Saturday, February 09, 2008

Jika Keunggulan Kompetitif Tidak Menunjukkan Kinerja: Teori Resource-Based View dan Kekuatan Tawar-Menawar Stakeholder

Catatan: Artikel ini mengacu pada karya Russell W. Coff

Bagaimana jika keunggulan kompetitif tidak dapat menjadi ukuran kinerja perusahaan? Teori Resource-Based View (RBV) tidak memformulasikan siapa akan yang memperoleh keunggulan tersebut. Paper ini memaparkan faktor-faktor yang menunjukkan keuntungan resource-base dan siapa yang akan mendapatkan keuntungan tersebut. Peranan pihak internal, terutama para investor, mungkin memberikan transaksi yang besar dari kekuatan tawar menawar. Penggabungan RBV dengan kekuatan tawar-menawar dilakukan dengan mengasumsikan perusahaan sebagai suatu kumpulan kontrak. Pandangan ini dapat membantu dalam menjelaskan kapan keuntungan akan dihasilkan dan siapa yang akan mendapatkannya. Dalam pelaksanaannya, diperlukan teori mengenai kinerja perusahaan yang lebih kuat dari RBV.

Pada saat perusahaan memiliki keunggulan kompetitif, berapa banyak keuntungan yang diperoleh para pegawai? Hal ini penting karena keuntunga tersebut mungkin tidak dapat ditinjau dalam pengukuran kinerja (seperti gaji dan keuntungan yang berkurang). Teori RBV sangat berguna untuk memprediksikan kinerja, namun tidak dapat memprediksi hasil yang diterima oleh para pegawai. Sementara itu, Konsep kekuatan tawar-menawar stakeholder dapat menjelaskan hubungan antara aset strategis dengan pengukuran kinerja perusahaan.

Bukan Perusahaan yang Membagikan Keuntungan, Melainkan Orang-orangnya: Perusahaan sebagai Kumpulan Kontrak
Teori RBV menyatakan jika perusahaan memiliki sumber daya yang beraneka ragam, perusahaan akan memperoleh keuntungan berdasarkan pada sumber daya yang jarang ada. (Barney, 1991; Wernerfelt, 1984). Pendukung teori RBV mengasumsikan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara sumber daya strategis dan kinerja perusahaan (Amit dan Schoemaker, 1993; Hall, 1993; Peteraf, 1993). Artinya, untuk meningkatkan kinerja perusahaan dapat dilakukan dengan fokus pada akuisisi dan pengelolanaan sumber daya strategis. Namun pernyataan tersebut tidak akurat karena teori RBV hanya mengasumsikan kinerja perusahaan diukur pada tahap pertama, yaitu perolehan keuntungan, sementara pembagian keuntungan tidak diikutsertakan.

Teori RBV menganggap bahwa perusahaan merupakan kumpulan sumber daya yang unik, sehingga harus ditetapkan pokok-pokok mengenai kumpulan sumber daya tersebut dalam perusahaan. Kenyataannya, sumber daya strategis merupakan knowledge-base yang kompleks yang mungkin dimiliki oleh berbagai pihak yang terikat dengan perusahaan. Asumsi perusahaan sebagai kumpulan kontrak2 (nexus of contracts) memperdalam RBV melalui dua cara. Pertama, asumsi tersebut menyorot proses berdasarkan sumber daya yang terikat pada perusahaan dengan kurang teliti. Kedua, memastikan bahwa perusahaan tidak dapat membagikan keuntungan karena perusahaan tidak dimiliki oleh satu orang melainkan beberapa orang sehingga menjadi lebih rumit. Karena sumber daya strategis tidak sepenuhnya dimiliki perusahaan, maka hak kepemilikan menjadi bias.

Kumpulan keuntungan adalah jumlah seluruh keuntungan yang dikumpulkan tanpa menghiraukan siapa yang akan mendapatkannya, baik karyawan, investor, maupun pihak lainnya. Keunggulan kompetitif, konsep yang sangat berhubungan dengan perolehan keuntungan, merupakan pokok dari manajemen strategis.

RBV terfokus pada aset yang unik yang meningkatkan nilai perusahaan dan kemampuan yang tidak dapat ditiru (Barney, 1991). Pembagian keuntungan dipandang sebagai faktor eksogen. Berdasarkan pandangan ini, keunggulan kompetitif hanya menggunakan perolehan keuntungan dari kemampuan strategis perusahaan. Artinya, perusahaan tetap memperoleh keuntungan dari pesaing walaupun keuntungan tersebut tidak diberikan kepada investor, melainkan diberikan kepada berbagai pihak dalam perusahaan. RBV dapat digunakan untuk memprediksi kinerja perusahaan jika menyelidiki bagaimana keuntungan dihasilkan dan bagaimana pembagiannya secara simultan.


