Monday, November 19, 2007

Menunggu Gebrakan Povider Selular Pendatang Baru

Sekarang ini semakin menjamur provider selular baru di Indonesia (Smart, Ceria, Esia, Three, NTS). Berbagai jurus dikerahkan agar bisa menembus pasar serta untuk menarik perhatian konsumen. Mulai dari perang harga tarif, layanan yang inovatif hingga promo iklan dengan model yang cantik. Bagaimanakah gebrakan yang dilakukan oleh para provider selular pendatang baru tersebut? Ditinjau dari layanan inovatifnya, harga tarif yang ditawarkan, sampai iklan yang begitu gencar.

Sebagai pendatang baru (new entrants) dalam suatu industri, tantangan pertama yang harus dihadapi adalah bagaimana memperkenalkan (introduce) produk dan layanan mereka supaya terlihat berbeda dari yang sudah ada (incumbent). Tidak hanya berbeda, namun dapat memberikan manfaat (value) yang lebih baik dari layanan incumbent. Manfaat dapat berupa layanan yang lebih baik, maupun harga yang lebih murah. Layanan lebih baik seperti misalnya, coverage yang seluas-luasnya (berbeda dari strategi incumbent yang mulai membangun secara bertahap sesuai dengan perkembangan pasar, new entrant – terpaksa - harus membangun jaringan secara serentak, sehingga pada hari pertama diluncurkan sudah meng-cover seluruh wilayah Indonesia), tidak hanya melayani komunikasi suara, namun juga data, gambar, dan akses Internet, serta inovasi model bisnis pada jalur distribusi. Kombinasi inovasi layanan, promosi melalui iklan yang cukup gencar, dan tarif yang relatif lebih murah dari incumbent diharapkan dapat mempengaruhi pelanggan telepon incumbent untuk pindah dan atau calon pelanggan (yang belum pernah menggunakan telepon) untuk memilih produk new entrant sebagai layanan telepon pertama kali.

Pertanyaannya, ditengah-tengah ramainya pasar telekomunikasi di Indonesia sekarang, efektifkah usaha itu? Dari bincang- bincang dengan rekan – rekan operator selular yang tergolong new entrant dapat saya klasifikasikan tingkat keberhasilan mereka. Pertama yang menyatakan puas karena berhasil mencapai target (penerbitan jumlah nomor telepon yang diserap pasar), dan kedua yang belum berhasil mencapai target. Yang mencapai target, jika diteliti lebih jauh ternyata majoritas pengguna berasal dari captive market, karyawan group perusahaan, relasi bisnis, anggota keluarga yang jumlahnya mencapai lebih dari satu juta. Yang belum mencapai target, mereka menghadapi persaiangan tajam yang sudah menjadi karakter industri telekomunikasi pada saat ini. Jadi agar dapat efektif ternyata tidak cukup hanya inovasi, promosi dan tarif yang murah namun masih diperlukan strategi lain, memperoleh captive market pada tahap awal guna memastikan posisi di pasar.

Kemudian, kira-kira mampukah mereka bersaing dengan provider yang jam terbangnya sudah tinggi? Dalam persaingan bisnis (termasuk persaingan di bisnis telekomunikasi) jam terbang (tenure) yang mencerminkan pengalaman, tidak selalu menjamin tercapainya keunggulan daya saing yang berkelanjutan (sustainable competitive advantage), masih ada faktor – faktor lain yang dapat digunakan sebagai strategi untuk mengalahkan pesaing. Artinya, sepanjang new entrant dapat mengemas sumber daya perusahaan ke dalam strategi bisnis yang sesuai dengan (fit in) dinamika pasar, dapat saja new entrant dalam waktu singkat mengungguli incumbent.

Lalu, bagaimana antusiasme konsumen dengan adanya penawaran yang semakin bervariasi untuk kebutuhan telepon selular pada saat ini? Konsumen telekomunikasi pada hari ini lebih beruntung dari pada konsumen di masa lalu, ketika pasar telekomunikasi masih monopoli. Keuntungan ini diperoleh dari adanya struktur pasar yang kompetitif. Hakikat persaingan pada dasarnya memberikan berbagai pilihan kepada konsumen. Konsekuensinya, layanan yang buruk, tarif yang mahal akan ditinggalkan oleh pelanggan. Jika kita cermati, pada saat ini pelanggan telekomunikasi berada pada posisi tawar yang lebih baik dibanding posisi operator. Pelanggan yang tidak puas dengan suatu layanan dapat dengan mudah “membuang” nomor lamanya dan beralih ke nomor baru milik operator pesaing. Kondisi semacam ini mau tidak mau mendorong operator untuk terus menerus memberi layanan yang lebih baik kepada pelanggan, agar pelanggan “tidak pindah ke lain hati”.

Dan bagaimana usaha provider selular yang lama, semacam Simpati, Indosat, XL, Mobile 8, dalam pasar telekomunikasi yang semakin panas untuk mempertahankan pelanggannya? Operator lama / incumbent (Telkomsel, Indosat, XL, Mobile-8) sama saja, mereka-pun terdorong dalam suasana kompetisi yang mau tidak mau harus dihadapi. Dilihat dari keberadaannya, incumbent lebih beruntung karena sudah lebih dahulu eksis di pasar, dan sudah pada tahap melaksanakan strategi customer retention, sementara new entrant masih sibuk dengan strategi customer acquisition.


Serta, bagaimana idealnya cara yang dipakai untuk mendongkrak pasar bagi provider selular baru? Seperti saya jelaskan di muka, bagi new entrant strategi yang pada umumnya dipilih adalah menawarkan harga yang lebih murah dari incumbent. Namun demikian, strategi ini pun sebaiknya tidak berlangsung lama, terutama jika jumlah pelanggan baru tidak segera mencapai angka minimal tertentu (break even point). Artinya, pada kondisi pasar tertentu, strategi harga murah sudah tidak dapat lagi diterapkan, karena faktor internal terkait dengan profitabilitas dan kondisi keuangan perusahaan, dan faktor eksternal pasar sudah menuntut kualitas yang lebih baik, tidak sekedar harga murah.

Pertanyaan lain, sampai berapa lama kira-kira mereka (seluruh provider selular di Indonesia) mampu bertahan di pasaran? Adakah satu diantara mereka yang tumbang? Berbeda dengan industri lain (misal penyiaran) yang ramai – ramai melakukan konsolidasi (merger dan akuisisi), industri telekomunikasi Indonesia yang saya perkirakan masih akan tumbuh dalam 10 sampai 20 tahun mendatang, dan struktur pemilikan saham hampir semuanya dimiliki oleh investor asing yang modalnya besar sekali, saya memperkirakan semua operator telekomunikasi akan bertahan. Jikapun ada yang merugi, besar kemungkinan karena salah pengelolaan, dan pun akan diakuisisi oleh operator lain.*****

Friday, November 09, 2007

Mencari Solusi Optimal Masalah SLJJ

Di koran elektronik Detik.com edisi Selasa, 30/10/2007 17:14 WIB, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) Giri Suseno Hadihardjono dikutip menyatakan "Terkait kode akses SLJJ, pemerintah harus jelas dalam bersikap. Diperlukan ketegasan pemerintah, gitu aja," Selanjutnya Pak Giri menambahkan, Pemerintah, bagaimanapun juga harus melihat kerangka yang lebih luas dan utuh sebelum mengambil keputusan terkait kode akses SLJJ. "Kita tidak bisa melihat sepotong-potong masalah ini. Inilah yang kita minta kepada pemerintah untuk melihat secara utuh persoalannya,"

Pembukaan kode akses Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) merupakan keputusan publik yang diterbitkan melalui Peraturan Menteri. Kebijakan ini dimaksudkan sebagai sarana mewujudkan industri telekomunikasi yang kompetitif, menyusul perubahan struktur industri yang semula monopoli menjadi kompetisi. Kode akses SLJJ diperlukan untuk mengakomodasi bertambahnya operator telepon tetap kabel (PSTN), mengingat konfigurasi jaringan telepon kabel nasional terdiri dari sejumlah jaringan telepon lokal. SLJJ berfungsi menghubungkan antar-jaringan lokal. Pada saat ini operator telekomunikasi yang memiliki izin jaringan telepon lokal kabel adalah Telkom, Indosat, dan Batam-Bintan Telekom. Dua yang pertama beroperasi secara nasional, sementara yang terakhir hanya melayani di wilayah Pulau Batam dan Bintan saja.

