China bagaimanapun sudah menjadi “ancaman” bagi kemapanan yang selama beberapa dekade menjadi milik negara maju di Amerika dan Eropa.
Perkembangan dan kemajuan ekonomi China bagaimanapun menimbulkan peluang dan sekaligus tantangan bahkan ancaman, yang jika dikelola dengan baik dapat memberi manfaat bagi China dan negara – negara lain, namun bila salah dalam memahami fenomena China, dapat membawa kerugian bagi negara – negara lain termasuk Indonesia.
Dari perspektif perdagangan internasional, China dikenal dengan sebutan walled world, suatu istilah yang mengacu pada negara dapat berdagang satu dengan lainnya dalam pasar global namun masih memelihara kendali terhadap masa depan ekonominya sendiri, sistem politik dan kebijakan luar negeri. Walled world merupakan tantangan ideologis terhadap filosofi dunia datar-nya (flat world) Amerika dan paham multilateralisme liberal-nya Eropa. Budaya China dianggap dapat berpeluang menjadi jalan ketiga (third path) yang akan menjadi alternatif bagi struktur kognitif dari governance global.
Model Pembangunan
Model pembangunan yang dilakukan China menawarkan kepada negara – negara sedang membangun suatu alternatif dari norma yang berlaku di Barat. Keberhasilan sistem pasar bebas yang bersifat authoritarian merupakan tantangan bagi keterhubungan tradisional antara pasar bebas dan keberhasilan demokrasi. Kerangka budaya China menekankan pada kedaulatan negara, suatu hal yang tidak lagi diperhatikan oleh negara – negara barat, dan hal ini dapat memulihkan rasa kebanggaan pada negara – negara sedang berkembang yang merasakan kedaulatan mereka tidak dihormati oleh negara – negara maju.
3. Kunci Sukses Bisnis
Ada 3 (tiga) yang dapat dirujuk sebagai kunci sukses bisnis China: Guanxi (jaringan bisnis); Ganqing, menghormati dan menjaga ikatan perasaan/hubungan batin yang dalam; serta Xinyong, jaringan antar-pribadi, berkaitan dengan reputasi.
Guanxi
Guanxi secara literal berarti relasi (relationships). Dalam dunia bisnis China, Guanxi juga diatribusi sebagai jaringan di antara berbagai pihak yang bekerja sama dan mendukung satu sama lain. Mentalitas pelaku bisnis China diibaratkan seperti “engkau garuk punggungku, aku garuk punggungmu”, yang maknanya kurang lebih saling tukar jasa, yang diharapkan dilakukan secara normal dan atas dasar keikhlasan. Guanxi merupakan konsep penting untuk memahami apakah seseorang dapat diterima secaar efektif dalam masyarakat China.
Di China, Guanxi berpengaruh besar terhadap sukses bisnis. Dengan menerapkan Guanxi secara benar, organisasi dapat meminimalkan resiko, frsutasi dan ketidak –nyamanan ketika melakukan bisnis. Dengan filosofi Guanxi, pengusaha berupaya menjalin hubungan dengan pejabat pemerintahan yang dimaksudkan untuk mendapatkan posisi bisnis yang lebih baik, meretas hambatan, memudahkan dalam segala urusan perizinan maupun operasional perusahaan yang ada hubungannya dengan pemerintah.
Meskipun membangun dan mempertahankan Guanxi di China sangat membutuhkan waktu dan sumber daya, namun semuanya itu merupakan investasi yang akan sepadan dengan hasil yang akan diperoleh. Apa yang didapat dari rekan bisnis, seringkali bernilai lebih besar dari pada materi dan waktu yang kita berikan, khususnya jika dilihat dalam perspektif jangka panjang, dan utamanya ketika kita sedang membutuhkan.
Pelaku bisnis di China menjalin jaringan bisnis dengan pemasok, pengecer, bank, pejabat pemerintah daerah, dan stakeholder lainnya, tidak hanya untuk sekedar basa-basi, namun suatu hubungan yang dilandasi oleh saling pengertian dan kesediaan untuk saling membantu. Memberikan hadiah kepada mitra bisnis menjadi hal lumrah di kalangan pelaku bisnis China.
Ganqing
Secara harafiah ganqing berarti perasaan (Toruan, 2009). Dalam budaya bisnis China konsep ganqing masih berhubungan dekat dengan guanxi. Ganqing merefleksikan suasana umum dari hubungan sosial dari dua orang atau dua badan yang saling berinteraksi. Seseorang dapat dikatakan memiliki ganqing yang baik jika hubungannya dengan orang lain tersebut baik, selain track-record hubungan yang baik di antara keduanya. Sedangkan ganqing yang mendalam adalah terdapatnya ikatan perasaan / hubungan batin yang dalam pada hubungan sosial itu sendiri.
Konsep ganqing juga dekat sekali maknanya dengan konsep ‘muka’ dalam budaya China. Konsep ‘muka’ dalam kebudayaan China mengacu kepada dua hal yang berbeda tapi saling berhubungan, yaitu mianzi 面子 dan lianzi 脸子. Lian adalah kepercayaan masyarakat dalam karakter moral seseorang. Sedangkan mianzi merepresentasikan persepsi sosial terhadap prestise seseorang. Konsep menjaga muka sangat penting halnya dalam hubungan sosial masyarakat China karena muka mewakili kekuasaan dan pengaruh. Kehilangan lian berakibat pada hilangnya kepercayaan sosial terhadap seseorang. Dan kehilangan mianzi berakibat pada kehilangan wibawa dan wewenang seseorang. Contoh gampangnya, gosip tentang seseorang yang mencuri dari kas toko; Ia akan kehilangan lian bukan mianzi. Pada kejadian lainnya, memotong pembicaraan bos/atasan seseorang menyebabkannya kehilangan mianzi bukan lian.
Orang China berusaha sebisa mungkin menghindari suatu konflik dalam melanggengkan hubungan dengan sesamanya. Ketika mereka menghindari konflik biasanya orang China akan berusaha untuk tidak menyebabkan seseorang kehilangan mianzi-nya, yaitu dengan tidak memunculkan kenyataan-kenyataan yang memalukan ke hadapan publik. Sebaliknya, ketika mereka ingin menantang suatu wewenang atau orang lain dalam suatu komunitas tertentu, orang China akan berusaha menyebabkan orang tersebut kehilangan lian atau mianzi.
Xinyong
Xinyong dalam budaya bisnis China bermakna sebagai sebuah jaringan antar pribadi. Bagi orang China kepercayaan antar pribadi merupakan hal yang terpenting. Para pengusaha China biasanya hanya berhubungan komersial dengan orang yang sudah mereka kenal. Oleh karena itu, reputasi seseorang penting artinya bagi transaksi bisnis. Dahulu, para pebisnis China secara pribadi akan berhubungan langsung dengan rekan-rekan bisnisnya, karena hal ini akan meningkatkan kemutlakan peran pemilik di samping tetap menjaga reputasinya sebagai pemilik perusahaan. Fenomena serupa terjadi hingga kini di perusahaan-perusahaan milik etnis China di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan lain-lain. Sebaliknya, fenomena di China Daratan menunjukkan bahwa kehadiran seorang pemimpin perusahaan dalam sebuah pertemuan bisnis tidak selalu signifikan, karena keputusan final tetap dipegang oleh komune/dewan eksekutif yang belum tentu hadir di pertemuan tersebut, yang bisa saja mengakibatkan suatu pertemuan bisnis dengan tema yang sama dapat terjadi berkali-kali dan mungkin sangat alot bagi pihak asing yang masuk ke dalam lingkaran mereka.
Xinyong dapat tertuang dalam kontrak verbal di suatu transaksi bisnis. Penandatanganan kontrak kadang-kadang tidak diperlukan, biasanya hanya diperlukan dengan badan-badan pemerintah. Persetujuan verbal dianggap sudah cukup. Jika pihak I mengatakan akan melakukan sesuatu maka dia tidak akan ingkar. Bagi mereka ingkar adalah perbuatan yang dapat mencoreng mianzi. Jika tersebar reputasinya akan jatuh dan tidak akan ada lagi yang bersedia bisnis dengannya lagi (atau kehilangan lian).
4. Sumber Kekuatan
Sumber kekuatan China terletak pada perilaku masyarakatnya. Untuk memahami perilaku masyarakat China, sebaiknya melakukan eksaminasi keterkaitan antara gerakan sosial kontemporer dengan kepercayaan dan tata nilai tradisional. Keberhasilan materi mulai mempengaruhi perilaku ekonomi, namun secara umum perilaku sosial masyarakat China masih mengacu pada kepercayan dan tata nilai tradisional.
Dengan norma sosial dan karakteristik kelembagaan di China yang masih bertahan hingga saat ini, keberhasilan materi menjadi suatu hal yang diutamakan. Di lain pihak, banyak orang China yang memiliki sifat kewira-usahaan, rajin dan tekun, fokus pada sasaran mereka, lebih banyak dimotivasi oleh keinginan meraih perubahan taraf hidup, dan dalam beberapa kasus mendorong terjadinya korupsi.
Budaya China Tradisional
Budaya China tradisional banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai Konfusianisme. Dalam ajaran Konfusian, masyarakat dibentuk dalam hirarki berdasarkan profesi dan atau peran mereka di dalam masyarakat. Paling atas adalah para intelektual, pemuka masyarakat dan mereka yang bekerja sebagai pejabat pemerintah. Kemudian lapisan di bawahnya adalah kaum atau golongan petani yang menghasilkan bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan semua penduduk. Di bawah kaum petani adalah perajin, tukang kayu, tukan batu, dan profesi semacam itu. Kaum perajin menempati posisi ketiga karena dianggap karya mereka tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan dasar manusia. Pada hirarki terbawah berkumpul pedagang, pemain teater, dan tentara.
Memperhatikan hirarki masyarakat China tradisional, tampak nyata betapa struktur masyarakat China dibangun berdasar satu organisasi sosial yang otokratis, hierarkis, dan tidak demokratis. Kemakmuran bersama dicapai dari hasil-hasil pertanian. Kestabilan suatu negara dapat dijamin dengan hierarki yang jelas. Dengan kata lain, yang lebih rendah taat kepada yang lebih tinggi, dan yang lebih tinggi menunjukkan kemurahan hati sebagai balasan terhadap kesetiaan tersebut.
Diaspora
Salah satu ciri dari etnik China adalah diaspora, penyebaran dari daratan China ke negeri - negeri lain di seluruh dunia. Boleh dikatakan, hampir tidak ada negara yang tidak ada etnik China sebagai penduduk, baik sebagai warga negara, maupun penduduk sementara. Dengan diaspora ini muncul pembedaan antara Warga Negara China (WNC) dan China Perantauan (Overseas China), WNC atau etnik China yang tinggal, menetap atau sudah menjadi warga negara selain China.
Masyarakat China percaya pada kebersamaan (collectivism) yang menjadi sifat dasar mereka, di mana patriotisme merupakan bentuk tertinggi dari kebersamaan. Selain itu, China cenderung menjunjung tinggi tegaknya kehormatan.
Budaya Bisnis
Dari perspektif awam, atau barangkali bahkan oleh kalangan ahli, China dan budaya serta praktek keseharian masyarakat China dipandang sebagai kompleks, kadangkala kontradiktif, dan membingungkan - susah bagi pihak luar memahami pola pikir mereka. Hal ini yang seringkali menjadikan kesimpulan berbagai studi tentang China (yang dilakukan oleh bukan orang China) tidak tepat, bahkan terdistorsi oleh sudut pandang dari kepentingan dan posisi masing – masing.
Banyak pihak memandang China sebagai pasar yang sangat besar, karena populasinya yang terbesar di seluruh dunia. Sejatinya China merupakan pasar yang terpecah, tidak terkonsentrasi (fragmented). Bagi mereka yang terbiasa berbisnis di lingkungan yang berorientasi Barat, pasar domestik China merupakan arena yang menantang. Strategi bisnis yang berhasil diimplementasikan di Beijing, dalam banyak kasus, tidak dapat dengan mudah, berhasil diterapkan di kota – kota lain seperti Shanghai atau Shenyang. Oleh karena itu menjadi kurang tepat apabila membuat umum (generalize) Budaya Bisnis China per se.
Sumber Etos China
Pendapat ahli China yang menyatakan bahwa sumber etos China adalah keseragaman dan kesamaan budaya, pada saat ini dianggap sudah tidak valid lagi. Ada tiga hal yang dianggap sebagai sumber etos China: budaya, nasionalisme, dan pragmatisme.
Neo-Confucianism
Neo-confusianisme sebagai sebuah ideologi internal yang signifikan, dan memiliki akar sejarah yang mempengaruhi kehidupan masarakat China hingga sekarang. Ideologi ini menjadi alat yang sangat kuat bagi Partai Komunis China (PKC). Sebagai implikasi dari kebijakan politik longgar yang membuka peluang investasi asing pada gilirannya menghilangkan filosofi dan moralitas China. Kapitalisme barat menggantikan kebijakan ekonomi Marxis, dan ideologi jalur keras digantikan oleh pragmatisme yang fleksibel. Para pemimpin garis keras masih tetap duduk sebagai petinggi di partai politik namun mereka tidak memiliki suara majoritas lagi. Meskipun demikian konsep baru yang diperkenalkan ini dianggap tidak kontradiktif dengan idealisme China yang sudah lama tertanam. Pada kenyataannya, perubahan yang terjadi terlihat seperti alamiah dibandingkan dengan ketika China mengadopsi Marxisme pada awal kemerdakaan di tahun 1949.
Basis dari gabungan antara paradigma lama dan baru adalah kembalinya China ke Konfusianisme suatu tradisi yang lama dianut; bedanya sekarang diaplikasikan dalam konteks modern. Sifat pragmatis budaya Konfusian memberi China kebebasan untuk bertindak dalam mencapai manfaat hubungan dagang dan diplomatik. Di pihak lain, Barat (Eropa dan Amerika) sering menilai hal ini sebagai suatu sikap oportunis dan ancaman. Sebaliknya, China memiliki pengalaman sejarah panjang di bawah bayang – bayang ancaman dari kekuatan Barat. Warisan perasaan sebagai korban setidaknya dapat ditelusuri ke belakang hingga peristiwa Perang Candu, yang tidak pernah dapat dilupakan. Dari pengalaman tersebut China menganggap bahwa penilian Barat terhadap China sebagai sebuah penghinaan, dan lebih buruk dari itu merupakan tindakan opresif. Contoh nyata yang belum lama terjadi dapat terlihat menjelang Olimpiade Musim Panas (OMP) di tahun 2008 lalu. Banyak tokoh selebriti Barat yang menyerang dan meragukan kemampuan China menyelenggarakan event olah raga terbesar di dunia. Hal tersebut meski dirasakan sebagai penghinaan, namun direspon sebagai tantangan bagi China agar dapat sukses menjadi tuan rumah OMP.
