Wednesday, October 18, 2006

Orang Tua, Cintai Anakmu

Maka ramailah perhelatan,

Sanak saudara handai tolan menyaksikan

Sesepuh dan yang dituakan berpetuah

Wahai engkau penduduk pelaminan

Asal dua menjadi satu,

Beranak, bercucu, hiduplah di alam tenteram

bak nirwana jauh dari neraka.

Maka mulailah perjalanan sepasang manusia

Mengarungi goda menyongsong mimpi

Siang merajut malam berderit

Buah kama melahirkan atma

Karya nafsu berselimut cinta

Sang jabang disayang, ditimang, dipuja

Semua gembira menyambut generasi baru

Anak, buah muslihat orang tua

Tak hendak ketika hadir

Tiada berdaya menolak berpindah

Dari tangan satu ke tangan lainnya

Apalacur beranjak usia anak, berangkat pula kejenuhan

Keseharian dan kesebiasaan orang tua

Panas berubah hangat

Hangat berubah dingin

Dingin berbuah pecah.

Bak pohon merambat hilang sandaran,

Sang anak lemas sosial,

Bencikah bapakku kepadaku?

Mengapa ibuku selalu marah kepadaku?

Mengapa aku mesti ada?

Untuk apa aku eksis kalau ortuku tidak cintaiku?

Dan bendungan-pun akhirnya melepuh

Ketahanan diri rapuh oleh timbunan siksa jiwa

Narkoba, sekbebas, berandalan, kriminal

Itu belum seberapa,

Hilang iman dan cinta

Itulah dosa orang tua tak berampun.

Rempoa, 1 Maret 2006

Interkoneksi Untuk Siapa?

Interkoneksi, keterhubungan antar operator penyelenggara jaringan telekomunikasi, merupakan suatu keharusan yang diamanatkan oleh Undang – Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi untuk memberikan jaminan kepada pengguna agar dapat mengakses jasa telekomunikasi. Ketika pasar telekomunikasi masih monopoli, interkoneksi tidak menjadi isu sensitif. Dalam pasar monopoli, penyelesaian (settlement) tagihan antar wilayah pengelolaan jaringan dilakukan dengan metoda sender keeps all, artinya pihak pemanggil (originator) memungut seluruh biaya percakapan, sedangkan jaringan penerima (terminator) hanya menyalurkan panggilan ke nomor tujuan. Metoda semacam ini layak dilakukan karena seluruh jaringan telekomunikasi nasional dimiliki oleh satu perusahaan.

Ketika pasar telekomunikasi mulai terbuka, ada operator lain selain operator yang sudah ada (incumbent), metoda sender keeps all menjadi tidak layak lagi. Potensi kerugian lebih besar terjadi pada incumbent, karena arah panggilan lebih banyak berasal dari pelanggan operator baru ke pelanggan incumbent dari pada sebaliknya. Maka dibuatlah kesepakatan baru yang disebut revenue sharing. Dalam metoda terakhir ini, incumbent menetapkan porsi pendapatan yang dikehendakinya ketika operator baru hendak ber-interkoneksi dengan jaringan miliknya. Mengingat status hukumnya sebagai BUMN dan dominasi dalam penguasaan pasar, incumbent memiliki kekuatan yang lebih besar dalam menetapkan persentasi bagi hasil dengan mitranya.

Dalam perjalanan waktu, metoda revenue sharing dianggap tidak fair, khususnya bagi operator baru, dan tidak mencerminkan efisiensi jaringan karena informasi tentang biaya sesungguhnya atas penyelenggaraan interkoneksi tidak dapat diketahui. Proporsi bagi hasil hanya ditetapkan berdasarkan kepantasan dan proyeksi pendapatan yang ingin diraih, tidak ada hitung – hitungan akuntansi biaya layaknya perusahaan menghitung ongkos produksi. Desakan perubahan dari berbagai kalangan khususnya industri selular ditambah dengan terjadinya trend perubahan regulasi telekomunikasi pada aras internasional, mendorong pemerintah mengajak stakeholders telekomunikasi untuk bersama–sama menyusun regulasi interkoneksi. Hasilnya, Menteri Komunikasi dan Informatika menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 8 tahun 2006 tentang Interkoneksi (Permen 8/06).

Prinsip Dasar
Permen 8/06 dimaksudkan untuk menjamin kepastian dan transparansi penyediaan dan pelayanan interkoneksi antar penyelenggara telekomunikasi. Karena menyangkut pengaturan sumber daya publik, ada prinsip dasar yang harus diacu dalam sebuah kebijakan publik. Ditinjau dari aspek ekonomi publik keberadaan regulasi baru harus memberikan value yang lebih baik dari sebelum adanya regulasi tersebut. Interkoneksi terkait dengan biaya, oleh karena itu acuan ekonomis yang perlu diacu adalah bahwa NPVb > NPCl, di mana NPVb adalah Net Present Value setelah adanya Permen 8/06, dan NPVl adalah Net Present Value sebelum ada Permen 8/06.
Selain itu, dari aspek makro, perubahan dari metoda revenue sharing ke penghitungan berdasarkan biaya aktual (cost-based) mencerminkan upaya peningkatan efisiensi industri. Dalam tataran ideal, operator jaringan telekomunikasi yang tidak efisien akan “didesak”oleh para mitra. Sesuai dengan teori ekonomi jaringan, ketidak-efisienan salah satu simpul jaringan (node), jika tidak dibuat suatu aturan pembatasan (guard policy) maka ketidak-efisienan tersebut ikut ditanggung oleh pihak lain (negative externalities). Contoh yang sering kita hadapi, keterlambatan jadwal terbang, akan berdampak negatif (keterlambatan) pada rute penerbangan selanjutnya.

Jika ditarik lebih jauh, Permen 8/06 dapat pula menjadi instrumen kebijakan untuk menurunkan tarif interkoneksi. Dalam rantai nilai telekomunikasi, penurunan tarif interkoneksi pada umumnya akan diikuti dengan penurunan tarif ritel (pada dasarnya tarif interkoneksi sama dengan tarif wholesale). Penurunan tarif ritel, berujung ke dua hal: pertama, peningkatan frekuensi percakapan, yang lajunya diperkirakan lebih tinggi dari laju penurunan tarif ritel sehingga menghasilkan peningkatan revenue; dan kedua sebagai akibat dari peningkatan revenue cadangan untuk investasi lebih besar, dengan asumsi tidak ada aliran investasi keluar dari sektor telekomunikasi, hal ini berarti akan menambah teledensitas.

Fakta Lapangan
Apa yang ideal dan menjadi dambaan tidak selalu menjadi kenyataan ketika suatu agenda publik sudah diimplementasikan di lapangan. Menyusul Permen 8/06, Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi menerbitkan SK Dirjen nomor 141/Dirjen/2006 (SK 141/06) tentang “Penetapan Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi Dengan Pendapatan Usaha 25% Atau Lebih Dari Total Pendapatan Usaha Seluruh Penyelenggara Telekomunikasi Dalam Segmentasi Layanannya Tahun 2006.” Bagi awam sekilas dapat membingungkan, intinya, dalam melaksanakan interkoneksi, operator jaringan telekomunikasi yang memiliki pangsa pasar sama atau lebih besar dari 25%, Daftar Penawaran Interkoneksi-nya (DPI) harus mendapat persetujuan dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).

Di sinilah persoalan latent mulai terbuka. Permen 8/06 beserta lima lampirannya (total halaman mencapai 500 halaman lebih) dan regulasi lain terkait yang seyogyanya menjadi acuan dalam penerbitan DPI ternyata tidak sepenuhnya diacu. Hal ini diperkirakan karena dua hal: pertama, formula penghitungan biaya yang ditetapkan dalam Permen 8/06 (sesuai saran konsultan asing) ternyata sulit diaplikasikan, dan kedua operator dominan belum sepenuhnya siap dan ikhlas untuk mengubah sistem lama ke sistem baru. Hal kedua dapat dipahami mengingat kompleksitas organisasi dan jaringan. Namun hal pertama sulit dimengerti mengapa BRTI langsung menerima formula yang diajukan konsultan tanpa melakukan simulasi dengan sampel data yang representatif mencerminkan validitas populasi trafik interkoneksi. Argumen bahwa rumus tersebut sudah banyak dipakai di banyak negara tidak dapat begitu saja menjadi legitimasi bagi diterimanya rumus tersebut.

Akibatnya, dominasi incumbent masih kuat tercermin dalam DPI dan alih – alih menurunkan tarif interkoneksi, data yang berhasil kami kumpulkan menunjukkan interkoneksi antar operator selular terjadi penurunan antara 30% - 47% (peak time) dan rata-rata 2% (off peak time), sedangkan untuk interkoneksi dari selular ke jaringan tetap mengalami kenaikan antara 112% (long distance, offpeak) hingga 114% (lokal, peak time). Artinya, dengan berlakunya Permen 8/06 dan apabila DPI operator dominan disetujui BRTI, pengguna telepon selular harus membayar lebih mahal ketika hendak menghubungi pelanggan telepon tetap. Jika demikian, pertanyaannya, untuk siapa Permen Interkoneksi ini? Apakah sebagai legalitas bagi incumbent dan operator dominan untuk menaikkan tarif? Atau peningkatan pemerataan layanan telekomunikasi? *****

Analisis Sumberdaya dan Kapabilitas Internal Perusahaan Menggunakan RBV

Mengapa suatu perusahaan secara terus menerus mampu mengungguli perusahaan lainnya? Salah satu jawaban yang ditawarkan terhadap pertanyaan ini adalah implementasi Resource-Based View - RBV (Peteraf, 1993). RBV dikatakan sebagai pendekatan baru dalam formulasi strategic management, dan dalam penjelasan lain merupakan upaya membangun keunggulan kompetitif yang merupakan hasil (resultant) dari hubungan antara keaneka-ragaman, ex post limits to competition, imperfect mobility, dan ex ante limits to competition.

Munculnya RBV berawal dari pendekatan klasik dalam formulasi strategi yang pada umumnya berangkat dari penilaian terhadap kompetensi dan sumber daya perusahaan, di mana hal – hal yang berbeda (distinctive) atau superior dari pesaing dapat menjadi basis keunggulan kompetitif (Andrews, 19971; Thompson dan Strickland, 1990). Asumsi dasar RBV adalah bahwa sumberdaya dalam perusahaan bergabung menjadi satu (bundles) dan kemampuan yang mendasari produksi tidak sama satu dengan lainnya. Perusahaan yang memiliki serta menggunakan sumberdaya dan kemampuannya secara efisien memiliki peluang yang lebih besar untuk beroperasi secara lebih ekonomis dan atau lebih baik dalam memuaskan pelanggan. Keaneka-ragaman (heterogeneity) menunjukkan secara tidak langsung bahwa suatu perusahaan yang memiliki berbagai kemampuan dapat berkompetisi dan hasil minimal yang diperolehnya setidaknya impas (breakeven). Sementara perusahaan dengan sumberdaya marginal hanya dapat berharap memperoleh impas, namun perusahaan dengan sumberdaya superior akan memperoleh rents.

Menggunakan pendekatan Ricardian rent, dapat disimpulkan bawah perusahaan yang memiliki sumberdaya superior - yang tersedia secara terbatas - dan menggunakannya secara efisien dapat mempertahankan keunggulan kompetitifnya sepanjang mampu mengendalikan sumberdayanya agar tidak dimiliki pihak lain secara bebas atau ditiru oleh pesaing. Keadaan semacam ini mirip dengan monopoly rent, perbedaannya terletak pada dalam model monopoli keaneka-ragaman dihasilkan dari kompetisi spasial atau perbedaan produk. Keuntungan (profit) monopoli diperoleh dari pembatasan output yang dilakukan secara sengaja, sementara dalam Ricardian rents, keuntungan diperoleh dari kelangkaan yang sudah menjadi sifat (inherent scarcity) dari pasokan sumberdaya. Terlepas dari kedua rents di atas, agar keunggulan kompetitif tetap bertahan kondisi keaneka-ragaman sumberdaya harus tetap dipelihara dengan menjaga rents tetap di atas biaya (ex ante limits to competition).

Kajian mengenai RBV terpusat pada dua faktor kritis yang membatasi ex post competition: imperfect imitability dan imperfect substitutability. Kedua upaya ini disebut sebagai mekanisme isolasi (Rumelt, 1987), atau mobility bariers (Caves dan Porter, 1977), atau perluasan entry barriers (Bain, 1956). Sebaliknya, Yao (1988) berpendapat bahwa kegagalan keunggulan pasar secara mendasar disebabkan oleh ekonomi produksi dan sunk costs, transaction costs dan imperfect information. Faktor – faktor lain yang dapat menghambat imitasi adalah time compression diseconomies, asset mass efficiencies, interconnectedness of asset stocks, asset erosion, dan causal ambiguity (Dierickx dan Cool, 1989). Faktor imobilitas atau imperfect mobility merupakan kebutuhan kunci lain untuk keunggulan yang lestari (sustainable).