Untuk dapat ber-SLJJ setiap jaringan lokal diberi kode akses. Jakarta 021, Surabaya 031, Bandung 022, dan seterusnya. Karena sifatnya monopoli, kode akses ini dikuasai untuk operasional Telkom. Setelah ada dua operator telepon tetap, muncul pertanyaan, kode akses 021 itu milik Telkom atau kota Jakarta? Bagi pihak Telkom tentu jawabnya “milik Telkom – Jakarta”. Persoalannya, bagaimana bila pelanggan PSTN Indosat di kota Surabaya hendak menelpon sesama pelanggan PSTN Indosat di kota Jakarta? Dalam konfigurasi yang berlaku saat ini, maka sambungan semacam ini masih melewati fasilitas Telkom, sehingga Indosat dikenai biaya interkoneksi. Bagi Telkom menguntungkan, tidak demikian bagi Indosat.

Regulasi pembukaan kode akses SLJJ dimaksudkan pula menambah sumber daya telekomunikasi sehingga pengguna jasa telekomunikasi memiliki alternatif. Jika tujuan regulasi positif, mengapa Telkom berusaha keras menolak kebijakan tersebut? Benarkah masyarakat pengguna jasa telekomunikasi PSTN diuntungkan dengan pembukaan kode akses SLJJ?
Teori Network Eksternaliti (positif) menyatakan bahwa semakin banyak orang yang membeli suatu produk, maka manfaat produk tersebut akan semakin besar. Dalam kontek jaringan telekomunikasi, manfaat jaringan berbanding lurus dengan jumlah simpul jaringan. Artinya, suatu jaringan yang anggotanya masih sedikit, dalam waktu singkat akan meningkat manfaatnya (value) bila dapat tersambung ke jaringan yang lebih besar. Dari perspektif makro manfaat ketersambungan jaringan akan meningkat, namun demikian apabila dilihat dari sudut pandang mikro, operator baru (dengan pelanggan sedikit) diuntungkan, sebaliknya operator dengan pelanggan lebih besar dapat dirugikan.

Argumen inilah yang menjadi salah satu alasan penolakan Telkom, yang merasa telah bertahun – tahun mewarisi dan mengembangkan jaringan lokal dan berhasil mengumpulkan pelanggan hingga hampir 10 juta. Sementara Indosat, yang memiliki izin PSTN, konon baru mengumpulkan kurang dari 100 ribu nomor pelanggan, itupun berasal dari pelanggan korporasi di kota – kota besar yang relatif lebih mudah membangunnya dari pada profil pelanggan Telkom yang lebih banyak pelanggan rumahan di seluruh Indonesia. Total jumlah pelanggan Indosat sendiri sudah di atas 10 juta, namun sebagian besar pelanggan telepon selular yang memang menjadi fokus utama bisnis Indosat.

Dalam ketidak-seimbangan jumlah pelanggan, meski dengan asumsi tarif layanan sama, Telkom khawatir, akan lebih banyak pelanggannya yang lari ke Indosat dari pada sebaliknya. Misalnya, tingkat perpindahan pelanggan (swing) 10%, maka Telkom akan kehilangan 1 juta, sementara Indosat hanya berkurang 10 ribu. Atau dengan kata lain 990 ribu pelanggan merupakan net loss bagi Telkom namun menjadi net gain bagi Indosat. Padahal, effort yang dikeluarkan Telkom untuk menghimpun sekian juta pelanggan sudah bertahun – tahun, sementara Indosat memperolehnya dalam waktu yang relatif singkat dan dengan cara yang mudah dan murah.

Kerugian lain yang akan ditanggung Telkom adalah biaya peralihan dan perubahan pada sentral telepon otomat (STO) di lokasi yang akan dibuka SLJJ-nya. Secara teknis, pembukaan kode akses berarti penambahan digit pada nomor telepon. Untuk kota-kota besar yang STO-nya sudah digital sebagian besar dapat mengelola nomor hingga 15 digit, di pihak lain, masih banyak sekali STO Analog atau Digital generasi pertama yang hanya mampu mengelola nomor hingga 12 digit. Artinya, jika pembukaan kode akses berlaku seluruh Indonesia, Telkom akan terbebani biaya peremajaan STO yang menurut pengurus Sekar Telkom mencapai Rp. 4 Trilyun.


Argumen dan contoh di atas, masih mengandung kelemahan, pertama manajemen perusahaan tidak memahami profil pelanggan sendiri, kedua mengesampingkan eksistensi layanan selular sebagai substitusi PSTN, dan ketiga tidak menyadari kekuatan yang pada internal Telkom. Sebagai perusahaan yang sudah berusia lebih dari separo abad, layak dipertanyakan apakah Telkom sudah memiliki strategi Customer Retention, mengelola pelanggan agar supaya loyal dalam mendukung perusahaan mencapai Sustainable Competitive Advantage. Jika ada perubahan struktur pasar, manajer dan pegawai masih khawatir pelanggan akan lari ke kompetitor, hal ini menjadi indikasi belum dimilikinya strategi tersebut, atau masih asyik bermain di tahap perebutan pelanggan (Customer Acquisition). Di pihak lain, mesti diakui bahwa layanan selular sudah lama menjadi substitusi layanan PSTN. Bahkan ketika sedang di rumah-pun semakin banyak orang yang lebih suka ber-handphone dari pada menggunakan telepon meja. Artinya, penggerusan sumber pendapatan Telkom dari kue bisnis telekomunikasi yang terus berkembang telah lama terjadi, bukan akan terjadi setelah dibukanya kode akses SLJJ. Selain itu, jika mengacu nasihat pakar psikologi tentang fenomena gajah dirantai, reaksi penolakan yang ditunjukkan pihak Telkom, secara tidak langsung menunjukkan bahwa Telkom yang besar dan memiliki dominant power ternyata masih bernyali kecil menghadapi persaingan. Bukankah dengan jajaran SDM yang loyal, kecintaan dan kebanggaan masyarakat Indonesia kepada Telkom sebagai BUMN perjuangan, dan pimpinan yang berkualitas semua itu menjadi aset perusahaan yang nilainya besar sekali?

Jika Telkom merasa akan dirugikan dan Indosat akan diuntungkan, bagaimana dengan masyarakat, khususnya pengguna telepon tetap kabel? Dalam jangka panjang akan diuntungkan karena ada kompetisi yang berarti tersedia alternatif. Kompetisi pada umumnya menghasilkan industri yang efisien. Dalam jangka pendek, pembukaan kode akses, berdampak pada perubahan tata nomor, yang artinya semua pelanggan PSTN (majoritas pelanggan Telkom) harus mengubah nomor telepon yang tertera di papan nama, kop surat, kartu bisnis, Buku Kuning, dan lain sebagainya, yang biaya ekonomis dan sosialnya lumayan besar namun sulit dihitung.

