Wednesday, September 20, 2017

Hubungan Industri dan Penempatan Lulusan


Sumbangan Pemikiran: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi



Fakta (dari kacamata pelaku usaha/industri):

1.     DU/DI membutuhkan lulusan SMK untuk memenuhi memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil tingkat pelaksana.

2.     Sebagian perusahaan menyelenggarakan pelatihan bagi para pegawai baru, sebagian besar tidak menyelenggarakan, pegawai baru langsung bekerja tanpa pelatihan awal, dianggap sudah siap bekerja.

3.     Selain menerima lulusan SMK, perusahaan juga menerima lulusan SMA.

4.     Ada kompetisi antara lulusan SMK dan lulusan SMA, dalam berbagai kasus lulusan SMK justru kalah terampil dibandingkan lulusan SMA.

5.     Trend lulusan SMK yang diterima bekerja, mengikuti pelatihan, dan setelah itu keluar mencari pekerjaan lainnya semakin meningkat. Hal ini merugikan perusahaan.

6.     Perusahaan menerima siswa SMK untuk Prakerin.

7.     Banyak perusahaan yang menganggap siswa prakerin tidak memberikan manfaat bagi perusahaan, hanya menganggu saja, bersedia menerima hanya karena merasa hal tersebut sebagai kewajiban.

8.     Sekolah sering merasa inferior, kurang percaya diri ketika berhadapan dengan DU/DI.

9.     Industri tidak tahu apa yang harus diajarkan kepada siswa prakerin, karena tidak ada arahan dari sekolah.

10.  Banyak sekolah yang mengirim siswa prakerin, guru atau Kepala Sekolahnya tak pernah mengunjungi muridnya yang sedang Prakerin atau bertemu dengan pimpinan perusahaan di mana siswa menjalankan Prakerin.

11.  Sekolah kurang berupaya membangun komunikasi intensif dengan industri.

12.  Sekolah tidak berusaha mencari informasi ada/tidaknya kebutuhan tenaga kerja di industri yang dekat dengan lokasinya atau yang sesuai dengan jurusan/bidang keahlian yang diselenggarakannya. yang sering terjadi justru pelaku usaha yang mengirim pemberitahuan permintaan lulusan.

13.   Sebagian besar pelaku usaha/industri tidak peduli terhadap keberadaan SMK, kelompok ini beranggapan bagaimana menghasilkan lulusan SMK terampil di luar tanggung jawabnya.


Pembahasan

1.     Bagi sebagian besar pelaku industri, mereka tidak peduli terhadap maju mundurnya pendidikan SMK, hal ini tidak serta merta dapat dikatakan sebagai kesalahan pelaku industri, melainkan karena belum bertemunya sistem indutri dengan sistem sekolah yang terhubung secara erat, permanen dan mutual.

2.     Di sisi lain dapat pula dipahami banyak Kepala Sekolah yang tidak berani berinisiatif menjalin hubungan intensif dengan DU/DI karena - bisa jadi - belum ada kebijakan dan atau regulasi yang menjadi acuan bagi sekolah dalam membangun hubungan dengan DU/DI. Ya, memang pernah ada kebijakan link and match, namun mengapa sepertinya kebijakan bagus tersebut tak bergayung sambut berkelanjutan? bisa jadi karena ketiadaan petunjuk pelaksanaan yang detil hingga sampai pelaku di lapangan, serta tiadanya pelatihan kepada para Guru dan Kepala Sekolah mengenai bagaimana menjalankan kebijakan link and match tersebut.

3.     Sebaran sekolah dan kluster industri tidak selalu berpadanan. SMK yang berlokasi di wilayah yang banyak terdapat perusahaan/industri memiliki peluang yang lebih besar untuk menjalin kerja sama dengan DU/DI, sebaliknya sekolah di wilayah yang populasi industri sedikit atau tak banyak jenisnya, cenderung menghadapi hambatan besar. Untuk mengatasi hal ini, Kepala Sekolah ditutut berani keluar dari zona nyaman, bersedia  bekerja lebih keras dan berani menemui pelaku usaha di kota-kota lain untuk mempromosikan sekolahnya.

4.     Disarankan agar Kepala Sekolah diberi kewenangan untuk menanda-tangani kerja sama dengan DU/DI. Ada keluhan dari Kepala Sekolah bahwa dirinya tidak berani menanda-tangani kerja sama dengan suatu perusahaan karena khawatir disalahkan.

5.     Untuk dapat menjalankan kewenangan tersebut di atas dengan benar, Kepala Sekolah dan jajarannya perlu memiliki pengetahuan, wawasan, kepercayaan diri, kemampuan berkomunikasi dengan DU/DI secara saling menguntungkan.

6.     Sekolah perlu memahami bagaimana industri beroperasi/bekerja, tak hanya menuntut dari DU/DI, namun juga bisa memberikan value kepada DU/DI.