Analisa sumberdaya perusahaan dan posisinya dalam persaingan merupakan salah satu hal yang perlu dilakukan dalam pengembangan strategi menggunakan RBV (Thompson et all, 2005). Pada tataran praktikal, analisa diawali dengan mempertanyakan seberapa baik strategi yang ada, kemudian melakukan identifikasi terhadap kekuatan dan kelemahan sumberdaya perusahaan yang dimiliki serta peluang dan ancaman yang ada di luar lingkungan perusahaan. Langkah berikutnya mengevaluasi apakah harga produk/jasa dan biaya sudah unggul dari para pesaing. Ketiga langkah di atas kemudian digunakan untuk menganalisis apakah perusahaan lebih kuat atau lebih lemah dari para pesaing. Dengan mengetahui posisi perusahaan relatif terhadap pesaing dalam suatu industri, manajemen dapat menggunakan informasi tersebut untuk mengidentifikasi isu – isu strategis yang memerlukan perhatian, terutama bila strategi yang ada belum mampu menjawab perubahan yang terjadi di lingkungan luar, atau tidak dapat memanfaatkan sumberdaya perusahaan secara efisien dan efektif.

Jika manajemen memutuskan untuk mengubah strategi yang ada, pertanyaannya adalah tindakan (actions) apa saja yang diperlukan untuk memromosikan pelaksanaan strategi dengan lebih baik. Thompson et all (2005) menawarkan lima tindakan manajerial yang memfasilitasi eksekusi strategi, sementara Afuah (2004) menawarkan pengelolaan sumber penghasilan (sources of revenues) dan sasaran pasar. Lima tindakan yang disebutkan Thompson et all mencakup: penyusunan sumberdaya yang mendorong eksekusi strategi dengan baik; penerapan kebijakan dan prosedur yang dimaksudkan untuk memfasilitasi eksekusi strategi; memakai best practices dan mengupayakan peningkatan berkelanjutan dalam aktivitas rantai nilai (value chain); menggunakan sistem informasi dan operasi yang memungkinkan personalia perusahaan untuk melaksanakan peran strategis masing – masing dengan cakap; dan memberikan hadiah (rewards) dan atau insentif kepada semua eksponen perusahaan atas pencapaian strategi maupun sasaran keuangan.

Sejalan dengan pemikiran di atas, Afuah (2004) berargumen bahwa keberhasilan strategi perusahaan dapat diukur dari nilai kepuasan pelanggan yang tercermin dari berulangnya mereka membeli produk/jasa perusahaan. Persoalannya, value yang diharapkan berbeda dari satu pelanggan ke pelanggan lainnya, oleh karenanya menjadi penting bagi perusahaan untuk memutuskan pelanggan atau kelompok pelanggan mana yang akan dijadikan sasaran layanan, serta seberapa banyak permintaan value mereka akan dilayani. Selain itu pada suatu sasaran pasar seringkali terdapat peluang untuk memperoleh lebih dari satu sumber pendapatan, dan tambahan revenue ini bahkan memberikan tingkat keuntungan yang lebih besar dari sumber utamanya. Dicontohkan penjual mobil, selain memperoleh keuntungan dari penjualan mobil juga mendapat tambahan penghasilan dari jasa perbaikan dan pemeliharaan yang memberikan tingkat keuntungan yang lebih besar dari penjualan mobil.

Selain memberi value kepada pelanggan yang lebih baik dari pesaing serta mengidentifikasi sumber – sumber penghasilan dari target pasar, Afuah menambahkan perlunya menghubungkan (connect) semua aktivitas di dalam internal perusahaan guna memfasilitasi model bisnis yang menguntungkan. Kemampuan perusahaan menawarkan value (melalui low-cost or differentiated products) merupakan hasil dari serangkaian aktivitas nilai-tambah yang mendukung kreasi produk atau layanan. Aktivitas nilai tambah yang dimaksud merupakan kombinasi antara pengelolaan sistem bisnis yang mengandalkan sumberdaya perusahaan, sistem nilai yang berlaku pada suatu industri, dan keterkaitan vertikal (vertical linkage) dengan industri terkait.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa RBV merupakan pendekatan alternatif dalam menyusun strategi perusahaan. Strategi ini mengandalkan kekayaan sumberdaya yang ada, namun juga memerhatikan lingkungan luar baik yang dapat dikendalikan maupun yang di luar kemampuan perusahaan untuk mengendalikannya. Kunci sukses penerapan strategi berbasis sumberdaya ini, terletak pada kemampuan perusahaan memelihara keaneka-ragaman, mencegah pesaing meniru atau memiliki sumberdaya yang secara unik dikuasai (ex post limits to competition), menjadikan pesaing selalu mengalami imperfect mobility, dan mengelola semua sumberdaya secara efisien dan efektif dalam penggunaannya (ex ante limits to competition). Analisis sumberdaya dan kapabilitas internal juga perlu melibatkan pemahaman mengenai faktor – faktor yang menjadi sifat industri seperti competitive and macro forces, cooperative forces, dan industry value drivers. Selain itu, guna memastikan tingkat keuntungan – sebagai hasil dari strategi bisnis - perusahaan perlu memastikan posisinya relatif terhadap: customer value, segmen pasar yang menjadi sasaran, sumber – sumber penghasilan, persaingan pasar, dan harga produk/jasa yang ditawarkan.

Mengacu referensi yang menjadi sumber utama paper ini, satu kritik terhadap RBV terutama pada belum adanya definisi yang jelas mengenai peran sumber daya manusia (SDM) di dalam lingkungan perusahaan sebagai bagian dari strategi, apakah diperlakukan sebagai aset atau liability. Hal ini mengingat tidak semua personalia perusahaan dapat digolongkan sebagai aset. Jika demikian, perusahaan yang SDM-nya lebih sebagai liability harus mengubahnya terlebih dahulu sehingga menjadi aset, sebelum menerapkan strategi berbasis sumberdaya. Dalam hubungannya dengan perubahan orientasi pasar dari monopoli, captive menjadi persaingan (competitive market) , keraguan juga muncul, apakah basis pelanggan (customer base) dapat dianggap sebagai sumberdaya yang dapat di-internalized, atau harus dianggap sebagai faktor luar merupakan variabel yang sulit diperkirakan preferensinya. Beberapa perusahaan memperlakukan customer base sebagai aset yang mempengaruhi nilai perusahaan (industri jasa telekomunikasi dan perbankan), namun demikian perusahaan pada kedua industri ini seringkali mengalami kesulitan ketika pelanggan tidak lagi puas dengan value yang ditawarkan sehingga beralih kepada pesaing. Dalam kondisi seperti ini, sumberdaya dan saya saing perusahaan menjadi berkurang.*****

Harga Sebuah Kesabaran, Pelajaran Dari Mengurus Paspor

Ditengah duka nasional atas gempa yang melanda saudara kita di Yogjakarta, izinkan saya mengucapkan rasa duka dan bela sungkawa kepada keluarga korban, seraya berdoa agar mereka semua yang dipanggil oleh Tuhan YME mendahului kita semua melalui gempa ini diampuni dosa-dosanya dan diberikan tempat yang layak di sisiNya.

Yang masih diberi kesempatan lebih lama menikmati alam dunia harus terus bergerak, beribadah, meningkatkan iman dan taqwa; memperbaiki sistem kehidupan, diri sendiri, lingkungan dan masyarakat, agar kualitas kehidupan makin baik, sejahtera. Dalam rangka memperbaiki sistem kehidupan masyarakat inilah posting ini saya layangkan ke hadapan Anda semua.

Cerita bermula dari pertanyaan “berapa harga sebuah kesabaran?”

Bagi saya – MasWig – kemaren, Selasa 29 Mei 2006, harga sebuah kesabaran bernilai Rp 150.000,- per satu jam. Mengapa demikian?

Senin, 22 Mei 2006 saya mengantar anak bungsu – lelaki – ke Kantor Imigrasi Tangerang (Kanim) untuk mengurus Paspor baginya, karena anak saya ingin melihat suasana sekolah di Singapore. Setamat SMP dia ingin melanjutkan SMA-nya di Singapore. Datang di Kanim sekitar jam 10, karena pertama kali ke situ, perlu semenit-dua untuk orientasi suasana. Ternyata suasana cukup ramai. Saya berusaha mencari loket informasi, ada dua, dan langsung bertanya bagaimana prosedur aplikasi paspor, dijawab dengan simpatik oleh seorang Bapak Petugas dengan menunjuk pada papan pengumuman yang menampangkan proses pengurusan paspor.

Karena yakin bisa mengurus sendiri, kami langsung ke loket pembelian formulir dan membeli seharga Rp.15.000,-. Setelah mengantri barang sepuluh menit, akhirnya memperoleh meja untuk kami dapat mengisi formulir dengan nyaman. Selagi mengisi formulir, ada seorang pria berseragam Kanim (yang kemudian saya tahun dia orang dalam, pegawai Kanim yang nyambi jadi calo, padahal di banyak tempat ditempel agar tidak berhubungan dengan calo, langsung ke loket) yang bertanya dengan ramah “ada kesulitan?, dapat saya bantu?” dengan sopan pula saya jawab “tidak ada Pak, kami dapat mengisinya” . lalu si pria ini mendekati dua orang Ibu di sebelah kami, bertanya serupa dan para Ibu ini minta tolong diisikan. Si pria membantu mengisinya.

Selesai mengisi formulir kami langsung menyerahkannya kembali ke loket, dan mendapat tanda terima dengan pemberitahuan supaya balik lagi hari Selasa 30 Mei 2006. Saya tanya mengapa lama sampai seminggu? Ibu di loket menjawab “ini sudah siang Pak, pelayanan tutup jam 12.00, besok kami libur panjang.”saya lihat jam dinding baru 11.25. masih ada 35 menit lagi sampai tutup. Tidak mencoba berargumen kami hanya berujar “Ya Bu, terimakasih”. Selagi mau beranjak ke luar gedung, saya mampir dulu mencari toilet, eh ternyata terlihat dua Ibu yang tadi dibantu pria berseragam Kanim tadi sudah duduk diwawancara dan dipotret. Mulailah saya mencium aroma percaloan orang dalam. Tetapi karena tidak sedang dalam kondisi kepepet, akhirnya kami pulang.

Selasa, 30 Mei 2006, dengan harapan dapat selesai cepat, karena sehari itu saya punya empat acara meeting, pukul 6.15am kami sudah meninggalkan rumah menuju Kanim. Tepat pukul 07.00 kami sudah sampai di depan Kanim dan pintu kantor baru saja dibuka, di dalamnya saya lihat sudah ada beberapa pegawai. Belum ada warga lain yang akan minta pelayanan, sehingga boleh dikata kami orang nomor satu yang hadir di Kanim pagi itu. Bertanya kepada seorang petugas tentang proses aplikasi paspor sambil menunjukkan kertas tanda terima mendapat jawaban “taruh saja di situ Pak, nanti kami panggil, pelayanan dimulai pukul 08.00”. Satu dua orang lain mulai berdatangan. Aksi yang sama mereka lakukan, hingga akhirnya tumpukan kertas tadi cukup tebal. Tidak ada nomor urut. Pukul 8.00 lewat sudah, namun pelayanan belum dimulai, satu-dua petugas terlihat mondar-mandir di antara warga. Pukul 08.30 layanan baru dimulai. Keanehan mulai muncul ketika satu persatu mulai dipanggil, kertas kami berada di paling bawah tumpukan, tetapi kami mendapat nomor 23, orang yang datang sesudah kami malah mendapat nomor kecil. Dari loket ini, kami menyerahkan berkas ke loket pengambilan sidik jari. Perlu waktu setengah jam untuk mengantri ambil sidik jari. Layanan sidik jari dimulai pukul 08.45, anak saya dipanggil pada urutan ke lima, empat terdahulu, tidak termasuk yang ngantri di loket pertama, berkas mereka di bawa oleh pria berseragam Kanim dan pria berbaju sipil biasa (ternyata dari perusahaan jasa pembuatan paspor).

Kesabaran mulai diuji ketika kami harus menunggu giliran wawancara dan photo. Tepat jam 09.00 sidik jari selesai dan saya nyelonong masuk ke ruang wawancara menanyakan giliran kami. Pria petugas Kanim menjawab “tunggu saja di luar, nanti kami panggil”. Ternyata panggilan pertama bukan untuk anak saya tetapi untuk serombongan orang yang dibawa oleh pria sipil biasa (calo, jasa pengurusan paspor). Sesudah itu, silih berganti antara rombongan “calo luar”dan “calo orang dalam” membawa masuk berkas untuk diwawancara. Alhasil, anak saya sudah mulai tidak sabar, demikian juga dengan orang – orang lain yang antri. Mendadak saya lihat pria petugas yang hari Senin 22 Mei lalu menawarkan bantuan. Sambil lalu saya hampiri dia dan menanyakan mengapa tidak dipanggil – panggil sementara kami datang paling awal, jawabnya datar saja “ini melanjutkan layanan yang kemaren belum selesai” lalu saya tanya “emang kenapa kok lama” dijawab “sekarang pakai biometrik, online” di ujung kalimat dia kembali menawarkan bantuan “ada yang dapat saya bantu”, sambil lalu saya tanya, “apa yang Bapak dapat bantu?” dia jawab “biar cepet selesai Pak”. Saya lihat jam sudah 10.30, satu setengah jam menunggu, saya menukas “yah nanti Pak jam 11.00, eh tapi berapa yang saya mesti berikan untuk bantuan Bapak?”dia menjawab “ndak banyak Pak, tiga ratus ribu, paspor hari ini selesai” lalu saya jawab “ok Pak ntar ya jam 11.00”. Saya menghitung biaya yang sudah dikeluarkan, formulir 15 ribu, buku paspor 48 halaman 200 ribu (pakai kwitansi) plus 60 ribu entah untuk apa, resmi bayar di kasir tetapi tidak ada kwitansi. Kalau saya nambah 300 ribu lagi berarti biaya paspor jadi 575 ribu.

