Sunday, December 19, 2010

Tersengat Listrik 480 Volt dan Patah Tulang Lengan Kanan, Hadiah Seumur Hidup Bekerja di ARCO Indonesia

“Wig, naikin pakai manual saja, pelan-pelan, pada pusing nih” itulah perintah yang kudengar dari Handy Talki (HT) ketika sedang menaikkan life boat (kapsul) di Platform C, Central Plant sebagai bagian akhir latihan penyelematan dari bahaya kebakaran (fire drill). Hari dan tanggalnya sudah lupa, tetapi urutan peristiwa masih jelas tegambar di benak.

Waku itu, saya sedang menjalani tugas menjaga capsule station ketika kawan-kawan menaiki kapsul turun melaju meninggalkan platform. Setelah sekitar setengah jam kapsul berputar-putar di laut, salah seorang kawan mengabari bahwa mereka mau naik, maka kapsul kembali menuju wire rope yang masih menggelantung dan mengaitkan buckle agar dapat ditarik kembali ke atas. Setelah mendapat perintah “naikkan!” saya menghidupkan motor listrik untuk mulai mengangkat kapsul. Rupanya udara panas dan pengap membuat kawan-kawan di dalam kapsul tak tahan duduk tenang, sehingga dari atas terlihat kapsul bergoyang-goyang, hingga terdengarah perintah untuk menggunakan engkol.

Motor saya matikan dan ganti tangan memutar engkol menggulung wire rope ke atas, teryata gerakan ke atas sangat pelan, maklum tenaga manusia mesti kalah dibanding tenaga listrik. Setelah terasa mulai kelelahan, saya stop sebentar, tekan pedal rem dan memberi tahu kebawah lifting up akan kembali menggunakan motor.

Di sinilah mulainya petaka terjadi, ketika hendak menekan tombol start saya tidak memeriksa kembali apakah engkol telah sepenuhnya terlepas dari drum shaft karena menganggap pegas ratchet-nya berfugsi dengan baik. Ternyata tidak, sebelum menekan tombol start, pedal rem harus dilepas dulu. Nah setelah kaki kanan menginjak pedal dan tangan kanan melepas pin, kasul melorot ke bawah (karena gravitasi), tiba – tiba kepala, dan lengan kanan terpukul oleh engkol yang berputar cepat sekali seperti baling-baling. Safety Helmet dan kacamata jatuh ke lantai. Menyadari kapsul melorot ke bawah, saya masih berusaha untuk menginjak pedal dan mengunci. Namun ketika hendak mengangkat tangan kanan utuk menekan tombol start, terasa sakit. Langsung saya sadari baru saja terkena kecelakaan.

Melalui HT saya beritahu ke bawah bahwa saya baru saja terkena kecelakaan. Dan seseorang memanggil Operator, yang ternyata berdiri di balik H-Beam tanpa menyadari di sebelahnya saya mengalami kecelakaan. Saya ambil helm dan kaca mata (syukur tidak pecah), serahkan HT, kalau tidak salah ke Herry, dan berjalan menuju ke Dokter di Quarters. Semalaman tangan terasa panas, dokter tak banyak melakukan tindakan, hanya memberi obat pereda rasa sakit dan mengatakan tulang lengan saya patah.

Paginya saya langsung diterbangkan ke Halim dan langsung dibawa ke RSPP. Setelah di-rontgen tergambar satu tulang lengan kanan patah. Dokter spesialis orthopaedi (namanya lupa) langsung menawari operasi. Saya mangu-mangu, lantas berkata “bagaimana bila berobat ke Gurusinga atau Cimande?” Pak Dokter menjawab “silakan saja, tetapi bila ada apa – apa di luar tanggung jawab perusahaan”. Akhirnya saya putuskan untuk dioperasi di RSPP. Bekas operasi akan terus menjadi penanda bahwa saya pernah mengalami kecelakaan kerja di ARCO.

Luka operasi sudah mulai sembuh, callus sudah terlihat mulai menyambung tulang yang patah, aku ingin kembali kerja, tetapi tak yakin apakah masih mampu bekerja sebagaimana sebelumnya. Dokter memberi surat keterangan dapat mulai bekerja dengan pembatasan mengangkat barang maksimal seberat 20kg. Selain itu, Manager HRD, Ibu Nies Sjarifuddin (almh) memberi surat keterangan bahwa perusahaan masih berkewajiban menanggung biaya operasi pengambilan pen.

Kenyataannya, setelah kembali bekerja di offshore, surat keterangan Dokter tak punya makna apa-apa. Tugas pekerjaan yang saya terima tetap sama seperti sebelumnya, untungnya kawan-kawan sesama Electrician memahami kondisi saya dan banyak membantu. Saya pun tak mampu menolak karena berpegang pada prinsip, tak mau cengeng, tak pula hendak berlindung pada surat keterangan dokter, kalau sudah di tempat kerja, tinggal bagaimana atasan saja. Mendapat perintah, saya siap jalankan.

Lama kelamaan saya merasa diperlakukan tidak adil, mosok invalid disamakan dengan yang bugar. Selain itu saya mulai melihat masa depan, bila saya terus bekerja di laut, tak terbayang bagaimana masa depan saya dengan tangan kanan yang sudah invalid. Maka mulailah saya bantu-bantu di kantor, tetapi di sini tak mendapat penugasan khusus, barangkali saya – yang waktu itu hanya lulusan STM - dianggap tak layak bekerja di kantor. Akhirnya saya mengajukan pengunduran diri dari ARCO. Inipun tak mudah, karena alasan yang saya gunakan sebagai akibat dari kecelakaan.

Hingga pada suatu hari saya diajak Pak Muid – waktu itu Manajer NGL & Terminal menemui Pak TN Mahmud, Presiden ARCO. Sebagai anak kampung, baru kali itu saya masuk ke ruangan kerja yang besar sekali dan beliau duduk di belakang kursi yang ukurannya juga besar, sangat berwibawa dan berkuasa. Beliau bertanya mengapa saya mengundurkan diri, pas baru menjawab, eh dipotong oleh Pak Muid, Pak Mahmud bertanya lagi, mau menjawab dipotong lagi oleh Pak Muid, hingga pertanyaan ketiga dan sesudah itu kami berdua dipersilakan keluar. Sesudah itu saya mulai berurusan dengan HRD dan tak lama kemudian resmilah saya menjadi alumni ARCO, dengan mengantongi surat keterangan pernah bekerja selama lima tahun sekian bulan, dan surat keterangan kewajiban perusahaan untuk membayari biaya operasi pengambilan pen, yang sampai artikel ini ditulis tak pernah dilaksanakan. Tanpa pesangon.

Kecelakaan di atas bukan yang pertama saya alami sewaktu bekerja untuk ARCO Indonesia. Saat masih ditugaskan di Ardjuna Sakti, saya tersengat listrik 480 volt. Ketika itu kami sedang membongkar generator busbar dan pada saat bersamaan terjadi ground fault dari cargo pump yang sedang digunakan untuk loading ke kapal. Kawan – kawan yang sedang bersama-sama bekerja membongkar gas turbine generator tertawa-tawa melihat saya jatuh, mereka mengira saya sedang bercanda, malah ada yang berteriak dari atap closure “ha..ha.. mirip WTS dibekuk satpol…” Sjaiful Dahlan – sesama electrician - yang bekerja di sisi lainnya pun tak percaya bahwa saya tersengat listrik, “mana mungkin ada listrik di bus bar, saya kan juga di situ” kilahnya. Kemudian saya mengambil voltmeter dan minta dia untuk mengukur. Dengan agak sembrono dia menempelkan colokan ukur ke busbar dan “shit, fxxx up!!!” sergahnya karena ujung jarinya gosong melepuh tersengat listrik.

Dan hebohlah seisi Ardjuna Sakti. Howard Hughes lari ke lokasi disusul Murphy. Howard langsung mengambil volt meter dan mengukur ke bus bar, dia kaget juga, “why is it life?” kami berdua hanya saling pandang. Setelah diteliti mengapa arus listrik masih bisa masuk ke busbar walaupun circuit breakers dan semua sistem kontrol telah dilepas ditemukanlah fakta bahwa ada desain yang kurang sempurna pada grounding system. Peristiwa saya tersengat listrik secara tak sengaja membuka “aib” konstruksi Ardjuna Sakti yang selama lebih dari sepuluh tahun tak pernah diketahui. Dari kasus kecelakaan ini, sampai sekarang saya masih bertanya - tanya apakah layak mendapat award atau punishment. Yang jelas angka keselamatan saya berkurang.

Banyak peristiwa menarik dan berkesan kualami sepanjang masa kerja di Ardjuna Sakti dan Central Plant, seperti bagaimana kocaknya John Mamahit, “gilanya” Petrus Iskandar, “sablengnya” Anjar Andjani, bagaimana marahnya Embik Kurtubi yang hampir saja membunuhku tapi Alhamdulillah Tuhan segera menyadarkan kemarahannya, bagaimana kami suka meremas kerupuk yang dimasukkan saku oleh Pak Islah, bagaimana kami melobangi kaleng buah yang tersimpan di chiller agar airnya bocor ketika dibawa naik ke radio room oleh Alm Pak Djono, dan bagaimana kami di Ardjuna Sakti bersama-sama mengemas paket “ikan kakap merah” untuk Frans Gunterus. Ketika di Central Plant? Tak kalah serunya. Bisik-bisik “aya-aya’ pasca makan malam, menunggu adakah film “khusus” hendak diputar, dan bagaimana saya tinggal dikamar 415, serasa liliput di tengah para raksasa. Di kamar itu ada Ronald Casdy, Renal Elia, Harmanto, Alm Jusuf Judistira, Bambang Purwanto dan saya, semuanya tinggi besar kecuali saya.

Dari kenangan yang bayak sekali, peristiwa tersengat listrik 480 Volt di pelipis kanan dan patah tulang lengan kanan inilah yang akan selalu kukenang sebagai hadiah bekerja di ARCO Indonesia.*****


*) Pernah bekerja di ARCO Indonesia (ARII) sejak 1984-1989 sebagai Instrument Technician dan Electrician di Ardjuna Sakti dan Central Plant. Periode Oktober 1983-Juli 1984 menikuti Pre-employment Training Program (PTP).

Friday, December 17, 2010

Paradoks Korupsi, No Peace-No Merci

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kedua tahun 1996 mendeskripsikan kata “jujur’ memiliki makna lurus hati, tidak berbohong, tidak curang, tulus ikhlas. Sedangkan kata “bohong” dideskripsikan memiliki makna tidak sesuai dengan hal yang sebenarnya, dusta, palsu; dengan demikian kata “berbohong” dapat diartikan sebagai menyatakan sesuatu yang tidak benar, berbuat bohong, dusta. Pada bagian lain, KBBI mendeskripsikan kata “tipu” sebagai kata benda yang bermakna perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali atau mencari untung. Kata kerja ‘tipu’ menjadi menipu artinya mengenakan tipu muslihat, mengecoh, mengakali; pelakunya disebut penipu.

Mengacu uraian di atas dapat ditarik analisa bahwa seseorang (misal A) yang dengan sengaja atau tidak, atau dianggap oleh orang lain (misal B) telah melakukan perbuatan tidak jujur dapat disetarakan dengan telah melakukan kebohongan atau penipuan. Lebih jauh, terbukti atau tidak, oleh B, A dianggap telah melakukan penipuan, artinya di kepala B, si A adalah penipu.

Perbedaan
Apakah tindakan tidak jujur selalu berarti buruk? Di kalangan masyarakat barat ada istilah white lying, berbohong untuk kebaikan. Pertanyaannya, kebaikan untuk siapa? Yang berbohong, yang dibohongi, atau pihak lainya tak terkait? Besar atau kecil, dirasakan atau tidak adanya perbuatan tidak jujur dapat dipersepsi telah memnimbulkan dampak kerugian.

Apakah tidak mengatakan tentang sesuatu yang diketahui atau telah dilakukan dapat disetarakan dengan perbuatan tidak jujur? Dari segi hukum positif, jika sesuatu yang diketahui atau dilakukan berkaitan dengan tindakan lain yang tergolong kejahatan, maka orang yang mengetahui telah terjadi sesuatu namun tidak mengatakannya kepada pihak berwenang, dapat dianggap telah ikut bersekongkol dalam tindakan kejahatan tersebut. Persoalannya, tidak selalu yang diketahui dan atau dilakukan namun tak dikatakan, berhubungan dengan tindakan kejahatan. Para ahli agama mengatakan nilai sesuatu perbuatan tergantung niatnya. Kalau niatnya untuk berbohong, menutupi suatu fakta maka sudah dapat dikatakan sebagai indikasi awal menuju perbuatan tidak jujur. Sebaliknya, kalau tak ada niat apapun atau karena mempertimbangkan berbagai kepentingan yang lebih besar, atau karena perlu menunggu saat yang tepat, sikap tidak mengatakan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan tidak jujur. Persoalannya, siapa yang tahu niat seseorang kalau tidak diikrarkan? Selain Tuhan dan yang bersangkutan, orang lain dapat menilainya dari apa yang kemudian dilakukan oleh si terduga.

Mengapa demikian? Teori perilaku manusia mengatakan, manusia normal cenderung melakukan sesuatu yang sebelumnya ada di benaknya, sesuatu yang diketahuinya. Jadi bila niatnya jahat, tindakan berikutnya tak jauh dari perbuatan yang terkait kejahatan. Demikian juga bila niatnya baik, aksi selanjutnya juga sesuatu yang dapat dianggap sebagai kebaikan.

Menentukan Sikap Terhadap Penipu
Lazimnya, tak ada satupun manusia suka ditipu, karena penipuan berdampak pada kerugian, baik berupa material maupun yang bersifat non-kebendaan. Dalam konteks kriminal penipuan diartikan sebagai mengambil hak orang lain dengan sepengetahuan pemilik namun tidak sesuai dengan syarat yang diperjanjikan. Ada sesuatu yang hilang dari korban penipuan, yang semestinya menjadi haknya.