Memperhatikan benturan kepentingan sebagaimana dikemukakan di atas ada beberapa proposisi yang layak dipertimbangkan. Pertama, jika disadari suatu kebijakan dan atau regulasi berdampak win-loss pada objek yang diatur, sementara bila dilihat dari majoritas kepemilikan saham, kerugian terjadi pada sisi nasional dan kemenangan berada di pihak asing, ada baiknya regulator meninjau ulang kebijakan tersebut. Inilah barangkali yang dimaksud Ketua Umum Mastel melalui pernyataannya yang dikutip di atas.
Kedua, menggunakan azas pemerataan dan keadilan, pembukaan kode akses SLJJ dilakukan secara bertahap (seperti kebijakan yang sudah ada) namun bukan dari kota-kota besar yang merupakan wilayah penghasil utama revenue Telkom, melainkan dari kota – kota kecil yang belum menjadi perhatian Telkom. Dampak dari pendekatan ini, diharapkan Indosat akan terpacu untuk membangun jaringan PSTN, memenuhi komitmen perizinan modern yang dimilikinya, menambah penetrasi dan pemerataan layanan telekomunikasi, dan bagi pihak Telkom bukan dianggap sebagai ancaman yang akan mengurangi potensi pendapatannya.

Ketiga, untuk pembukaan kode akses SLJJ di kota-kota besar baru dapat dilaksanakan ketika proporsi jumlah pelanggan Indosat dan Telkom sudah berimbang, misal menggunakan rasio 2:1. Artinya jika di suatu kota jumlah pelanggan Telkom mencapai 1 juta, maka kode akses SLJJ untuk kota tersebut baru dibuka ketika jumlah pelanggan PSTN Indosat sudah mencapai sedikitnya 500 ribu.

Dengan tiga langkah di atas, mudah-mudahan semua pihak: Pemerintah, Telkom, Indosat dan masyarakat akan merasa diuntungkan.*****

Tuesday, November 06, 2007

Serba – Serbi Falsafah Hidup Orang Jawa

Mas Wibowo Brojonegoro, mantan Boss saya di ARCO menulis di milist tentang filosofi orang Jawa "Mikul duwur, mendem jero". Mikul artinya memikul atau memanggul atau mengangkat, misalnya kalau kita melayat orang meninggal maka peti mati akan diangkat oleh beberapa orang untuk dibawa kekuburan atau dimasukkan ke mobil janasah. Kebiasaan orang Jawa sebelum dimakamkan biasanya anggota keluarganya berjalan melalui bawah peti jenazah tadi tiga kali. Pada saat itulah peti mati tadi dipikul oleh beberapa orang, nah kalau orang2 yang memikul tersebut tinggi2, maka keluarga yang lewat bawah peti jenazah tadi gampang melewatinya. Itulah arti riel dari "Mikul Duwur". (Duwur artinya : Tinggi). Nah orang Jawa percaya juga bahwa lebih dalam kita menggali kubur; lebih baik. Itulah arti riel dari " Mendem Jero" atau memakamkan yang dalam.
Seperti sudah diduga, orang Jawa suka "sanepo" atau mengkiaskan, jadi inti yang lebih dalam dari "Mikul Duwur dan mendem Jero" adalah mengartikan kiasannya.

Mas Wibowo selanjutnya menyampaikan, kalau ada keluarga yang sederhana, misalnya seperti ayah beliau almarhum yang hanya lulus STM jaman Belanda dan seorang pemilik bengkel AC/ Kulkas di Jogya, kemudian apabila anak-anaknya menjadi orang-orang yang berhasil atau berpendidikan lebih tinggi, tidak melakukan kejahatan-kejahatan yang memalukan, maka orang Jawa akan bilang " Wah memang putra2nya Pak Sarwanto ( ayah beliau), benar-benar bisa “Mikul Duwur" yang maksudnya adalah berhasil "mengangkat derajat" orang tuanya, meskipun orang tua beliau tersebut telah meninggal dan tak bisa berbuat apa-apa lagi. Jadi, menurut Mas Wibowo, kita diharapkan tidak hanya mengangkat tinggi peti mati orang tua kita (arti riel-nya) namun yang lebih penting adalah "mengangkat derajat" orang tua kita meskipun beliau telah wafat (arti "sanepo" nya).

Nah "mendem jero" tak straight forward seperti mikul duwur. Disini diartikan untuk mengubur dalam-dalam atau melupakan kekurangan orang tua kita. Bagaiman ini bisa dilaksanakan? Sudah pasti diharapkan kita menutupi kekurangan orang tua-tua kita (inilah yang sering diperdebatkan, apakah ini baik atau buruk) . Kalau mereka pemabuk, maka kita tak boleh menceritakan kemana-mana, atau kalau orang tua kita masuk penjara maka hal mana kalau bisa disembunyikan. Mas Wibowo menceritakan, Eyang-eyang beliau mengajarkan: Yang penting kamu belajar yang baik, bertabiat yang baik, berkarya yang baik, jangan berbuat buruk, maka kamu akan sekaligus "mikul duwur dan mendem jero".

Kenapa begitu? memang begitulah adanya. Marilah kita ambil contoh : ada seorang anak tukang ojek yang pemabuk, namun anak tersebut berhasil menjadi pemain bola yang terkenal, maka dalam tulisan di koran-koran orang tak perduli apakah orang tuanya tukang ojek atau apa karena mereka terpaku oleh prestasi anaknya, dalam wawancara orang tua tersebut disanjung-sanjung dan hal dia pemabuk dan lain – lain sudah dilupakan orang, nah itulah contoh dari "mendem jero", kejelekan orang-oran tua kita sudah tak ada lagi, sudah dilupakan orang, karena prestasi kita.

Kalau Mas Wibowo mengingatkan kita dengan "Mikul Duwur Mendem Jero" sejatinya masih banyak lagi falsafah jawa lainnya yang layak dijadikan referensi dalam sikap hidup kita. Di kalangan "bawah" ada falsafah "mangan or mangan sing penting kumpul" ini falsafah yang mencerminkan rasa kekeluargaan, kebersaman dalam suka dan duka. Di sisi lain, falsafah ini juga punya sis negatif, menjadikan orang kurang bersemangat untuk meninggalkan lingkungan hidupnya yang bisa jadi sudah tidak dapat mendukung kesejahteraan. Namun karena semangat mangan ora mangan asal kumpul, walhasil, peluang yang lebih bagus di luar sana ditinggalkan demi untuk kebersamaan dengan komunitasnya.

Ada lagi ajaran Ki Ageng Suryo Mentaram "mulur-mungkret" alias mengembang - mengempis. dalam interaksi antar-individu para pihak perlu mulur-mungkret, jika yang satu sedang mulur (ekspansif, marah, bergelora), maka partenr satunya perlu mengimbangi dengan mungrkret (memberi kesempatan kepada yang sedang mulur), contohnya suami istri yang sedang marah< kalau dua-duanya marah, maka rumah tangga bubar. jadi mesti gantian, saling mengisi. Ki Ageng mencontohkan karet gelang, kalau ujung yang satu ditarik, ujung lainnya suoaya mengikuti, maka suasana menjadi ayem, tetapi kalau kedua ujungnya ditarik, maka hubungan menjadi tegang sampai batas kekuatan karet tersebut hingga putus.

