Wednesday, April 27, 2011

Triple Bottom Line: Bisnis Bukan Hanya Cari Profit

Sekarang ini, mengutamakan profit tak lagi menjamin bisnis terus mendapat untung, eksploitasi bisnis tanpa memerhatikan lingkungan sosial, alih – alih mendapat untung, lambat ataupun cepat malahan menjadi buntung. Masih banyak pelaku bisnis yang beranggapan bahwa keuntungan yang diraihnya merupakan hasil karya mereka sendiri, peran lingkungan dan sosial masyarakat, tak masuk dalam hitungan. Padahal faktor internal perusahaan seperti modal, investasi, pegawai, manajemen, sistem dan prosedur hanyalah bagian kesil dari ekosistem bisnis yang mendukung keberadaan dan kelangsungan hidup industri. Alhasil, ketika ketidak-pedulian ini semakin tinggi, industri terus mengeksploitasi sumber daya tanpa memerhatikan keseimbangan lingkungan dan kepentingan sosial, bencana tak dapat dihindarkan. Banyak perusahaan lambat namun pasti akan merugi, bangkrut, dan akhirnya industri tertentu akan punah.

Ada banyak contoh yang dapat mendukung pernyataan di atas, salah satunya adalah punahnya industri penangkapan ikan paus (whale) di Amerika Utara. Bisnis perburuan paus sempat booming pada 1840-an, terus berlanjut hingga 1950-an. Perburuan paus dan ikan – ikan jenis lainnya yang nilai komersialnya tinggi secara luar biasa banyaknya dan terus menerus selama hampir 100 tahun, tanpa menghiraukan kecepatan tumbuh binatang buruan tersebut, menuai berturun drastisnya populasi paus sehingga semakin sulit nelayan menangkap ikan dan pabrik-pabrik pengolahan ikan tutup dan akhirnya habislah industri penangkapan paus amerika utara.

Praktek semacam yang dilakukan industri penangkapan paus di Amerika Utara awal abad 20 ternyata masih ditiru oleh berbagai sektor bisnis lain terutama yang mengandalkan sumber daya alam sebagai bahan baku komoditas, seperti namun tidak terbatas pada pertambangan, perhutanan, dan penangkapan ikan. Dalam jangka pendek mungkin belum dirasa dampaknya, namun mengacu prinsip going concern yakni bisnis mesti terus berlangsung sepanjang hayat, maka dalam jangka panjang bisa jadi pasokan bahan baku (minyak bumi, batu bara, kayu, ikan) habis, berhentilah kegiatan industri – industri tersebut.

Jadi kata kunci yang ingin disampaikan di sini adalah kelestarian bisnis (business sustainability) yang perlu menjadi paradigma baru bagi segenap pelaku bisnis di sektor apapun. Pertanyaan sederhananya, bagaimana pelaku bisnis sebaiknya mengelola perusahaannya sedemikian rupa sehingga lestari. Bukankah dalam menjalani bisnis perusahaan tak hanya membutuhkan sumber daya keuangan (seperti investasi dalam wujud mata uang dan penghasilan dari penjualan) namun juga sumber daya lingkungan seperti air, energi listrik, bahan baku; dan sumber daya sosial seperti sumber daya manusia serta infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah?

Awalnya para ahli manajemen berteori bahwa bisnis akan terus eksis bila secara konsisten dalam periode yang panjang meraih untung wajar. Persoalannya untuk dapat konsisten dalam periode panjang tak hanya membutuhkan kepiawaian dalam mengelola perusahaan melainkan juga perlu dan kuatnya dukungan lingkungan eksternal berupa lingkungan dan sosial. Kita tahu, bahan baku atau segala macam yang dibutuhkan industri mesti didatangkan dari pihak luar. Nah apabila pihak luar ini tak mampu lagi mendukung karena berbagai alasan, maka kelestarian perusahaan masuk ke dalam kategori bahaya. Demikian juga ketika produk yang dihasilkan tak berterima di masyarakat lantaran produknya dianggap jelek atau membahayakan, atau proses produksinya mencemari lingkungan, atau sebab – sebab lainnya, maka inipun pada akhirnya akan membuka peluang bagi berhentinya aktivitas suatu industri.