7.     Majoritas lulusan tidak mengerti bagaimana membuat surat lamaran, bagaimana proses rekruitmen, apa yang harus disiapkan ketika menghadapi tes penerimaan pegawai, apa yang boleh dan atau tidak baik dilakukan selama wawancara penerimaan pegawai, negosiasi gaji, dan lain sebagainya. Sehingga fresh SMK graduate  cenderung menerima saja apa yang ditawarkan oleh calon majikan. Ketika belakangan menyadari apa yang menjadi harapannya tidak diperolehnya maka ia keluar dari perusahaan tersebut, meski baru beberapa bulan bekerja.

8.     Mengurangi terjadinya point 7 di atas, perlu ditambahkan pengajaran kepada siswa SMK tentang bagaimana proses rekruitmen, bagaimana bisnis beroperasi menghasilkan revenue, apa dan bagaimana budaya perusahaan, sehingga sebelum memasuki dunia kerja siswa sudah dapat memahami lingkungan  macam apa yang akan dimasukinya.

9.     Pola kerja sama jangka panjang antara sekolah dan DU/DI perlu dibakukan secara permanen. Bahkan menjadi Key Performance Indicators (KPI) Kepala Sekolah.

10.  Pada umumnya, dalam hubungan antara industri dan sekolah, pelaku usaha cenderung pasif, hal ini bisa jadi karena masih banyak pelaku usaha yang beranggapan bahwa keterlibatannya dengan sekolah akan menambah biaya, menurunkan profit. Sekolah harus meng-edukasi industri agar pola pikir tersebut berubah menjadi "ingin meraih untung lebih banyak, kerja samalah dengan SMK."


Jakarta, 18 Mei 2016


Boards That Deliver
Advancing Corporate Governance from Compliance to Competitive Advantage
Ram Charam

Disarikan oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi - 8605210299

Dewan Direktur (Board of Director / BoD) mengalami transformasi yang sedemikian cepat sejak berlakunya Sarbanes-Oxley Act (SOA) tahun 2002. Pergeseran kekuasaan antara CEO dan BoD nampak jelas. Anggota BoD mulai mengambil tanggung jawab mereka secara serius, menyuarakan ide dan pendapat, serta mangambil langkah – langkah sesuai tanggung jawabnya. Namun demikian peningkatan hubungan antara CEO dan BoD dalam banyak hal belum mencapai titik keseimbangan. Bahwa anggota BoD mulai menunjukkan kiprahnya merupakan tindakan yang sudah lama diharapkan, meskipun demikian ada bahayanya jika membiarkan mereka bertindak terlalu jauh. Anggota BoD dan CEO yang lihai dapat merasakan tekanan ini. Keduanya menyadari bahwa praktek di masa lalu mengalami kegagalan, upaya terakhir untuk membuat BoD sebagai bagian dari strategi competitive advantage tidak selalu berhasil.
            Perubahan dalam boardroom pada saat ini tidak ditandai dengan perubahan personalia namun oleh atmosfer sosial. Boardroom memiliki energi lebih besar, kegembiraan, interaksi antar-direktur diwarnai dengan rasa ingin tahu, dan persahabatan yang berarti dengan CEO. Perbedaan dengan hari ini ada pada mindset, munculnya keinginan bersama untuk melakukan sesuatu yang berarti. BoD mulai mewujud sebagai institusi dari pada sekedar kumpulan orang.
Dalam banyak hal BoD terbukti melakukan kelalaian yang berdampak biaya (costly mistakes). Ada kasus di mana BoD mengangkat CEO dari luar lingkungan perusahaan, yang ahli dalam pemangkasan biaya, namun sebetulnya perusahaan tersebut sedang membutuhkan pemimpin yang mampu menumbuhkan bisnis. Semua BoD menginginkan melakukan hal yang benar, apakah dengan mematuhi peraturan dan regulasi baru, atau memberi kontribusi substansial dalam pemilihan CEO, memberi kompensasi pada manajemen senior, memastikan perusahaan memiliki strategi yang benar, dan memberikan kelangsungan kepemimpinan dan pengawasan yang semestinya. Guna mencapai potensi terbaik, para anggota BoD harus secara terus menerus berkembang hingga mencapai level yang lebih tinggi.

Evolusi Board
Board mulai evolusi sebelum era SOA. Pada mulanya mereka memiliki sifat seremonial (ceremonial), mereka eksis hanya untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. Sarbanes-Oxley mendorong banyak Board bergerak ke phase evolusi kedua; Direktur telah menjadi aktif dan terbebaskan (liberated) dari CEO yang semula mendominasi boardroom. Selain itu, telah menanti phase ketiga, ketika para direktur yang aktif ini menyatu sebagai suatu tim dan menjadi progressive.