Yang lain, "yen mangan di-entek-ne, nek ora entek mengo ayame mati" (kalau makan mesti dihabiskan, jika tidak habis, ayam akan mati). dulu setiap mendengar "perintah" ini selalau bertanya, apa hubungannya antara makan tidak habis dengan ayam mati. setelah direnungkan, ternyata, makanan yang disajikan merupakan hasil olahan, sudah banyak tangan - tangan yang terlibat (Adam Smith: Invisible hands) untuk membawa nasi, lauk ke meja makan. bayangkan saja, nasi dihasilkan dari beras yang ditanam petani, dimasak pakai kompor gas yang gasnya dihasilkan oleh para pekerja di lapangan pengeboran lepas pantai, ikan ditangkap oleh nelayan di laut, dibawa ke pelabuhan, didagangkan, jalan ke sana - kemari sampai akhirnya "duduk" di meja makan, demikian juga yang lainnnya, artinya untuk sepiring nasi di meja saja, sebetulnya sudah memerlukan campur tangan puluhan bahkan ratusan orang (yang kita tidak bisa melihat keterlibatan mereka). Nah, menghabiskan makanan itu merupakan rasa syukur karena sudah memperoleh sajian berkat keterlibatan orang banyak. lha jika tidak dihabiskan, in sama saja tidak menghormati yang masak, tidak menghargai siapapun (orang tua) yang mencari rejeki untuk ditukar dengan makanan tersebut, dan seterusnya. Artinya makanan yang tidak habis akan menjadi sampah yang "mematikan" rasa penghormatan kepada mereka yang teah berjasa kepada kita.

Ada lagi, "ojo mentheng kelek, ing ngarepe wong tuwo" (jangan berkacak pinggang di depan orang tua). berkacak pinggang bagi budaya jawa sama saja dengan bahasa tubuh (gesture) berkuasa, lha padahal adanya kita karena orang tua, lha kok mau "berkuasa" kepada orang tua, bisa kualat. selain itu, mentheng kelek juga berpotensi menimbulkan negative externalities, yakni menyebarkan bau badan via ketiak yang lembab, ih amit-amit banuya dech,...

Yang juga perlu disimak, "den becik-ana musuhmu" (berbuatlah baik kepada siapapun, termasuk kepada orang yang tidak suka kepadamu), ini nasehat Mas Timbul Mangunhodoyo (kakek saya dari pihak Ibu) agar kami selalu berusaha berbuat baik kepada siapa saja, meski kepada orang yang tidak suka kepada kita. Tujuannya? apa lagi kalau tidak untuk menambah persahabatan.

Dan yang tidak pernah lupa "ojo dumeh" (jangan mentang-mentang). mentang - mentang lagi jadi supervisor, penguasa gayanya sok berkuasa. Orang yang mentang-mentang biasanya tidak langgeng kedudukannya. Akan banyak orang lain yang tidak suka padanya, kalaupun “hormat” hanyalah semu. Seringkali orang yang dumeh membuat sakit hati orang lain karena meremehkan, atau bahkan menghina orang lain. Jadi, meskipun keliatannya banyak yang dekat kepadanya tetapi ketika sudah tidak berkuasa, ketika sudah tidak lagi menjadi supervisor, superintendent, manager, vice president, bahkan president, maka asetnya hanya dirinya sendiri. orang-orang yang dulu manthuk-manthuk sekarang mau nengok saja segan, kalaupun negur sekedar basa-basi.

Selain dari beberapa falsafah atau bagaimana orang jawa berpikir, bertindak dan berinterkasi ada satu lagi kebiasaan orang Jawa yang melihat bobot, bibit dan bebet, ketika mengevaluasi seseorang yang akan menjadi anggota keluarga besarnya. Pertanyaan mengenai 3B ini diajukan oleh Mas Yanto Sentosa (mantan Boss lainnya di ARCO). Menjawab pertanyaan Mas Yanto, Mas Setoadi (yang ahli telekomuikasi) mengutip sebuah tulisan sebagai berikut.

Bobot Bibit Bebed merupakan istilah untuk melakukan seleksi awal 
dalam memilih pasangan yang berkualitas. Bobot diartikan dengan 
berbobot atau bermutu. Dari kemampuan berpikir, cara mengolah emosi 
dan prestasi yang dihasilkan, seseorang akan menunjukan seberapa 
tinggi kemampuannya serta seberapa besar bobotnya. Bibit `benih' 
keturunan. Di mana ia dilahirkan? Siapa orang tuanya? Dari lingkungan 
sosial dan keluarga yang baik-baik, biasanya akan melahirkan 
keturunan yang baik pula. Bebed – bebedan, cara berpakaian atau 
penampilan. Bebed menunjukan cara sesorang membawa diri, bergaul dan 
bertingkah laku. Idealnya, ketiga hal tersebut baik adanya.

Menambahi informasi dari Mas Seto, saya berpendapat bahwa Bobot, untuk mengetahui general intellectual capacity. Bukan untuk meneliti apakah gelar akademik-nya sah atau palsu, tetapi lebih pada melihat ada atau tidaknya kemampuan atau kecerdasan emosi, kemampuan membangun relasi, sifat kepemimpinan, spiritual, dan sejenisnya, yang semuanya menjadi syarat cukup bagi suksesnya rumah tangga. Banyak orang sekolahnya tinggi tetapi kalau lagi marah suka nggaplok anak-istrinya. Atau, meski sudah punya jabatan tinggi tetapi masih suka menipu diri sendiri, keluarga dan orang lain.

Bibit, untuk mencari tahu the quality of genetical heritage. Dulu, banyak yang membedakan apakah calon mantu (cantu) tergolong "trahing kusumo rembesing madu" atau berasal dari "pidhak pidarakan". Kala itu, masyarakat yakin bila cantu berasal dari golongan priyayi, maka dianggap lebih beradab, ngerti tata krama, seni dan budaya kraton yang adiluhung. Sebaliknya jika berasal dari kaum kebanyakan, dianggap tidak punya "social value" yang tinggi karena kurang paham tata cara kelompok sosial yang lebih beradab. Kalau di kalangan masyarakat Hindu-India ada kasta, di banyak masyarakat yang dipimpin raja ada kelas sosial, ningrat (yang pada umumnya feodal), saudagar (kelompok pedagang, borguis), priyayi (kelompok pegawai tata praja, guru, birokrat), dan rakyat biasa. Dalam kontek sekarang, bibit berorientasi lebih pada apakah seseorang memilki penyakit fisik bawaan (generative) yang dapat menganggu kualitas hidup setelah berumah tangga. Jadi, sekarang bergeser pada kesehatan dari pada asal-usul. (Saya ingat seloroh Pak Edi Sularso – sahabat di ARCO, waktu masih sama-sama di Ardjuna Sakti, manusia itu asalnya dari Ibu, usulnya dari Bapak). Saya pernah baca sebuah artikel yang bilang bahwa bayi lahir dengan cacat/kelainan bawaan sebetulnya bisa dideteksi dari ayah-ibunya.

Bebet(d), untuk melihat future potential, berkaitan dengan wealth, asset atau capital yang akan diperlukan dalam membangun rumah tangga. Dalam konstelasi dunia yang semakin materialis, bebed telah menggeser posisi bibit yang di masa lalu menjadi pertimbangan utama dalam menyeleksi calon anggota keluarga. Kurang lebih argumentasinya, biar bibitnya ada masalah, meskipun bobotnya pas-pasan, asal ada bebed, segala kekurangan bisa dicari solusinya. Bebed menjadi kompensasi dari nilai kurang pada bobot dan bibit. Remaja Singapore bilang: "no matter who you are, as long as you have 5C, I will no refuse to marry you" (5C = car, credit card, condo, capital/saham perusahaan/tabungan, dan career/jabatan tinggi di perusahaan).

Bobit, bibit, dan bebed, menurut saya masih perlu ditambah dengan dengan Babad. Babad untuk melihat track record, individual achievement, atau reputasi. Seperti untuk menguji apakah benar masih perjaka, duda, atau masih punya istri sah. Atau, pernah dikurung oleh KPK, atau bersih,sih, sih.