Dari pengertian inilah maka penipuan mestinya dan kenyataannya diperlakukan sebagai tindakan kejahatan. Negara ikut terlibat dalam pertolongan terhadap korban penipuan, oleh karena itu KUHP memuat pasal hukuman terhadap perbuatan penipuan. Hukuman bisa bersifat fisik maupun non-fisik. Negara melalui lembaga peradilan pada umumnya memilih hukuman fisik, kurungan badan dan atau kewajiban mengembalikan kerugian yang timbul akibat penipuan yang terjadi. Bila yang ditipu hak rakyat yang diwakili oleh negara, pelaku penipuan disebut koruptor. Dari sinilah barangkali munculnya alasan mengapa koruptor harus dibenci, dihukum, dimiskinkan.

Penipuan, selain mengandung perbuatan pidana juga memiliki muatan perdata, hubungan yang terjadi antar individu ataupun badan (organisasi) selaku warga negara. Di beberapa komunitas tertentu, diberlakukan hukuman pengucilan, pembuangan, pengeluaran (exile) sebagai anggota warga kepada pelaku penipuan yang telah merugikan warga lainnya.

Paradoks Korupsi
Adalah wajar jika terhadap pelaku tindakan penipuan atau perbuatan tidak jujur diperlakukan perbuatan yang tidak menyenangkannya sebagai hukuman, agar pelaku menjadi jera. Menjadi pertanyaan, ketika yang terjadi kebalikannya, alih-alih dihukum, koruptor yang nota bene sama dengan pelaku penipuan malah dalam banyak kasus dielu-elukan, disorot media sebagai telah berjasa, dibahas tuntas dijadikan hiburan. Inilah yang saya sebut sebagai Paradoks Korupsi.

Dalam skala yang lebih kecil, paradoks juga kerap terjadi. Contoh kasus A dan B keduanya terikat dalam sebuah lembaga. Si A menganggap B telah tidak jujur, menipu. Karena anggapan ini A bersikap mengambi jarak dari B, kurang kooperatif. Paradoks terjadi karena walaupun menganggap B telah membuat rugi namun A tetap memanfaatkan sumber daya yang diberikan oleh B. Dalam kasus ini, menunjukkan A tidak mampu independen, padahal konsekuensi dari atribusi adalah independensi si penganggap dari dan ke yang dianggap.

Kembali ke skala yang lebih besar, Paradoks Korupsi terjadi karena yang seharusnya menghukum (aparat penegak hukum) tidak mampu independen dari yang harus dihukum. Ketidak-independenan ini dapat terjadi antara lain karena yang harus dihukum lebih powerfull, pangkat dan jabatannya lebih tinggi, atau ada ikatan emosional di antara mereka.

Pelajaran
Tidak ada orang yang suka ditipu. Seseorang yang terbukti melakukan perbuatan tidak jujur dan merugikan pihak lain mesti dihukum oleh yang dirugikan atau pihak berwenang mewakili kepentingan yang dirugikan. Untuk menjatuhkan hukuman, aparat penegak hukum atau yang berwenang, yang berhak memberi hukuman mestinya memiliki kemampuan independensi dari yang dihukum. Tiada kemandirian menyebabkan terbitnya Paradoks Korupsi atau Anomali Penipuan.

Dalam konteks lain yang masih bersinggungan, seseorang sebaiknya hati – hati dan cermat ketika membuat pernyataan yang isinya menuduh orang lain telah melakukan perbuatan tidak jujur. Ajukan bukti yang valid, jangan bukti sumir. Konsekuensi dari mengajukan pernyataan (claimant), yang bersangkutan harus independen dan siap menghadapi pembelaan maupun tuntutan balik di si tergugat (plaintiff). Independensi adalah energi yang dapat digunakan untuk mendaki sampai seberapapun tinggi perselisihan akan diperkarakan. Tak punya kemampuan independen walau terhubung dalam ikatan emosional, dan tak siap menghadapi serangan balik, rasanya hanya buang waktu dan energi bila berperkara. Pilihannya hanya dua: simpan tuduhan untuk diri sendiri (silent) atau bila sudah telanjur menuduh (accuse) ikuti langkah yang sering dilakukan pengacara, tarik gugatan ajukan permintaan maaf. No Peace, No Merci.*****

Saturday, December 11, 2010

mencari alternatif baru dalam pembangunan ekonomi nasional

ingat waktu Prof Bhanoji Rao berdiri di depan kelas regional economic development, kalimat pertama yang meluncur dari mulutnya di sessi introduction, dalam spektrum pembangunan ekonomi suatu negara di ekstreem paling kiri adalah negara - negara yang penguasaan sumber daya ekonomi dari hulu sampai hilir sepenuhnya dikuasai oleh negara, melalui mekanisme perencanaan terpusat; dan di ujung paling kanan adalah negara - negara yang berkeyakinan bahwa sumber daya ekonomi sepenuhnya milik rakyat dan negara hanya berperan untuk melindungi dan memastikan sumber daya ekonomi tersebut dimanfaatkan secara optimal bagi pemiliknya dan bagi negara.

ujung kiri disebut sosialis dan ujung kanan diberi judul kapitalis. mana yang terbaik? di mana posisi Indonesia? apakah ada alternatif selain kapitalis dan sosialis? bagaimana profil "persaingan di antara keduanya (sosialis dan kapitalis) pada dekade terakhir? mungkinkah sosialis dan kapitalis digabung dalam satu sistem ekonomi politik? siapa saja musuh - musuh dari kedua pendekatan ekonomi politik ini?

sebelum menjawab semua pertanyaan di atas, teringat lagi kalimat Prof Mukul Asher, ketika menjelaskan tentang hubungan publik-private dalam suatu perekonomian yang cenderung mengarah ke kapitalis. mengapa dikatakan cenderung mengarah ke kapitalis? jawabnya sederhana dalam ekonomi sosialis-kapitalis, peran pemerintah sangat dominan dan private cenderung di-nihil-kan. artinya semakin sosialis, peran sperekonomian yang dilakukan oleh swasta dalam sektor - sektor strategis semakin kecil sekali (untuk menganti kata nol=zero). jadi dapat dikatakan di negara yang kapitalis pemerintahnya memberi swasta peran yang sangat besar di dalam kegiatan perekonomian dari yang sifatnya ordinary hingga yang strategik.

pergeseran dan interaksi antara pelaku bisnis dan politisi juga mewarnai sejauh mana sumber ekonomi dikelola. semakin banyak pengusaha yang beralih profesi menjadi politisi, dan di pihak lain tidak kalah banyaknya politisi yang berdiri di balik atau di depan panggung publik mendukung kekuasaan dan kekuatan pengusaha. suatu hubungan mutual resiprokal.

tiga paragraf di atas berupaya mengantarkan posisi politik ekonomi (kapitalis versus sosialis), implementasi ekonomi politik (alokasi dan pengelolaan sumber daya ekonomi), dan economy and political behaviors yang lazim terjadi lantaran antara ekonomi dan politik tidak mudah dipisahkan, saling berkelindan.

indonesia, kalau dilihat dari konstisusinya sepertinya ber-missi sosialis yang demokratis, simak saja di Pancasila dan UUD 45. namun apa yang termaktub dalam konstitusi tak serta merta dijalankan secara sinkron dalam realisasinya. Peran Pemerintah lambat laun mengeropos dan digantikan oleh pengusaha yang dalam konteks tertentu mengambil kewenangan yang dimiliki pemerintah. benarkah demikian?

sudah dulu ahh,, mau ketemu pejabat dulu.... besok-besok di sambung lagi...

Dapatkah KemKominfo Disalahkan Karena Sudah Tidak Netral (lagi)?

Peluang bisnis broadband bisa hilang' (Bisnis Indonesia, 3 November 2010). pemerintah (kemkominfo) masih bersikukuh pemenang tender BWA 2.3 mesti menggunakan Wimax 16d (dengan alasan pemenuhan TKDN), di sisi lain, industri perangkat dan kebutuhan pasar Wimax sudah meninggalkan 16d dan menghendaki Wimax 16e (versi lebih baru) bahkan sudah ancang-ancang ke Wimax 16m (mobile). Akankah terwujud Indonesia kehilangan peluang bisnis broadband? Dapatkah Pemerintah dikatakan sudah tidak netral (lagi) dalam pengaturan pemanfaatan teknologi ICT? Bagaimana solusi terbaik mengatasi stagnasi penyediaan layanan BWA?

normatif regulasi menyatakan, pemerintah selaku regulator, dalam membuat regulasi yang berkenaan dengan pemanfaatan teknologi mesti mengusung berbagai azas, salah satunya azas teknologi netral. ini maknanya pemerintah tidak boleh berpihak pada satu teknologi tertentu tanpa memertimbangkan kemaslahatan atau manfaat yang optimal bagi masyarakat. jadi menetapkan penggunaan teknologi tertentu, di tengah banyaknya alternaif teknologi ICT, boleh-boleh saja, namun mesti dengan pertimbangan teknologi yang dipilih bukan teknologi yang sudah kadaluwarsa, yang memiliki peta jalan pengembangan ke depan, yang masih didukung oleh industri perangkat tersebut tidak hanya di dalam negeri namun juga di kancah internasional, yang kemampuannya memadai untuk melayani laju pertumbuhan yang kecenderungannya semakin tinggi, yang harganya kompetitif sehingga benefit (value dibagi price) setinggi - tingginya.

kenyataannya bagaimana? sebagaimana diungkap di atas, pemerintah masih bersikukuh dengan 16d dengan alasan: (1) pembelaan terhadap TKDN, karena 16d konon sudah mampu dibuat oleh prodiusen dalam negeri; dan (2) para pemenang tender BWA sudah menanda-tangani di atas materai dokumen kesediaan memanfaatkan 16d.

dua alasan tersebut di atas, masih bisa digugat. yang pertama, apakah ketentuan TKDN hanya untuk WIMAX saja? kelihatannya faktanya demikian. coba simak, mengapa pemerintah tidak ribut soal TKDN ketika semua operator selular GSM. 3G, CDMA menggunakan teknologi 100% produksi luar negeri? mengapa pemerintah tidak ribut ketika di seluruh institusi pemerintahan menggunakan hardware dan software komputer yang juga 100% produk luar negeri? di mana KemKominfo dalam situasi seperti ini? barangkali bagi pemerintah 16e dan kelak Wimax 16m itu produk asing yang haram dimasukkan ke Indonesia. tetapi ketika operator selular mulai bicara LTE, mengapa tidak ada isu TKDN yang mencuat?

pertanyaannya, apakah tidak ada pengusaha nasional Indonesia yang mampu memproduksi Wimax 16e? Jawabnya ADA. Salah satunya Xirca. lantas mengapa tetap saja 16e tidak boleh digunakan bila ada yang mampu memproduksi dengan TKDN sesuai ketentuan Pemerintah? Ada apa ini?

yang kedua, pemenang tender sudah menanda-tangani kesediaan memanfaatkan 16d. syarat tender pada umumnya bersifat "hold up", artinya tidak ada pilihan lain kecuali bersedia menyetujui, mengambil satu-satunya opsi yang ditawarkan. dilihat dari segi ini saja, syarat tender sebetulnya tidak fair, karena tidak menyajikan alternatif yang dapat dipilih, sementara di pasar (industri) tersedia pilihan yang lebih efisien. artinya dari awal, pemerintah sudah menginginkan agar industri layanan BWA Wimax menjadi tidak efisien. atau kalaupun pemerintah menyerukan harga akses data murah, ini sama saja pejabat emerintah menekan pengusaha, karena di satu sisi harus membayar up front fee dan BHP Frekuensi yang lumayan mahal melalui mekanisme lelang, juga harus membeli teknologi yang sudah agak kuno dan mahal, ehh di ujungnya ditekan supaya harga layanannya murah.

sudah tahu bahwa 16d tidak efisien, mengapa peserta tender masih bersedia menanda-tangani pernyataan kesediaan memanfaatkannya? jawabnya, selain karena hold up juga ehh siapa tahu ada angin perubahan yang mampu meruntuhkan kekakuan birokrasi. harapan ini tentu tidak asal harapan, mungkin para pengusaha berpikir, birokrasi pemerintah yang sekarang sudah pro-industri, sudah ter-reformasi, sudah clean no KKN. kenyataannya? barangkali harapan tinggal harapan, karena sebagaimanan dinyatakan dalam tajuk di Koran Bisnis Indonesia, Indonesia bakal kehilangan peluang bisnis broadband, lantaran pihak yang dikira sudah pro-industri, sudah pro-pertumbuhan, sudah komit dalam WSIS untuk meraih MDG 2015, sudah sukses menjadi anggota Dewan ITU, ehh ternyata di kancah domestik rupanya, masih muter-muter di situ - situ saja sam seperti sebelum mendiang Pak Harto jatuh....

adakah solusinya? banyak pihak, termasuk para sahabat di birokrasi yang gajinya dibayar pakai pajak yang berasal dari rakyat, sudah tahu, apa solusi terbaik. namuuuunnn, mestikah kita semua masih harus bersabar seribua tahun lagi menunggu sang juru selamat datang?

Masih Mungkinkah ESIA-FLEXI Bergabung?

Dua hari berturut-turut, muncul dua berita yang dapat dikaitkan dengan proses penggabungan dua operator telekomunikasi Bakrie Telecomm (BTEL) dengan produknya Esia dan Telekomunikasi Indonesia (TLKM) dengan produknya Flexi . Berita Utama Bisnis Indonesia (BI) Selasa 1 Desember 2010 “Bakrie rambah seluler” di paragraf terakhir disebutkan Serikat Karyawan (Sekar) Telkom menolak rencana penggabungan Flexi-Esia karena menganggap kebijakan ini sama dengan membuka rahasia negara. Di hari Rabu, head line BI bertajuk “Pertamina-Encore gagal closing”. Salah satu alasan kegagalan yang dirujuk oleh Hilmi Panigoro, Komisaris Medco Energi International, adalah rumitnya administrasi perkawinan perusahaan publik dan BUMN, selain kurangnya dukungan dari Komisi VI dan VII DPR serta Kementerian BUMN. Menjadi pertanyaan, kegagalan Pertamina-Medco, akankah menjadi pelajaran atau bahkan diikuti Esia-Flexi?