Pertumbuhan ekonomi dan sukses finansial adalah penting dan memberikan manfaat signifikan bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan. Namun demikian nilai – nilai kemanusiaan lainnya – seperti keharmonisan rumah tangga, pertumbuhan kecerdasan sosial, ekspresi seni, pembangunan moral, spiritual dan etika - juga tak kalah pentingnya untuk diperhatikan dan dimasukkan dalam pengelolaan perusahaan. Kelestarian usaha dalam konteks ini diartikan sebagai mengelola bisnis untuk meraih untung dan pertumbuhan bersamaan dengan itu mengenali dan mendukung aspirasi ekonomi dan non-ekonomi masyarakat baik di dalam maupun di luar perusahaan, di mana keberadaan bisnis bergantung kepadanya.

Dalam tataran operasional strategik, meraih kelestarian bisnis dapat dilakukan dengan identifikasi segenap stakeholder, membangun hubungan erat dengan mereka, dan temukan cara terbaik untuk bekerja sama secara menguntungkan bagi semua pihak. Bila hal ini dapat dikerjakan, dalam jangka panjang dapat menciptakan profit dan atau manfaat yang lebih besar tak hanya bagi perusahaan, namun juga memberi kemakmuran sosial, ekonomi dan lingkungan bagi masayarakat.

Mereka yang sudah menyadari dan meyakini perlunya sinergi dengan lingkungan sosial dimana perusahaan eksis, mengaktualisasikannya ke dalam program Corporate Social Responsibility (CSR). Istilah CSR lebih banyak mengandung makna tanggung jawab (responsibility) bagi perusahaan terhadap lingkungan sosial. Jadi lebih fokus pada lingkungan luar, padahal kelestarian bisnis (sustainability) memberi makna kesamaan pentingnya meraih manfaat yang dinikmati oleh bisnis itu sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk meraih sustainability, perusahaan perlu peduli terhadap lingkungan alam sekitar (natural environment), hak-hak pegawai, perlindungan konsumen, corporate governance, dan pengaruh perilaku bisnis terhadap issue-issue sosial pada umumnya seperti kekurangan pangan, kemiskinan, pendidikan, perawatan kesehatan, HAM, yang semuanya dihubungkan dengan profit.

Berangkat dari perspektif CSR di atas ada sebagian pihak yang membuat tantangan “bagaimana masyarakat dapat memetik manfaat jika perusahaan melakukan lebih banyak tindakan yang bertangung jawab (responsible approach)?” pertanyaan tantangan tersebut menjadi kurang relevan lagi karena yang lebih penting justru “bagaimana perusahaan meraih untung semakin banyak dengan mengerjakan hal-hal yang benar termasuk memberi perhatian besar terhadap lingkungan (environmental) dan sosial kemasyarakatan.

Menjawab pertanyaan terakhir, John Elkington menawarkan konsep Triple Bottom Line (TBL). Elkington menganjurkan agar bisnis perlu mengukur sukses (atau kinerja) tak hanya dengan kinerja keuangan (berapa besar deviden atau bottom line yang dihasilkan, yang dinyatakan dalam rasio seperti ROI, profitabilitas, shareholder value) namun juga dengan pengaruh mereka terhadap perekonomian secara luas, lingkungan dan masyarakat di mana mereka beroperasi. Bisnis yang lestari perlu memiliki kemampuan untuk mengukur, mendokumentasikan, dan melaporkan ROI yang positif untuk semua tiga bottom lines – ekonomi, lingkungan (environmental), dan sosial yang masing-masing setara besarnya. TBL yang positif merefleksikan peningkatan nilai perusahaan, termasuk profitabilitas dan shareholder value, serta nilai sosial, kemanusiaan dan modal lingkungan.

Bagaimana mewujudkan TBL dalam praktek perusahaan? Siapa saja perusahaan di Indonesia yang sudah menerapkan TBL? Bagaimana perubahan yang terjadi setelah perusahaan menerapkan TBL, baik terhadap lingkungan internal maupun eksternal? Bagaimana reaksi shareholder atas penerapan TBL di perusahaan milik mereka? Bagaimana dukungan pegawai terhadap implementasi TBL? Adakah pihak yang menentang konsep maupun implementasi TBL? Bila ada, apa argumen mereka?