Dalam perjalanan waktu, China membangun “nasionalisme pragmatis” (pragmatic nationalism) yang diwarnai oleh upaya mencapai kebijakan efektif yang tidak harus konsisten dengan ideologi. Wacana yang berkembang kemudian, adakah kompatibiltas antara Neo-Konfusianisme dengan nasionalisme pragmatis? Pertanyaan ini mengemuka karena nasionalisme pragmatis dianggap jalan tengah antara Konfusianisme tradisional dengan dunia modern yang diwakili Barat.
Pidato atau pernyataan dari pimpinan Partai menjadi indikator kuat eksistensi arah ideologi baru Partai. President Hu Jintao pernah menyatakan etika Konfusian sebagai selaras namun tidak homogen, berbeda namun tidak bertentangan. Kalimat ini diulang-ulang dalam berbagai kesempatan, suatu hal yang mengindikasikan sebagai penanda dimulainya etika China modern.
Dalam format lain, pihak berkuasa memanfaatkan media cetak untuk mempromosikan agenda Partai. Meskipun dekade terakhir ini kehidupan pers di China sudah ditandai adanya kebebasan pers di sektor komersial, namun dominasi partai masih mewarnai kebebasan tersebut. Publikasi yang dikendalikan partai cenderung lebih normatif dan moralis, sementara koran – koran swasta sudah mulai menyuarakan realita dan kehidupan politik nyata.
Pragmatisme
Dalam banyak hal, China bertindak berdasarkan pemikiran pragmatis. Hal ini tercermin tidak hanya pada bagaimana individu China membuat keputusan, atau melatar-belakangi suatu tindakan; namun sampai pada bagaimana kebijakan politik dan perdangan luar negeri. Sebagaimana bangsa-bangsa lain, China berharap untuk melihat adanya tatanan dunia yang dapat memperbaiki posisi relatif terhadap bangsa – bangsa lain di dunia. Mengacu pada harapan tersebut, China menghomai kedaulatan negara – negara lain dan memegang prinsip untuk tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri negara lain. Hal ini sejalan dengan etika yang dinyatakan oleh Presiden Hu Jintao “selaras namun tidak homogen, berbeda namun tidak bertentangan.” Dalam perspektif lain, pragmatisme dianggap sebagai ideologi yang tidak meyakinkan, tidak memiliki apa-apa, sangat tidak mencukupi dibandingkan dengan ideologi komunis atau liberal. Pragmatisme dianggap sebagai jalan untuk mencapai tujuan dengan segala cara, atau perilaku strategik yang didorong oleh kepentingan nasional, yang dikondisikan secara substansial oleh lingkungan geostrategic dan pengalaman sejarah China.
Namun demikian, hal tersebut tidak mengindikasikan adanya kontradiksi antara strategi pragmatis dengan Neo-Konfusianisme, karena pragmatisme dianggap sebagai ideologi netral. Kekuatan pendukung strategi pragmatis adalah nasionalisme masyarakat China, yang masih berakar kuat sebagai kepercayaan politik yang dianut oleh majoritas masyarakat China, termasuk mereka yang berseberangan paham dengan regim komunis yang berkuasa.
Nasionalisme
Nasionalisme merupakan perekat yang menyatukan budaya China Neo-Konfusianisme dan strategi pragmatis. Jika nasionalisme China hancur, ia akan secara pasti merusak etos kesatuan nasional. Rakyat China senantiasa melibatkan diri dalam praktek budaya tradisional dan penerimaan prinsip dan nila moral China. Sikap ini tidak selalu disertai dengan kecintaan terhadap Partai atau ketaatan terhadap “Empat Prinsip Utama” yang merupakan garis kebijakan Partai. Ideologi politik telah kehilangan salah satu tujuannya di China, memberi identitas bagi warga negara RRC.
Sumber – sumber identitas China modernu menggantikan kebijakan lama Partai dan bahkan menimbulkan konflik di antara satu dengan lainnya. Nasionalisme budaya (demikian istilah ini mulai disosialisasikan) secara fundamental bertentangan dengan ideologi Partai, bukan dengan negara, juga bukan dengan nasionalisme secara keseluruhan.
Nasionalisme China dipengaruhi sejarah panjang yang lebih banyak menunjukkan sikap defensif dari pada ofensif dalam hubungannya dengan negara – negara lain. Hal ini cukup beralasan karena elite politik China menganggap nasionalisme sebagai alat proses regenerasi dan pertahanan melawan imperialisme. Kebangkitan China di wilayah Asia Timur, dan kemudian global tidak mengubah kekuasaan teritorial mereka. Inilah wajah kebangkitan dan sekaligus ekspansi ekonomi di era global, penguasaan teritori yang menggangu kedaulatan negara lain, sudah tidak relevan lagi, digantikan oleh aliran investasi, produk, informasi, dan ide.
Prioritas Etos China
Keunikan etos China terletak pada kuatnya upaya untuk menjadi berbeda dari lainnya, namun pada cara yang dipilih untuk memprioritaskan upaya tersebut. Faktor keamanan menjadi pertimbangan utama. Selama bertahun – tahun China terbiasakan dengan keharusan menjaga ketertiban dan stabilitas masyarakatnya, lebih banyak “melihat ke dalam” dan menerapkan “kebijakan tutup pintu” dari pada berupaya mencapai kemajuan dan melakukan ekspansi ke luar negeri. Dalam kontek ini, kepentingan negara lebih diutamakan dari apda kepentingan individu. Hal ini memfasilitasi konsistensi antara kebijakan dalam dan luar negeri, karena keduanya memprioritaskan hal yang sama baik di domestik mapun di aras internasional.
Kebangkitan ekonomi China baik di dalam negeri maupun pengaruh ekspansinya ke luar negeri, jika kita amati, berbeda dengan era ketika peristwa serupa dilakukan oleh negara - negara Barat (melalui penjajahan, kolonialisme). Hampir tidak ada konflik berupa sikap penolakan ketika China masuk ke pasar internasional. Sejarah panjang China menunjukkan postur mereka tidak hanya sebagai produk dari kebijakan geopolitik, namun dimaksudkan sebagai pre-disposisi budaya unik yang diaplikasikan untuk mencari solusi anti kekerasan atas permasalahan politik dalam negeri, pola pikir defensif.
5. Manfaat Bagi Indonesia
Dalam hubungan antara China dan Indonesia, Majalah The Economist edisi 12-18 September 2009, dalam liputan khusus tentang Indonesia, memperkenalakan terminologi baru “Chindonesia” untuk merujuk adanya hubungan simbiotik antara China dan Indonesia. China merupakan importer utama sarang burung walet yang banyak dihasilkan masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia. Di Bali, jumlah turis China sudah mengalahkan turis Australia dan Jepang yang selama bertahun – tahun dikenal sebagai pengunjung utama pulau Bali. Pertumbuhan ekonomi China dan India berdampak besar bagi permintaan terhadap produk-produk Indonesia, tidak hanya sarang burung walet namun juga termasuk komoditas utama seperti minyak sawit (palm oil) dan batubara (coal) untuk pembangkit listrik. Ekspor Indonesia ke Chindia (Chinda dan India) tahun 2008 mencapai 14% dari total export , lebih besar dari eksport ke Amerika (10%).
Melihat ke dalam negeri (Indonesia) kita memiliki kekayaan sosial yang tak kalah bermutunya dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat China. Pertanyaannya, mengapa masyarakat China yang bertahun – tahun menderita dalam kemiskinan dan kelaparan, hanya dengan kebijakan ekonomi terbuka, dalam tempo tiga dekade sudah melejit meninggalkan negara-negara di kawasan Asia yang tergolong berkembang, dan sekarang mendekati keberhasilan yang dicapai oleh negara – negara maju.
Nilai – nilai gotong royong yang secara suka rela dianut masyarakat pedesaan, pada saat ini – barangkali – sudah meluntur, sejalan dengan meningkatnya orientasi terhadap materi dan kapitalisme. Nilai serupa, collectivism, yang dilatar-belakangi paham Konfusian, menjadi semakin kuat karena merupakan kebijakan Partai tunggal yang berkuasa. Perbedaan antara China dan Indonesia dalam hal ini, gotong royong merupakan tindakan suka rela, sementara collectivism merupakan tindakan wajib.
Pendekatan otoriter melalui kewajiban yang harus dilakukan warga negara yang digariskan oleh negara, dan tidak boleh dilanggar inilah yang barangkali menjadi kunci pertama suksesnya China. Selain otoriter, suatu model pemerintahan yang pada saat ini sudah ditolak oleh Indinesia, Indonesia mungkin bisa belajar dari bagaimana masyarakat China membina nasionalisme-nya.
Dari aspek bisnis, trilogi Guanxi, Ganqing, dan Xinyong merupakan suatu karakter hubungan antar manusia dalam dunia bisnis yang perlu digali apakah tepat untuk diterapkan di Indonesia. Dalam wujud nyata, pola hubungan seruap Guanxi misalnya juga sudah menjadi karakter dalam tata hubungan sosial masyarakat di beberapa suku di Indonesia. Namun barangkali belum dimanfaatkan secara optimal dalam aktivitas bisnis.*****
Mengelola Investasi Teknologi Informasi
Hampir semua perusahaan Indonesia yang beraset di atas lima ratus juta rupiah sudah menggunakan komputer untuk mendukung operasional sehari-hari. Meski hanya satu buah Personal Computer (PC), dan hanya digunakan untuk tugas – tugas administrasi dan korespondensi namun perusahaan yang sudah memanfaatkan PC tergolong cukup maju. Disadari atau tidak, penggunaan PC telah menggeser mesin ketik, kadang-kadang kalkulator, dan bahkan lemari penyimpan berkas. Namun demikian, komputer dan perangkat pendukungnya tidak sekedar berfungsi menggantikan alat kantor konvensional, lebih tinggi dari itu, komputer jika digunakan dengan terencana, terukur dan terkelola dengan baik akan menjadi “alat perang unggul” dalam mengalahkan pesaing (di kalangan perusahaan pencari laba) dan “alat layanan publik” yang efisien dan efektif di lingkungan organisasi nirlaba baik di pemerintahan maupun swasta.
Persoalannya, masih banyak eksekutif atau pimpinan organisasi yang belum menyadari peran penting komputer bagi eksistensi dan kelangsungan hidup organisasinya. Di awal tahun 1990-an banyak perusahaan membeli PC hanya agar tidak terkesan ketinggalan zaman. Awal 2000-an semakin banyak perusahaan Indonesia yang memiliki komputer, namun belum banyak yang memanfaatkan komputer dan fasilitas pendukung komputer secara optimal, kebanyakan masih digunakan untuk otomatisasi kantor saja. Periode 2005 hingga awal 2007, wajah penggunaan komputer di Indonesia khususnya di lingkungan organisasi bisnis telah mulai berubah. Semakin banyak perusahaan atau instansi pemerintah yang tersambung ke Internet, memiliki website, hampir di setiap meja karyawan terpasang personal komputer, para eksekutif terbiasa dengan notebook,atau Personal Digital Assistance, laporan hasil kerja tidak lagi disajikan hanya dengan kertas, namun dipresentasikan dalam softcopy, lalu lintas elektronik mail semakin meningkat, akses pengguna Internet kantoran menempati ranking teratas, terutama pada jam-jam kantor.
Statistik memang menunjukkan peningkaan pemanfaatan komputer, namun kembali ke awal paragraf di atas, kenyataan bahwa pimpinan organisasi belum sepenuhnya paham peran dan fungsi komputer secara khusus maupun teknologi informasi secara umum, meski sudah banyak pemakaian komputer di kantornya, hal-hal seperti ini yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas investasi komputer. Artinya, jika dibandingkan dengan investasi sumber daya lain, seperti kendaraan, gedung, mesin-mesin pabrik dan lain sebagainya yang mudah diukur return atas investasi-nya, mestinya investasi teknologi informasi juga dapat diukur tingkat return-nya. Sayangnya, tidak semua organisasi, termasuk yang paling menonjol adalah di organisasi pemerintahan, yang melakukan kajian tingkat kembalian (return on investment = ROI) ketika hendak membeli perangkat teknologi informasi. Kebiasaan yang lazim, sesudah proposal teknis dan anggaran disetujui langsung diikuti dengan pengadaan.
Perlu disadari bahwa dalam hal investasi, selalu terjadi persaingan dalam “perebutan” alokasi dana investasi. Selain itu investasi teknologi informasi pada umumnya masih dievaluasi seperti halnya investasi untuk sektor lain. Terkait dengan bagaimana memberi justifikasi pentingnya investasi teknologi informasi dan hubungannya dengan kemampuan pengembalian investasi, Ward (2003) mengatakan there is no simple answer to the question: on what basis should information system and information technology investments be assessed against other investments? Artinya? Hal ini merupakan tantangan segera dibuatnya prinsip dan kebijakan penilaian manfaat investasi sistem informasi dan atau teknologi informasi yang dapat menjadi acuan bagi keputusan dan atau penentuan prioritas investasi.
Ada bebeberapa isu penting yang perlu diperhatikan oleh mereka yang diberi kewenangan untuk melakukan investasi teknologi informasi. Pertama, dianjurkan untuk menentukan dasar-dasar pertimbangan dalam investasi. Tidak selalu nilai manfaat investasi teknologi informasi harus dihitung menggunakan ROI, perlu dipertimbangkan pula faktor-faktor non-teknologi, seperti apakah investasi teknologi informasi akan berpotensi meningkatkan penjualan, kepuasan pelanggan, tingkat keuntungan dan lain sebagainya. Guna memudahkan dalam mengukur manfaat, khususnya manfaat keuangan, bagi perusahaan yang akan mengimplementasikan teknologi informasi dalam skala luas dan bersifat strategis perlu memertimbangkan untuk meninjau kembali perlakuan akuntansi yang akan digunakan untuk menilai kinerja investasi teknologi informasi. Data akuntansi sangat penting dalam menghitung manfaat investasi teknologi informasi.
Setelah identifikasi dasar-dasar pertimbangan dilakukan, maka langkah kedua adalah menentukan prioritas, dengan memperhatikan cakupan manfaat bisnis dan ekonomi, keterbatasan sumber daya, dan faktor lainnya. Bagaimanapun, dari semua pertimbangan di atas perlu dipilih dan dipilah mana yang harus didahulukan dari lainnya. Prioritas penting terutama jika sumber daya perusahaan tidak mencukupi semua kebutuhan investasi teknologi informasi.
