Monday, November 19, 2007

Menunggu Gebrakan Povider Selular Pendatang Baru

Sekarang ini semakin menjamur provider selular baru di Indonesia (Smart, Ceria, Esia, Three, NTS). Berbagai jurus dikerahkan agar bisa menembus pasar serta untuk menarik perhatian konsumen. Mulai dari perang harga tarif, layanan yang inovatif hingga promo iklan dengan model yang cantik. Bagaimanakah gebrakan yang dilakukan oleh para provider selular pendatang baru tersebut? Ditinjau dari layanan inovatifnya, harga tarif yang ditawarkan, sampai iklan yang begitu gencar.

Sebagai pendatang baru (new entrants) dalam suatu industri, tantangan pertama yang harus dihadapi adalah bagaimana memperkenalkan (introduce) produk dan layanan mereka supaya terlihat berbeda dari yang sudah ada (incumbent). Tidak hanya berbeda, namun dapat memberikan manfaat (value) yang lebih baik dari layanan incumbent. Manfaat dapat berupa layanan yang lebih baik, maupun harga yang lebih murah. Layanan lebih baik seperti misalnya, coverage yang seluas-luasnya (berbeda dari strategi incumbent yang mulai membangun secara bertahap sesuai dengan perkembangan pasar, new entrant – terpaksa - harus membangun jaringan secara serentak, sehingga pada hari pertama diluncurkan sudah meng-cover seluruh wilayah Indonesia), tidak hanya melayani komunikasi suara, namun juga data, gambar, dan akses Internet, serta inovasi model bisnis pada jalur distribusi. Kombinasi inovasi layanan, promosi melalui iklan yang cukup gencar, dan tarif yang relatif lebih murah dari incumbent diharapkan dapat mempengaruhi pelanggan telepon incumbent untuk pindah dan atau calon pelanggan (yang belum pernah menggunakan telepon) untuk memilih produk new entrant sebagai layanan telepon pertama kali.

Pertanyaannya, ditengah-tengah ramainya pasar telekomunikasi di Indonesia sekarang, efektifkah usaha itu? Dari bincang- bincang dengan rekan – rekan operator selular yang tergolong new entrant dapat saya klasifikasikan tingkat keberhasilan mereka. Pertama yang menyatakan puas karena berhasil mencapai target (penerbitan jumlah nomor telepon yang diserap pasar), dan kedua yang belum berhasil mencapai target. Yang mencapai target, jika diteliti lebih jauh ternyata majoritas pengguna berasal dari captive market, karyawan group perusahaan, relasi bisnis, anggota keluarga yang jumlahnya mencapai lebih dari satu juta. Yang belum mencapai target, mereka menghadapi persaiangan tajam yang sudah menjadi karakter industri telekomunikasi pada saat ini. Jadi agar dapat efektif ternyata tidak cukup hanya inovasi, promosi dan tarif yang murah namun masih diperlukan strategi lain, memperoleh captive market pada tahap awal guna memastikan posisi di pasar.

Kemudian, kira-kira mampukah mereka bersaing dengan provider yang jam terbangnya sudah tinggi? Dalam persaingan bisnis (termasuk persaingan di bisnis telekomunikasi) jam terbang (tenure) yang mencerminkan pengalaman, tidak selalu menjamin tercapainya keunggulan daya saing yang berkelanjutan (sustainable competitive advantage), masih ada faktor – faktor lain yang dapat digunakan sebagai strategi untuk mengalahkan pesaing. Artinya, sepanjang new entrant dapat mengemas sumber daya perusahaan ke dalam strategi bisnis yang sesuai dengan (fit in) dinamika pasar, dapat saja new entrant dalam waktu singkat mengungguli incumbent.

Lalu, bagaimana antusiasme konsumen dengan adanya penawaran yang semakin bervariasi untuk kebutuhan telepon selular pada saat ini? Konsumen telekomunikasi pada hari ini lebih beruntung dari pada konsumen di masa lalu, ketika pasar telekomunikasi masih monopoli. Keuntungan ini diperoleh dari adanya struktur pasar yang kompetitif. Hakikat persaingan pada dasarnya memberikan berbagai pilihan kepada konsumen. Konsekuensinya, layanan yang buruk, tarif yang mahal akan ditinggalkan oleh pelanggan. Jika kita cermati, pada saat ini pelanggan telekomunikasi berada pada posisi tawar yang lebih baik dibanding posisi operator. Pelanggan yang tidak puas dengan suatu layanan dapat dengan mudah “membuang” nomor lamanya dan beralih ke nomor baru milik operator pesaing. Kondisi semacam ini mau tidak mau mendorong operator untuk terus menerus memberi layanan yang lebih baik kepada pelanggan, agar pelanggan “tidak pindah ke lain hati”.

Dan bagaimana usaha provider selular yang lama, semacam Simpati, Indosat, XL, Mobile 8, dalam pasar telekomunikasi yang semakin panas untuk mempertahankan pelanggannya? Operator lama / incumbent (Telkomsel, Indosat, XL, Mobile-8) sama saja, mereka-pun terdorong dalam suasana kompetisi yang mau tidak mau harus dihadapi. Dilihat dari keberadaannya, incumbent lebih beruntung karena sudah lebih dahulu eksis di pasar, dan sudah pada tahap melaksanakan strategi customer retention, sementara new entrant masih sibuk dengan strategi customer acquisition.


Serta, bagaimana idealnya cara yang dipakai untuk mendongkrak pasar bagi provider selular baru? Seperti saya jelaskan di muka, bagi new entrant strategi yang pada umumnya dipilih adalah menawarkan harga yang lebih murah dari incumbent. Namun demikian, strategi ini pun sebaiknya tidak berlangsung lama, terutama jika jumlah pelanggan baru tidak segera mencapai angka minimal tertentu (break even point). Artinya, pada kondisi pasar tertentu, strategi harga murah sudah tidak dapat lagi diterapkan, karena faktor internal terkait dengan profitabilitas dan kondisi keuangan perusahaan, dan faktor eksternal pasar sudah menuntut kualitas yang lebih baik, tidak sekedar harga murah.

Pertanyaan lain, sampai berapa lama kira-kira mereka (seluruh provider selular di Indonesia) mampu bertahan di pasaran? Adakah satu diantara mereka yang tumbang? Berbeda dengan industri lain (misal penyiaran) yang ramai – ramai melakukan konsolidasi (merger dan akuisisi), industri telekomunikasi Indonesia yang saya perkirakan masih akan tumbuh dalam 10 sampai 20 tahun mendatang, dan struktur pemilikan saham hampir semuanya dimiliki oleh investor asing yang modalnya besar sekali, saya memperkirakan semua operator telekomunikasi akan bertahan. Jikapun ada yang merugi, besar kemungkinan karena salah pengelolaan, dan pun akan diakuisisi oleh operator lain.*****

Friday, November 09, 2007

Mencari Solusi Optimal Masalah SLJJ

Di koran elektronik Detik.com edisi Selasa, 30/10/2007 17:14 WIB, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) Giri Suseno Hadihardjono dikutip menyatakan "Terkait kode akses SLJJ, pemerintah harus jelas dalam bersikap. Diperlukan ketegasan pemerintah, gitu aja," Selanjutnya Pak Giri menambahkan, Pemerintah, bagaimanapun juga harus melihat kerangka yang lebih luas dan utuh sebelum mengambil keputusan terkait kode akses SLJJ. "Kita tidak bisa melihat sepotong-potong masalah ini. Inilah yang kita minta kepada pemerintah untuk melihat secara utuh persoalannya,"

Pembukaan kode akses Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) merupakan keputusan publik yang diterbitkan melalui Peraturan Menteri. Kebijakan ini dimaksudkan sebagai sarana mewujudkan industri telekomunikasi yang kompetitif, menyusul perubahan struktur industri yang semula monopoli menjadi kompetisi. Kode akses SLJJ diperlukan untuk mengakomodasi bertambahnya operator telepon tetap kabel (PSTN), mengingat konfigurasi jaringan telepon kabel nasional terdiri dari sejumlah jaringan telepon lokal. SLJJ berfungsi menghubungkan antar-jaringan lokal. Pada saat ini operator telekomunikasi yang memiliki izin jaringan telepon lokal kabel adalah Telkom, Indosat, dan Batam-Bintan Telekom. Dua yang pertama beroperasi secara nasional, sementara yang terakhir hanya melayani di wilayah Pulau Batam dan Bintan saja.

Untuk dapat ber-SLJJ setiap jaringan lokal diberi kode akses. Jakarta 021, Surabaya 031, Bandung 022, dan seterusnya. Karena sifatnya monopoli, kode akses ini dikuasai untuk operasional Telkom. Setelah ada dua operator telepon tetap, muncul pertanyaan, kode akses 021 itu milik Telkom atau kota Jakarta? Bagi pihak Telkom tentu jawabnya “milik Telkom – Jakarta”. Persoalannya, bagaimana bila pelanggan PSTN Indosat di kota Surabaya hendak menelpon sesama pelanggan PSTN Indosat di kota Jakarta? Dalam konfigurasi yang berlaku saat ini, maka sambungan semacam ini masih melewati fasilitas Telkom, sehingga Indosat dikenai biaya interkoneksi. Bagi Telkom menguntungkan, tidak demikian bagi Indosat.

Regulasi pembukaan kode akses SLJJ dimaksudkan pula menambah sumber daya telekomunikasi sehingga pengguna jasa telekomunikasi memiliki alternatif. Jika tujuan regulasi positif, mengapa Telkom berusaha keras menolak kebijakan tersebut? Benarkah masyarakat pengguna jasa telekomunikasi PSTN diuntungkan dengan pembukaan kode akses SLJJ?
Teori Network Eksternaliti (positif) menyatakan bahwa semakin banyak orang yang membeli suatu produk, maka manfaat produk tersebut akan semakin besar. Dalam kontek jaringan telekomunikasi, manfaat jaringan berbanding lurus dengan jumlah simpul jaringan. Artinya, suatu jaringan yang anggotanya masih sedikit, dalam waktu singkat akan meningkat manfaatnya (value) bila dapat tersambung ke jaringan yang lebih besar. Dari perspektif makro manfaat ketersambungan jaringan akan meningkat, namun demikian apabila dilihat dari sudut pandang mikro, operator baru (dengan pelanggan sedikit) diuntungkan, sebaliknya operator dengan pelanggan lebih besar dapat dirugikan.

Argumen inilah yang menjadi salah satu alasan penolakan Telkom, yang merasa telah bertahun – tahun mewarisi dan mengembangkan jaringan lokal dan berhasil mengumpulkan pelanggan hingga hampir 10 juta. Sementara Indosat, yang memiliki izin PSTN, konon baru mengumpulkan kurang dari 100 ribu nomor pelanggan, itupun berasal dari pelanggan korporasi di kota – kota besar yang relatif lebih mudah membangunnya dari pada profil pelanggan Telkom yang lebih banyak pelanggan rumahan di seluruh Indonesia. Total jumlah pelanggan Indosat sendiri sudah di atas 10 juta, namun sebagian besar pelanggan telepon selular yang memang menjadi fokus utama bisnis Indosat.

Dalam ketidak-seimbangan jumlah pelanggan, meski dengan asumsi tarif layanan sama, Telkom khawatir, akan lebih banyak pelanggannya yang lari ke Indosat dari pada sebaliknya. Misalnya, tingkat perpindahan pelanggan (swing) 10%, maka Telkom akan kehilangan 1 juta, sementara Indosat hanya berkurang 10 ribu. Atau dengan kata lain 990 ribu pelanggan merupakan net loss bagi Telkom namun menjadi net gain bagi Indosat. Padahal, effort yang dikeluarkan Telkom untuk menghimpun sekian juta pelanggan sudah bertahun – tahun, sementara Indosat memperolehnya dalam waktu yang relatif singkat dan dengan cara yang mudah dan murah.

Kerugian lain yang akan ditanggung Telkom adalah biaya peralihan dan perubahan pada sentral telepon otomat (STO) di lokasi yang akan dibuka SLJJ-nya. Secara teknis, pembukaan kode akses berarti penambahan digit pada nomor telepon. Untuk kota-kota besar yang STO-nya sudah digital sebagian besar dapat mengelola nomor hingga 15 digit, di pihak lain, masih banyak sekali STO Analog atau Digital generasi pertama yang hanya mampu mengelola nomor hingga 12 digit. Artinya, jika pembukaan kode akses berlaku seluruh Indonesia, Telkom akan terbebani biaya peremajaan STO yang menurut pengurus Sekar Telkom mencapai Rp. 4 Trilyun.


Argumen dan contoh di atas, masih mengandung kelemahan, pertama manajemen perusahaan tidak memahami profil pelanggan sendiri, kedua mengesampingkan eksistensi layanan selular sebagai substitusi PSTN, dan ketiga tidak menyadari kekuatan yang pada internal Telkom. Sebagai perusahaan yang sudah berusia lebih dari separo abad, layak dipertanyakan apakah Telkom sudah memiliki strategi Customer Retention, mengelola pelanggan agar supaya loyal dalam mendukung perusahaan mencapai Sustainable Competitive Advantage. Jika ada perubahan struktur pasar, manajer dan pegawai masih khawatir pelanggan akan lari ke kompetitor, hal ini menjadi indikasi belum dimilikinya strategi tersebut, atau masih asyik bermain di tahap perebutan pelanggan (Customer Acquisition). Di pihak lain, mesti diakui bahwa layanan selular sudah lama menjadi substitusi layanan PSTN. Bahkan ketika sedang di rumah-pun semakin banyak orang yang lebih suka ber-handphone dari pada menggunakan telepon meja. Artinya, penggerusan sumber pendapatan Telkom dari kue bisnis telekomunikasi yang terus berkembang telah lama terjadi, bukan akan terjadi setelah dibukanya kode akses SLJJ. Selain itu, jika mengacu nasihat pakar psikologi tentang fenomena gajah dirantai, reaksi penolakan yang ditunjukkan pihak Telkom, secara tidak langsung menunjukkan bahwa Telkom yang besar dan memiliki dominant power ternyata masih bernyali kecil menghadapi persaingan. Bukankah dengan jajaran SDM yang loyal, kecintaan dan kebanggaan masyarakat Indonesia kepada Telkom sebagai BUMN perjuangan, dan pimpinan yang berkualitas semua itu menjadi aset perusahaan yang nilainya besar sekali?

Jika Telkom merasa akan dirugikan dan Indosat akan diuntungkan, bagaimana dengan masyarakat, khususnya pengguna telepon tetap kabel? Dalam jangka panjang akan diuntungkan karena ada kompetisi yang berarti tersedia alternatif. Kompetisi pada umumnya menghasilkan industri yang efisien. Dalam jangka pendek, pembukaan kode akses, berdampak pada perubahan tata nomor, yang artinya semua pelanggan PSTN (majoritas pelanggan Telkom) harus mengubah nomor telepon yang tertera di papan nama, kop surat, kartu bisnis, Buku Kuning, dan lain sebagainya, yang biaya ekonomis dan sosialnya lumayan besar namun sulit dihitung.