Jam 10.45 anak saya dipanggil, masuk ruang wawancara, hanya dua menit dicocokkan datanya dan lima menit untuk ambil gambar. Total sambil nunggu giliran difoto 15 menit. Jam 11.00 si Bapak tadi menghampiri saya dan menanyakan masihkah saya perlu bantuannya, saya jawab “maaf Pak sudah tidak perlu lagi”. Keluar dari ruang wawancara kami harus mengembalikan nomor ke loket pertama, dan diberi tahu pengambilan paspor hari Jum’at 2 Juni 2006. Jika dihitung dari tanggal 22 Mei 2006, maka diperlukan waktu 12 hari kalender (atau 9 hari kerja) untuk proses aplikasi paspor dengan cara normal, sementara jika bersedia membayar lebih, proses pembuatan paspor dapat selesai 2 jam (kasus dua Ibu).

Saya memilih cara normal dengan alasan memberi pelajaran bagi anak saya agar mengerti proses pelayanan publik di negeri ini, selain ikut berpatisipasi memperbaiki birokrasi. Ternyata Teknologi Informasi (biometrik dan online) tidak sepenuhnya mampu mengubah sistem layanan publik, bila masih ada mental calo di lingkungan internal dan di sebagian masyarakat. Sebagian masyarakat lain, juga masih senang dengan cara potong kompas, tidak menghormati upaya orang lain yang bersedia antri mematuhi peraturan. Sistem layanan paspor Kanim, tidak membedakan layanan melalui jasa (calo) dan langsung yang bersangkutan, kecenderungannya, pemohon aplikasi sendiri, dikalahkan oleh pemohon alikasi yang melalui calo, apalagi jika calonya orang dalam.

Saya sadar, menghapuskan calo (dalam dan luar) sungguh sulit, namun menggabungkan layanan dalam satu jalur menjadi tidak adil bagi orang seperti kami yang patuh dan tidak mau berurusan dengan calo. Jika boleh saran, sebaiknya dibuat dua jalur layanan: cepat, via jasa calo, dan tentu saja lebih mahal; dan normal diurus sendiri, tarif resmi. Saya berhemat Rp. 300 ribu untuk tidak berurusan dengan calo orang dalam, dengan kompensasi harus menunggu hingga dua jam untuk mendapat giliran diwawancara dan photo. Semoga Jumát 2 Juni 2006 nanti Paspor anak saya sudah selesai dan kami dapat mengambilnya dengan cepat.*****

Arti Interkoneksi Bagi Pengguna Jasa Telekomunikasi

Bagaimana interkoneksi bermanfaat bagi pengguna jasa telekomunikasi? Benarkah dengan regulasi interkoneksi yang baru, layanan telekomunikasi khususnya telepon seharusnya menjadi lebih murah?

Dua pertanyaan yang sering dijumpai ketika penulis “terjebak”dalam diskusi tentang penyelenggaraan dan regulasi telekomunikasi. Di antara empat puluh juta pengguna telepon di Indonesia, kemungkinan besar kurang dari 1% yang memahami bagaimana suara orang lain bisa sampai ke pesawat teleponnya. Angkanya bisa lebih kecil lagi bila pertanyaannya sudah lebih teknis dan detil seperti bagaimana pelanggan operator A dapat menghubungi pelanggan operator B. Ketidak tahuan pengguna telepon tentang hal – hal teknis penyelenggaraan telekomunikasi tidak perlu dirisaukan. Yang perlu menjadi perhatian adalah apabila ketidak-tahuan ini dimanfaatkan oleh oknum di lingkungan operator telekomunikasi yang tidak bertanggung jawab untuk menipu atau merugikan pengguna telepon.

Di era demokrasi seperti sekarang ini, mengetahui hal – hal yang semula terbilang tabu oleh sebagian orang sudah menjadi tuntutan. Di masa lalu, urusan internal perusahaan milik negara tidak mudah diketahui oleh pihak luar, apalagi kalau perusahaan negara tersebut tergolong besar dan menguasai hajat hidup orang banyak. Kesan tertutup dan protektif dirasakan oleh masyarakat. Demikian halnya di sektor telekomunikasi, di era orde baru, kala monopoli penyelenggaraan telekomunikasi masih berlangsung, jangankan tanya soal interkoneksi, menanyakan soal apakah masih tersedia jaringan untuk sambungan baru-pun tidak mudah memperoleh jawabnya. Untuk mendapat sambungan telepon baru, seringkali harus menunggu tanpa jelas waktunya kapan dapat dipenuhi. Sekarang suasananya berbeda, segala sesuatu dituntut kejelasan, transparansi, dan akuntabilitas.

Dalam konteks keterbukaan, masyarakat pengguna telekomunikasi perlu tahu proses yang terjadi dalam layanan telekomunikasi. Bukan dimaksudkan untuk membuat sulit operator, namun dengan pemahaman yang lebih baik, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan layanan telekomunikasi dengan lebih bijak.

Interkoneksi
Interkoneksi menghubungkan antar-operator, sehingga pelanggan operator A dapat menghubungi pelanggan operator B dan sebaliknya. Bagi pelanggan jasa telekomunikasi, manfaat pertama yang dapat dipetik dari interkoneksi adalah bertambahnya peluang untuk menghubungi dan dihubungi. Melalui interkoneksi keterbatasan cakupan layanan yang melekat pada suatu operator dapat diatasi. Wilayah cakupan yang dapat dihubungi oleh pelanggannya menjadi lebih luas, karena manfaat yang diperoleh dari operator lain. Terdapat proses memberi dan menerima, hubungan antar operator bersifat mutual, sama – sama memperoleh untung. Praktisi telekomunikasi mengatakan tidak ada yang dirugikan dalam interkoneksi.

Pada tataran ideal, dengan dukungan pengelolaan sumber daya telekomunikasi yang efisien, interkoneksi pada gilirannya tidak menjadi beban tambahan bagi pelanggan telekomunikasi. Artinya, pengguna jasa telekomunikasi sebagai konsumen akhir akan diuntungkan bila penyelenggaraan interkoneksi dapat berlangsung setara, adil, efektif dan efisien.

Persoalan Interkoneksi
Dalam prakteknya interkoneksi tidak selalu mulus sebagaimana gambaran ideal pada tataran normatif. Hambatan teknis dan non-teknis dapat muncul seiring upaya para operator membangun interkoneksi. Minimnya kapasitas jaringan, keterkaitan dengan layanan lain yang tidak membutuhkan interkoneksi, munculnya gangguan akibat pemasangan sarana interkoneksi merupakan sedikit contoh dari banyak persoalan teknis di lapangan. Pada aspek non-teknis, persoalan interkoneksi sering diawali dengan perbedaan proses manajerial di masing – masing operator, yang mengakibatkan perbedaan interpretasi, maupun preferensi. Termasuk dalam persoalan non-teknis, adanya keengganan dari operator lama memberikan fasilitas interkoneksi karena bagaimanapun operator pencari akses akan menjadi pesaing.

Persoalan lain yang juga sering ditemui dalam proses interkoneksi adalah operator A mensyaratkan kondisi interkoneksi dengan operator B terkait dengan operator C. A hanya bersedia berinterkoneksi dengan B, apabila yang terakhir terlebih dahulu sudah berinterkoneksi dengan operator C, yang nota bene masih bersaudara dengan A.

Bagi pelanggan telekomunikasi, apapun persoalan yang dihadapi operator dalam interkoneksi bukan menjadi urusannya. Yang terpenting bagi pelanggan adalah apapun konfigurasi interkoneksi yang disepakati antar-operator, baginya kesepakatan interkoneksi tersebut tidak berdampak pada kenaikan tarif telepon. Hal inilah yang sebenarnya menjadi tantangan bagi pemerintah selaku regulator dan para operator telekomunikasi.

Pemerintah perlu menjaga agar pasca diterbitkannya Peraturan Menteri Kominfo tentang interkoneksi tarif interkoneksi tidak naik. Hal ini tidak mudah, karena posisi dominan operator telepon tetap masih dibebani dengan warisan teknologi lama yang tentu saja kalah efisien dibandingkan dengan teknologi yang dimiliki operator selular. Kenaikan tarif interkoneksi dapat memicu kenaikan tarif ritel yang akhirnya harus ditanggung oleh pengguna telepon sebagai konsumen akhir dalam bentuk kenaikan tarif telepon.

Solusi
Untuk dan atas nama keadilan, membebankan ketidak-efisienan satu pihak kepada pihak lain tidaklah adil. Namun memaksa “saudara tua”untuk mengikuti teknologi efisien yang dimiliki “adik – adiknya“ bukan pula tindakan yang bijaksana. Solusi optimal yang menggembirakan semua pihak mesti diambil. Sasaran utamanya adalah terselenggaranya interkoneksi secara adil, fair, transparan, efektif dan efisien.

Di dalam Peraturan Menteri tentang interkoneksi termuat ketentuan mengenai formula penghitungan tarif interkoneksi. Persoalan utamanya, bukan pada formula, namun lebih pada penentu biaya (cost drivers) yang merupakan unsur dari elemen jaringan atau variabel dalam formula tersebut. Sepanjang operator dapat menekan biaya aktivitas yang dihitung sebagai cost drivers, harapannya besaran tarif interkoneksi yang ditawarkan kepada operator lain menjadi semakin rendah. Jadi dalam hal ini, manajemen operator harus mengarahkan perhatian lebih banyak ke hulu, bagaimana merekayasa ulang proses bisnis agar lebih ramping, lincah dan ramah.

Menanggapi persoalan persyaratan interkoneksi yang dikaitkan dengan operator pihak ketiga, hal ini tidak diatur secara khusus dalam Permen Menteri tersebut di atas. Artinya tidak jelas apakah dilarang atau dibolehkan. Dalam banyak hal persyaratan semacam ini memberatkan operator baru. Praktek semacam ini tergolong oligopoli yang dalam Undang Undang tentang Persaingan Usaha dan Anti Monopoli, termasuk praktek bisnis yang harus diawasi.

Akhirnya, kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini, ketersambungan antar operator dan menambah peluang berhubungan bagi pelanggan telekomunikasi merupakan manfaat interkoneksi pada level terendah. Manfaat akan lebih besar lagi, manakala manajemen operator bersedia meninjau kembali proses bisnisnya sehingga elemen biaya interkoneksi dapat dijaga pada tingkat minimum. Interkoneksi yang berujung pada makin murahnya layanan telekomunikasi merupakan mukjizat bagi bangsa ini.*****

Rempoa, 1 Juni 2006.

Urun Rembug Soalan Mahalnya Bandwidth

Memenuhi permitaan agar saya mengajukan saran dan komentar secara tertulis supaya dapat ditindak-lanjuti, bersama ini saya sampaikan sebagai berikut:

Persoalan mahalnya bandwidth Internet di Indonesia – menurut hemat saya lebih disebabkan oleh tiga hal: high cost economy, posisi Indonesia saat ini masih sebagai seller market ketimbang buyer market, dan hirarki bisnis Internet Indonesia relatif terhadap tier carriers di atasnya.

Penyelenggaraan Sambungan Langsung Internasional (SLI) masih memberikan prospek bisnis yang bagus, karena linear dengan perkembangan bisnis global. Namun demikian, SLI berbasis Circuit Switch (SLICS) sebagaimana diselenggarakan oleh Indosat (001) dan Telkom (007) dan juga oleh operator di negara – negara lain grafiknya terus menurun, karena sudah tersedia kompetitor-nya yakni layanan SLI berbasis Paket Swicth (SLIPS) yang menggunakan teknologi Voice Over Internet Protocol (VoIP). Adapun laporan keuangan dua perusahaan tersebut yang menyajikan kenaikan SLI, bila diteliti lebih detil, di dalamnya dimasukkan penerimaan dari SLI berbasis Paket Switch alias VoIP, yang bagi kedua operator tersebut legal untuk mengoperasikannya.

Selain menyelenggarakan VoIP, kedua incumbent tersebut juga menjadi pengelola resmi Internet Gateway. Di sinilah sumber high cost economy.

Menanggapi rencana Pemerintah untuk memberikan izin SLI bagi pihak yang bersedia membangun backbone (kabel laut) yang ditarik langsung ke second atau first tiers sehingga diharapkan bandwidth Internet menjadi lebih murah, hal – hal berikut pantas untuk didiskusikan:
  1. Membangun backbone langsung ke second atau first tiers tidak serta merta mengubah posisi pasar Indonesia dari seller market menjadi buyer market;
  2. Regulator yang sekarang sudah mulai menunjukkan transparansi dalam manajemennya. Sinyal pemberian izin baru bagi operator SLI jika tidak segera disertai dengan penjelasan mekanisme dan syarat - syarat perizinan dapat menimbulkan spekulasi di kalangan pebisnis;
  3. Izin layanan SLI yang akan diterbitkan kepada pembangun backbone, perlu juga dijelaskan apakah terbatas pada circuit switch (CS) saja, sebagaimana berlaku pada 001 dan 007, atau juga termasuk sambungan langsung internasional berbasis paket switch (SLIPS), dan lain – lain termasuk membawa trafik siaran IP-TV, digital radio, dlsb. Jika hanya CS saja, saya meragukan akan ada investor yang tertarik.