Jika prioritas telah ditentukan, sumber daya keuangan dan lainnya yang diperlukan untuk investasi telah dialokasikan, maka langkah ketiga yang disarankan untuk dilakukan adalah melakukan proses pengelolaan dalam mewujudkan manfaat yang diharapkan. Dalam konteks manajemen sistem informasi, langkah ini tergolong operasionalisasi investasi teknologi informasi, tergolong kritis, dan oleh karenanya memerlukan perhatian penuh dari manajemen.
Melengkapi tiga langkah sebelumnya, eksekutif perlu menguji resiko investasi berdasarkan karakteristik aplikasi dan pendekatan dalam pengelolaannya. Pada era awal penggunaan sistem informasi identifikasi resiko pemanfaatan teknologi informasi tidak banyak dilakukan. Namun sejalan dengan semakin berperannya komputer dalam kegiatan bisnis dan menjadikan komputer sebagai jantung kehidupan dari organisasi, mulai disadari resiko atas investasi teknologi informasi. Sebagai contoh, jika sebuah bank yang sudah menyelenggarakan layanan online, atau sebuah perusahaan penerbangan yang sudah melayani penjualan tiket melalui Internet, atau perusahaan operator telekomunikasi yang sangat tergantung pada teknologi informasi, semua fasilitas komputernya padam dalam waktu sehari saja, dapat dibayangkan berapa besar potensi kerugian yang diderita oleh perusahaan- perusahaan tersebut.*****
Persoalannya, masih banyak eksekutif atau pimpinan organisasi yang belum menyadari peran penting komputer bagi eksistensi dan kelangsungan hidup organisasinya. Di awal tahun 1990-an banyak perusahaan membeli PC hanya agar tidak terkesan ketinggalan zaman. Awal 2000-an semakin banyak perusahaan Indonesia yang memiliki komputer, namun belum banyak yang memanfaatkan komputer dan fasilitas pendukung komputer secara optimal, kebanyakan masih digunakan untuk otomatisasi kantor saja. Periode 2005 hingga awal 2007, wajah penggunaan komputer di Indonesia khususnya di lingkungan organisasi bisnis telah mulai berubah. Semakin banyak perusahaan atau instansi pemerintah yang tersambung ke Internet, memiliki website, hampir di setiap meja karyawan terpasang personal komputer, para eksekutif terbiasa dengan notebook,atau Personal Digital Assistance, laporan hasil kerja tidak lagi disajikan hanya dengan kertas, namun dipresentasikan dalam softcopy, lalu lintas elektronik mail semakin meningkat, akses pengguna Internet kantoran menempati ranking teratas, terutama pada jam-jam kantor.
Statistik memang menunjukkan peningkaan pemanfaatan komputer, namun kembali ke awal paragraf di atas, kenyataan bahwa pimpinan organisasi belum sepenuhnya paham peran dan fungsi komputer secara khusus maupun teknologi informasi secara umum, meski sudah banyak pemakaian komputer di kantornya, hal-hal seperti ini yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas investasi komputer. Artinya, jika dibandingkan dengan investasi sumber daya lain, seperti kendaraan, gedung, mesin-mesin pabrik dan lain sebagainya yang mudah diukur return atas investasi-nya, mestinya investasi teknologi informasi juga dapat diukur tingkat return-nya. Sayangnya, tidak semua organisasi, termasuk yang paling menonjol adalah di organisasi pemerintahan, yang melakukan kajian tingkat kembalian (return on investment = ROI) ketika hendak membeli perangkat teknologi informasi. Kebiasaan yang lazim, sesudah proposal teknis dan anggaran disetujui langsung diikuti dengan pengadaan.
Perlu disadari bahwa dalam hal investasi, selalu terjadi persaingan dalam “perebutan” alokasi dana investasi. Selain itu investasi teknologi informasi pada umumnya masih dievaluasi seperti halnya investasi untuk sektor lain. Terkait dengan bagaimana memberi justifikasi pentingnya investasi teknologi informasi dan hubungannya dengan kemampuan pengembalian investasi, Ward (2003) mengatakan there is no simple answer to the question: on what basis should information system and information technology investments be assessed against other investments? Artinya? Hal ini merupakan tantangan segera dibuatnya prinsip dan kebijakan penilaian manfaat investasi sistem informasi dan atau teknologi informasi yang dapat menjadi acuan bagi keputusan dan atau penentuan prioritas investasi.
Ada bebeberapa isu penting yang perlu diperhatikan oleh mereka yang diberi kewenangan untuk melakukan investasi teknologi informasi. Pertama, dianjurkan untuk menentukan dasar-dasar pertimbangan dalam investasi. Tidak selalu nilai manfaat investasi teknologi informasi harus dihitung menggunakan ROI, perlu dipertimbangkan pula faktor-faktor non-teknologi, seperti apakah investasi teknologi informasi akan berpotensi meningkatkan penjualan, kepuasan pelanggan, tingkat keuntungan dan lain sebagainya. Guna memudahkan dalam mengukur manfaat, khususnya manfaat keuangan, bagi perusahaan yang akan mengimplementasikan teknologi informasi dalam skala luas dan bersifat strategis perlu memertimbangkan untuk meninjau kembali perlakuan akuntansi yang akan digunakan untuk menilai kinerja investasi teknologi informasi. Data akuntansi sangat penting dalam menghitung manfaat investasi teknologi informasi.
Setelah identifikasi dasar-dasar pertimbangan dilakukan, maka langkah kedua adalah menentukan prioritas, dengan memperhatikan cakupan manfaat bisnis dan ekonomi, keterbatasan sumber daya, dan faktor lainnya. Bagaimanapun, dari semua pertimbangan di atas perlu dipilih dan dipilah mana yang harus didahulukan dari lainnya. Prioritas penting terutama jika sumber daya perusahaan tidak mencukupi semua kebutuhan investasi teknologi informasi.
Jika prioritas telah ditentukan, sumber daya keuangan dan lainnya yang diperlukan untuk investasi telah dialokasikan, maka langkah ketiga yang disarankan untuk dilakukan adalah melakukan proses pengelolaan dalam mewujudkan manfaat yang diharapkan. Dalam konteks manajemen sistem informasi, langkah ini tergolong operasionalisasi investasi teknologi informasi, tergolong kritis, dan oleh karenanya memerlukan perhatian penuh dari manajemen.
Melengkapi tiga langkah sebelumnya, eksekutif perlu menguji resiko investasi berdasarkan karakteristik aplikasi dan pendekatan dalam pengelolaannya. Pada era awal penggunaan sistem informasi identifikasi resiko pemanfaatan teknologi informasi tidak banyak dilakukan. Namun sejalan dengan semakin berperannya komputer dalam kegiatan bisnis dan menjadikan komputer sebagai jantung kehidupan dari organisasi, mulai disadari resiko atas investasi teknologi informasi. Sebagai contoh, jika sebuah bank yang sudah menyelenggarakan layanan online, atau sebuah perusahaan penerbangan yang sudah melayani penjualan tiket melalui Internet, atau perusahaan operator telekomunikasi yang sangat tergantung pada teknologi informasi, semua fasilitas komputernya padam dalam waktu sehari saja, dapat dibayangkan berapa besar potensi kerugian yang diderita oleh perusahaan- perusahaan tersebut.*****
Wawancara Enterprise Application for UKM by SWA
1. Pendapat Anda terhadap fenomena dimana para vendor semakin gencar menggarap UKM, dan sebaliknya, banyak UKM yang mulai tertarik menerapkan aplikasi korporat di perusahaannya?
Saya kira hal ini fenomena bisnis biasa. Dari sisi vendor, barangkali mereka ingin melebarkan jangkauan pasar, ingin melayani segmen yang sebelumnya tidak disentuh; di sisi UKM, bisa jadi administrasi bisnis sudah semakin kompleks, ynag tidak dapat lagi dikelola dengan cara-cara konvensional, meski skala bisnis masih tergolong UKM. Jadi dilihat dari dari teori ekonomi yang paling dasar, fenomena yang Anda sebutkan merupakan dinamika interaksi antara penyedia dan pengguna produk dan jasa.
Lebih dalam sedikit, jika dikaji menggunakan pendekatan pengaruh eksternak terhadap internal organisasi, dapat dikatakan bahwa adanya perubahan model bisnis sebagai dampak dari pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi secara masif di perusahaan – perusahaan besar pada gilirannya menimbulkan efek luberan (spill-over effect) yang mendorong UKM mengikuti jejak perusahaan besar. Ambil contoh, misalnya Carefour atau Toyota Astra, dua perusahaan besar yang satu bergerak di bidang ritel superstores, sedangkan satunya pembuat kendaraan bermotor. Kedua perusahaan ini memiliki mitra bisnis yang berperan sebagai pemasok, dan sebagian besar dari mereka masih tergolong dalam kategori UKM. Karena tuntutan persaingan, kedua perusahaan ini memutuskan akan mengubah strategi bisnis yang selanjutnya berdampak pada perubahan strategi sistem informasi. Misalnya strategi sistem informasi baru yang dibangun adalah Supply Chain Management (SCM) yang menuntut kesiapan pemasok untuk ikut pula menyediakan Sub-Sistem Informasi agar dapat berhubungan dengan kedua perusahaan tersebut sebagai pembeli produk utamanya.
Apabila UKM sebagai pemasok perusahaan besar tidak siap dengan tuntutan pembeli, maka dapat diperkiraan UKM tersebut akan mengalami kesulitan dalam berhubungan bisnis dengan pembeli utamanya. Persolannya, seringkali UKM tidak hanya melayani satu perusahan besar sebagai pembeli utama produk dan atau jasa yang dihasilkan, namun semakin banyak UKM yang memiliki benyak pembeli utama. Jika masing-masing pembeli utama memiliki tuntan serupa, mau tidak mau UKM sudah harus memikirkan untuk menyediakan Sistem Informasi yang kemampuannya setara dengan yang dimiliki perusahaan besar.
Jadi alasan kedua yang dapat saya ajukan menjawab pertanyaan pertama Anda adalah adanya tuntutan agar perusahaan tetap eksis (survive-ability), guna mengimbangi dinamika lingkungan luar perusahaan yang semakin kompleks dan kompetitif.
Dari sisi vendor, saya melihat fenomena ini tidak lebih dari mengulang praktek bisnis dan diseminasi teknologi yang lazim berlaku empat dekade lalu, namun dengan unit sasaran yang berbeda. Teknologi maju pada awalnya hanya dinikmati oleh masayarakat di negara di mana teknologi tersebut diciptakan. Ketika pertumbuhan bisnis teknologi tersebut sudah mendekati jenuh, mulailah teknologi tersebut dipasarkan ke negara – negara lain. Pemasaran Aplikasi enterprise juga meniru model ini, sasaran pasar pertama tentu perusahaan – perusahaan besar yang memiliki daya beli tinggi dan sifat bisnisnya cocok dengan aplikasi enterprise. Ketika pertumbuhan di segmen pasar perusahaan besar sudah jenuh, maka sasaran berikutnya UKM.
2. Seberapa urgen bagi UKM untuk mengimplementasi suatu sistem TI, yang terkadang terlalu "wah" untuk ukuran UKM?
Yang dimaksud “wah” itu apa?, apakah ini berkaitan dengan kepantasan jika dihubungkan dengan ukuran bisnis, dan besarnya investasi yang harus dikeluarkan? Ukuran urgen atau kurang urgen atau tidak urgen, saya kira yang dapat menentukan dengan pasti adalah pimpinan UKM itu sendiri. Jika ketidak-beradaan TI menyebabkan perusahaan tutup, tidak kompetitif, tentu pemimpinnya akan mengatakan “TI strategik bagi perusahaan”. Sebaliknya bila ada atau tidak ada TI tidak akan berpengaruh besar terhadap eksistensi dan kelangsungan hidup perusahaan, maka TI tidak strategik bagi perusahaan.
Jika UKM dengan – katakanlah – nilai perusahaan tidak lebih dari Rp. 10 Milyar, tetapi investasi TI dengan nilai yang lebih besar dari nilai perusahaan, tentu perlu dipertanyakan motivasinya. Mungkin urgen atau sangat urgen, tetapi apakah relevan, pantas dengan ukuran perusahaan? Inilah yang perlu dipertimbangkan.
3. Menurut Anda, setidaknya bagian apa saja pada departemen suatu UKM yang mesti mendapat prioritas penerapan TI?
Jika dana tersedia, semua bagian perlu mendapat prioritas penerapan TI. Hal ini mengingat pada dasarnya, di dalam organisasi bisnis, semua bagian itu penting. Namun jika dananya relatif terbatas sehingga diperlukan prioritasisasi, saya akan mengusulkan penerapan TI untuk bagian yang menghasilkan pendapatan (revenue) terlebih dahulu. Setelah bagian pemasaran, penjualan dan layanan pelanggan, bagian selanjutnya yang perlu mendapat perhatian dalam menerapkan TI adalah bagian keuangan. Termasuk di dalam bagian keuangan adalah bagian akunting, keuangan (treasury), dan payroll. Sesudah bagian keuangan, giliran prioritas ketiga adalah bagian produksi dan opersional. Termasuk giliran ketiga adalah bagian logistik, pengadaan bahan baku, dan distribusi. Bagian terakhir adalah bagian Sumber Daya Manusia (SDM).
4. Apa saja saran dan kritik Anda tentang itu?
Bagi UKM yang ingin menerapkan TI, sebaiknya melakukan kajian yang cukup komprehensif, jangan hanya melihat sepotong-sepotong saja. Jika pemimpin UKM kurang paham tentang pemanfaatan TI di perusahaan, tanyalah kepada ahlinya sebelum minta bantuan kepada konsultan untuk membangun sistem informasi.
Jika dana yang disediakan masih jauh dari cukup, buatlah skala prioritas dan gunakan model tingkat kepentingan strategis TI terhadap kelangsungan hidup (sustainability) perusahaan. Mulailah dengan aplikasi yang mendukung diperolehnya revenue, sesudah itu baru fokus pada aplikasi untuk menjaga agar aset yang dimiliki dapat terkelola dengan baik. Selanjutya, perhatikan aplikasi yang dapat memerbaiki kualitas produksi dan operasional, sebelum akhirnya perusahaan juga perlu menyediakan aplikasi yang dapat meningkatkan proses pembelajaran guna memastikan keunggulan yang sudah diperoleh tidak hanya bertahan sebentar, tetapi selama-lamanya (sustaianable competitive advantage).
Banyak perusahaan – termasuk UKM - yang latah ikut-ikutan menyediakan investasi TI dalam jumlah besar yang sebenarnya belum terlalu mendesak bagi perusahaan sekelas UKM. Tetapi sama sekali tidak ber-TI juga lebih bauruk dampaknya. Satu hal yang perlu diwaspadai, betatapun tingginya kemampuan TI dan betapapun hebatnya TI mampu membuat perusahaan sehingga menjadi pemimpin di pasar, namun keunggulan tesebut selalu dapat ditiru oleh pesaing. Oleh karenanya, perlu dipetimbangkan bagi UKM untuk memilih model investasi TI yang cost-efisien namun efektif.