Kesamaan Kondisi
Pertamina sebagai BUMN beroperasi selayaknya korporasi. Mesti meraup laba, memberikan deviden kepada Pemerintah selaku pemegang saham, menyejahterakan pegawainya, memberi manfaat bagi pengguna produk dan jasanya, serta diharapkan terus tumbuh sepanjang usia Republik. Guna mencapai kinerja yang diharapkan, Pertamina perlu dikelola secara efisien, berdaya saing dan profesional. Manajemennya harus diberi kewenangan untuk menetapkan strategi korporasi dan bisnis guna mecapai visi dan menjalankan misi. Persoalnya, karena majoritas sahamnya dimiliki negara, apapun dan bagaimanapun strategi bisnis yang dikembangkan manajemen Pertamina mesti tunduk pada peraturan perundangan yang mengatur keberadaan BUMN. Selain itu, tak dipungkiri berbagai kepentingan ekonomis dan politis dari para elite senantiasa memengaruhi kebijakan manajemen. Saling berkelindannya berbagai kepentingan ini tak ayal cenderung menghambat laju pertumbuhan perusahaan. Padahal, pesaing sudah dengan mudah diizinkan masuk ke negeri ini, mengeksplorasi kekayaan sumber daya alam nasional.

TLKM setali tiga uang dengan Pertamina, hanya bidang usahanya saja yang berbeda. Sebelum Pertamina berniat mengakuisisi Encore, TLKM lebih dahulu berbicara dengan BTEL untuk menggabungkan dua layanan mereka (Flexi dan Esia). Alasan formal keduanya pun hampir sama, untuk memastikan pertumbuhan di tengah melaju pesatnya kompetisi di masing – masing sektor bisnis.

Perbedaan
Dalam kasus Pertamina-Encore, Komisi VI dan VII DPR terlihat aktif bersuara. Seperti biasanya ada yang mendukung, ada yang diam tak jelas posisinya, namun lebih banyak suara yang keberatan dengan berbagai alasan. Barangkali, lantaran suara DPR lebih banyak menolak, Kementerian BUMN yang konon pada awalnya mendukung rencana akuisisi ini, tak sampai sebulan posisinya memudar, mengikuti majoritas rekan kerjanya di Senayan. Walhasil, meski secara bisnis akuisisi ini dapat menambah value bagi para pihak yang bertransaksi, tak ada satupun pimpinan Pertamina yang berani mengambil resiko “melawan petunjuk” pemilik perusahaan.

Di internal perusahaan, baik di Pertamina maupun di Medco tidak ada suara keberatan, jikapun ada barangkali hanya satu dua yang khawatir akan kehilangan kursi jabatan. Berbeda halnya dengan rencana penggabungan Esia-Flexi, dari Kementerian BUMN selaku pemilik dan Jajaran Kementerian Kominfo selaku pembina sektor telekomunikasi maupun Komisi I DPR tidak terdengar suara penolakan, dukungan, maupun anjuran. Semuanya senyap. BRTI selaku regulator telekomunikasi bahkan hanya bersikap menunggu saja, barangkali lantaran kewenangannya tidak sampai ke sana. Satu institusi Pemerintah yang terdengar bersuara hanya KPPU, itupun terbatas pada isu apakah penggabungan akan menciptakan monopoli, suatu struktur pasar yang sudah diharamkan oleh Undang-Undang.

Hal lain yang membedakan adalah pada penolakan Sekar Telkom, suatu organisasi karyawan yang terkenal militan, dan telah berhasil “melindungi” kepentingannya agar TLKM tetap sebagaimana yang mereka inginkan. Ketika Telkom Regional IV Jawa Tengah hendak di-akuisisi Indosat (2002), Sekar turun ke jalan, mengadu ke DPR bahkan ke Presiden untuk menolak, dan mereka berhasil. Pertanyaannya, apakah dalam menghadapi rencana penggabungan Esia-Flexi Sekar Telkom akan tetap militan dan konsisten seperti waktu-waktu sebelumnya? Atau akan terjadi kompromi sehingga sikapnya melunak?

Pelajaran
Bagi BTEL dan TLKM kegagalan akuisisi Pertamina atas Encore selayaknya menjadi pelajaran berharga, tentu bila keduanya serius untuk melaksanakan cita-citanya. Persoalannya, publik melihat rencana penggabungan Esia-Flexi, bagi BTEL hanyalah strategi alternatif saja senyampang apabila gagal meraih izin layanan Sistem Telekomunikasi Bergerak Seluler Bergerak (STBS) untuk melengkapi izin FWA dan komunikasi data. Ternyata izin STBS diperoleh. Pertanyaannya, masihkah BTEL berminat melanjutkan rencananya, apalagi muncul penolakan dari Sekar Telkom? Ditambah, kelak dihadapkan pada kerumitan adminstrasi “perkawinan BUMN-Swasta” yang membuat perusahaan sekelas Medco dan Pertamina pun tak sanggup menembusnya.

Bagi sebagian besar publik jadi atau tidaknya penggabungan Esia-Flexi mungkin tidak ada beda yang signifikan. Bagi industri jasa telekomunikasi? Bila wujudnya menciptakan perusahaan baru, inipun tak sejalan dengan keinginan Pemerintah dan pelaku usaha untuk melakukan konsolidasi industri agar lebih ramping dan efisien. Jadi bagaimana? Kita tunggu saja hasil akhirnya.*****

Akhirnya Rejeki Tak Menghampiri Sukin dan Acun

Bandara Cengkareng Terminal II Kedatangan sore itu tak terlalu ramai. Penumpang yang baru tiba datang dan pergi silih berganti. Para penjemput, seperti biasa berdiri menunggu di pintu keluar. Ada yang santai, ada pula yang terlihat tegang, semua menunggu sahabat, kerabat, pimpinan atau siapapun yang hendak tiba. Di selasar persis di luar pintu terlihat banyak lelaki berdiri seperti menunggu mereka yang baru tiba. Hanya saja, sapaan mereka kepada penumpang tiba yang membedakan dengan penjemput. Mereka adalah penjaja jasa transportasi, atau taksi tidak resmi yang menawarkan jasanya di Bandara Cengkareng.

Setiba dari Pangkalpinang, aku tidak langsung pulang, karena mesti menunggu Widi, anakku bungsu yang akan menjemput dan menunggu Nunung, istriku yang masih dalam penerbangan kembali dari Pekanbaru. Sambil menunggu Widi aku bincang-bincang dengan Saut Simatupang, rekan satu kantor yang sama-sama tiba dari Pangkalpinang. Kami duduk di bangku panjang di teras panjang bandara. Saut menunggu bis, aku menunggu Widi dan Nunung. Tak lama kemudian Widi datang, dan sesudah itu bis Damri jurusan Blok M yang ditunggu Saut datang, jadilah saya dan Widi duduk berdua. Sejurus perut terasa lapar, aku mengajak Widi ke KFC. Widi memesan ayam combo dan aku memesan fish burger. Selagi menikmati makanan, Widi berkata sambil menunjuk beberapa orang berseragam kaos ungu dan celana panjang putih "Pah, itu tim kesebelasan Malaysia" wajah mereka rata-rata lesu, dan kuyu seperti tidak terurus, saya berujar "mungkin karena mereka kalah."

Selesai makan, kami kembali ke bangku semula. Belum lama kami duduk datang seorang lelaki yang langsung duduk di sebelahku menawarkan parfum. Kami hanya senyum dan menggeleng. Tak mau menyerah, lelaki tersebut mengeluarkan sebuah bungkusan kotak dari saku jaketnya, yang ternyata parfum bermerk Bvlgary. kami tetap mengatakan tidak hingga akhirnya lelaki tersebut ngeloyor pergi. selesai tawaran parfum datang lagi lelaki lain dengan memegang sebatang rokok kali ini menanyakan apakah saya punya korek api, saya jawab "saya tidak merokok". rupanya minta api merupakan teknik perkenalan, sejurus kemudian orang ini menanyakan tujuan "mau kemana Pak?" saya jawab "pulang" dia bilang lagi "mari Pak saya antar" saya jawab "tidak usah, terima kasih" dia masih bertahan. rokok dimasukkannya ke saku dan duduk di sampingku sambil memperkenalkan diri "nama saya Sukin" saya hanya mengangguk dan mengalihkan perhatian ke Widi dengan melakukan percakapan agar Pak Sukin merasa tidak dibutuhkan.

Tak lama datang rombongan 7 orang lelaki, rupanya yang 6 orang bersama - sama baru tiba dari Batam dan yang seseorang yang ternyata rekan kerja Sukin (sebut saja Acun). Acun dengan proaktif menawarkan jasa taksi (bus kecil) untuk mengantar rombongan 6 orang ini. salah satu dari 6 orang ini meladeni pembicaraan Acun, dan 5 lainnya acuh tak acuh, mungkin lantaran kecapaian. mereka duduk di bangku sebelah saya duduk. yang paling dekat dengan saya bertanya waktu, saya jawab "6.30" dia berkata, "masih sore" saya penasaran dan bertanya "emang mau kemana Pak?" dia jawab "mau ke Cirebon" saya tanya lagi "dari mana Pak? "Kuala Lumpur, Malaysia" jawabnya. saya tak bertanya lagi. saya lihat kawan di sampingnya merogoh saku mengambil rokok dan mengeluarkan paspor warna hijau. Dari penampilan mereka yang terkesan lugu, bukan orang sekolahan, hitam legam seperti sering terkena sengatan matahari, ramput panjang, celana jean belel, baju kaos dan sepatu boot proyek, saya mengira-ira mereka ini para pekerja proyek yang baru pulang dari berkarya di luar negeri.

Acun terus menawarkan jasa dengan meyakinkan murah, pakai AC, dan lain sebagainya. Di samping saya Sukin yang semula tenang, hanya memerhatikan 6 orang ini satu persatu pelan-pelan berdiri dan berkata kepada salah satu dari mereka "sebaiknya jangan lama-lama di sini, kurang aman" yang diajak bicara diam saja hanya memandang wajah Sukin. Saya mulai mengira-ira apa hubungan Sukin dan Acun, pesaing atau "kawan bermain?' Tak mendapat respon Sukin minta api kepada salah satu dari enam orang ini yang sedang merokok, dan mulailah pembicaraan di antara mereka berdua, sementara si pemimpin pergi entah ke mana. terlihat lelaki yang diajak bicara Sukin mulai manatap kawan-kawannya untuk menerima tawaran Sukin. Acun diam saja memandang Sukin beraksi.

Tiba - tiba yang tadi bertanya ke saya kembali bertanya "Pak, jam segini masih ada Damri ke Gambir kan ya? saya jawab, "coba saja tanya ke loket" (sambil menengok ke arah loket) pria ini mengangguk dan langsung beranjak ke arah loket Damri, yang langsung dibuntuti Acun dan berusaha mencegah agar tidak bertanya ke loket. Ketika lelaki tersebut mendekati loket Damri, si pemimpin datang, kali ini disertai pria lain berbaju putih yang langsung berkata keras "ayo angkat tas, kita berangkat!!!" mendengar pria berbaju putih ini, mata Sukin menyorot tajam ke wajah si pria sambil kepalanya menggeleng, dan Acun yang sedang mengejar lelaki ke loket berbalik melarang angkat tas dan mengusir pria tersebut. Si pria tahu diri dan langsung meninggalkan kelompok ini. Si pemimpin bengong.

akhirnya lelaki yang kelihatan paling tua dan berkulit paling hitam berbicara dalam bahasa cirebonan, supaya menunggu kawan mereka yang sedang ke loket Damri. semua diam sampai si pria yang baru kembali dari loket mengajak semuanya pindah mendekati tempat berhentinya bus Damri. Sontak Acun menahan mereka dengan menawarkan diskon dan bisa berhenti di mana saja kalian suka. Sukin terlihat merangkul lelaki yang sedari tadi diajaknya bicara. sang pemimpin dan empat orang lainnya sudah berdiri dan memegang tas masing-masing, haya tinggal seorang yang masih duduk dirangkul Sukin. Si paling tua memanggil kawannya ini dan menatapnya tajam, hingga Sukin melepas rangkulan.

Berenam mereka beranjak ke arah tempat pemberhentian bis, diikuti Acun dan Sukin yang terus merayu. Acun dengan gayanya yang lugas sedikit kasar, Sukin dengan gaya halus dan tenang sambil ikut menarik tas lelaki yang tadi diajaknya bicara. ketika mereka berdelapan meninggalkan bangku saya berkata pada Widi "kita lihat, apakah rayuan dua orang tersebut berhasil" mendengar perkataan saya Widi hanya tertawa saja.

Dari kejauhan saya lihat dua orang ini masih berjuang untuk menjual jasanya, hingga tak lama kemudian datanglah bus yang ditunggu dan keenam orang ini naik. Melihat adegan ini Widi berkata "Pah, tuh Sukin gagal meraih rejeki" saya mengiyakan. Setelah bus berjalan, Acun dan Sukin berjalan kembali ke arah kami duduk dan ketika melewati bangku kami, mereka menengok ke arah saya dan saya tatap dengan wajah kosong. dalam hatiku "jangan menyerah, masih banyak rejeki lain."****

Dinamika Kompetisi Jasa Telekomunikasi – Seri 1

Dua teori yang relevan untuk menjelaskan dinamika kompetisi adalah teori perilaku producers (monopolistic, duopolistic, oligopolistic, monopolistic competition, dan perfect market); dan teori kedua, adalah access pricing theory yang memberi isyarat bahwa perilaku operator dipengaruhi oleh access structure dan price (access and retail) regulations.

Ada beberapa perilaku strategis operator yang perlu dicermati terutama yang anti-competitive (meskipun legal) antara lain perilaku yang berdampak exclusionary dan raising rival's cost seperti bundling-tying, refuse to deal, delay negotiation, price discrimination, predatory pricing. dan perilaku atau kondisi yang membuat pihak yang bersaing bertindak paralel baik disengaja maupun tidak seperti tacit collusion, conscious parallelism, dan parallel behavior.