Dengan latar belakang seperti tersebut di atas, saya melihat pentingnya Pemerintah melakukan:

  • Menerbitkan regulasi yang memaksa penyelenggara internet gateway (IG) agar tidak lagi menjalankan bisnis yang mengakibatkan high cost economy;
  • Memperluas perizinan telekomunikasi yang sudah dimiliki oleh operator selular dengan izin SLIPS dan sekaligus IG, sehingga semakin banyak sisi penawaran akan terjadi kompetisi yang pada umumnya berdampak penurunan harga;
  • Memperluas izin ITKP dengan menjadikannya sebagai Penyelenggara jaringan Telepon Berbasis Paket Switch dengan syarat mereka harus membangun jaringannya sendiri di wilayah – wilayah yag ditentukan oleh Pemerintah, menggunakan kombinasi kabel dan wireless, dengan demikian menambah sumber daya jaringan, memperluas jangkauan pelayanan telekomunkasi dan mempermurah akses Internet;
  • Fasilitasi dan Anjuran kepada APJII, Asosiasi NAP, dan pembeli bandwidth Internet untuk membeli secara bersama – sama dalam satu konsorsium secara lelang kepada penyelenggara carrier yang tergolong first tier, hal ini dimaksudkan untuk mengubah seller market menjadi buyer market; Pemerintah dapat pula mengintervensi pasar dengan memberikan himbauan keras kepada penjual bandwidth internasional untuk menjualnya dengan harga yang lebih murah kepada Indonesia. Hal ini pernah dilakukan Dr. M, di Malaysia, LKY di Singapore dan Hu Jintao di China;

Persoalan yang terkait dengan akan direvisinya Perpres 36, saya melihat dampaknya sudah mulai terasa ketika Pemda DKI untuk dan atas nama PAD, keserasian kota dan lain sebagainya tidak lagi menerbitkan izin baru bagi pemasangan tower BTS, sehingga secara sepihak dipaksa menggunakan tower bersama yang nota bene ada beberapa perusahaan penyedia tower yang dimiliki atau bekerja sama dengan oknum pejabat Pemda. Selain itu, ini terjadi di daerah pinggiran Jakarta dan kota besar lain, walaupun site acquisition sudah masuk ke tataran B2B, namun dengan tidak dimasukkannya lagi telekomunikasi sebagai infrastruktur yang pengadaan tanahnya perlu dijamin pemerintah (banyak yang salah memahami Perpress ini) menjadikan harga lahan untuk BTS naik beberapa kali lipat. Untungnya, PT. Telkom sudah tidak lagi membangun jaringan kabel, sehingga mereka sekarang tidak perlu membayar sewa tanah yang dilewati kabel telepon.

Pemikiran tentang dampak Revisi Perpres ini baru berdasarkan beberapa kejadian, sehingga masih perlu validasi, sayangnya teman – teman operator memilih berbicara topik lain, dan hanya mengeluh kepada saya dengan ucapan “maswig kan ketua Mastel, sedangkan kami anggotanya, jadi kami mengeluh ke pengurus dengan harapan disampaikan kepada pejabat yang sedang menjalani mandat rakyat” Nah, Mas Heru, masukan saya ini, tidak lebih dari penyambung lidah kelu para operator anggota MASTEL, syukur – syukur mendapat tanggapan positif. *****

Telekomunikasi Memperkuat Pertahanan Dan Ketahanan Nasional

Pertahanan dan Keamanan Nasional membutuhkan ketersediaan berbagai sarana publik termasuk Telekomunikasi. Telekomunikasi digunakan untuk mendukung berbagai aktivitas masyarakat melalui penyampaian pesan dan informasi. Menyusul memudarnya era ekonomi industri, informasi sudah mulai menunjukkan peran pentingnya bagi pembentukan era ekonomi baru, ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Di sisi lain, informasi juga berperan signifikan dalam proses pendidikan masyarakat, penyebar-luasan pengetahuan, perkuatan budaya, dan pemupukan ideologi bangsa yang pada akhirnya akan memengaruhi pembinaan mental dan karakter anak bangsa. Dengan kata lain, posisi telekomunikasi menjadi sangat strategis bagi Republik Indonesia, karena telekomunikasi memfasilitasi penguatan sistem pertahanan dan ketahan nasional.

Permasalahan
Meskipun disadari bahwa posisi telekomunikasi sangat strategis, namun kinerja telekomunikasi nasional masih di bawah standar yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari statistik kinerja telekomunikasi sejak kemerdekaan hingga enam dekade sesudahnya.
Di antara banyak faktor penyebab, beberapa di antaranya adalah regulasi, ketersediaan modal, struktur pasar, dan perilaku industri.

Penyelenggaraan telekomunikasi sejak kelahirannya merupakan jenis layanan publik yang dikuasai pemerintah karena adanya pemahaman bahwa telekomunikasi merupakan kekayaan alam yang dimiliki negara dan digunakan sebanyak-banyaknya bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Dalam perjalanan waktu, pemerintah memberikan kekuasaan pengelolaan telekomunikasi kepada sebuah badan usaha milik negara (BUMN) untuk menjalankan fungsi penyediaan infrastruktur dan penyelenggraan telekomunikasi. Guna memastikan pelaksanaan mandat negara kepada BUMN dibuatlah regulasi yang memberikan koridor operasional. Dengan demikian secara sengaja terbentuklah struktur pasar dan perilaku monopoli.

Gobalisasi di lain pihak, mendesak agar pemerintah mulai mengizinkan operator lain untuk memasuki bisnis telekomunikasi. Para penganjurnya percaya bahwa kompetisi merupakan resep mujarab bagi mengatasi permasalahan rendahnya teledensity dan penyebaran layanan telekomunikasi. Ketika akhirnya pemerintah memberikan izin bagi operator telekomunikasi lain, persoalan teledensity dan penyebaran layanan ternyata belum juga terselesaikan. Muncul persoalan lain seperti, sulit dilakukannya keterhubungan antar-operator (interkoneksi), tarif yang mahal, keterbatasan sumber daya frekuensi, dan lain sebagainya.

Kesulitan interkoneksi dan mahalnya tarif telekomunikasi merupakan hambatan terbesar dalam meningkatkan teledensity dan penyebaran layanan. Jika demikian halnya, dan bila dibiarkan terus menerus, tidak ada kebijakan nasional untuk memperbaikinya, maka peran strategis telekomunikasi dalam mendukung sistem pertahanan dan ketahanan nasional perlu dipertanyakan. Dalam kata lain, mengingat dominasi telekomunikasi dibandingkan dengan aspek lain dalam mendukung sistem pertahanan dan ketahanan nasional, maka jika kinerja sektor telekomunikasi buruk (tercermin dari rendahnya teledensitas, sulitnya interkoneksi, mahalnya tarif) sistem pertahanan dan ketahanan nasional yang handal jangan – jangan tidak pernah akan tercapai.

Analisis Ekonomi-Politik
Pada tataran mikro, yang dapat dijadikan kambing hitam dari kelambatan kinerja pembangunan sektor telekomunikasi adalah inefisiensi yang luar biasa parahnya. Teori ekonomi dasar menyebutkan inefisiensi terjadi ketika input semakin banyak diasupkan ke dalam sistem namun output-nya tidak meningkat secara linier, atau untuk suatu target output tertentu dibutuhkan input yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan proses yang terjadi pada perusahaan lain sejenis. Artinya, terjadi penyerapan sumber daya di dalam sistem yang akhirnya lari entah ke mana (dead weight loss). Banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu telah melakukan kajian tentang sebab-musabab inefisiensi, namun belum ada satupun yang mujarab menyembuhkan penyakit inefisiensi yang menjangkiti BUMN Indonesia.

Jika ditarik ke tataran makro, kinerja telekomunikasi juga dipengaruhi oleh lingkungan makro yang selalu menunjukkan gerak turbulensi, dari intervensi penguasa politik kepada eksekutif BUMN, pengaruh krisis keuangan, perubahan sistem politik yang mengarah pada euforia politik sehingga karyawan yang seharusnya fokus pada bidang tugasnya mulai menyenangi demonstrasi untuk mengekspresikan keinginan mereka, hingga desakan globalisasi yang memberi angin segar bagi masuknya investor asing menguasai sektor strategis telekomunikasi. Perubahan lingkungan eksternal yang demikian kuat ternyata tidak mendapat respons positif dari lingkungan internal. Hal ini setidaknya tercermin dari perilaku bisnis operator dominan yang baru saja melepas status monopolinya (sambungan telepon lokal, jarak jauh, dan internasional).

Keengganan bekerja-sama dengan operator lain dalam hal interkoneksi yang ditunjukkan oleh beberapa pihak di lingkungan operator dominan merupakan cerminan dari ketakutan menghadapi persaingan. Ketidak-bersediaan menetapkan standar baru dalam menghitung tarif telekomunikasi dengan metoda berbasis biaya, dapat mengindikasikan masih adanya keberatan mengurai benang kusut inefisiensi, yang pada akhirnya dibebankan kepada operator lain dan atau pelanggannya sendiri.

Proses yang diharapkan akan terjadi dengan adanya perubahan sistem interkoneksi adalah peningkatan teledensitas dan penyebaran layanan. Hal ini dimungkinkan karena - dengan asumsi terjadi efisiensi - perubahan dari metoda bagi hasil (revenue sharing) menjadi berbasis biaya (cost-based) akan menurunkan biaya interkoneksi. Penurunan biaya interkoneksi berpeluang menurunkan tarif ritel yang harus dibayar pelanggan. Asumsi ekonomi menyatakan penurunan harga akan meningkatkan daya beli, peningkatan daya beli memberi peluang terjadinya peningkatan penjualan dan menambah pendapatan perusahaan. Pendapatan yang makin meningkat dikurangi biaya yang semakin efisien menghasilkan cadangan investasi bagi perluasan jaringan yang pada akhirnya menjawab permasalahan teledensitas dan penyebaran layanan.

Saran Kebijakan
Regulasi interkoneksi sudah dibuat. Terlepas dari kualitasnya, regulasi tersebut sebaiknya dilaksanakan dengan konsisten dan konsekuen. Untuk dapat memastikan regulasi interkoneksi berfungsi dengan baik, Regulator Telekomunikasi sebaiknya membuka diri bagi masukan dari masyarakat luas, terutama dalam proses evaluasi terhadap Daftar Penawaran Interkoneksi yang diajukan oleh tiga operator dominan.

Dalam jangka pendek penegakan regulasi interkoneksi yang baru saja diterbitkan akan merugikan pemegang saham operator dominan yang nota bene Pemerintah sendiri, namun dalam jangka panjang akan mendukung sistem pertahanan dan ketahanan nasional.

Jika regulasi tidak dapat ditegakkan, sekarang dan seterusnya seluruh pelanggan telekomunikasi akan dirugikan. Bila demikian, kegagalan menerapkan regulasi interkoneksi sama saja dengan melemahkan sistem pertahanan dan ketahanan nasional.

Agar semua pihak – operator dominan, operator baru, pelanggan, investor, dan pemerintah – diuntungkan dalam jangka panjang, perlu dikaji lebih mendalam prosedur interkoneksi yang diintegrasikan ke dalam lembaga penyedia layanan interkoneksi nasional. *****

Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, Direktur INSTEPS & Ketua MASTEL

Problema Individu Selebriti Dalam Organisasi Selebriti

Menjelang Rapat Umum Pemegang Saham suatu perusahaan milik negara, di mana lazimnya akan dilaporkan hasil kerja selama periode setahun sebelumnya dan agenda penting lainnya yang perlud dibahas seperti pergantian pengurus, ada salah seorang pengurus serikat pekerja yang menyuarakan pesan yang maksudnya kurang lebih “individu yang duduk dalam kepengurusan perusahaan baik sebagai direksi atau komisaris sebaiknya membawa kemajuan bagi organisasinya; bukan sebaliknya, individu menggunakan organisasi sebagai alat untuk memajukan dirinya”. Pesan tersebut dapat menggambarkan suasana yang sering terjadi, adanya kekhawatiran, dan menghimbau agar pengurus perusahan tersebut tidak meniru praktek yang sering terjadi yang membuat serikat pekerja tersebut khawatir.

Sudah menjadi pengetahuan umum banyak orang ingin menjadi pemimpin organisasi terkenal, baik itu partai politik, lembaga swadaya masyarakat, entitas bisnis, maupun lembaga publik. Bukan semata – mata untuk memberi kontribusi bagi kemajuan lingkungan internal dan eksternal organisasi, tetapi, meski tidak selalu terungkap, selalu ada kepentingan pribadi yang ingin dicapainya melalui kedudukannya dalam organisasi tersebut. Hubungan individu anggota organisasi dengan organisasi sebagai kumpulan individu yang memiliki persamaan kepentingan sering kali sulit dipisahkan (Jones, 2004).

Kreitner dan Kinichi (2004) bahkan menyebut organisasi adalah kenyataan sosial yang memiliki kriteria sosial sebagaimana dinyatakan oleh Greenberg dan Baron (2003) yakni ada interaksi sosial antara dua orang atau lebih, adanya struktur interaksi yang stabil, perlu ada minat atau sasaran bersama di antara para anggotanya, dan tiap anggota perlu membedakan diri dengan yang bukan anggota. Dalam hubungan seperti tersebut di atas, jelas terlihat antara organisasi sebagai lembaga dan individu sebagai pengelolanya dapat saling memanfaatkan satu terhadap lainnya. Persoalannya berkaitan dengan etika, adakah batasan yang dapat membedakan kepentingan individu dan kepentingan organisasi? Dalam konteks kini, ketiadaan, kekaburan atau rendahnya pemahaman terhadap batasan tersebut dapat berujung pada tindakan korupsi jabatan.