Memperhatikan benturan kepentingan sebagaimana dikemukakan di atas ada beberapa proposisi yang layak dipertimbangkan. Pertama, jika disadari suatu kebijakan dan atau regulasi berdampak win-loss pada objek yang diatur, sementara bila dilihat dari majoritas kepemilikan saham, kerugian terjadi pada sisi nasional dan kemenangan berada di pihak asing, ada baiknya regulator meninjau ulang kebijakan tersebut. Inilah barangkali yang dimaksud Ketua Umum Mastel melalui pernyataannya yang dikutip di atas.
Kedua, menggunakan azas pemerataan dan keadilan, pembukaan kode akses SLJJ dilakukan secara bertahap (seperti kebijakan yang sudah ada) namun bukan dari kota-kota besar yang merupakan wilayah penghasil utama revenue Telkom, melainkan dari kota – kota kecil yang belum menjadi perhatian Telkom. Dampak dari pendekatan ini, diharapkan Indosat akan terpacu untuk membangun jaringan PSTN, memenuhi komitmen perizinan modern yang dimilikinya, menambah penetrasi dan pemerataan layanan telekomunikasi, dan bagi pihak Telkom bukan dianggap sebagai ancaman yang akan mengurangi potensi pendapatannya.

Ketiga, untuk pembukaan kode akses SLJJ di kota-kota besar baru dapat dilaksanakan ketika proporsi jumlah pelanggan Indosat dan Telkom sudah berimbang, misal menggunakan rasio 2:1. Artinya jika di suatu kota jumlah pelanggan Telkom mencapai 1 juta, maka kode akses SLJJ untuk kota tersebut baru dibuka ketika jumlah pelanggan PSTN Indosat sudah mencapai sedikitnya 500 ribu.

Dengan tiga langkah di atas, mudah-mudahan semua pihak: Pemerintah, Telkom, Indosat dan masyarakat akan merasa diuntungkan.*****

Tuesday, November 06, 2007

Serba – Serbi Falsafah Hidup Orang Jawa

Mas Wibowo Brojonegoro, mantan Boss saya di ARCO menulis di milist tentang filosofi orang Jawa "Mikul duwur, mendem jero". Mikul artinya memikul atau memanggul atau mengangkat, misalnya kalau kita melayat orang meninggal maka peti mati akan diangkat oleh beberapa orang untuk dibawa kekuburan atau dimasukkan ke mobil janasah. Kebiasaan orang Jawa sebelum dimakamkan biasanya anggota keluarganya berjalan melalui bawah peti jenazah tadi tiga kali. Pada saat itulah peti mati tadi dipikul oleh beberapa orang, nah kalau orang2 yang memikul tersebut tinggi2, maka keluarga yang lewat bawah peti jenazah tadi gampang melewatinya. Itulah arti riel dari "Mikul Duwur". (Duwur artinya : Tinggi). Nah orang Jawa percaya juga bahwa lebih dalam kita menggali kubur; lebih baik. Itulah arti riel dari " Mendem Jero" atau memakamkan yang dalam.
Seperti sudah diduga, orang Jawa suka "sanepo" atau mengkiaskan, jadi inti yang lebih dalam dari "Mikul Duwur dan mendem Jero" adalah mengartikan kiasannya.

Mas Wibowo selanjutnya menyampaikan, kalau ada keluarga yang sederhana, misalnya seperti ayah beliau almarhum yang hanya lulus STM jaman Belanda dan seorang pemilik bengkel AC/ Kulkas di Jogya, kemudian apabila anak-anaknya menjadi orang-orang yang berhasil atau berpendidikan lebih tinggi, tidak melakukan kejahatan-kejahatan yang memalukan, maka orang Jawa akan bilang " Wah memang putra2nya Pak Sarwanto ( ayah beliau), benar-benar bisa “Mikul Duwur" yang maksudnya adalah berhasil "mengangkat derajat" orang tuanya, meskipun orang tua beliau tersebut telah meninggal dan tak bisa berbuat apa-apa lagi. Jadi, menurut Mas Wibowo, kita diharapkan tidak hanya mengangkat tinggi peti mati orang tua kita (arti riel-nya) namun yang lebih penting adalah "mengangkat derajat" orang tua kita meskipun beliau telah wafat (arti "sanepo" nya).

Nah "mendem jero" tak straight forward seperti mikul duwur. Disini diartikan untuk mengubur dalam-dalam atau melupakan kekurangan orang tua kita. Bagaiman ini bisa dilaksanakan? Sudah pasti diharapkan kita menutupi kekurangan orang tua-tua kita (inilah yang sering diperdebatkan, apakah ini baik atau buruk) . Kalau mereka pemabuk, maka kita tak boleh menceritakan kemana-mana, atau kalau orang tua kita masuk penjara maka hal mana kalau bisa disembunyikan. Mas Wibowo menceritakan, Eyang-eyang beliau mengajarkan: Yang penting kamu belajar yang baik, bertabiat yang baik, berkarya yang baik, jangan berbuat buruk, maka kamu akan sekaligus "mikul duwur dan mendem jero".

Kenapa begitu? memang begitulah adanya. Marilah kita ambil contoh : ada seorang anak tukang ojek yang pemabuk, namun anak tersebut berhasil menjadi pemain bola yang terkenal, maka dalam tulisan di koran-koran orang tak perduli apakah orang tuanya tukang ojek atau apa karena mereka terpaku oleh prestasi anaknya, dalam wawancara orang tua tersebut disanjung-sanjung dan hal dia pemabuk dan lain – lain sudah dilupakan orang, nah itulah contoh dari "mendem jero", kejelekan orang-oran tua kita sudah tak ada lagi, sudah dilupakan orang, karena prestasi kita.

Kalau Mas Wibowo mengingatkan kita dengan "Mikul Duwur Mendem Jero" sejatinya masih banyak lagi falsafah jawa lainnya yang layak dijadikan referensi dalam sikap hidup kita. Di kalangan "bawah" ada falsafah "mangan or mangan sing penting kumpul" ini falsafah yang mencerminkan rasa kekeluargaan, kebersaman dalam suka dan duka. Di sisi lain, falsafah ini juga punya sis negatif, menjadikan orang kurang bersemangat untuk meninggalkan lingkungan hidupnya yang bisa jadi sudah tidak dapat mendukung kesejahteraan. Namun karena semangat mangan ora mangan asal kumpul, walhasil, peluang yang lebih bagus di luar sana ditinggalkan demi untuk kebersamaan dengan komunitasnya.

Ada lagi ajaran Ki Ageng Suryo Mentaram "mulur-mungkret" alias mengembang - mengempis. dalam interaksi antar-individu para pihak perlu mulur-mungkret, jika yang satu sedang mulur (ekspansif, marah, bergelora), maka partenr satunya perlu mengimbangi dengan mungrkret (memberi kesempatan kepada yang sedang mulur), contohnya suami istri yang sedang marah< kalau dua-duanya marah, maka rumah tangga bubar. jadi mesti gantian, saling mengisi. Ki Ageng mencontohkan karet gelang, kalau ujung yang satu ditarik, ujung lainnya suoaya mengikuti, maka suasana menjadi ayem, tetapi kalau kedua ujungnya ditarik, maka hubungan menjadi tegang sampai batas kekuatan karet tersebut hingga putus.

Yang lain, "yen mangan di-entek-ne, nek ora entek mengo ayame mati" (kalau makan mesti dihabiskan, jika tidak habis, ayam akan mati). dulu setiap mendengar "perintah" ini selalau bertanya, apa hubungannya antara makan tidak habis dengan ayam mati. setelah direnungkan, ternyata, makanan yang disajikan merupakan hasil olahan, sudah banyak tangan - tangan yang terlibat (Adam Smith: Invisible hands) untuk membawa nasi, lauk ke meja makan. bayangkan saja, nasi dihasilkan dari beras yang ditanam petani, dimasak pakai kompor gas yang gasnya dihasilkan oleh para pekerja di lapangan pengeboran lepas pantai, ikan ditangkap oleh nelayan di laut, dibawa ke pelabuhan, didagangkan, jalan ke sana - kemari sampai akhirnya "duduk" di meja makan, demikian juga yang lainnnya, artinya untuk sepiring nasi di meja saja, sebetulnya sudah memerlukan campur tangan puluhan bahkan ratusan orang (yang kita tidak bisa melihat keterlibatan mereka). Nah, menghabiskan makanan itu merupakan rasa syukur karena sudah memperoleh sajian berkat keterlibatan orang banyak. lha jika tidak dihabiskan, in sama saja tidak menghormati yang masak, tidak menghargai siapapun (orang tua) yang mencari rejeki untuk ditukar dengan makanan tersebut, dan seterusnya. Artinya makanan yang tidak habis akan menjadi sampah yang "mematikan" rasa penghormatan kepada mereka yang teah berjasa kepada kita.

Ada lagi, "ojo mentheng kelek, ing ngarepe wong tuwo" (jangan berkacak pinggang di depan orang tua). berkacak pinggang bagi budaya jawa sama saja dengan bahasa tubuh (gesture) berkuasa, lha padahal adanya kita karena orang tua, lha kok mau "berkuasa" kepada orang tua, bisa kualat. selain itu, mentheng kelek juga berpotensi menimbulkan negative externalities, yakni menyebarkan bau badan via ketiak yang lembab, ih amit-amit banuya dech,...

Yang juga perlu disimak, "den becik-ana musuhmu" (berbuatlah baik kepada siapapun, termasuk kepada orang yang tidak suka kepadamu), ini nasehat Mas Timbul Mangunhodoyo (kakek saya dari pihak Ibu) agar kami selalu berusaha berbuat baik kepada siapa saja, meski kepada orang yang tidak suka kepada kita. Tujuannya? apa lagi kalau tidak untuk menambah persahabatan.

Dan yang tidak pernah lupa "ojo dumeh" (jangan mentang-mentang). mentang - mentang lagi jadi supervisor, penguasa gayanya sok berkuasa. Orang yang mentang-mentang biasanya tidak langgeng kedudukannya. Akan banyak orang lain yang tidak suka padanya, kalaupun “hormat” hanyalah semu. Seringkali orang yang dumeh membuat sakit hati orang lain karena meremehkan, atau bahkan menghina orang lain. Jadi, meskipun keliatannya banyak yang dekat kepadanya tetapi ketika sudah tidak berkuasa, ketika sudah tidak lagi menjadi supervisor, superintendent, manager, vice president, bahkan president, maka asetnya hanya dirinya sendiri. orang-orang yang dulu manthuk-manthuk sekarang mau nengok saja segan, kalaupun negur sekedar basa-basi.

Selain dari beberapa falsafah atau bagaimana orang jawa berpikir, bertindak dan berinterkasi ada satu lagi kebiasaan orang Jawa yang melihat bobot, bibit dan bebet, ketika mengevaluasi seseorang yang akan menjadi anggota keluarga besarnya. Pertanyaan mengenai 3B ini diajukan oleh Mas Yanto Sentosa (mantan Boss lainnya di ARCO). Menjawab pertanyaan Mas Yanto, Mas Setoadi (yang ahli telekomuikasi) mengutip sebuah tulisan sebagai berikut.

Bobot Bibit Bebed merupakan istilah untuk melakukan seleksi awal 
dalam memilih pasangan yang berkualitas. Bobot diartikan dengan 
berbobot atau bermutu. Dari kemampuan berpikir, cara mengolah emosi 
dan prestasi yang dihasilkan, seseorang akan menunjukan seberapa 
tinggi kemampuannya serta seberapa besar bobotnya. Bibit `benih' 
keturunan. Di mana ia dilahirkan? Siapa orang tuanya? Dari lingkungan 
sosial dan keluarga yang baik-baik, biasanya akan melahirkan 
keturunan yang baik pula. Bebed – bebedan, cara berpakaian atau 
penampilan. Bebed menunjukan cara sesorang membawa diri, bergaul dan 
bertingkah laku. Idealnya, ketiga hal tersebut baik adanya.

Menambahi informasi dari Mas Seto, saya berpendapat bahwa Bobot, untuk mengetahui general intellectual capacity. Bukan untuk meneliti apakah gelar akademik-nya sah atau palsu, tetapi lebih pada melihat ada atau tidaknya kemampuan atau kecerdasan emosi, kemampuan membangun relasi, sifat kepemimpinan, spiritual, dan sejenisnya, yang semuanya menjadi syarat cukup bagi suksesnya rumah tangga. Banyak orang sekolahnya tinggi tetapi kalau lagi marah suka nggaplok anak-istrinya. Atau, meski sudah punya jabatan tinggi tetapi masih suka menipu diri sendiri, keluarga dan orang lain.

Bibit, untuk mencari tahu the quality of genetical heritage. Dulu, banyak yang membedakan apakah calon mantu (cantu) tergolong "trahing kusumo rembesing madu" atau berasal dari "pidhak pidarakan". Kala itu, masyarakat yakin bila cantu berasal dari golongan priyayi, maka dianggap lebih beradab, ngerti tata krama, seni dan budaya kraton yang adiluhung. Sebaliknya jika berasal dari kaum kebanyakan, dianggap tidak punya "social value" yang tinggi karena kurang paham tata cara kelompok sosial yang lebih beradab. Kalau di kalangan masyarakat Hindu-India ada kasta, di banyak masyarakat yang dipimpin raja ada kelas sosial, ningrat (yang pada umumnya feodal), saudagar (kelompok pedagang, borguis), priyayi (kelompok pegawai tata praja, guru, birokrat), dan rakyat biasa. Dalam kontek sekarang, bibit berorientasi lebih pada apakah seseorang memilki penyakit fisik bawaan (generative) yang dapat menganggu kualitas hidup setelah berumah tangga. Jadi, sekarang bergeser pada kesehatan dari pada asal-usul. (Saya ingat seloroh Pak Edi Sularso – sahabat di ARCO, waktu masih sama-sama di Ardjuna Sakti, manusia itu asalnya dari Ibu, usulnya dari Bapak). Saya pernah baca sebuah artikel yang bilang bahwa bayi lahir dengan cacat/kelainan bawaan sebetulnya bisa dideteksi dari ayah-ibunya.