Sifat TI yang siklus hidupnya relatif cepat, dapat menjadikan UKM menghadapi persoalan besar yang mengancam eksistensinya ketika investasi TI sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan bisnis, sementara perusahaan sedang tidak memiliki dana untuk penambahan investasi. Model outsourcing, atau sewa hardware dan software dapat menjadi alternatif yang perlu dipertimbangkan bagi eksekutif UKM.*****
Saya kira hal ini fenomena bisnis biasa. Dari sisi vendor, barangkali mereka ingin melebarkan jangkauan pasar, ingin melayani segmen yang sebelumnya tidak disentuh; di sisi UKM, bisa jadi administrasi bisnis sudah semakin kompleks, ynag tidak dapat lagi dikelola dengan cara-cara konvensional, meski skala bisnis masih tergolong UKM. Jadi dilihat dari dari teori ekonomi yang paling dasar, fenomena yang Anda sebutkan merupakan dinamika interaksi antara penyedia dan pengguna produk dan jasa.
Lebih dalam sedikit, jika dikaji menggunakan pendekatan pengaruh eksternak terhadap internal organisasi, dapat dikatakan bahwa adanya perubahan model bisnis sebagai dampak dari pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi secara masif di perusahaan – perusahaan besar pada gilirannya menimbulkan efek luberan (spill-over effect) yang mendorong UKM mengikuti jejak perusahaan besar. Ambil contoh, misalnya Carefour atau Toyota Astra, dua perusahaan besar yang satu bergerak di bidang ritel superstores, sedangkan satunya pembuat kendaraan bermotor. Kedua perusahaan ini memiliki mitra bisnis yang berperan sebagai pemasok, dan sebagian besar dari mereka masih tergolong dalam kategori UKM. Karena tuntutan persaingan, kedua perusahaan ini memutuskan akan mengubah strategi bisnis yang selanjutnya berdampak pada perubahan strategi sistem informasi. Misalnya strategi sistem informasi baru yang dibangun adalah Supply Chain Management (SCM) yang menuntut kesiapan pemasok untuk ikut pula menyediakan Sub-Sistem Informasi agar dapat berhubungan dengan kedua perusahaan tersebut sebagai pembeli produk utamanya.
Apabila UKM sebagai pemasok perusahaan besar tidak siap dengan tuntutan pembeli, maka dapat diperkiraan UKM tersebut akan mengalami kesulitan dalam berhubungan bisnis dengan pembeli utamanya. Persolannya, seringkali UKM tidak hanya melayani satu perusahan besar sebagai pembeli utama produk dan atau jasa yang dihasilkan, namun semakin banyak UKM yang memiliki benyak pembeli utama. Jika masing-masing pembeli utama memiliki tuntan serupa, mau tidak mau UKM sudah harus memikirkan untuk menyediakan Sistem Informasi yang kemampuannya setara dengan yang dimiliki perusahaan besar.
Jadi alasan kedua yang dapat saya ajukan menjawab pertanyaan pertama Anda adalah adanya tuntutan agar perusahaan tetap eksis (survive-ability), guna mengimbangi dinamika lingkungan luar perusahaan yang semakin kompleks dan kompetitif.
Dari sisi vendor, saya melihat fenomena ini tidak lebih dari mengulang praktek bisnis dan diseminasi teknologi yang lazim berlaku empat dekade lalu, namun dengan unit sasaran yang berbeda. Teknologi maju pada awalnya hanya dinikmati oleh masayarakat di negara di mana teknologi tersebut diciptakan. Ketika pertumbuhan bisnis teknologi tersebut sudah mendekati jenuh, mulailah teknologi tersebut dipasarkan ke negara – negara lain. Pemasaran Aplikasi enterprise juga meniru model ini, sasaran pasar pertama tentu perusahaan – perusahaan besar yang memiliki daya beli tinggi dan sifat bisnisnya cocok dengan aplikasi enterprise. Ketika pertumbuhan di segmen pasar perusahaan besar sudah jenuh, maka sasaran berikutnya UKM.
2. Seberapa urgen bagi UKM untuk mengimplementasi suatu sistem TI, yang terkadang terlalu "wah" untuk ukuran UKM?
Yang dimaksud “wah” itu apa?, apakah ini berkaitan dengan kepantasan jika dihubungkan dengan ukuran bisnis, dan besarnya investasi yang harus dikeluarkan? Ukuran urgen atau kurang urgen atau tidak urgen, saya kira yang dapat menentukan dengan pasti adalah pimpinan UKM itu sendiri. Jika ketidak-beradaan TI menyebabkan perusahaan tutup, tidak kompetitif, tentu pemimpinnya akan mengatakan “TI strategik bagi perusahaan”. Sebaliknya bila ada atau tidak ada TI tidak akan berpengaruh besar terhadap eksistensi dan kelangsungan hidup perusahaan, maka TI tidak strategik bagi perusahaan.
Jika UKM dengan – katakanlah – nilai perusahaan tidak lebih dari Rp. 10 Milyar, tetapi investasi TI dengan nilai yang lebih besar dari nilai perusahaan, tentu perlu dipertanyakan motivasinya. Mungkin urgen atau sangat urgen, tetapi apakah relevan, pantas dengan ukuran perusahaan? Inilah yang perlu dipertimbangkan.
3. Menurut Anda, setidaknya bagian apa saja pada departemen suatu UKM yang mesti mendapat prioritas penerapan TI?
Jika dana tersedia, semua bagian perlu mendapat prioritas penerapan TI. Hal ini mengingat pada dasarnya, di dalam organisasi bisnis, semua bagian itu penting. Namun jika dananya relatif terbatas sehingga diperlukan prioritasisasi, saya akan mengusulkan penerapan TI untuk bagian yang menghasilkan pendapatan (revenue) terlebih dahulu. Setelah bagian pemasaran, penjualan dan layanan pelanggan, bagian selanjutnya yang perlu mendapat perhatian dalam menerapkan TI adalah bagian keuangan. Termasuk di dalam bagian keuangan adalah bagian akunting, keuangan (treasury), dan payroll. Sesudah bagian keuangan, giliran prioritas ketiga adalah bagian produksi dan opersional. Termasuk giliran ketiga adalah bagian logistik, pengadaan bahan baku, dan distribusi. Bagian terakhir adalah bagian Sumber Daya Manusia (SDM).
4. Apa saja saran dan kritik Anda tentang itu?
Bagi UKM yang ingin menerapkan TI, sebaiknya melakukan kajian yang cukup komprehensif, jangan hanya melihat sepotong-sepotong saja. Jika pemimpin UKM kurang paham tentang pemanfaatan TI di perusahaan, tanyalah kepada ahlinya sebelum minta bantuan kepada konsultan untuk membangun sistem informasi.
Jika dana yang disediakan masih jauh dari cukup, buatlah skala prioritas dan gunakan model tingkat kepentingan strategis TI terhadap kelangsungan hidup (sustainability) perusahaan. Mulailah dengan aplikasi yang mendukung diperolehnya revenue, sesudah itu baru fokus pada aplikasi untuk menjaga agar aset yang dimiliki dapat terkelola dengan baik. Selanjutya, perhatikan aplikasi yang dapat memerbaiki kualitas produksi dan operasional, sebelum akhirnya perusahaan juga perlu menyediakan aplikasi yang dapat meningkatkan proses pembelajaran guna memastikan keunggulan yang sudah diperoleh tidak hanya bertahan sebentar, tetapi selama-lamanya (sustaianable competitive advantage).
Banyak perusahaan – termasuk UKM - yang latah ikut-ikutan menyediakan investasi TI dalam jumlah besar yang sebenarnya belum terlalu mendesak bagi perusahaan sekelas UKM. Tetapi sama sekali tidak ber-TI juga lebih bauruk dampaknya. Satu hal yang perlu diwaspadai, betatapun tingginya kemampuan TI dan betapapun hebatnya TI mampu membuat perusahaan sehingga menjadi pemimpin di pasar, namun keunggulan tesebut selalu dapat ditiru oleh pesaing. Oleh karenanya, perlu dipetimbangkan bagi UKM untuk memilih model investasi TI yang cost-efisien namun efektif.
Sifat TI yang siklus hidupnya relatif cepat, dapat menjadikan UKM menghadapi persoalan besar yang mengancam eksistensinya ketika investasi TI sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan bisnis, sementara perusahaan sedang tidak memiliki dana untuk penambahan investasi. Model outsourcing, atau sewa hardware dan software dapat menjadi alternatif yang perlu dipertimbangkan bagi eksekutif UKM.*****
Kesan-kesan Penjurian Best e-Corp
1. pengisian lembar informasi ala kadarnya, memudahkan jury dalam menilai tetapi merugikan para peserta. Lha piye ndak rugi? Juri-ne bingung mencari data kesana kemari agar penilaian lebih mendekati faktualnya.
2. Semakin lengkap informasi yang diberikan semakin baik jury dalam memberi nilai. Ini mungkin perlu edukasi dari panitia kepada peserta award agar dalam mengisi dan menjawab pertanyaan dilakukan secara lengkap, jangan pelit ngasih informasi.
3. Dalam menilai jury menggunakan kriteria dan template, bila semua point yang diminta untuk disampaikan diberikan penjelasan, maka poin akan berpeluang semakin baik, karena pada item – item tersebut tidak kosong. Kemudian jury baru memperhatikan substansi dan konteks informasi yang disajikan.
4. Saran kepada panitia, daftar pertanyaannya dibuat satu – satu, seperti pada best e-corp tahun 2007 itu loogh…., jangan borongan. Selain itu pertanyaan hendaknya yang mudah dipahami, memahami pertanyaan itu sudah separo jawaban.
5. Penilaian untuk kategori Best CIO cukup sulit. Hampir semuanya memiliki kompetensi, keahlian, latar belakang pendidikan, track record yang unggul. Untuk dapat membedakan satu dari lainnya itu saya memilih kriteria penilaian “hasil yang diperoleh”, karena betapapun secara individu masing – masing peserta memiliki keunggulan, namun keunggulan tersebut akan kurang bermakna apabila outcome atau hasil tidak optimal. Penekanan pada hasil juga dapat mengindikasikan kemampuan yang bersangkutan dalam mengelola sumber daya perusahaan baik yang ada di bawah kewenangannya, maupun di luar kewenangan.
6. Saya berprasangka, hampir semua peserta baik yang e-corp, CIO maupun Future Leader hebat luar biasa, tetapi jika hanya melalui dokumen yang terbatas, jury tidak bisa menggali lebih dalam benarkah mereka hebat. Dengan demikian penilaian akan lebih akurat dan mendekati kenyataan.
Maswig loh ini yang nulis, mudah-mudahan tidak ada yang tersinggung.
2. Semakin lengkap informasi yang diberikan semakin baik jury dalam memberi nilai. Ini mungkin perlu edukasi dari panitia kepada peserta award agar dalam mengisi dan menjawab pertanyaan dilakukan secara lengkap, jangan pelit ngasih informasi.
3. Dalam menilai jury menggunakan kriteria dan template, bila semua point yang diminta untuk disampaikan diberikan penjelasan, maka poin akan berpeluang semakin baik, karena pada item – item tersebut tidak kosong. Kemudian jury baru memperhatikan substansi dan konteks informasi yang disajikan.
4. Saran kepada panitia, daftar pertanyaannya dibuat satu – satu, seperti pada best e-corp tahun 2007 itu loogh…., jangan borongan. Selain itu pertanyaan hendaknya yang mudah dipahami, memahami pertanyaan itu sudah separo jawaban.
5. Penilaian untuk kategori Best CIO cukup sulit. Hampir semuanya memiliki kompetensi, keahlian, latar belakang pendidikan, track record yang unggul. Untuk dapat membedakan satu dari lainnya itu saya memilih kriteria penilaian “hasil yang diperoleh”, karena betapapun secara individu masing – masing peserta memiliki keunggulan, namun keunggulan tersebut akan kurang bermakna apabila outcome atau hasil tidak optimal. Penekanan pada hasil juga dapat mengindikasikan kemampuan yang bersangkutan dalam mengelola sumber daya perusahaan baik yang ada di bawah kewenangannya, maupun di luar kewenangan.
6. Saya berprasangka, hampir semua peserta baik yang e-corp, CIO maupun Future Leader hebat luar biasa, tetapi jika hanya melalui dokumen yang terbatas, jury tidak bisa menggali lebih dalam benarkah mereka hebat. Dengan demikian penilaian akan lebih akurat dan mendekati kenyataan.
Maswig loh ini yang nulis, mudah-mudahan tidak ada yang tersinggung.
Wawancara Infobank Oktober 2009
1. Harga saham untuk sektor telekomunikasi terlihat semakin "sexy". Bisa diartikan, sektor ini mencatatkan pertumbuhan yang cukup berarti. Bagaimana dengan prospek sektor telekomunikasi di tanah air pada 2010 nanti?
Tahun 2010 saya perkirakan tidak banyak perubahan dari tahun 2009. Mengapa demikian? Pertama, dari aspek teknologi, tidak ada implementasi teknologi baru. 2G sudah mencapai maturity, 3G secara teknologi sudah terpasang tinggal diupayakan penyebar-luasan basis pelanggan. Untuk teknologi selular lain seperti CDMA, profile-nya juga sama, sudah terpasang tinggal peningkatana pentrasi pasar. Jikapun ada perubahan, akan terjadi pada peningkatan kapasitas jaringan tulang punggung (backbone) khususnya di wilayah Indonesia bagian timur yang pada bulan Oktober ini mulai dipasang jaringan serat optik. Selain itu, tender Wimax di pertengahan tahun 2009, kemungkinan sudah ada perusahaan pemenang tender yang mulai menawarkan layanan. Inipun dengan catatan, apabila secara komersial layak dioperasionalkan mengingat, ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang menjadi syarat utama, sementara kemampuan manufaktur dalam negeri bisa jadi belum mampu memenuhi permintaan pasar, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Kedua, dari aspek regulasi, saya memperkirakan peluang terjadi perubahan dalam regulasi telekomunikasi relatif kecil. Regulasi signifikan seperti pengaturan tarif, interkoneksi, standarisasi peralatan, USO, frekuensi, dan perizinan sudah dibuat pada tahun 2009 ke belakang, dan secara substansial sudah mencukupi sebagai syarat dalam industri telekomunikasi yang kompetitif. Khusus tentang perizinan, suatu aspek yang sangat berpengaruh terhadap struktur industri, arahnya akan berubah, tidak lagi satu izin untuk satu jenis layanan seperti sekarang ini, namun mengarah ke satu izin untuk berbagai layanan (universal licensing = UL). Saya perkirakan sepanjang tahun 2010 diskursus kebijakan dan regulasi telekomunikasi akan diwarnai oleh topik UL ini. Hal ini dapat dimaklumi, karena Indonesia mulai memasuki tahap pendewasaan dalam era kompetisi, yang mensyaratkan pengelolaan sumberdaya telekomunikasi secara efisien dan efektif.