Pertanyaan – pertanyaan tersebut di atas layak mendapat jawaban. Sementara ini saya masih mengumpulkan jawabannya. Barangkali di antara Anda ada yang sudah punya data dan berkenan memberikan jawabannya, tentu kita semua akan sangat senang untuk diskusikan di forum ini.

Sunday, April 24, 2011

Korupsi Sulit Terendus

Setelah mengulas ringkas Korupsi Lisensi, ternyata ada lagi jenis korupsi yang masih jarang terendus oleh aparat pemburu koruptor. Apa itu?

Pernahkah Anda perhatikan, sampai sekarang masih banyak orang bilang "setiap ganti Menteri, ganti kebijakan". Contoh yang sering terjadi di Departemen (sekarang Kementerian) yang mengurusi bidang pendidikan nasional. masih ingat di tengah dekade 70-an ketika ada seorang Menteri yang mengubah awal tahun ajaran baru dari Januari ke Juni, yang kalau tak salah ingat, alasannya biar mirip model yang diterapkan di luar negeri. Lain lagi yang terjadi di suatu kementerian yang mengurusi bidang komunikasi. Pejabat birokratnya masih sama, ketika ganti menteri sang pejabat birokrat juga yang mengubah kebijakan yang dibuatnya sendiri pada periode menteri sebelumnya, padahal kebijakan yang lamapun belum terimplementasi dengan baik. Apa hubungan antara ganti menteri ganti kebijakan dengan korupsi?

Satu lagi, bila diperhatikan, menyusul pergantian direksi BUMN pada umumnya berlaku juga perubahan gaya kepemimpinan maupun manajerialnya. Perubahan semacam ini masih wajar, mengingat karakter kepemimpinan dan bagaimana direksi baru mengelola (me-managemen-i) perusahaan akan menentukan sukses atau gagal membawa amanah yang diberikan oleh pemegang saham.

Yang menarik, banyak terjadi, tidak lama setelah pergantian direksi (baca: dari Dirut hingga beberapa direktur lainnya) diikuti dengan pergantian logo perusahaan, baik yang dihasilkan melalui sayembara maupun pesanan khusus kepada perusahaan konsultan pembuat logo. Pergantian logo? Apa hubungannya dengan korupsi?

Amati dan perhatikan juga, bagaimana banyak perusahaan besar (baik BUMN maupun swasta) berlomba memberikan donasi atau sponsorship untuk berbagai acara baik yang bersifat sosial maupun komersial. Yang bersifat sosial dapat pula dikemas dalam program CSR, sebagai pertanda keikut-sertaan dalam dinamika sosial dengan lingkungan di mana perusahaan beroperasi, maupun kegiatan independen yang tak terkait dengan CSR. Sekali lagi, apa hubungan antara donasi, sponsorship, CSR dan korupsi?



Modus pergantian kebijakan

Publik yang awam tentu tak banyak paham bagaimana proses pembuatan kebijakan baru, apalagi kalau tak punya urusan langsung dengan instansi pemerintah. Ketidak-tahuan publik inilah yang dimanfaatkan oleh birokrat dan teknokrat ketika mereka baru duduk di kursi kekuasaan untuk membuat kebijakan baru menggantikan kebijakan lama yang – barangkali – belum sempat diimplementasikan. Apa yang mereka lakukan? Membuat Undang-Undang (UU), kebijakan atau regulasi baru.

Dengan alasan keterbatasan kemampuan sumber daya manusia, untuk membuat draft UU, kebijakan atau regulasi biasanya dialih-dayakan ke konsultan. Nah di sinilah peluang untuk membuat deal secara manual dengan perusahaan konsultan yang akan dimenangkan untuk mengerjakan pembuatan draft UU, kebijakan atau regulasi. Bayangkan, hampir tak ada acuan (baku) untuk menentukan besaran biaya yang dibutuhkan untuk membuat UU, kebijakan atau regulasi. Suatu draft UU bisa saja menghabiskan ratusan juta atau puluhan milyar, boleh dikatakan besarannya tergantung para pejabat publik yang berwenang menetapkan anggaran.