Dalam hal hubungan antar-operator telekomunikasi yang terjadi adalah two-way access, dua network operator saling membutuhkan akses secara timbal balik. Two-way access dapat dibedakan menjadi asymmetric dan symmetric, perbedaan didasarkan dari jumlah pelanggan, trafik, dan coverage. Pada operator selular terjadi symmetric two-way access karena perbedaan besaran variabel pembanding relatif kecil. Sedangkan pada PSTN (Public Switch Telephone Network) atau telepon lokal, terjadi asymmetric two-way access.

ARPU merupakan ukuran dari tingkat pendapatan (Revenue). Pada mulanya formula menghitungnya Total Revenue dibagi Total Pelanggan. Namun karena ada pelangan yang memilki lebih dari satu nomor, dan ada pula nomor yang tidak aktif namun membebani fasilitas operator, maka pembaginya diubah menjadi total nomor yang telah diterbitkan. Artinya, hitungan ARPU bisa lebih besar ketika nomor yang churned (sudah hangus atau sudah tidak aktif) dikeluarkan dari perhitungan.

Ketika belum ada prepaid, maka minimum ARPU dapat dihitung sbb: Total Fixed subscription fee (abodemen) dibagi total jumlah pelanggan (asumsi, semua pelanggan aktif). Ketika prepaid sudah dominan, maka rumus ini menjadi kurang valid.*****

Monday, November 29, 2010

Mengapa Inovasi (sering) Terhambat

Kasus penumpang gagal atau terlambat terbang yang dialami Garuda Indonesia akhir pekan lalu dan awal pekan ini, tak pelak menimbulkan kerugian tak hanya bagi Garuda namun juga bagi ribuan penumpang dan sektor lain terkait. Manajemen Garuda meyakini pengoperasian Integrated Operation Control System (IOCS) akan membawa perbaikan kinerja perusahaan dalam jangka panjang, namun demikian proses implementasi yang berlangsung jauh dari mulus, karena berbagai hal, yang barangkali tak terduga sebelumnya dapat memengaruhi target perusahaan dalam jangka panjang yang sudah dicanangkan.
Dari perspektif manajemen strategi, penggunaan IOCS dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya inovasi perusahaan mencapai keunggulan kompetitif, sebagaimana dikatakan oleh Emirsyah Satar, Direktur Utama Garuda, diimplementasikannya sistem Teknologi Informasi (IOCS) terbaru juga untuk memenuhi persyaratan masuk ke dalam anggota aliansi global maskapai Skyteam (Bisnis Indonesia, 23 November 2010). Dari kasus Garuda ini ada dua pertanyaan yang layak menjadi fokus pembahasan, pertama mengapa inovasi yang bertujuan baik seringkali dalam implementasinya mengalami hambatan? Dan kedua, benarkah implementasi sistem TI (IOCS) serta merta akan meningkatkan kinerja perusahaan transportasi?

Kurang Motivasi
Govindarajan dan Trimble (2010) dalam The Other Side of Innovation mengajukan pernyataan bahwa organisasi bisnis dibangun tidak untuk berinovasi melainkan untuk tujuan utama mencapai efisiensi, meraih laba. Beban kerja sehari-hari difokuskan pada bagaimana beroperasi secara efisien agar meraih laba sebanyak-banyaknya. Wal hasil ketika efisiensi memudar dan laba menjauh, para manajer dan pegawainya tergagap-gagap menghadapi kenyataan mereka harus mencari cara baru, memulai metoda baru, guna memperbaiki kurva kinerja.
Dalam pengertian sederhana, inovasi dapat dipahami sebagai idea, namun idea saja tak cukup untuk mewujudkan harapan, ia haruslah disertai dengan eksekusi. Idea plus eksekusi, inilah pengertian umum inovasi. Pertanyaannya, mengapa eksekusi gagal? Dalam banyak hal penggagas idea dan pelaksananya merupakan dua atau lebih bagian terpisah yang hubungannya tidak erat. Motivasi yang ada pada penggagas idea tidak seutuhnya ditransformasikan ke pelaksana. Ada distorsi motivasi. Dengan analisa sederhana ini, dalam kasus Garuda bisa jadi belum semua lini personalia yang terlibat dalam implementasi IOCS memahami motivasi yang disinyalkan oleh manajemen. Hal ini dapat disebabkan karena sosialisasi internal tidak dilakukan secara terstruktur dan terukur, maupun karena personalia kunci tidak merasa termotivasi untuk mendukung, lantaran personal interest-nya tidak terakomodasi dalam sistem yang baru.
Memahami reaksi terkait dengan implementasi inovasi yang disebabkan oleh rendahnya motivasi pegawai penting bagi manajemen. Dalam tahapan eksekusi, inovasi seringkali mengusir kenyamanan yang sebelumnya dinikmati para manajer. Resistensi baik yang nyata terlihat atau yang terselubung, besar atau kecil selalu muncul. Persoalannya, manajemen acapkali rabun tak mampu melihat fenomena ini lantaran super yakin semua pihak akan mendukung. Reaksi penolakan dapat dipahami apabila potential losses yang akan hilang dari sisi kepentingan pegawai tergolong tinggi. Menghadapi permasalahan seperti ini tak ada resep lain kecuali melakukan scanning untuk mengetahui potensi resistensi dan lakukan tindakan preventif sebelum hari H implementasi dilakukan.

Proses dan Leadership
Perusahaan yang sehari-harinya dikelola dengan baik, tak serta merta ketika mengeksekusi inovasi tingkat keberhasilannya setinggi prestasi harian. Inovasi yang mengubah proses secara drastis beresiko pada terhentinya proses keseharian yang sudah berjalan lancar. Kasus implementasi IOCS oleh Garuda mencontohkan hal ini. Menjadi pertanyaan besar, apakah manajemen Garuda tidak memahami hal ini? Saya yakin mereka paham benar. Tetapi mengapa kegagalan implementasi terjadi? Kemungkinan penyebabnya banyak, tak hanya software utama yang tiba-tiba ngadat. Untuk mencari penyebab utama dalam kegagalan mari kita telaah, sudah adakah senario proses transformasi yang lazim dalam implementasi Teknologi Informasi. Demikian pula, apakah dokumen proses sudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat. Perlu dipastikan semua orang yang terlibat, mengerti posisi, peran dan tugas masing-masing dalam setiap tahapan proses tranformasi.
Setelah semua pihak yang terlibat dalam proses transformasi memahami peran dan tugasnya masing-masing, syarat berikutnya adalah adanya kepemimpinan transformational, yang menjadi dirigen bagi sebuah konser tranformasi. Pemimpin transformasi tak harus Dirut atau CEO, ia dapat saja seseorang yang karena kapasitasnya ditugasi secara formal utuk memimpin implementasi inovasi. Pemimpin inovasi perlu diberi kewenangan tinggi, guna mengatasi berbagai hambatan dan memutuskan hal – hal strategik dalam situasi kritis. Dalam beberapa literatur inovasi bahkan disebutkan keberhasilan inovasi sangat dipengaruhi oleh karakter dan kapasitas pemimpinnya.

Penyelarasan TI dan Bisnis
Di masa-masa awal penggunaan Teknologi Informasi (TI) oleh kalangan bisnis telah terbukti TI mendukung kinerja bisnis. Fenomena ini terus berkembang yang terwujud dalam berbagai inovasi bisnis berbasis TI. Namun demikian perjalanan bisnis dan TI, walau dalam satu organisasi, seringkali tidak selalu harmonis; yang satu berjalan cepat meninggalkan lainnya. Hasilnya, tidak selalu penambahan investasi TI berdampak pada peningkatan kinerja bisnis. Bahkan banyak kasus di mana investasi TI gagal dan membawa perusahaan dalam posisi sulit. Kondisi semacam ini menimbulkan paradox, di satu sisi ketergantungan bisnis kepada TI semakin tinggi (no business without IT), di sisi lain penambahan investasi TI tak serta merta mendulang peningkatan kinerja, bahkan kegagalan di tahap implementasi dapat berdampak serius terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Jika demikan lantas bagaimana solusinya?
Tak ada solusi jitu berlaku generik. Strategi TI yang sukses diimplementasikan di suatu organisasi mungkin hanya pas dan tepat di perusahaan tersebut, ia (strategi tersebut) mungkin gagal total bila diterapkan di perusahaan lain. Dalam konteks ini, barangkali perlu dicermati IOCS yang sukses diterapkan di Lufthansa mengapa di tahapan implementasi saja sudah mengalami hambatan besar di Garuda. Kemungkinan jawabnya, karena tidak didukung oleh semua pihak yang terlibat, masing-masing asyik dengan idenya sendiri-sendiri. Akankah terus begitu? Harusnya sih tidak. *****

*) Sekretaris Jenderal Masyarakat Telematika Indonesia, Pelaku Bisnis, GFF Gold Card Holder

Monday, September 20, 2010

Arah Penelitian Yang Mendukung Pemenuhan Kebutuhan Dan Harapan Pelanggan Telekomunikasi Pada Era Konvergensi

1. Pengantar
Menentukan arah sama dengan menentukan tujuan atau destinasi, ke mana langkah akan menuju. Dalam kontek perjalanan, destinasi-pun ada yang bersifat sementara, sebagai sebuah transit sebelum bergerak menuju destinasi – destinasi berikutnya; dan ada pula yang bersifat terminal atau tujuan akhir. Kesalahan menentukan arah dapat berakibat tidak tercapainya destinasi atau sasaran.
Terkait judul di atas, yang menjadi destinasi adalah pemenuhah kebutuhan dan harapan pelanggan. Adapun era konvergensi menggambarkan kontek perjalanan mencapai destinasi. Manusia sebagai subjek pelanggan senantiasa berubah, baik dalam hal kebutuhan maupun kesadaran terhadap perubahan lingkungan. Dengan demikian, kebutuhan pelanggan-pun senantiasa berubah, sejalan dengan perubahan karakter manusia atau kumpulan individu.
Perubahan yang senantiasa terjadi, dalam beberapa hal membuat sulit bagi para perencana kebijakan. Menyikapi hal ini, biasanya dibuat rentang waktu sebagai batasan dalam merespons perubahan. Kajian kebijakan difokuskan pada periode tertentu sesuai dengan konteks. Dalam hal ini, konteks yang dibahas adalah sebuah era yang disebut konvergensi. Konvergensi diartikan sebagai menyatunya layanan Teknologi Informasi (TI) dan Komunikasi, yang ketika beroperasi sendiri daya manfaatnya terbatas, namun ketika terintegrasi ke dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menghasilkan kekuatan layanan yang hampir tiada batas. Batasnya hanyalah daya inovasi dan kreatifitas manusia pencipta dan penggunanya.
Untuk mengetahui apa yang sedang dan memperkirakan apa yang akan terjadi biasanya dilakukan penelitian. Menentukan arah penelitian berarti kita sedang melihat kembali posisi saat ini dan memandang ke depan, posisi destinasi yang diharapkan. Sebagaimana diuraikan di atas, posisi destinasi tentu bukan yang paling akhir, karena senantiasa perubahan terus terjadi. Untuk memudahkan pembahasan, maka batasannya adalah sebuah konsep yang disebut era konvergensi, yang apabila dikonversikan ke dalam tahapan waktu, konvergensi yang akan menjadi acuan adalah konvergensi tahap atau generasi kedua (Convergensi 2.0) merujuk pada kondisi konvergensi yang diperkirakan akan terjadi menyusul telah berhasilnya integrasi antara Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagaimana dapat terlihat pada saat ini.
Interaksi antara arah, destinasi dan konteks menawarkan tantangan bagi para peneliti, akademisi dan pembuat kebijakan untuk memerkirakan apa yang bakal terjadi. Kualitas proyeksi ditentukan oleh akurasi, semakin akurat sebuah perkiraan semakin berkualitas. Untuk meningkatkan kualitas proyeksi, biasanya dilakukan penelitian. Penelitian pada umumnya bermula dari permasalahan yang ingin dipecahkan. Permasalahan senantiasa muncul karena keterbatasan kemampuan sumber daya pada suatu lingkungan masyarakat atau bidang tertentu.
Persoalan muncul manakala harapan tidak sama dengan kenyataan yang mampu diwujudkan, atau dalam kata lain perjalanan tidak sampai di destinasi. Persoalannya, apakah masalah akan dibiarkan sebagai masalah, atau dicarikan jalan keluar. Banyak cara dalam mencari solusi terhadap masalah. Ada yang praktikal, ada pula yang dilakukan menggunakan pendekatan akademik. Penelitian pada umumnya mengacu pada pendekatan akademik dalam mencari solusi.
Perkembangan TIK yang bermuara pada konvergensi layanan komunikasi dan informasi memberi inspirasi bagi akademisi dan peneliti untuk melakukan riset di sekitar pemanfaatan TIK dan implikasinya bagi masyarakat. Tidak diragukan lagi, pengembangan dalam area TIK merupakan pendorong utama munculnya Ekonomi Digital. Mengingat luasnya pemanfaatan TIK, hampir tidak ada sektor yang tidak dapat memanfaatkan TIK, dapat dikatakan hampir tidak ada batas topik penelitian tentang pemanfaatan TIK