Masih terkait aspek regulasi, buntut dari kebijakan menteri Kominfo yang terbit di awal tahun 2008 tentang penggunaan bersama menara telekomunikasi masih akan eksis hingga akhir tahun 2010. Sepanjang tahun 2009, industri telekomunikasi khususnya layanan selular bergerak mendapat “musuh bersama” ketika muncul Perda-perda yang menolak pemberian izin baru pendirian menara telekomunikasi, bahkan di Kabupaten Badung, menara telekomunikasi yang semual memiliki IMB dirobohkan oleh Pemda, hanya karena Pemda telah bekerja-sama secara monopoli dengan suatu perusahaan penyedia menara telekomunikasi. Saya perkirakan “fenomena Badung” masih akan terulang oleh pemerintah daerah yang badung. Yang menarik, ternyata di balik tindakan badung beberapa pemertintah daerah, ada pengusaha yang berperan sebagai aktor intelektual. Sayangnya pengusaha semacam ini takut berkompetisi, sehingga mereka menggunakan tameng para pejabat daerah yang dalam beberapa hal, dapat dibodohi oleh pengusaha semacam ini.
Masih terkait aspek regulasi dan kebijakan, jika struktur Departemen Kominfo berubah, saya perkirakan karakter industri telekomunikasi Indonesia akan terpengaruh, dan apabila masa transisi pembuat kebijakan regulator ini tidak dikelola dengan baik, ada kemungkinan dapat menggoyahkan keyakinan investor, atau malah dapat menurunkan kualitas layanan. Dari rancangan struktur Kominfo yang saya terima tenagh bulan Spetember 2009, tidak terlihat posisi badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang jelasa dan tegas, sehingga eksistensinya masih menjadi tanda tanya besar.
Ketiga, dari aspek bisnis, persaingan harga akan semakin ketat. Namun demikian, saya menduga, para eksekutif telekomunikasi akan lebih bijak dalam bersaing. Belajar dari tahun – tahun lalu, persaingan tajam yang saling memprovokasi harga hanya berujung pada penurunan keuntungan. Sementara, loyalitas pelanggan yang meningkatkan value perusahaan susah tercapai lantaran mudahnya berganti-ganti nomor serta “berhasilnya” program provokasi harga.
Bisnis data dan akses Internet secara mobil yang mulai ditawarkan operator sejak awal 2008 (setelah infrastruktur 3G terpasang) dan mulai menanjak pada 2009, pada 2010 akan menemui tantangan persaingan dari operator Broadband Wireless Access (BWA) yang menggunakan Wimax. Memang lisensi BWA yang ditenderkan pada Mei 2009 untuk jenis layanan nomadic alias tetap (fixed) namun dapat bergerak selagi masih berada dalam jangkauan Base Transceve System (BTS) dan ketika pergerakan melewati batas jangkauan (coverage) pengguna harus menyambung kembali hubungan yang terputus. Mengingat apabila hanya mengandalkan layanan nomadic daya tariknya diperkirakan relatif rendah, maka saya menduga pemegang lisensi BWA akan mulai “memperkenalkan” secara diam-diam layanan mobile BWA, hal ini karena secara teknologi memungkinkan.
Masih dalam aspek bisnis, mulai maraknya layanan broadband internet access baik menggunakan teknologi EDGE, GPRS, 3g maupun Wimax, lazimnya akan menuntut ketersediaan konten. Tanpa konten, ibarat jalan raya yang dapat dilalui kendaraan berkecepatan tinggi, mobil sudah mampu melaju dengan kecepatan tinggi, namun tidak ada penumpang di dalamnya. Bicara konten, produk asing yang sudah terkenal oleh masyarakat penggunan perangkat ICT di Indonesia ada banyak sekali, salah satu contohnya facebook. Dari segi ini mestinya ketersediaan konten sudah tidak perlu diragukan lagi, orang asing luar negeri sudah banyak yang membuatnya, tinggal gunaka saja, gratis. Persoalannya, dari yang tersedia banyak ini, porsi konten produksi dalam negeri masih sangat sedikit, untuk menggantikan kata tidak ada yang meraih sukses pasar di negeri sendiri. Padahal, bisnis konten mestinya memberi nilai tambah yang cukup besar bagi bisnis telekomunkasi. Kalaupun ada konten prosuksi dalam negeri lebih banyak yang ecek-ecek, dan banyak pihak merasa dirugikan karena mengikuti layanan nilai tambah seperti sms berhadiah, sms ramalan, dan lain sebagainya.
2. Apa saja yang menjadi peluang dan tantangan sektor ini di tahun depan?
Peluang? Masih banyak daerah di wilayah Indonesia yang belum terjangkau layanan telekomunikasi baik untuk suara maupun data. Sementara, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tahu manfaat telekomunikasi. Artinya permintaan terhadap layanan telekomunikasi masih cukup besar untuk diberikan oleh semua operator telekomunikasi yang ada.
Tantangan? Bagaimanapun, suka atau benci, sadar atau tidak tahu, telekomunikasi sudah beralih rupa menjadi komoditas. Namun demikian, perlakuan penyediaan layanan telekomunikasi hanya dengan pendekatan bisnis tidak tepat. Masih banyak wilayah dan penduduk Indonesia yang membutuhkan “bantuan” hingga mampu memiliki “kebutuhan” terhadap telekomunikasi. Konflik kepentingan semacam ini perlu dijembatani oleh pembuat kebijakan dengan menyatakan bahwa untuk daerah – daerah tertentu, seperti misalnya kawasan tertinggal, daerah perbatasan, daerah terpencil, penyediaan layanan telekomunikasi menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam pelaksanaannya bisa saja diserahkena ke swasta atau BUMN, namun karena masih merugi sehingga pemerintah memberikan subsidi.
Tantangan lain? Masih banyak, khususnya bagi operator yang masuk ke pasar relatif belakangan, seperti 3 (baca: three) dan Axis. Mereka berdua masuk ke layanan GSM dan 3G ketika pasar sudah dikuasai oleh 3 pemain besar Telkomsel, Indosat dan XL. Tantangan pertama bagi kedua operator pendatang baru ini sudah terlewati, seperti mendapatkan interkoneksi dari semua operator lainnya, tantangan kedua juga sudah berhasil diatasi, ketika kedua operator baru ini mulai memasuki pasar dan memperkenalkan produk mereka dengan tarif yang lebih murah dari para pendahulunya. 2010 akan menjadi tahun penentu bagi kedua 3 dan Axis, apakah masing-masing sanggup meraih 10 juta pelanggan setia. Dengan layanan yang tidak berbeda dari para pesaingnya, tidak ada perbedaan signifikan segmentasi pasar yang disasar, serta wilayah jangkauan yang sama (nasional) maka hanya tersisa strategi perusahaan yang akan membedakan dua perusahaan ini dari golongan kalah atau menang. Jika kalah, maka saya perkirakan, merger dan akuisisi akan terjadi di 2011.
3. Apakah ketatnya persaingan di sektor ini akan memunculkan tren merger atau bahkan akuisisi?
Pembicaraan merger dan akuisisi antara dua operator telekomunikasi dengan teknologi yang sama (CDMA) sudah terjadi sejak tengah tahun 2009, sampai wawancara ini ditulis, transaksi belum terjadi. Jika segala sesuatunya lancar, awal 2010 akan diwarnai oleh bergabungnya dua operator CDMA. Atau jika sampai dengan tengah tahun 2010 berita merger dua operator CDMA ini tidak muncul, maka salah satu atau keduanya sudah diakuisisi oleh investor yang berbeda. Yang hampir pasti, kedua operator CDMA ini memerlukan “pertolongan” atau darah segar dari pemilik baru.
Untuk operator selular yang berbasis GSM dan 3G, profile knerjanya agak berbeda. Tiga operator besar (Telkomsel, Indosat dan XL) rasanya tidak ada perubahan dalam susunan pemilik saham. Hal ini dapat dimengerti karena motivasi pemegang saham lebih pada perluasan usaha serupa mereka di negerinya masing-masing, dan mereka mudah-mudahan bukan tergolong investor yang jangkauan wawasannya pendek. Ketiga operator sellular tersebut relatif sudah stabil, tinggal mengembangkan layana dan mempertahankan diri jika sewaktu-waktu terjadi goncangan pasar. Merger dua atau lebih operator selular berbasis GSM dan 3G keliatannya tidak terjadi di 2010, tetapi ada kemungkinan terjadi di tahun 2011. Itupun dengan asumsi kedua pendatang baru operator GSM/3G tersebut gagal mencapai moment perubahan pada kuartal 4 tahun 2010.
Akuisisi operator selular terhadap perusahaan pendukung atau penyedia jasa nilai tambah, ada kemungkinan akan terjadi lagi, setelah tahu 2008 dilakukan oleh Telkom terhadap Sigma. Motivasi akuisisi semacam ini lebih pada sinergi penyediaan aplikasi pendukung operasional seperti penyediaan aplikasi billing, ERP. SCM, dan atau CRM. Lebih jauh, akuisisi yang mungkin akan terjadi dimaksudkan untuk komplemen terhadap infrastruktur telekomunikasi yang sudah dimiliki. Dengan demikian, ke depan operator telekomunikasi tidak hanya menjual layanan konvensional suara dan data (akses Internet) namun juga melayani jasa nilai tambah seperti fasilitasi transaksi dan pembayaran secara elektronik, penyedia konten, jasa konsultasi ICT dan lain sebagainya yang semuanya memanfaatkan kompetensi dan sumber daya yang sudah dimiliki. Jadi hal ini semacam ekstensifikasi pemanfaatan sumber daya perusahaan.*****
Tahun 2010 saya perkirakan tidak banyak perubahan dari tahun 2009. Mengapa demikian? Pertama, dari aspek teknologi, tidak ada implementasi teknologi baru. 2G sudah mencapai maturity, 3G secara teknologi sudah terpasang tinggal diupayakan penyebar-luasan basis pelanggan. Untuk teknologi selular lain seperti CDMA, profile-nya juga sama, sudah terpasang tinggal peningkatana pentrasi pasar. Jikapun ada perubahan, akan terjadi pada peningkatan kapasitas jaringan tulang punggung (backbone) khususnya di wilayah Indonesia bagian timur yang pada bulan Oktober ini mulai dipasang jaringan serat optik. Selain itu, tender Wimax di pertengahan tahun 2009, kemungkinan sudah ada perusahaan pemenang tender yang mulai menawarkan layanan. Inipun dengan catatan, apabila secara komersial layak dioperasionalkan mengingat, ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang menjadi syarat utama, sementara kemampuan manufaktur dalam negeri bisa jadi belum mampu memenuhi permintaan pasar, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Kedua, dari aspek regulasi, saya memperkirakan peluang terjadi perubahan dalam regulasi telekomunikasi relatif kecil. Regulasi signifikan seperti pengaturan tarif, interkoneksi, standarisasi peralatan, USO, frekuensi, dan perizinan sudah dibuat pada tahun 2009 ke belakang, dan secara substansial sudah mencukupi sebagai syarat dalam industri telekomunikasi yang kompetitif. Khusus tentang perizinan, suatu aspek yang sangat berpengaruh terhadap struktur industri, arahnya akan berubah, tidak lagi satu izin untuk satu jenis layanan seperti sekarang ini, namun mengarah ke satu izin untuk berbagai layanan (universal licensing = UL). Saya perkirakan sepanjang tahun 2010 diskursus kebijakan dan regulasi telekomunikasi akan diwarnai oleh topik UL ini. Hal ini dapat dimaklumi, karena Indonesia mulai memasuki tahap pendewasaan dalam era kompetisi, yang mensyaratkan pengelolaan sumberdaya telekomunikasi secara efisien dan efektif.
Masih terkait aspek regulasi, buntut dari kebijakan menteri Kominfo yang terbit di awal tahun 2008 tentang penggunaan bersama menara telekomunikasi masih akan eksis hingga akhir tahun 2010. Sepanjang tahun 2009, industri telekomunikasi khususnya layanan selular bergerak mendapat “musuh bersama” ketika muncul Perda-perda yang menolak pemberian izin baru pendirian menara telekomunikasi, bahkan di Kabupaten Badung, menara telekomunikasi yang semual memiliki IMB dirobohkan oleh Pemda, hanya karena Pemda telah bekerja-sama secara monopoli dengan suatu perusahaan penyedia menara telekomunikasi. Saya perkirakan “fenomena Badung” masih akan terulang oleh pemerintah daerah yang badung. Yang menarik, ternyata di balik tindakan badung beberapa pemertintah daerah, ada pengusaha yang berperan sebagai aktor intelektual. Sayangnya pengusaha semacam ini takut berkompetisi, sehingga mereka menggunakan tameng para pejabat daerah yang dalam beberapa hal, dapat dibodohi oleh pengusaha semacam ini.
Masih terkait aspek regulasi dan kebijakan, jika struktur Departemen Kominfo berubah, saya perkirakan karakter industri telekomunikasi Indonesia akan terpengaruh, dan apabila masa transisi pembuat kebijakan regulator ini tidak dikelola dengan baik, ada kemungkinan dapat menggoyahkan keyakinan investor, atau malah dapat menurunkan kualitas layanan. Dari rancangan struktur Kominfo yang saya terima tenagh bulan Spetember 2009, tidak terlihat posisi badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang jelasa dan tegas, sehingga eksistensinya masih menjadi tanda tanya besar.
Ketiga, dari aspek bisnis, persaingan harga akan semakin ketat. Namun demikian, saya menduga, para eksekutif telekomunikasi akan lebih bijak dalam bersaing. Belajar dari tahun – tahun lalu, persaingan tajam yang saling memprovokasi harga hanya berujung pada penurunan keuntungan. Sementara, loyalitas pelanggan yang meningkatkan value perusahaan susah tercapai lantaran mudahnya berganti-ganti nomor serta “berhasilnya” program provokasi harga.
Bisnis data dan akses Internet secara mobil yang mulai ditawarkan operator sejak awal 2008 (setelah infrastruktur 3G terpasang) dan mulai menanjak pada 2009, pada 2010 akan menemui tantangan persaingan dari operator Broadband Wireless Access (BWA) yang menggunakan Wimax. Memang lisensi BWA yang ditenderkan pada Mei 2009 untuk jenis layanan nomadic alias tetap (fixed) namun dapat bergerak selagi masih berada dalam jangkauan Base Transceve System (BTS) dan ketika pergerakan melewati batas jangkauan (coverage) pengguna harus menyambung kembali hubungan yang terputus. Mengingat apabila hanya mengandalkan layanan nomadic daya tariknya diperkirakan relatif rendah, maka saya menduga pemegang lisensi BWA akan mulai “memperkenalkan” secara diam-diam layanan mobile BWA, hal ini karena secara teknologi memungkinkan.