Rupanya, meski sudah dicoba dicarikan benang merah atas falsafah jawa dan ilmu sosiologi modern, masih saja dianggap sebagai “Ilmu....gathuuk..... dasar wong Jowo....katrok...” demikian sentuhan dari sahabat senior Mas Bambang Kanti Laras (BKL) sambil melempar senyum khasnya. Menanggapi lontaran Mas BKL saya membenarkan pendapat beliau sembari menyatakan semua ilmu dunia itu sejatinya merupakan hasi dari Ilmu Gathuk yang berasal dari rasa penasaran dan silanjutkan dengan eksplorasi sehingga menemukan ilmu – ilmu hebat yang sudah kita rasakan manfaatnya sekarang, tak terkecuali Ilmu Kejawen.

Mencoba meyakinkan, mari kita lihat, misalnya instrumentasi apakah itu tidak gothak-gathuk antara input process, output, fedback/fedforward? Bukankah esensi dasar instrumentasi memfasilitasi dan mengendalikan - interaksi (bhs jawa: gothak- gathuk) semua elemen proses? Ilmu politik? Sama saja, mempelajari gothak-gathuk-nya manusia yang pada berusaha meraih kekuasaan.

Nah sebagai penutup, ada falsafah lain diingatkan oleh sahabat say aCak Troiyanti, yang perlu menjadi perhatian kita semua, tidak peduli Jawa, Sunda, Ambon, Inggris. Celtic, atau Han. Cak Tri dalam bahasa Jawa menyatakan “Menawi ngendikanipun piyantun jawi meniko mboten ilok ngendiko awon maring
pepodo kedah andap asor lan tansah nyepeng paugeran inggih meniko toto
kromo,nuwun.” Atau dalam bahasa Indonesai kurang lebih “dalam berkomunikasi dengan siapapun sebaiknya penuh hormat dan sopan santun, memegang tata krama yang berlaku.”****

Saturday, November 03, 2007

Sahabat = Aset

Dunia memang kecil, makanya saya selalu berusaha menjaga reputasi, nama baik, dan menjalin persahabatan supaya dunia makin kecil lagi. Beberapa hari lalu lalu saya menemukan "gimick" bahwa berteman, bersahabat, berkawan adalah aset. Semakin banyak sahabat (dalam hubungan resiprokal) maka "potential aset" seseorang akan semakin bertambah. Potential asset akan tetap menjadi potential dan akhirnya tidak berguna kalau tidak dapat ditransformasikan menjadi real aset.

Artinya, persahabatan perlu ditingkatkan kualitasnya dalam wujud kerja sama yang saling menguntungkan, dengan memanfaatkan personal capital (modal pribadi) yang ada pada masing-masing individu. Personal capital dapat berupa knowledge, skill, expertise, experience, dan atau wisdom.

Antar sahabat perlu memahami nilai positif dari personal capital masing-masing. Trasformasi dari potential menjadi real aset, terjadi melalui proses transaksi yang bersifat komplementer, saling melengkapi. Lebih jauh, dapat pula terjadi transfer of capital yang sifatnya positive sum game, yang memberikan dan yang menerima sama-sama meraih untung.

"penemuan" (jika boleh dikatakan demikian) ini berangkat dari pencarian jawab atas pertanyaan mengapa pendiri Google dan Yahoo menjadi kaya raya, padahal orang yang diberi manfaat oleh mereka tidak perlu membayar. Malahan semakin banyak orang yang menikmati Google dan Yahoo (secara gratis) menambah kekayaan mereka. Artinya, kita - pengguna jasa Google dan Yahoo - tidak menyadari bahwa sebenarnya telah menjadi asetnya Google dan Yahoo.

Menjawab pertanyaan sendiri, saya gali berbagai bukti empirik lainnya (khususnya di sekitaran bisnis ICT), serta direfleksikan pada hubungan antar-individu, eh lah ternyata membangun persahabatan sejatinya sama dengan membangun aset. Beberapa referensi yang saya baca juga bilang begitu. Ketika saya bertemu dengan seorang pejabat tinggi dari European Council dan sahabatnya direktur sebuah lembaga pemerintah Rumania yang datang ke Jakarta untuk mencari tahu perkembangan Cyberlaw, saya kemukakan "hasil perenungan" tersebut, dan reaksi mereka positif. yang dari EC bilang
"that is genuine idea, to nite i learn valuable thing from you".*****

Friday, November 02, 2007

Competitive Advantage of The Firm

Penciptaan Competitive Advantage of The firm (CA) dapat dilihat dari Resource-based Theory (RBT), Teori Organisasi Industri (TIO) dan Austrian School (AuS). Ketiga teori ini berupaya menjawab pertanyaan mengapa beberapa perusahaan mengungguli perusahaan lain? Mengapa keunggulan ini bertahan (persistence)?.

RBT mendasarkan argumen bahwa perusahaan akan unggul jika memiliki faktor internal perusahaan berupa sumber daya (resource) dan strategi yang memiliki nilai (valueable), jarang (rare), tidak mudah ditiru (inimitability), dan dapat dioperasionalkan (operational). Sumber daya dapat berupa aset tangible dan intangible yang akan digunakan untuk mengimplementasikan strategi. Selain itu, perusahan juga perlu memiliki kemampuan (capabilities) yakni sumber daya perusahaan yang digunakan untuk mengorganisasikan dan mengekspolitasi sumber daya lain yang ada. Strategi mengindikasikan bagaimana perusahaan dikelola untuk memperoleh dan mempertahankan CA atau kinerja superior di pasar di mana perusahaan beroperasi. Peteraf (1993) menyatakan perusahaan yang memiliki, mengembangkan, mengendalikan, menjaga kelestarian valuable, scarce dan non-substitutable resources dalam pasar yang bersifat persaingan sempurna dapat memperoleh keuntungan ekonomi temporer dengan memanfaatkan sumber daya tersebut untuk mengembangkan dan mengimplementasikan strategi.

Asumsi dasar dari RBT dalam penciptaan CA adalah adanya perbedaan sumber daya (resource heterogeneity). Perusahaan saling bersaing untuk mengendalikan sumber daya dan kapabilits yang berbeda. Dalam konteks ini, adanya kelangkaan sumber daya (scarcity of resources) mendorong perusahaan saling berebut untuk memperoleh sumber daya yang terbatas tersebut, sementara sumber daya yang diinginkan tidak dapat digantikan oleh sumber daya lainnya (non-substitutability). Asumsi lainya adalah adanya resource immobility, yakni ketika sumber daya yang dimiliki perusahaan tidak dapat dipindahkan atau diambil alih oleh perusahaan lain, karena sifatnya yang unik, maupun karakternya yang memang susah dipindahkan (contoh: ketrampilan, pengetahuan, citra, loyalitas pelangan, dan lain sebagainya). Sumber daya yang valuable, rare, dan mahal/sulit untuk ditiru dapat menjadi sumber kekuatan untuk mencapai CA.

Teori Organisasi Industri (TIO),
TIO mengacu pada konsep Structure Conduct and Performance (SCP). Yang menganggap bahwa struktur pasar selalu berupaya mencapai equilibrium, dan oleh karenanya diwarnai dengan beberapa alternatif strategi perusahaan antara lain: price taking, product differentiation, tacit collusion, dan exploiting market power. Objektif strategik TIO pada umumnya membatasi competitive forces, dengan model profitabilitas empirical regularities, dan nature of success factor-nya observed strategic factors.

TIO memiliki kelemahan dan oleh karenanya mendapat kritik. Pertama, TIO tidak dapat langsung diterapkan alam menganalisa perusahaan karena fokus pada persaingan berbasis ekonomi – translation. Kinerja ekonomi semua perusahaan dalam satu industri dianggap identik, padahal dalam kenyataannya tidak selalu sama. TIO tidak membahas faktor manusia sebagai perancang dan pelaksana strategi, padahal tanpa manusia yang berkualitas strategi tidak dapaty berhasil. TIO tidak menjawab bagaimana perusahaan harus bersikap dalam menghadapi perubahan struktur industri. Banyak variabel penting dalam struktur industri tidak terungkap.

