Sunday, March 23, 2008

Tarif Telekomunikasi Ditinjau Dari Perspektif Ekonomi Politik

Penetapan kebijakan tarif telekomunikasi perlu mempertimbangkan kepen-tingan nasional jangka panjang, dan para pihak yang terlibat di dalamnya supaya mengambil langkah-langkah proaktif. Pendekatan proaktif dalam penetapan kebijakan tarif membutuhkan pemahaman terhadap orientasi pasar dan secara khusus memper-hatikan bagaimana pelanggan dan pengguna telekomunikasi membangun persepsi terhadap nilai-nilai positif yang diberikan oleh layanan telekomunikasi. Pendekatan proaktif lebih sulit dilakukan dari pada secara sederhana menambahkan margin keuntungan pada perkiraan biaya; oleh karena itu, kemampuan untuk membangun kebijakan tarif yang dapat memberi keuntungan kepada operator dan sekaligus memberikan manfaat positif bagi masyarakat penguna telekomunikasi, merupakan tantangan bagi pembuat kebijakan dan regulator telekomunikasi.

Untuk dapat melakukan pendekatan proaktif dalam membangun kebijakan tarif telekomunikasi perlu dilakukan beberapa hal. Pertama, dibutuhkan analisa hubungan harga dan permintaan. Variabel permintaan, diperoleh melalui cara pengguna telekomunikasi menentukan value yang diperoleh dari layanan telekomu-nikasi yang dinikmatinya, menjadi batas atas dalam diskresi tarif yang dapat diterima oleh pelanggan/pengguna. Guna memahami bagaimana pelanggan/pengguna membangun persepsi value diperlukan eksaminasi tentang bagaimana pelanggan bereaksi terhadap tarif, perubahan tarif, dan perbedaan tarif.

Beberapa studi tentang perilaku konsumen dalam kaitannya dengan harga membuktikan bahwa pembeli berreaksi terhadap perbedaan harga dari pada terhadap harga yang dinayatakan secara spesifik (Monroe, 2007). Hal ini mencerminkan bahwa harga relatif lebih penting bagi pilihan pembeli. Dalam pasar telekomunikasi yang kompetitif, bagi pembuat kebijakan tarif, baik regulator maupun operator, perlu mempertimbangkan bagaimana setiap keputusan tarif untuk suatu layanan tertentu (misal tarif interkoneksi/wholesale) akan berdampak pada tarif ritel (tarif yang dibayar oleh pelanggan); dan atau berdampak pada tarif untuk layanan-layanan lain yang ditawarkan oleh suatu operator.

Struktur layanan telekomunikasi bertumpu pada layanan jaringan telekomu-nikasi yang melayani berbagai layanan telekomunikasi. Dalam konteks ini, terjadi fenomena one for many yang artinya satu jaringan untuk berbagai layanan teleko-munikasi. Konsekuensi dari karakter semacam ini adalah adanya resiko persaingan tidak sehat antara operator besar yang memiliki jaringan yang sangat luas dan operator kecil yang jaringannya baru tumbuh. Untuk mengurangi desakan persaingan, operator besar memiliki peluang untuk melakukan transfer pricing antar unit usaha yang menjalankan bisnis jaringan dan bisnis jasa telekomunikasi. Sementara kepada operator lain yang membutuhkan jaringannya, operator besar tersebut mengambil margin yang cukup besar, sehingga menjadikan operator kecil tidak kompetitif.

Meskipun ada resiko dihambat oleh pemain besar, operator telekomunikasi baru atau yang masih tergolong kecil tetap memiliki peluang untuk menjadi besar apabila para eksekutifnya mampu membuat keputusan tarif layanan dengan baik. Hal ini dapat tercapai apabila para eksekutif memiliki informasi yang cukup dan benar tentang basis pelanggan yang sudah dan akan dimiliki, para pesaing yang dihadapi, atau semua biaya relevan yang terkait dengan pengambilan keputusan tertentu. Selain itu, para eksekutif ini tidak mengandalkan pada pemikiran tradisional atau asumsi yang tidak valid, atau harapan yang dianggap sudah sebagai kenyataan. Hasil umum dari kebijakan tarif yang buruk antara lain operator menerima pendapatan yang semakin sedikit (menurun), dan akibatnya tingkat keuntungan semakin tipis, sementara di pihak lain pelanggan/pengguna tidak puas dengan layanan diterima.

Permasalahan utama dalam masyarakat ekonomi adalah bagaimana mengalo-kasikan sumber daya yang tersedia di antara anggota masyarakat ekonomi tersebut guna memaksimalkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Untuk mencapai sasaran kesejahteraan tersebut, setiap sumber daya yang tersedia perlu dimanfaatkan untuk melaksanakan fungsinya secara efisien. Dalam rezim ekonomi pasar, sistem harga mengalokasikan semua sumber-daya yang tersedia dan menjadi petunjuk bagai-mana sumber daya tersebut dimanfaatkan. Harga akan menentukan barang dan jasa apa yang perlu dihasilkan dalam jumlah tertentu. Demikian juga, harga menentukan bagaimana barang-barang dan jasa-jasa tersebut harus diproduksi. Dan, harga mencerminkan untuk siapa barang dan jasa perlu dibuat.

Memperhatkan hal-hal di atas, dapat dikatakan bahwa harga/tarif berpengaruh terhadap pendapatan dan perilaku belanja. Bagi pelanggan dengan tingkat penghasilan tertentu, tarif mempengaruhi apa yang dibeli dan berapa banyak setiap produk akan dibeli. Bagi organisasi bisnis, profit ditentukan dari perbedaan antara pendapatan dan biaya; sementara pendapatan diperoleh dari perkalian antara harga per unit dengan jumlah unit produk/jasa yang dibeli.

Perubahan harga juga memainkan peran utama dalam ekonomi pasar. Ketika kuantitas barang dan atau jasa yang dibutuhkan lebih besar dari penyediaan, pembeli harus rela mengeluarkan uang lebih banyak, atau dalam kata lain harga menjadi lebih mahal. Jika biaya produksi per unit tetap, harga yang semakin tinggi memberi tingkat keuntungan yang lebih besar bagi operator, dan menjadi insentif untuk investasi sumber daya guna menghasilkan produk dalam jumlah yang lebih besar. Tingkat keuntungan yang lebih tinggi dapat menjadi insentif bagi operator untuk melakuan inovasi produk dan jasa lain. Namun demikian, jika karena investasi berupa penambahan sumberdaya (jaringan dan jasa) menghasilkan supply yang lebih besar dari pada permintaan, hal ini dapat menekan harga dan mengurangi output. Yang pada gilirannya akan merugikan operator dan pelanggan/penguna. Wal hasil pembuat kebi-jakan tarif perlu memperhatikan kesetimbangan antara sisi penawaran dan permintaan dengan selalu memantau kapasitas jaringan yang terpasang dan tingkat pertumbuhan permintaan terhadap layanan telekomunikasi.

Undang – Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 27 menyatakan “Susunan tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Sedangkan Pasal 28 menyatakan “Besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.” Dari dua pasal di atas, dapat dipahami dengan mudah bahwa kewenangan Pemerintah selaku regulator telekomunikasi terbatas pada menyiapkan formula tarif saja, dan tidak memiliki kewenangan untuk ikut campau dalam menentukan besaran tarif, karena hal tersebut merupakan haknya masing-masing operator.

Apa yang terjadi di lapangan tidak sepenuhnya menunjukkan bahwa substansi Pasal 28 telah dilaksanakan secara konsekuen. Diakui atau tidak, disukai atau dibenci, dengan alasan apapun, pada kenyataannya Pemerintah masih sering masuk terlalu jauh ke dalam dapurnya operator telekomunikasi dengan menentukan tarif (dan akhirnya tingkat keuntungan operator) yang sejatinya merupakan wilayah kedaulatan operator telekomunikasi. Argumen bahwa tindakan pemerintah tersebut dilakukan semata untuk melindungi masyarakat dan operator kecil, pada tingkat tertentu dapat diterima. Namun demikian, timbul ancaman besar yang barangkali tidak disadari oleh regulator maupun oleh para operator sendiri ketika “mengizinkan” regulator mema-suki wilayah kedaulatan bisnis para operator. Ancaman besar tersebut adalah semakin tidak terbentuknya pasar telekomunikasi nasional yang kompetitif, atau dalam kalimat lain, pelaksanaan kebijakan tarif yang tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang berpotensi pada terbentuknya pasar kartel yang “direstui” oleh regulator telekomu-nikasi. Suatu hal yang ironis bila benar-benar terjadi.

Tanda-tanda pasar kompetisi telekomunikasi sudah mulai terdistorsi dapat dilihat dari kecenderungan keseragaman harga; rata-rata tingkat keuntungan (EBITDA) yang masih relatif besar (di atas 50%) dan perbedaan EBITDA antara satu operator dengan operator lainnya tidak jauh (antara 5% s.d. 10%); pesan iklan yang rata-rata hampir serupa, walau dikemas dalam bahasa komunikasi yang berbeda; dan di pihak lain semakin banyaknya pelanggan yang mengeluh karena merasa tertipu oleh iklan atau buruknya layanan telekomunikasi.

Ada beberapa langkah strategis yang dapat disarankan untuk mengurangi distorsi pasar dan mencegahnya sehingga tidak meningkat menjadi kegagalan pasar. Industri telekomunikasi sebagai regulated industry memerlukan regulator yang memiliki kompetensi dan komitmen tinggi untuk memajukan industri. Kompetensi dicerminkan tidak saja dari latar belakang pendidikan yang memadai dan relevan dengan penyelenggaraan telekomunikasi, namun juga memahami secara mendalam karakter unik yang melekat pada industri telekomunikasi, ditambah dengan memiliki jaringan yang luas dengan setiap stakeholder telekomunikasi baik di dalam maupun di tingkat internasional. Kompetensi ini sangat penting mengingat perubahan teknologi dan bisnis telekomunikasi terjadi dengan begitu cepat, sehingga menuntut regulator selalu tanggap dan mampu bereaksi cepat terhadap setiap perubahan yang terjadi di lingkungan tanggung jawab tugasnya. Komitmen mencerminkan keterlibatan secara total di dalam pergulatan memajukan industri telekomunikasi yang mampu memberi nilai positif tidak hanya bagi operator, namun dirasakan pula oleh masyarakat dan Pemerintah.

Langkah berikutnya, telekomunikasi tidak dapat berdiri sendiri, ia diperlukan oleh dan memerlukan campur tangan dari sektor-sektor lain. Untuk hal tersebut, harmonisasi dalam strategi pembangunan telekomunikasi dengan sektor lain perlu ditingkatkan. Sebagai contoh, harmonisasi dan koordinasi dengan pemerintah daerah, sektor pekerjaan umum (bina marga), perusahaan listrik negara, perusahaan air minum, dan sektor – sektor lain sangat diperlukan agar pekerjaan pembangunan fisik jaringan tidak merusak lingkungan, menganggu kenyamanan publik, atau bahkan membahayakan keselamatan jiwa. Fakta yang selama ini ditemukan, jalan menjadi rusak karena digali untuk kabel telepon, atau jaringan telepon tiba-tiba terputus karena kabel terpotong oleh alat berat atau pekerja yang sedang membangun jaringan air minum, jaringan listrik, atau perbaikan jalan.

Terkait dengan tarif, yang oleh sementara pihak dikatakan masih tergolong mahal, disuka atau dibenci, diakui atau ditolak, investasi telekomunikasi tidak dapat lepas dari pengaruh negatif ekonomi biaya tinggi yang masih menjadi karakter bisnis di Indonesia. Biaya – biaya tak terlihat namun nyata ini, pada gilirannya akan menjadi beban yang dilimpahkan kepada pelanggan. Oleh karena itu, ketika regulator telekomunikasi menyerukan agar tarif telekomunikasi turun, kegembiraan masyarakat awam menyambut seruan tersebut rasanya belum lepas tuntas, karena yang diminta untuk menurunkan harga, belum dapat dilepas dari belenggu ekonomi biaya tinggi. Sebagai makhuk ekonomi yang rasional, sangat wajar bagi operator, dalam merespon seruan tersebut, bila mereka mengajukan pertanyaan diam “apakah pemerintah bersedia menanggung rugi yang diderita operator bila di kepala harga ditekan, di sisi lain ekonomi biaya tinggi mencekik leher, dan di dua kaki-kakinya kompetisi menariknya ke bawah, mengancam menenggelamkan eksistensi sebagai operator.”