Bebet(d), untuk melihat future potential, berkaitan dengan wealth, asset atau capital yang akan diperlukan dalam membangun rumah tangga. Dalam konstelasi dunia yang semakin materialis, bebed telah menggeser posisi bibit yang di masa lalu menjadi pertimbangan utama dalam menyeleksi calon anggota keluarga. Kurang lebih argumentasinya, biar bibitnya ada masalah, meskipun bobotnya pas-pasan, asal ada bebed, segala kekurangan bisa dicari solusinya. Bebed menjadi kompensasi dari nilai kurang pada bobot dan bibit. Remaja Singapore bilang: "no matter who you are, as long as you have 5C, I will no refuse to marry you" (5C = car, credit card, condo, capital/saham perusahaan/tabungan, dan career/jabatan tinggi di perusahaan).

Bobit, bibit, dan bebed, menurut saya masih perlu ditambah dengan dengan Babad. Babad untuk melihat track record, individual achievement, atau reputasi. Seperti untuk menguji apakah benar masih perjaka, duda, atau masih punya istri sah. Atau, pernah dikurung oleh KPK, atau bersih,sih, sih.

Rupanya, meski sudah dicoba dicarikan benang merah atas falsafah jawa dan ilmu sosiologi modern, masih saja dianggap sebagai “Ilmu....gathuuk..... dasar wong Jowo....katrok...” demikian sentuhan dari sahabat senior Mas Bambang Kanti Laras (BKL) sambil melempar senyum khasnya. Menanggapi lontaran Mas BKL saya membenarkan pendapat beliau sembari menyatakan semua ilmu dunia itu sejatinya merupakan hasi dari Ilmu Gathuk yang berasal dari rasa penasaran dan silanjutkan dengan eksplorasi sehingga menemukan ilmu – ilmu hebat yang sudah kita rasakan manfaatnya sekarang, tak terkecuali Ilmu Kejawen.

Mencoba meyakinkan, mari kita lihat, misalnya instrumentasi apakah itu tidak gothak-gathuk antara input process, output, fedback/fedforward? Bukankah esensi dasar instrumentasi memfasilitasi dan mengendalikan - interaksi (bhs jawa: gothak- gathuk) semua elemen proses? Ilmu politik? Sama saja, mempelajari gothak-gathuk-nya manusia yang pada berusaha meraih kekuasaan.

Nah sebagai penutup, ada falsafah lain diingatkan oleh sahabat say aCak Troiyanti, yang perlu menjadi perhatian kita semua, tidak peduli Jawa, Sunda, Ambon, Inggris. Celtic, atau Han. Cak Tri dalam bahasa Jawa menyatakan “Menawi ngendikanipun piyantun jawi meniko mboten ilok ngendiko awon maring
pepodo kedah andap asor lan tansah nyepeng paugeran inggih meniko toto
kromo,nuwun.” Atau dalam bahasa Indonesai kurang lebih “dalam berkomunikasi dengan siapapun sebaiknya penuh hormat dan sopan santun, memegang tata krama yang berlaku.”****

Saturday, November 03, 2007

Sahabat = Aset

Dunia memang kecil, makanya saya selalu berusaha menjaga reputasi, nama baik, dan menjalin persahabatan supaya dunia makin kecil lagi. Beberapa hari lalu lalu saya menemukan "gimick" bahwa berteman, bersahabat, berkawan adalah aset. Semakin banyak sahabat (dalam hubungan resiprokal) maka "potential aset" seseorang akan semakin bertambah. Potential asset akan tetap menjadi potential dan akhirnya tidak berguna kalau tidak dapat ditransformasikan menjadi real aset.

Artinya, persahabatan perlu ditingkatkan kualitasnya dalam wujud kerja sama yang saling menguntungkan, dengan memanfaatkan personal capital (modal pribadi) yang ada pada masing-masing individu. Personal capital dapat berupa knowledge, skill, expertise, experience, dan atau wisdom.

Antar sahabat perlu memahami nilai positif dari personal capital masing-masing. Trasformasi dari potential menjadi real aset, terjadi melalui proses transaksi yang bersifat komplementer, saling melengkapi. Lebih jauh, dapat pula terjadi transfer of capital yang sifatnya positive sum game, yang memberikan dan yang menerima sama-sama meraih untung.

"penemuan" (jika boleh dikatakan demikian) ini berangkat dari pencarian jawab atas pertanyaan mengapa pendiri Google dan Yahoo menjadi kaya raya, padahal orang yang diberi manfaat oleh mereka tidak perlu membayar. Malahan semakin banyak orang yang menikmati Google dan Yahoo (secara gratis) menambah kekayaan mereka. Artinya, kita - pengguna jasa Google dan Yahoo - tidak menyadari bahwa sebenarnya telah menjadi asetnya Google dan Yahoo.

Menjawab pertanyaan sendiri, saya gali berbagai bukti empirik lainnya (khususnya di sekitaran bisnis ICT), serta direfleksikan pada hubungan antar-individu, eh lah ternyata membangun persahabatan sejatinya sama dengan membangun aset. Beberapa referensi yang saya baca juga bilang begitu. Ketika saya bertemu dengan seorang pejabat tinggi dari European Council dan sahabatnya direktur sebuah lembaga pemerintah Rumania yang datang ke Jakarta untuk mencari tahu perkembangan Cyberlaw, saya kemukakan "hasil perenungan" tersebut, dan reaksi mereka positif. yang dari EC bilang
"that is genuine idea, to nite i learn valuable thing from you".*****

Friday, November 02, 2007

Competitive Advantage of The Firm

Penciptaan Competitive Advantage of The firm (CA) dapat dilihat dari Resource-based Theory (RBT), Teori Organisasi Industri (TIO) dan Austrian School (AuS). Ketiga teori ini berupaya menjawab pertanyaan mengapa beberapa perusahaan mengungguli perusahaan lain? Mengapa keunggulan ini bertahan (persistence)?.

RBT mendasarkan argumen bahwa perusahaan akan unggul jika memiliki faktor internal perusahaan berupa sumber daya (resource) dan strategi yang memiliki nilai (valueable), jarang (rare), tidak mudah ditiru (inimitability), dan dapat dioperasionalkan (operational). Sumber daya dapat berupa aset tangible dan intangible yang akan digunakan untuk mengimplementasikan strategi. Selain itu, perusahan juga perlu memiliki kemampuan (capabilities) yakni sumber daya perusahaan yang digunakan untuk mengorganisasikan dan mengekspolitasi sumber daya lain yang ada. Strategi mengindikasikan bagaimana perusahaan dikelola untuk memperoleh dan mempertahankan CA atau kinerja superior di pasar di mana perusahaan beroperasi. Peteraf (1993) menyatakan perusahaan yang memiliki, mengembangkan, mengendalikan, menjaga kelestarian valuable, scarce dan non-substitutable resources dalam pasar yang bersifat persaingan sempurna dapat memperoleh keuntungan ekonomi temporer dengan memanfaatkan sumber daya tersebut untuk mengembangkan dan mengimplementasikan strategi.

Asumsi dasar dari RBT dalam penciptaan CA adalah adanya perbedaan sumber daya (resource heterogeneity). Perusahaan saling bersaing untuk mengendalikan sumber daya dan kapabilits yang berbeda. Dalam konteks ini, adanya kelangkaan sumber daya (scarcity of resources) mendorong perusahaan saling berebut untuk memperoleh sumber daya yang terbatas tersebut, sementara sumber daya yang diinginkan tidak dapat digantikan oleh sumber daya lainnya (non-substitutability). Asumsi lainya adalah adanya resource immobility, yakni ketika sumber daya yang dimiliki perusahaan tidak dapat dipindahkan atau diambil alih oleh perusahaan lain, karena sifatnya yang unik, maupun karakternya yang memang susah dipindahkan (contoh: ketrampilan, pengetahuan, citra, loyalitas pelangan, dan lain sebagainya). Sumber daya yang valuable, rare, dan mahal/sulit untuk ditiru dapat menjadi sumber kekuatan untuk mencapai CA.

Teori Organisasi Industri (TIO),
TIO mengacu pada konsep Structure Conduct and Performance (SCP). Yang menganggap bahwa struktur pasar selalu berupaya mencapai equilibrium, dan oleh karenanya diwarnai dengan beberapa alternatif strategi perusahaan antara lain: price taking, product differentiation, tacit collusion, dan exploiting market power. Objektif strategik TIO pada umumnya membatasi competitive forces, dengan model profitabilitas empirical regularities, dan nature of success factor-nya observed strategic factors.

TIO memiliki kelemahan dan oleh karenanya mendapat kritik. Pertama, TIO tidak dapat langsung diterapkan alam menganalisa perusahaan karena fokus pada persaingan berbasis ekonomi – translation. Kinerja ekonomi semua perusahaan dalam satu industri dianggap identik, padahal dalam kenyataannya tidak selalu sama. TIO tidak membahas faktor manusia sebagai perancang dan pelaksana strategi, padahal tanpa manusia yang berkualitas strategi tidak dapaty berhasil. TIO tidak menjawab bagaimana perusahaan harus bersikap dalam menghadapi perubahan struktur industri. Banyak variabel penting dalam struktur industri tidak terungkap.

Austrian School (AuS),
AuS menggunakan neoclassic economic theory sebagai dasar. Konsep utama neoclassic yang digunakan AuS adalah marginalism, opportunity cost, dan diminishing marginal utility. Asumsi yang digunakan oleh AuS antara lain, pasar sebagai sebuah proses, perusahan akan bertindak dengan perilaku yang sama, perusahaan dapat memiliki sumberdaya dalam kapasitas yang sama. Dengan asumsi tesebut AuS mengembangkan strategi creative destruction, yang konsekuensinya berupa langkah continuous innovation dan fleksibilitas dalam pengelolaan sumberdaya, karena itu muncullah intertemporal heterogeneity, sehingga ada unobservable influence of business performance. Pada kenyataannya perusahaan tidak berperilaku sama dan aksesibilitas perusahaan terhadap sumber daya tidak sama.

Perbedaan dan Persamaan RBT, TIO,& AuS, ketiga teori ini memiliki persamaan yakni merupakan landasan untuk penentuan strategi perusahaan dalam mencapai Sustaianable Competitive Advantage (SCA). Adapun perbedaannya, RBT fokus pad apencapaian distinctive competency dibandingkan pesaing karena FBT melihat perusahaan yang memiliki SCA adalah perusahaan yang memiliki kompetensi yang lebih unggul dibandingkan pesaing. Sementara itu, TIO fokus pada struktur pasar, sehingga strategi perusahaan ditujukan untuk mencapai market power. Contohnya strategi untuk menjaga agar tidak ada new entrant, dan lain-lain. Adapaun Austrian School, berupaya menjelaskan bahwa SCA dapat dimiliki perusahaan jika perusahaan secara terus menerus melakukan inovasi dan juga tedapat faktor entrepreneurial discovery.

Competition for the market dan competition in the market. Ketiga teori di atas (RBT, TIO, AuS) lebih tepat digunakan untuk menganalisis competition in the market, yakni kondisi dan karakter persaingan yang ditemui setelah perusahaan memasuki pasar/industri tertentu. Dinamika persaingan dalam konteks competition for the market dapat dilihat dari aspek outside, bagaimana interaksi antar dua atau lebih pemain dapat menyebabkan perubahan industri. Dinamika persaingan diwarnai dengan aksi-reaksi dan action yang mengakibatkan perubahan ekspektasi payoff lawan (strategic moves). Strategic moves penting karena mengandung irreversible dan ada impact terhadap perhitungan long run payoff. Pertimbangan yang penting dalam competition for the market adalah apakah setelah masuk ke industri tertentu mendapat profit (profit after entry), selain apakah sunk cost dapat dikelola untuk mendukung dicapainya Sustainable Competitive Advantage. Sunk cost yang berasal dari eksternal (exogenous) seperti plant dan mesin-mesin memiliki resiko untuk ditiru oeh pesaing, sementara sunk cost yang bersumber dari internal (endogenous) seperti aktivitas R&D dan advertising disebabkan karena proses yang spesifik relatif lebih sulit ditiru.

Interaksi dua arah antara proses penciptaan CA dengan dinamika industri dan persaingan yang terjadi dapat digambarkan menggunakan perkembangan evolusi persaingan: first mover advantage, imitation and improvement by follower, creating impediment to imitation, overcomming the impediment, serta leapfrogging. Dalam first mover, membutuhkan ketrampilan inovasi, customer knowledge market penetration and marketing skill, dan flexible manufacturing skill. Melihat karakternya, strategi RBT cenderung lebih cocok sebagai first mover advantage. Dalam imitation and improvement by follower diperlukan appropriability, dominan design paradigm, dan complementary asset.

Austrian School yang kemudian dikembangkan dalam hypercompetition cocok untuk mengalisa dinamika persaingan bisnis dengan kandungan teknologi tinggi, di mana aktivitas R&D juga tinggi, dan tuntutan terhadap intellectual property right (IPR) tinggi. Dengan karakter seperti ini, strategi persaingan untuk memenangkan competition for the market sebaiknya memperhatikan konsep hypercompetition ini.*****

Konflik Strategi

Artikel Carl Shapiro yang dipublikasikan pada tahun 1989 berjudul “The Theory of Business Strategy,” memperkenalkan pendekatan baru dalam strategi bisnis. Pendekatan ini menggunakan perangkat game theory untuk menganalisis persaingan yang terjadi di antara perusahaan pesaing. Pokok utamanya adalah menyatakan bagaimana suatu perusahaan dapat mempengaruhi perilaku dan tindakan perusahaan pesaingnya, juga mempengaruhi lingkungan pasar. Contoh dari langkah-langkah tersebut adalah investasi pada kapasitas (Dixit (1980), R&D (Gilbert dan Newberry, 1982), dan periklanan (Scmalensee, 1983). Agar menjadi efektif, langkah-langkah pada strategi ini menghendaki suatu komitmen yang tidak dapat diubah. Kuncinya adalah dengan memanipulasi lingkungan pasar, suatu perusahaan akan mampu untuk meningkatkan keuntungannya.

Literatur ini, bersamaan dengan literature persaingan (Baumol, Panzar, dan Willig, 1982), menunjukkan apresiasi yang lebih besar dari peranan sunk cost, sebagai kebalikan biaya tetap, dalam menentukan hasil yang kompetitif. Langkah-langkah strategis juga dapat didesain untuk mempengaruhi perilaku pesaing melalui pemberian isyarat. Pemberian isyarat yang strategis telah diuji dalam berbagai konteks, termasuk penyerangan harga (Kreps dan Wilson, 1982a, 1982b) dan pembatasan harga (Milgrom dan Roberts, 1982a, 1982b). Ancaman baru ditekankan pada peranan komitmen dan reputasi (Ghemawat, 1991) dan keuntungan perusahaan secara serentak mengejar persaingan dan kerja sama (Brandenburger and Nalebuff, 1995, 1996).