Praktek semacam ini yang kemudian sering saya sebut di depan kelas, kepada para mahasiswa, mengapa sedikit sekali kebijakan publik yang lestari, berkualitas, usia regulasi bukan ditentukan oleh ketidak-sesuaiannya dengan perubahan zaman, melainkan karena perbedaan selera para penguasa, dan adanya tujuan tersembunyi di balik pergantian UU, kebijakan dan regulasi menyusul pergantian pejabat tinggi.



Modus Ganti Logo

Bagi sementara kalangan, membuat logo perusahaan adalah sebuah kriya atau karya seni. Layaknya karya seni, maka ada dua pendekatan untuk menilai kualitasnya. Pertama, dengan melihat bobot seni yang acuannya tentu sangat subjektif dan relatif. Subjektif karena bobotnya tergantung dari apakah pemesan dapat menerima argumen yang disorongkan oleh pembuatnya, sementara relatif karena tentu saja penilaian seseorang akan berbeda dari orang lain, hal ini lumrah karena apresiasi untuk sebuah karya seni sangat ditentukan oleh apakah si penilai memahami dan menghayati kesenian atau hanya sekedar awam belaka. Kedua, dengan mengukurnya dari besaran biaya yang diajukan oleh si pembuat. Ada karya seni yang nilai seninya tergolong atau dianggap tinggi (oleh kalangan pegiat seni) namun oleh si pembuatnya dijual dengan harga rendah (misal karya seni patung suku Asmat), sebaliknya ada karya seni bermutu rendah namun dihargai tinggi (yang ini banyak sekali contohnya).

Dua karakter karya seni inilah yang digunakan sebagai lubang keluaran (loop holes) untuk praktek korupsi yang sulit terendus. Ketiadaan standar biaya dan relatifitas dalam menilai karya seni digunakan sebagai modus dalam praktek korupsi dengan deal manual antara pemesan (biasanya direksi baru BUMN/S) dengan pembuat logo.

Praktek korupsi tak berhenti hanya di perubahan logo. Menyusul perubahan logo akan dilanjutkan dengan pergantian logo di kartu nama, stempel, mesti pasang iklan di berbagai media untuk memperkenalkan logo baru, ganti kop surat dan lain sebagainya. Semua aktifitas ini, meski boleh dibilang kecil tetapi agregasinya menjadi besar.



Modus Donasi, Sponsorship, CSR, Pasang Iklan

Bila perubahan logo tak dapat dilakukan karena berbagai alasan, jangan khawatir, masih ada cara lain untuk melakukan korupsi yang sulit terendus.

Ketika perusahaan atau instansi pemerintah memberikan donasi, bantuan sosial untuk korban bencana, panti asuhan, peringatan hari raya nasional, dukungan kepada ormas, atau para miskin, maka pemberian donasi ini dapat menjadi “kendaraan” bagi praktek korupsi. Salah satu contoh yang sudah terungkap oleh KPK adalah praktek korupsi bansos mesin jahit, sapi, busana yang diberikan oleh suatu kementerian yang mengurusi masalah sosial. Bahkan menterinya pun ikut dijadikan tersangka. Kenapa kalau di instansi pemerintah mudah terendus, namun kalau di BUMN atau swasta sulit diketahui? Apakah karena birokrat pemerintah kurang canggih dalam ber-korupsi? Bisa jadi birokrat pemerintah kurang canggih. Kalau yang disumbangkan berupa barang yang mudah dicari tahu harga per unitnya pasti gampang diketahui kalau dalam pemberian donasi telah terjadi korupsi. Namun kalau yang didonasikan berupa intangible goods yang tak ada standar harganya atau berupa man power yang jumlahnya mudah dimanipulasi atau barang yang langka, maka besar kemungikan donasi yang disusupi itikad korupsi sulit terendus oleh hidung pemburu koruptor.

Modus serupa terjadi juga pada sponsorship yang – sekali lagi – traceability-nya rendah karena belum ada standar baku yang dapat dijadikan acuan kelayakan sebuah sponsorship. Sebagai contoh, bila sebuah BUMN membukukan pemberian sponsorship rp. 5 milyar untuk event olahraga, kalau hanya dilihat dari pembukuan dua belah pihak (pemberi dan penerima) mungkin tak akan terlihat telah terjadi korupsi, karena bisa saja angka di buku pemberi sama dengan angka di buku penerima. Tetapi pemberian 5 Milyar untuk sebuah event perlu dinilai layak tidaknya. Karena bisa saja di balik sponsorship, ternyata ada deal tertentu yang menguntungkan oknum di pihak pemberi dan penerima.