Sutton (1998) dalam Technology and Market Structure menjelaskan dengan gamblang bagaimana introduksi dan pemanfaatan secara luas teknologi baru mengubah kemapanan struktur pasar, dan membawa struktur pasar tersebut ke dalam dimensi baru. Kita menyaksikan bagaimana layanan radio paging yang pada awal tahun 90-an sempat menjadi gaya hidup eksekutif Indonesia, dengan cepat tergulung ombak teknologi telekomunikasi digital selular yang menawarkan layanan pesan singkat (SMS). Teknologi telepon digital selular juga telah mengubah struktur pasar mapan yang dinikmati oleh telepon tetap kabel. Layanan telepon tetap kabel memiliki sifat monopoli, akan menjadi tidak efisien secara ekonomi ketika dibangun jaringan kabel lain di suatu tempat yang sudah tersedia jaringan serupa. Ketidak-efisienan terjadi karena sunk cost yang tinggi sehingga tidak mudah untuk menarik kembali investasi yang sudah digelar. Sementara itu, fenomena serupa tidak terjadi untuk teknologi telepon mengunakan gelombang elektromagnet (wireless telephones). Dampaknya, munculnya teknologi telepon digital selular memfasilitasi perubahan pasar yang semula monopoli menjadi kompetisi (khusus pada penyelenggaraan telepon digital selular).

Mengingat pasar sudah berubah menjadi pasar kompetisi, hal ini dapat berdampak pada pendekatan pembuatan kebijakan tarif telekomunikasi. Sejak 2006, Regulator Telekomunikasi Indonesia menerbitkan peraturan baru tentang formula tarif interkoneksi dan ritel. Jika semula mengacu pada pendekatan price cap yang berorientasi pada historical costs, peraturan – peraturan baru tersebut mengubahnya dengan pendekatan berbasis biaya (cost-based) yang didasarkan pada biaya aktual dan proyeksi penurunan biaya masa depan sebagai akibat peningkaan biaya depresiasi dan peningkatan jumlah pengguna. Jika dilihat dari permukaan, kemungkinan tidak ada yang salah dengan peraturan baru tentang tarif ini. Namun demikian, yang masih layak dipersoalkan adalah implementasi secara konsisten dan konsekuen dari peraturan tersebut. Untuk dapat menjalankan kebijakan tarif secara konsisten dan konsekuen sehingga memberi manfaat optimal bagi semua pihak diperlukan tindakan ekstra dari regulator, langkah ekstra berupa audit biaya secara independen terhadap semua operator telekomunikasi. Langkah ekstra ini perlu dilakukan bukan karena pemerintah dan masyarakat tidak mengakui kejujuran operator, namun semata untuk menemukan biaya-biaya sebenarnya yang menjadi beban operator dalam menjalankan operasi layanan telekomunikasi, termasuk bila ada biaya yang tidak semestinya yang dibebankan oleh Pemerintah secara resmi maupun oleh oknum secara tidak resmi.*****

Wednesday, March 05, 2008

Kegagalan Pasar

Kegagalan pasar terjadi karena pasar bebas tidak memberikan efisiensi pada perekonomian. Penyebab terjadinya kegagalan pasar antara lain: tersedianya fasilitas umum sehingga sektor swasta tidak tertarik untuk mengelolanya karena tidak mendapatkan keuntungan; persaingan tidak sempurna yang terjadi karena suatu perusahaan mengambil keuntungan dari kekuatan pasar yang dimiliki; informasi asimetris yang terjadi karena suatu perusahaan memiliki informasi yang lebih baik dibandingkan perusahaan lainnya pada sektor atau industri yang sama.

Untuk mencegah terjadinya kegagalan pasar, salah satunya adalah dengan campur tangan pemerintah melalui: pajak dan subsidi; produksi sektor swasta, penetapan undang-undang mengenai antitrust; dan regulasi pemerintah.

Namun demikian, terdapat pertentangan terhadap campur tangan pemerintah dalam mencegah terjadinya kegagalan pasar yang disebabkan faktor: kegagalan pemerintah yang dapat menyebabkan kegagalan pasar; penyelanggaraan fasilitas umum yang seharusnya bisa dilaksanakan oleh pihak swasta, tetapi justru dilaksanakan oleh pemerintah; dan terjadinya monopoli dari pemerintah.*****

Perlukah Iklan Produk Layanan Telekomunikasi Di-Regulasi?

Para ekonom dan ahli periklanan bersepakat menyatakan bahwa periklanan dapat menggerakkan pasar pada titik keseimbangan baru. Namun demikian, pendapat ini hanya dianggap benar bila substansi dan perilaku iklan masih dalam koridor regulasi yang ada. Di pihak lain, regulasi periklanan dan regulasi sektor yang diiklankan secara berlebihan dapat memperlambatnya, sehingga menyebabkan kesejahteraan konsumen akan menurun.

Mengacu kaidah di atas, kebenaran informasi periklanan seharusnya tidak dibatasi oleh regulator, namun merupakan tanggung jawab moral pengiklan. Dalam masyarakat madani di mana anggotanya dianggap memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri dengan baik, menghormati institusi lain, maka swa-sensor merupakan suatu keniscayaan yang perlu dikembangkan. Dalam situasi ideal semacam ini, maka peran regulator dalam kewenangannya untuk melakukan penindakan hanya akan dilaksanakan ketika ada “anak bandel” yang masih harus belajar dengan baik.

Salah satu yang seringkali dikeluhkan masyarakat terkait dengan informasi yang disajikan iklan adalah adanya penipuan atau pengguna produk dan atau jasa merasa ditipu oleh informasi yang terdapat pada iklan. Penipuan merupakan hal yang sangat vital dalam kasus kepercayaan terhadap produk dan regulasi sangat dibutuhkan dalam menghadapi kasus tersebut. Mengatasi masalah penipuan iklan, analisis periklanan sangat diperlukan untuk membedakan pasar yang memiliki keseimbangan dan yang tidak. Penipuan periklanan terhadap konsumen terjadi pada saat iklan yang disampaikan penuh dengan ketidakpastian.

Para ahli ekonomi mengindikasikan bahwa terdapat tiga karakteristik barang berdasarkan regulasi periklanannnya, yaitu barang yang dicari, barang yang membutuhkan pengalaman dan barang yang membutuhkan kepercayaan. Pada jenis barang yang dicari, tidak diperlukan adanya regulasi periklanan karena konsumen dapat menentukan sendiri kualitas barang tersebut dan tidak akan tertipu. Untuk barang yang membutuhkan pengalaman, kemungkinan pelanggan dapat tertipu oleh iklan. Oleh karena itu diperlukan adanya regulasi mengenai periklanan. Sementara untuk barang yang membutuhkan kepercayaan sangat diperlukan adanya regulasi terutama pada barang-barang yang mewah dan berkualitas tinggi.

Walaupun konsumen dapat membayar dengan harga yang lebih tinggi untuk mendapatkan barang yang berkualitas, namun belum tentu hal tersebut dapat memberikan kepuasan pada konsumen. Hal ini dapat terjadi karena kegagalan pasar. Iklan mempengaruhi penjualan pada harga produk saat ini. Iklan juga mempengaruhi karakteristik dan harga produk yang akan ditawarkan perusahaan. Iklan dapat mengubah karakteristik produk yang akan datang karena perusahaan hanya memproduksi atau menetapkan harga yang dapat diiklankan.

Untuk menguji regulasi mengenai periklanan, perlu diketahui pengaruh dari iklan tersebut. Regulator biasanya mengizinkan publikasi iklan yang jujur, hanya dengan sedikit pengecualian. Iklan dapat memberitahu konsumen mengenai kemungkinan barang pengganti dan pengurangan harga. Dalam bagian lain, pernah ditemukan kasus terdapat perbedaan harga suatu layanan jasa dengan apa yang dijanjikan dalam iklan. Harga suatu produk akan semakin tinggi jika iklan produk tersebut semakin luas.

Monday, March 03, 2008

Globalisasi di Mata Friedman

Globalisasi sebagai suatu sistem baru dan dampaknya terhadap umat manusia di seluruh belahan bumi merupakan topik utama dari buku ini. Globalisasi, ujar Friedman tidak hanya sekedar sebuah fenomena dan bukan pula sebuah trend yang akan lewat begitu saja. Lebih serius dari itu, Friedman melihatnya sebagai sebuah sistem yang muncul menggantikan gerakan internasional sebelumnya, Perang Dingin antara paham kapitalis yang didukung Amerika di blok barat dan paham komunis yang didukung oleh Uni Sovyet di blok timur. Jika dalam Perang Dingin alasan utamanya adalah perbedaan ideologi, dunia seolah dibagi menjadi blok barat dan blok timur, blok kapitalis dan blok sosialis – komunis, sementara mereka yang tidak termasuk ke dalam du abolk tersebut menamakan dirinya blok dunia ketiga, maka dalam globalisasi terjadi integrasi kapital, teknologi, dan informasi melewati batas – batas negara. Wujudnya, globalisasi mendorong runtuhnya sekat – sekat ideologi politik antar negara, antar blok, dan menjadikan dunia sebagai pasar tunggal, yang oleh Al Gore (1998) disebutnya sebagai global village.

Mereka yang gagap terhadap perubahan sistem baru (globalisasi) ini dalam banyak kasus mengalami hambatan dalam pengembangan diri yang menjadikannya semakin tertinggal dari negara – negara yang relatif siap menghadapi arus globalisasi. Digambarkan, suatu pagi, tiba – tiba seorang eksekutif tidak tahu lagi isi berita pagi yang dibacanya di koran atau ditontonnya di TV, di kantor menjadi tambah tidak mengerti ketika bisnis investasi yang sudah ditekuninya sekian tahun tiba – tiba tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Menghubungi rekannya di kantor pemerintah, jawabannya sungguh di luar dugaan, terjadi perubahan kebijakan karena desakan lembaga keuangan internasional. Kejadian yang sebenarnya secara pelan berlangsung tetapi tidak dirasakannya, dan baru terasa ketika segala sesuatu harus berubah. Friedman menguraikan bahwa pada titik tertentu globalisasi akan mempengaruhi substansi kebijakan domestik dan mendesak pemerintah suatu negara untuk memperbaiki hubunggannya dengan lembaga – lembaga internasional. Pada saat itulah, karena sebagian besar bisnis di negara – negara sedang membangun sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan regulasi pemerintah, dampak globalisasi baru dirasakan olehkalangan bisnis setempat.

Tekanan yang ditimbulkan oleh globalisasi terhadap budaya lokal, demografi, tradisi dan harmoni masyarakat diceritakan dengan gamblang oleh Friedman. Konflik yang ditimbulkan dilukiskan sebagai perbedaan antara Lexus, yang menggambarkan kekayaan, keutamaan, keunggulan dan Olive Tree yang menggambarkan tradisional, terbelakang, dan kemiskinan. Digambarkan pula bagaimana masyarakat tertentu merasa dijahili oleh pelaku globalisasi dan dalam konteks ini Friedman menawarkan solusi keseimbangan antara Lexus dan Olive Tree dalam konteks globalisasi. Tentu saja solusi ini diajukan dengan pemikiran dasar bahwa globalisasi tidak dapat dicegah, yang dapat dilakukan adalah bagaimana mengimbangi laju globalisasi sehingga masyarakat tradisional tidak semakin terpuruk.

Globalisasi tidak hanya integrasi kapital, teknologi dan informasi, lebih dari itu Friedman mengulasnya sebagai fenomena perubahan geopolitik melalui desakan – desakan ekonomi internasional, yang pada gilirannya memunculkan kompleksitas tidak hanya pada elite politik, namun juga berdampak pada pelaku ekonomi di akar rumput. Dalam globalisasi, ideologi politik menjadi tidakterlalu penting, ia digantkan oleh kepentingan ekonomi. Jika di masa perang dingin dan atau era sebelumnya kolonisasi bersifat fisik, suatu negara menjajah negara lain, dalam globalisasi penjajahan secar fisik sudah tidak trendi, alasan perluasan bisnis, penyebaran investasi, atau pengembangan pasar menjadi alasan sah penjajahan ekonomi oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain. Fenomena McDonald, Coca Cola, Internet, dan berbagai merek dagang terkenal di dunia lainnya yang berhasil di pasar internasional menunjukkan kebenaran sinyalemen Friedman.