2. Ekonomi Digital
Konvergensi diperkirakan akan mengubah tata ekonomi, dari posisi saat ini menjadi ekonomi digital (ED). ED mengacu pada transaksi dan komoditas ekonomi yang akan didominasi oleh mekanisme transaksi dan produk digital. Transaksi dan komoditas pada dasarnya adalah informasi yang memiliki nilai dan manfaat ekonomi. Dalam perkembangan selanjutnya, ED berpengaruh pada struktur kreasi nilai (value creation structures) yang memicu adanya perantara baru (new intermediaries) dan bentuk baru jejaring ekonomi; proses penciptaan nilai antar-organisasi (inter-organizational value creation processes) dimana pelanggan menjadi bagian integral dari proses penciptaan nilai; produk informasi (information intensive products) yang dapat dipisah dan ditata-ulang secara fleksibel dan kastemisasi massal sesuai dengan kebutuhan pelanggan; dan infrastruktur ekonomi baru guna mendukung layanan pasar seperti penjamin transaksi, sarana pembayaran secara elektronik, layanan logistik produk digital, serta infrastruktur fisik seperti jejaring pita lebar (broadband) yang memungkinkan pelanggan berinteraksi dengan perusahaan dan sesama konsumen di mana saja, setiap saat.
Dalam konteks konvensional informasi dihasilkan menggunakan media kertas atau media sejenis lainnya, didistribusikan secara fisik, menggunakan sarana transportasi hingga sampai tujuan dalam kurun waktu yang relatif lama. Perkembangan berikutnya, sebagian informasi sudah dapat dikodifikasi dalam format elektronik analog, didistribusikan melalui saluran telekomunikasi kecepatan rendah, dan diterima oleh tujuan dalam format yang sama. Pada tahap ini kualitas informasi yang diterima seringkali tidak sama dengan informasi yang dikirim.
Teknologi digital mengubah kelambanan dan memperbaiki kualitas. Semua bentuk informasi pada dasarnya bisa dikonversi ke dalam format digital tanpa mengubah isi dan substansi. Suara, gambar, data, grafik, teks yang secara sendiri maupun bersama membentuk informasi dapat diolah, disimpan dan ditransmisikan dalam format digital.
Implikasi ED besar sekali. Teknologi mengubah perilaku manusia. Tidak hanya itu, teknologi dalam beberapa hal juga mengubah tatanan sosial, politik, hukum dan budaya sebagai kumpulan perilaku manusia. Dalam dunia bisnis, selama dua dekade terakhir ini, telah terbukti TIK mengubah pola dan tata kerja organisasi bisnis. Efesiensi dan efektifitas yang senantiasa menjadi credo organisasi bisnis seperti mendapat moment dalam mendorong kinerja perusahaan. Banyak sekali perubahan yang terjadi dan dapat dirasakan setelah perusahaan memanfaatkan TIK.
Sebagai contoh, di dunia media massa cetak. Periodesasi yang menjadi ciri media cetak menjadi tidak ada lagi, setiap saat informasi dapat diterbitkan, tidak perlu menunggu deadline hari, minggu, bulan. Setiap saat adalah deadline. Selain hilangnya periodesasi, distribusi fisik menjadi berkurang. Saat sebuah informasi dipublikasikan, sejurus kemudian semua orang yang tersambung ke Internet memiliki peluang yang sama untuk memperoleh informasi tersebut. Demikian pula dengan tata kelola operasional, juru warta tidak harus kembali ke desk masing-masing di kantor, karena mereka dapat membuat laporan dari mana mereka berada sepanjang terhubung ke jaringan Internet. Banyak lagi contoh perubahan aktivitas ekonomi menyusul konvergensi TIK salah satunya dalam wujud Internet.

3. Kebutuhan dan Preferensi Pelanggan
Mari kita posisikan diri sebagai pelanggan. Apa yang kita butuhkan sebagai pelanggan suatu produk dan atau jasa. Pertama tentu saja harga, berapa harga layanan yang mampu kita beli, atau dari perspektif perusahaan, berapa harga yang akan diterapkan untuk suatu jenis layanan sedemikian rupa sehingga pasar mampu menerimanya. Kedua, berapa kuantitas yang mampu dibeli oleh masyarakat, baik secara individu maupun kolektif. Pertanyaan ini merefleksikan kekuatan sisi permintaan dan sekaligus kemampuan perusahaan dalam menyediakan layanan. Ketiga, bagaimana kualitas produk dan layanannya. Ketiga hal ini saya sebut sebagai Segitiga Kebutuhan Pelanggan (SKP).
Kemampuan membeli ditentukan oleh beberapa faktor, salah satunya pendapatan (income). Semakin tinggi pendapatan semakin besar kesempatan yang dimiliki untuk belanja apa saja yang diinginkan termasuk layanan TIK. Namun demikian, kebutuhan atau keinginan membeli tidak selalu dipengaruhi oleh besar kecilnya pendapatan. Latar belakang pendidikan, pekerjaan atau strata sosial dapat pula mempengaruhi preferensi dalam membeli sesuatu.
Sejalan dengan kompetisi, dan guna meningkatkan kualitas kompetisi, perlu diketahui preferensi pengguna dan pelanggan TIK. Preferensi diartikan sebagai mengapa pembeli lebih suka memilih produk A dari pada B atau lainnya. Yang menarik dari preferensi adalah bahwa pembeli seringkali tidak memedulikan harga dalam keputusan pembelian, tetapi tetap dihadapkan pada keterbatasan anggaran (budget constraints). Artinya, mereka memiliki pendapatan yang terbatas yang tidak memungkinkan untuk membeli semua keinginan. Dengan demikian pembeli mesti memilih kombinasi produk dan atau jasa yang menurutnya terbaik dan tepat sesuai dengan keinginan dan kemampuan.

4. Arah dan Peluang Penelitian
Topik – topik penelitian yang berpotensi mampu meningkatkan nilai (value) produk dan jasa TIK dalam hubungannya dengan pengguna atau pelanggan, terkait dengan semakin menyebarnya penggunaan TIK, boleh dikatakan hampir tidak terbatas banyaknya. Untuk memudahkan pembahasan, topik-topik tersebut dapat dikelompokkan ke dalam isu yang terkait dengan layanan, implikasi ekonomi, perubahan perilaku konsumen, pengaruh regulasi, daya saing dan pasar kompetitif, faktor penghambat non-ekonomi, isu gender, teknologi dan perlindungan konsumen.

a. Profil permintaan terhadap layanan TIK
Penelitian untuk mengetahui profil permintaan terhadap layanan TIK barangkali belum pernah dilakukan. Studi ini berangkat dari pertanyaan berapa besar dan di mana saja potensi bisnis informasi berada? Walaupun semua orang berhak untuk mendapatkan akses informasi, namun tidak semua orang mampu membeli layanan informasi. Hal ini mengingat tiga hal: informasi sudah menjadi komoditas, tidak semua orang mampu membeli informasi, dan kalaupun mampu (membeli) bisa jadi tidak butuh atau kebutuhan terhadap informasi (yang harus dibeli) kecil-kecil saja.
Selain yang terkait dengan kondisi calon konsumen, penelitian tentang profil permintaan terhadap layanan TIK ini juga dapat dikaitkan dengan semakin banyaknya jenis layanan TIK, menyusul meningkatnya kompetisi dan dorongan inovasi. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengungkap mengapa permintaan terhadap suatu jenis layanan TIK lebih tinggi dari pada permintaan terhadap jenis layanan TIK lainnya. Detil atau rincian dari profil permintaan dapat diturunkan pada tingkat provinsi, kabupaten/kota atau wilayah tertentu. Dengan adanya profil semacam ini, penyediaan jasa TIK akan mendekati efisien karena apa yang dibangun sesuai dengan yang diminta. Selain itu hasil penelitian ini dapat digunakan dalam perencanaan pembangunan maupun perencanaan bisnis.

b. Kesiapan masyarakat desa dalam menerima dan memanfaatkan teknologi
Bagi masyarakat yang tingal di kota – kota besar tidaklah sulit untuk mengetahui kemajuan berbagai produk dan jasa TIK. Tidak demikian halnya bagi mereka yang tinggal di wilayah rural, perdesaan, daerah tepencil atau perbatasan. Meskipun jangkauan layanan TIK seperti radio, televisi, telepon selular pada umumnya sudah masuk ke desa-desa, namun keterbatasan media tersebut dan keterbatasan kemampuan masyarakat desa dalam merespon informasi menjadikan lalu – lalang informasi yang bergerak melalui media penyiaran dan telepon hanya searah, sehingga kurang efektif dalam pertukaran informasi. Ke depan, dalam era demokrasi dan kemajuan teknologi informasi, arus informasi akan multi arah. Informasi bergerak dari mana saja ke siapa saja di mana saja, kapan saja. Internet memfasilitasi hal ini. Untuk itu pemerintah telah mencanangkan program Desa Pintar, menyediakan akses Internet di desa-desa. Permasalahannya, seberapa siap masyarakat desa akan dan mampu memanfaatkan internet? Jika mampu, kelak untuk apa? Apakah bersifat konsumtif atau produktif? Bagaimana sosialisasi dan edukasinya agar pemanfaatan Internet oleh masyarakat desa efektif dan efisien?
Pemerintah pusat dituntut tidak hanya menyiapkan sarananya saja, namun juga prasarana serta pemeliharaan, sehingga masyarakat desa tidak terjerumus ke dalam ekses negatif dari adanya Internet. Penelitian tentang bagaimana kesiapan masyarakat desa dalam menerima dan memanfaatkan teknologi perlu dipikirkan. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan, apa yang harus disiapkan ketika subisidi penggunaan Internet ditarik. Berapa besar sebaiknya subsidi diberikan? Kapan dan dalam kondisi apa sebaiknya subsidi ditarik dengan memerhatikan kelangsungan penggunaan oleh masyarakat setempat.
Terkait masalah sosial ekonomi di perdesaan, penelitian tentang perubahan preferensi masyarakat perdesaan setelah disediakannya akses informasi, juga perlu dipertimbangkan untuk diselenggarakan. Adakah perubahan, seperti misalnya kemudahan dalam bercocok tanam, gotong royong sebagai karakter kuat di masyarakat perdesaan, atau malah banyak yang beralih profesi dari yang semula petani menjadi pedagang atau malah adanya Internet ikut memacu arus urbanisasi. Banyaknya informasi di satu sisi akan membantu petani dalam meningkatkan taraf hidup, namun di sisi lain dapat pula menimbukan kebingungan. Untuk itu perlu penelitian menyusul penyediaan akses informasi dalam program USO atau desa pintar, apakah diperlukan pendampingan kepada masyarakat desa.

c. Perilaku penyedia jasa dalam menyusun produk dan harga
Penelitian tentang biaya produksi yang paling efisien dalam penyediaan layanan TIK juga merupakan salah satu hal penting terkait dengan konvergensi. Sebagaimana kita tahu, biaya produksi akan mempengaruhi harga yang harus dibayar oleh konsumen. Dari perspektif konsumen, semakin tinggi harga semakin mengurangi daya beli; dan semain rendah daya beli semakin rendah pula potensi pendapatan bagi para penyedia layanan TIK. Rendahnya tingkat pendapatan akan melemahkan kemampuan dalam pelayanan maupun investasi selanjutnya. Arah sebaliknya, jika harga terlalu murah, dalam jangka pendek konsumen senang, namun perusahaan akan gulung tikar dan akhirnya konsumen kehilangan jasa yang sudah sekian lama dinikmati. Artinya, perlu ditentukan harga yang pas dan seimbang. Persoalannya, dalam layanan TIK, produknya beragam dan setiap produk menggunakan sumber daya yang sama. Selain itu proses penghitungan biaya produksi senantiasa tidak transparan. Dalam banyak kasus, konsumen dirugikan dari kebijakan harga yang ditetapkan oleh penyedia jasa.
Penelitian untuk mengetahui perilaku perusahaan penyedia jasa dalam menyusun produk dan harga poduk perlu dilakukan. Dengan penelitian ini diharapkan dapat disusun formula umum sebagai acuan dalam menyusun harga layanan TIK, dengan mempertimbangkan optimalisasi manfaat di kedua belah pihak dan mendorong terbentuknya pasar yang kompetitif.
Pengaruh TIK terhadap bisnis besar sekali. Bagaimana selama ini UKM TIK di Indonesia telah memanfaatkan TIK perlu diteliti guna mengetahui sejauh mana UKM Indonesia mampu mengekploitasi kemampuan TIK dalam mendukung aktivitas bisnis mereka. Memang topik UKM dan TIK sudah lama menjadi perhatian, tetapi bidang yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dan harapan pelanggan TIK oleh UKM yang bergerak di bidang TIK, seperti Warnet, penyedia jasa nilai tambah, penyedia jasa akses Internet, penyedia konten, belum banyak mendapat perhatian untuk diteliti.

d. Pengaruh regulasi terhadap kompetisi layanan TIK
Ada pertanyaan, benarkah Indonesia merupakan pasar yang kompetitif bagi penyediaan layanan TIK? Pertanyaan dijawab dengan pertanyaan lain “mengapa harus kompetitif? Apa hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan dan harapan pelanggan?” Permasalahan yang dihadapi konsumen - seperti keputusan untuk membeli produk dan atau jasa – dan yang dihadapi oleh penyedia jasa – seperti berapa banyak kapasitas yang harus disediakan, di mana saja dan kapan – secara bersama – sama akan mempengaruhi daya saing nasional. Pasar yang terlalu didominasi oleh penyedia (seller market) dalam jangka panjang akan menjadi tidak kompetitif karena menjurus ke praktek monopoli dan atau oligopoli. Di pihak lain, pasar yang didominasi pembeli (buyer market) akan kurang atraktif bagi pelaku bisnis, karena posisi tawarnya ditentukan oleh pembeli yang jumlahnya sedikit namun membeli dalam jumlah yang sangat besar hampir seluruh kapasitas produksi yang tersedia.
Pasar kompetitif yang sehat memberi peluang bagi semua pemain usaha untuk tumbuh dan berkembang. Pasar kompetitif pada gilirannya akan menawarkan produk terbaik kepada konsumen. Benefit akan dinikmati oleh kedua belah pihak, produsen dan konsumen. Persoalannya, pasar kompetitif tidak dengan sendirinya terbentuk, ia harus dibangun dan diatur, diawasi dan dibina. Beberapa penelitian terdahulu menyimpulkan Indonesia sudah memiliki syarat bagi terbentuknya pasar TIK yang kompetitif. Jumlah penyedia jasa sudah cukup banyak, entry dan exit relatif mudah, produk dan jasa sudah bervariasi, bahkan dalam beberapa hal sudah membentuk pasar dengan sifat monopolistic competition, konsumen dan calon konsumen juga besar sekali proporsional dengan populasi penduduk, wilayah geografis yang cukup luas dan tersebar dalam ribuan pulau. Dapat disimpulkan Indonesia merupakan pasar yang ideal bagi penyediaan produk dan jasa TIK.
Apakah sudah selesai? Tentu belum. Bagaimana posisi Indonesia jika dibandingkan dengan negara – negara tetangga atau setaraf lainnya? Indeks pembangunan TIK yang diterbitkan ITU atau PBB dapat digunakan sebagai acuan untuk melihat posisi Indonesia. Para ahli mengatakan pasar kompetitif akan terbentuk apabila para pelaku usaha memiliki daya saing. Ahli lain menambahkan, daya saing saja belum cukup, masih diperlukan keterlibatan Pemerintah dalam penyediaan fasilitasi kebijakan dan regulasi. Persoalan yang berawal pada tuntutan adanya pasar kompetitif berujung pada penelitian tentang kebijakan dan regulasi. Penelitian untuk mengetahui sejauh mana regulasi TIK di Indonesia berpengaruh terhadap kompetisi layanan TIK perlu dilakukan dalam era konvergensi generasi dua (Convergensi 2.0). Penelitian ini diharapkan dapat menjawab antara lain apakah regulator memiliki keberpihakan yang sama terhadap pelaku usaha dan konsumen, apakah regulasi yang ada sudah efektif dan efisien dalam menjawab tuntutan perubahan, baik yang disebabkan oleh perkembangan teknologi maupun perubahan preferensi konsumen.