CSR, cita-citanya memang mulia, namun dalam implementasinya masih banyak lobang tikus, yang dapat digunakan sebagai kendaraan untuk melakukan korupsi. Beberapa kelemahan dalam implementadi CSR antara lain: (1) belum adanya standar umum untuk menilai kelayakan besaran sebuah program CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan. Apakah berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan tahun sebelumnya, atau berdasarkan profit atau ditetapkan oleh pemerintah, atau diskresi pimpinan perusahaan. (2) target penerima CSR sangat beragam, boleh dikatakan siapa saja dapat menerima program CSR, saya menduga belum ada panduan dari pemerintah perusahaan bidang X sebaiknya memberikan CSR untuk bidang x’, x’’… xn saja, di luar itu sebaiknya dilakukan oleh perusahaan lain.

Seperti modus yang terjadi di ganti logo, iklan dan sponsorship maka di modus CSR inipun tak mudah untuk mengendusnya, karena “kepentingan oknum” dititipkan di kegiatan CSR yang ditargetkan kepada kelompok masyarakat tertentu. Bila penerima tak bersedia membawa dan menyerahkan “titipan” maka urung mereka menjadi penerima atau target CSR. Sulit terendus, karena “barang” (meminjam istilah anggota DPR) yang diserahkan bukan berupa barang yang lazim dan mudah diukur keberadaan dan harganya, seperti kompor, alat bantu kerja, dan lain sebaainya; melainkan “barang” tersebut dalam wujud intangible yang relatif sulit dilacak keberadaannya.

Sama halnya pembuatan logo, pembuatan materi iklan sampai batas tertentu juga dianggap sebagai karya seni. Kalau sudah masuk karya seni maka standar penetapan harga menjadi bias dan sangat relatif, karena _sekali lagi - tak ada standar yang dapat menjadi acuan. Kata seorang kawan, korupsi iklan itu “enaknya puoollll”



Merger dan Akuisisi

Setiap kali terbaca berita di koran perusahaan A merger dengan perusahaan B, atau perusahaan C mengakuisisi perusahaan D, muncul pertanyaan tiadakah itikad korupsi di dalamnya oleh para pelakunya?

Saya berteori, setiap transaksi bisnis berpeluang terjadi korupsi di dalamnya. Merger dan Akuisisi (M&A) termasuk transaksi bisnis, maka bila konsisten dengan teori di atas, di dalam setiap M&A mungkin saja terjadi (ada peluang) korupsi.

Bagaimana modusnya? Sama seperti korupsi konvensional, menaikkan (inflating) harga saham, misal harga wajar rp 100,- per saham, transaksi menjadi rp. 200,- per saham. Setelah terjadi transaksi maka selisih nilai wajar dan nilai transaksi masuk ke kantong pribadi para oknum. Atau cara lain, oknum yang mewakili pembeli mendapat sejumlah komisi dari penjual yang disepakati di depan sebelum terjadinya transaksi



Pelajaran

Uraian di atas hanya khayalan belaka. Saya tak jamin kebenaran maupun kesalahannya, dan tak pula saya anjurkan pembaca memercayainya. Namun demikian, bila kita semua arif bijaksana, sembari mengamati lingkungan di sekitar keberadaan masing-masing, praktek semacam tersebut di atas sebetulnya bukan barang aneh lagi. Bagi sebagian orang malah sudah menjadi kebiasaan.

Selama ini yang banyak terdengar adalah korupsi yang dilakukan di instansi pemerintah, dengan pelaku pejabat birokrasi bekerja sama dengan rekanan swasta. Yang belum banyak terdengar adalah pengungkapan korupsi yang dilakukan oleh manajemen BUMN atau perusahaan swasta, tanpa melibatkan birokrat pemerintah, yang dilakukan dengan modus perubahan logo, pembuatan dan pemasangan iklan, sponsorship, CSR serta Merger dan Akuisisi.