Dari sisi pelaku, jika di masa lalu penjajahan dilakukan oleh negara atas negara (meski dalam kasus penjajahan Belanda atas Indonesia diawali oleh VOC sebagai misi dagang Kerajaan Belanda) dalam globalisasi “penjajahan ekonomi”dilakukan oleh Korporasi sebagai pelaku dominan. Keputusan investasi korporasi internasional, dalam banyak hal mempengaruhi nasib (regulasi dan kebijakan) suatu bangsa. Kasus perebutan hak pengolahan minyak di ladang Cepu misalnya, merupakan keputusan manajemen Exxon (suatu raksasa perusahaan minyak Amerika) yang berdampak pada kebijakan perminyakan Indonesia. Pelaku lain yang sempat mendominasi halaman utama media cetak internasional di tahun 1997-98 berkaitan dengan globalisasi adalah George Soros. Soros terkenal sebagai investor keuangan yang piawai dan disebut sebagai telah menggoyang atau bahkan meruntuhkan perekonomian banyak negara di Asia – termasuk Indonesia – karena keputusannya dalam berbisnis valuta asing di berbagai pasar saham internasional. Bill Gates dapat dikatakan sebagai pendorong globalisasi dengan produk teknologi informasi Microsoft, sehingga menjadi monopoli dunia dalam industri piranti lunak sistem operasi komputer, di sisi lain Bill menikmati hasil jerih payahnya sebagai individu terkaya di dunia.

Sukses Bill Gates, Soros dan sejumlah kecil lainnya hanya di sisi Lexus. Friedman menggambarkan pula bagaimana di sisi Olive Tree penderitaan tidak beranjak pergi meski kapital, teknologi dan informasi sudah semakin dekat dengan mereka. Alih – alih menyejahterakan, globalisasi malahan menjadikan mereka lebih termarginalkan, makin miskin dan semakin jauh jarak antara Lexus dan Olive Tree.


Lahirnya Globalisasi
Globalisasi dalam pengertian upaya memperluas wilayah kekuasaan dimulai ketika bangsa – bangsa eropa berlayar meninggalkan tanah kelahirannya menuju tanah harapan baru. Columbus mendarat di benua Amerika, bangsa Viking menguasai wilayah Inggris, orang Inggris menjajah India, Belanda menjarah Nusantara, Spanyol menguasai Amerika Selatan, Portugis menguasai berbabagi negara termasuk Timor Timur, dan China menguasai daratan Korea, Mancuria, Vietnam (zaman dinasti Han), dan lain sebagainya. Diaspora yang terjadi pada era tersebut dilatar-belakangi oleh eksplorasi memperoleh sumber daya ekonomi baru yang tidak terdapat di negaranya selain sebagai pemenuhan keinginan berpetualang mengarungi lautan.

Globalisasi dalam era modern, demikian Friedman berujar, dibagi dalam beberapa tahap. Tahap pertama diawali pertangahan tahun 1800-an hingga 1900an yang ditandai dengan volume perdagangan dan arus modal antar negara relatif terhadap GNP, dan arus perpindahan manusia lintas negara relatif terhadap populasi menunjukkan rasio yang sama besarnya dengan rasio yang terjadi pada periode akhir 1990an hingga awal 2000-an. Inggris sebagai pelaku kolonisasi terluas di dunia pada abad 19 dan berperan sebagai investor terbesar acapkali menghadapi krisis yang terjadi di negara – negara jajahannya atau di negara mereka berinvestasi. Kekacauan keuangan di Latvia, pemogokan buruh kereta api di Argentina, atau terguncangnya politik di Jerman misalnya berdampak buruk terhadap kinerja investasi Inggris di negara – negara tersebut. Pada globalisasi tahap pertama belum ada mekanisme kontrol terhadap mata uang, sehingga menyusul tersambungnya hubungan telepon Eropa – Pantai Timur Amerika pada tahun 1866, krisis perbankan dan keuangan di New York pada segera berdampak terhadap kinerja ekonomi Inggris dan Paris. Pergerakan modal dan manusia lintas negara pada globalisasi tahap pertama ini semakin terpacu setelah ditemukannya telegraf, mesin uap, kereta api, dan telepon. Era ini ditandai pula dengan belum diperlukannya visa (izin masuk ke suatu negara) yang berakhr pada tahun 1941.

Globalisasi tahap pertama terus berlanjut ketika perang dunia pertama meletus di tahun 1915, diikuti oleh revolusi di Rusia, dan berujung pada Great Depression, yang kesemuanya itu mengubah secara mendasar cara pandang masyarakat dunia terhadap ideologi, politik dan ekonomi internasional. Berakhirnya perang dunia pertama dan disusul perang dunia kedua tidak mengubah konstelasi dunia. Perubahan terjadi setelah perang dunia kedua berakhir dan disusul oleh perang dingin atara blok barat dan blok timur. Friedman beranggapan bahwa perang dingin juga termasuk sistem internasional yang mempengaruhi ideologi, politik dan ekonomi internasional. Periode perang dingin menandai globalisasi babak kedua, pasca berakhirnya perang dunia. Ketika sistem sosialis – komunis tidak mampu lagi menyangga beban perubahan yang dikehendaki rakyatnya, dominasi sistem sosialis – komunis di blok timur runtuh ditandai dengan dihancurkannya tembok Berlin yang selama itu merupakan simbol sekat antara blok barat dan blok timur. Runtuhnya tembok Berlin di tahun 1989 menandai dimulainya babak baru dalam percaturan ideologi, geopolitik dan geoekonomi. Peristiwa ini mengawali munculnya globalisasi.

Selain ada persamaan, perbedaan antara globalisasi tahap satu dan dua terletak pada derajat intensitas hubungan antar negara kepada pasar tunggal, dan makin banyaknya individu atau negara yang dapat ikut berperan serta dalam berbagai aktivitas yang menandai globalisasi atau yang terkena dampak globalisasi. Globalisasi pra-1914 juga menunjukkan adanya intensitas investasi lintas negara yang tinggi, namun sebagian besar negara baru (new emerging countries) tidak dapat ikut serta dalam globalisasi ini, mereka lebih banyak berperan sebagai objek atau sasaran investasi.

Teknologi Informasi Dan Daya Saing

Banyak pihak merasakan manfaat Tekonologi Informasi (TI). Sebagian yang lain bahkan menyatakan TI mendukung dicapainya efisiensi, keunggulan daya saing (competitive advantage) perusahaan. Benarkah selalu demikian?

Berbagai studi di tahun – tahun awal pemanfaatan komputer secara luas di organisasi privat melaporkan bahwa penggunaan TI mendorong terjadinya efisiensi, memperbaiki kualitas output. Atau dalam kata lain TI mendorong produktivitas. Kesimpulan semacam inilah yang kemudian menjadi jimat bagi penyebar-luasan penggunaan komputer di berbagai aspek kegiatan manusia. Sekolah-sekolah komputer dari yang top hingga yang kelas ruko mengajarkan hal ini sebagai suatu dogma yang harus dipercaya.

Kita menyaksikan hari ini, hampir tidak ada lagi organisasi bisnis, nirlaba, maupun publik yang tidak menggunakan komputer (dan kemudian akses ke Internet) guna menunjang aktivitas keseharian. Walau cuma satu komputer, namun layak kita katakan sudah berkomputer. Meski hanya untuk membuat surat – menyurat, tetap dapat masuk kriteria sudah menggunakan komputer. Di sisi ekstrem lainnya, hampir tidak ada bank, perusahaan jasa telekomunikasi, penerbangan, kurir dan logistik yang beroperasi tanpa dukungan komputer. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi bila sistem komputer suatu bank nasional mati (shutdown) beberapa jam. Jangankan beberapa jam, satu menit saja seluruh sistem komputernya mati, kerugian besar akan diderita bank bersangkutan.

Dalam kajian strategi bisnis, komputer yang tersusun dalam suatu sistem informasi strategis (SIS), merupakan sumberdaya perusahaan yang dapat meningkatkan kapabilitas dan kompetensi perusahaan. Bersama sumberdaya lainnya seperti SDM, aset tetap, dan citra atau nama baik; SIS jika dikelola dengan baik dapat menjadi elemen dari strategi bisnis yang mengandalkan sumber daya (resourse-based strategy). Namun demikian strategi ini juga belum menjamin kemenangan dalam persaingan, terutama ketika sumberdaya yang ada mudah ditiru atau tidak sulit untuk dimiliki juga oleh pesaing. Kondisi mudah ditiru oleh pesaing, karena sifat sumberdaya yang berasal dari eksternal (vendor). Selain menjual sumberdaya kepada kita, vendor juga menjual kepada pesaing.

Dengan rasional seperti ini saja sudah dapat dikatakan bahwa keunggulan daya saing yang mengandalkan TI, tidak akan berusia panjang. Faktor yang menggerus kejayaan bukan hanya datang dari penyamaan atau peniruan oleh pesaing (eksternal), namun juga dapat muncul dari faktor internal. Ketika pertumbuhan bisnis melesat melewati batas daya dukung SIS, maka ini pertanda pertama bagi manajemen untuk mulai mengubah SIS-nya. Demikian juga ketika manajemen enggan mengeluarkan investasi baru guna mengganti SIS yang sudah mulai ketinggalan zaman, kondisi semacam ini dapat menandai mulai surutnya daya dukung TI terhadap bisnis.

Dua faktor lain yang dapat menghalangi kelangsungan competitive advantage terkait dengan SIS adalah kualitas dan loyalitas SDM serta situasi regulasi industri. Suatu perusahaan yang hidup matinya sangat tergantung pada TI, harus menghadapi masalah pelik ketika lebih dari separo pegawai departemen Sistem Informasi-nya mengundurkan diri dan kabarnya akan pindah ke perusahaan pesaing. Padahal, perusahan telah banyak berinvestasi memberikan pendidikan dan pelatihan kepada sebagian besar dari mereka yang mengundurkan diri. Jika pengunduran diri ini terjadi, operasional perusahaan akan terganggu untuk beberapa waktu hingga pos yang ditinggalkan terisi. Meskipun terisi, tidak jaminan dapat kembali seperti semula dalam tempo yang relatif cepat. Di luar itu, ada ancaman dari pesaing, karena knowledge yang semula dimiliki perusahaan akan menjadi milik pesaing (brain drain). Pelajaran yang dapat diambil dari kasus ini, meski sering dikatakan SDM sebagai aset sangat berharga bagi perusahaan, sejatinya SDM sangat rentan untuk lepas dari kendali manajemen. Ketika hal ini terjadi, sehebat apapun SIS yang dimiliki, menjadi berkurang kontribusinya bagi daya saing perusahaan.

Dalam hal regulasi, pernah terjadi kasus di mana suatu perusahaan sangat ingin membuka bisnis baru dengan memanfaatkan keunggulan SIS yang dimiliki. Keinginan tingal kenangan, ketika ternyata belum ada regulasi yang secara khusus mengatur penyelenggaraan bisnis tersebut. Padahal, tanpa adanya bisnis baru, perusahaan sudah mendekati stagnasi. Pada kasus lain, hampir semua perusahaan di suatu industri tertentu harus mengubah sistem informasi-nya, menanamkan investasi baru karena adanya regulasi yang berdampak pada perubahan-perubahan. Kasus-kasus semacam ini dialami pelaku bisnis di industri yang regulated, di mana conduct atau perilaku industri diatur oleh pemerintah.

Beberapa studi tentang dampak TI terhadap kinerja perusahaan yang dilakukan antara 2000-05 di Amerika, Taiwan, Inggris, dan Jepang pada umumnya menyimpulkan bahwa hubungan investasi TI dengan kinerja perusahaan tidak selalu linier. Artinya, ada suatu masa di mana terjadi akselerasi kinerja beberapa masa sesudah investasi TI dilakukan, namun kondisi semacam ini akan melambat hingga akhirnya kurva mulai mendatar, hingga kemudian menukik. Para ahli menyebutnya sebagai kurva U terbalik (turned U curve).