e. Faktor penghambat non-ekonomi
Penelitian tentang faktor – faktor non-ekonomi yang dapat menghambat terpenuhinya kebutuhan dan harapan konsumen TIK, seperti hambatan birokrasi, politik, budaya, sosial, pendidikan, demografi, geografis, ketersediaan infrastruktur perlu mendapat perhatian. Kenyataannya pertimbangan ekonomi hanya salah satu faktor dari berbagai faktor yang diperlukan dalam pemenuhan kebutuhan konsumen akan layanan TIK.
Penelitian tentang pengaruh birokrasi terhadap penyediaan jasa TIK perlu dilakukan. Dalam tataran normatif birokrasi berfungsi memfasiltasi pelaku usaha dan masyarakat dalam kegiatan ekonomi dan sosial. Namun pada kenyataannya, masih terdapat birokrasi yang menghambat, baik karena aturan yang ada, maupun terkait dengan karakter kepentingan birokratnya sendiri. Kasus perobohan menara di kabupaten Badung dapat dijadikan contoh bagaimana birokrasi dapat menghambat penyelenggaraan TIK yang pada gilirannya menjadikan kebutuhan dan harapan pelanggan telekomunikasi tidak terpenuhi.
Belajar dari kasus – kasus serupa, ke depan dalam era Convergensi 2.0 hal serupa mestinya tidak boleh terjadi lagi di manapun di Indonesia. Kepastian hukum harus ditegakkan dan menjadi realita bukan hanya utopis saja. Penelitian tentang hambatan birokrasi menjadi penting guna memberikan gambaran apa sebenarnya penyebab hambatan birokrasi, bagaimana mengatasinya, serta bagaimana mencegah munculnya kembali hambatan birokrasi tersebut.
Politik dapat pula menjadi hambatan bagi terpenuhinya kebutuhan dan harapan konsumen TIK. Cakupan politik dimaksud di sini dibatasi pada aktivitas politik di parlemen. Dua tugas utama parlemen: membuat undang-undang dan mengawasi perencanaan dan penggunaan anggaran. Terkait dengan tugas membuat undang-undang, parlemen diharapkan memiliki keberpihakan terhadap kepentingan konsumen tarkait dengan pemanfaatan TIK. Keberpihakan ini dapat diwujudkan dalam kesediaan menyediakan undang-undang pemanfaatan TIK guna melengkapi undang-undang yang sudah ada, seperti misalnya Undang-Undang Konvergensi, atau mengamandemen UU yang ada karena sudah tidak sesuai dengan arus perubahan dan kepentingan umum. Permasalahannya, dalam banyak kasus parlemen seperti tidak memiliki kepedulian, atau kalaupun ada tidak dinyatakan dalam tindak dan keberpihakan tanpa pamrih.
Penelitian tentang hambatan politik dalam pemenuhan kebutuhan dan harapan pelanggan di era convergensi 2.0 akan menjawab permasalahan seperti tersebut di atas. Benarkah anggota parlemen tidak pro konsumen, atau lebih pro terdapat perusahaan penyedia jasa? berapa banyak anggota parlemen yang akrab dengan dan peduli terhadap TIK? Mengapa ada anggota parlemen yang mendukung sementara ada pula yang acuh tak acuh bahkan menolak untuk membahas isu – isu TIK? Manfaat dari penelitian ini akan sangat besar, terutama bagi suksesnya setiap upaya legislasi kebijakan TIK.

f. Isu gender
Perubahan demografi dan adanya pengarus-utamaan peran wanita dalam pembangunan merupakan destinasi penelitian yang dapat dikembangkan. Semakin banyaknya wanita yang bekerja, membuka peluang yang lebih besar dalam memanfaatkan TIK, sementara di pihak lain masih dituntut peran sebagai istri, orang tua dan ibu rumah, menjadikan topik gender menarik dan perlu dieksplorasi.
Penelitian tentang peluang wanita dalam memanfaatkan TIK dapat pula dikaitkan dengan permasalahan non-ekonomi yang dihadapi di berbagai wilayah Indonesia, seperti masih adanya kebiasaan membedakan perlakuan kepada anak perempuan dari pada anak laki; atau adanya kekhawatiran bahwa wanita relatif lebih rentan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan dari pemanfaatan Internet seperti penipuan, bujuk-rayu, pelecehan dan sebagainya. Di pihak lain, bukti empirik menunjukkan semakin banyaknya wanita yang menggeluti TIK meraih sukses.
Penelitian ini dapat pula dikaitkan dengan perilaku konsumen, apakah benar wanita lebih banyak belanja di Internet dari pada kaum pria? Jika benar, bagaimana mereka tertarik untuk belanja di Internet? Bagaimana mereka membuat keputusan? Seberapa banyak proporsi belanja di Internet dibandingkan belanja konvensional untuk produk yang sama? Berapa persen dari disposable income mereka yang dibelanjakan untuk jasa Internet? Dan masih banyak pertanyaan penelitian yang dapat dikembangkan. Manfaat dari penelitian ini tidak hanya bagi konsumen dan atau calon konsumen namun pula bagi perusahaan penyedia electronic commerce atau e-business.

g. Faktor teknologi
Sejalan dengan upaya berbagai pihak dalam merespon perubahan iklim, meningkatkan efiensi pemanfaatan energi, maka penelitian tentang penggunaan TIK yang hemat energi, perlu dijadikan destinasi dalam kegiatan penelitian di era Convergensi 2.0. Beberapa produsen perangkat TIK sudah menyatakan dirinya telah menerapkan konsep go green, dalam proses produksi telah menggunakan teknologi yang hemat energi, menggunakan energi alternatif dan atau terbarukan yang rendah kadar carbon dan rendah polusi terhadap lingkungan.
Bagaimana Indonesia khususnya sektor TIK menanggapi isu hemat energi, penggunaan energi terbarukan dalam layanan TIK perlu mendapat perhatian serius. Manfaatnya tidak hanya bagi perusahaan, namun juga bagi pelanggan. Sebagai contoh, pada saat ini ada sebuah operator selular yang sudah memanfaatkan bahan bakar hydrogen untuk menggerakkan generator pembangkit listrik yang dibutuhkan oleh Base Transceiver System (BTS). Demikian juga ada operator selular lainnya yang sedang melakukan uji coba penggunaan lapisan (coating) pada bangunan tempat menaruh perangkat BTS (shelter) untuk menurunkan konsumsi energi listrik. Lapisan tersebut dimaksudkan mengurangi pengaruh panas yang diakibatkan sinar matahari, dengan adanya coating konsumsi energi listri yang dibutuhkan pendingin udara menjadi berkurang. Upaya lain terkait dengan efisiensi energi juga sedang dilakukan oleh sebuah operator selular lainnya, yang sedang menguji penggunaan alat pendingin yang konon, dengan suatu teknologi pengaturan secar elektronik dapat menurunkan konsumsi listrik sampai separo dari sebelum menggunakan alat tersebut.
Selain teknologi yang dapat menghemat konsumsi energi, faktor teknologi yang layak menjadi bahan penelitian antara lain pengaruh implementasi broadband terhadap industri dan pelanggan. Sebagaimana diketahui, belum lama ini pemerintah berhasil menyelenggarakan tender Broadband Wireless Access (BWA) yang diperkirakan akan mengubah konstelasi pasar layanan Internet. Benarkah akan berubah? Berapa besar potensi perubahan? Siapa saja yang akan diuntungkan? Bagaimana konsumen dapat mengoptimalkan manfaat broadband, dan masih banyak lagi pertanyaan penelitian yang layak diajukan.
Selain BWA, sekarang sudah diperkenalkan teknologi baru seperti Long Term Evolution (LTE) yang di-claim sebagai telekomunikasi generasi empat (4G) untuk menggantikan 3G yang saat ini baru saja take-off, setelah mulai dipakai di Indonesia sejak 2006 lalu. Fokus dari penelitian terkait teknologi, barangkali bukan tentang teknologi itu sendiri, karena kita bukan pembuat teknologi, melainkan pada bagaimana pemanfaatannya dan regulasi apa yang diperlukan sehingga teknologi tersebut menjadi optimal. Dapat diterima dan terjangkau oleh konsumen. Sejarah mengajarkan bagaimana ketiadaan skenario transisi teknologi, ketika layanan radio panggil (pager) dihabisi oleh selular, ketika teknologi NMT dan AMPS harus ditingalkan dan beralih ke CDMA, ketika pita frekuensi harus dipindah ke lokasi yang baru karena akan digunakan untuk layanan lain. Di setiap transisi semacam ini, kecenderungannya konsumen selalu menjadi korban, kemudian pengusaha. Pemerintah tidak pernah mengambil posisi sebagai pihak yang menanggung akibat dari perubahan kebijakan maupun terkait dengan perubahan teknologi.
Benefit dari penelitian terkait pemanfaatan teknologi, dapat dilihat dari rendahnya biaya transisi baik yang harus ditanggung oleh penyedia jasa, maupun oleh konsumen. Bagi pemerintah, penelitian ini akan bermanfaat bagi penyiapan kebijakan dan regulasi sehingga mengurangi periode ketertinggalan sebagaimana selalu terjadi selama ini.

h. Perlindungan Konsumen
Undang – Undang Perlindungan Konsumen memastikan adanya perlindungan bagi konsumen. Di pihak lain, pelanggan TIK tergolong rentan terdapat kerugian yang diakibatkan oleh penggunaan layanan TIK, baik yang disebabkan oleh dirinya sendiri, penyedia jasa, atau pihak ketiga. Dalam era Convergensi 2.0 resiko munculnya kerugian diperkirakan semakin meningkat, terutama bagi mereka yang melakukan transaksi melalui Internet atau media elektronik lainnya. Walaupun perangkat perlindungan seperti institusi penjaminan (certification authority), sistem identifikasi pengguna atau pelaku transkasi telah semakin canggih, sistem keamanan jejaring telah di sempurnakan, namun celah senantiasa terbuka bagi mereka yang berniatjahat untuk merugikan pengguna TIK lainnya. Prasaranan hukum seperti undang – undang sudah ada, tetapi penegakkannya masih sering menimbulkan masalah baru, yang merugikan pengguna TIK. Bahkan statistik menunjukkan adanya peningkatan incident kejahatan dan pelanggaran di dunia maya.
Penelitian tentang bagaimana menyempurnakan upaya perlindungan terhadap penggunan TIK perlu secara serius dilakukan dan mendapat perhatian dari berbagai pihak. Dengan penelitian ini diharapkan dapat diungkap motivasi pelaku pelanggaran dan kejahatan TIK, alternatif penyempurnaan upaya perlindungan, serta tindakan yang diperlukan dalam mencegah terjadinya pelanggaran atau kejahatan yang merugikan konsumen TIK.

5. Kesimpulan
Ada banyak cara untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. Jika harapannya tidak beda dengan kondisi yang ada, maka pilihan tidak melakukan perubahan atau status quo, dapat menjadi opsi terbaik. Kondisi seperti itu, tidak ada perubahan, jarang sekali atau mungkin tidak ada. Artinya, selalu ada tuntutan perubahan dari pelanggan. Menyikapi tuntutan perubahan, pemerintah selaku fasilitator - bukan pelaku usaha dan bukan pula pelanggan – dan sekaligus pembuat kebijakan serta regulator perlu menyiapkan strategi perubahan, dengan asumsi kedua belah pihak, baik pelanggan maupun penyedia jasa membutuhkan fasilitasi pemerintah. Hal ini perlu ditekankan mengingat tidak semua yang disediakan oleh pemerintah dibutuhkan atau diperlukan oleh pelanggan dan atau penyedia jasa. Oleh karena itu, sebelum membuat kebijakan dan atau regulasi, perlu dilakukan penelitian agar kebijakan dan atau regulasi yang akan diterbitkan berdaya guna, efektif dan efisien ketika diimplementasikan.
Pertimbangan pertama dalam menyelenggarakan penelitian tentu saja melihat dari perspektif pelanggan, bukan dari perspektif pembuat aturan atau penyedia jasa. Dengan demikian topik – topik penelitian akan terfokus pada pemenuhan kebutuhan dan harapan pelanggan. Pertimbangan kedua menyangkut aspek perubahan konteks, yang sekarangdan ke depan akan ssangat dipengaruhi oleh teknologi digital dan konvergensi. Konvergensi bukan sesuatu yang baru saja terjadi, namun merupakan proses yang sudah sedang dan akan terus berlanjut. Memperhatikan terus berlanjutnya konveensi, maka dapat dikatakan konvergensi yang sedang dan dalam waktu dekat akan terjadi disebut sebagai Convergensi 2.0, untuk menandai tahap selanjutnya dari tahap yang bar saja dilewati. Pertimbangan ketiga, menyangkut preferensi dan kebutuhan pelanggan. Segitiga Kebutuhan Pelanggan (SKP) terdiri dari harga, kuantiti dan kualitas, merupakan tiga faktor yang digunakan pelanggan dalam memutuskan untuk membeli produk. Apabla digenapi pendapatan (income) SKP menjadi empat faktor yang mempengaruh perilaku pelanggan.
Menggunakan empat faktor tersebut sebagai konteks, dan dengan ilustrasi sebuah perjalanan, maka arah atau destinasi penelitian dapat diajukan dalam beberapa alternatif yang dapat berdiri sendiri atau saling melengkapi. Satu hal yang juga penting untuk disimpulkan di sini, bukan hanya kuantiti dan cakupan arah penelitian yang dapat diajukan, namun bagaimana destinasi penelitian tersebut bermanfaat bagi kepentingan negara, bukan hanya kepentingan pemerintah saja.***

Referensi
1. Pindyck & Rubenfield, 1998, 4th Ed; Microeconomics, Prentice Hall.
2. Muller & Zimmermaan, 2002; Beyond Mobile: Research Topics for upcoming Technologies in the Insurance Industry, IEEE.
3. Banker & Kauffman, 2004; The Evolution of Research on Information Systems: A Fiftieth-Year Survey of the Literature in Management Science, Management Science Journal.
4. Dong-Hee Shin, 2006; Convergence of telecommunications, media and information technology, and implications for regulation, Emerald Group Publishing.