Di pihak lain, interaksi organisasi dengan lingkungan luarnya, seringkali memberi berkah sekaligus hujatan bagi perusahaan. Jurnalis seringkali memberi atribut positif kepada perusahaan atas aksi mereka yang dinilai memberi manfaat bagi masyarakat. Atribut positif yang terus terakumulasi ini lambat laun menjadikan organisasi tersebut diberi status sebagai organisasi selebriti (Rindova et all, 2006). Rein, Kotltler dan Stoller (1987) memberi pengertian tentang selebriti: individual or organisation whose name has attention-getting, interest-riveting and profit generating value. Individu dalam organisasi selebriti (celebrity firm) berpeluang menjadi individu selebriti (individual celebrity) apabila tindakan yang dilakukannya sejalan dengan strategi dan langkah organisasi dan selalu berusaha agar status selebriti organisasinya tidak hilang. Sebaliknya meski duduk di dalam kepengurusan organisasi selebriti, individu lainnya tidak serta merta menjadi individu selebriti jika tidak dapat memanfaatkan posisi organisasi sebagai organisasi selebriti.

Joel Bakan dalam “The Corporation, The Pathological Pursuit of Profit and Power” (2004) mengingatkan bahwa acap kali kita tidak menyadari bahwa di sekeliling kita sudah dipenuhi oleh produk – produk organisasi selebriti. Apa yang kita makan, minum, lihat, kenakan, dengar, kendarai, pikirkan, kerjakan hampir semuanya didominasi oleh produk korporasi yang sebagian besar sudah menjadi organisasi selebriti. Kehidupan, perilaku dan budaya kita tanpa disadari dipengaruhi oleh “kekuasaan” para selebriti, baik itu selebriti politik, seni, teknokrat, dan lain sebagainya. Bakan juga mengingatkan bahwa dengan statusnya sebagai korporasi yang mencapai status sebagai organisasi selebriti seringkali para eksekutifnya justru merusak reputasi dirinya maupun organisasinya. Kasus Enron dan WorldCom, atau skandal politik yang melanda para elite merupakan contoh hal tersebut.

Dalam konteks Indonesia, dapatkah kita dengan mudah mengenali institusi atau perusahaan mana yang layak memperoleh status sebagai organisasi selebriti? Mereka yang nama dan sosoknya disukai publik, dapat mengeratkan berbagai kepentingan yang berbeda, atau dapat menghasilkan keuntungan materi dan non-materi pantas dinobatkan sebagai organisasi selebriti. Jika dikaitkan dengan pendapat Jones (2004) di atas, bukankah individu dalam organisasi selebriti berpeluang menjadi individu selebriti?

Di sinilah kekhawatiran rekan tadi beralasan. Apakah bila seseorang menjadi pengurus organisasi selebriti dan dirinya menjadi individu selebriti lantas hal demikian layak kita haramkan? Jawabnya, individu pengurus organisasi selebriti yang memanfaatkan status organisasi guna meningkatkan nilai dirinya (menjadi berstatus selebriti) masih dianggap wajar bila dalam upayanya tersebut berpegang pada etika sehingga dapat membedakan kepentingan organisasi dan individu. Kegagalan individu selebriti sebagai pengelola organisasi selebriti yang disebabkan oleh ketidak-mampuan memegang teguh etika akan menghancurkan status dan reputasi organisasi selebriti, selain menghancurkan reputasi dirinya sendiri****

Jangan Hanya Melihat Kondisi Sekarang, Lihatlah Ke Depan

Dalam suatu kesempatan presentasi produk piranti lunak pengendali trafik komunikasi data, seorang Direktur Operasi (DO) mengajukan argumen bahwa perusahaannya belum dapat menggunakan piranti lunak yang dipresentasikan karena sebagian besar pelanggannya adalah korporat yang hanya membutuhkan bandwidth yang relatif konstan. Selain itu, profil pelanggan individu/rumah tangga pun sebagian besar masih menggunakan sambungan dial up yang tidak memungkinkan layanan yang membutuhkan jalur pita lebar (broadband).

Di lain pihak, Direktur Pengembangan Bisnis (DPB) sembari mencermati presentasi terlihat membuat coretan dan ketika tiba gilirannya bicara, komentarnya sungguh berbeda dengan DO. DPB mengatakan bahwa piranti lunak yang ditawarkan dapat digunakan untuk menambah variasi produk yang layak ditawarkan kepada pelanggan dan calon pelanggan. Ditambahkannya, dengan piranti lunak yang baru dilihatnya tersebut perusahaan dapat menawarkan fleksibilitas kepada pelanggan. Pelanggan dapat menetapkan sewaktu – waktu jenis layanan yang diinginkannya, tanpa harus menunggu respon dari petugas customer service.

Bukan Hanya Penyedia Pipa
Argumen DO tersebut di atas dapat dimaknai dalam beberapa perspektif. Pertama, perusahaan yang dipimpinnya membagi pelanggan ke dalam dua kelompok: korporat dan individu/rumah tangga. Kedua, layanan yang diberikan semata – mata hanya akses Internet, perusahaan berperan sebagai “pipa” yang menyalurkan “air”dari sumber ke pelanggan. Nilai tambah yang diciptakan oleh perusahaan relatif kecil karena hanya mengandalkan margin antara harga jual dan harga beli bandwidth. Ketiga, DO belum melihat potensi pengembangan bisnis yang dapat dilakukan dengan adanya piranti lunak pengendali bandwidth.

Jika DO belum melihat potensi pengembangan bisnis yang dapat dilakukan dengan adanya piranti lunak pengendali bandwidth, sebaliknya DPB sudah melihatnya ke arah sana. Dua hal yang terkesan saling kontradiktif ini dapat dipahami karena sifat tugas dan tanggung jawab masing – masing tentunya berbeda.

You Can Do More
Seringkali dalam berkarya, eksekutif lebih sering disibuki oleh aktivitas keseharian yang lambat laun memperpendek daya pandang jangka panjang yang sifatnya strategis. Fenomena semacam ini tidak saja terjadi di entias bisnis privat namun juga yang sangat kentara terjadi di instasi pemerintah. Cermatilah bagaimana para Menteri akhirnya terjebak dalam urusan aktual yang muncul tiap hari dan akhirnya membuat lupa urusan perencanaan, rancangan strategi dan implementasinya guna mengubah tatanan buruk pemerintahan yang sampai sekarang tetap berlangsung.

DO termasuk dalam kelompok yang disibukkan dengan aktivitas keseharian. Barangkali Key Performace Indicator-nya didominasi oleh tingkat pelayanan optimal melalui Service Level Agreement (SLA) atau menjaga agar kualitas layanan (QoS) tetap pada standar yang ditetapkan, sehingga ketika ada “barang baru” acuan yang digunakan adalah sejauh mana perubahan terhadap konfigurasi jaringan dan layanan yang ada pada saat ini. Pertanyaan – pertanyaan yang menjadikan kondisi sekarang sebagai referensi untuk membandingkannya dengan perubahan yang akan terjadi setelah masuknya elemen baru, seringkali merupakan hambatan inovasi. Mengapa demikian?

Geoffrey A. Moore dalam Dealing With Darwin, How Great Companies Innovate At Every Phase of Their Evolution (2005) menggambarkan bagaimana Cisco memulai debutnya ketika membuat perangkat jaringan (Router dan Switch) yang berbeda dengan yang ada sebelumya. Acuan yang digunakan bukan perangkat yang sudah ada melainkan bagaimana membuat perangkat yang akan menjadi standar baru dalam komunikasi data, tentunya dengan prediksi bisnis yang akan dipengaruhi oleh produk tersebut. Dalam konteks Cisco, empat hal yang menjadi pusat perhatian manajemen dalam melakukan inovasi (dan mereka ingin menjadi market leader-nya) adalah security, wireless, VoIP dan storage area network (SAN) switches.

Moore juga menguraikan bagaimana inovasi selanjutnya perlu diintegrasikan dengan aktivitas bisnis, sehingga investasi besar yang telah ditanamkan dalam aktivitas R&D dapat kembali, yang ditandai dengan disambutnya produk/jasa hasil inovasi oleh dinamika pasar. Untuk itu, eksekutif perlu merancang model bisnis baru yang selaras dengan inovasi yang akan diluncurkan.

Kembali ke kasus di atas, antusiame DPB dalam merespon presentasi masih harus ditindak – lanjuti dengan meyakinkan rekan kerjanya (DO) bahwa perusahaan perlu melakukan inovasi, dan piranti lunak tersebut dapat menjadi salah satu tool yang dapat digunakan untuk berinovasi. Luaran (output) inovasi yang mungkin dapat dihasilkan adalah adanya penambahan dan atau diferensiasi produk yang berbeda dari yang sudah ada. Dengan adanya diferensiasi ini pelanggan akan memperoleh benefit yang lebih tinggi, dan pada sisi perusahaan diharapkan akan menambah portofolio serta peluang meningkatkan net income.

Tentu saja akan dibutuhkan perubahan – perubahan dalam konfigurasi jaringan dan layanan, termasuk - bisa jadi - model bisnis. Yang perlu diperhatikan, walaupun ada penambahan investasi dalam bentuk piranti lunak, perubahan SOP, dan pelatihan SDM (sebagai konsekuensi digunakannya sistem baru) kualitas layanan (QoS) kepada pelanggan tetap harus terjaga selama masa transisi maupun sesudahnya.

Berusahalah membuat perubahan yang akan berpengaruh terhadap masa depan, jangan hanya melihat dan berkutat tentang hal – hal yang ada di hadapan Anda sekarang.*****

Strategi dan Kebijakan Pembangunan Telematika

Bagi sementara pihak, sektor Telematika (telekomunikasi, teknologi informasi, dan multimedia) masih dianggap sebagai sektor yang kurang menarik untuk dibicarakan terutama dalam konteks diskursus politik praktis. Padahal, sektor Telematika memiliki posisi strategis dalam kontribusinya terhadap perencanaan dan implementasi strategi pembangunan ekonomi, sosial, politik, dan pertahanan keamanan nasional.

Permasalahan Umum
Permasalahan di sektor Telematika, sebetulya tidak beranjak jauh dari tahun ke tahun. Persoalan yang belum teratasi terus berkutat di seputar masih rendahnya infrastruktur jaringan telekomunikasi; rendahnya penetrasi Internet; pasar yang masih dikuasai oleh pelaku dominan; masih relatif rendahnya kontribusi sektor Telematika terhadap Pendapatan Nasional; makin terbukanya entry barrier bagi produk dan jasa asing untuk masuk ke Indonesia, sementara produk dan jasa Indonesia di bidang Telematika yang diekspor ke luar negeri masih rendah dan seringkali tidak mampu bersaing di pasar global; permasalahan pro dan kontra menyusul divestasi BUMN telekomunikasi; permasalahan Struktur; Perilaku dan Kinerja industri Telematika Indonesia terutama konsekuensi setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi; belum adanya kerangka hukum yang mengatur tentang cyberactivity dan cybercrime; serta belum adanya upaya serius dari pemerintah untuk memberi perhatian sepenuhnya terhadap pemanfaatan Internet dan dampaknya

Kontribusi Telematika
Kontribusi sektor Telematika kepada Pendapatan Nasional baru mencapai 5,1% untuk tahun 2000 dan 5,8% untuk tahun 2001. Belum cukup signifikan, namun demikian aktivitas sektor ini cukup memberi warna tersendiri dalam perekonomian nasional. Ditandai dengan mulai maraknya sekelompok anak muda membangun bisnis baru menggunakan teknologi Internet, maka Indonesia tak ketinggalan dalam booming perdagangan elektronis / electronic commerce (e-commerce).

Majalah Warta Ekonomi edisi Maret 2001 mencatat ada sedikitnya 900 perusahaan dotcom di Indonesia. Jika rata-rata setiap perusahaan menyerap 50 tenaga ahli di bidang Telematika, maka 45.000 tenaga kerja telah teserap dalam industri ini. Sayangnya, seiring dengan surutnya bisnis e-commerce karena di Indonesia dukungan terhadap infrastruktur informasi masih relatif sedikit, banyak perusahaan dotcom Indonesia mengikuti jejak rekan rekannya di Amerika dan Eropa, menutup usaha, atau mengurangi aktivitas bisnisnya

Isu Telematika
Beberapa isu bisnis di bidang Telematika lain yang mewarnai sepanjang tahun 2002 hingga pertengahan 2006 antara lain: munculnya layanan akses Internet yang diselenggarakan oleh Telkom (Telkomnet Instant) yang dianggap sebagai persaingan tidak sehat oleh pemilik dan pengelola perusahaan Internet Service Provider (ISP); munculnya Telkom Flexi yang disusul Indosat dengan StarOne; runtuhnya bisnis Voice over Internet Protocol (VoIP); masih kuatnya pengaruh pelaku dominan dalam layanan jasa telekomunikasi; E-Commerce dan E-Business yang tidak berkembang; mulai maraknya implementasi e-procurement di beberapa perusahaan nasional yang membawa dampak negatif; masih lambatnya pertumbuhan kuantitas dan kualitas e-government; merger operator telekomunikasi; masih kuatnya perilaku monopoli dan proteksi di tengah perubahan pasar jasa telekomunikasi yang sudah menjadi pasar kompetitif; interkoneksi antar operator; kode akses menyusul ditetapkannya Indosat sebagai penyelenggara Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ); penolakan kepemilikan asing di dalam perusahaan operator telekomunikasi, namun di sisi lain justru makin bertambah banyak investor asing yang masuk ke Indonesia; dan yang paling akhir, isu alokasi spetrum frekuensi dan perijinan layanan 3G, serta masih dinantinya kebijakan tentang penggunaan Wimax.