Masih dalam aspek bisnis, mulai maraknya layanan broadband internet access baik menggunakan teknologi EDGE, GPRS, 3g maupun Wimax, lazimnya akan menuntut ketersediaan konten. Tanpa konten, ibarat jalan raya yang dapat dilalui kendaraan berkecepatan tinggi, mobil sudah mampu melaju dengan kecepatan tinggi, namun tidak ada penumpang di dalamnya. Bicara konten, produk asing yang sudah terkenal oleh masyarakat penggunan perangkat ICT di Indonesia ada banyak sekali, salah satu contohnya facebook. Dari segi ini mestinya ketersediaan konten sudah tidak perlu diragukan lagi, orang asing luar negeri sudah banyak yang membuatnya, tinggal gunaka saja, gratis. Persoalannya, dari yang tersedia banyak ini, porsi konten produksi dalam negeri masih sangat sedikit, untuk menggantikan kata tidak ada yang meraih sukses pasar di negeri sendiri. Padahal, bisnis konten mestinya memberi nilai tambah yang cukup besar bagi bisnis telekomunkasi. Kalaupun ada konten prosuksi dalam negeri lebih banyak yang ecek-ecek, dan banyak pihak merasa dirugikan karena mengikuti layanan nilai tambah seperti sms berhadiah, sms ramalan, dan lain sebagainya.
2. Apa saja yang menjadi peluang dan tantangan sektor ini di tahun depan?
Peluang? Masih banyak daerah di wilayah Indonesia yang belum terjangkau layanan telekomunikasi baik untuk suara maupun data. Sementara, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tahu manfaat telekomunikasi. Artinya permintaan terhadap layanan telekomunikasi masih cukup besar untuk diberikan oleh semua operator telekomunikasi yang ada.
Tantangan? Bagaimanapun, suka atau benci, sadar atau tidak tahu, telekomunikasi sudah beralih rupa menjadi komoditas. Namun demikian, perlakuan penyediaan layanan telekomunikasi hanya dengan pendekatan bisnis tidak tepat. Masih banyak wilayah dan penduduk Indonesia yang membutuhkan “bantuan” hingga mampu memiliki “kebutuhan” terhadap telekomunikasi. Konflik kepentingan semacam ini perlu dijembatani oleh pembuat kebijakan dengan menyatakan bahwa untuk daerah – daerah tertentu, seperti misalnya kawasan tertinggal, daerah perbatasan, daerah terpencil, penyediaan layanan telekomunikasi menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam pelaksanaannya bisa saja diserahkena ke swasta atau BUMN, namun karena masih merugi sehingga pemerintah memberikan subsidi.
Tantangan lain? Masih banyak, khususnya bagi operator yang masuk ke pasar relatif belakangan, seperti 3 (baca: three) dan Axis. Mereka berdua masuk ke layanan GSM dan 3G ketika pasar sudah dikuasai oleh 3 pemain besar Telkomsel, Indosat dan XL. Tantangan pertama bagi kedua operator pendatang baru ini sudah terlewati, seperti mendapatkan interkoneksi dari semua operator lainnya, tantangan kedua juga sudah berhasil diatasi, ketika kedua operator baru ini mulai memasuki pasar dan memperkenalkan produk mereka dengan tarif yang lebih murah dari para pendahulunya. 2010 akan menjadi tahun penentu bagi kedua 3 dan Axis, apakah masing-masing sanggup meraih 10 juta pelanggan setia. Dengan layanan yang tidak berbeda dari para pesaingnya, tidak ada perbedaan signifikan segmentasi pasar yang disasar, serta wilayah jangkauan yang sama (nasional) maka hanya tersisa strategi perusahaan yang akan membedakan dua perusahaan ini dari golongan kalah atau menang. Jika kalah, maka saya perkirakan, merger dan akuisisi akan terjadi di 2011.
3. Apakah ketatnya persaingan di sektor ini akan memunculkan tren merger atau bahkan akuisisi?
Pembicaraan merger dan akuisisi antara dua operator telekomunikasi dengan teknologi yang sama (CDMA) sudah terjadi sejak tengah tahun 2009, sampai wawancara ini ditulis, transaksi belum terjadi. Jika segala sesuatunya lancar, awal 2010 akan diwarnai oleh bergabungnya dua operator CDMA. Atau jika sampai dengan tengah tahun 2010 berita merger dua operator CDMA ini tidak muncul, maka salah satu atau keduanya sudah diakuisisi oleh investor yang berbeda. Yang hampir pasti, kedua operator CDMA ini memerlukan “pertolongan” atau darah segar dari pemilik baru.
Untuk operator selular yang berbasis GSM dan 3G, profile knerjanya agak berbeda. Tiga operator besar (Telkomsel, Indosat dan XL) rasanya tidak ada perubahan dalam susunan pemilik saham. Hal ini dapat dimengerti karena motivasi pemegang saham lebih pada perluasan usaha serupa mereka di negerinya masing-masing, dan mereka mudah-mudahan bukan tergolong investor yang jangkauan wawasannya pendek. Ketiga operator sellular tersebut relatif sudah stabil, tinggal mengembangkan layana dan mempertahankan diri jika sewaktu-waktu terjadi goncangan pasar. Merger dua atau lebih operator selular berbasis GSM dan 3G keliatannya tidak terjadi di 2010, tetapi ada kemungkinan terjadi di tahun 2011. Itupun dengan asumsi kedua pendatang baru operator GSM/3G tersebut gagal mencapai moment perubahan pada kuartal 4 tahun 2010.
Akuisisi operator selular terhadap perusahaan pendukung atau penyedia jasa nilai tambah, ada kemungkinan akan terjadi lagi, setelah tahu 2008 dilakukan oleh Telkom terhadap Sigma. Motivasi akuisisi semacam ini lebih pada sinergi penyediaan aplikasi pendukung operasional seperti penyediaan aplikasi billing, ERP. SCM, dan atau CRM. Lebih jauh, akuisisi yang mungkin akan terjadi dimaksudkan untuk komplemen terhadap infrastruktur telekomunikasi yang sudah dimiliki. Dengan demikian, ke depan operator telekomunikasi tidak hanya menjual layanan konvensional suara dan data (akses Internet) namun juga melayani jasa nilai tambah seperti fasilitasi transaksi dan pembayaran secara elektronik, penyedia konten, jasa konsultasi ICT dan lain sebagainya yang semuanya memanfaatkan kompetensi dan sumber daya yang sudah dimiliki. Jadi hal ini semacam ekstensifikasi pemanfaatan sumber daya perusahaan.*****
Wawancara Rudi Kuswanto, Human Capital
1. Bagaimana Bapak melihat secara global perjalanan industri telko nasional hingga pencapaiannya selama ini setelah berjalan selama 14 tahun lebih.
• Secara umum ditinjau dari perspektif ekonomi indutri, telekomunikasi nasional telah memasuki tahap mendekati kedewasaan. Pasar yang semula monopoli, dan kemudian berubah menjadi oligopoli, sekarang sudah kompetitif. Artinya, semakin banyak pelaku, kita saksikan sekarang setidaknya ada 12 perusahaan penyedia jasa telekomunikasi, 8 di antaranya menyediakan layanan telepon bergerak selular. Dan puluhan perusahaan penyedia jasa akses Internet, layanan telekomunikasi jaringan tertutup, jasa nilai tambah telekomunikasi.
• Dari perspektif regulasi, penyelenggaraan telekomunikasi nasional telah mulai mendekati kondisi yang saya sebut sebagai mutual-regulated industry, artinya, semua pihak yang terlibat dalam telekomunikasi; Pemerintah, Regulator, Operator, dan pengguna telekomunikasi; sudah mampu meningkatkan kualitas hubungan timbal balik (relationship), saling menghormati.
• Kinerja sektor telekomunikasi juga mampu menunjukkan sebagai sektor yang terus tumbuh dalam dekade terakhir ini, bahkan ketika Indonesia dilanda krisis keuangan sepuluh tahun lalu, telekomunikasi merupakan satu-satunya sektor yang terus tumbuh dan memberi peningkatan kontribusi terhadap GDP nasional.
2. Dari sisi pencapaian jumlah pelanggan, coverage, tarif dan kualitas, bagaimana Bapak menilai kinerja operator kita.
• Signifikan! Barangkali itulah kata yang tepat untuk menggambarkan pencapaian atau kinerja sektor telekomunikasi Indonesia selama sepuluh tahun terakhir.
• Sepuluh tahun lalau jumlah pengguna telekomunikasi tidak lebih dari 1% populasi, bandingkan kondisi sekarang, statistik akhir April 2009 sudah mendekati 90 juta pengguna. Coverage atau wilayah liputan hanay di kota – kota besar di pulau Jawa dan beberapa kota besar di luar Jawa, sekarang hampir semua kecamatan di pulau Jawa sudah tersambung layanan telekomunikasi. Di pulau – pulau luar Jawa-pun demikian, wilayah yang terlayani jaringan telekomunikasi semakin luas. Tarif, jika ditinjau dari nominal memang terlihat meningkat, angkanya lebih besar dari sepuluh tahun lalu. Namun benefit yang diterima pengguna jauh lebih besar, sehingga peningkatan tarif nominal yang diikuti dengan peningkatan manfaat dan kualitas layanan sama artinya dengan peningkatan Value atau penurunan ongkos telekomunikasi.
3. Operator kita.. kalau tidak salah berjumlah 11, sementara di negara-negara lain biasanya 3-4 operator saja, fenomena apakah ini? Apakah perang tarif yang terjadi selama ini cukup sehat bagi operator atau malah justru membahayakan bagi para operator?
• Pembandingan jumlah operator di suatu negara dengan negara lain, tidak selalu tepat. Perbedaan kondisi sosial ekonomi, politik, demogrrafi dan geografi dapat dirujuk sebagai alasan mengapa pembandingan tidak selalu tepat.
• Saya melihat jumlah operator telekomunikasi yang mencapai 12 perusahaan, dan kemungkinan akan bertambah lagi, setidaknya mengindikasikan beberapa hal. Pertama, dengan luas geografi dan penduduk lebih dari 200 juta yang tersebar di Nusantara Indonesia dipandang sebagai pasar telekomunikasi yang tidak cukup hanya dilayani oleh 1 atau 2 operator. Kedua, kondisi pertama tersebut, mendorong investor untuk menanamkan modal untuk membangun jaringan dan layanan telekomunikasi.. Ketiga, Pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan dan regulasi, belum memiliki kebijakan atau setidaknya memutuskan berapa jumlah ideal operator telekomunikasi yang layak bagi Indonesia. Ketiadaan kebijakan ini masih dapat dipahami, mengingat tiadanya model ideal bagi suatu negara. Kondisi bagus di suatu negara, belum tentu bagus pula diterapkan di negara lain. Keempat, tidak mudah bagi Pemerintah untuk mencabut izin-izin yang sudah diterbitkan walapun pemegang izin tidak mampu memenuhi komitmen yang tertuang dalam dokumen perizinan. Kondisi seperti ini menjadikan operator yang tidak mampu mengembangkan wilayah jaringan dan layanan tetap saja eksis.
• Dua tahun lalu operator telekomunikasi, khususnya operator telepon selular, gencar memainkan harga sebagai alat pesaingan. Akibatnya tahun 2008 mereka semau sudah mulai merasakan buah persaingan harga yang dijadikan strategi bisnis 2 tahun sebelumnya. Kinerja keuangan tahun 2008 hampir semua operator mengalami penurunan. Sekarang mereka baru menyadari persaingan harga tidak baik untuk industri, dan akhirnya tidak baik pula untuk pengguna /pelanggan.
4. Dibandingkan dengan pertumbuhan bisnis telko di indonesia dengan negara-negara lain di asia dan asia tenggara sendiri, bagaimana posisi Indonesia.
• Jika melihatnya dari persentase sambungan telepon tetap per 100 penduduk (teledensitas, menurut pengertian ITU) maka teledensitas Indonesia tergolong rendah, sekarang ini mungkin masih 4% artinya untuk 100 penduduk hanya tersedia 4 sambungan telepon tetap. Angka ini masih di bawah Malaysia, Philipne, Singapore, dan Thailand.
• Namun demikian, jika ditambahkan dengan telepon nirkabel (wireless) baik untuk layanan bergerak (mobile) maupun telepon tetap nirkabel (Fixed Wireless Access / FWA), nominal pengguna telepon di Indonesia sudah melebih penduduk hampir semua negara angota ASEAN.
• Jadi kalau bicara soal posisi Indonesia, itu sangat relatif, tergantung indikator atau parameter yang akan digunakan. Bagi saya, mau dilihat dari parameter apa saja silakan, yang penting semakin banyak dan semakin menyebar masyarakat warga Indonesia yang dapat menikmati layanan telekomunikasi.
5. Bagaimana sebenarnya potensi operator Indonesia untuk bisa berkiprah di kancang internasional?
• Mengenai hal ini ada dua arus pemikiran. Pertama yang lebih suka melihat ke dalam (inward looking), mereka yang lebih suka melihat ke dalam adalah mereka yang berpikir bahawa pasar Indonesia sedemikian besar, ngapain melayani negara lain, lha melayani negeri sendiri saja belum mampu secara penuh. Kedua, mereka yang melihat SDM telekomunikasi Indonesia sebenarnya sudah mumpuni dan mampu bersaing dengan SDM telekomunikasi dari negara – negara lain, bahkan dari negara maju sekalipun, dan dengan kemampuan SDM ini, operator telekomunikasi dapat bermain di aras internasional, namun terhambat oleh belum adanya kebijakan Pemerintah atau strategi umum perusahaan untuk masuk ke pasar Internasional.
• Sudah hampri 2 tahun PT. Telkom, mulai masuk ke pasar internasional. Telkom membuka anak perusahaan di Singapore untuk mananguk bisnis dari negara lain. Selain itu bisnis dengan negara – negara Afrika pun keliatannya sudah mulai dilaksanakan. Jauh sebelum itu, beberapa pelaku bisnis Indonesia menanamkan modal di Kamboja, membuka bisnis layanan telekomunikasi. Namun kabarnya, sekarang sudah tidak beroperasi lagi.
6. Lebih jauh bicara tentang SDM di industri telko, bagaimana Bapak melihat SDM di industri ini, apakah kebutuhan pasar sudah terpenuhi semua, bagaimana peran para expatriat dan SDM lokal sendiri.