Pada sebagian besar perusahaan, game theory membentuk argumen intuisi yang panjang mengenai beragam tipe perilaku bisnis (misalnya penyerangan harga, patent races), walaupun di beberapa perusahaan game theory mempengaruhi suatu perubahan besar pada kebijaksanaan konvensional. Tetapi dengan merasionalisasikan perilaku yang telah diobservasi menjadi desain permainan yang pantas, dalam menjelaskan seluruhnya model ini juga tidak menjelaskan apapun, jika tidak menghasilkan kemampuan untuk memprediksi (Sutton, 1992). Banyak model permainan teoritis spesifik yang memberikan berbagai keseimbangan, dan keleluasaan dalam memilih ketika mendesain bentuk permainan yang tepat untuk digunakan. Sayang, hasilnya sering tergantung pada ketepatan speifikasi yang dipilih. Keseimbangan pada model perilaku strategis sangat bergantung pada apa yang dipercayai oleh satu pesaing bahwa pesaing lainnya akan bertindak pada situasi tertentu. Dengan demikian, keistimewaan kualitatif dari hasil tersebut mungkin tergantung pada cara yang digunakan untuk menjadikan persaingan harga yang ada menjadi suatu model (misalnya pada Bertrand atau Cournot) atau tergantung pada keberadaan asimetris strategis seperti pada first mover advantage. Analisis langkah-langkah strategis dengan menggunakan game theory dapat disebut sebagai ‘dinamika’ pada pengertian bahwa analisis pada berbagai periode dapat menghasilkan intuisi dan formalitas. Bagaimanapun juga, penelitian ini menggunakan bentuk ‘dinamika’ dengan pengertian yang berbeda, tergantung pada situasi dimana terdapat perubahan yang cepat dalam teknologi dan kekuatan pasar dan pengaruh ‘arus balik’ pada perusahaan.

Studi ini menggunakan pandangan tertentu terhadap konteks tersebut di mana literature konflik strategis relevan dengan manajemen strategis. Perusahaan yang memiliki biaya yang sangat besar atau keuntungan kompetitif lainnya saling berhadapan dengan para pesaingnya seharusnya tidak diserang oleh para pesaingnya. Persaingan mereka akan lebih mengarah pada kondisi permintaan total, bukan pada bagaimana para pesaing mengerahkan asset-aset kompetitif mereka. Tanamkan dengan berbeda, pada saat terdapat asimetris yang mencolok pada keunggulan bersaing diantara perusahaan, hasil dari analisis permainan teoritis mungkin menjadi jelas dan tidak menarik. Pesaing yang lebih kuat biasanya akan mengalami kemajuan, bahkan ketika dirugikan oleh informasi asimetris tertentu. Untuk lebih meyakinkan, perusahaan incumbent dapat terlepas dari pendatang baru dengan keuntungan biaya yang sangat besar, tetapi tanpa ‘permainan’ akan membalikkan hasil tersebut. Di sisi lain, jika posisi persaingan perusahaan lebih seimbang, seperti pada Coke dan Pepsi, dan United Airlines dan American Airlines, maka konflik strategis kurang menarik pada hasil kompetitif. Terdapat banyak keadaan seperti itu, tetapi jarang terdapat pada industri di mana perubahan teknologi cepat dan keadaan pasar yang cepat bergeser.

Singkatnya, dimana para pesaing tidak memiliki keuntungan kompetitif yang tinggi, langkah dan tindakan para pesaing sering menjadi formulasi yang berguna pada permainan teoritis. Bagaimanapun juga, dapat diragukan bahwa game theory dapat menjelaskan secara detail bagaimana Chrysler harus bersaing melawan Toyota dan Honda, atau bagaimana United Airlines dapat membalas Southwest Airlines sejak keunggulan Southwest dibangun pada atribut organisasi yang tidak dapat ditiru oleh United Airline. Tentu saja, strategi kewirausahaan sering diabaikan pada pendekatan permainan teoritis. Oleh karena itu, pendekatan ini sangat relevan pada saat para pesaing benar-benar melakukan persaingan dan jumlah persaing relevan dan alternatif strategi mereka dapat diketahui. Meskipun demikian, jika dirangkaikan dengan pendekatan lainnya dapat menghasilkan pengetahuan yang sangat berguna.

Bagaimanapun juga, penelitian ini berorientasi pada bentuk kerangka yang lengkap dari pokok strategis. Penyerangan dari perspektif teori permainan, pada akhirnya hasil dari kemampuan intelektulal manajer, yaitu ‘mengikuti permainan.’ Ungkapan yang tepat untuk pendekatan ini adalah ‘Lakukanlah sebelum mereka yang melakukan’. Terdapat kekhawatiran bahwa daya tarik pada tindakan strategis dan trik pengikut Machiavelli akan mengalihkan para manajer dari pencarian terhadap sumber-sumber keunggulan kompetitif. Sayangnya, Pendekatan ini mengabaikan persaingan sebagai suatu proses yang melibatkan departemen, akumulasi, kombinasi dan proteksi pada keahlian dan kemampuan yang unik. Sejak interaksi strategis menerima perhatian yang lebih, kesan seseorang yang mungkin menerima dari literature ini bahwa keberhasilan pada penempatan pasar merupakan hasil dari pengalaman bermain, ketika secara umum kasusnya sama sekali berbeda.

Penelitian ini menyatakan bahwa pembangunan dinamika dari suatu perusahaan bisnis – sesuatu yang tertinggal dari dua pendekatan yang telah dikenalkan – mempertinggi kemungkinan untuk membangun deskripsi teori strategi yang dapat diterima yang dapat membantu para praktisi dalam membangun keuntungan jangka panjang dan fleksibilitas persaingan.***

Penciptaan Daya Saing Nasional

Daya saing Nasional (Competitive Advantage of The Nations). Teori Porter tentang daya saing nasional berangkat dari keyakinannya bahwa teori ekonomi klasik yang menjelaskan tentang keunggulan komparative tidak mencukupi, atau bahkan tidak tepat. Menurut Porter, suatu negara memperoleh keunggulan daya saing / competitive advantage (CA) jika perusahaan (yang ada di negara tersebut) kompetitif. Daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan industri melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya. Perusahaan memperoleh (CA) karena tekanan dan tantangan. Perusahaan menerima manfaat dari adanya persaingan di pasar domestik, supplier domestik yang agresif, serta pasar lokal yang memiliki permintaan tinggi. Perbedaaan dalam nilai-nilai nasional, budaya, struktur ekonomi, institusi, dan sejarah semuanya memberi kontribusi pada keberhasilan dalam persaingan. Perusahaan menjadi kompetitif melalui inovasi yang dapat meliputi peningkatan teknis proses produksi atau kualitas produk. Selanjutnya Porter mengajukan Diamond Model (DM) yang terdiri dari empat determinan (faktor – faktor yang menentukan) National Competitive Advantage (NCA). Empat atribut ini adalah: factor conditions, demand conditions, related and supporting industries, dan firm strategy, structure, and rivalry.

Factor conditions mengacu pada input yang digunakan sebagai faktor produksi, seperti tenaga kerja, sumber daya alam, modal dan infrastruktur. Argumen Poter, kunci utama faktor produksi adalah “diciptakan” bukan diperoleh dari warisan. Lebih jauh, kelangkaan sumber daya (factor disadvantage) seringkali membantu negara menjadi kompetitif. Terlalu banyak (sumber daya) memiliki kemungkinan disia-siakan, ketika langka dapat mendorong inovasi.

Demand conditions, mengacu pada tersedianya pasar domestik yang siap berperan menjadi elemen penting dalam menghasilkan daya saing. Pasar seperti ini ditandai dengan kemampuan untuk menjual produk-produk superior, hal ini didorong oeh adanya permintaan barang-dan jasa berkualitas serta adanya kedekatana hubungan antara perusahan dan pelanggan.

Related and Supporting Industries, mengacu pada tersedianya serangkaian dan adanya keterkaitan kuat antara industri pendukung dan perusahaan, hubungan dan dukungan ini bersifat positif yang berujung pada penngkatan daya saing perusahaan. Porter mengembangkan model dari faktor kondisi semacam ini dengan industrial clusters atau agglomeration, yang memberi manfaat adanya potential technology knowledge spillover, kedekatan dengan dengan konsumer sehingga semakin meningkatkan market power.

Firm strategy, Structure and Rivalry, mengacu pada strategi dan struktur yang ada pada sebagian besar perusahaan dan intensitas persaingan pad aindustri tertentu. Faktor Strategy dapat terdiri dari setidaknya dua aspek: pasar modal dan pilihan karir individu. Pasar modal domestik mempengaruhi strategi perusahaan, sementara individu seringkali membuat keputusan karir berdasarkan peluan dan prestise. Suatu negara akan memiliki daya saing pada suatu industri di mana personel kuncinya dianggap prestisious. Struktur mengikuti strategi. Struktur dibangun guna menjalankan strategi. Intensitas persaingan (rivalry) yang tinggi mendorong inovasi.

Porter juga menambahkan faktor lain; peran pemerintah dan chance, yang dikatakan memiliki peran penting dalam menciptakan NCA. Peran dimaksud, bukan sebagai pemain di industri, namun melalui kewenangan yang dimiliki memberikan fasilitasi, katalis, dan tantanan bagi industri. Pemerintah menganjurkan dan mendorong industri agar mencapai level daya saing tertentu. Hal – hal tersebut dapat dilakukan pemerintah melalui kebijakan insentif berupa subsidi, perpajakan, pendidikan, fokus pada penciptaan dan penguatan factor conditions, serta menegakkan standar industri.
Poin utama dari DM, Porter mengemukakan model pencitpaan daya saing yang self-reinforcing, di mana persaingan domestik men-stimulasi tumbuhnya industri dan secara bersamaan membentuk konsumer yang maju (sophisticated) yang selalu menghendaki peningkatan dan inovasi. Lebih jauh DM juga mempromosikan industrial cluster. Kontribusi Porter menjelaskan hubungan antara firm-industry-country, serta bagaimana hubungan ini dapat mendukung negara dan sebaliknya.

Dalam perkembangan selanjutnya Teori DM Porter ini banyak mendapat kritik dari peneliti dan akademisi, antara lain ada yang mengatakan bahwa DM dibangun dengan pendekatan studi kasus dari 10 negara maju sehingga cenderung hanya dapat diaplikasikan untuk negara – negara maju saja. Kritik ini mengakatan DM Porter agak sulit diterapan di negara berkembang dan atau negara kecil yang domestic demand-nya juga kecil. Selain itu, argumen Porter bahwa hanya arus keluar Foreign Direct Investment (FDI) yang berguna bagi penciptaan CA, sementara arus masuk FDI tidak serta merta meningkatkan domestic CA, argumen ini dikatakan hanya didukung oleh bukti empiris yang sangat sedikit, pada kenyataannya, arus masuk FDI ikut pula berperan dalam meningkatkan factor conditions. Kritik lain, DM tidak secara spesifik membahas peran Multi National Company (MNC), padahal ada bukti yang menunjukkan bahwa sukses DM juga dipengaruhi oleh eksistensi bisnis internasional.

Rugman dan D’Cruz – Double Diamond Model (DDM),
Perbedaaan utama dari DDM dan DM terletak pada upaya Rugman dan D’Cruz mengisi kekosongan (gap) yang ditinggalkan oleh Porter, yakni pada international competitiveness. DDM menjelaskan bagaimana suatu interdependensi ekonomi (regionalisasi dan globalisasi) mempengaruhi interaksi suatu industri dan bahkan sampai ke level perusahaan. Dlam DDM, faktor penentu CA tidaklah semata berasal dari negara asal (local enfironment) melakinkan juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang berkembang di negara lain.

Cho: Nine-Factor Model
Cho (1994) berargumen bahwa Model Diamond Porter memiliki keterbatasan ketika diaplikasikan di negara – negara sedang membangun seperti Korea. Cho menambahkan pentingnya peran faktor manusia dan perbedaan type faktor fisik dalam menjelaskan daya saing nasional. Faktor manusia termasuk pekerja, politisi/ birokrat, pengusaha, dan profesional. Faktor fisik termasuk sumber daya nasional yang dimiliki, permintaan domestik, industri pendukung dan terkait, serta lingkungan bisnis lainnya. Satu faktor luar, peluang, ditambahkan untuk melengkapi sebagai paradigma baru dalam model sembilan-faktor (MSF).

Perbedaan antara MSF dan DM terletak pada pembagian faktor dan dalam penambahan faktor-faktor baru. MDP memasukkan sumber daya alam dan pekerja ke dalam factor conditions, di pihak lain MSF menempatkan sumber daya alam ke dalam kelompok sumber daya yang sudah dimiliki (endowed resources), sementara faktor pekerja memiliki kesamaan. Daya saing internasional diperoleh melalui faktor manusia yang mampu memobilisasi faktor fisik.

Daya saing hanya berarti di antara negara-negara yang memiliki kesamaan comparative advantage yang bersaing dalam industri sejenis. Dengan kata lain, posisi daya saing relatif di antara negara-negara sejenis dalam tahapan pembangunan ekonomi, namun bukan di antara semua negara di dunia, merupakan elemen penting bagi daya saing sebuah negara.

Richard Vietor, How Countries Compete?
Pemerintah perlu membantu negara dalam persaingan. Negara bersaing untuk berkembang. Hal ini merupakan salah satu hasil globalisasi. Negara bersaing untuk memperoleh pasar, teknologi, ketrampilan dan investasi, Negara bersaing untuk tumbuh dan meningkatkan standar hidup rakyatnya, mengurangi kemiskinan, mengakomodasi urbanisasi, dan menciptakan lapangan pekerjaan. Dalam lingkungan yang kompetitif ini, adalah pemerintah, secara bervariasi, yang menyediakan keunggulan distinctive kepada perusahaan berupa: tingkat tabungan yang tinggi dan bunga rendah bagi investasi, perlindungan hak cipta dan god governance, tenaga kerja yang komit, termotivasi dan paham teknologi, tingkat inflasi yang rendah, serta pasar domestik yang tumbuh dengan cepat.

Pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan keamanan, memastikan berfungsinya kontrak (perdata), mengelola ekonomi makro, meminimalkan resiko, serta menyiapkan kebijakan industri. Semua ini dilakukan dengan menciptakan dan melestarikan berbagai institusi – politik, sosial, dan ekonomi melalui kemampuan masyarakat dalam berinteraksi dan bersaing. Pemerintah juga memiliki tanggung jawab besar tidak hanya dalam kebijakan fiskal dan moneter yang keduanya secara bersama berpengaruh terhadap kinerja ekonomi, namun juga dalam pembuatan kebijakan di sektor perumahan, pendidikan, kesehatan, penelitian dan pengembangan, serta pertahanan. Di pihak lain perusahaan membutuhkan nilai tukar yang kompetitif, perlindungan hak cipta, distribusi pendapatan yang seimbang, sesedikit mungkin korupsi, beberapa kebijakan hambatan perdagangan (trade barriers). Semua ini dapat dilayani kebijakan pemerintah yang efektif, oleh karenanya strategi pemerintah sangat penting dan setiap birokrat pemerintah bertanggung jawab terhadap terciptanya kebijakan yang efektif tersebut.