Menentukan Kekuatan Tawar-menawar Stakeholder
Kekuatan tawar-menawar akan semakin tinggi jika stakeholders: dapat bertindak dalam kesatuan perusahaan, mempunyai akses informasi penting, memiliki biaya pengganti yang sangat tinggi bagi perusahaan, dan mendapat kerugian yang rendah bila pindah ke perusahaan lainnya.

Pembagian Keuntungan dalam Tim yang Sederhana
Dalam tim yang sederhana, bagian yang penting dalam menghasilkan keuntungan seharusnya adalah pemilik atau manajer. Total keuntungan dihasilkan dalam kelompok dibagikan kepada seluruh anggota sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi lebih kecil.

Pembagian Keuntungan dalam Korporasi
Karena sumber daya manusia merupakan inti dalam menghasilkan keuntungan, maka para karyawan juga memiliki kekuatan tawar-menawar, yaitu akan ada biaya jika mengganti karyawan dalam perusahaan, terutama karyawan yang bekerja pada inti teknologi perusahaan karena kemungkinan pengetahuan mereka tidak dapat digantikan maupun ditiru.

Manajemen harus dapat mengidentifikasi dan memperoleh sumber daya bagi perusahaan dan mengawasi pengembangan pengetahuan dan kinerja dalam perusahaan. Hal ini membuat manajemen menjadi stakeholder yang sangat berharga dalam memperoleh keuntungan perusahaan. Kekuatan tawar-menawar manajemen mungkin berada pada urutan paling atas karena manajer dapat menggunakan kekuasaannya untuk meningkatkan kekuatan tawar-menawar tersebut.

Kekuatan tawar menawar investor akan semakin lemah karena sumber daya keuangan yang mereka berikan bersifat umum, berubah-ubah, tidak khusus dan dapat digantikan dengan mudah (Barney, 1991; Castanias dan Helfat; 1991). Selain itu, jika perusahaan memiliki keuntungan yang berkelanjutan, sumber daya keuangan akan berlimpah sehingga perusahaan tidak akan mengalami kerugian yang besar jika investor mengundurkan diri. Faktor yang paling signifikan dalam lemahnya kekuatan tawar-menawar investor adalah karena mereka tidak memiliki informasi dan keahlian yang cukup mengenai perusahaan. Kekuatan tawar-menawar pemegang saham tergantung pada kemampuan mereka dalam mengendalikan dan memberikan dorongan bagi perusahaan (menguasai perusahaan).

Internal stakeholder memiliki informasi yang lebih baik, kemampuan yang penting untuk menghasilkan keuntungan, dan biaya pengganti yang sangat tinggi sehingga mereka berhak untuk mendapatkan bagian dari keuntungan yang telah diperoleh. Namun pembagian keuntungan tersebut sulit untuk dideteksi dalam pengukuran kinerja tradisional. Artinya, walaupun stakeholder memiliki kekuatan dalam peusahaan, keuntungan tersebut mungkin tidak dapat dirasakan. Jika perusahaan terus menerus mendapatkan keuntungan, sudah pasti keuntungan tersebut akan berkorelasi dengan pengukuran kinerja perusahaan. Meskipun demikian, hubungan antara perolehan keuntungan dan kinerja seharusnya lebih kuat pada saat investor luar memiliki kekuatan tawar-menawar.

Kestabilan dalam pembagian keuntungan kemungkinan akan mendapat gangguan dari kebiasan hak milik perusahaan (Barzel, 1989). Pemilik perusahaan akan mendapatkan keuntungan yang lebih kecil dibandingkan dengan para karyawannya karena karyawan merupakan sumber daya manusia yang berperan lebih besar dalam memperoleh keuntungan. Namun, kepemilikan perusahaan akan semakin bias karena pada saat ini banyak perusahaan yang menghargai para karyawannya dengan memberikan mereka opsi saham.

Terdapat dua ancaman utama dari pasar yang dapat mengurangi keuntungan. Pertama ancaman dari persaingan normal. Serangan pesaing merupakan penyebab utama keuntungan perusahaan terus berkurang (Jacobsen, 1988). Ancaman eksternal kedua adalah pengendalian pasar pada korporasi. Namun, perusahaan mungkin akan menghindari hutang pajak, pesaing, investor dan penjarah yang tidak mengetahui adanya keuntungan dari sumber daya perusahaan.