Jakarta, 2 November 2009.

China Dalam Perspektif Budaya Bisnis dan Etos Kerja

1. Pendahuluan

China dapat mengacu pada wilayah suatu negara, yang terletak di timur laut benua Asia, berbatasan dengan Mongolia dan Rusia di sebelah utara, dan beberapa negara (Vietnam, Laos, Nepal, Buthan, Myanmar, India, Buthan, Pakistan) di sebelah selatan, Korea dan Jepang di sebelah Timur, Phillipina di tenggara, serta Tadzikistan, Kirghiztan dan Kazakhztan di sebelah Barat; atau mengacu pada etnik yang kemudian dapat dikelompokkan lagi ke dalam suku – suku bangsa China yang dibedakan dari wilayah (di daratan China) mereka berasal.

Sebagai suatu negara, China memiliki sejarah panjang, dari beratus bahkan beribu tahun lalu. Negara China yang dikenal seperti sekarang ini dahulu kala merupakan kumpulan dari banyak kerajaan kecil, yang satu sama lain saling mempengaruhi melalui perang dan konflik. Peperangan berakhir dengan integrasi negara-negara kecil menjadi satu negara China.

Selama lima dekade, pasca perang dunia kedua, China merupakan negara dengan ekonomi tertutup, hal ini merupakan konsekuensi dari pilihan politik yang dianut oleh regim yang berkuasa. Perubahan terjadi ketika Deng Hsiao Ping, pemimpin China pada tahun 1978 membuka perekonomian dengan mengijinkan investasi asing masuk ke China.

Perkembangan selanjutnya selama dua dekade terakhir ini, China berhasil meraih pertumbuhan ekonomi dengan cepat dan reformasi kelembagaan secara drastis. Banyak argumen menyatakan bahwa etnik (warga negara) China cenderung menjadi individualistik, namun demikian ada bukti kuat yang menunjukkan masih adanya pengaruh budaya tradisional dalam setiap tindak individu, bisnis maupun pemerintahan.

Ditinjau dari perspektif budaya, fenomena yang terjadi di China moderen dapat disajikan dalam suatu titik fokus tertentu, yang diharapkan dapat memberikan pemahaman atas pertanyaan-pertanyaan dasar seperti apa, siapa, mengapa, kapan, dan bagaimana. Bidang perekonomian sebagai ujung tombak pembangunan negara melahirkan banyak elemen kebudayaan baik itu simbol-simbol, cara interaksi, distribusi konsep, jaringan bisnis, norma-etika bisnis, dan lain-lain. Ini semua yang kemudian dapat mengantarkan kita pada pemahaman terhadap keberhasilan bisnis Cina di era globalisasi.

2. Kekuatan Ekonomi Baru

Bergsten dkk, 2006 dalam China: The Balance Sheet, What the World Needs to Know About the Emerging Superpower, kebangkitan China sebagai kekuatan ekonomi dan politik global merupakan event transformatif, yang menuntut perhatian khusus bagi negara – negara maju lainnya, termasuk negara berkembang di wilayah Asia Pacific untuk memahami lebih jelas “tantangan China” yang datang menyusul keberhasilan ekonomi domestik China. Lebih jauh, China bagaimanapun sudah menjadi “ancaman” bagi kemapanan yang selama beberapa dekade menjadi milik negara maju di Amerika dan Eropa.

Perkembangan dan kemajuan ekonomi China bagaimanapun menimbulkan peluang dan sekaligus tantangan bahkan ancaman, yang jika dikelola dengan baik dapat memberi manfaat bagi China dan negara – negara lain, namun bila salah dalam memahami fenomena China, dapat membawa kerugian bagi negara – negara lain termasuk Indonesia.

Dari perspektif perdagangan internasional, China dikenal dengan sebutan walled world, suatu istilah yang mengacu pada negara dapat berdagang satu dengan lainnya dalam pasar global namun masih memelihara kendali terhadap masa depan ekonominya sendiri, sistem politik dan kebijakan luar negeri. Walled world merupakan tantangan ideologis terhadap filosofi dunia datar-nya (flat world) Amerika dan paham multilateralisme liberal-nya Eropa. Budaya China dianggap dapat berpeluang menjadi jalan ketiga (third path) yang akan menjadi alternatif bagi struktur kognitif dari governance global.

Model Pembangunan

Model pembangunan yang dilakukan China menawarkan kepada negara – negara sedang membangun suatu alternatif dari norma yang berlaku di Barat. Keberhasilan sistem pasar bebas yang bersifat authoritarian merupakan tantangan bagi keterhubungan tradisional antara pasar bebas dan keberhasilan demokrasi. Kerangka budaya China menekankan pada kedaulatan negara, suatu hal yang tidak lagi diperhatikan oleh negara – negara barat, dan hal ini dapat memulihkan rasa kebanggaan pada negara – negara sedang berkembang yang merasakan kedaulatan mereka tidak dihormati oleh negara – negara maju.

3. Kunci Sukses Bisnis
Ada 3 (tiga) yang dapat dirujuk sebagai kunci sukses bisnis China: Guanxi (jaringan bisnis); Ganqing, menghormati dan menjaga ikatan perasaan/hubungan batin yang dalam; serta Xinyong, jaringan antar-pribadi, berkaitan dengan reputasi.

Guanxi

Guanxi secara literal berarti relasi (relationships). Dalam dunia bisnis China, Guanxi juga diatribusi sebagai jaringan di antara berbagai pihak yang bekerja sama dan mendukung satu sama lain. Mentalitas pelaku bisnis China diibaratkan seperti “engkau garuk punggungku, aku garuk punggungmu”, yang maknanya kurang lebih saling tukar jasa, yang diharapkan dilakukan secara normal dan atas dasar keikhlasan. Guanxi merupakan konsep penting untuk memahami apakah seseorang dapat diterima secaar efektif dalam masyarakat China.

Di China, Guanxi berpengaruh besar terhadap sukses bisnis. Dengan menerapkan Guanxi secara benar, organisasi dapat meminimalkan resiko, frsutasi dan ketidak –nyamanan ketika melakukan bisnis. Dengan filosofi Guanxi, pengusaha berupaya menjalin hubungan dengan pejabat pemerintahan yang dimaksudkan untuk mendapatkan posisi bisnis yang lebih baik, meretas hambatan, memudahkan dalam segala urusan perizinan maupun operasional perusahaan yang ada hubungannya dengan pemerintah.

Meskipun membangun dan mempertahankan Guanxi di China sangat membutuhkan waktu dan sumber daya, namun semuanya itu merupakan investasi yang akan sepadan dengan hasil yang akan diperoleh. Apa yang didapat dari rekan bisnis, seringkali bernilai lebih besar dari pada materi dan waktu yang kita berikan, khususnya jika dilihat dalam perspektif jangka panjang, dan utamanya ketika kita sedang membutuhkan.

Pelaku bisnis di China menjalin jaringan bisnis dengan pemasok, pengecer, bank, pejabat pemerintah daerah, dan stakeholder lainnya, tidak hanya untuk sekedar basa-basi, namun suatu hubungan yang dilandasi oleh saling pengertian dan kesediaan untuk saling membantu. Memberikan hadiah kepada mitra bisnis menjadi hal lumrah di kalangan pelaku bisnis China.

Ganqing

Secara harafiah ganqing berarti perasaan (Toruan, 2009). Dalam budaya bisnis China konsep ganqing masih berhubungan dekat dengan guanxi. Ganqing merefleksikan suasana umum dari hubungan sosial dari dua orang atau dua badan yang saling berinteraksi. Seseorang dapat dikatakan memiliki ganqing yang baik jika hubungannya dengan orang lain tersebut baik, selain track-record hubungan yang baik di antara keduanya. Sedangkan ganqing yang mendalam adalah terdapatnya ikatan perasaan / hubungan batin yang dalam pada hubungan sosial itu sendiri.

Konsep ganqing juga dekat sekali maknanya dengan konsep ‘muka’ dalam budaya China. Konsep ‘muka’ dalam kebudayaan China mengacu kepada dua hal yang berbeda tapi saling berhubungan, yaitu mianzi 面子 dan lianzi 脸子. Lian adalah kepercayaan masyarakat dalam karakter moral seseorang. Sedangkan mianzi merepresentasikan persepsi sosial terhadap prestise seseorang. Konsep menjaga muka sangat penting halnya dalam hubungan sosial masyarakat China karena muka mewakili kekuasaan dan pengaruh. Kehilangan lian berakibat pada hilangnya kepercayaan sosial terhadap seseorang. Dan kehilangan mianzi berakibat pada kehilangan wibawa dan wewenang seseorang. Contoh gampangnya, gosip tentang seseorang yang mencuri dari kas toko; Ia akan kehilangan lian bukan mianzi. Pada kejadian lainnya, memotong pembicaraan bos/atasan seseorang menyebabkannya kehilangan mianzi bukan lian.

Orang China berusaha sebisa mungkin menghindari suatu konflik dalam melanggengkan hubungan dengan sesamanya. Ketika mereka menghindari konflik biasanya orang China akan berusaha untuk tidak menyebabkan seseorang kehilangan mianzi-nya, yaitu dengan tidak memunculkan kenyataan-kenyataan yang memalukan ke hadapan publik. Sebaliknya, ketika mereka ingin menantang suatu wewenang atau orang lain dalam suatu komunitas tertentu, orang China akan berusaha menyebabkan orang tersebut kehilangan lian atau mianzi.

Xinyong
Xinyong dalam budaya bisnis China bermakna sebagai sebuah jaringan antar pribadi. Bagi orang China kepercayaan antar pribadi merupakan hal yang terpenting. Para pengusaha China biasanya hanya berhubungan komersial dengan orang yang sudah mereka kenal. Oleh karena itu, reputasi seseorang penting artinya bagi transaksi bisnis. Dahulu, para pebisnis China secara pribadi akan berhubungan langsung dengan rekan-rekan bisnisnya, karena hal ini akan meningkatkan kemutlakan peran pemilik di samping tetap menjaga reputasinya sebagai pemilik perusahaan. Fenomena serupa terjadi hingga kini di perusahaan-perusahaan milik etnis China di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan lain-lain. Sebaliknya, fenomena di China Daratan menunjukkan bahwa kehadiran seorang pemimpin perusahaan dalam sebuah pertemuan bisnis tidak selalu signifikan, karena keputusan final tetap dipegang oleh komune/dewan eksekutif yang belum tentu hadir di pertemuan tersebut, yang bisa saja mengakibatkan suatu pertemuan bisnis dengan tema yang sama dapat terjadi berkali-kali dan mungkin sangat alot bagi pihak asing yang masuk ke dalam lingkaran mereka.

Xinyong dapat tertuang dalam kontrak verbal di suatu transaksi bisnis. Penandatanganan kontrak kadang-kadang tidak diperlukan, biasanya hanya diperlukan dengan badan-badan pemerintah. Persetujuan verbal dianggap sudah cukup. Jika pihak I mengatakan akan melakukan sesuatu maka dia tidak akan ingkar. Bagi mereka ingkar adalah perbuatan yang dapat mencoreng mianzi. Jika tersebar reputasinya akan jatuh dan tidak akan ada lagi yang bersedia bisnis dengannya lagi (atau kehilangan lian).

4. Sumber Kekuatan

Sumber kekuatan China terletak pada perilaku masyarakatnya. Untuk memahami perilaku masyarakat China, sebaiknya melakukan eksaminasi keterkaitan antara gerakan sosial kontemporer dengan kepercayaan dan tata nilai tradisional. Keberhasilan materi mulai mempengaruhi perilaku ekonomi, namun secara umum perilaku sosial masyarakat China masih mengacu pada kepercayan dan tata nilai tradisional.

Dengan norma sosial dan karakteristik kelembagaan di China yang masih bertahan hingga saat ini, keberhasilan materi menjadi suatu hal yang diutamakan. Di lain pihak, banyak orang China yang memiliki sifat kewira-usahaan, rajin dan tekun, fokus pada sasaran mereka, lebih banyak dimotivasi oleh keinginan meraih perubahan taraf hidup, dan dalam beberapa kasus mendorong terjadinya korupsi.

Budaya China Tradisional

Budaya China tradisional banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai Konfusianisme. Dalam ajaran Konfusian, masyarakat dibentuk dalam hirarki berdasarkan profesi dan atau peran mereka di dalam masyarakat. Paling atas adalah para intelektual, pemuka masyarakat dan mereka yang bekerja sebagai pejabat pemerintah. Kemudian lapisan di bawahnya adalah kaum atau golongan petani yang menghasilkan bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan semua penduduk. Di bawah kaum petani adalah perajin, tukang kayu, tukan batu, dan profesi semacam itu. Kaum perajin menempati posisi ketiga karena dianggap karya mereka tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan dasar manusia. Pada hirarki terbawah berkumpul pedagang, pemain teater, dan tentara.