Vietor mengajukan tiga kerangka analisis. Pertama, memahami kondisi saat ini, manajer harus memiliki kemampuan untuk menganalisa strategi dan struktur organisasi nation-state, dalam hal bagaimana mereka menyesuaikan diri dengan konteks sosial politik dan bagaiana mereka mempengaruhi kinerja ekonomi. Kedua, karena manajer pada umumnya lebih tertarik pada “kemana arah pembangunan” dari pada “di mana posisi negara pada saat ini” , maka perlu dipikirkan tentang masa depan, dalam konteks ini akan bermanfaat untuk mempelajari trajectory atau roadmap rencana pembangunan jangka panjang (RPJP). Meskipun disadari bahwa RPJP dapat berubah sewaktu-waktu – karena perang, kelangkaan pangan atau energi, huru-hara politik, atau turbulensi ekonomi – namun ketika perubahan mendadak tidak terjadi, pelaku ekonomi dapat memperkirakan kinerja dan indikator-indikator ekonomi yang dapat menjadi acuan bagi keputusan investasi dan bisnis. Ketiga, dengan tersedianya RPJP, pelaku ekonomi dapat merancang senario sederhana tentang apa yang akan dilakukan dalam jangka pendek ke depan, dengan mengajukan alternatif pesimis atau optimis.

Teori DM Porter menjelaskan bagaimana suatu negara dapat mencapai NCA, diamon model yang digunakan sebagai tools of analysis mendapat kritik dari akademisi dan peneliti lain. Arguman pengritik dapat dipahami karena mereka melihat dari perspektif lain yang lebih luas berdasar data yang berbeda dari yang digunakan Porter ketika mengembangkan model diamond. Perbedaan – perbedaan ini tidak mengurangi esensi dari penciptaan NCA yang berada pada firm dan industri. Baik Porter, Rugman, Cho dan Vietor memiliki kesepahaman tentang peran pemerintah dalam menciptakan daya saing nasional.*****

Sunday, October 28, 2007

WHAT IS STRATEGY? Deliberate, and Emergent

Proses strategi formasi dengan mengembangkan dan mengelaborasi strategi ¬deliberate dan emergent. Strategi deliberate yaitu strategi yang dijalankan dalam bentuk tindakan nyata di lapangan. Ada tiga kondisi 1) harus mempunyai tujuan organisasi yang tepat dan detail. 2) Tujuan tersebut diketahui secara luas oleh seluruh anggota organisasi baik melalui pemimpinnya, mencari tahu sendiri, atau pendelegasian tanggung jawab. 3) Tujuan tersebut dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan tanpa ada intervensi. Sedangkan strategi emergent kebalikan dari strategi deliberate karena tidak adanya tujuan organisasi.
Tipe-tipe strategi dimulai dari strategi deliberate sampai dengan strategi emergent.
1) Planned strategy) yaitu strategi rencana formal, tujuannya jelas, diformulasikan dan diartikulasikan oleh pemimpin sentral yang ditopang dengan kontrol formal untuk menjamin tidak ada perubahan rencana atau bisa mengontrol lingkungan eksternal.
2) Entrepreneurial strategy menghasilkan tujuan organisasi yang berasal dari satu individu dengan visi yang tidak diuraikan oleh pemimpinnya, dan harus bisa beradaptasi terhadap setiap kesempatan yang baru.
3) Idelogical strategy hasil transfer kepercayaan. Dalam strategi ini, tujuan berasal dari visi yang dikumpulkan secara kolektif dari semua pihak dalam organisasi tersebut. Strategi ini dikontrol secara normatif melalui indoktrinasi dan atau sosialisasi.
4) Umbrella strategy hasil dari perbedaan pemimpin mengontrol secara parsial atas tindakan organisasi. Mendefinisikannya sebagai batasan strategi atau target dimana aktor-aktor lain merespon secara sendiri atau dengan yang lain atas lingkungan yang tidak bisa diprediksi.
5) Process strategy hasil dari proses pemimpin mengontrol aspek proses atas strategi (struktur organisasi) dan meninggalkan aspek lain.
6) Unconnected strategy hasil dari cabang (enclave) dimana keputusan organisasi diserahkan ke tingkat yang lebih rendah atau sama sekali tidak ada hubungannya dengan pengambil keputusan dan tidak ada pola atau rencana.
7) Consensus strategy hasil dari konsensus melalui penyesuaian anggota pengambil keputusan dan membuat pola-pola sesuai dengan hasil konsensus tersebut atas tidak adanya tujuan organisasi.
8) Imposed strategy hasil dari lingkungan yang dapat mendikte pola-pola dalam pengambilan keputusan atau secara implisit membatasi pilihan organisasi. Strategi cenderung emergent.

Game Theory dan Strategic Management - Seri 1

Selama tahun 1970-an dan 1980-an, banyak perhatian diarahkan pada penerapan teknik teori permainan dalam model analisis isu dalam ekonomi industri. Isu yang termasuk penting antara lain keunggulan tindakan pertama (first mover advantage) dan peranan komitmen dalam menjaga posisi pasar; reputasi formasi dan eksploitasi; pemberian isyarat (signaling); dan pengendalian strategis dari informasi yang lebih umum.
Model ini terfokus pada isu strategi eksternal mengenai lingkup vertikal pada kegiatan perusahaan, pengaruh insentif terhadap lingkup horizontal pada perusahaan; dan ketepatan strategi-strategi perusahaan bisnis dan korporasi. Selain itu juga terdapat isu pertemuan antara isu eksternal dan internal, di antaranya pengaruh skema insentif dalam perusahaan terhadap persaingan produk di pasar; kemampuan dalam menggunakan integrasi vertikal untuk meraih keunggulan kompetitif; dan pengaruh desain saluran distribusi pada persaingan.
Komponen pada model teori permainan yaitu, apakah terdapat peranan dalam manajemen strategis untuk model ekonomi mikro yang bervariasi dan apakah model tersebut harus merupakan teori permainan. Analisis ini membutuhkan asumsi mengenai rasionalitas pesaing, sebagaimana penilaian yang diyakini pesaing mengenai rasionalitas pesaing lainnya. Memberikan derajat rasionalitas yang diasumsikan pada teori permainan, dapatkah hal tersebut diimplementasikan pada manajemen strategis? Pada saat keuntungan perusahaan terus berlanjut dalam keputusan pesaing, kesalahan kecil dapat menyebabkan sedikit pengurangan keuntungan yang diperoleh.
Model teori permainan merupakan perangkat yang tepat untuk mempelajari interaksi strategis antara agen dengan tujuan yang berbeda. Interaksi ini yaitu ketepatan karakteristik berbagai isu manajemen strategis yang menarik. Alasan kedua mengapa kebanyakan model ekonomi mikro dalam manajemen strategis kemungkinan merupakan teori permainan yang artinya model teori permainan dapat digunakan dalam jangkauan yang luas, termasuk banyak digunakan walaupun teori permainan tidak cocok untuk dianalisis. Banyak situasi yang berminat dalam manajemen strategis melibatkan interaksi strategis di antara para pesaing dan karena itu membutuhkan model teori permainan jika model ekonomi mikro telah digunakan.
Kesimpulan: analisis ini membutuhkan asumsi mengenai perilaku para pesaing. Dalam mengevaluasi model teori permainan, penting untuk mempertimbangkan tujuan analisis. Perkiraan asumsi rasionalitas dan kegunaan model tersebut tergantung pada apakah seseorang menggunakan terjemahan secara harfiah atau secara istilah mengenai model ekonomi mikro.*****

Dinamika Persaingan Dilihat Dari Perspektif Ekonomi - Seri 1

Dinamika persaingan akan menurun ketika sesama pelaku bisnis mencari standar yang sama. Jika sesama pelaku bisnis kompak, memilih platfom teknologi yang sama maka tingkat kompetisi tidak tajam.

Network Externality
Semakin banyak orang yang mengonsumsi suatu produk/jasa, manfaat bagi konsumen semakin meningkat, dengan asumsi tidak ada exclusivity. Dengan demikian investor akan merasa comfortable untuk mengembangkan (expand) pasar, baik dengan menambah produk, maupun perluasan jangkauan pasar. Dalam produk, pelaku bisnis yang memiliki multi-produk (berbagai portofolio produk) akan memiliki peluang yang lebih besar dari adanya positif network externality ini.

Faktor pendorong Dinamika Persaingan, Action vs respons, terjadi di dalam (internal) perusahaan maupun di luar (eksternal) perusahaan (industri). Yang terjadi di luar merupakan perwujudan dari interaksi antar sesama players, yang mengakibatkan perubahan dalam industri. Strategic Moves (atau Corporate Action), merupakan aksi atau tindakan perusahaan yang memiliki dampak terhadap expected payoff pesaing. Mengapa dikatakan expected payoff? Jawabnya, no body knows about tomorrow. Strategic moves dapat pula berfungsi sebagai pemberian signal kepada kompetitor, yang kemudian diantisipasi berdasarkan informasi yang bisa jadi tidak lengkap (assymetric information), untuk melakukan tindakan balasan (counter move).

Strategic move dapat pula berperan sebagai peringatan yang ditujukan bagi potential entrants untuk mempengaruhi keputusan mereka. Mengapa demikian? Strategic Moves biasanya juga melibatkan penempatan sumber daya yang tidak dapat ditarik kembali (irreversible), selain juga telah memperhitungkan pengaruhny aterhadap perhitungan expected payoff dalam jangka panjang (long run horizon). Bagi new entrant, hal ini dapat menjadi pertimbangan apakah setelah masuk ke pasar masih ada peluang untuk memperoleh profit (profit after entry).

Dari perspektif Game Theory, Strategic Move dapat dikatakan sebagai komitmen yang dapat dipercaya (credible commitment). Misalnya ketika perusahaan memutuskan untuk investasi pada peralatan produksi dalam jumlah besar yang kemungkinan menghasilkan excessive capacity, yakni kelebihan kapasitas dalam jumlah yang cukup besar yang tidak digunakan karena tidak adanya opportunity capacity. Dalam kondisi seperti ini, jika biaya investasi lebih besar dari manfaat/profit yang akan diperoleh maka dapat diputuskan untuk tidak membangun, namun jika sebaliknya (gain > cost), keputusan membangun menjadi wajar. Yang penting pertimbangan utamanya adalah memperoleh profit after entry, bukan market before entry.

Technology Life Cycle.
Credible Commitment berdampak pada dihasilkannya sunk cost, atau investasi yang tidak dapat ditarik kembali ketika exit. Dalam persaingan yang tajam, bila perusahaan kalah bersaing sehingga memutuskan untuk exit, maka aset sunkcost akan dihargai murah sekali (market price > liquidation price) oleh pembeli yang noa bene juga pesaing.

Dilihat dari sumbernya, sunk cost diklasifikasikan menjadi dua: exogeneous dan indogeneous. Exogeneous berasal dari eksternal, wujudnya berupa Plant & Equipment yang tidak dapat dimonopoli oleh dirinya sendiri, setiap orang dapat melakukan hal yang sama, sehingga tidak ada garansi akan menjamin Competitive Advantage. Endogeneous, berasal dari internal perusahaan, bersifat spesifik, dan sulit untuk ditiru oleh pesaing, wujudnya berupa aktivitas R&D dan Advertising, yang semuanya dapat berdampak ada long run sustainability.

Long run sustainability of Competitive Advantage dapat dicapai apabila perusahaan dapat mengalahkan pesaing terdekatnya (closest competitors), atau tingkat profitabilitas untuk selama kurun waktu yang panjang selalu lebih besar dari rata-rata tingkat profitabilitas industri. Persoalannya kompetitor selalu bergerak atau berubah terus, hal ini mendorong perusahaan untuk selalu mengantisipas perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pesaing.

Perubahan –perubahan dapat dilakukan melalui aktivitas R&D, dengan secara konsisten menghasilkan platform bisnis yang berbeda dari pesaing. Pertanyaannya, bagaimana membuat justifikasi terhadap belanja R&D. Driver dari R&D adalah penguasaan teknologi. IT dan Pharmaceutical merupakan dua industry yang belanja R&D-nya tergolong besar.

Advertising
Industri yang tingkat belanja advertising-nya tinggi menandakan tingkat persaingan yang tinggi. Hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan ada dua area kompetisi price dan non-price competition. Selain iklan, untuk yang non-price competition intensitas persaingan ditandai pula dengan lokasi atau wilayah persaingan serta menonjol atau tidaknya differensiasi produk.

Inovasi
Incumbent cenderung lamban dalam melakukan inovasi dibandingkan dengan potential atau new entrants. Incumbent lebih suka melkaukan perubahan – perubahan kecil pada pinggiran (pheri-pheri) bukan pada main stream atau secara massive. Tujuannya untuk mengamankan industri (market share-nya). Sementara di pihak lain, potential atau new entrant lebih suka melakukan inovasi besar mengubah kemapanan pasar (signifikan changes). Hal ini dapat dilakukan karena new entrant tidak banyak memiliki beban seperti yang harus ditanggung oleh incumbent, atau hal lain, karena dengan cara inilah (signifikan changes) new entrant dapat memasuki pasar, memiliki pelanggan baru. Major breakthroghdibuat oleh new player not by incumbent, karena selain tidak punya beban juka karena fleksibilitas ang dimiliki. Pemain yang paling efisien (kecil) cenderung mengambil strategi perang harga.

Patent
Patent merupakan bagian dari Intelectual Property Rights (IPR). Dari aspek dinamika persaingan, patent tidak memastikan diperolehnya keuntungan monopoli. Perlu dilihat ada atau tidak teknologi atau produk substitusi yang benefit-cost ratio-nya lebih tinggi dari produk yang sudah dipatenkan, sehingga ada insentif bagi pelanggan untuk melakukan migrasi. Suatu patent yang sukses di pasar berpengaruh juga terhadap teknologi atau produk pendukungnya. Jika suatu ketika produk yang sudah dipatentkan ternyata gagal, maka produk pendukungnya juga akan terkena dampak negatif. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tidak ada persostent profit yang dihasilkan dari patent.