Peran Telematika
Pembangunan sektor Telematika diyakini akan memengaruhi perkembangan sektor-sektor lainnya. Sebagaimana diyakini oleh organisasi telekomunikasi dunia, ITU, yang konsisten menyatakan bahwa dengan asumsi semua persyaratan terpenuhi, penambahan investasi di sektor telekomunikasi sebesar 1% akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 3%. Hipotesis ini telah terbukti kebenarannya di Jepang, Korea, Kanada, Australia, negara-negara Eropa, Skandinavia, dan lainnya. Mereka telah memberi perhatian besar pada sektor telekomunikasi, sehingga selain jumlah pengguna telepon (teledensity) meningkat, terjadi pula peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Implikasi sosial dari pemanfaatan Telematika belum dapat dirasakan langsung oleh kelompok masyarakat miskin atau mereka yang berpenghasilan rendah. Hal ini dapat dipahami karena daya beli mereka rendah. Telematika belum merupakan kebutuhan pokok yang harus tersedia setiap hari. Dalam kondisi ini, bagi golongan miskin tadi Telematika masih menjadi barang langka, mahal dan tidak berguna. Manfaat Telematika sudah dirasakan oleh golongan terpelajar, atau mereka yang berpunya. Pada awal abad milenium ini muncul kecenderungan kuat adanya ketergantungan terhadap informasi. Penggunaan telekomunikasi dan teknologi informasi khususnya Internet sebagian besar dilakukan oleh kelompok masyarakat golongan menengah ke atas. Kondisi kontradiktif dalam pemanfaatan Telematika memunculkan fenomena yang kaya makin kaya, yang miskin makin terpuruk dan tambah miskin. Ketidak-tanggapan penentu kebijakan publik di bidang Telematika terhadap fenomena umum semacam inilah yang kemudian menimbulkan jurang digital (digital divide).

Jika kontribusi Telematika terhadap perekonomian nasional sudah ada cara mengukurnya, tidak demikian halnya dengan kontribusi Telematika tehadap pembangunan dan peningkatan kualitas demokrasi. Bukti empiris menunjukkan bahwa Telematika telah banyak membantu upaya masyarakat bangsa menuju demokrasi. Bentuk sederhana keterlibatan Telematika dalam demokrasi antara lain penggunaan Short Message Service (SMS), Electronic Mail (E-mail), dalam pendudukan gedung DPR/MPR oleh para aktivis mahasiswa yang berujung pada runtuhnya rezim Orde Baru. Pengembangan lebih lanjut pemanfaatan Telematika dalam mendukung upaya pendidikan politik dan demokrasi hanya dibatasi oleh kemampuan manusia, bukan oleh teknologi itu sendiri. Fakta yang cukup menarik, belum banyak partai politik yang secara khusus memberi perhatian pada Telematika. Baik itu pemanfaatan sebagai sarana untuk mengelola organisasi sehingga menjadi partai modern berbasis teknologi, maupun menggunakan isu-isu kebijakan dan strategis di seputar Telematika yang dapat menarik simpati masyarakat luas.

Area Kebijakan
Sekali pun kondisi kelembagaan pemerintahan pengelola Telematika belum memadai, di sisi lain muncul berbagai inisiatif baru yang dikembangkan oleh para pelaku usaha yang tergolong berusia muda dalam rangka membentuk infrastruktur informasi alternatif yang meliputi aspek aplikasi, jasa dan infrastruktur fisik. Dari sisi teknologi terdapat empat area yang dianggap sebagai pendorong yaitu yang berkaitan dengan bandwidth komunikasi, teknologi peralatan elektronika, teknologi manipulasi informasi, dan teknologi sistem pembayaran yang dikembangkan secara on-line.

Peluang yang diciptakan oleh penerapan perdagangan elektronis (e-commerce) adalah terciptanya pasar-pasar baru, produk dan pelayanan baru, proses-proses bisnis baru yang lebih efisien dan canggih, serta penciptaan perusahaan-perusahaan dengan jangkauan lebih (extended enterprise). Sedangkan kendala umumnya berkisar pada masalah bandwidth dan kapasitas jaringan, keamanan, harga teknologi, aksesabilitas, struktur sosial-ekonomi-demografi, kendala politik dan hukum, sensor, serta edukasi-sosialisasi masyarakat.

Perkembangan lingkungan regulasi menunjukkan bahwa Indonesia juga telah mulai meninjau ulang lingkungan regulasinya. Suatu kerangka regulasi baru di bidang Telematika sedang dalam proses untuk diundangkan menyusul diskursus yang terjadi dalam dialog antara pemerintah dan komunitas swasta. Tinjauan ulang regulasi sangat banyak dipengaruhi oleh manfaat konvergensi Computer-Communications-Content pada banyak industri yang terkena dampak serta resiko yang diciptakan oleh e-commerce, seperti misalnya keabsahan dokumen elektronis dan pengaturan hak kepemilikan intelektual (intellectual property right).*****

Mungkinkah Menikmati Koran dan TV Tanpa Iklan

Saya punya dua persoalan yang sementara ini sedikit mengganggu pemikiran. Saya ingin lontarkan kepada Anda semua siapa tahu ada yang dapat meringankan beban pemikiran saya.

Yang pertama, sudah beberapa tahun ini saya melanggan layanan kabel tivi berbayar, semua channel terisi, sebagian besar dari stasiun tivi asing. Stasiun tivi domestik: tvri, tpi, indosiar, rcti, sctv, anteve, metrotv, transtv, tv7, globaltv, latifi, jtv (jatim tivi) dan bali tv dapat ditonton dalam layanan tivi berbayar ini. Stasiun tivi asing saya golongkan menjadi tiga, yang menayangkan film doang (cinemax, HBO, Star Movie, AXN, CN, dll); menayangkan berita (CNN, BBC, TV5, CCTV, NBC, NHK, ABC, dll.) dan menayangkan fitur (National Geograpghy, Discovery, Animal World, dan lain – lain). Nonton tivi asing sedikit sekali iklannya, apalagi kalau nonton movie stations, blas ndak dipotong iklan, paling - paling statisun tivi Hallmark, itupun relatif jarang. Stasiun tv berita asing yang ditonton liwat tv berbayar sedikit sekali dipotong untuk iklan. Persoalan pertama, mengapa nonton tv domestik liwat saluran tivi berbayar masih harus dijejali iklan???? Bukankah kami – pelanggan tivi kabel sudah membayar iuran bulanan untuk dapat menikmati siaran mereka. Logika saya, dengan mengacu pada siaran tivi asing, mestinya disediakan program siaran khusus dari stasiun tivi domestik untuk pelanggan tivi berbayar yang tanpa iklan. Mestinya bisa doong???? Berapa kerugian waktu (durasi nonton tivi jadi lebih panjang), biaya (penggunaan listrik jadi lebih lama) dan lain sebagainya yang harus ditanggung pelanggan tivi berbayar, ketika informasi atau hiburan yang “dibelinya” dipaksa dijejali dengan informasi yang tidak diinginkan?

Yang kedua, mirip yang pertama hanya saja ini terjadi di media cetak. Hari ini (sabtu 9/9/06) misalnya, Koran K terbit 60 halaman, ternyata lebih dari 20 halaman (35%) berisi iklan yang isinya sama sekali tidak saya butuhkan, demikian juga dengan Koran BI, dari total 20 halaman, 6 halaman (30%) berisi iklan. Artinya saya dan pelanggan lain yang seperti saya (entah berapa jumlahnya) harus membayar biaya langganan koran yang 30% isinya tidak diperlukan, dan ini sama dengan pemborosan kertas, pemborosan sumber daya. Sementara jika kita jalan – jalan ke supermall, restoran dan tempat – temapt rekreasi, sering dijumpai Koran Iklan yang dapat diambil gratis. Isinya melulu iklan. Penerbit Koran Iklan memperoleh revenue dari pemasang iklan, masyarakat tidak usah membeli koran iklan tersebut. nah kerisauan kedua saya, mungkinkah kita dapat membaca koran berita yang isinya up to date namun tanpa iklan.

Di media massa Internet, saya tidak menemui persoalan seperti digambarkan di atas. Beberapa penerbit koran elektronik sudah memisahkan layanan informasi beriklan dan tidak beriklan. Yang beriklan gratis dan yang bersih tanpa iklan harus membayar biaya langganan.

BTW, Saya tidak sedang memusuhi iklan lho…..*****

Pengalaman Menjadi Tester Layanan 3G

Tadi malam, Kamis 21 September 2006, saya termasuk salah satu dari sekitar 30-an orang yang diundang salah satu operator layanan selular yang baru saja meluncurkan layanan 3G-nya, untuk menjadi responden sebuah riset layanan 3G.

Di undangan tertera acara dimulai pukul 18.30, tetapi ketika jam sudah menunjukkan waktu undangan, petugas masih mengutak-atik notebook di podium. Tiga puluh lima menit sesudah lewat dari 18.30, acara dimulai dengan suguhan penyanyi cantik yang mengalunkan lagu jazzy diiringi trio denting piano, saksopone, dan gitar betot. Setelah lagu dimulai baru dipersilakan mengambil makanan yang telah terhidang. Mas MC yang berambut kribo, mengundang seorang Ibu yang menjabat sebagai VP untuk memberikan sambutan sekaligus membuka acara tersebut.

Sambutan usai, dilanjutkan dengan penjelasan mengapa kami diundang, dan bersamaan dengan itu petugas membagi tas kertas berisi….. HP baru. Setiap tamu mendapat 1 buah HP. Saya kebagian HP yang bisa dilipat dari suatu merek yang belum pernah saya memilikinya. Kemudian kami semua dipersilakan membuka, mengisinya dengan SIM-Card,memasang Batere dan menghidupkannya. Mungkin karena baru pertama kali membuka HP baru dari merek tersebut, saya tidak begitu lancar memasang menginstall HP yang saya terima. Mungkin karena terbiasa membaca manual dulu sebelum mengotak – atik sesuatu barang elektronik, sementara buku manual-nya tidak saya temukan dalam paket tersebut, sehingga akhirnya seorang petugas cantik membantu saya.

Setelah terpasang dan dihidupkan, peserta diminta untuk mencoba saling menelepon. Di sinilah mulai terjadi kekhawatiran saya selama ini, sambungan tidak berhasil. Saya call ke nomor HP 3G-nya Mas HN, Mas Eko Indrajid, dan Bang Renee yang duduk di semeja, ndak nyambung. Begitu juga ketika mencoba menelepon nomor-nya Mas Hendro Wiyono yang duduk di meja sebelah, sami mawon. Frustasi mulai menjalar di kepala saya, diundang , datang dan saya pikir mau enjoy, eh malah sumpek. Lelah mencoba menghubungi nomor-nomor 3G yang ada di ruangan, saya coba menghubungi nomor selular operator lain, ternyata tidak menyambung, saya pikir pasti interkoneksi 3G-nya belum berfungsi. Hal yang sama – tidak berhasil nyambung – ketika saya coba menelpon nomor telepon rumah, padahal menggunakan HP GSM berhasil nyambung (nomor tujuan sedang tidak dipakai).

Sementara presenter sedang mengajarkan bagaimana menggunakan fitur 3G, saya mencoba browsing, beberapa kali dicoba baru berhasil landing ke situs operator tersebut. Mau nyoba video streaming, eh yang selalu muncul pesan “error 503 data sever not available”. Mencoba masuk ke mail.yahoo.com sama saja tidak bisa going through. Alhasil saya berhenti coba – coba akses layanan 3G dan beralih memahami fitur HP baru tersebut. Inipun sama saja. Mungkin pembuatnya sudah berupaya membuat sangat user friendly, tetapi karena di kepala saya sudah ada “mental barrier” (saya lupa siapa yang pertama kali mengatakan istilah ini); karena terbiasa dan sudah enak dengan fitur produk tertentu, sehingga ketika disodorkan produk lain, selalu mengacu kepada produk yang sudah lama dipakainya; maka saya merasa HP baru ini bukan membuat lebih nyaman, tetapi malah lebih ribet.

Di tengah perasaan sudah mulai tidak enak hati, datang dan duduk di sebelah saya seorang wanita muda menanyakan bagaimana dengan uji cobanya. Langsung saya tanya, kenapa kok akses sulit? Dijawabnya, ya Pak untuk demo malam hanya disediakan 8 (delapan) line (artinya pada saat bersamaaan hanya bisa digunakan untuk 8 sambungan). Bah, macam apa ini, kalian main – main. Lha wong yang diundang lebih dari 30 orang, kenapa fasilitas sambungan yang disediakan hanya untuk 8 sambungan saja, mestinya paling sedikit 15 lah…. Setelah sang nona muda beranjak (mungkin tidak tahan menghadapi sergahan saya) datang dua orang lelaki berpangkat GM dan GM. Mereka menanyakan hal serupa kepada saya.