Ketiadaaan standar baku yang harus dijadikan acuan dalam setiap transaksi dalam perubahan logo perusahaan, pembuatan dan pemasangan iklan di berbagai media, khususnya media elektronik (radio , Internet dan TV) , sponsorship, donasi, CSR, serta Merger dan Akuisisi menjadikan semua kegiatan tersebut di atas menjadi kendaran yang sangat empuk bagi para pimpinan perusahaan milik negara maupun swasta untuk bermanuver memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan merugikan publik atau pemegang saham.

Barangkali sudah masanya aparat pemburu koruptor mulai melangkahkan perhatian seriusnya kepada praktek korupsi di kalangan BUMN dan BUMS yang selama ini seperti tak terendus. Di tataran legislasi, barangkali juga sudah masanya UU Anti Korupsi di-ekstent tak hanya ihwal merugikan negara, namun mencakup pula merugikan publik dan pemegang saham.*****

Korupsi Lisensi

Kalau beli barang seharga Rp.100,- kemudian di-markup jadi Rp.125,- ini namanya korupsi. Membuktikan korupsi seperti ini mudah, apalagi kalau yang dibeli barang fisik yang banyak tersedia di pasaran seperti mesin jahit, sarung, pemadam kebakaran, komputer, dan barang sejenis lainnya. Praktek korupsi semacam ini dulu sangat subur makmur terjadi di lembaga pemerintahan. Sekarang, modus seperti ini sudah jarang terjadi, kalaupun masih terjadi biasanya dilakukan oleh pegawai pemerintah yang lokasinya jauh dari keriuh-rendahan kota metropolitan yang semakin banyak di negara tercinta ini.

Kalau korupsi markup harga sudah sangat mudah dilacak, lalu modus korupsi apa saja yang masih menjadi perburuan KPK? Ada banyak. Misalnya, korupsi perizinan atau korupsi lisensi. Apa itu?

Definisi bebas untuk korupsi lisensi adalah praktek korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara atau pejabat pemerintahan dengan menggunakan kewenangan yang ada pada dirinya untuk memberikan perizinan (lisensi) pengusahaan sumber daya ekonomi publik yang diberikan kepada swasta, atas pemberian lisensi ini, sang pejabat dan jajaran di bawahnya atau yang terkait mendapatkan upeti (gratifikasi) sebagai tanda terima kasih maupun sebagai transaksi kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.

Jadi dalam korupsi lisensi ini setidaknya terdapat 3 (tiga) unsur yang saling berkelindan membentuk praktek korupsi, Pertama, aktor atau para personalia yang terlibat seperti perusahaan atau individu pemohon aplikasi, staf birokrasi yang memproses secara administrasi dan teknis, pejabat tinggi yang berwenang menerbitkan perizinan, serta kadang kala ada aktor pembantu yang memfasilitasi seperti staf khusus, kawan dekat pejabat, penasehat pengusaha dan lain sebagainya yang menjembatani antara kepentingan swasta dan kewenangan yang melekat pada diri sang pejabat.

Unsur kedua adalah bidang usaha yang diajukan perizinannya. Bidang usaha yang menjadi latar belakang dari korupsi jenis ini adalah bidang usaha yang penyelenggaraannya diatur (regulated), baik pada tahap entry, maupun pelaksanaan bisnis (conduct). Mengapa perlu diatur? Ada beberapa alasan, pertama karena bisnis tersebut menguasai sumber daya publik, misalnya bisnis pertambangan, jasa telekomunikasi, kehutanan, transportasi, dan lain – lain; atau menyangkut kepentingan masyarakat luas seperti perbankan, asuransi, bursa saham, farmasi, restaurant, pabrikasi senjata dan peralatan militer, dan lain sebagainya. Intinya hampir semua bidang usaha diatur dan oleh karenanya memerlukan izin dari pemerintah.