Tantangan bagi para eksekutif adalah bagaimana mengubah kurva U terbalik di atas menjadi kurva linier, sehingga setiap penambahan satu unit investasi TI akan menghasilkan sejumlah expected output secara konsisten selama waktu tertentu. Menjawab tantangan ini, ada beberapa strategi yang dapat dipertimbangkan. Pertama, mengubah pola investasi, jika semula membeli dengan spesifikasi tetap, pertimbangkan untuk outsourcing atau investasi yang flexible dan scalable sesuai pertumbuhan bisnis. Kedua, lakukan penyelarasan (alignment) antara strategi bisnis dan SIS. Fakta empirik menunjukkan instansi pemerintah sedikit sekali melakukan penyelasaran antara TI dan “strategi bisnis” instansi bersangkutan. Penyelarasan penting agar derap bisnis dapat diimbangi oleh daya dukung SIS. Ketiga, inovasi berkelanjutan. Organisasi yang tidak melakukan inovasi, ia bukanlah organisasi, melainkan kumpulan orang-orang yang hanya menunggu ajal. Inovasi dapat untuk memperbaiki produk atau mengubah proses bisnis. Ada bahaya inovasi. Inovasi yang mudah ditiru; atau inovasi yang mengerahkan sebagian besar sumber daya perusahaan sehingga mengurangi perhatian kepada hal-hal lain yang juga tidak kalah pentingnya; dapat berujung pada dilema inovasi. Keempat, dalam memanfaatkan TI, hendaknya berorientasi untuk menciptakan value yang lebih unggul dari pada value yang berhasil diraih pesaing. Suatu studi menunjukkan bahwa pemahaman sebagian besar eksekutif terhadap value creation dengan memanfaatkan TI ternyata masih rendah. Kelima, manfaatkan dan kembangkan TI sedemikian rupa sehingga secara alamiah dapat membentuk sebuah barrier to entry. Hambatan masuk industri secara alamiah, seperti keunikan kompetensi, kerumitan dalam disain dan operasional, atau besaran investasi yang harus ditanam, pada umumnya dianggap tidak melanggar hukum positif. Keenam, SIS dan strategi bisnis secara berkelindan dibangun untuk mengurangi atau menambah biaya alihan (switching costs). Ketika merayu calon pelanggan, tunjukkan biaya alihan yang rendah, namun ketika sudah menjadi pelanggan, ciptakan sedemikian rupa biaya alihan sehingga tidak mudah bagi perusahaan untuk pindah ke pesaing. Persoalan etika dapat meruak ketika perusahaan ceroboh melakukan strategi keenam ini.

Apa implikasi kebijakan publik dari uraian di atas? Jawabnya kurang lebih, bagaimana instansi pemerintah yang diberi wewenang melaksanakan pembinaan dalam pemanfaatan TI memberi bimbingan kepada semua instansi pemerintah agar dalam memanfaatkan TI tidak hanya sekedar sebagai alat pelengkap saja, namun lebih dari pada itu, bagaimana dengan komputer dapat mencapai kinerja pelayanan publik yang baik secara berkelanjutan. Akan halnya kalangan swasta, pada umumnya mereka lebih tahu apa yang harus dikerjakan.*****

Televisi Dan Radio Internet: Akhir Era Penyiaran Konvensional?

Diskursus mengenai penyelenggaran siaran televisi digital mulai menghangat sejak lima tahun lalu, tepatnya awal tahun 2003. Hingga hari ini belum ada satupun stasiun televisi yang sudah menyelenggarakan siaran televisi digital. Selain siaran televisi digital, siaran radio digital sebenarnya juga sudah lama dinantikan. Di pihak lain, kita saksikan sudah tak terhitung banyaknya, penyelenggaraan siaran radio dan televisi yang di-broadcast melalui Internet. Terlihat sekilas, ada adu cepat antara siaran radio dan televisi digital dengan siaran radio dan televisi melalui Internet. Yang menjadi permasalahan, bagaimana kira-kira masa depan dunia penyiaran Indonesia pasca dimulainya siaran televisi digital? Selain itu, meski basis teknologi radio dan televisi digital dengan siaran keduanya melalui Internet adalah sama, menggunakan Internet Protocol (IP), dengan kekuatan Internet yang jauh lebih bertenaga dibandingkan penyiaran teresterial, akankah siaran televisi dan radio digital juga akan mengalami nasib serupa dengan layanan berbasis teknologi analog? Lebih jauh, bagaimana pemerintah perlu menyikapi dengan serangkaian kebijakan dan regulasi agar peraturan dan perundangan yang ada tidak tumpul dan ketinggalan zaman.

Dibandingkan siaran televisi analog, penggunaan pita frekuensi pada siaran televisi digital lima kali lebih efisien. Artinya pada lebar pita frekuensi yang sama, jika sebelumnya hanya dapat dipakai untuk satu kanal siaran, dengan teknologi pemancaran digital dapat dioptimalkan dipakai untuk lima kanal siaran. Jika standar siaran televisi digital sudah ditetapkan, diperkirakan akan bermuncukan banyak sekali stasiun televisi. Dengan asumsi pemerintah berkenan mengeluarkan izin-izin baru.

Siaran radio juga serupa, bahkan lebih efisien lagi. Jika saat ini lebar pita antar stasiun radio FM ditentukan 400 KHz, maka dengan siaran radio digital lebar pita satu kanal siaran hanya memerlukan kurang lebih 60 KHz. Ruang kosong yang dapat diisi oleh penyelenggara stasiun radio FM akan semakin lebar. Tentu, masih dengan asumsi jika pemerintah berkenan mengeluarkan izin-izin baru.

Bagaimana bila dengan pertimbangan untuk melindungi industri yang ada, atau untuk memelihara ruang bebas di spektrum frekuensi, pemerintah membatasi terbitnya izin stasiun radio dan atau televisi baru? Teknologi berkembang seperti air sungai mengalir dari hulu ke hilir. Batu besar yang menghalang tidak lantas menjadi hambatan. Teknologi akan mencari jalannya sendiri hingga ia mencapai tahap matang, dan memberi manfaat atau mudharat bagi umat manusia. Di pihak lain, bisnis bergerak mirip barisan semut yang mengalir ke manapun gula manis tersimpan. Tiada kenal lelah sebelum gula dipersembahkan kepada sang raja semut.

Teknologi dan bisnis, dua sejoli yang mengubah dunia. Hambatan regulasi sebesar apapun, ketika datang kepentingan bisnis dengan membawa kendaraan teknologi, regulasi seringkali menjadi cepat loyo, kekurangan vitamin. Siaran radio dan televisi digital tak lepas dari fenomena ini. Ketika pemerintah belum merestui siaran mereka berdua, namun di sisi lain teknologi dan bisnis sudah menyatu dikemas oleh kepentingan hiburan, pendidikan, aktualisasi diri, maka muncullah saran radio dan televisi Internet sebagai substitusi.

Jika siaran terestrial mesti berizin, siaran menggunakan media transmisi Internet, banyak negara yang membebaskannya dari regulasi penyaran. Indonesia belum punya satupun aturan mengenai hal ini. Kelaziman bisnis berujar “bila tidak ada regulasi, maka bolehlah untuk dikerjakan”. Teknologi tersedia, bisnis mendukung, regulasi bolong, masyarakat konsumen menanti. Jadilah dalam waktu tidak lama lagi berpuluh, beratus, bahkan beribu, siaran radio dan televisi melalui Internet.

Sedemikian optimiskah? Bisa jadi. Untuk investasi siaran radio digital terestrial, paling tidak dibutuhkan dua sampai tiga milyar rupiah. Besaran ini hanya untuk mengganti pesawat pemancar berkekuatan sekitar 10 Kilo Watt yang dapat diterima pancarannnya dalam radius 30 kilo meter. Biaya yang lebih besar akan dibutuhkan bila harus mengadakan semua perangkat baru. Biaya yang lebih besar juga dibutuhkan untuk stasiun televisi digital. Belum lagi ditambah untuk penggantian setiap stasiun repeater yang tersebar di seantero Nusantara.

Investasi yang dibutuhkan bagi penyelenggara siaran radio dan atau televisi melalui Internet, jauh di bawah investasi yang diperlukan oleh stasiun siaran radio dan televisi terestrial. Selain itu, jangkauan siaran mencapai seluruh ujung dunia, sementara pada siaran teresterial, hanya sejauh mata memandang saja. Biaya operasi? Ekstrem-nya penyelenggaraan radio televisi Internet, dapat dikerjakan dengan tuntas oleh satu orang saja, selebihnya mesin yang melaksanakan eksekusi.

Pertanyaannya, benarkah ketika muncul dan marak radio dan televisi Internet, akan menandai surutnya penyiaran konvensional? Bisa ya, dapat pula tidak. Ya, bila akseptansi masyarakat meluas dan biaya investasi peralatan penerima (handphone, Pesonal Digital Assistant / PDA, Komputer) serta biaya operasional penggunaan terjangkau bahkan oleh anggota masyarakat yang tergolong paling miskin. Tidak, bila meskipun harga terjangkau namun radio televisi Internet tidak dapat menggantikan kenyamanan mendengarkan dan atau menonton radio dan atau televisi.

Surut atau tidak, yang pasti terpengaruh. Seberapa besar pengaruhnya? Jawabnya masih ditunggu dari fakta empirik. Namun demikian, belajar dari koran elektronik yang semula diramalkan akan melibas koran kertas, ternyata keduanya dapat berjalan beriringan, bukan tidak mungkin radio dan televisi Internet akan menjadi komplemen dari radio dan televisi digital teresterial.

Jika hanya melihat aspek tersebut di atas, bagi penyelenggara siaran radio dan televisi digital, siaran radio dan televisi Internet dapat dianggap bukan ancaman. Persoalannya, ketika pertumbuhan radio dan televisi Internet sudah sedemikian besar, karena relatif mudahnya dalam membuat dan mengoperasikan, akan terjadi persaingan sengit dalam beberapa front yang mengandung resiko rusaknya tatanan industri, dan ada ujungnya pelayanan informasi kepada masyarakat. Front pertama persaingan antar penyelenggara radio televisi Internet, front kedua persaingan antar penyelenggara radio televisi digital, dan front ketiga antara para penyelenggara radio televisi Internet dan para penyelenggara radio televisi digital.

Perudangan dan peraturan di bidang ini masih sangat minim, kata lain dari belum ada. Bagaikan menghadapi musibah banjir, bangun dulu tanggul sebelum ada banjir, atau baru bangun tanggul setelah tahu ada banjir? Dalam kontek industri penyiaran, segera perbaiki perundangan dan peraturan sebelum bencana akibat persaingan tidak sehat muncul, atau nanti dulu, tunggu sampai ada korban dari persaingan yang – katanya – akan terjadi. Strategi mana yang akan dipilih? Tanyakan kepada ahlinya.*****

Pay for Performance

Salah satu pekerjaan rutin setiap akhir tahun bagi eksekutif antara lain melakukan penilaian kinerja anak buahnya selama satu tahun yang segera akan berakhir. Hasil penilaian biasanya akan digunakan untuk pertimbangan kenaikan gaji pada tahun kerja berikutnya. Karyawan yang prestasinya dinilai luar biasa (excelent) dinyatakan layak mendapat persentasi kenaikan gaji tertinggi. Di ujung lain, pegawai dengan kinerja dinilai di bawah standar yang harus dicapai akan mendapat kenaikan nol persen.

Adil? Relatif! Bagi karyawan berprestasi, dengan diberikan kenaikan gaji tertinggi dapat dirasakan adil bagi dirinya jika kenaikan tersebut memenuhi harapan. Dalam kondisi demikian, perusahaan dan karyawan keduanya berlaku fair, prestasi dibalas dengan kenaikan gaji yang memadai. Namun bila kenaikan gaji masih di bawah tingkat yang diharapkan karyawan, sementara menurut perasaannya perusahaan memperoleh untung besar dari hasil kerjanya, maka wajar bila karyawan merasa diperlakukan tidak adil. Kondisi kedua ini menghasilkan keadilan bagi perusahaan namun tidak adil bagi karyawan.

Di pihak lain, karyawan tidak berprestasi menghasilkan dilema bagi dirinya dan perusahaan. Perusahaan tidak menaikkan gajinya boleh jadi karena alasan keadilan, memberikan penghargaan sesuai dengan kontribusi atau value yang diberikan karyawan. Selain itu, jika kepada yang tidak berprestasi-pun diberikan kenaikan gaji yang sama besarnya dengan yang berprestasi, maka hal ini dapat menjadi disinsentif bagi mereka yang berprestasi.Sementara itu, karyawan tidak berprestasi dihadapkan pada kenyataan yang harus dihadapi seperti makin mahalnya biaya hidup yang tidak lagi dapat dicukupi dengan penghasilannya sekarang. Padahal, harapan satu-satunya akan ada kenaikan gaji di tahun berikutnya. Dalam kondisi semacam ini keadilan lebih merupakan masalah persepsi dari masing-masing pihak.