Dengan demikian, agar dapat memprediksi kinerja perusahaan dengan lebih baik, model RBV harus dintegrasikan dengan konsep kekuatan tawar menawar stakeholder. Model keunggulan sumber daya perusahaan (resource-base advantage) yang lengkap harus memasukkan konsep kekuatan tawar menawar dalam memprediksikan keuntungan diatas normal.*****

Wednesday, February 06, 2008

Teknologi Informasi Dan Daya Saing

Banyak pihak merasakan manfaat Tekonologi Informasi (TI). Sebagian yang lain bahkan menyatakan TI mendukung dicapainya efisiensi, keunggulan daya saing (competitive advantage) perusahaan. Benarkah selalu demikian?

Berbagai studi di tahun – tahun awal pemanfaatan komputer secara luas di organisasi privat melaporkan bahwa penggunaan TI mendorong terjadinya efisiensi, memperbaiki kualitas output. Atau dalam kata lain TI mendorong produktivitas. Kesimpulan semacam inilah yang kemudian menjadi jimat bagi penyebar-luasan penggunaan komputer di berbagai aspek kegiatan manusia. Sekolah-sekolah komputer dari yang top hingga yang kelas ruko mengajarkan hal ini sebagai suatu dogma yang harus dipercaya.

Kita menyaksikan hari ini, hampir tidak ada lagi organisasi bisnis, nirlaba, maupun publik yang tidak menggunakan komputer (dan kemudian akses ke Internet) guna menunjang aktivitas keseharian. Walau cuma satu komputer, namun layak kita katakan sudah berkomputer. Meski hanya untuk membuat surat – menyurat, tetap dapat masuk kriteria sudah menggunakan komputer. Di sisi ekstrem lainnya, hampir tidak ada bank, perusahaan jasa telekomunikasi, penerbangan, kurir dan logistik yang beroperasi tanpa dukungan komputer. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi bila sistem komputer suatu bank nasional mati (shutdown) beberapa jam. Jangankan beberapa jam, satu menit saja seluruh sistem komputernya mati, kerugian besar akan diderita bank bersangkutan.

Dalam kajian strategi bisnis, komputer yang tersusun dalam suatu sistem informasi strategis (SIS), merupakan sumberdaya perusahaan yang dapat meningkatkan kapabilitas dan kompetensi perusahaan. Bersama sumberdaya lainnya seperti SDM, aset tetap, dan citra atau nama baik; SIS jika dikelola dengan baik dapat menjadi elemen dari strategi bisnis yang mengandalkan sumber daya (resourse-based strategy). Namun demikian strategi ini juga belum menjamin kemenangan dalam persaingan, terutama ketika sumberdaya yang ada mudah ditiru atau tidak sulit untuk dimiliki juga oleh pesaing. Kondisi mudah ditiru oleh pesaing, karena sifat sumberdaya yang berasal dari eksternal (vendor). Selain menjual sumberdaya kepada kita, vendor juga menjual kepada pesaing.

Dengan rasional seperti ini saja sudah dapat dikatakan bahwa keunggulan daya saing yang mengandalkan TI, tidak akan berusia panjang. Faktor yang menggerus kejayaan bukan hanya datang dari penyamaan atau peniruan oleh pesaing (eksternal), namun juga dapat muncul dari faktor internal. Ketika pertumbuhan bisnis melesat melewati batas daya dukung SIS, maka ini pertanda pertama bagi manajemen untuk mulai mengubah SIS-nya. Demikian juga ketika manajemen enggan mengeluarkan investasi baru guna mengganti SIS yang sudah mulai ketinggalan zaman, kondisi semacam ini dapat menandai mulai surutnya daya dukung TI terhadap bisnis.

Dua faktor lain yang dapat menghalangi kelangsungan competitive advantage terkait dengan SIS adalah kualitas dan loyalitas SDM serta situasi regulasi industri. Suatu perusahaan yang hidup matinya sangat tergantung pada TI, harus menghadapi masalah pelik ketika lebih dari separo pegawai departemen Sistem Informasi-nya mengundurkan diri dan kabarnya akan pindah ke perusahaan pesaing. Padahal, perusahan telah banyak berinvestasi memberikan pendidikan dan pelatihan kepada sebagian besar dari mereka yang mengundurkan diri. Jika pengunduran diri ini terjadi, operasional perusahaan akan terganggu untuk beberapa waktu hingga pos yang ditinggalkan terisi. Meskipun terisi, tidak jaminan dapat kembali seperti semula dalam tempo yang relatif cepat. Di luar itu, ada ancaman dari pesaing, karena knowledge yang semula dimiliki perusahaan akan menjadi milik pesaing (brain drain). Pelajaran yang dapat diambil dari kasus ini, meski sering dikatakan SDM sebagai aset sangat berharga bagi perusahaan, sejatinya SDM sangat rentan untuk lepas dari kendali manajemen. Ketika hal ini terjadi, sehebat apapun SIS yang dimiliki, menjadi berkurang kontribusinya bagi daya saing perusahaan.