• Seperti saya jeaskan di atas, SDM telekomunikasi di Indonesia sudah mahir. Bahkan banyak yang sudah masuk ke jaringan expert internasional. Engineer teekomunikasi Indonesia tidak hanya bekerja di Indonesia, namun banyak yang bekerja keliling dunia, harus bersedai sewaktu-waktu dipanggil untuk melaksanakan tugas di negara lain.
• Kebutuhan pasar tentu saja belum terpenuhi semua, hal ini karena, banyak juga kekosongan jabatan karena ditinggal pensiun, atau karena adanya teknologi baru yang membutuhkan personalia baru.
• Expat di operator telekomunikasi pada umumnya hanya mereka yang duduk di level eksekutif. Di level Vice Presiden ke bawah sangat jarang, kalaupun ada biasanya untuk keahlian yang sangat spesifik.
• Expat di perusahaan vendor telekomunikasi (misaonya Huawei) masih banyak sekali. Ini menarik, di vendor telekomunikasi Eropa dan Amerika, pada umumnya banyak mempekerjakan orang Indonesia, bahkan sampai level eksekutif. Namun vendor – vendor China lebih suka mendatangkan enggineer dari negeri mereka, jumlahnya banyak sekali. Padahal untuk posisi engineer, sebanarnya orang Indonesia sudah banyak yang mampu menambil alih. Mungkin karena tenaga kerja di China berlebihan, ya? Saya agak heran mengapa Pemerintah membiarkan fenomena ini.
7. Bagaimana kreativitas para operator, dan apakah dalam kerangka mendidik dan mencerdaskan pelanggan dan masyarakat Telko pada umumnya?
• Kreatifitas operator sangat bagus. Lihat saja, pesan – pesan iklannya, produk – produk yang ditawarkan, event-event promosi yang digelar, kerja sama dengan berbagai pihak yang dijalin, dan lain sebagainya, yang semuanya itu menunjukkan bagaimanan operator telekomunikasi ingin dekat dan disukai pelanggan.
• Aktivitas yang mendidik masyarakat? Tentu saja. Namun sebaiknya kita tidak melihat mendidik dalam pengertian konvensional, di ruang kelas, tetapi mendidik dalam pengertian membuat orang menjadi berbeda dari sebelumnya. Menjadi pintar memilih dari sebelumnya yang tidak ada pilihan lain; menjadi pintar menimbang, mana iklan yang bohong, mana iklan yang baik dan jujur; menjadi pelanggan yang sadar ekonomi ketika mampu membedakan mana layanan yang murah beneran dan murah hanya diiklan saja; dan masih banyak lagi.
• Artinya, operator dan layanan telekomunikasi, disadari atau tidak teleh mengubah masyarakat Indonesia, baik pada kebiasaan berkomunikasi, gaya hidup, kecerdasan sosial, dan mendekatkan warga Indoneaia dengan warga dunia lainnya.
8. Lantas bagaimana pula masih maraknya aksi bajak-membajak SDM di posisi kunci dari satu operator ke operator lain?
• Bajak membajak SDM di sektor telekomunikasi relatif tidak banyak, tidak sehebih di sektor perbankan atau sektor elite lainnya. Malah sudah ada indikasi masuknay orang-orang non-telekomunikasi ke perusahaan telekomunikasi, seperti ketika Pak Arwin Rasyid masuk ke Telkom. Dan belum lama ini Pak Harry ditunjuk sebagai Dirut Indosat. Pak Arwin akhirnya terlempar dari Telkom, kita tunggu apakah Pak Harry berhasil diterima oleh warga Indosat.
• Pernah terjadi perpindahan pegawai dari suatu operator ke operator yang baru berdiri. Hal ini wajar karena SDM telekomunikasi yang mumpuni tidak tersedia di pasar tenaga kerja, hampir semuanya sudah terserap di industri, sementara jika merekrut fesh graduate, mungkin belum mampu mengoperasikan jaringan dalam tempo singkat. Maka jalan pintas diambil dengan membujuk beberapa pegawai dari perusahaan lain untuk pindah.
• Jadi heboh bajak-membajak SDM biasanya marak ketika ada operator baru yang akan mulai beroperasi. Sesudah itu keadaan tenang kembali.
• Secara umum ditinjau dari perspektif ekonomi indutri, telekomunikasi nasional telah memasuki tahap mendekati kedewasaan. Pasar yang semula monopoli, dan kemudian berubah menjadi oligopoli, sekarang sudah kompetitif. Artinya, semakin banyak pelaku, kita saksikan sekarang setidaknya ada 12 perusahaan penyedia jasa telekomunikasi, 8 di antaranya menyediakan layanan telepon bergerak selular. Dan puluhan perusahaan penyedia jasa akses Internet, layanan telekomunikasi jaringan tertutup, jasa nilai tambah telekomunikasi.
• Dari perspektif regulasi, penyelenggaraan telekomunikasi nasional telah mulai mendekati kondisi yang saya sebut sebagai mutual-regulated industry, artinya, semua pihak yang terlibat dalam telekomunikasi; Pemerintah, Regulator, Operator, dan pengguna telekomunikasi; sudah mampu meningkatkan kualitas hubungan timbal balik (relationship), saling menghormati.
• Kinerja sektor telekomunikasi juga mampu menunjukkan sebagai sektor yang terus tumbuh dalam dekade terakhir ini, bahkan ketika Indonesia dilanda krisis keuangan sepuluh tahun lalu, telekomunikasi merupakan satu-satunya sektor yang terus tumbuh dan memberi peningkatan kontribusi terhadap GDP nasional.
2. Dari sisi pencapaian jumlah pelanggan, coverage, tarif dan kualitas, bagaimana Bapak menilai kinerja operator kita.
• Signifikan! Barangkali itulah kata yang tepat untuk menggambarkan pencapaian atau kinerja sektor telekomunikasi Indonesia selama sepuluh tahun terakhir.
• Sepuluh tahun lalau jumlah pengguna telekomunikasi tidak lebih dari 1% populasi, bandingkan kondisi sekarang, statistik akhir April 2009 sudah mendekati 90 juta pengguna. Coverage atau wilayah liputan hanay di kota – kota besar di pulau Jawa dan beberapa kota besar di luar Jawa, sekarang hampir semua kecamatan di pulau Jawa sudah tersambung layanan telekomunikasi. Di pulau – pulau luar Jawa-pun demikian, wilayah yang terlayani jaringan telekomunikasi semakin luas. Tarif, jika ditinjau dari nominal memang terlihat meningkat, angkanya lebih besar dari sepuluh tahun lalu. Namun benefit yang diterima pengguna jauh lebih besar, sehingga peningkatan tarif nominal yang diikuti dengan peningkatan manfaat dan kualitas layanan sama artinya dengan peningkatan Value atau penurunan ongkos telekomunikasi.
3. Operator kita.. kalau tidak salah berjumlah 11, sementara di negara-negara lain biasanya 3-4 operator saja, fenomena apakah ini? Apakah perang tarif yang terjadi selama ini cukup sehat bagi operator atau malah justru membahayakan bagi para operator?
• Pembandingan jumlah operator di suatu negara dengan negara lain, tidak selalu tepat. Perbedaan kondisi sosial ekonomi, politik, demogrrafi dan geografi dapat dirujuk sebagai alasan mengapa pembandingan tidak selalu tepat.
• Saya melihat jumlah operator telekomunikasi yang mencapai 12 perusahaan, dan kemungkinan akan bertambah lagi, setidaknya mengindikasikan beberapa hal. Pertama, dengan luas geografi dan penduduk lebih dari 200 juta yang tersebar di Nusantara Indonesia dipandang sebagai pasar telekomunikasi yang tidak cukup hanya dilayani oleh 1 atau 2 operator. Kedua, kondisi pertama tersebut, mendorong investor untuk menanamkan modal untuk membangun jaringan dan layanan telekomunikasi.. Ketiga, Pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan dan regulasi, belum memiliki kebijakan atau setidaknya memutuskan berapa jumlah ideal operator telekomunikasi yang layak bagi Indonesia. Ketiadaan kebijakan ini masih dapat dipahami, mengingat tiadanya model ideal bagi suatu negara. Kondisi bagus di suatu negara, belum tentu bagus pula diterapkan di negara lain. Keempat, tidak mudah bagi Pemerintah untuk mencabut izin-izin yang sudah diterbitkan walapun pemegang izin tidak mampu memenuhi komitmen yang tertuang dalam dokumen perizinan. Kondisi seperti ini menjadikan operator yang tidak mampu mengembangkan wilayah jaringan dan layanan tetap saja eksis.
• Dua tahun lalu operator telekomunikasi, khususnya operator telepon selular, gencar memainkan harga sebagai alat pesaingan. Akibatnya tahun 2008 mereka semau sudah mulai merasakan buah persaingan harga yang dijadikan strategi bisnis 2 tahun sebelumnya. Kinerja keuangan tahun 2008 hampir semua operator mengalami penurunan. Sekarang mereka baru menyadari persaingan harga tidak baik untuk industri, dan akhirnya tidak baik pula untuk pengguna /pelanggan.
4. Dibandingkan dengan pertumbuhan bisnis telko di indonesia dengan negara-negara lain di asia dan asia tenggara sendiri, bagaimana posisi Indonesia.
• Jika melihatnya dari persentase sambungan telepon tetap per 100 penduduk (teledensitas, menurut pengertian ITU) maka teledensitas Indonesia tergolong rendah, sekarang ini mungkin masih 4% artinya untuk 100 penduduk hanya tersedia 4 sambungan telepon tetap. Angka ini masih di bawah Malaysia, Philipne, Singapore, dan Thailand.
• Namun demikian, jika ditambahkan dengan telepon nirkabel (wireless) baik untuk layanan bergerak (mobile) maupun telepon tetap nirkabel (Fixed Wireless Access / FWA), nominal pengguna telepon di Indonesia sudah melebih penduduk hampir semua negara angota ASEAN.
• Jadi kalau bicara soal posisi Indonesia, itu sangat relatif, tergantung indikator atau parameter yang akan digunakan. Bagi saya, mau dilihat dari parameter apa saja silakan, yang penting semakin banyak dan semakin menyebar masyarakat warga Indonesia yang dapat menikmati layanan telekomunikasi.
5. Bagaimana sebenarnya potensi operator Indonesia untuk bisa berkiprah di kancang internasional?
• Mengenai hal ini ada dua arus pemikiran. Pertama yang lebih suka melihat ke dalam (inward looking), mereka yang lebih suka melihat ke dalam adalah mereka yang berpikir bahawa pasar Indonesia sedemikian besar, ngapain melayani negara lain, lha melayani negeri sendiri saja belum mampu secara penuh. Kedua, mereka yang melihat SDM telekomunikasi Indonesia sebenarnya sudah mumpuni dan mampu bersaing dengan SDM telekomunikasi dari negara – negara lain, bahkan dari negara maju sekalipun, dan dengan kemampuan SDM ini, operator telekomunikasi dapat bermain di aras internasional, namun terhambat oleh belum adanya kebijakan Pemerintah atau strategi umum perusahaan untuk masuk ke pasar Internasional.
• Sudah hampri 2 tahun PT. Telkom, mulai masuk ke pasar internasional. Telkom membuka anak perusahaan di Singapore untuk mananguk bisnis dari negara lain. Selain itu bisnis dengan negara – negara Afrika pun keliatannya sudah mulai dilaksanakan. Jauh sebelum itu, beberapa pelaku bisnis Indonesia menanamkan modal di Kamboja, membuka bisnis layanan telekomunikasi. Namun kabarnya, sekarang sudah tidak beroperasi lagi.
6. Lebih jauh bicara tentang SDM di industri telko, bagaimana Bapak melihat SDM di industri ini, apakah kebutuhan pasar sudah terpenuhi semua, bagaimana peran para expatriat dan SDM lokal sendiri.
• Seperti saya jeaskan di atas, SDM telekomunikasi di Indonesia sudah mahir. Bahkan banyak yang sudah masuk ke jaringan expert internasional. Engineer teekomunikasi Indonesia tidak hanya bekerja di Indonesia, namun banyak yang bekerja keliling dunia, harus bersedai sewaktu-waktu dipanggil untuk melaksanakan tugas di negara lain.
• Kebutuhan pasar tentu saja belum terpenuhi semua, hal ini karena, banyak juga kekosongan jabatan karena ditinggal pensiun, atau karena adanya teknologi baru yang membutuhkan personalia baru.
• Expat di operator telekomunikasi pada umumnya hanya mereka yang duduk di level eksekutif. Di level Vice Presiden ke bawah sangat jarang, kalaupun ada biasanya untuk keahlian yang sangat spesifik.
• Expat di perusahaan vendor telekomunikasi (misaonya Huawei) masih banyak sekali. Ini menarik, di vendor telekomunikasi Eropa dan Amerika, pada umumnya banyak mempekerjakan orang Indonesia, bahkan sampai level eksekutif. Namun vendor – vendor China lebih suka mendatangkan enggineer dari negeri mereka, jumlahnya banyak sekali. Padahal untuk posisi engineer, sebanarnya orang Indonesia sudah banyak yang mampu menambil alih. Mungkin karena tenaga kerja di China berlebihan, ya? Saya agak heran mengapa Pemerintah membiarkan fenomena ini.
7. Bagaimana kreativitas para operator, dan apakah dalam kerangka mendidik dan mencerdaskan pelanggan dan masyarakat Telko pada umumnya?
• Kreatifitas operator sangat bagus. Lihat saja, pesan – pesan iklannya, produk – produk yang ditawarkan, event-event promosi yang digelar, kerja sama dengan berbagai pihak yang dijalin, dan lain sebagainya, yang semuanya itu menunjukkan bagaimanan operator telekomunikasi ingin dekat dan disukai pelanggan.
• Aktivitas yang mendidik masyarakat? Tentu saja. Namun sebaiknya kita tidak melihat mendidik dalam pengertian konvensional, di ruang kelas, tetapi mendidik dalam pengertian membuat orang menjadi berbeda dari sebelumnya. Menjadi pintar memilih dari sebelumnya yang tidak ada pilihan lain; menjadi pintar menimbang, mana iklan yang bohong, mana iklan yang baik dan jujur; menjadi pelanggan yang sadar ekonomi ketika mampu membedakan mana layanan yang murah beneran dan murah hanya diiklan saja; dan masih banyak lagi.
• Artinya, operator dan layanan telekomunikasi, disadari atau tidak teleh mengubah masyarakat Indonesia, baik pada kebiasaan berkomunikasi, gaya hidup, kecerdasan sosial, dan mendekatkan warga Indoneaia dengan warga dunia lainnya.