Austrian School (AuS),
AuS menggunakan neoclassic economic theory sebagai dasar. Konsep utama neoclassic yang digunakan AuS adalah marginalism, opportunity cost, dan diminishing marginal utility. Asumsi yang digunakan oleh AuS antara lain, pasar sebagai sebuah proses, perusahan akan bertindak dengan perilaku yang sama, perusahaan dapat memiliki sumberdaya dalam kapasitas yang sama. Dengan asumsi tesebut AuS mengembangkan strategi creative destruction, yang konsekuensinya berupa langkah continuous innovation dan fleksibilitas dalam pengelolaan sumberdaya, karena itu muncullah intertemporal heterogeneity, sehingga ada unobservable influence of business performance. Pada kenyataannya perusahaan tidak berperilaku sama dan aksesibilitas perusahaan terhadap sumber daya tidak sama.

Perbedaan dan Persamaan RBT, TIO,& AuS, ketiga teori ini memiliki persamaan yakni merupakan landasan untuk penentuan strategi perusahaan dalam mencapai Sustaianable Competitive Advantage (SCA). Adapun perbedaannya, RBT fokus pad apencapaian distinctive competency dibandingkan pesaing karena FBT melihat perusahaan yang memiliki SCA adalah perusahaan yang memiliki kompetensi yang lebih unggul dibandingkan pesaing. Sementara itu, TIO fokus pada struktur pasar, sehingga strategi perusahaan ditujukan untuk mencapai market power. Contohnya strategi untuk menjaga agar tidak ada new entrant, dan lain-lain. Adapaun Austrian School, berupaya menjelaskan bahwa SCA dapat dimiliki perusahaan jika perusahaan secara terus menerus melakukan inovasi dan juga tedapat faktor entrepreneurial discovery.

Competition for the market dan competition in the market. Ketiga teori di atas (RBT, TIO, AuS) lebih tepat digunakan untuk menganalisis competition in the market, yakni kondisi dan karakter persaingan yang ditemui setelah perusahaan memasuki pasar/industri tertentu. Dinamika persaingan dalam konteks competition for the market dapat dilihat dari aspek outside, bagaimana interaksi antar dua atau lebih pemain dapat menyebabkan perubahan industri. Dinamika persaingan diwarnai dengan aksi-reaksi dan action yang mengakibatkan perubahan ekspektasi payoff lawan (strategic moves). Strategic moves penting karena mengandung irreversible dan ada impact terhadap perhitungan long run payoff. Pertimbangan yang penting dalam competition for the market adalah apakah setelah masuk ke industri tertentu mendapat profit (profit after entry), selain apakah sunk cost dapat dikelola untuk mendukung dicapainya Sustainable Competitive Advantage. Sunk cost yang berasal dari eksternal (exogenous) seperti plant dan mesin-mesin memiliki resiko untuk ditiru oeh pesaing, sementara sunk cost yang bersumber dari internal (endogenous) seperti aktivitas R&D dan advertising disebabkan karena proses yang spesifik relatif lebih sulit ditiru.

Interaksi dua arah antara proses penciptaan CA dengan dinamika industri dan persaingan yang terjadi dapat digambarkan menggunakan perkembangan evolusi persaingan: first mover advantage, imitation and improvement by follower, creating impediment to imitation, overcomming the impediment, serta leapfrogging. Dalam first mover, membutuhkan ketrampilan inovasi, customer knowledge market penetration and marketing skill, dan flexible manufacturing skill. Melihat karakternya, strategi RBT cenderung lebih cocok sebagai first mover advantage. Dalam imitation and improvement by follower diperlukan appropriability, dominan design paradigm, dan complementary asset.

Austrian School yang kemudian dikembangkan dalam hypercompetition cocok untuk mengalisa dinamika persaingan bisnis dengan kandungan teknologi tinggi, di mana aktivitas R&D juga tinggi, dan tuntutan terhadap intellectual property right (IPR) tinggi. Dengan karakter seperti ini, strategi persaingan untuk memenangkan competition for the market sebaiknya memperhatikan konsep hypercompetition ini.*****

Konflik Strategi

Artikel Carl Shapiro yang dipublikasikan pada tahun 1989 berjudul “The Theory of Business Strategy,” memperkenalkan pendekatan baru dalam strategi bisnis. Pendekatan ini menggunakan perangkat game theory untuk menganalisis persaingan yang terjadi di antara perusahaan pesaing. Pokok utamanya adalah menyatakan bagaimana suatu perusahaan dapat mempengaruhi perilaku dan tindakan perusahaan pesaingnya, juga mempengaruhi lingkungan pasar. Contoh dari langkah-langkah tersebut adalah investasi pada kapasitas (Dixit (1980), R&D (Gilbert dan Newberry, 1982), dan periklanan (Scmalensee, 1983). Agar menjadi efektif, langkah-langkah pada strategi ini menghendaki suatu komitmen yang tidak dapat diubah. Kuncinya adalah dengan memanipulasi lingkungan pasar, suatu perusahaan akan mampu untuk meningkatkan keuntungannya.

Literatur ini, bersamaan dengan literature persaingan (Baumol, Panzar, dan Willig, 1982), menunjukkan apresiasi yang lebih besar dari peranan sunk cost, sebagai kebalikan biaya tetap, dalam menentukan hasil yang kompetitif. Langkah-langkah strategis juga dapat didesain untuk mempengaruhi perilaku pesaing melalui pemberian isyarat. Pemberian isyarat yang strategis telah diuji dalam berbagai konteks, termasuk penyerangan harga (Kreps dan Wilson, 1982a, 1982b) dan pembatasan harga (Milgrom dan Roberts, 1982a, 1982b). Ancaman baru ditekankan pada peranan komitmen dan reputasi (Ghemawat, 1991) dan keuntungan perusahaan secara serentak mengejar persaingan dan kerja sama (Brandenburger and Nalebuff, 1995, 1996).

Pada sebagian besar perusahaan, game theory membentuk argumen intuisi yang panjang mengenai beragam tipe perilaku bisnis (misalnya penyerangan harga, patent races), walaupun di beberapa perusahaan game theory mempengaruhi suatu perubahan besar pada kebijaksanaan konvensional. Tetapi dengan merasionalisasikan perilaku yang telah diobservasi menjadi desain permainan yang pantas, dalam menjelaskan seluruhnya model ini juga tidak menjelaskan apapun, jika tidak menghasilkan kemampuan untuk memprediksi (Sutton, 1992). Banyak model permainan teoritis spesifik yang memberikan berbagai keseimbangan, dan keleluasaan dalam memilih ketika mendesain bentuk permainan yang tepat untuk digunakan. Sayang, hasilnya sering tergantung pada ketepatan speifikasi yang dipilih. Keseimbangan pada model perilaku strategis sangat bergantung pada apa yang dipercayai oleh satu pesaing bahwa pesaing lainnya akan bertindak pada situasi tertentu. Dengan demikian, keistimewaan kualitatif dari hasil tersebut mungkin tergantung pada cara yang digunakan untuk menjadikan persaingan harga yang ada menjadi suatu model (misalnya pada Bertrand atau Cournot) atau tergantung pada keberadaan asimetris strategis seperti pada first mover advantage. Analisis langkah-langkah strategis dengan menggunakan game theory dapat disebut sebagai ‘dinamika’ pada pengertian bahwa analisis pada berbagai periode dapat menghasilkan intuisi dan formalitas. Bagaimanapun juga, penelitian ini menggunakan bentuk ‘dinamika’ dengan pengertian yang berbeda, tergantung pada situasi dimana terdapat perubahan yang cepat dalam teknologi dan kekuatan pasar dan pengaruh ‘arus balik’ pada perusahaan.