Persoalan kenaikan gaji yang dikaitkan dengan prestasi kerja dapat dihindari bila perusahaan menerapkan kebijakan Pay for Performance. Artinya, ketika baru mulai bekerja atau sejak awal tahun karyawan mengetahui bahwa penghasilannya akan dikaitkan dengan prestasi kerjanya. Konsekuensi dari kebijakan ini, perusahaan perlu menyediakan perangkat ukur guna menilai prestasi kerja karyawan. Perangkat ukur ini sebisa mungkin yang transparan, objektif dan handal (reliable). Transparan dalam pengertian setiap karyawan memahami benar proses produksi atau pertambahan nilai yang berlaku di perusahaan. Selain itu karyawan juga memahami posisi dan tugas-tugasnya relatif terhadap bagian lain maupun terhadap proses produksi atau pertambahan nilai secara keseluruhan. Transparan dapat pula diartikan bahwa proses penilaian dilakukan secara terbuka.

Objektif artinya dalam melakukan tugas penilaian, Atasan terbebas dari muatan kepentingan pribadi, perasaan suka atau tidak suka terhadap bawahan yang dinilainya. Dalam melakukan penilian kinerja karyawan, Atasan harus semaksimal mungkin menggunakan kriteria yang telah ditetapkan. Selain itu, penggunaan data kuantitatif yang sesuai dengan tugas dan fungsi karyawan seperti angka penjualan, keluhan pelanggan, jumlah produksi, ketepatan waktu (punctuality), dan sebagainya juga akan membantu meningkatkan objektivitas penilaian.

Handal dalam konteks perangkat ukur ini dapat dan sukses diterapkan dalam berbagai kondisi perusahaan, baik ketika perusahaan sedang mengalami pertumbuhan, stagnan atau ketika penurunan kinerja secara keseluruhan. Handal dapat pula diartikan, sistem penilaian yang sama dapat pula diterapkan di perusahaan lain yang berbeda bidang bisnisnya.

Kesalahan umum yang seringkali terjadi namun tidak dirasakan adalah keterbatasan memory penilai. Kinerja yang dinilai memiliki rentang waktu satu tahun, sementara penilaian dilakukan hanya dalam minggu-minggu menjelang tahun kerja berakhir. Penilai cenderung hanya mengingat yang baru saja terjadi atau apa saja yang berhasil diingatnya. Kenangan baik-buruk dengan anak buahnya dalam bulan-bulan terakhir, acapkali menjadi acuan penilaian, sementara banyak kejadian penting pada beberapa bulan sebelumnya luput dari ingatannya. Mengatasi kelemahan Atasan dalam melakukan penilaian dan agar rasa adil bagi kedua belah pihak semakin meningkat kualitasnya, perusahaan yang menerapkan kebijakan Pay for Performance sebaiknya menerapkan pula perangkat pendukung seperti Balance-Score Card.*****

Spiritual Company

Seorang eksekutif perusahaan multinasional pernah mengingatkan kepada rekan bisnisnya, hati – hati ketika perusahaan mengalami sukses terus menerus. Karena menganggap apa saja dapat diraih, jangan – jangan akan percaya bahwa sebagai pimpinan perusahaan-sukses akan dapat berjalan kaki di atas air. Penyakit sukses lainnya antara lain menihilkan peran serta pihak lain yang tidak terlihat secara langsung dalam proses mencapai sukses tersebut. Padahal, disadari atau tidak, di dalam keberhasilan yang diraih selalu ada campur tangan pihak lain baik yang terlihat maupun yang invisible. Pribadi semacam ini berkecenderungan memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi, dan seringkali tidak menghargai upaya dan jasa orang lain yang membantunya. Di sisi lain, ada pula sebagian orang yang karena selalu merasa gagal, sehingga menganggap dirinya diperlakukan secara tidak adil oleh alam dan lingkungan. Mereka yang berada pada kelompok ini cenderung melihat dunia dari perspektif negatif, tidak percaya bahwa selalu ada pihak yang dapat membantu atau dapat diajak bekerja sama, meringankan beban atau memudahkan tugas.

Dua kondisi ekstrem, yang satu selalu sukses yang dan lainnya selalu gagal, dapat pula terjadi pada level perusahaan. Perusahaan yang selalu sukses, tumbuh besar, dapat menjadi monopolist, namun karena besarnya dan budaya perusahaan yang terbentuk menjadikannya tidak menyadari bahaya lingkungan. Semua hal dianggap sebagai luaran dari keputusan manajemen yang rasional setelah dilakukan analisis komprehensif. Ketika pesaing yang semula tidak dianggap (karena kemampuannya masih lemah), berubah menjadi sama besarnya, perusahaan tidak melihatnya sebagai suatu kesalahan atas tindakannya sendiri, melainkan menyalahkan lingkungan dan pihak lain. Perusahaan semacam ini, hanya mampu beraksi pada tataran alam rasional. Mereka tidak mau menyadari bahwa di luar batas kemampuan rasional manusia masih ada kemampuan yang maha dahsyat yang menguasai jagad kecil dan alam raya.

Dalam era bisnis yang diwarnai persaingan sengit, kemampuan manusia baik dia berperan sebagai pemimpin, staf dan pelaksana, selalu ada batasnya. Berupaya terus menerus sesuai kekuatan individu atau perusahaan merupakan suatu keniscayaan. Kapasitas kepemimpinan individu atau perusahaan justru diuji ketika dihadapkan pada permasalahan – permasalahan yang tidak dihadapi sehari – hari.

Jika percaya bahwa alam semesta merupakan sebuah ekosistem, maka apa saja yang dilakukan manusia selalu merupakan mata rantai dari ekosistem alam raya. Perusahaan yang secara sadar mulai memasukkan elemen ekosistem alam raya, termasuk kekuatan – kekuatan spiritual di dalam proses keputusan maupun operasional sehari – hari dapat digolongkan sebagai Spiritual Company. Pimpinan perusahaan dan segenap pegawai menyadari kekuasaan dan campur tangan Tuhan di dalam setiap tindakan dan pilihan kebijakan yang diambil.

Spiritual mengacu pada suatu sifat yang mengandung energi, semangat, kekuatan yang ada namun tiada dapat terlihat, hanya dapat dirasakan keberadaannya. Secara khusus, Spiritual Company tidak berkaitan dengan agama yang dianut oleh setiap pimpinan dan pegawai perusahaan. Ia lebih merupakan perwujudan dari pengakuan bahwa gagal suksesnya perusahaan tidak hanya sebagai resultan dari upaya fisik yang dilakukan manusia, namun di dalamnya ada intervensi dari Tuhan Yang Maha Esa, sebagai sumber spirit.

Pertanyaannya, bagaimana mewujudkan Spiritual Company? Di dalam membentuk perusahaan menjadi Spritual Company, pertama pimpinan perusahaan perlu memasukkan hal ini sebagai pembinaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Selanjutnya, perlu dialokasikan waktu agar semua pegawai dapat melakukan doa bersama secara berkelompok sesuai dengan agama dan keyakinannya. Masing – masing kelompok berdoa menggunakan tata caranya sendiri dengan substansi yang sama, menyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan, memohon bimbingan dan perlindungan, mendoakan para pemimpin agar dalam membuat keputusan yang terbaiklah yang dipilih, dan meminta agar seluruh pegawai selalu diberi iman dan taqwa, jauh dari perbuatan dosa dan tercela, dihindarkan dari kejahatan, mara-bahaya serta cobaan berat yang tidak mampu dipikul. Selain doa bersama, pimpinan perusahaan secara berkala dapat mengundang tokoh agama atau tokoh spiritual untuk memberikan pencerahan kepada seluruh elemen perusahaan.

Jika kegiatan seperti tersebut di atas dilakukan secara terus menerus, niscaya akan berpengaruh positif kepada perusahaan. Sukses merupakan tujuan, namun jika dalam upaya meraih sukses ditemui hambatan, tidak lantas bersumpah serapah, menyalahkan kambing hitam. Jika sukes telah diraih, tidak lantas sombong atau lupa diri, namun segera menyatakan terima kasih kepada semua pihak, termasuk kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Spiritual Company mengubah perilaku individu dan perusahaan dari yang semula congkak menjadi santun dan peduli kepada lingkungan sekitarnya. Trend perusahaan yang bercita – cita menjadi Spiritual Company, semakin hari semakin banyak. Biasanya dimulai dari pemimpinnya terlebih dahulu. Microsoft salah satunya. Setelah selama dua dekade lebih memimpin pasar piranti lunak komputer, Bill Gates, pendiri Microsoft, mulai menyadari bahwa sukses yang telah diraihnya selama ini merupakan berkah dan anugerah dari Tuhan. Maka yang dilakukannya, tidak lagi memikirkan menumpuk untung, namun Gates mendirikan yayasan amal yang menyantuni mereka yang masih terbelakang ekonomi dan pendidikannya. Langkah Bill Gates yang semula wujud dari kesadaran individu, lambat laun diadopsi sebagai strategi dan kebijakan Microsoft.

Di Indonesia, ada seorang wanita yang sukses berbisnis, sejak awal menyadari bahwa upaya bisnisnya merupakan perwujudan ibadah, tidak hanya menyejahterakan dia dan keluarganya, namun juga lingkungan terdekat, pegawai dan pelanggan. Falsafah Spiritual Company ini kemudian ditularkan kepada anak buah dan mitra bisnisnya. Hasilnya? sukses yang damai dan menentramkan.*****

Membangun Daya Saing Negara

Resensi Buku
Judul : How Countries Compete?
Strategy, Structure, and Government in the Global Economy
Penulis : Richard H.K. Vietor
Penerbit : Harvard Business School Press
Tahun : 2007
Tebal : 305 Halaman
================================(*****)============================

Wacana tentang bagaimana membangun daya saing negara dilontarkan Michael Porter tahun 1990 dalam bukunya The Competitive Advantage of Nations. Karya Porter merupakan evolusi pemikirannya tentang bagaimana sebaiknya negara membangun daya saing. Dalam bagian pertama uraiannya Porter mengingatkan perlunya paradigma baru dalam kebijakan ekonomi suatu negara. Teori Porter tentang daya saing berangkat dari keyakinannya bahwa teori ekonomi klasik yang menjelaskan tentang keunggulan komparative tidak mencukupi, atau bahkan tidak tepat. Menurut Porter, suatu negara memperoleh keunggulan daya saing jika perusahaan (yang ada di negara tersebut) kompetitif. Daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan industri melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya. Porter menawarkan Diamond Model sebagai tool of analysis sekaligus kerangka dalam membangun resep memperkuat daya saing.

Dalam perjalanan waktu, diamond model-nya Porter tak urung menuai kritik dari berbagai kalangan. Pada kenyataannya, ada beberapa aspek yang tidak termasuk dalam persamaan Porter ini, salah satunya adalah bahwa model diamond dibangun dari studi kasus di sepuluh negara maju, sehingga tidak terlalu tepat jika digunakan untuk menganalisis negara – negara sedang membangun. Selain itu, meningkatnya kompleksitas akibat globalisasi, serta perubahan sistem perekonomian mengikuti perubahan rezim politik, menjadikan model diamond Porter hanya layak sebagai pioner dan acuan pertama dalam kancah studi membangun daya saing negara.

Peran Pemerintah
Vietor termasuk salah satu di antara beberapa pakar yang terus berusaha mengembangkan kerangka pemikiran baru dalam upaya membangun daya saing negara. Berbeda dengan Porter yang melihat perusahaan sebagai sumber utama daya saing negara, Vietor melihatnya dari perspektif peran pemerintah. Pandangan Vietor dilatar-belakangi fakta bahwa seiring meningkat-pesatnya arus globalisasi, banyak negara yang berjuang untuk memenangkan persaingan untuk mendapatkan teknologi, pasar, ketrampilan dan investasi. Menurut Vietor, Pemerintah tidak dapat lepas tangan, membiarkan perusahaan berjuang sendirian.

Pemerintah perlu membantu negara dalam persaingan. Negara bersaing untuk berkembang. Hal ini merupakan salah satu dampak globalisasi. Negara bersaing untuk tumbuh dan meningkatkan standar hidup rakyatnya, mengurangi kemiskinan, mengakomodasi urbanisasi, dan menciptakan lapangan pekerjaan. Dalam lingkungan yang kompetitif ini, adalah pemerintah, secara bervariasi, yang menyediakan keunggulan distinctive kepada perusahaan berupa: tingkat tabungan yang tinggi dan bunga rendah bagi investasi, perlindungan hak cipta dan good governance, tenaga kerja yang komit, termotivasi dan paham teknologi, tingkat inflasi yang rendah, serta pasar domestik yang tumbuh dengan cepat.

Pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan keamanan, memastikan berfungsinya kontrak (perdata), mengelola ekonomi makro, meminimalkan resiko, serta menyiapkan kebijakan industri. Semua ini dilakukan dengan menciptakan dan melestarikan berbagai institusi – politik, sosial, dan ekonomi melalui kemampuan masyarakat dalam berinteraksi dan bersaing. Pemerintah juga memiliki tanggung jawab besar tidak hanya dalam kebijakan fiskal dan moneter yang keduanya secara bersama berpengaruh terhadap kinerja ekonomi, namun juga dalam pembuatan kebijakan di sektor perumahan, pendidikan, kesehatan, penelitian dan pengembangan, serta pertahanan. Di pihak lain perusahaan membutuhkan nilai tukar yang kompetitif, perlindungan hak cipta, distribusi pendapatan yang seimbang, sesedikit mungkin korupsi, beberapa kebijakan hambatan perdagangan (trade barriers). Semua ini dapat dilayani dengan kebijakan pemerintah yang efektif, oleh karenanya strategi pemerintah sangat penting dan setiap birokrat pemerintah bertanggung jawab terhadap terciptanya kebijakan yang efektif tersebut.

Strategi dan Struktur
Vietor mengajukan tiga kerangka analisis. Pertama, memahami kondisi saat ini, manajer harus memiliki kemampuan untuk menganalisa strategi dan struktur organisasi nation-state, dalam hal bagaimana mereka menyesuaikan diri dengan konteks sosial politik dan bagaimana mereka mempengaruhi kinerja ekonomi. Kedua, karena manajer pada umumnya lebih tertarik pada “kemana arah pembangunan” dari pada “di mana posisi negara pada saat ini”, maka perlu dipikirkan tentang masa depan, dalam konteks ini akan bermanfaat untuk mempelajari trajectory atau roadmap rencana pembangunan jangka panjang (RPJP). Meskipun disadari bahwa RPJP dapat berubah sewaktu-waktu – karena perang, kelangkaan pangan atau energi, huru-hara politik, atau turbulensi ekonomi – namun ketika perubahan mendadak tidak terjadi, pelaku ekonomi dapat memperkirakan kinerja dan indikator-indikator ekonomi yang dapat menjadi acuan bagi keputusan investasi dan bisnis. Ketiga, dengan tersedianya RPJP, pelaku ekonomi dapat merancang skenario sederhana tentang apa yang akan dilakukan dalam jangka pendek ke depan, dengan mengajukan alternatif pesimis atau optimis.

Dalam membuktikan hipotesis yang diajukan, Vietor melakukan kajian di empat wilayah, Asia, Afrika, Amerika dan Eropa. Di Asia, secara khusus Vietor menganalisis Jepang, Singapura, China dan India untuk mempelajari strategi dan struktur pemerintahan masing-masing negara dalam membangun daya saing. Di bagian dunia lainnya, Vietor mengelompokkan Mexico, Afrika Selatan, Saudi Arabia, dan Rusia untuk mempelajari tingkat kesulitan yang dialami oleh masing-masing negara dalam melakukan penyesuaian struktural. Mexico misalnya, mengalami transisi politik dan pemerintahan yang tak kunjung tuntas sejak digulirkan pada tahun 1968. Meski kondisi ekonomi makro relatif stabil, mikroekonomi sebagian di-regulasi, beberapa BUMN sudah di-privatisasi, namun pada tahun 2000 tak pelak Mexico dihantam krisis keuangan yang sangat serius.

Selanjutnya, Vietor menguraikan bagaimana pemerintah sebaiknya membangun kebijakan untuk menghadapi masalah defisit anggaran, hutang, dan stagnasi ekonomi. Sebagai contoh dari kisah sukses diambil Eropa, Amerika Serikat dan Jepang, tiga entitas yang menguasai dua pertiga output dunia. Eropa memberi gambaran bagaimana evolusi perekonomian dari semula terpisah dalam wilayah negara, menjadi terintegrasi ke dalam satu wilayah ekonomi. Tak hanya kisah sukses yang disajikan, permasalahan besar yang dihadapi sejalan dengan pertumbuhan di satu sisi sementara di sisi lain terjadi penurunan produktivitas akibat proses penuaan (aging) sumber daya manusia dan defisit anggaran melengkapi analisis.

Elemen Sukses
Empat elemen penting yang menurut Vietor dapat menunjang pembangunan ekonomi: strategi nasional, struktur ekonomi, pengembangan sumber daya, dan pemanfaatan sumber daya secara efisien. Strategi, dapat dituangkan secara eksplisit maupun implisit, termasuk komponen ekonomi makro dan mikro. Struktur organisasi berupa institusi yang memiliki kewenangan untuk merancang dan mengawasi pelaksanaan strategi. Bersama- sama, strategi dan struktur mengembangkan sumber daya: alam, manusia, teknologi, dan modal. Berikutnya, institusi perlu memastikan penggunaan secara efisien semua sumber daya tersebut.

Dari sepuluh negara yang menjadi objek penelitian, terdapat banyak sekali pilihan (strategi, struktur, sumber daya), beberapa di antaranya berhasil meraih sukses, seperti dialami Singapura, Jepang, dan Amerika Serikat. Beberapa lainnya, seperti terdapat di Mexico, Afrika Selatan, India dan Italia mengalami kombinasi kegagalan dan keberhasilan. Sementara Rusia dan Saudi Arabia, pada umumnya mengalami kegagalan, dan baru memetik sukses mulai tahun 2000 ketika dilakukan reformasi institusi dan pengelolaan sumber daya.

Pelajaran Bagi Indonesia
Buku ini layak dibaca untuk spektrum yang cukup luas; dari Presiden, anggota Kabinet, politisi, birokrat, pengusaha, pelaku bisnis, hingga kalangan akademik. Di tengah adanya saling tunjuk kelemahan ketika pernah atau sedang menjadi pemimpin bangsa, buku ini mengingatkan kita semua, bahwa bagaimanapun peran Pemerintah dalam membangun perekonomian dan daya saing negara begitu sentral. Oleh karena itu, alih-alih saling mengumbar isu kekanak-kanakan, barangkali akan lebih baik bila para pemimpin lembaga tinggi negara dan lembaga pemerintahan meresapi saran-saran yang terdapat dalam buku ini.

Mengapa demikian? Meski Porter menempatkan perusahaan sebagai sumber kekuatan daya saing, dan Dong-Sung Cho (2002) dalam From Adam Smith To Michael Porter, Evolution of Competitiveness Theory menambahkan pentingnya peran faktor manusia dan perbedaan type faktor fisik dalam membangun daya saing nasional, namun baik Porter, Vietor dan Cho, ketiganya sepakat tentang peran sentral pemerintah dalam membangun daya saing nasional. Satu hal yang perlu diingat, membangun daya saing bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tugas kita semua.*****

Ketika Pulsa Berperan Sebagai Alat Pembayaran

Dahulu, nenek moyang manusia mengenal barter, menukarkan sesuatu guna memperoleh barang lain. Barter merupakan transaksi dagang yang primitif. Dalam perkembangan selanjutnya, digunakan alat tukar untuk pembayaran transaksi, dari kerang hingga uang. Penggunaan uang, dalam wujud mata uang kertas atau logam sebagai alat pembayaran sudah berlangsung lebih dari lima abad. Peran uang ternyata tidak terbatas hanya sebagai alat pembayaran namun berkembang sebagai ukuran harta kekayaan, alat investasi, serta dalam keadaaan tertentu berfungsi sebagai penjaga stabilitas ekonomi, sosial dan politik negara.

Uang berkaitan pula dengan kedaulatan negara. Penggunaan gambar pemimpin negara atau pahlawan nasional dalam lembar atau koin mata uang semula dimaksudkan sebagai penghargaan kepada para pemimpin atau pahlawan. Berkenaan dengan kedaulatan, setiap negara menerbitkan mata uang. Nilai tukar mata uang suatu negara relatif terhadap mata uang negara lain seringkali dianggap mencerminkan kekuatan negara yang bersangkutan. Mata uang yang nilai tukarnya paling rendah dapat mencerminkan kekuatan ekonomi dan politik negara penerbit mata uang tersebut. Oleh karena itu, ada negara yang rela menggunakan mata uang negara lain dalam perdagangan sesama penduduk di dalam negerinya, dan transaksi luar negerinya.

Mata uang kertas pada saat ini sudah dianggap tradisional, tidak praktis, dan rentan terhadap pemalsuan. Membawa uang kertas dalam jumlah besar, untuk belanja di mall, bepergian ke luar kota, dapat dianggap aneh atau justru dapat mengundang petaka. Sebagai penggantinya digunakan kartu kredit atau – yang sekarang mulai marak - kartu debet. Kedua kartu ini fisiknya serupa, namun ada bedanya. Pengguna kartu kredit tidak harus membayar tunai pada saat melakukan transaksi, sedangkan untuk kartu debet, pada saat transaksi, merchant melalui bank penerbit kartu debet, mengurangi (debet) saldo tabungan atau giro-nya pemilik kartu debet.

Seiring perkembangan telepon selular, terutama setelah operator selular menerbitkan layanan prabayar, muncul berbagai praktik bisnis yang pembayaran transaksinya memanfaatkan deposit yang disimpan di fasilitas milik operator selular. Deposit tersebut, awalnya akan secara otomatis di-debet ketika pelanggan selular memanfaatkan layanan telepon dan atau short message service (SMS). Secara berangusr deposit akan berkurang, berbanding terbalik dengan penggunaan pulsa.

Ide operator yang semula hanya ingin memastikan pendapatan di muka (advance payment) ini, pada akhirnya menyadarkan beberapa pihak bahwa kombinasi uang deposit, komputer, infrastruktur telekomunikasi digital, dan kebutuhan berbelanja, mengilhami digunakannya “pulsa telepon” sebagai alat pembayaran. Pada dasarnya mekanisme alat pembayaran menggunakan pulsa (APMP), tidak jauh beda dengan mekanisme pembayaran menggunakan kartu debet. Bedanya, pada kartu debet, yang di-debet saldo tabungan atau giro yang tersimpan di bank, sedangkan pada APMP ketika terjadi transaksi yang di-debet saldo deposit yang tersimpan di fasilitas operator selular.

Implikasi dari digunakannya deposit pulsa telepon sebagai alat pembayaran transaksi cukup signifikan, tidak saja bagi perkembangan bisnis, ekonomi, dan sosial, namun mau tidak mau masuk ke ranah hukum. Di ranah bisnis, adanya APMP memberi tambahan altermatif mekanisme pembayaran, yang berarti memperbesar peluang untuk menambah pendapatan. Sebagai contoh, ketika pembeli lupa atau tidak membawa uang cash, atau ketika kartu kreditnya sedang tidak dapat digunakan, tidak berarti transaksi lantas menjadi batal. Transaksi tetap terjadi karena calon pembeli masih memiliki deposit pulsa yang dapat digunakan untuk membayar barang yang diinginkannya atau layanan yang telah dimanfaatkannya. Ketika terjadi transaksi semacam ini, pembeli akan di-debet untuk dua hal: sejumlah nilai barang dan atau jasa yang harus dibayar, dan biaya pengiriman pesan (SMS) ketika memberitahukan transaksi pembayaran ini kepada operator atau penyimpan deposit.

Implikasi di ranah ekonomi? Luar biasa besar. Mari kita berandai-andai, statistik pengguna selular hingga akhir 2007 sudah mencapai kurang lebih 80 juta. 85% -nya atau 68 juta berstatus pelanggan prabayar. Jika rata-rata belanja per bulan menggunakan APMP Rp. 100.000,- maka nilai transaksi per tahun minimal mencapai Rp. 81.6 Triliun. Angka ini di luar pendapatan operator selular yang dihimpun dari biaya SMS untuk pemberitahuan transaksi.

Bagi merchant, transaksi menggunakan APMP sangat aman, dan pasti terbayar. Transaksi tidak mungkin terjadi bila saldo deposit tidak mencukupi. Bagi pembeli, pasca transaksi urusan selesai, tidak perlu ditagih di kemudian hari seperti ketika menggunakan kartu kredit. Manfaat sosial lain, jika dalam kartu kredit, khususnya para pengguna pemula, terjadi kecenderungan berbelanja melebihi kemampuan membayar, sehingga pada suatu hari harus menanggung hutang yang akan selalu bertambah, maka dalam APMP hal tersebut tidak akan terjadi. Artinya, secara tidak langsung, perilaku belaja jor-joran dapat dihambat dengan “membatasi” daya beli.

Pertanyaan terkait dengan aspek hukum yang muncul adalah “apakah operator selular akan berubah, dan diizinkan menjadi lembaga penyimpan uang deposit dan fasilitator transaksi keuangan? Di banyak negara yang telah menyelenggarakan APMP atau dengan istilah lain, e-wallet, digital money, e-purse, dan lain sebagainya, penyelenggaranya dibedakan menjadi tiga: operator telepon, bank, atau integrater. Di Indonesia, operator selular yang sudah mulai menyelenggarakan APMP adalah Telkomsel.