Dalam hal regulasi, pernah terjadi kasus di mana suatu perusahaan sangat ingin membuka bisnis baru dengan memanfaatkan keunggulan SIS yang dimiliki. Keinginan tingal kenangan, ketika ternyata belum ada regulasi yang secara khusus mengatur penyelenggaraan bisnis tersebut. Padahal, tanpa adanya bisnis baru, perusahaan sudah mendekati stagnasi. Pada kasus lain, hampir semua perusahaan di suatu industri tertentu harus mengubah sistem informasi-nya, menanamkan investasi baru karena adanya regulasi yang berdampak pada perubahan-perubahan. Kasus-kasus semacam ini dialami pelaku bisnis di industri yang regulated, di mana conduct atau perilaku industri diatur oleh pemerintah.

Beberapa studi tentang dampak TI terhadap kinerja perusahaan yang dilakukan antara 2000-05 di Amerika, Taiwan, Inggris, dan Jepang pada umumnya menyimpulkan bahwa hubungan investasi TI dengan kinerja perusahaan tidak selalu linier. Artinya, ada suatu masa di mana terjadi akselerasi kinerja beberapa masa sesudah investasi TI dilakukan, namun kondisi semacam ini akan melambat hingga akhirnya kurva mulai mendatar, hingga kemudian menukik. Para ahli menyebutnya sebagai kurva U terbalik (turned U curve).

Tantangan bagi para eksekutif adalah bagaimana mengubah kurva U terbalik di atas menjadi kurva linier, sehingga setiap penambahan satu unit investasi TI akan menghasilkan sejumlah expected output secara konsisten selama waktu tertentu. Menjawab tantangan ini, ada beberapa strategi yang dapat dipertimbangkan. Pertama, mengubah pola investasi, jika semula membeli dengan spesifikasi tetap, pertimbangkan untuk outsourcing atau investasi yang flexible dan scalable sesuai pertumbuhan bisnis. Kedua, lakukan penyelarasan (alignment) antara strategi bisnis dan SIS. Fakta empirik menunjukkan instansi pemerintah sedikit sekali melakukan penyelasaran antara TI dan “strategi bisnis” instansi bersangkutan. Penyelarasan penting agar derap bisnis dapat diimbangi oleh daya dukung SIS. Ketiga, inovasi berkelanjutan. Organisasi yang tidak melakukan inovasi, ia bukanlah organisasi, melainkan kumpulan orang-orang yang hanya menunggu ajal. Inovasi dapat untuk memperbaiki produk atau mengubah proses bisnis. Ada bahaya inovasi. Inovasi yang mudah ditiru; atau inovasi yang mengerahkan sebagian besar sumber daya perusahaan sehingga mengurangi perhatian kepada hal-hal lain yang juga tidak kalah pentingnya; dapat berujung pada dilema inovasi. Keempat, dalam memanfaatkan TI, hendaknya berorientasi untuk menciptakan value yang lebih unggul dari pada value yang berhasil diraih pesaing. Suatu studi menunjukkan bahwa pemahaman sebagian besar eksekutif terhadap value creation dengan memanfaatkan TI ternyata masih rendah. Kelima, manfaatkan dan kembangkan TI sedemikian rupa sehingga secara alamiah dapat membentuk sebuah barrier to entry. Hambatan masuk industri secara alamiah, seperti keunikan kompetensi, kerumitan dalam disain dan operasional, atau besaran investasi yang harus ditanam, pada umumnya dianggap tidak melanggar hukum positif. Keenam, SIS dan strategi bisnis secara berkelindan dibangun untuk mengurangi atau menambah biaya alihan (switching costs). Ketika merayu calon pelanggan, tunjukkan biaya alihan yang rendah, namun ketika sudah menjadi pelanggan, ciptakan sedemikian rupa biaya alihan sehingga tidak mudah bagi perusahaan untuk pindah ke pesaing. Persoalan etika dapat meruak ketika perusahaan ceroboh melakukan strategi keenam ini.

Apa implikasi kebijakan publik dari uraian di atas? Jawabnya kurang lebih, bagaimana instansi pemerintah yang diberi wewenang melaksanakan pembinaan dalam pemanfaatan TI memberi bimbingan kepada semua instansi pemerintah agar dalam memanfaatkan TI tidak hanya sekedar sebagai alat pelengkap saja, namun lebih dari pada itu, bagaimana dengan komputer dapat mencapai kinerja pelayanan publik yang baik secara berkelanjutan. Akan halnya kalangan swasta, pada umumnya mereka lebih tahu apa yang harus dikerjakan.*****