Studi ini menggunakan pandangan tertentu terhadap konteks tersebut di mana literature konflik strategis relevan dengan manajemen strategis. Perusahaan yang memiliki biaya yang sangat besar atau keuntungan kompetitif lainnya saling berhadapan dengan para pesaingnya seharusnya tidak diserang oleh para pesaingnya. Persaingan mereka akan lebih mengarah pada kondisi permintaan total, bukan pada bagaimana para pesaing mengerahkan asset-aset kompetitif mereka. Tanamkan dengan berbeda, pada saat terdapat asimetris yang mencolok pada keunggulan bersaing diantara perusahaan, hasil dari analisis permainan teoritis mungkin menjadi jelas dan tidak menarik. Pesaing yang lebih kuat biasanya akan mengalami kemajuan, bahkan ketika dirugikan oleh informasi asimetris tertentu. Untuk lebih meyakinkan, perusahaan incumbent dapat terlepas dari pendatang baru dengan keuntungan biaya yang sangat besar, tetapi tanpa ‘permainan’ akan membalikkan hasil tersebut. Di sisi lain, jika posisi persaingan perusahaan lebih seimbang, seperti pada Coke dan Pepsi, dan United Airlines dan American Airlines, maka konflik strategis kurang menarik pada hasil kompetitif. Terdapat banyak keadaan seperti itu, tetapi jarang terdapat pada industri di mana perubahan teknologi cepat dan keadaan pasar yang cepat bergeser.

Singkatnya, dimana para pesaing tidak memiliki keuntungan kompetitif yang tinggi, langkah dan tindakan para pesaing sering menjadi formulasi yang berguna pada permainan teoritis. Bagaimanapun juga, dapat diragukan bahwa game theory dapat menjelaskan secara detail bagaimana Chrysler harus bersaing melawan Toyota dan Honda, atau bagaimana United Airlines dapat membalas Southwest Airlines sejak keunggulan Southwest dibangun pada atribut organisasi yang tidak dapat ditiru oleh United Airline. Tentu saja, strategi kewirausahaan sering diabaikan pada pendekatan permainan teoritis. Oleh karena itu, pendekatan ini sangat relevan pada saat para pesaing benar-benar melakukan persaingan dan jumlah persaing relevan dan alternatif strategi mereka dapat diketahui. Meskipun demikian, jika dirangkaikan dengan pendekatan lainnya dapat menghasilkan pengetahuan yang sangat berguna.

Bagaimanapun juga, penelitian ini berorientasi pada bentuk kerangka yang lengkap dari pokok strategis. Penyerangan dari perspektif teori permainan, pada akhirnya hasil dari kemampuan intelektulal manajer, yaitu ‘mengikuti permainan.’ Ungkapan yang tepat untuk pendekatan ini adalah ‘Lakukanlah sebelum mereka yang melakukan’. Terdapat kekhawatiran bahwa daya tarik pada tindakan strategis dan trik pengikut Machiavelli akan mengalihkan para manajer dari pencarian terhadap sumber-sumber keunggulan kompetitif. Sayangnya, Pendekatan ini mengabaikan persaingan sebagai suatu proses yang melibatkan departemen, akumulasi, kombinasi dan proteksi pada keahlian dan kemampuan yang unik. Sejak interaksi strategis menerima perhatian yang lebih, kesan seseorang yang mungkin menerima dari literature ini bahwa keberhasilan pada penempatan pasar merupakan hasil dari pengalaman bermain, ketika secara umum kasusnya sama sekali berbeda.

Penelitian ini menyatakan bahwa pembangunan dinamika dari suatu perusahaan bisnis – sesuatu yang tertinggal dari dua pendekatan yang telah dikenalkan – mempertinggi kemungkinan untuk membangun deskripsi teori strategi yang dapat diterima yang dapat membantu para praktisi dalam membangun keuntungan jangka panjang dan fleksibilitas persaingan.***

Penciptaan Daya Saing Nasional

Daya saing Nasional (Competitive Advantage of The Nations). Teori Porter tentang daya saing nasional berangkat dari keyakinannya bahwa teori ekonomi klasik yang menjelaskan tentang keunggulan komparative tidak mencukupi, atau bahkan tidak tepat. Menurut Porter, suatu negara memperoleh keunggulan daya saing / competitive advantage (CA) jika perusahaan (yang ada di negara tersebut) kompetitif. Daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan industri melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya. Perusahaan memperoleh (CA) karena tekanan dan tantangan. Perusahaan menerima manfaat dari adanya persaingan di pasar domestik, supplier domestik yang agresif, serta pasar lokal yang memiliki permintaan tinggi. Perbedaaan dalam nilai-nilai nasional, budaya, struktur ekonomi, institusi, dan sejarah semuanya memberi kontribusi pada keberhasilan dalam persaingan. Perusahaan menjadi kompetitif melalui inovasi yang dapat meliputi peningkatan teknis proses produksi atau kualitas produk. Selanjutnya Porter mengajukan Diamond Model (DM) yang terdiri dari empat determinan (faktor – faktor yang menentukan) National Competitive Advantage (NCA). Empat atribut ini adalah: factor conditions, demand conditions, related and supporting industries, dan firm strategy, structure, and rivalry.

Factor conditions mengacu pada input yang digunakan sebagai faktor produksi, seperti tenaga kerja, sumber daya alam, modal dan infrastruktur. Argumen Poter, kunci utama faktor produksi adalah “diciptakan” bukan diperoleh dari warisan. Lebih jauh, kelangkaan sumber daya (factor disadvantage) seringkali membantu negara menjadi kompetitif. Terlalu banyak (sumber daya) memiliki kemungkinan disia-siakan, ketika langka dapat mendorong inovasi.

Demand conditions, mengacu pada tersedianya pasar domestik yang siap berperan menjadi elemen penting dalam menghasilkan daya saing. Pasar seperti ini ditandai dengan kemampuan untuk menjual produk-produk superior, hal ini didorong oeh adanya permintaan barang-dan jasa berkualitas serta adanya kedekatana hubungan antara perusahan dan pelanggan.

Related and Supporting Industries, mengacu pada tersedianya serangkaian dan adanya keterkaitan kuat antara industri pendukung dan perusahaan, hubungan dan dukungan ini bersifat positif yang berujung pada penngkatan daya saing perusahaan. Porter mengembangkan model dari faktor kondisi semacam ini dengan industrial clusters atau agglomeration, yang memberi manfaat adanya potential technology knowledge spillover, kedekatan dengan dengan konsumer sehingga semakin meningkatkan market power.

Firm strategy, Structure and Rivalry, mengacu pada strategi dan struktur yang ada pada sebagian besar perusahaan dan intensitas persaingan pad aindustri tertentu. Faktor Strategy dapat terdiri dari setidaknya dua aspek: pasar modal dan pilihan karir individu. Pasar modal domestik mempengaruhi strategi perusahaan, sementara individu seringkali membuat keputusan karir berdasarkan peluan dan prestise. Suatu negara akan memiliki daya saing pada suatu industri di mana personel kuncinya dianggap prestisious. Struktur mengikuti strategi. Struktur dibangun guna menjalankan strategi. Intensitas persaingan (rivalry) yang tinggi mendorong inovasi.