Teknologi
Dalam industri yang dinamika persaingannya dipengaruhi oleh teknologi, keberadaan industri sangat tergantung pada teknologi. Karya R&D berbasis teknologi seperti pada IT dan pharmasi, temuan atau hasil riset dapat berlanjut pada tiga pilihan: lanjutkan menuju tahap produksi melalui lisensi, sebagai targer akuisisi (oleh incumbent), atau membangun sendiri menggunakan venture capital. R&D perlu dilihat dalam konteks kompetisi. Teorinya, dalam melakukan R&D, incumbent lebih suka fokus pada dirinya, dan tidak mau ambil dari new entrant. Pada kenyataannya, baik incumbent maupun new entrant dapat tumbuh bersama, inilah yang disebut Strategic Complement.

Argumen utama dalam dinamika persaingan adalah seberapa besar strategi dapat menciptakan dan atau menangkap peluang pasar, memperoleh manfaat ekonomi yang optimal sehingga berhasil menjadi pemimpin pasar. Pertanyaannya, jika semua orang dapat sustain (sukses melewati hyper competition), bagaimana hasil akhir dari dinamika persaingan ini? Masih adakah kompetisi? Melihat dari alur sifat persaingan yang hasilnya adalah the winner takes all, maka dapat diperikarakan bahwa pasar akan terkonsolidasi, sehingga akhirnya hanya tingga 1 atau 2 perusahaan yang masih eksis. Jika demikian, maka dapatlah dikatakan bahwa hasil akhir persaingan tajam (hyper competition) adalah monopoli. Dari segi jumlah pemain, pasar kompetitif yang ideal adalah pasar yang tidak terlau sedikit namunjuga tidak terlalu banyak dan kekuatan semua pesertanya seimbang. Pasar yang kurang favorable adalah pasar ekstrim, monopoli di satu sisi atau yang sangat banyak pemainnya (fragmented). Guna mencegah terjadinya persaingan yang mengarah pada monopoli, maka dibuatlah UU Anti persaingan tidak sehat (Anti Trust Law), yang menjadi salah satu koridor dalam dinamika persaingan (the limit of competitive dynamic).

Pada market yang berkembang, ada isu tentang sustainability. Sustainability adalah ketika perusahaan selalu perform better than competitors, sehingga others become lossers. Atau dalam kata lain profit yang diperoleh perusahaan selalau lebih besar dari profit yang diterima oleh kompetitor. Market share berpengaruh pada keputusan investasi, karena mencerminkan komitmen untuk tetap eksis di pasar, sementara di sisi lain konsumen membutuhkan kepastian akan keberadaan perusahaan (khususnya oada durable goods) untuk jaminan layanan purna jual. Sementara itu untuk produk konsumer, market share juga dapat digunakan untuk memberi justifikasi penyediaan infrastruktur produksi. Dalam konteks ini, market share berpengaruh terhadap keputusan investasi berupa penyediaan infrastruktur produksi, sementara yang terkahir ini memberi kontribusi pada tercapai atau tidaknya profit.*****

Thursday, October 18, 2007

Benarkah Electronic Government (berhasil) Menghemat Biaya?

electronic-government (e-govt) sering di-klaim sebagai upaya penghematan biaya (anggaran) bagi institusi pemerintah. benarkah demikian?

sejatinya, jika dicermati, dari berbagai aksi maupun "upaya pembangunan e-govt yang ramai diwacanakan di berbagai media, baik cetak, elektronik. dibicarakand alam seminar, workshop lokakarya, masih sangat sedikit data yang menyajikan bukti tentang adanya penghematan biaya baik bagi pemerintah sendiri, maupun bagi masyarakat (yang dikatakan sebagai penerima manfaat pembangunan e-govt).

pertama, banyak klaim keberhasilan/kesuksesan e-govt, ternyata masih prediksi alias proyeksi alias masih diharapkan, sebagaimana bisa dilihat dari kata - kata yang acap digunakan "dapat....", "akan.....", "sebaiknya.....", dari pada sebuah laporan realisasi hasil obervasi lapangan yang menyatakan "telah berhasil....."

kedua, sebagian besar proyek-proyek e-gov yang di-kalim telah dan sedang dibangun ternyata hanya sebagian kecil dari "rumah government" atau dalam kata lain masih berupa pilot proyek. hal ini sama saja dengan bermaksud membangun rumah gadan, namun yang baru dibangun bagian halaman depannya saja, badan rumah yang berisi inti dari rumah
pemerintahan elektronik (E-GOVT) masih sedikit yang paham, ataupun kalau ada vendor aplikasi e-govt yang gagah berani menawarkan jasanya, lebih pada membangun "hiasan rumah" dari pada membangun rumahnya itu sendiri.

ketiga, sebagian besar proyek e-govt dirancang berdasar "misi pribadi" yang diproyeksikan seolah-olah aspirasi rakyat. hal ini tercermin jika kita berhasil mewawancara "penggagas" e-govt di masing-masing instansi pemerintah yang konon sudah berhasil membangun e-govt. akan lebih banyak kita dengar kata "saya merencanakan....", atau "saya menginginkan......" .

keempat, setelah "berhasil direncanakan", karena prosedurnya harus tender, sementara "calon konsultan" yang akan ditunjuk untuk mengerjakan proyek tersebut sudah cukup banyak "ber-investasi", dan tidak banyak pejabat (terutama di daerah) yang sudah mumpuni soalan IT dan aplikasi e-govt), maka yang banyak terjadi adalah tender-tenderan, biaya proyek dianggarkan sesuai dengan "keinginan" konsultan (yang tentu saja di dalamnya sudah termasuk faktor "x"), kontrol pengerjaan sepenuhnya diserahkan kepada konsultan. sementara itu, bagi instansi pemerintah yang sudah punya ahli sendiri, polanya agak berbeda, membangun dengan pola "swakelola", yang terakhir ini aku tidak tahu bagaimana urusan administratifnya.

jadi benarkah electronic government telah (berhasil) menghemat biaya?

VIetnam Mengalahkan Indonesia?

Cerita dikit,

Saya pernah empat kali pergi ke Vietnam (2 kali ke Hanoi), sekali ke Da Nang, dan sekali ka Ho Chi Min City (dulu Saigon). selain itu, room-mate waktu di NUS dulu juga orang Vietnam (Nguyen Dhue Khien). Selain Khien, teman - teman Vietnam seangkatan maupun kakak dan adik kelas (di LKY-SPP-NUS) ada belasan.

Kesan saya atas Vietnam? Pertama kali ke Hanoi (1998) rasanya seperti kota Purbalingga (di Jawa Tengah) atau Garut (Jawa Barat) di masa saya kanak-kanak (akhir 60-an). Sepeda di mana - mana, mobil bagus jarang sekali terlihat. Bis antar-kota body-nya masih banyak yang pakai kayu, mirip angkot di kota Palembang tahun 80-an. masih sedikit yang berbahasa inggris. tahun 2002 saya ke Hanoi lagi, wajah kota sudah berubah. Hotel bintang lima (Melia Sol) sudah berdiri, sepeda masih
banyak, tetapi yang bersliweran menguasai jalan raya sepeda motor, bukan sepeda onthel lagi.

Teman-teman sekolah di LKY-SPP-NUS yang sudah kembali sebagai pejabat pemerintah maupun bumn vietnam, berjalan dengan rasa penuh percaya diri, meski masih naik sepeda motor. Khien (room mate saya) sudah jadi pejabat pemerintah setingkat eselon satu (kalau di Indonesia se-level Dirjen atau Deputy Menteri), datang ke hotel ketika menemui saya masih
pakai sepeda motor, mengenakan jas & dasi. pemandangan yang mungkin tidak pernah ada di Indonesia. ketika saya dijamu oleh schoolmates (alumni LKY-SPP-NUS) yang sebagian besar bekerja di pemerintahan, pembicaraan mereka lebih banyak tentang Vietnam masa depan, khususnya tentang perekonomian, seingat saya tidak ada satupun yang komentar tentang politik praktis, meski pada waktu itu pembicaraan soalan politik sudah bukan lagi tabu di Vietnam.

Tahun 2003 saya ke Da Nang, kota yang dulu menjadi basis pertahanan tentara Amerika. Da Nang relatif lebih ramai dari pada Hanoi. banyak sekali peninggalan sejarah Vietnam kuno di kota ini. Pada kali ini, keperluan kunjungan adalah untuk pertemuan bisnis, khususnya dengan pelaku (operator) telekomunikasi Vietnam. Dalam beberapa hal saya lihat teknisi vietnam masih kalah dari teknisi Indonesia dalam segi kuantitas maupun kualitas. namun yang saya kagumi dari mereka adalah rasa nasionalisme yang tinggi. kebanyakan orang vietnam menurut saya humble, malahan cenderung rendah diri. tahun 2003 itu saya lihat di Da Nang sudah ada beberapa Internet Kiosk yang pakai wireless access pakai ISM Band. teman saya (Quoc) malahan memodifikasi HP Ipaq untuk telepon pakai sykpe gratis, dan dia ajarkan bagaimana nge-set-nya
kepada sahabat vietnam-nya.

Tahun 2004 beberapa hari saya mengunjungi Saigon (HCM city), kotanya lebih ramei dari kedua kota terdahulu. aktivitas perekonomian juga ramai sekali. perkembangan pemanfaatan komputer dan internet sama hangatnya dengan Indonesia pada waktu itu.

Di Forum APECTEL-WG yang saya ikuti dari 1997-2003, Vietnam juga menunjukkan kemajuan yang konsisten. Astra Internasional (perusahaan Indonesia) pernah punya pabrik perakitan Daihatsu di Hanoi. Demikian pula Ciputra Group punya proyek Real Estate di Hanoi yang menjadi kebangaan warga Hanoi. dan satu hal lagi, sejak dibukanya kembali hubungan diplomatik USA-Vietnam, arus masuk FDI ke Vietnam mengalahkan Indonesia lho.... (coba aja lihat statistik-nya). hubungan emosional warga negara USA yang dulunya imigran dari vietnam ternyata juga memberi andil bagi laju kemajuan vietnam.

Jadi, jika satu dekade lalu Indonesia sudah terlewati oleh Malaysia dan SIngapore, jika mentalitas dan kinerja warga Indonesia tidak mengalamiperubahan signifikan saya memprediksi, satu dekade ke depan (2015) vietnam sudah melewati Indonesia.*****

Monday, October 01, 2007

Pelayanan?

Siang ini saya dibuat tidak enak hati. Hari Sabtu 29 September 2007, pukul 08.00 pagi saya minta sopir kirim mobil ke bengkel Volvo di Pondok Indah untuk diperbaiki. Saya sertakan daftar bagian-bagian yang perlu diperbaiki, ditambah pesan supaya minta orang bengkel telepon saya kalau sudah tiba di bengkel. Ketika orang bengkel menelepon, saya berikan penjelasan atas daftar yang dibawa sopir. Penerima mobil mengatakan mobil bisa selesai hari itu.

Siang berlalu tidak ada kabar apapun dari bengkel. Karena tidak juga sedang butuh kendaraan, maka saya biarkan saja. senin pagi saya telepon< katanya ada komponen yang harus diganti.

Wednesday, August 29, 2007

Inilah Profile Kedua Orang Tuaku

Ayahku bernama Mas Soetoro, kelahiran Palumbungan Desember 1926. Palumbungan adalah sebuah dusun di wilayah Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah. Sekarang sudah pensiun dari pegawai negeri di lingukngan Departemen Tenaga Kerja. Mas Toro demikian orang-orang di dusun Palumbungan memanggilnya, merupakan cucu laki-laki pertama dari seorang Kepala Desa. Ayahnya seorang Kepala Kantor Kawedanan. Ayah dan Ibu Mas Toro merupakan Saudara sepupu, dapat dipahami karena pada waktu itu, tahun 1920 ketika kakek nenek kami menikah lingkungan desa masih tergolong terpencil dari wilayah kota. Pak Toro 7 bersaudara, Tertua perempuan, kedua Pak, dan ada tiga adik perempuan serta dua adik laki-laki. Formalnya, Pak Toro hanya sekolah di Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA). Ketika revolusi ikut bergabung dalam Brigade XVII Tentara Pelajar, sehingga menerima beberapa medali Gerakan Operasi Militer (GOM) dan Bintang Gerilya, serta Satya Lencana yang semuanya tidak pernah dipajang, cukup disimpan rapi di laci meja kerjanya.



Ibuku Chabibah, kelahiran Banjarharjo, Brebes Juli 1935. Kakek (atau ayah dari Ibuku) bernama Mas Mangun Hudoyo, sinder atau mantri kebun di Pabrik Gula Kersana, Ketangungan Brebes. Keturunan ningrat Bupati Brebes entah yang ke berapa. Sedangkan Nenek (Ibu dari Ibuku) seorang wanita perkasa yang melahirkan anak sampai 10 kali, dua pertama meninggal, sehingga yang hidup sampai renta tinggal delapan termasuk Ibuku. Dari delapan anak, sekarang tinggal Ibuku seorang yang masih hidup. Moyang nenekku berasal dari desa Peninis-Karangmaja di wilayah Kecamatan Pengadegan Kabupatem Purbalingga. Sewaktu muda Kakek buyu (ayah neneku) pergi merantau ke Saudi meninggalkan warisan yang luasnya separo desa (ayahnya seorang Demang) dan sekembalinya di tanah jawa tinggal di Banjarharjo menjadi Kyai. Pendidikan formal Ibuku hanya lulus SMP yang konon ditempuh hampir delapan tahun karena harus mengungsi dari satu kota ke kota lain ketika zaman revolusi dulu. Kakek dan nenekku harus meninggalkan Banjarharjo dan meninggalkan segala harta karena tidak mau kerja sama dengan penjajah belanda, selain karena tiga anak lelakinya menjadi tentara republik yang bergerilya melawan belanda. Cerita nenekku, kemana saya mereka pindah dari kota ke kota, Ibuku selalu membawa buku sekolahnya. Itulah yang saya kagum dari Ibuku, meski sekolahnya hanya sampai SMP tetapi pengetahuannya luas, sampai usia di atas 70 sekarang ini hoby-nya baca koran. Ibuku pensiun sebagai pegawai negeri, petugas lapangan keluarga berencana.



satu hal yang saya teladani dari Ayahku adalah sikapnya yang tenang ketika menghadapi masalah apapun. Bahkan ketika kami masih kecil, di zaman gestapu, ayah saya masih berbaik hati kepada rekan dekat sekantor yang ternyata pimpinan partai komunis dan menjadikan Ayahku yang waktu itu anggota DPRD dan Ketua Cabang Partai Nasional Indonesia sebagai sasaran untuk dihabisi (oleh pki). Takdir menyelamatkan Ayahku dari muslihat dan jebakan oorang-oang yang ingin mencelakakannya. Selain sikapnya yang tenang, Ayahku juga disiplin dan jujur. Sampai sekarang kalau belum waktunya makan, tidak akan makan sesuatupun. Kejujuran Ayahku saya lihat ketika diberi amanat sebagai pemimpin proyek pembangunan gedung, pemborong menawari komisi atau uang kolusi agar Ayah saya menyetujui perubahan bestek, Ayahku menolak dan hanya bersedia menyetujui perubahan bestek bila dilakukan secara terbuka, pemborong diminta menulis surat resmi.