Menyikapi perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap penggunaan kartu sebagai alat pembayaran dalam memenuhi kegiatan ekonomi, dan dalam upaya memberikan perlindungan bagi para pengguna kartu pembayaran, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan bank Indonesia Nomor 7/52/PBI/2005 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/60/DASP 30 Desember 2005 tentang Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian, serta Peningkatan Kemanan Dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. Jika disimak lebih jauh, kedua peraturan tersebut juga mencakup penggunaan pulsa sebagai alat pembayaran. Artinya, kebutuhan adanya alternatif baru alat pembayaran sudah muncul, layanannya juga sudah mulai tersedia, peraturan sudah cukup memadai, jadi mari kita tunggu masa jaya pembayaran menggunakan pulsa telepon*****

Mengelola Investasi Teknologi Informasi

Hampir semua perusahaan Indonesia yang beraset di atas lima ratus juta rupiah sudah menggunakan komputer untuk mendukung operasional sehari-hari. Meski hanya satu buah Personal Computer (PC), dan hanya digunakan untuk tugas – tugas administrasi dan korespondensi namun perusahaan yang sudah memanfaatkan PC tergolong cukup maju. Disadari atau tidak, penggunaan PC telah menggeser mesin ketik, kadang-kadang kalkulator, dan bahkan lemari penyimpan berkas. Namun demikian, komputer dan perangkat pendukungnya tidak sekedar berfungsi menggantikan alat kantor konvensional, lebih tinggi dari itu, komputer jika digunakan dengan terencana, terukur dan terkelola dengan baik akan menjadi “alat perang unggul” dalam mengalahkan pesaing (di kalangan perusahaan pencari laba) dan “alat layanan publik” yang efisien dan efektif di lingkungan organisasi nirlaba baik di pemerintahan maupun swasta.

Persoalannya, masih banyak eksekutif atau pimpinan organisasi yang belum menyadari peran penting komputer bagi eksistensi dan kelangsungan hidup organisasinya. Di awal tahun 1990-an banyak perusahaan membeli PC hanya agar tidak terkesan ketinggalan zaman. Awal 2000-an semakin banyak perusahaan Indonesia yang memiliki komputer, namun belum banyak yang memanfaatkan komputer dan fasilitas pendukung komputer secara optimal, kebanyakan masih digunakan untuk otomatisasi kantor saja. Periode 2005 hingga awal 2007, wajah penggunaan komputer di Indonesia khususnya di lingkungan organisasi bisnis telah mulai berubah. Semakin banyak perusahaan atau instansi pemerintah yang tersambung ke Internet, memiliki website, hampir di setiap meja karyawan terpasang personal komputer, para eksekutif terbiasa dengan notebook,atau Personal Digital Assistance, laporan hasil kerja tidak lagi disajikan hanya dengan kertas, namun dipresentasikan dalam softcopy, lalu lintas elektronik mail semakin meningkat, akses pengguna Internet kantoran menempati ranking teratas, terutama pada jam-jam kantor.

Statistik memang menunjukkan peningkaan pemanfaatan komputer, namun kembali ke awal paragraf di atas, kenyataan bahwa pimpinan organisasi belum sepenuhnya paham peran dan fungsi komputer secara khusus maupun teknologi informasi secara umum, meski sudah banyak pemakaian komputer di kantornya, hal-hal seperti ini yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas investasi komputer. Artinya, jika dibandingkan dengan investasi sumber daya lain, seperti kendaraan, gedung, mesin-mesin pabrik dan lain sebagainya yang mudah diukur return atas investasi-nya, mestinya investasi teknologi informasi juga dapat diukur tingkat return-nya. Sayangnya, tidak semua organisasi, termasuk yang paling menonjol adalah di organisasi pemerintahan, yang melakukan kajian tingkat kembalian (return on investment = ROI) ketika hendak membeli perangkat teknologi informasi. Kebiasaan yang lazim, sesudah proposal teknis dan anggaran disetujui langsung diikuti dengan pengadaan.

Perlu disadari bahwa dalam hal investasi, selalu terjadi persaingan dalam “perebutan” alokasi dana investasi. Selain itu investasi teknologi informasi pada umumnya masih dievaluasi seperti halnya investasi untuk sektor lain. Terkait dengan bagaimana memberi justifikasi pentingnya investasi teknologi informasi dan hubungannya dengan kemampuan pengembalian investasi, Ward (2003) mengatakan there is no simple answer to the question: on what basis should information system and information technology investments be assessed against other investments? Artinya? Hal ini merupakan tantangan segera dibuatnya prinsip dan kebijakan penilaian manfaat investasi sistem informasi dan atau teknologi informasi yang dapat menjadi acuan bagi keputusan dan atau penentuan prioritas investasi.

Ada bebeberapa isu penting yang perlu diperhatikan oleh mereka yang diberi kewenangan untuk melakukan investasi teknologi informasi. Pertama, dianjurkan untuk menentukan dasar-dasar pertimbangan dalam investasi. Tidak selalu nilai manfaat investasi teknologi informasi harus dihitung menggunakan ROI, perlu dipertimbangkan pula faktor-faktor non-teknologi, seperti apakah investasi teknologi informasi akan berpotensi meningkatkan penjualan, kepuasan pelanggan, tingkat keuntungan dan lain sebagainya. Guna memudahkan dalam mengukur manfaat, khususnya manfaat keuangan, bagi perusahaan yang akan mengimplementasikan teknologi informasi dalam skala luas dan bersifat strategis perlu memertimbangkan untuk meninjau kembali perlakuan akuntansi yang akan digunakan untuk menilai kinerja investasi teknologi informasi. Data akuntansi sangat penting dalam menghitung manfaat investasi teknologi informasi.
Setelah identifikasi dasar-dasar pertimbangan dilakukan, maka langkah kedua adalah menentukan prioritas, dengan memperhatikan cakupan manfaat bisnis dan ekonomi, keterbatasan sumber daya, dan faktor lainnya. Bagaimanapun, dari semua pertimbangan di atas perlu dipilih dan dipilah mana yang harus didahulukan dari lainnya. Prioritas penting terutama jika sumber daya perusahaan tidak mencukupi semua kebutuhan investasi teknologi informasi.

Jika prioritas telah ditentukan, sumber daya keuangan dan lainnya yang diperlukan untuk investasi telah dialokasikan, maka langkah ketiga yang disarankan untuk dilakukan adalah melakukan proses pengelolaan dalam mewujudkan manfaat yang diharapkan. Dalam konteks manajemen sistem informasi, langkah ini tergolong operasionalisasi investasi teknologi informasi, tergolong kritis, dan oleh karenanya memerlukan perhatian penuh dari manajemen.

Melengkapi tiga langkah sebelumnya, eksekutif perlu menguji resiko investasi berdasarkan karakteristik aplikasi dan pendekatan dalam pengelolaannya. Pada era awal penggunaan sistem informasi identifikasi resiko pemanfaatan teknologi informasi tidak banyak dilakukan. Namun sejalan dengan semakin berperannya komputer dalam kegiatan bisnis dan menjadikan komputer sebagai jantung kehidupan dari organisasi, mulai disadari resiko atas investasi teknologi informasi. Sebagai contoh, jika sebuah bank yang sudah menyelenggarakan layanan online, atau sebuah perusahaan penerbangan yang sudah melayani penjualan tiket melalui Internet, atau perusahaan operator telekomunikasi yang sangat tergantung pada teknologi informasi, semua fasilitas komputernya padam dalam waktu sehari saja, dapat dibayangkan berapa besar potensi kerugian yang diderita oleh perusahaan- perusahaan tersebut.*****

Mencermati Fenomena “Urusan Kecil”

Setiap hari mata manusia melihat alam di sekitarnya, beranjak dari kamar tidur, lingkungan rumah, perumahan, sepanjang jalan menuju tempat kerja, dan apa saja yang dijumpainya selama perjalanan. Di antara berbagai hal yang dilihat, ada yang dilihat cukup lama, diperhatikan dan membekas di memori; ada yang hanya dilihat sekilas tidak diingat lagi, dan ada pula yang dipandang namun tidak dilihat.

Kelompok pertama. Kelompok ini dapat pula menjadi penyebab perubahan preferensi dan atau perilaku bagi yang melihatnya, apabila dilihat secara terus menerus. Kelompok kedua, hanya dilihat karena dianggap tidak penting, tidak terkait dengan kepentingan maupun tidak dapat dilihat, diperhatikan, diingat, disebut objek utama, yang karena sifat penampilannya, substansinya, pelakunya dan lain sebagainya sehingga dapat menyita perhatian memberikan kontribusi bagi pelihatnya. Kelompok ketiga, sama sekali tidak penting, sehingga tidak sedikitpun membekas di ingatan.

Manusia cenderung memusatkan perhatian pada hal – hal besar sebagai fokus penglihatan, dan tidak memerhatikan detil gambar atau hal – hal di luar materi yang menjadi pokok perhatian dari sebuah gambar. Demikian pula dengan entitas yang lain seperti perusahaan, masyarakat, partai politik dan bahkan pemerintahan. Acapkali pimpinan organisasi memandang sebelah mata kepada urusan – urusan yang dianggapnya sepele, atau dalam istilahnya Profesor Schoemaker, Peripheral Vision. Dianggap sepele, urusan kecil dan oleh karenanya tidak memerlukan perhatian pimpinan organisasi karena pada waktu dikenali tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap eksistensi organisasi.

Persoalan Office Boy (OB) di kantor misalnya, bukanlah urusan CEO, cukuplah atasan langsung yang harus menanganinya. Namun demikian persoalan OB bisa jadi urusan yang beresiko besar dan oleh karenanya harus mendapat perhatian dari CEO, ketika OB yang tidak puas diam – diam membocorkan rahasia perusahaan kepada pesaing. Atau dalam kasus lain, ketidak –puasan karyawan karena janji manajemen yang belum dipenuhi. Mereka tidak protes secara terbuka, namun melakukan aksi memperlambat ritme kerja, menurunkan produktivitas, hingga penyabotan yang dilakukan secara rapi dan terencana. Dalam skala negara, sering terjadi ada kelompok masyarakat yang merasa kurang perhatian dari Pemerintah, atau merasa diperlakukan tidak adil akhirnya melakukan “perlawanan” dengan ingin memisahkan diri dari NKRI, atau selalu membuat kerusuhan.

Fenomena “urusan kecil” mirip gunung es, yang terlihat hanyalah ujung atasnya saja, di bawah itu ada berbagai komplikasi permasalahan yang dapat meletus setiap saat ketika jaring – jaring penahannya sudah tidak kuat lagi mencengkeram desakan permasalahan.
Pemimpin yang tabiatnya hanya percaya pada apa yang muncul di permukaan sulit memahami fenomena “urusan kecil” seperti contoh tersebut di atas. Mereka lebih suka pada laporan formal, atau urusan – urusan besar saja yang hasilnya segera terlihat nyata. Yang menjadi persoalan dan oleh karenanya perlu perhatian adalah bagaimana mengenali adanya persoalan kecil yang memiliki potensi menjadi permasalahan besar yang menganggu harmoni organisasi. Persoalan kedua, bagaimana berhubungan dengan “urusan kecil” tersebut dan kemudian mengatasinya sehingga semua pihak dapat menerima sekaligus menjalankan solusi yang disepakati.

Memberi dan Menerima Layanan

Memberi dan menerima layanan, apa saja, bagi mereka yang berprofesi di bisnis apa saja, merupakan suatu kelaziman. Sebagai penerima layanan, karena membeli produk barang atau jasa tertentu, seringkali kita dibuat tidak enak hati. penyedia layanan memperlakukan pembeli, atau pelanggan sesuai seleranya saja, acap melupakan kepatutan suatu layanan yang baik. di pihak lain, seringkali nampak pembeli barang atau jasa belum tahu bagaimana sikap terbaik agar dapat atau layak menerima layanan terbaik.