Unsur ketiga adalah modus atau tata cara bagaimana korupsi lisensi tersebut dilaksanakan. Berbicara modus, dapat dibagi ke dalam beberapa jenis yang dibedakan dari magnitude atau besaran bidang bisnis dan sumber daya publik yangakan digunakan oleh pemohon aplikasi. Jenis pertama adalah modus otomatis, ini berlaku untuk semua jenis bisnis, seperti diketahui sebelum perusahaan didirikan, Notaris yang membantu pendirian perusahaan perlu mengecek ketersediaan (availability) nama perusahaan melalui Sisminbakum, tanpa ada “upeti” nama perusahaan tak mudah keluar dari sistem yang telah menelan korban dengan tuduhan korupsi tersebut. Upeti ini tentu harus ditangung oleh pihak yang akan mendirikan perusahaan. Setelah Akta Notaris terbit, ia perlu disahkan di Kemenkumham dan mengajukan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) serta izin – izin lainnya. Modus otomatis adalah jenis korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara layanan publik karena sifatnya otomatis melekat pada pelayanan, tanpa upeti otomatis, pemohon izin mesti rela berhari, berbulan atau bertahun menunggu terbitnya kertas perizinan yang diidamkan.

Jenis kedua adalah modus semi otomatis, ini adalah praktek yang banyak sekali dilakukan oleh para aktor untuk pengurusan izin penyelenggaran bidang usaha yang relatif sudah rame, tetapi masih tumbuh seperti jasa transportasi dalam kota (angkot), warung serba ada mini (mini dan midi), jasa restaurant, klinik kesehatan, rumah sakit, hotel, hiburan, dan lain-lain yang kewenangan perizinan ada di tangan pemerintah daerah. Dikatakan semi otomatis karena sejatinya untuk perizinan – perizinan bidang usaha tersebut sudah banyak Pemda yang melakukannya secara online, secara elektronik, terintegrasi dalam naungan kantor perizinan yang melibatkan berbagai dinas; namun demikian tanpa “upaya tambahan” berupa “upeti’ maka sistem layanan publik yang dirancang secara otomatis tak dapat berjalan lancar, jadi di titik-titik pertemuan antara satu proses dengan proses berikutnya masih dibutuhkan ‘pemicu” berupa upeti itu tadi.

Jenis ketiga adalah modus manual, ini adalah praktek korupsi lisensi untuk bidang bisnis yang ukuran investasinya besar, tergolong langka, strategis bagi perekonomian nasional, memerlukan sumber daya publik dalam skala massive, kewenangan perizinan ada di pemerintah pusat. Dikatakan manual karena pemohon mesti bertatap muka dengan pemegang kewenangan untuk mencapai deal tertentu sehingga urusan bisnis besarnya dilancarkan melalui terbitnya perizinan. Sebagai kontra prestasi atas penerbitan izin, tentu saja pemohon harus membalas budi. Berani tak membalas budi maka urusan selanjutnya akan sulit.

Lantas apa masalahnya sehingga korupsi lisensi perlu dicermati? Bukankah dari segi keuangan, negara tidak dirugikan? Bukankah uang yang diberikan sebagai upeti berasal dari dana milik si pemohon? Di sinilah masalah utamanya. Memang dana upeti dari kantong si pemohon, namun bukankah pengusaha itu makhluk rasional? Sudah baran tentu semua pengeluaran termasuk untuk upeti akan dibukukan sebagai bagian dari investasi yang pada gilirannya harus dibayar oleh pembeli atau pelangan barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh pemilik izin? Dengan demikian, artinya para aktor, baik itu pemohon, birokrat dan pejabat yang terlibat secara tidak langsung telah memiskinkan publik. Selain itu, dapat pula dikatakan para aktir teleh merugikan negara secara tidak langsung karena uangyang mestinya masuk ke kas negara ehhh masuk ke kantong pejabat. Bukankah itu artinya korupsi? Apalagi kerugian publik? Izin yang diberikan karena ada interest pribadi, transaksional, bisa jadi merugikan publik lebih hebat bila ternyata perusahaan yang diberi izin ternyata tidak cakap, merusak lingkungan, atau bertindak sewenang-wenang; karena menganggap sudah memperoleh perlindungan dari penguasa negara.

Bila korupsi lisensi ini ternyata merugikan banyak pihak, mengapa praktek semacam ini masih dibiarkan saja berlaku dan bahkan meluas ke hampir semua sektor pemerintahan dari tingkat desa hingga pusat? Kata Ebiet, untuk mencari jawab, tanya saja pada rumput yang bergoyang.*****