Ceremonial Board
Praktek di masa lalu yang terjadi di boardroom, ketika seorang anggota BoD senior menasehati anggota BoD yang lebih junior untuk tidak berbicara mengeluarkan pendapat dalam rapat – rapat board, pada saat ini sudah tidak dapat dipertahankan. Pada masa itu CEO memiliki peranan yang sangat besar. CEO tidak banyak berkomunikasi dengan anggota BoD baik di dalam rapat maupun di luar acara rapat BoD. Ia hanya berbicara dengan rekan Direktur yang dipercayainya saja. Akibatnya, anggota BoD cenderung menjadi pasif, meski menjalani tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Geoff Colvin, editor senior majalah Fortune, menandai era ini dengan pernyataannya, “anggota BoD pada umumnya tidak dikenal publik, media jarang menyebut nama atau mengutip pernyataan direktur, sehingga bila perusahaan mengalami permasalahan atau bangkrut para direktur tidak perlu merasa malu atau dipermalukan.”

Liberated Board
Sebagian besar Board meninggalkan sifat seremonial setelah berlakunya SOA. CEO generasi baru mengharapkan peran aktif para anggota BoD. Calon – calon anggota BoD diharapkan mampu berpartisipasi aktif, dan hal ini merupakan persyaratan yang mesti dipenuhi. Liberation merupakan kabar bagus, sementara liberation dapat berarti berfungsinya BoD, ia juga berarti masing – masing direktur dapat menyuarakan pendapat yang saling berbeda satu dengan lainnya. Jika kondisi semacam ini tidak ditangani dengan efektif, liberation sebaliknya dapat membuat CEO dan manajemen berkurang efektivitasnya, dan dapat berdampak negatif pada penciptaan shareholder value.

Progressive Board
Board yang progressive mematuhi dengan cermat hukum, dan mereka juga memegang erat semangat yang terkandung dalam hukum dan regulasi. Hal in dilakukan – demikian ujar Andy Grove, pendiri dan mantan CEO, dan Chair Intel (produsen microchip) “guna memastikan sukses perusahaan berlangsung lebih lama dari pada kekuasaan CEO, dari pada peluang pasar, dari pada siklus produk”. Guna mencapai mandat yang lebih luas, board menjadi tim yang efektif, dan mereka mewujudkan value yang diharapkan dengan menjaga indenpendensi. Sesama anggota BoD saling berwacana tanpa merusak harmoni kelompok dan terjadi tanpa melalui CEO.
Progressive Board menambah value pada beberapa level tanpa menghabiskan waktu manajemen. Berbagai perspektif yang dibawa anggota BoD dari luar lingkungan seperti urusan legislatif, perubahan ekonomi, bisnis global dan pasar keuangan, memperkaya upaya management dalam membangun strategi dan mengelola perusahaan.

What makes a Board Progressive
Charam berargumen, board yang aktif dan penuh energi bukan jaminan bagi good governance. Ketika Liberated board gagal untuk sepenuhnya mengembangkan diri dan menyatu kedalam institusi yang kohesif, ia dapat berubah menjadi persoalan serius bagi bisnis. Artinya meski di satu sisi Liberated board memiliki peluang sangat besar guna menambah value bagi perusahaan, di sisi lain mereka juga beresiko terhadap erosi nilai yang sudah ada. Untuk alasan ini, board perlu memasukkan unsur urgency dalam percepatan transformasi.
CEO dan anggota board lainnya perlu mempersiapkan diri dalam proses transformasi dari Liberated ke Progressive. Untuk itu perlu dipahami building blocks yang membedakan Progressive dari Liberated board. Pertama, group dynamics, maksud atau tujuan interaksi antar antar-anggota board dan antara board dengan manajemen merupakan perbedaan fundamental antara Ceremonial, Liberated dan Progressive boards. Kedua, information architecture, bagaimana board memperoleh informasi, dan dalam bentuk apa, merupakan aspek vital yang mewarnai bagaimana board bekerja. Mekanisme kerja pada dasarnya sangat berbeda untuk tingkat board yang berbeda pula. Ketiga, focus on substantive issues, semua yang menjadi fokus perhatian board akan menentukan apakah boards dapat membantu konsistensi value.

Kontribusi Yang Diperhitungkan
Membangun pondasi bagi board agar mereka dapat bekerja secara efektif perlu mendapat perhatian utama. Jika hal tersebut tidak terpenuhi, upaya memberikan kontribusi nyata sepertinya akan tenggelam dan membuat frustasi direktur dan CEO. Dengan memainkan grop dynamics, information architecture dan focus memungkinkan boards menjalankan pertimbangan umum terhadap topik – topik krusial. Praktek terbaik dalam lima area membantu Progessive board menerapkan kebijaksanaan dan pengalaman mereka memberi kontribusi bagi kemajuan dan kesejahteraan bisnis.
Adapun kelima panduan aksi tersebut adalah: [1] menetapkan CEO yang baik dan mempersiapkan mekanisme suksesi; [2] menetapkan kompensasi bagi CEO; [3] menetapkan strategi yang tepat bagi perusahaan; [4] membangun kumpulan generasi yang memiliki bakat kepemimpinan; dan [5] memonitor kesehatan, kinerja dan resiko bisnis perusahaan.