Layanan di bagian depan dari suatu proses bisnis, menjadi pintu pertama bagi terbukanya pendapatan atau penjualan bagi perusahaan, jika layanan di sini dinilai buruk oleh pembeli atau pengguna jasa, ada beberapa alternatif sikap pembeli yang dapat mempengaruhi masa depan perusahaan. sikap pertama, pembeli komplen, minta haknya dipenuhi, diperbaiki, dan sesudah diberi mereka akan kembali membeli. siap kedua, komplen, diberi, tidak puas, dan tidak pernah kembali lagi. sikap ketiga, seperti sikap pertama dan atau kedua, tetapi memberitahukan keburukan layanan kepada orang-orang lain. sikap keempat, seperti sikap ketiga, namun dengan menganjurkan agar tidak pernah membeli atau menggunakan jasa penjual atau penyedia produk dan atau jasa yang dianggapnya buruk tersebut. dari keempat sikap rekasi atas buruknya pelayanan, sikap pertama akan dilakukan bila pembeli atau penguna jasa dihadapkan pada ketiadaan pilihan lain, baik karena keadaaan produk atau layanan sejenis lainnya atau karena ketidak-mampuan mencari produk atau layanan lain karena tidak cukup sumber daya (uang dan waktu).

Walhasil, jika layanan buruk pembeli yang kembali hanya seperempat dari mereka yang pernah berhubungan dengan penjual atau penyedia jasa. yang tiga perempat, bila memiliki kekuatan untuk mempengaruhi calon pembeli lain, maka lama kelamaan yang tinggal seperempat pertama pun akhirnya akan pindah ke lain hati. alias menjadi pembeli atau pelanggan kompetitor.

Teknologi Informasi dan Alih Daya Birokrasi

Perusahaan yang melakukan alih daya (outsourcing) memberikan sebagian atau seluruh proses operasional bisnisnya kepada pihak lain. Terjadi kondisi saling ketergantungan antara yang mengalih-dayakan (outsourcer) dan yang menerima alih daya (outsourcee). Dibutuhkan saling percaya dan dapat dipercayai di antara keduanya. Materi yang dialih-dayakan bermacam-macam mulai yang sederhana seperti layanan kebersihan, keamanan, pengumpulan data, hingga proses penagihan pajak dan layanan masyarakat. Dari yang berbekal fisik manusia saja hingga yang membutuhkan sarana teknologi canggih.

Alih daya ternyata tidak hanya lazim dilakukan di lingkungan bisnis, namun belakangan sudah mulai marak dilakukan di lingkungan birokrasi atau organisasi publik. Di lingkungan sekretariat DPR dan beberapa kantor departemen misalnya, kebersihan lingkungan gedung – gedung dilakukan oleh perusahaan swasta dengan model alih daya. Salah satu alasan yang diajukan untuk alih daya kebersihan antara lain karena sudah makin sedikit PNS golongan IA (pesuruh), setelah ditetapkan minimal pendidikan SLTA bagi calon pegawai pemerintah dengan golongan IIA, yang bukan lagi pesuruh. Pertanyaannya, apakah alih daya di lingkungan pemerintahan hanya layak untuk jasa kebersihan saja? Jenis – jenis pekerjaan apa sajakah yang layak dialih-dayakan, dan apa saja pertimbangan yang perlu diperhatikan, serta hal – hal yang perlu diwaspadai terutama jika dikaitkan dengan masalah keamanan negara.

Jaringan Sosial Dalam Konteks Telematika

Undang – Undang Nomor 36/1999 tentang telekomunikasi mendefinisikan jaringan telekomunikasi sebagai rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi. Dari definisi ini terlihat bahwa unsur utama yang menjadi perhatian adalah sekumpulan peralatan hasil teknologi. Sebagaimana hasil teknologi lainnya, jaringan telekomunikasi tidak akan memiliki makna bila tidak mampu memberikan manfaat kepada manusia. Sampai di sini, kita masih dapat mengatakan bahwa jaringan telekomunikasi tentu saja bermanfaat bagi kebutuhan hidup manusia. Namun demikian, ketika telekomunikasi sudah berkonvergensi dengan teknologi informasi membentuk telematika yang mendorong terbentuknya tata hubungan bisnis dan sosial yang berbeda dibandingkan dengan keadaan sebelumnya, pengertian dan manfaat jaringan tidak hanya untuk pemenuhan sarana fisik saja melainkan juga untuk membangun jaringan lain, yakni jaringan antar manusia itu sendiri yang kemudian disebut jaringan sosial (social networks). Kedua jaringan ini, meski muncul dari dua kepentingan yang berbeda, tetapi ada suatu keadaan di mana keduanya, bila digunakan secara tepat, dapat memperkuat terbentuknya modal sosial (social capital). Apa dan bagaimana jaringan sosial serta implikasinya terhadap tatanan sosial dan ekonomi, khususnya dalam era ekonomi baru setelah munculnya telematika, menjadi pertanyaan yang perlu dibahas lebih lanjut.

Gordon Marshal dalam Dictionary of Sociology (1998) menjelaskan bahwa jaringan sosial terbentuk dari individu atau sekelompok individu yang terhubung satu dengan lainnya oleh hubungan sosial. Keluarga, suku, perusahaan, asosiasi, dan pertemanan, adalah contoh dari jaringan sosial. Tata hubungan dalam jaringan sosial ini yang oleh J.L. Moreno dapat digambarkan dalam bentuk tabel sociomatrix. Studi mengenai jaringan sosial semula menitik-beratkan pada struktur hubungan dalam kelompok sosial yang berukuran kecil dengan fokus pada perilaku angggota jaringan dan kerekatan hubungan di antara mereka. Dalam kelompok sosial yang anggotanya sedikit, dapat dengan mudah dilihat adanya unsur – unsur jaringan seperti perekat atau penghubung (bridges), seseorang yang menjadi pengikat antar-sesama anggota; dan penyeimbang (balance) yakni pihak yang menahan berkembangnya klik (clique) atau subjaringan, yang pada kondisi tertentu dapat melemahkan hubungan sosial antar anggota.

Ikatan dalam jaringan sosial yang semula kuat karena bertumpu pada kedekatan lokasi, emosional dan fisikal, dengan berjalannya waktu dan terjadinya diaspora, menjadi melemah. Pelemahan keterhubungan ini makin diperbesar dengan makin kuatnya pengaruh budaya individualistik akibat globalisasi. Oleh karena itu, globalisasi, yang di satu sisi menjadikan dunia terasa kecil seukuran layar monitor, dikatakan memiliki sisi negatif bila dilihat dari dampaknya dalam melemahkan jaringan sosial yang terdapat pada masyarakat tradisional.

Yang menggembirakan, demikian kata Henslin dalam Sociology, A down to Earth Approach, (1999), Internet yang semula haya dipakai oleh kalangan akademik, setelah dikembangkan oleh pelaku bisnis menjelma menjadi media baru yang dapat mengeratkan kembali simpul – simpul jaringan sosial. Bahkan pola hubungan bisa menjadi sangat berbeda dari jaringan sosial dalam konteks tradisional. Berjuta –juta manusia yang berasal dari berbagai budaya dan latar belakang masuk ke belantara informasi yang dinamakan Internet. Pada akhirnya, pola hubungan sosial yang semula didasarkan pada kesamaan almamater, asal – usul, suku, keluarga, partai politik, dan ikatan primordial lainnya, dengan makin berkembangnya penggunaan Internet pola hubungan berubah dan lebih didasarkan pada kesamaan kepentingan, hoby, bidang profesi, tanpa melihat dari keluarga mana, atau dari almamater apa mereka berasal. Karakter sosial yang terbentuk melalui media Internet misalnya, sangat berbeda dengan jaringan sosial yang konvensional. Atribut tradisional yang cenderung membentuk hirarki dalam jaringan sosial tradisional berubah menjadi sekedar nama, yang posisinya dilihat dari seberapa besar kontribusinya dalam pola hubungan yang horisontal peer to peer. Pola hubungan yang didorong oleh penggunaan Internet inilah yang kemudian membentuk komunitas – komunitas elektronik (electronic communities). Bahkan akibat adanya interaksi intensif melalui Internet belakangan bermunculan electronic primary groups, yang oleh sementara orang dikembangkan sebagai peluang usaha baru, seperti electronic commerce.

Sampai di sini mulai terlihat benang merah hubungan antara jaringan sosial dan jaringan telekomunikasi. Dalam kontek telematika di Indonesia, jaringan sosial yang terbentuk dari munculnya Internet memang belum terlihat jelas contoh dan wujudnya, namun demikian keberadaannya akan menjadi sangat penting pada dua ekstrem keadaan. Ketika teledensity dan dan penetrasi Internet masih relatif rendah seperti sekarang ini, jaringan sosial bertumpu pada hubungan tradisional yang bersifat primordial seperti asal - usul kedaerahan, sekolah, organisasi, kepartaian, dan lain sebagainya. Jaringan sosial semacam ini biasanya berkurang daya rekatnya ketika anggota jaringan semakin jauh lokasi keberadaannya sementara sarana telekomunikasi dan atau penggunaan sarana tersebut masih rendah. Ketersediaan jaringan telekomunikasi termasuk Internet, pada gilirannya akan memfasilitasi terbentuknya jaringan sosial baru yang berbasis pengetahuan dan informasi.

Pada ekstrem lain, ketika majoritas anggota masyarakat sudah 'terhubung' melalui jaringan telekomunikasi, kompleksitas jaringan sosial diperkirakan akan meningkat. Individu akan menemui kesulitan karena dihadapkan pada labirin informasi yang membentuk kompartemen atau kluster jaringan sosial, yang apabila tidak hati – hati memasukinya akan terjebak dalam kesia-siaan waktu, energi dan biaya. Untuk itu, pemahaman mengenai minat pribadi, kebersediaan untuk menentukan fokus atau area minat tertentu, serta penguatan disiplin pribadi menjadi kunci sukses bagi individu dalam jaringan sosial di era Internet.

Dua hal di atas apabila dapat terpenuhi akan menguatkan teorinya Fukuyama yang mengatakan bahwa teknologi informasi dan telekomunikasi pada masanya akan merubah tata hubungan komunitas. Lalu di mana peran pemerintah dalam membangun jaringan telekomunikasi dan menjaga agar jaringan sosial ini mampu menjadi kekayaan bangsa?

Berkaitan dengan upaya ekspansi pengembangan jaringan telekomunikasi, ada banyak alternatif kebijakan yang dapat ditawarkan. Dari yang bernuansa mempertahankan monopoli hingga yang berpihak pada kompetisi sesuai amanat UU 36/1999 di atas. Tetapi ternyata, ukuran sambungan phisik menjadi tidak relevan lagi di era ekonomi baru karena kebutuhan masyarakat di satu sisi tidak hanya sekedar tersambung ke jaringan, namun sejauh mana mereka dapat menggunakan jaringan phisik tersebut untuk memperoleh informasi bagi pengembangan jaringan sosial. Dengan demikian akses informasi dengan biaya murah dan berkecepatan tinggi menjadi satuan ukur baru.

Bila kita sepakat dengan pola pikir ini, kebijakan yang tepat adalah memberi kesempatan kepada pelaku pasar untuk menggunakan teknologi yang efisien, bukan mengahalangi dengan menetapkan entry barrier yang sengaja dibuat hanya guna melindungi kepentingan incumbent. Di sisi lain, bagaimanapun juga jaringan telekomunikasi masih diperlukan di daerah – daerah yang belum terlayani. Sementara incumbent tidak dapat sepenuhnya melayani daerah tersebut.

Dalam kerangka keadilan, pemerataan, dan perlakuan yang sama bagi pengusaha, kebijakan yang memberi kesempatan kepada pemain baru untuk menawarkan jasa telekomunikasi yang murah dan efisien perlu dibuka selebar – lebarnya. Selain itu dalam upaya perluasan jaringan telekomunikasi dan pelaksanaan Kewajiban Pelayanan Universal (Universal Service Obligation), kepada pemain baru yang menawarkan jasa murah dan efisien tersebut seharusnya juga diberi kewajiban membangun jaringan telekomunikasi dan menyediakan sarana akses Internet. Dengan demikian satu kebijakan akan bermanfaat bagi semua pihak, tidak hanya menguntungkan salah satu saja.

Dalam arus globalisasi Internet, hampir semua negara menyepakati bahwa sebaiknya pemerintah menerapkan minimum regulations, sediakan sarananya dan biarkan komunitas mengatur dirinya sendiri. Jadilah pemerintah sebagai promotor, fasilitator dan katalisator. Lupakan paradigma lama yang menganggap pemerintah berlaku sebagai penguasa. Akibat perubahan pola hubungan dalam jaringan sosial, birokrat sebenarnya hanya sebagai civil servant, atau service provider, bukan power holder lagi. Bila kita sependapat dengan ajakan ini, sebetulnya tidak diperlukan proyek pemerintah dengan anggaran jutaan dolar, cukup sediakan kebijakan. Sudah cukup? Barangkali belum.