Mendengar pertanyaan serupa, klise, dan tidak inovatif, saya spontan mengatakan, mohon maaf saya tidak dapat ikut berpartisipasi menjadi responden beta tester, dan ini HP saya kembalikan. Alasan yang saya kemukakan, menu HP-nya ribet, saya susah menggunakannya. Kemudian saya langsung pamit dan pergi diiringi pandangan setengah tidak percaya dari para petugas, lha wong dikasih HP latest technology dengan harga tak kurang dari 3 juta kok malah ditolak…..

Dalam perjalanan menuju rumah, saya menulis butir-butir pengalaman tadi, apa yang dapat saya sumbangkan kepada operator 3G lain sebagai lesson learned dari serangkaian acara launching 3G.

Operator 3G atau konsultan yang ditunjuk melaksanakan riset, lupa bahwa kemungkinan ada beberapa responden yang memiliki “mental barrier” sudah terbiasa dengan gadget tertentu dan sulit untuk berpindah ke gadget lain. Seyogyanya, sebelum atau bersamaan dengan undangan ditanyakan kepada calon responden apakah sudah familiar dengan handset 3G merek tertentu yang akan diberikan sebagai alat test, atau adakah preferensi terhadap gadget tertentu yang sama – sama memiliki fasilitas 3G. Mereka (operator dan konsultan) mungkin lupa bahwa gadget yang 3G ready sudah lebih dulu tersedia di pasaran sebelum layanan 3G ditawarkan.
pesiapan launching seyogyanya perfect, launching penting karena merupakan etalase pertama sebelum calon pelanggan masuk perangkap, terpikat, dan akhirnya tidak dapat lepas dari layanan 3G. Lha kalu launching-nya saja amburadul (sound system kualitasnya jelek bunyi kresek-kresek, acara dimulai tidak tepat waktu, peserta tidak tahu agenda acara), kapasitas sambungan yang disediakan tidak sebanding dengan probabilitas akan terjadinya sambungan selama acara, materi presentasi menjemukan, tidak ada panduan tertulis yang dibagikan kepada peserta (dipikirnya semua peserta sudah mahir ber-HP-ria), dan lain – lain.
melihat rata – rata luasan display handset 3G ready kecil – kecil, saya memerkirakan layanan yang akan ramai hanya dua: video call dan MMS. Layanan browsing internet, hanya akan ramai di masa awal ketika baru diperkenalkan, dan segera menjemukan ketika akhirnya pelanggan sadar bahwa mata mereka harus selalu dipicingkan untuk dapat melihat isi informasi yang tampil di layar (terutama jika ada teks-nya). Dari sini, dan jika prakiraan saya mendekati kebenaran, ada baiknya operator 3G segera melakukan edukasi besar-besaran kepada masyarakat, dan ini juga merupakan peluang bagi produsen handset 3G agar segera meluncurkan produk terbarunya yang memiliki layar display cukup lebar.
tarif layanan 3G di luar voice dan SMS perlu segera mendapat perhatian BRTI untuk segera diatur. Jika panggilan hanya di antara pelanggan sesama operator, maka untuk layanan video call, Video streaming, Internet Browsing dan MMS tidak menjadi isu. Namun akan menjadi serius bila pelanggan operator A menikmati layanan video streaming, dll. dari operator B. Terjadi interkoneksi layanan. Berapa tarif interkoneksi untuk layanan semacam ini?. Contoh, bila operator B menerapkan harga ritel Rp. 250,- per Kbps, dan Operator A menerapkan harga Rp. 400,- per kbps, maka ada kemungkinan pelanggan operator A akan ramai – ramai menjelajah konten video streaming (nonton pilem) yang disediakan oleh operator B, bukan?
ketentuan 6 menit pertama video call dan komunikasi data tidak dikenakan tagihan (?) dapat berpotensi resiko, pelanggan akan berhenti bicara pada menit ke 5.59 dan setelah itu menyambung lagi untuk berbicara gratis enam menit berikutnya, demikian seterusnya. Jika hal ini terjadi, operator 3G pasti akan rugi.
Saya belum melihat konten – konten 3G yang merupakan produk saudara – saudara kita sebangsa dan setanah air. Yang tersedia baru hasil karya oom dan tante serta sepupu kita yang punya ID Card amerika, eropa, jepang, korea dan negara lain. Apakah produk konten karya dalam negeri tidak layak menjadi partner operator 3G. *****

Build Our Tolerance Over Liberty (BOTOL)

Mari kita bersama – sama mendukung BOTOL = Build Our Tolerance Over Liberty

Jika Mas HN menggunakan BOTOL untuk menyingkat dua kata Bodoh dan Tolol, istilah yang sama dapat saya gunakan untuk menyingkat seruan “Build Our Tolerance Over Liberty, yang menurut saya dapat juga menjadi teladan dalam ikut menyayangi dan membangun Indonesia yang bermartabat.

Durkheim yang pemikir terkenal itu, mengatakan kurang lebih “setiap individu memiliki kebebasan, namun tidak ada kebebasan yang mutlak”. Jadi, ketika individu dalam keadaan sendiripun dia tidak dapat mengekspresikan kehendaknya (will) sebebas-bebasnya. Mengapa? Jawabnya, karena dalam kesendirian selalu ada kepentingan pihak lain yang menyertainya. Misal, saya sedang berada sendirian di puncak gunung Merbabu, lalu saya inging bebas sebebasnya. Telanjang bulat di siang bolong? Mungkin masih bisa jika siap kedinginan, dan ini (telanjang) belum merugikan orang lain. Tetapi ketika saya ingin membakar rumput atau bunga Edelweys? Atau buang kotoran seenaknya? Atau babat – babat pohon sesuka saya? Hal terakhir ini bila saya lakukan mungkin akan berdampak negatif bagi orang lain (negative externalities). Coba Anda bayangkan, bunga Edelwys yang indah itu tiba – tiba habis karena saya bakar, orang lain kehilangan kesempatan untuk menikmatinya. Atau karena buang kotoran semau saya, lingkungan menjadi tercemar, orang lain yang hendak berkunjung ke puncak Merbabu menjadi tergangu karena bau kotoran saya, belum lagi jika kotoran itu menyebarkan penyakit, dan seterusnya.

Ketika individu yang bebas ini saling berkumpul, maka terjadi agregat kebebasan. Persoalannya, rumus agregasi kebebasan tidak sama dengan rumus agregasi aset kekayaan fisik (rumah, uang, mobil, dll), meski kebebasan individu sama dengan aset pribadi. Dalam rumus agregasi aset, jika ada 5 orang masing- masing memiliki kekayaan US$ 1 milyar, maka akan terkumpul US$ 5 milyar. Rumus tersebut tidak dapat berlaku dalam agregasi kebebasan sosial (sekelompok individu). Jumlahan maksimum kebebasan antar-individu dalam suatu kelompok manusia adalah minimum kebebasan individu yang dapat diterima oleh individu lain. Rumus ini sama dengan rumus mencari kekuatan paling tinggi sebuah rantai, yakni kekuatan mata rantai (node) yang paling kecil. Inilah esensi dari kehidupan jejaring sosial.

Akhirnya, minimum kebebasan individu yang dapat diterima oleh orang lain sama dan sebangun dengan toleransi. Jadi, jika ingin membangun suatu kelompok masyarakat (organisasi) yang harmonis, saling menghormati, saling menyayangi carilah derajat toleransi di antara para anggotanya. Toleransi yang semakin besar, berarti kebebasan mengekspresikan hak individu semakin besar, demikian pula sebaliknya. Tetapi sayangnya, seringkali toleransi disalah-maknakan dengan ketidak-pedulian, atau pembiaran, atau kepasrahan meski sebetulnya hatinya tidak mau terima. Toleransi mengandung makna memahami kepentingan pihak lain; menjaga atau tidak membiarkan jalinan sosial bersifat semu (ramah dalam penampilan, namun selalu curiga dan benci di dalam hati); serta bersifat dinamis, proaktif, dan tidak sekedar pasrah ketika pihak lain (biasanya majoritas atau yang sedang berkuasa) berlaku sesukanya. Di dalam toleransi juga terjadi dialog dalam kesejajaran, bukan perintah satu arah tanpa peluang untuk memberi umpan balik. Lebih jauh, toleransi dapat mencerminkan apakah seseorang memiliki kecerdasan moral (moral intelligence).

Dalam masyarakat heterogen seperti Indonesia, toleransi sangat dibutuhkan. Sayangnya, meski barangkali ada sebagian pihak yang mengakatakan “toleransi di Indonesia sudah sangat baik” namun mohon dimaafkan bila saya mengatakan “kualitas toleransi di Indonesia (yang dikatakan baik tersebut) sejatinya belumlah baik benar, atau masih semu”. Buktinya, betapa mudah masyarakat kita melakukan amuk massa, jika berbeda pendapat ujung- ujungnya bertengkar dan selalu ingin melukai atau bahkan membuat mati pihak lain. Toleransi berhubungan juga dengan kemampuan mengendalikan emosi dan berkomunikasi. Contoh lain? Lihat pengemudi kendaraan di jalanan kota Jakarta (dan mungkin juga kota – kota lain di Indonesia) saling serobot, saling ingin mendahului, berhenti seenaknya tidak peduli sekian puluh kendaraan di belakangnya terpaksa macet. Bersenggolan sedikit saja langsung saling cari pembenaran diri, bahkan berkelahi keroyokan seperti yang saya lihat di depan mata dua minggu lalu (seorang pengendara kijang menabrak sepeda motor yang tiba – tiba memotong jalan, keduanya berkelahi ala kungfu Jacky Chan, namun akhirnya sang pengendara kijang babak belur dihajar para pengendara sepeda motor lainnya yang tidak ada sangkut pautnya dengan kecelakaan tersebut. Saya melihatnya langsung di depan mata, karena kijang tersebut berhenti persis di depan sebelah kiri dan saya tidak bisa melaju karena terhambat perkelahian mereka).

Akhir kalam, sebagai tanda menyayangi negara, bangsa dan masyarakat Indonesia (di mana saya merupakan bagian dari padanya) saya menyerukan marilah kita membangun toleransi sejati dalam kebebasan individu yang kita miliki.*****

Era Informasi dan Paradoks Strategi Teknologi Informasi

Bahwa ICT di banyak negara telah membuktikan mafaatnya dan memberikan tambahan kekayaan bagi pembangun dan penggunanya, tidak diragukan lagi. Namun ketika ICT menimbulkan dampak persaingan sengit (hyper competition) masih banyak yang mendebatkannya. Boar (2001) termasuk salah satu yang mendukung analisa dampak ICT terhadap persaingan. Di pihak lain, Lucas (1998) MacDonald et all (2003), dan Masson et all (2003) mengakui adanya manfaat ICT, tetapi tidak berhenti sampai di situ karena justru menimbulkan paradoks. Yang menjadi persoalan, bagaimana secara bijak mengelola dampak ICT (baik positif maupun negatif) dan mengatasi paradoks yang muncul, atau justru menciptakan paradoks – paradoks baru untuk memajukan bisnis.

Paradoks pertama: Internet membuat dunia semakin kecil, memudahkan dan mempercepat komunikasi manusia di seantero belahan dunia. Dampaknya, banyak perusahaan kecil tumbuh dan berkembang, sebaliknya tidak sedikit juga perusahaan besar yang mengecil, bahkan bangkrut.

Paradoks kedua: Untuk mencipatakan keunggulan (dari pesaing), perlu segera dilakukan penghancuran (meninggalkan) keunggulan yang sudah dimiliki.

Paradoks ketiga: Untuk memperoleh uang, tidak diperlukan uang

Paradoks keempat: Menjual tidak menjadi kaya, membantu orang lain malahan menjadi kaya raya

Paradoks kelima: untuk menjadi inovatif, tidak perlu harus selalu mendengar keluhan pelanggan

Paradoks keenam: Untuk memanfaatkan ICT secara lebih efisien, Anda harus menggunakannya dalam jumlah besar.

Sebagaimana lazimnya suatu paradoks, ia muncul dikarenakan adanya ketidak-sempurnaan system. Atau dalam kata lain, perkembangan sektor-sektor yang satu dengan lainnya berkecepatan tidak sama. Akibatnya, meski di satu sektor (misal: ICT) kinerjanya melaju dengan kencang, namun karena implementasi ICT tidak dapat lepas dari sistem-sistem yang lain seperti ekonomi, sosial, budaya, hukum dan lain sebagainya, maka kondisi semacama ini berpeluang menimbulkan paradoks. Jangan lupa bahwa masyarakat dengan segala isinya merupakan eko-system yang saling bergantung satu dengan lainnya. Sayangnya, para penggiat di satu sektor, banyak yang hanya fokus pada sektor yang diketahuinya saja, tanpa berminat memerhatikan relasi atau dampaknya terhadap sektor –sektor lain. Orang yang semula belajar IT atau teknologi telekomunikasi, pada awalnya acapkali melihat segala sesuatunya dari kaca mata kepintaran yang dimiliknya (orang semacam ini disebut techies), Jika dalam perjalanan kariernya, tidak mengalami pendewasaan kecerdasan lingkungan, kecerdasan moral, dan kecerdasan manajerial (meski memiliki IQ, EQ, dan SQ yang tinggi), maka dapat diperkirakan probabilitasnya tinggi orang tersebut akan mengalami paradoks, yang apabila tidak segera disadari, maka dapat menjadi penghalang karier kehidupannya.