Perbandingan dengan Literatur lain
BTD menyajikan kerangka teori dan analisis tentang hubungan yang terjadi di dalam BoD. Kasus – kasus yang diketengahkan dalam buku ini hampir semuanya terjadi di USA. Jika kerangka dan ide – ide yang disodorkan dalam buku ini dicoba diterapkan dalam konteks Indonesia, maka ia tidak sepenuhnya dapat diaplikasikan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan struktur umum organisasi bisnis. Di USA, BoD merupakan kumpulan dari individu yang terpilih untuk mewakili kepentingan stakeholder di dalam perusahaan tertentu. BoD memiliki kewenangan tertinggi dalam memilih dan mengangkat CEO, serta menetapkan arah dan strategi perusahaan. Anggota BoD disebut direktur, sementara CEO membawahi manajemen yang sifatnya operasional.
Berbeda dengan USA, di Indonesia berlaku UU-RI Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UU-PT) yang mengatur tata organisasi PT dan tugas – tugas pengurus. Pengurus perseroan (organisasi bisnis) terdiri dari Komisaris dan Direksi, keduanya diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Komisaris bertugas melakukan pengawasan serta memberikan nasihat kepada Direksi, sementara Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan, mewakili perseroan di dalam maupun di luar pengadilan.
Dari kedua fakta ini, jelaslah bahwa peran Direktur (anggota Direksi) dalam perusahaan Indonesia berbeda dengan peran Direktur dalam perusahaan Amerika Serikat. Demikian halnya, Komisaris, karena tidak berwenang mengangkat atau memberhentikan Direksi, maka perannya juga berbeda dengan Anggota Board di dalam perusahaan Amerika Serikat.
Dari kajian kepemimpinan, ada kesesuaian antara BTD dengan Resonant Leadership yang ditulis oleh Richard Boyatzis dan Anne McKee (2005). Boyatzis dan Anne berargumen bahwa tindakan yang benar yang pernah terbukti sukses di masa lalu tidak selalu dapat diterapkan kembali dan meraih sukses yang sama di masa dan situasi yang berbeda. Persoalannya, banyak pemimpin gaya lama yang kehilangan realitas emosional, mereka masih terpaku pada keberhasilan masa lalu sementara zaman sudah berubah, akibatnya mereka gagal membangun kepemimpinan yang bersifat resonan yang dipercaya dapat membantu tercapainya competitive advantage.
Sementara Board That Deliver (BTD) mengeksplorasi phase – phase evolusi Board dan menyarankan praktek terbaik yang dapat dilakukan oleh anggota BoD guna mendukung tercapainya competitive advantage, Resonant Leadership di pihak lain, menawarkan pencerahan bagi para pemimpin (dimana anggota Board termasuk dalam kategori ini) untuk mengatasi lingkaran setan, stres dan pengorbanan yang kesemuanya menghasilkan ketidak-harmonisan umum (dissonance prevalent) dalam berbagai organisasi. Intinya resonant Leadership dapat melengkapi pendakatan yang ditawarkan Charam bagi Boards.*****

Phase 1: Ceremonial
Phase 2: Liberated
Phase 3: Progessive
Group Dynamics
CEO all powerfull; director passive.
No productive dialogue in boardroom
Directors free to speak up in board room but… dialogue is fragmented, a few directors overstep bounds, tangents drain energy, and most of the time no consensus is reached.

Board pledges to improve but … focuses on mechanical solutions and does not act on self-evaluation with conviction.
Director gets as a group. Mutual respect and trust among directors and management. One or two directors emerge as facilitators to channel lively debates. Everyone participates and consensus is very frequently achieved on key issues.

Self-evaluation gives tool for continuous improvement and directors take result seriously.
Information Architecture
Management tightly controls information flow.
Usually not the right amount of information. Information is summarized at very high level, and presentations run long
Management willingly makes company transparent to board but … is frustated by ad hoc demands by some directors that leave management scrambling.

Board asks for more information but ... what they get is not packaged well and doesn’t help that directors understand the guts of business.
Information is focused, timely, regular, and digestible. Management anticipates board needs

Directors learn the business
Focus on Substantive Issues
Compliance only. Ussualy rubber-stamps CEO’s decisions.
Board desires to make contribution but … overwhelmed by issues, becomes driven by compliance and routine operating issues.
Board and CEO jointly set twleve-month agenda. Board focuses on issues that are value-added and anticipatory, as well as those that are compliance-related.