Memperhatikan hirarki masyarakat China tradisional, tampak nyata betapa struktur masyarakat China dibangun berdasar satu organisasi sosial yang otokratis, hierarkis, dan tidak demokratis. Kemakmuran bersama dicapai dari hasil-hasil pertanian. Kestabilan suatu negara dapat dijamin dengan hierarki yang jelas. Dengan kata lain, yang lebih rendah taat kepada yang lebih tinggi, dan yang lebih tinggi menunjukkan kemurahan hati sebagai balasan terhadap kesetiaan tersebut.

Diaspora

Salah satu ciri dari etnik China adalah diaspora, penyebaran dari daratan China ke negeri - negeri lain di seluruh dunia. Boleh dikatakan, hampir tidak ada negara yang tidak ada etnik China sebagai penduduk, baik sebagai warga negara, maupun penduduk sementara. Dengan diaspora ini muncul pembedaan antara Warga Negara China (WNC) dan China Perantauan (Overseas China), WNC atau etnik China yang tinggal, menetap atau sudah menjadi warga negara selain China.
Masyarakat China percaya pada kebersamaan (collectivism) yang menjadi sifat dasar mereka, di mana patriotisme merupakan bentuk tertinggi dari kebersamaan. Selain itu, China cenderung menjunjung tinggi tegaknya kehormatan.

Budaya Bisnis
Dari perspektif awam, atau barangkali bahkan oleh kalangan ahli, China dan budaya serta praktek keseharian masyarakat China dipandang sebagai kompleks, kadangkala kontradiktif, dan membingungkan - susah bagi pihak luar memahami pola pikir mereka. Hal ini yang seringkali menjadikan kesimpulan berbagai studi tentang China (yang dilakukan oleh bukan orang China) tidak tepat, bahkan terdistorsi oleh sudut pandang dari kepentingan dan posisi masing – masing.

Banyak pihak memandang China sebagai pasar yang sangat besar, karena populasinya yang terbesar di seluruh dunia. Sejatinya China merupakan pasar yang terpecah, tidak terkonsentrasi (fragmented). Bagi mereka yang terbiasa berbisnis di lingkungan yang berorientasi Barat, pasar domestik China merupakan arena yang menantang. Strategi bisnis yang berhasil diimplementasikan di Beijing, dalam banyak kasus, tidak dapat dengan mudah, berhasil diterapkan di kota – kota lain seperti Shanghai atau Shenyang. Oleh karena itu menjadi kurang tepat apabila membuat umum (generalize) Budaya Bisnis China per se.

Sumber Etos China

Pendapat ahli China yang menyatakan bahwa sumber etos China adalah keseragaman dan kesamaan budaya, pada saat ini dianggap sudah tidak valid lagi. Ada tiga hal yang dianggap sebagai sumber etos China: budaya, nasionalisme, dan pragmatisme.

Neo-Confucianism
Neo-confusianisme sebagai sebuah ideologi internal yang signifikan, dan memiliki akar sejarah yang mempengaruhi kehidupan masarakat China hingga sekarang. Ideologi ini menjadi alat yang sangat kuat bagi Partai Komunis China (PKC). Sebagai implikasi dari kebijakan politik longgar yang membuka peluang investasi asing pada gilirannya menghilangkan filosofi dan moralitas China. Kapitalisme barat menggantikan kebijakan ekonomi Marxis, dan ideologi jalur keras digantikan oleh pragmatisme yang fleksibel. Para pemimpin garis keras masih tetap duduk sebagai petinggi di partai politik namun mereka tidak memiliki suara majoritas lagi. Meskipun demikian konsep baru yang diperkenalkan ini dianggap tidak kontradiktif dengan idealisme China yang sudah lama tertanam. Pada kenyataannya, perubahan yang terjadi terlihat seperti alamiah dibandingkan dengan ketika China mengadopsi Marxisme pada awal kemerdakaan di tahun 1949.

Basis dari gabungan antara paradigma lama dan baru adalah kembalinya China ke Konfusianisme suatu tradisi yang lama dianut; bedanya sekarang diaplikasikan dalam konteks modern. Sifat pragmatis budaya Konfusian memberi China kebebasan untuk bertindak dalam mencapai manfaat hubungan dagang dan diplomatik. Di pihak lain, Barat (Eropa dan Amerika) sering menilai hal ini sebagai suatu sikap oportunis dan ancaman. Sebaliknya, China memiliki pengalaman sejarah panjang di bawah bayang – bayang ancaman dari kekuatan Barat. Warisan perasaan sebagai korban setidaknya dapat ditelusuri ke belakang hingga peristiwa Perang Candu, yang tidak pernah dapat dilupakan. Dari pengalaman tersebut China menganggap bahwa penilian Barat terhadap China sebagai sebuah penghinaan, dan lebih buruk dari itu merupakan tindakan opresif. Contoh nyata yang belum lama terjadi dapat terlihat menjelang Olimpiade Musim Panas (OMP) di tahun 2008 lalu. Banyak tokoh selebriti Barat yang menyerang dan meragukan kemampuan China menyelenggarakan event olah raga terbesar di dunia. Hal tersebut meski dirasakan sebagai penghinaan, namun direspon sebagai tantangan bagi China agar dapat sukses menjadi tuan rumah OMP.
Dalam perjalanan waktu, China membangun “nasionalisme pragmatis” (pragmatic nationalism) yang diwarnai oleh upaya mencapai kebijakan efektif yang tidak harus konsisten dengan ideologi. Wacana yang berkembang kemudian, adakah kompatibiltas antara Neo-Konfusianisme dengan nasionalisme pragmatis? Pertanyaan ini mengemuka karena nasionalisme pragmatis dianggap jalan tengah antara Konfusianisme tradisional dengan dunia modern yang diwakili Barat.

Pidato atau pernyataan dari pimpinan Partai menjadi indikator kuat eksistensi arah ideologi baru Partai. President Hu Jintao pernah menyatakan etika Konfusian sebagai selaras namun tidak homogen, berbeda namun tidak bertentangan. Kalimat ini diulang-ulang dalam berbagai kesempatan, suatu hal yang mengindikasikan sebagai penanda dimulainya etika China modern.
Dalam format lain, pihak berkuasa memanfaatkan media cetak untuk mempromosikan agenda Partai. Meskipun dekade terakhir ini kehidupan pers di China sudah ditandai adanya kebebasan pers di sektor komersial, namun dominasi partai masih mewarnai kebebasan tersebut. Publikasi yang dikendalikan partai cenderung lebih normatif dan moralis, sementara koran – koran swasta sudah mulai menyuarakan realita dan kehidupan politik nyata.

Pragmatisme
Dalam banyak hal, China bertindak berdasarkan pemikiran pragmatis. Hal ini tercermin tidak hanya pada bagaimana individu China membuat keputusan, atau melatar-belakangi suatu tindakan; namun sampai pada bagaimana kebijakan politik dan perdangan luar negeri. Sebagaimana bangsa-bangsa lain, China berharap untuk melihat adanya tatanan dunia yang dapat memperbaiki posisi relatif terhadap bangsa – bangsa lain di dunia. Mengacu pada harapan tersebut, China menghomai kedaulatan negara – negara lain dan memegang prinsip untuk tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri negara lain. Hal ini sejalan dengan etika yang dinyatakan oleh Presiden Hu Jintao “selaras namun tidak homogen, berbeda namun tidak bertentangan.” Dalam perspektif lain, pragmatisme dianggap sebagai ideologi yang tidak meyakinkan, tidak memiliki apa-apa, sangat tidak mencukupi dibandingkan dengan ideologi komunis atau liberal. Pragmatisme dianggap sebagai jalan untuk mencapai tujuan dengan segala cara, atau perilaku strategik yang didorong oleh kepentingan nasional, yang dikondisikan secara substansial oleh lingkungan geostrategic dan pengalaman sejarah China.

Namun demikian, hal tersebut tidak mengindikasikan adanya kontradiksi antara strategi pragmatis dengan Neo-Konfusianisme, karena pragmatisme dianggap sebagai ideologi netral. Kekuatan pendukung strategi pragmatis adalah nasionalisme masyarakat China, yang masih berakar kuat sebagai kepercayaan politik yang dianut oleh majoritas masyarakat China, termasuk mereka yang berseberangan paham dengan regim komunis yang berkuasa.

Nasionalisme
Nasionalisme merupakan perekat yang menyatukan budaya China Neo-Konfusianisme dan strategi pragmatis. Jika nasionalisme China hancur, ia akan secara pasti merusak etos kesatuan nasional. Rakyat China senantiasa melibatkan diri dalam praktek budaya tradisional dan penerimaan prinsip dan nila moral China. Sikap ini tidak selalu disertai dengan kecintaan terhadap Partai atau ketaatan terhadap “Empat Prinsip Utama” yang merupakan garis kebijakan Partai. Ideologi politik telah kehilangan salah satu tujuannya di China, memberi identitas bagi warga negara RRC.

Sumber – sumber identitas China modernu menggantikan kebijakan lama Partai dan bahkan menimbulkan konflik di antara satu dengan lainnya. Nasionalisme budaya (demikian istilah ini mulai disosialisasikan) secara fundamental bertentangan dengan ideologi Partai, bukan dengan negara, juga bukan dengan nasionalisme secara keseluruhan.

Nasionalisme China dipengaruhi sejarah panjang yang lebih banyak menunjukkan sikap defensif dari pada ofensif dalam hubungannya dengan negara – negara lain. Hal ini cukup beralasan karena elite politik China menganggap nasionalisme sebagai alat proses regenerasi dan pertahanan melawan imperialisme. Kebangkitan China di wilayah Asia Timur, dan kemudian global tidak mengubah kekuasaan teritorial mereka. Inilah wajah kebangkitan dan sekaligus ekspansi ekonomi di era global, penguasaan teritori yang menggangu kedaulatan negara lain, sudah tidak relevan lagi, digantikan oleh aliran investasi, produk, informasi, dan ide.

Prioritas Etos China
Keunikan etos China terletak pada kuatnya upaya untuk menjadi berbeda dari lainnya, namun pada cara yang dipilih untuk memprioritaskan upaya tersebut. Faktor keamanan menjadi pertimbangan utama. Selama bertahun – tahun China terbiasakan dengan keharusan menjaga ketertiban dan stabilitas masyarakatnya, lebih banyak “melihat ke dalam” dan menerapkan “kebijakan tutup pintu” dari pada berupaya mencapai kemajuan dan melakukan ekspansi ke luar negeri. Dalam kontek ini, kepentingan negara lebih diutamakan dari apda kepentingan individu. Hal ini memfasilitasi konsistensi antara kebijakan dalam dan luar negeri, karena keduanya memprioritaskan hal yang sama baik di domestik mapun di aras internasional.

Kebangkitan ekonomi China baik di dalam negeri maupun pengaruh ekspansinya ke luar negeri, jika kita amati, berbeda dengan era ketika peristwa serupa dilakukan oleh negara - negara Barat (melalui penjajahan, kolonialisme). Hampir tidak ada konflik berupa sikap penolakan ketika China masuk ke pasar internasional. Sejarah panjang China menunjukkan postur mereka tidak hanya sebagai produk dari kebijakan geopolitik, namun dimaksudkan sebagai pre-disposisi budaya unik yang diaplikasikan untuk mencari solusi anti kekerasan atas permasalahan politik dalam negeri, pola pikir defensif.

5. Manfaat Bagi Indonesia
Dalam hubungan antara China dan Indonesia, Majalah The Economist edisi 12-18 September 2009, dalam liputan khusus tentang Indonesia, memperkenalakan terminologi baru “Chindonesia” untuk merujuk adanya hubungan simbiotik antara China dan Indonesia. China merupakan importer utama sarang burung walet yang banyak dihasilkan masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia. Di Bali, jumlah turis China sudah mengalahkan turis Australia dan Jepang yang selama bertahun – tahun dikenal sebagai pengunjung utama pulau Bali. Pertumbuhan ekonomi China dan India berdampak besar bagi permintaan terhadap produk-produk Indonesia, tidak hanya sarang burung walet namun juga termasuk komoditas utama seperti minyak sawit (palm oil) dan batubara (coal) untuk pembangkit listrik. Ekspor Indonesia ke Chindia (Chinda dan India) tahun 2008 mencapai 14% dari total export , lebih besar dari eksport ke Amerika (10%).

Melihat ke dalam negeri (Indonesia) kita memiliki kekayaan sosial yang tak kalah bermutunya dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat China. Pertanyaannya, mengapa masyarakat China yang bertahun – tahun menderita dalam kemiskinan dan kelaparan, hanya dengan kebijakan ekonomi terbuka, dalam tempo tiga dekade sudah melejit meninggalkan negara-negara di kawasan Asia yang tergolong berkembang, dan sekarang mendekati keberhasilan yang dicapai oleh negara – negara maju.
Nilai – nilai gotong royong yang secara suka rela dianut masyarakat pedesaan, pada saat ini – barangkali – sudah meluntur, sejalan dengan meningkatnya orientasi terhadap materi dan kapitalisme. Nilai serupa, collectivism, yang dilatar-belakangi paham Konfusian, menjadi semakin kuat karena merupakan kebijakan Partai tunggal yang berkuasa. Perbedaan antara China dan Indonesia dalam hal ini, gotong royong merupakan tindakan suka rela, sementara collectivism merupakan tindakan wajib.
Pendekatan otoriter melalui kewajiban yang harus dilakukan warga negara yang digariskan oleh negara, dan tidak boleh dilanggar inilah yang barangkali menjadi kunci pertama suksesnya China. Selain otoriter, suatu model pemerintahan yang pada saat ini sudah ditolak oleh Indinesia, Indonesia mungkin bisa belajar dari bagaimana masyarakat China membina nasionalisme-nya.

Dari aspek bisnis, trilogi Guanxi, Ganqing, dan Xinyong merupakan suatu karakter hubungan antar manusia dalam dunia bisnis yang perlu digali apakah tepat untuk diterapkan di Indonesia. Dalam wujud nyata, pola hubungan seruap Guanxi misalnya juga sudah menjadi karakter dalam tata hubungan sosial masyarakat di beberapa suku di Indonesia. Namun barangkali belum dimanfaatkan secara optimal dalam aktivitas bisnis.*****