Paradoks ICT tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi merupakan fenomena global. Adat, tradisi, atau tatanan sosial selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Namun laju perubahannya relatif lebih lambat dari perubahan yang dialami teknologi (dhi ICT). Akibatnya? Paradoks. Lihat misalnya paradoks pertama dalam posting saya terdahulu. Di satu pihak ketersediaan Internet memberikan sarana baru dalam komunikasi dan transaksi. Dua hal ini jika diterapkan secara konsisten dan terukur dalam suatu organisasi akan mengubah kinerja. Namun demikian, karena organisasi juga merupakan sebuah system, peningkatan dan ketersediaan sarana komunikasi dan transaksi yang efisien (via Internet) ternyata masih membutuhkan sarana lain agar kinerjanya bertambah. Sarana lain tersebut antara lain: fleksibilitas, proses dan kualitas pengambilan keputusan; struktur organisasi; dukungan SDM; budaya organisasi; ukuran organisasi, cakupan wilayah bisnis, ketersediaan modal, dan lain sebagainya. Akan halnya menjadi paradoks, ternyata mengacu sederet persyaratan tersebut, yang berpeluang memanfaatkan Internet lebih besar untuk menumbuhkan perusahaan adalah kelompok perusahaan kecil, dan sebaliknya banyak perusahaan besar menjadi mengecil ukuran bisnisnya karena tidak mampu mengelola pemanfaatan Internet.

Selanjutnya paradok kedua, saya katakan untuk mencipatakan keunggulan (dari pesaing), perlu segera dilakukan penghancuran (meninggalkan) keunggulan yang sudah dimiliki. Uraian dari pernyataan ini, banyak eksekutif yang memiliki pola pikir linier. Jika sudah berhasil meraih keunggulan, maka akan seterusnya (atau setidaknya dalam waktu relatif lama) berada pada posisi unggul. Anggapan semacam ini benar bila: orang lain (pesaing) tidak melakukan apa-apa, atau orang lain (pesaing) melakukan banyak hal namun selalu gagal atau outputnya masih jauh di bawah kinerja yang diraih pemenang. Dalam pasar yang bergerak cepat, cenderung turbulence, lantaran digerakkan oleh roda – roda ekonomi bermesin ICT, akuisi terhadap mesin – mesin ICT dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk oleh pesaing. Demikian halnya akuisi terhadap informasi, bukan hanya si pemenang saja yang mampu memperolehnya. Internet yang tersedia di mana saja memungkinkan siapa saja para aktor ekonomi mengakses informasi. Informasi yang dikemas dengan konteks tertentu berubah menjadi knowledge yang pada gilirannya menjadi sarana meniru (imitative) strategi peraih keunggulan. Keadaan semacam ini menjadikan perlunya peraih keunggulan untuk segera meninggalkan kurva keunggulan yang dimilikinya dan beralih ke keunggulan baru. Intinya. Internet/ICT memacu perubahan semakin cepat, mereka yang berubah lebih lamban akan tergilas.

Jadi tidak selalu mirip dengan ketika kita masuk ke suatu perkampungan yang belum kita kenal sama sekali seperti pertanyaan Anda, karena pada dasarnya di mana – mana pada umumnya kampung memiliki struktur sosial yang mirip – mirip, hanya konteksnya saja yang berbeda. Persoalannya seberapa cepat kita mengidentifikasi berbagai kondisi yang ada di perkampungan tersebut, seberapa cepat kita menyesuaikan diri dengan kondisi kampung tersebut, dan seberapa kuat kita mampu mengubah lingkungan kampung yang tidak kita sukai (misal: kotor, jorok, asusila, tidak aman, dan lain sebagainya) menjadi lingkungan yang kita sukai.

Memang benar bahwa perkembangan ICT menjadi salah satu pendorong munculnya pioner – pioner tatanan dunia baru. Saya katakan salah satu karena memang bukan satu – satunya. Electronic Commerce, Eletronic Government merupakan dua contoh dari tatanan dunia baru. Internet menggantikan transaksi berbasis kertas menjadi nirkertas. Tatanan dunia baru lainnya? Anda lihat Google dan Yahoo, apa yang mereka nerdua lakukan? Apakah mereka menjual sesuatu? Apakah ketika anda melakukan search untuk mencari sesuatu harus membayar kepada Google? Apakah kita semua (anggota milis) harus membayar kepada Yahoo untuk menggunakan email address xyz@yahoo.com atau mailing list technomedia@yahoogroups.com Bagaimana model bisnis mereka? Jika saya tidak salah, bisnis mereka adalah membantu orang lain, membantu kita yang membutuhkan wadah berkomunikasi, membantu pengguna Internet untuk mencari sesuatu yang dibutuhkan. Apakah pendiri Google dan Yahoo penganut paham alturism? Rasanya tidak, mereka pebisnis tulen. Lalu dari mana mereka mendapat uang? Inilah paradoksnya, sementara majoritas orang masih berkeyakinan untuk mendapatkan uang harus dengan menjual sesuatu dan bermodalkan uang. Dengan ICT membuktikan, untuk mendapatkan uang dan bahkan menjadi kaya raya tidak perlu uang, cukup hanya membantu orang lain saja (menciptakan value yang tidak diberikan orang lain) sebagaimana dilakukan oleh pendiri Google dan Yahoo.

Dari uraian singkat di atas, muncul pertanyaan apakah akan ada efek split personality pada para pelaku ICT? Mohon maaf saya tidak mampu menjawabnya, saya belum menjadi ahli psikologi sosial, saya sama sekali tidak memiliki kompetensi ilmiah di bidang psikologi. Namun pertanyaan Anda yang menarik ini akan saya bawa ke dalam diskusi bersama teman – teman psikolog yang menggemari Internet ICT. Bila sudah memperoleh pengetahuan tersebut, meski sedikit, mudah – mudahan saya tidak lupa membaginya. Kata orang bijak: “jika engkau tahu satu ayat, dan substansi ayat itu bermanfaat bagi orang lain, ajarilah mereka”. Kata saya: “membagi pengetahuan yang kita miliki tidak menjadikan diri kita miskin.” *****

Salam dan semoga bermanfaat

Era Informasi dan Paradoks Strategi Teknologi Informasi

Sebagaimana lazimnya suatu paradoks, ia muncul dikarenakan adanya ketidak-sempurnaan system. Atau dalam kata lain, perkembangan sektor-sektor yang satu dengan lainnya berkecepatan tidak sama. Akibatnya, meski di satu sektor (misal: ICT) kinerjanya melaju dengan kencang, namun karena implementasi ICT tidak dapat lepas dari sistem-sistem yang lain seperti ekonomi, sosial, budaya, hukum dan lain sebagainya, maka kondisi semacama ini berpeluang menimbulkan paradoks. Jangan lupa bahwa masyarakat dengan segala isinya merupakan eko-system yang saling bergantung satu dengan lainnya. Sayangnya, para penggiat di satu sektor, banyak yang hanya fokus pada sektor yang diketahuinya saja, tanpa berminat memerhatikan relasi atau dampaknya terhadap sektor –sektor lain. Orang yang semula belajar IT atau teknologi telekomunikasi, pada awalnya acapkali melihat segala sesuatunya dari kaca mata kepintaran yang dimiliknya (orang semacam ini disebut techies), Jika dalam perjalanan kariernya, tidak mengalami pendewasaan kecerdasan lingkungan, kecerdasan moral, dan kecerdasan manajerial (meski memiliki IQ, EQ, dan SQ yang tinggi), maka dapat diperkirakan probabilitasnya tinggi orang tersebut akan mengalami paradoks, yang apabila tidak segera disadari, maka dapat menjadi penghalang karier kehidupannya.

Paradoks ICT tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi merupakan fenomena global. Adat, tradisi, atau tatanan sosial selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Namun laju perubahannya relatif lebih lambat dari perubahan yang dialami teknologi (dhi ICT). Akibatnya? Paradoks. Lihat misalnya paradoks pertama dalam posting saya terdahulu. Di satu pihak ketersediaan Internet memberikan sarana baru dalam komunikasi dan transaksi. Dua hal ini jika diterapkan secara konsisten dan terukur dalam suatu organisasi akan mengubah kinerja. Namun demikian, karena organisasi juga merupakan sebuah system, peningkatan dan ketersediaan sarana komunikasi dan transaksi yang efisien (via Internet) ternyata masih membutuhkan sarana lain agar kinerjanya bertambah. Sarana lain tersebut antara lain: fleksibilitas, proses dan kualitas pengambilan keputusan; struktur organisasi; dukungan SDM; budaya organisasi; ukuran organisasi, cakupan wilayah bisnis, ketersediaan modal, dan lain sebagainya. Akan halnya menjadi paradoks, ternyata mengacu sederet persyaratan tersebut, yang berpeluang memanfaatkan Internet lebih besar untuk menumbuhkan perusahaan adalah kelompok perusahaan kecil, dan sebaliknya banyak perusahaan besar menjadi mengecil ukuran bisnisnya karena tidak mampu mengelola pemanfaatan Internet.

Selanjutnya paradok kedua, saya katakan untuk mencipatakan keunggulan (dari pesaing), perlu segera dilakukan penghancuran (meninggalkan) keunggulan yang sudah dimiliki. Uraian dari pernyataan ini, banyak eksekutif yang memiliki pola pikir linier. Jika sudah berhasil meraih keunggulan, maka akan seterusnya (atau setidaknya dalam waktu relatif lama) berada pada posisi unggul. Anggapan semacam ini benar bila: orang lain (pesaing) tidak melakukan apa-apa, atau orang lain (pesaing) melakukan banyak hal namun selalu gagal atau outputnya masih jauh di bawah kinerja yang diraih pemenang. Dalam pasar yang bergerak cepat, cenderung turbulence, lantaran digerakkan oleh roda – roda ekonomi bermesin ICT, akuisi terhadap mesin – mesin ICT dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk oleh pesaing. Demikian halnya akuisi terhadap informasi, bukan hanya si pemenang saja yang mampu memperolehnya. Internet yang tersedia di mana saja memungkinkan siapa saja para aktor ekonomi mengakses informasi. Informasi yang dikemas dengan konteks tertentu berubah menjadi knowledge yang pada gilirannya menjadi sarana meniru (imitative) strategi peraih keunggulan. Keadaan semacam ini menjadikan perlunya peraih keunggulan untuk segera meninggalkan kurva keunggulan yang dimilikinya dan beralih ke keunggulan baru. Intinya. Internet/ICT memacu perubahan semakin cepat, mereka yang berubah lebih lamban akan tergilas.

Jadi tidak selalu mirip dengan ketika kita masuk ke suatu perkampungan yang belum kita kenal sama sekali seperti pertanyaan Anda, karena pada dasarnya di mana – mana pada umumnya kampung memiliki struktur sosial yang mirip – mirip, hanya konteksnya saja yang berbeda. Persoalannya seberapa cepat kita mengidentifikasi berbagai kondisi yang ada di perkampungan tersebut, seberapa cepat kita menyesuaikan diri dengan kondisi kampung tersebut, dan seberapa kuat kita mampu mengubah lingkungan kampung yang tidak kita sukai (misal: kotor, jorok, asusila, tidak aman, dan lain sebagainya) menjadi lingkungan yang kita sukai.

Memang benar bahwa perkembangan ICT menjadi salah satu pendorong munculnya pioner – pioner tatanan dunia baru. Saya katakan salah satu karena memang bukan satu – satunya. Electronic Commerce, Eletronic Government merupakan dua contoh dari tatanan dunia baru. Internet menggantikan transaksi berbasis kertas menjadi nirkertas. Tatanan dunia baru lainnya? Anda lihat Google dan Yahoo, apa yang mereka nerdua lakukan? Apakah mereka menjual sesuatu? Apakah ketika anda melakukan search untuk mencari sesuatu harus membayar kepada Google? Apakah kita semua (anggota milis) harus membayar kepada Yahoo untuk menggunakan email address xyz@yahoo.com atau mailing list technomedia@yahoogroups.com Bagaimana model bisnis mereka? Jika saya tidak salah, bisnis mereka adalah membantu orang lain, membantu kita yang membutuhkan wadah berkomunikasi, membantu pengguna Internet untuk mencari sesuatu yang dibutuhkan. Apakah pendiri Google dan Yahoo penganut paham alturism? Rasanya tidak, mereka pebisnis tulen. Lalu dari mana mereka mendapat uang? Inilah paradoksnya, sementara majoritas orang masih berkeyakinan untuk mendapatkan uang harus dengan menjual sesuatu dan bermodalkan uang. Dengan ICT membuktikan, untuk mendapatkan uang dan bahkan menjadi kaya raya tidak perlu uang, cukup hanya membantu orang lain saja (menciptakan value yang tidak diberikan orang lain) sebagaimana dilakukan oleh pendiri Google dan Yahoo.

Dari uraian singkat di atas, muncul pertanyaan apakah akan ada efek split personality pada para pelaku ICT? Mohon maaf saya tidak mampu menjawabnya, saya belum menjadi ahli psikologi sosial, saya sama sekali tidak memiliki kompetensi ilmiah di bidang psikologi. Namun pertanyaan Anda yang menarik ini akan saya bawa ke dalam diskusi bersama teman – teman psikolog yang menggemari Internet ICT. Bila sudah memperoleh pengetahuan tersebut, meski sedikit, mudah – mudahan saya tidak lupa membaginya. Kata orang bijak: “jika engkau tahu satu ayat, dan substansi ayat itu bermanfaat bagi orang lain, ajarilah mereka”. Kata saya: “membagi pengetahuan yang kita miliki tidak menjadikan diri kita miskin.” *****

Salam dan semoga bermanfaat