Dalam perjalanan waktu Ayahku lebih banyak berperan sebagai guru pertanian. banyak muridnya tersebar di seluruh Indonesia. ada orang bule, malah pernah muridnya Insinyur Pertanian. Ikhwal sebagai guru, ternyata membawa berkah bagi anak-anaknya. kakak saya yang tinggal di Sumatra, bertemu seseorang yang setelah basa-basi sana sini, eh ternyata pernah sekolah di sekolah Ayahku, dan masih ingat benar bagaimana beliau mengajar dan yang diajarkan. tahun 1988, sesudah pensiun beberapa tahun, atas kemauannya sendiri, Ayahku mendatangi dokter mata untuk operasi Katarak (penyakit keturunan, degeneratif, konon akibat pernikahan saudra dekat). Pasca operasi, beliau mengatakan sudah mulai bisa melihat bayang-bayang, makanya berani sholat, meski sebenarnya dianjurkan untuk tidak jongkok dan ruku'. Karena kuasa Allah semata, yang semula sudah mampu melihat bayang-bayang kembali gelap, sehingga kedua mata Ayahku menjadi buta total. Kami bawa ke jakarta untuk dioperasi lagi di RS Mata Aini dengan operasi Laser, namun tetap tida dapat tertolong. yang membuat kami, Ibu dan anak-anak tidak risau, adalah karena Ayahku dapat menerima kenyataan, tidak pernah ada sekalipun kata penyesalan dari mulutnya. terlihat Ayahku ikhlas menerima kenyataan ini.

Sekarang Ayah-Ibuku tinggal berdua saja di rumah kami yang cukup besar di kampung. Ayahku buta, Ibuku sering sakit-sakitan. Tinggal satu saja cita-cita mereka yang Insya Allah dapat dikabulkan Allah Yang Maha Kuasa, mereka ingin menunaikan kewajiban sebagai muslim memenuhi panggilan Allah pergi berhaji. setelah rejeki mencukupi, mendaftar berenam (bersama kakan dan istrinya serta istriku) agar kami berempat dapat mendampingi kedua orang tua yang telah renta, eh masih harus menunggu dan bersabar, karena dari pengumuman Depag ternyata hanya kakakku saja yang sudah masuk ke kuota. Doakan ya agar kami dapat mendampingi orang tuaku berhaji tahun 2007 ini.

Tak Mungkin

Sahabat, pernahkah kaudengar telaga bernyanyi, awan berpuisi, dedaunan menari.

Mitra, bilakah kau saksikan belalang berenang, ayam menyelam dan ikan terbang.

Kawan, kapan lagi kita rasakan kedinginan di bawah hujan matahari, kehangatan ditengah badai salju, dan kenyamanan di hati terbakar.

Sepanjang Jalan Panjang

di jalan panjang nun lurus tidak kelok,
gemerisik knalpot bajaj,
melepas asap dihisap pengendara sepeda motor di belakangnya.
lambat merayap disamping penjual buah nan tiada laku.
penjaja koran, rokok asongan menatap memelas,
anak istrinya di rumah mungkin sedang menantinya.

warung di seberang jalan setia menanti perut kosong tak kuat membayar.
tenda-tenda berjajar sepanjang tepian jalan menawarkan keringat dan gincu beraroma jelaga.
taksi penuh isi, berlari kencang seolah tiada ujung menanti henti.
dan hatiku tertambat pada tepian bibir dibalut rindu merapi melesatkan si gembel
penjaja lagu bersenandung sumbang bergitar lusuh,
namun wajahnya terus bersinar meski mentari telah berganti kelam.

Rokhmin

Kawan, engkau mendaki tebing menjulang, meniti bukit demi bukit, menyibak lorong berumput duri, berpeluh darah, mengusung beban ambisi tak kenal lelah.

Kawan, apa kau dapat di akhir perjalanan? lembah merana, ruang hampa pengap bekas derita, cibir dan sindir mereka engkau kalahkan, ingkar bukti mereka engkau beri.

Kawan, benar salah tak ada makna ketika kepentingan berkuasa. Jalan panjang di depan masih sisakan waktu merumput di sabana, muliakan tunas perwira."

Tiada Nada Cinta

Ku tak bisa menulis puisi cinta, ketika mesin meraung, kemudi dicengkeram.
Walau jendela terbuka, mengundang angin menyusup ke katup cinta.
Langkah kaki berbalur mawar namun tak kuasa menumpah lumpur.

Cantiknya selalu mengalir bagai air sungai pegunungan, suka merayap berderap senyap.
Lembut wajahnya merekat laksana emas bakarat.
Manis kalahkan kue bugis.

Tiada nada cinta semayam di dada.
Janji bersatu dibiarkannya membatu.
Jadikan diri dalam sepi, entah apa yang dinanti.

Catatan Penjurian Best E-Corp 2007

Perkembangan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) oleh korporasi di Indonesia menunjukkan fakta yang cukup menggembirakan. Setidaknya itulah kesan saya selama mengevaluasi data 33 perusahaan yang mengirim jawaban kuesioner dalam rangka BEST E-CORP-2007 yang diselenggarakan oleh majalah ekonomi bisnis SWA.

33 perusahaan ini tergolong dapat mewakili sektor bisnis masing-masing. Ada yang bergerak di bidang asuransi, perbankan, distribusi, pertambangan, transportasi, farmasi, dan telekomunikasi. Salah satu ciri menonjol yang terlihat adalah perusahaan sudah menyadari dan mulai mengintegrasikan antara strategi bisnis dan strategi TIK, atau dalam kata lain, peran TIK sebagai darah perusahaan (yang apabila tidak tersedia, maka perusahaan akan berhenti beroperasi) sudah semakin diakui dan dirasakan kebenarannya.

Selain itu, untuk perusahaan yang menerapkan strategi bisnis customer oriented, seperti perusahaan asuransi dan perbankan penggunaan perangkat (gadget) TIK seperti Personal Digital Assisstant (PDA), aplikasi berbasis Internet sangat ekstensif. Hal ini dapat dimaklumi, karena sebagaimana kita tahu, kompetisi merebut kepercayaan pasar sangat tinggi, sehingga layanan yang dari mana saja, kapan saja oleh siapa saja, menjadi dambaan setiap perusahaan zaman sekarang. Guna menjawab tantangan seperti itu, salah satu resep jitunya adalah memanfaatkan TIK seoptimal dan seefisien mungkin.

Perusahaan yang memiliki jaringan bisnis di berbagai wilayah, seperti sektor perbankan, distribusi, dan pertambangan sangat terbantu oleh kesediaan Internet yang dapat menghemat biaya telekomunikasi. Ketersediaan perangkat hardware dan paket software yang semakin hari semakin relatif murah, serta infrastruktur jaringan komunikasi data, khususnya Internet, yang semakin luas memberi peluang bagi munculnya inovasi baru dalam memanfaatkan TIK guna meningkatkan kelestarian keunggulan daya saing.

Bagaimanapun, harus diakui bahwa potret yang berhasil dikumpulkan masih memberi peluang bagi para eksekutif untuk meningkatkan lagi komitmennya terhadap pemanfaatan TIK bagi kemajuan perusahaan. Beberapa data yang belum semuanya terungkap adalah besaran anggaran yang akan dialokasikan untuk investasi TIK. Jika data ini muncul, akan berguna untuk menilai persentase belanja TIK dibandingkan dengan total revenue tahunan dan persentase pertumbuhan perusahaan. Dari sini dapat ditarik suatu analisis apakah pertumbuhan perusahaan dipengaruhi oleh investasi TIK, jika YA, pertanyaan selanjutnya adalah seberapa besar. Bila semua perusahaan menyajikan data ini, maka saya akan dapat mengatakan bahwa investasi TI di lingkungan korporasi di Indonesia memiliki peluang untuk mendorong pertumbuhan perusahaan sampai sekian persen per tahun.

Data lain yang tidak semuanya terisi adalah return on investment dari investasi yang dikeluarkan untuk membiayai proyek TIK. Sebagian besar hanya menguraikan secara kualitatif. Jikapun ada yang menguraikan secara kuantitatif, didominasi dengan asumsi-asumsi yang tentu saja hasilnya akan berbeda bila asumsinya juga berbeda. Saya dapat memahami mengapa masih sangat sedikit pelaku TIK (CIO) yang belum dapat menyajikan manfaat investasi TIK secara kuantitatif ketika ditanya hal ini. Hingga sekarang belum ada ketentuan yang mengatur perlakuan perhitungan manfaat investasi TIK, sehingga model dan cara menghitungnya sangat ditentukan oleh selera CIO. Ke depan saya melihat menjadi tantangan bagi para praktisi dan akademisi TIK untuk menghasilkan pedoman dan standar penghitungan manfaat investasi TIK.

Dari aspek organisasi yang mengelola TIK juga belum ada standar, apakah pejabat tertinggi yang bertanggung jawab langsung dalam pengelolaan TIK, ditempatkan pada level direktur, general manajer, atau hanya manajer saja. Di beberapa perusahaan yang sudah mengangkat CIO dalam jabatan Direktur, berpeluang untuk memiliki tingkat kepatuhan (good governance) yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang hanya memercayakannaya kepada seorang manajer di bawah general manager atau direktur. Hal ini mudah dipahami karena tentu saja kewenangan Direktur lebih tinggi dari Manajer. *****

Analisis Sumberdaya dan Kapabilitas Internal Perusahaan Menggunakan RBV

Mengapa suatu perusahaan secara terus menerus mampu mengungguli perusahaan lainnya? Salah satu jawaban yang ditawarkan terhadap pertanyaan ini adalah implementasi Resource-Based View - RBV (Peteraf, 1993). RBV dikatakan sebagai pendekatan baru dalam formulasi strategic management, dan dalam penjelasan lain merupakan upaya membangun keunggulan kompetitif yang merupakan hasil (resultant) dari hubungan antara keaneka-ragaman, ex post limits to competition, imperfect mobility, dan ex ante limits to competition.

Munculnya RBV berawal dari pendekatan klasik dalam formulasi strategi yang pada umumnya berangkat dari penilaian terhadap kompetensi dan sumber daya perusahaan, di mana hal – hal yang berbeda (distinctive) atau superior dari pesaing dapat menjadi basis keunggulan kompetitif (Andrews, 19971; Thompson dan Strickland, 1990). Asumsi dasar RBV adalah bahwa sumberdaya dalam perusahaan bergabung menjadi satu (bundles) dan kemampuan yang mendasari produksi tidak sama satu dengan lainnya. Perusahaan yang memiliki serta menggunakan sumberdaya dan kemampuannya secara efisien memiliki peluang yang lebih besar untuk beroperasi secara lebih ekonomis dan atau lebih baik dalam memuaskan pelanggan. Keaneka-ragaman (heterogeneity) menunjukkan secara tidak langsung bahwa suatu perusahaan yang memiliki berbagai kemampuan dapat berkompetisi dan hasil minimal yang diperolehnya setidaknya impas (breakeven). Sementara perusahaan dengan sumberdaya marginal hanya dapat berharap memperoleh impas, namun perusahaan dengan sumberdaya superior akan memperoleh rents.

Menggunakan pendekatan Ricardian rent, dapat disimpulkan bawah perusahaan yang memiliki sumberdaya superior - yang tersedia secara terbatas - dan menggunakannya secara efisien dapat mempertahankan keunggulan kompetitifnya sepanjang mampu mengendalikan sumberdayanya agar tidak dimiliki pihak lain secara bebas atau ditiru oleh pesaing. Keadaan semacam ini mirip dengan monopoly rent, perbedaannya terletak pada dalam model monopoli keaneka-ragaman dihasilkan dari kompetisi spasial atau perbedaan produk. Keuntungan (profit) monopoli diperoleh dari pembatasan output yang dilakukan secara sengaja, sementara dalam Ricardian rents, keuntungan diperoleh dari kelangkaan yang sudah menjadi sifat (inherent scarcity) dari pasokan sumberdaya. Terlepas dari kedua rents di atas, agar keunggulan kompetitif tetap bertahan kondisi keaneka-ragaman sumberdaya harus tetap dipelihara dengan menjaga rents tetap di atas biaya (ex ante limits to competition).

Kajian mengenai RBV terpusat pada dua faktor kritis yang membatasi ex post competition: imperfect imitability dan imperfect substitutability. Kedua upaya ini disebut sebagai mekanisme isolasi (Rumelt, 1987), atau mobility bariers (Caves dan Porter, 1977), atau perluasan entry barriers (Bain, 1956). Sebaliknya, Yao (1988) berpendapat bahwa kegagalan keunggulan pasar secara mendasar disebabkan oleh ekonomi produksi dan sunk costs, transaction costs dan imperfect information. Faktor – faktor lain yang dapat menghambat imitasi adalah time compression diseconomies, asset mass efficiencies, interconnectedness of asset stocks, asset erosion, dan causal ambiguity (Dierickx dan Cool, 1989). Faktor imobilitas atau imperfect mobility merupakan kebutuhan kunci lain untuk keunggulan yang lestari (sustainable).

Analisa sumberdaya perusahaan dan posisinya dalam persaingan merupakan salah satu hal yang perlu dilakukan dalam pengembangan strategi menggunakan RBV (Thompson et all, 2005). Pada tataran praktikal, analisa diawali dengan mempertanyakan seberapa baik strategi yang ada, kemudian melakukan identifikasi terhadap kekuatan dan kelemahan sumberdaya perusahaan yang dimiliki serta peluang dan ancaman yang ada di luar lingkungan perusahaan. Langkah berikutnya mengevaluasi apakah harga produk/jasa dan biaya sudah unggul dari para pesaing. Ketiga langkah di atas kemudian digunakan untuk menganalisis apakah perusahaan lebih kuat atau lebih lemah dari para pesaing. Dengan mengetahui posisi perusahaan relatif terhadap pesaing dalam suatu industri, manajemen dapat menggunakan informasi tersebut untuk mengidentifikasi isu – isu strategis yang memerlukan perhatian, terutama bila strategi yang ada belum mampu menjawab perubahan yang terjadi di lingkungan luar, atau tidak dapat memanfaatkan sumberdaya perusahaan secara efisien dan efektif.