8. Lantas bagaimana pula masih maraknya aksi bajak-membajak SDM di posisi kunci dari satu operator ke operator lain?
• Bajak membajak SDM di sektor telekomunikasi relatif tidak banyak, tidak sehebih di sektor perbankan atau sektor elite lainnya. Malah sudah ada indikasi masuknay orang-orang non-telekomunikasi ke perusahaan telekomunikasi, seperti ketika Pak Arwin Rasyid masuk ke Telkom. Dan belum lama ini Pak Harry ditunjuk sebagai Dirut Indosat. Pak Arwin akhirnya terlempar dari Telkom, kita tunggu apakah Pak Harry berhasil diterima oleh warga Indosat.
• Pernah terjadi perpindahan pegawai dari suatu operator ke operator yang baru berdiri. Hal ini wajar karena SDM telekomunikasi yang mumpuni tidak tersedia di pasar tenaga kerja, hampir semuanya sudah terserap di industri, sementara jika merekrut fesh graduate, mungkin belum mampu mengoperasikan jaringan dalam tempo singkat. Maka jalan pintas diambil dengan membujuk beberapa pegawai dari perusahaan lain untuk pindah.
• Jadi heboh bajak-membajak SDM biasanya marak ketika ada operator baru yang akan mulai beroperasi. Sesudah itu keadaan tenang kembali.
Paradoks TKDN, Kebijakan Fiskal, dan Daya Saing Industri Dalam Negeri
Bahwasanya Pemerintah dan masyarakat perlu berpihak pada industri dalam negeri tidak ada yang menyangkal, bahwasanya kebijakan fiskal merupakan aspek penting dalam upaya menyehatkan keuangan negara tidak ada satupun pihak yang menentangnya. Namun ketika dua kebijakan diterapkan bersama – sama yang terjadi bukan hubungan positif, melainkan sebuah paradoks. Daya saing industri dalam negeri bukan menguat, sebaliknya malah melemah, jangankan di pasar internasional, di pasar domestik-pun rata – rata produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor. Mengapa hal seperti ini terjadi?
Seorang sahabat, industriwan peralatan elektronika memberikan ilustrasi. Untuk membuat unit PBX (private branch exchange), perangkat penerima dan pembagi sambungan telepon, dia harus impor bahan baku, nilai kandungan impor mencapai 70%, artinya masih ada porsi komponen dalam negeri sebesar 30%. Total biaya untuk impor bahan baku (termasuk pajak dan bea masuk) per unit PBX $700, jika ditambah dengan komponen dalam negeri maka biaya produksi per unit menjadi $1,000. Dengan profit 20%, harga jual akan menjadi $1.200 plus PPN 10% maka konsumen akan membayar $1.320. Di pihak lain, jika dia impor unit PBX lengkap landed cost-nya hanya sebesar $700. Atas impor unit lengkap ini tidak dikenakan bea masuk, karena Indonesia sudah terikat perjanjian internasional yang mengenakan tarif bea masuk 0% untuk peralatan elektronika. Dengan profit 20% dan PPN 10% maka dia bisa menjual produk impor tersebut dengan harga $924, masih di bawah total biaya produksi di dalam negeri.
Kasus serupa di atas terjadi pula di industri manufaktur peralatan ketenagalistrikan. Dalam diskusi panel dengan thema “Dukungan Domestik Dalam Percepatan Proyek Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik” terungkap selisih harga impor dan produk lokal untuk kategori jenis pembangkit tertentu (2x8MW) mencapai 68%. Dan celakanya, selisih harga ini dikarenakan perbedaan perlakuan pajak. Sebagai contoh, untuk produk impor dari China, pemerintah memberikan keringanan bea masuk dan pajak rata-rata 17% dari porsi FOB (PPN Import 10%, PPh Import 2.55, dan Bea Masuk 5%) sebesar US$2,184,000. Sementara untuk produk dalam negeri keringanan pajak yang diberikan hanya sebesar US$ 472,500.
Perbedaan perlakukan pajak antara produk barang-jadi impor dan produk dalam negeri, berdampak pada pemungutan pajak yang lebih besar kepada produsen dalam negeri dari pada produsen luar negeri. Dari contoh unit pembangkit 2x8MW di atas pendapatan pemerintah akibat adanya import material untuk difabrikasi/assembly lokal mencapai US$ 665,446.81 sementara bila diimpor langsung sebagai barang jadi, pemerintah tidak memperoleh apa – apa. Selain itu, pendapatan pemerintah akibat adanya PPN terhadap porsi lokal juga berbeda cukup signifikan; untuk produk impor produsen luar negeri hanya menyumbang US$672.000 sementara produsen dalam negeri harus dibebani pajak mencapai US$1,532,200. Di sampiing itu, produsen dalam negeri masih dibebani PPh final sebesar 3% yang nominalnya mencapai US$591,000 sementara produsen luar negeri sama sekali tidak memberi kontribusi PPh kepada Pemerintah RI.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia bidang Energi mengatakan secara umum industri manufaktur lokal masih mengidap inferiority syndrome karena masih lemah dalam kemampuan rekayasa dan desain, belum ada perusahaan manufaktur yang berskala besar, masih lemah dalam kendali kualitas, tidak ada pihak yang secara terus menerus dan konsisten memperjuangkan industri dalam negeri, masih lemahnya dukungan pasar domestik, kurangnya ketersediaan modal, dan masih lekatnya karut-marut kebijakan fiskal. Pendapat pejabat Kadin ini diamini oleh pejabat Departemen Perindustrian yang menambahi faktor masih ada keraguan tentang mutu produk dalam negeri dan belum adanya dukungan dan keberpihakan.
Jadi siapa sebenarnya biang keladi dari lemahnya daya saing industri dalam negeri, bahkan di negeri sendiri? Departemen Perindustrian menyajikan sederet kebijakan pemerintah di bidang industri yang – konon – dimaksudkan meningkatkan kemampuan dan daya saing industri lokal. Di pihak lain pejabat Departemen Keuangan yang mengurusi kebijakan fiskal berusaha meyakinkan masyarakat bahwa sudah banyak sekali, kebijakan fiskal yang diterbitkan untuk mendukung industri nasional? Lantas kenapa industri daam negeri masih dan selalu lesu, loyo dan senantiasa kalah bersaing?
Menggunakan analisa sederhana dari disiplin public policy development bisa jadi apa (kebijakan) yang dibuat bukan yang dibutuhkan, baik secara substansi maupun konteksnya. Atau dapat juga karena yang membuat kebijakan tidak tahu apa yang dibutuhkan oleh pasar, atau tidak tahu “dunia luar” sehingga kebijakan yang dihasikan bersifat partial, sektoral, tidak merupakan kebijakan yang terintegrasi dapat mengakomidasi kepentingan multisektor. Sinyalemen dari kalangan pemerintah tentang tidak adanya dukungan dan keberpihakan bisa jadi merupakan pengakuan terhadap sikap diri sendiri. Yang pasti, kriteria kebijakan publik yang baik bukan hanya dari apa saja yang diatur namun juga tak kalah pentingnya adalah bagaimana implikasi dari kebijakan dan regulasi setelah diimplementasikan. Jika hasilnya negatif atau nol, maka kebijakan dan regulasi tersebut layak disebut sebagai flaw policies and regulations, kebijakan dan regulasi yang cacat.
Lantas bagaimana solusinya? Membiarkan saja? Atau melakukan sesuatu untuk mengubah kondisi yang tidak menguntungkan bagi industri manufaktur dalam negeri? Diam membela status quo bukan tugas pejabat publik, jadi pilihannya hanya lakukan perubahan. Selagi masih hangat duduk di kursi kabinet, para menteri terkait sebaiknya mulai memikirkan bagaimana merenovasi kebijakan industri dalam negeri agar lebih punya daya saing. Michael Porter dalam karya besarnya menyatakan “daya saing negara bukan di tangan pemerintah, namun industri; jika industri berdaya saing, maka ekonomi negara akan berdaya saing” Tidak ada yang salah dari pendapat Porter ini, kecuali hanya sebuah koreksi dari Richard Vietor yang menyatakan “bagaimanapun Pemerintah masih punya pengaruh dalam membangun daya saing perekonomiannya; melalui regulasi industri Pemerintah dapat menguatkan atau melemahkan industri dalam negeri.”
Sampai di sini benang merahnya jelas. Tujuan yang baik ternyata masih memerlukan keterbukaan wawasan, keberpihakan, dukungan berbagai pihak, dan keberanian untuk menyempurnakan kebijakan yang ada. Jika tidak, paradoks akan terus terjadi***
Seorang sahabat, industriwan peralatan elektronika memberikan ilustrasi. Untuk membuat unit PBX (private branch exchange), perangkat penerima dan pembagi sambungan telepon, dia harus impor bahan baku, nilai kandungan impor mencapai 70%, artinya masih ada porsi komponen dalam negeri sebesar 30%. Total biaya untuk impor bahan baku (termasuk pajak dan bea masuk) per unit PBX $700, jika ditambah dengan komponen dalam negeri maka biaya produksi per unit menjadi $1,000. Dengan profit 20%, harga jual akan menjadi $1.200 plus PPN 10% maka konsumen akan membayar $1.320. Di pihak lain, jika dia impor unit PBX lengkap landed cost-nya hanya sebesar $700. Atas impor unit lengkap ini tidak dikenakan bea masuk, karena Indonesia sudah terikat perjanjian internasional yang mengenakan tarif bea masuk 0% untuk peralatan elektronika. Dengan profit 20% dan PPN 10% maka dia bisa menjual produk impor tersebut dengan harga $924, masih di bawah total biaya produksi di dalam negeri.
Kasus serupa di atas terjadi pula di industri manufaktur peralatan ketenagalistrikan. Dalam diskusi panel dengan thema “Dukungan Domestik Dalam Percepatan Proyek Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik” terungkap selisih harga impor dan produk lokal untuk kategori jenis pembangkit tertentu (2x8MW) mencapai 68%. Dan celakanya, selisih harga ini dikarenakan perbedaan perlakuan pajak. Sebagai contoh, untuk produk impor dari China, pemerintah memberikan keringanan bea masuk dan pajak rata-rata 17% dari porsi FOB (PPN Import 10%, PPh Import 2.55, dan Bea Masuk 5%) sebesar US$2,184,000. Sementara untuk produk dalam negeri keringanan pajak yang diberikan hanya sebesar US$ 472,500.
Perbedaan perlakukan pajak antara produk barang-jadi impor dan produk dalam negeri, berdampak pada pemungutan pajak yang lebih besar kepada produsen dalam negeri dari pada produsen luar negeri. Dari contoh unit pembangkit 2x8MW di atas pendapatan pemerintah akibat adanya import material untuk difabrikasi/assembly lokal mencapai US$ 665,446.81 sementara bila diimpor langsung sebagai barang jadi, pemerintah tidak memperoleh apa – apa. Selain itu, pendapatan pemerintah akibat adanya PPN terhadap porsi lokal juga berbeda cukup signifikan; untuk produk impor produsen luar negeri hanya menyumbang US$672.000 sementara produsen dalam negeri harus dibebani pajak mencapai US$1,532,200. Di sampiing itu, produsen dalam negeri masih dibebani PPh final sebesar 3% yang nominalnya mencapai US$591,000 sementara produsen luar negeri sama sekali tidak memberi kontribusi PPh kepada Pemerintah RI.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia bidang Energi mengatakan secara umum industri manufaktur lokal masih mengidap inferiority syndrome karena masih lemah dalam kemampuan rekayasa dan desain, belum ada perusahaan manufaktur yang berskala besar, masih lemah dalam kendali kualitas, tidak ada pihak yang secara terus menerus dan konsisten memperjuangkan industri dalam negeri, masih lemahnya dukungan pasar domestik, kurangnya ketersediaan modal, dan masih lekatnya karut-marut kebijakan fiskal. Pendapat pejabat Kadin ini diamini oleh pejabat Departemen Perindustrian yang menambahi faktor masih ada keraguan tentang mutu produk dalam negeri dan belum adanya dukungan dan keberpihakan.
Jadi siapa sebenarnya biang keladi dari lemahnya daya saing industri dalam negeri, bahkan di negeri sendiri? Departemen Perindustrian menyajikan sederet kebijakan pemerintah di bidang industri yang – konon – dimaksudkan meningkatkan kemampuan dan daya saing industri lokal. Di pihak lain pejabat Departemen Keuangan yang mengurusi kebijakan fiskal berusaha meyakinkan masyarakat bahwa sudah banyak sekali, kebijakan fiskal yang diterbitkan untuk mendukung industri nasional? Lantas kenapa industri daam negeri masih dan selalu lesu, loyo dan senantiasa kalah bersaing?
Menggunakan analisa sederhana dari disiplin public policy development bisa jadi apa (kebijakan) yang dibuat bukan yang dibutuhkan, baik secara substansi maupun konteksnya. Atau dapat juga karena yang membuat kebijakan tidak tahu apa yang dibutuhkan oleh pasar, atau tidak tahu “dunia luar” sehingga kebijakan yang dihasikan bersifat partial, sektoral, tidak merupakan kebijakan yang terintegrasi dapat mengakomidasi kepentingan multisektor. Sinyalemen dari kalangan pemerintah tentang tidak adanya dukungan dan keberpihakan bisa jadi merupakan pengakuan terhadap sikap diri sendiri. Yang pasti, kriteria kebijakan publik yang baik bukan hanya dari apa saja yang diatur namun juga tak kalah pentingnya adalah bagaimana implikasi dari kebijakan dan regulasi setelah diimplementasikan. Jika hasilnya negatif atau nol, maka kebijakan dan regulasi tersebut layak disebut sebagai flaw policies and regulations, kebijakan dan regulasi yang cacat.
Lantas bagaimana solusinya? Membiarkan saja? Atau melakukan sesuatu untuk mengubah kondisi yang tidak menguntungkan bagi industri manufaktur dalam negeri? Diam membela status quo bukan tugas pejabat publik, jadi pilihannya hanya lakukan perubahan. Selagi masih hangat duduk di kursi kabinet, para menteri terkait sebaiknya mulai memikirkan bagaimana merenovasi kebijakan industri dalam negeri agar lebih punya daya saing. Michael Porter dalam karya besarnya menyatakan “daya saing negara bukan di tangan pemerintah, namun industri; jika industri berdaya saing, maka ekonomi negara akan berdaya saing” Tidak ada yang salah dari pendapat Porter ini, kecuali hanya sebuah koreksi dari Richard Vietor yang menyatakan “bagaimanapun Pemerintah masih punya pengaruh dalam membangun daya saing perekonomiannya; melalui regulasi industri Pemerintah dapat menguatkan atau melemahkan industri dalam negeri.”
Sampai di sini benang merahnya jelas. Tujuan yang baik ternyata masih memerlukan keterbukaan wawasan, keberpihakan, dukungan berbagai pihak, dan keberanian untuk menyempurnakan kebijakan yang ada. Jika tidak, paradoks akan terus terjadi***
Subscribe to:
Posts (Atom)