Porter juga menambahkan faktor lain; peran pemerintah dan chance, yang dikatakan memiliki peran penting dalam menciptakan NCA. Peran dimaksud, bukan sebagai pemain di industri, namun melalui kewenangan yang dimiliki memberikan fasilitasi, katalis, dan tantanan bagi industri. Pemerintah menganjurkan dan mendorong industri agar mencapai level daya saing tertentu. Hal – hal tersebut dapat dilakukan pemerintah melalui kebijakan insentif berupa subsidi, perpajakan, pendidikan, fokus pada penciptaan dan penguatan factor conditions, serta menegakkan standar industri.
Poin utama dari DM, Porter mengemukakan model pencitpaan daya saing yang self-reinforcing, di mana persaingan domestik men-stimulasi tumbuhnya industri dan secara bersamaan membentuk konsumer yang maju (sophisticated) yang selalu menghendaki peningkatan dan inovasi. Lebih jauh DM juga mempromosikan industrial cluster. Kontribusi Porter menjelaskan hubungan antara firm-industry-country, serta bagaimana hubungan ini dapat mendukung negara dan sebaliknya.

Dalam perkembangan selanjutnya Teori DM Porter ini banyak mendapat kritik dari peneliti dan akademisi, antara lain ada yang mengatakan bahwa DM dibangun dengan pendekatan studi kasus dari 10 negara maju sehingga cenderung hanya dapat diaplikasikan untuk negara – negara maju saja. Kritik ini mengakatan DM Porter agak sulit diterapan di negara berkembang dan atau negara kecil yang domestic demand-nya juga kecil. Selain itu, argumen Porter bahwa hanya arus keluar Foreign Direct Investment (FDI) yang berguna bagi penciptaan CA, sementara arus masuk FDI tidak serta merta meningkatkan domestic CA, argumen ini dikatakan hanya didukung oleh bukti empiris yang sangat sedikit, pada kenyataannya, arus masuk FDI ikut pula berperan dalam meningkatkan factor conditions. Kritik lain, DM tidak secara spesifik membahas peran Multi National Company (MNC), padahal ada bukti yang menunjukkan bahwa sukses DM juga dipengaruhi oleh eksistensi bisnis internasional.

Rugman dan D’Cruz – Double Diamond Model (DDM),
Perbedaaan utama dari DDM dan DM terletak pada upaya Rugman dan D’Cruz mengisi kekosongan (gap) yang ditinggalkan oleh Porter, yakni pada international competitiveness. DDM menjelaskan bagaimana suatu interdependensi ekonomi (regionalisasi dan globalisasi) mempengaruhi interaksi suatu industri dan bahkan sampai ke level perusahaan. Dlam DDM, faktor penentu CA tidaklah semata berasal dari negara asal (local enfironment) melakinkan juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang berkembang di negara lain.

Cho: Nine-Factor Model
Cho (1994) berargumen bahwa Model Diamond Porter memiliki keterbatasan ketika diaplikasikan di negara – negara sedang membangun seperti Korea. Cho menambahkan pentingnya peran faktor manusia dan perbedaan type faktor fisik dalam menjelaskan daya saing nasional. Faktor manusia termasuk pekerja, politisi/ birokrat, pengusaha, dan profesional. Faktor fisik termasuk sumber daya nasional yang dimiliki, permintaan domestik, industri pendukung dan terkait, serta lingkungan bisnis lainnya. Satu faktor luar, peluang, ditambahkan untuk melengkapi sebagai paradigma baru dalam model sembilan-faktor (MSF).

Perbedaan antara MSF dan DM terletak pada pembagian faktor dan dalam penambahan faktor-faktor baru. MDP memasukkan sumber daya alam dan pekerja ke dalam factor conditions, di pihak lain MSF menempatkan sumber daya alam ke dalam kelompok sumber daya yang sudah dimiliki (endowed resources), sementara faktor pekerja memiliki kesamaan. Daya saing internasional diperoleh melalui faktor manusia yang mampu memobilisasi faktor fisik.

Daya saing hanya berarti di antara negara-negara yang memiliki kesamaan comparative advantage yang bersaing dalam industri sejenis. Dengan kata lain, posisi daya saing relatif di antara negara-negara sejenis dalam tahapan pembangunan ekonomi, namun bukan di antara semua negara di dunia, merupakan elemen penting bagi daya saing sebuah negara.

Richard Vietor, How Countries Compete?
Pemerintah perlu membantu negara dalam persaingan. Negara bersaing untuk berkembang. Hal ini merupakan salah satu hasil globalisasi. Negara bersaing untuk memperoleh pasar, teknologi, ketrampilan dan investasi, Negara bersaing untuk tumbuh dan meningkatkan standar hidup rakyatnya, mengurangi kemiskinan, mengakomodasi urbanisasi, dan menciptakan lapangan pekerjaan. Dalam lingkungan yang kompetitif ini, adalah pemerintah, secara bervariasi, yang menyediakan keunggulan distinctive kepada perusahaan berupa: tingkat tabungan yang tinggi dan bunga rendah bagi investasi, perlindungan hak cipta dan god governance, tenaga kerja yang komit, termotivasi dan paham teknologi, tingkat inflasi yang rendah, serta pasar domestik yang tumbuh dengan cepat.

Pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan keamanan, memastikan berfungsinya kontrak (perdata), mengelola ekonomi makro, meminimalkan resiko, serta menyiapkan kebijakan industri. Semua ini dilakukan dengan menciptakan dan melestarikan berbagai institusi – politik, sosial, dan ekonomi melalui kemampuan masyarakat dalam berinteraksi dan bersaing. Pemerintah juga memiliki tanggung jawab besar tidak hanya dalam kebijakan fiskal dan moneter yang keduanya secara bersama berpengaruh terhadap kinerja ekonomi, namun juga dalam pembuatan kebijakan di sektor perumahan, pendidikan, kesehatan, penelitian dan pengembangan, serta pertahanan. Di pihak lain perusahaan membutuhkan nilai tukar yang kompetitif, perlindungan hak cipta, distribusi pendapatan yang seimbang, sesedikit mungkin korupsi, beberapa kebijakan hambatan perdagangan (trade barriers). Semua ini dapat dilayani kebijakan pemerintah yang efektif, oleh karenanya strategi pemerintah sangat penting dan setiap birokrat pemerintah bertanggung jawab terhadap terciptanya kebijakan yang efektif tersebut.

Vietor mengajukan tiga kerangka analisis. Pertama, memahami kondisi saat ini, manajer harus memiliki kemampuan untuk menganalisa strategi dan struktur organisasi nation-state, dalam hal bagaimana mereka menyesuaikan diri dengan konteks sosial politik dan bagaiana mereka mempengaruhi kinerja ekonomi. Kedua, karena manajer pada umumnya lebih tertarik pada “kemana arah pembangunan” dari pada “di mana posisi negara pada saat ini” , maka perlu dipikirkan tentang masa depan, dalam konteks ini akan bermanfaat untuk mempelajari trajectory atau roadmap rencana pembangunan jangka panjang (RPJP). Meskipun disadari bahwa RPJP dapat berubah sewaktu-waktu – karena perang, kelangkaan pangan atau energi, huru-hara politik, atau turbulensi ekonomi – namun ketika perubahan mendadak tidak terjadi, pelaku ekonomi dapat memperkirakan kinerja dan indikator-indikator ekonomi yang dapat menjadi acuan bagi keputusan investasi dan bisnis. Ketiga, dengan tersedianya RPJP, pelaku ekonomi dapat merancang senario sederhana tentang apa yang akan dilakukan dalam jangka pendek ke depan, dengan mengajukan alternatif pesimis atau optimis.

Teori DM Porter menjelaskan bagaimana suatu negara dapat mencapai NCA, diamon model yang digunakan sebagai tools of analysis mendapat kritik dari akademisi dan peneliti lain. Arguman pengritik dapat dipahami karena mereka melihat dari perspektif lain yang lebih luas berdasar data yang berbeda dari yang digunakan Porter ketika mengembangkan model diamond. Perbedaan – perbedaan ini tidak mengurangi esensi dari penciptaan NCA yang berada pada firm dan industri. Baik Porter, Rugman, Cho dan Vietor memiliki kesepahaman tentang peran pemerintah dalam menciptakan daya saing nasional.*****