Jika manajemen memutuskan untuk mengubah strategi yang ada, pertanyaannya adalah tindakan (actions) apa saja yang diperlukan untuk memromosikan pelaksanaan strategi dengan lebih baik. Thompson et all (2005) menawarkan lima tindakan manajerial yang memfasilitasi eksekusi strategi, sementara Afuah (2004) menawarkan pengelolaan sumber penghasilan (sources of revenues) dan sasaran pasar. Lima tindakan yang disebutkan Thompson et all mencakup: penyusunan sumberdaya yang mendorong eksekusi strategi dengan baik; penerapan kebijakan dan prosedur yang dimaksudkan untuk memfasilitasi eksekusi strategi; memakai best practices dan mengupayakan peningkatan berkelanjutan dalam aktivitas rantai nilai (value chain); menggunakan sistem informasi dan operasi yang memungkinkan personalia perusahaan untuk melaksanakan peran strategis masing – masing dengan cakap; dan memberikan hadiah (rewards) dan atau insentif kepada semua eksponen perusahaan atas pencapaian strategi maupun sasaran keuangan.

Sejalan dengan pemikiran di atas, Afuah (2004) berargumen bahwa keberhasilan strategi perusahaan dapat diukur dari nilai kepuasan pelanggan yang tercermin dari berulangnya mereka membeli produk/jasa perusahaan. Persoalannya, value yang diharapkan berbeda dari satu pelanggan ke pelanggan lainnya, oleh karenanya menjadi penting bagi perusahaan untuk memutuskan pelanggan atau kelompok pelanggan mana yang akan dijadikan sasaran layanan, serta seberapa banyak permintaan value mereka akan dilayani. Selain itu pada suatu sasaran pasar seringkali terdapat peluang untuk memperoleh lebih dari satu sumber pendapatan, dan tambahan revenue ini bahkan memberikan tingkat keuntungan yang lebih besar dari sumber utamanya. Dicontohkan penjual mobil, selain memperoleh keuntungan dari penjualan mobil juga mendapat tambahan penghasilan dari jasa perbaikan dan pemeliharaan yang memberikan tingkat keuntungan yang lebih besar dari penjualan mobil.

Selain memberi value kepada pelanggan yang lebih baik dari pesaing serta mengidentifikasi sumber – sumber penghasilan dari target pasar, Afuah menambahkan perlunya menghubungkan (connect) semua aktivitas di dalam internal perusahaan guna memfasilitasi model bisnis yang menguntungkan. Kemampuan perusahaan menawarkan value (melalui low-cost or differentiated products) merupakan hasil dari serangkaian aktivitas nilai-tambah yang mendukung kreasi produk atau layanan. Aktivitas nilai tambah yang dimaksud merupakan kombinasi antara pengelolaan sistem bisnis yang mengandalkan sumberdaya perusahaan, sistem nilai yang berlaku pada suatu industri, dan keterkaitan vertikal (vertical linkage) dengan industri terkait.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa RBV merupakan pendekatan alternatif dalam menyusun strategi perusahaan. Strategi ini mengandalkan kekayaan sumberdaya yang ada, namun juga memerhatikan lingkungan luar baik yang dapat dikendalikan maupun yang di luar kemampuan perusahaan untuk mengendalikannya. Kunci sukses penerapan strategi berbasis sumberdaya ini, terletak pada kemampuan perusahaan memelihara keaneka-ragaman, mencegah pesaing meniru atau memiliki sumberdaya yang secara unik dikuasai (ex post limits to competition), menjadikan pesaing selalu mengalami imperfect mobility, dan mengelola semua sumberdaya secara efisien dan efektif dalam penggunaannya (ex ante limits to competition). Analisis sumberdaya dan kapabilitas internal juga perlu melibatkan pemahaman mengenai faktor – faktor yang menjadi sifat industri seperti competitive and macro forces, cooperative forces, dan industry value drivers. Selain itu, guna memastikan tingkat keuntungan – sebagai hasil dari strategi bisnis - perusahaan perlu memastikan posisinya relatif terhadap: customer value, segmen pasar yang menjadi sasaran, sumber – sumber penghasilan, persaingan pasar, dan harga produk/jasa yang ditawarkan.

Mengacu referensi yang menjadi sumber utama paper ini, satu kritik terhadap RBV terutama pada belum adanya definisi yang jelas mengenai peran sumber daya manusia (SDM) di dalam lingkungan perusahaan sebagai bagian dari strategi, apakah diperlakukan sebagai aset atau liability. Hal ini mengingat tidak semua personalia perusahaan dapat digolongkan sebagai aset. Jika demikian, perusahaan yang SDM-nya lebih sebagai liability harus mengubahnya terlebih dahulu sehingga menjadi aset, sebelum menerapkan strategi berbasis sumberdaya. Dalam hubungannya dengan perubahan orientasi pasar dari monopoli, captive menjadi persaingan (competitive market) , keraguan juga muncul, apakah basis pelanggan (customer base) dapat dianggap sebagai sumberdaya yang dapat di-internalized, atau harus dianggap sebagai faktor luar merupakan variabel yang sulit diperkirakan preferensinya. Beberapa perusahaan memperlakukan customer base sebagai aset yang mempengaruhi nilai perusahaan (industri jasa telekomunikasi dan perbankan), namun demikian perusahaan pada kedua industri ini seringkali mengalami kesulitan ketika pelanggan tidak lagi puas dengan value yang ditawarkan sehingga beralih kepada pesaing. Dalam kondisi seperti ini, sumberdaya dan saya saing perusahaan menjadi berkurang.*****

Filosofis, Agama, Atau Urusan Perut

Dalam diskusi pro-kontra open source versus proprietary, saya mempertanyakan mengapa wacana diskusi hanya pada tataran senang atau tidak senang terhadap produk tertentu, bukankah ada tujuan yang lebih utama dalam pemanfaatan teknologi informasi? menanggapi pertanyaan saya, Mas Budi Rahardjo dalam milist technomedia menyatakan "Pemilihan produk atau teknologi yang dipilih itu ternyata tidak hanya terbatas di sisi teknis saja, akan tetapi sudah mengarah kepada
filosofi. Ibaratnya pemilihan teknologi ini seperti pemilihan AGAMA.

Selanjutnya Mas Budi menyatakan, semua agama tentu tujuannya baik, tetapi kita memiliki agama yang berbeda-beda. Tentu saja masing-masing merasa bahwa agama dia yang paling benar. Jadi, meskipun tujuannya sama akan tetapi tetap akan ada perdebatan mengenai perbedaan itu. Jadi perdebatan Linux vs Microsoft bukan sekedar masalah rejeki akan tetapi masalah filosofi (Open Source vs. Proprietary).

Pada bagian akhir pernyataan Mas Budi mengatakan, Nah sekarang yang diperebutkan adalah orang-orang untuk
mengikuti "agama TIK" kita. he he he. Oh ya. Dalam satu agamapun ada madzhab yang berbeda. Di Linux ada yang seperti ini juga. he he he. Misalnya ada yang suka Debian, Redhat, Slackware, Suse, ... dst.

Mencermati pendapat mas Budi saya melihat jika diskusi mengarah kepada aspek filosofi dan di-analogikan seperti agama, maka pertama, pada tataran filosofi, biasanya diskusinya fokus pada konsepsi, penalaranan, teoritis, metoda pemikiran, dan pengembangan keilmuan. lha dari yang saya baca di milist ini, ramenya hanya pada tataran aplikasi (baca penerapan suatu teknologi) yang kemudian terjebak pada isu-isu sempit. saya ingat Mas Budi sempat ulas buku Cathedral and Bazaar (?) saya belum sempat baca cover to cover, hanya sekilas saja, rasanya buku-buku semacam inilah yang dapat menjadi titik tolak bagi pegiat open source (OS) ketika hendak berwacana pada tataran filosofis. mungkin para teknolog (mengutip istilah yang dikemukakan oleh rekan adi indrayanto) masih lebih suka baca "bit and byte", yang terkesan heroic dan techiest. adapun saya (yang sudah bukan teknolog) lebih suka baca bukunya John Mingers and Leslie Willcocks eds (2004) "Social Theory and Philosophy for Information System" dan karya James W. Cortada (2002) "Making The Information Society" (yang keduanya tidak ada nuansa heroic sama sekali, buku pertama kajian filosofis, buku kedua tentang know how, praktikal).

kedua, jika dianalogikan seperti AGAMA, ada wajah lain dari agama yang barangkali berbeda dengan pergerakan open source dalam "melawan" hegemony proprietary. di lingkungan agama dunia, yang minoritas relatif stabil, sedangkan yang majorias sangat dipenuhi dengan dinamika bahkan pertentangan mengenai how to build a good society (dalam pengertian luas). yang disebabkan oleh adanya perbedaan pemahaman dan kepentingan politik. sementara itu di kancah system operasi komputer, kejadiannya terbalik, yang mayoritas (baca:penguasa pasar) tampil anggun, menjalankan strategi bisnis secara terencana, terukur dan terkendali, lobby-lobby politik dan bantuan ekonomi dilakukan di banyak negara, citra sebagai korporasi yang baik selalu diupayakan. sebaliknya pegiat open source (yang secara agregat masih dapat dikatakan sebagai minoritas) berbisnis layaknya organisasi LSM, bukan seperti lazimnya pelaku bisnis profesional. entrepreneurship memang menonjol dalam kiprah pegiat open source, namun entrepreneurship saja tidaklah cukup dalam industri ICT yang semakin kompetitif.

ketiga, di dalam AGAMA samawiyah, yang muncul belakangan (Islam) ternyata mendapat respon dan dianut oleh majoritas penduduk dunia, sementara yang diwahyukan sebelumnya (Kristen dan Yehuda) dianut oleh relatif kecil dibandingkan yang diwahyukan sesudahnya (Islam). mengapa hal ini terjadi, mungkin ahli sejarah agama lebih mahir untuk menjelaskan dari pada saya. dalam konteks sistem operasi komputer, keadaannya terbalik. proprietary (dalam hal ini MS) yang datang lebih dulu mampu bertahan dan malahan menjadi penguasa pasar.

dikatakan full proprietary sebenarnya juga tidak. jika boleh dibagi dalam kelompok, kelompok proprietary Operating System (O/S) generasi pertama adalah ketika mulai dibuatnya O/S untuk mendukung komputer, pada generasi ini semua O/S komputer adalah proprietary (karena hanya ada satu jenis). ketika komputer sudah masuk ke ranah industri komersial, masing- masing produsen membuat pembeda dari produsen komputer lainnya. hal inilah yang mendorong munculnya proprietary O/S generasi kedua, yang dapat dilihat dari adanya berbagai merek komputer dengan O/S yang spesifik, satu komputer tidak dapat berbicara dengan komputer merek lain. bagi mereka yang tahun 1970-1980an sudah belajar komputer mungkin masih ingat masing-masing merek punya O/S sendiri (saya dulu pakai PRIMOS, O/S-nya Prime computer). melihat akibat dari islandisation of O/S ini malah merugikan pengguna komputer, mulailah muncul UNIX yang diharapkan bisa menjadi "jembatan" bagi berbagai proprietary software. kompatibilitas dan konektivitas menjadi isu penting dalam UNIX. di Jakarta, mereka yang sudah bergiat di bidang komputer pada tahun 80-an hingga awal 90-an mudah-mudahan ingat ada organisasi INDONIX (Indonesian Unix User Society). Nah kembali ke generasi proprietary, MS muncul sebagai O/S generasi ketiga dengan ide mengatasi kendala yang timbul pada mesin-mesin besar, kalau tidak boleh dikatakan mencuri ide-nya UNIX. kompatibiltas dan konektivitas inilah yang digotong MS pertama kali. apapun komputernya O/S-nya MS. demikian kira-kira bahasa iklan meniru iklannya produk teh botol. jika kita cermati, dibalik visi bill gates (apapun komputer-nya, O/S-nya MS) terkandung masalah keterbukaan system (open system). open system inilah isu yang rame ketika mulai muncul UNIX dan sayangnya yang berhasil meraih sukses dalam skala besar hanya MS.

perkembangan selanjutnya, karena MS berdomisili di amrik yang menghargai dan melindungi karya cipta, mendorong inovasi dengan memberikan reward bagi para inovator, percaya bahwa kemakmuran sosial ekonomi dapat tercapai dari karya-karya penemuan, inovasi dan kompetisi sehat, maka MS tumbuh bak jamur di musim hujan. pertumbuhan me-raksasa ini menjadikan yang semula "terbuka" menjadi diusahakan "tertutup" kembali melalui mekanisme penerapan dan enforcement IPR. di banyak negara yang siap dengan dan mengantisipasi gelombang "penutupan kembali karya cipta yang semula terbuka" membuat kebijakan yang menguntungkan masyarakatnya, Bli Made bisa cerita bagaimana Jerman membuat kebijakan ini. pada tataran kebijakan, isu utama bukan pada pilihan "A" atau "B" atau lainnya, namun bagaimana pemerintah dan masyarakat penguna komputer dapat memanfaatkan komputer secara legal, bermartabat, bermanfaat, produktif, aman, efisien, efektif, dan mampu meningkatkan daya saing negara.

di AGAMA berlaku ketentuan "meng-AGAMA-kan orang yang sudah beragama itu tidak etis, bahkan diangap musuh (penganut) AGAMA. dulu di kampung saya ada misionaris yang hampir mati dikeroyok karena dianggap merekrut penganut AGAMA tertentu (yang relatif miskin) untuk pindah ke AGAMA yang dibawa misionaris, dengan bantuan pangan dan obat-obatan. Sangat sensitif. Lah kalau di O/S komputer, "me-Linux-kan orang yang sudah ber-MS" dipandang hal biasa. bagi sementara kalangan malah wajib. sementara teman-teman MS memiliki misi "memelekkan orang yang belum melek komputer". jika kalimat saya ini benar, mana yang lebih mulia?

beberapa bulan lalu di Warta Ekonomi saya menulis kolom dengan judul "Be Legal". di sarasehan guru telematika se indonesia di semarang selasa 27 agustus 2007 lalu ketika menjawab pertanyaan peserta tentang apakah harus pilih Open Source (OS) atau proprieatry (MS) saya jawab, ada dua level isu: pertama berkaitan dengan dunia internasional, martabat bangsa, governance, jawabnya "Be Legal", kedua untuk menjadi legal Anda punya pilihan, mau yang berbayar atau yang free domain. yang berbayar bisa yang murah (atau gratis, tidak diharuskan membayar) atau yang mahal. yang murah atau gratis bisa diperoleh jika Anda (para guru pengajar dan pengelola unit telematika di sekolah) bisa rame - rame didukung pemerintah dan asosiasi minta harga discount, atau minta donasi kepada produsen proprietary sebagai realisasi Corporate Social Responsibility (CSR). yang mahal tidak usah dibahas. mau yang free domain? tinggal download Ubuntu, Debian, Redhat, Slackware, Suse, dll. dari Internet. Yang penting LEGAL.