Saturday, December 18, 2004

Pasar Premium: Hikmah atau Petaka?

Pasar Premium: Hikmah atau Petaka?

Ada fenomena ekonomi menarik yang pada tahun – tahun belakangan ini menggejala di Indonesia, khususnya di kota – kota besar. Di tengah kesulitan ekonomi yang dihadapi sebagian besar rakyat serta upaya pemerintah menutup defisit anggaran belanja, ternyata ada sekelompok anggota masyarakat yang dengan leluasa mampu membeli barang – barang mahal, dan atau menikmati layanan mewah yang ditawarkan oleh penyedia jasa yang khusus menargetkan kepada kelompok orang kaya. Sementara itu, sebagian besar masyarakat Indonesia harus rela menerima kenyataan bahwa makin hari kehidupan makin sulit, harga barang semakin tidak terjangkau, sementara penghasilan tidak naik secara linier mengikuti kenaikan harga. Sebetulnya fenomena semacam ini bukan hal baru di suatu perekonomian, namun halnya menjadi perlu diperbincangkan ketika data menunjukkan bahwa pangsa pasar produk – produk premium mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Kolom kali ini ingin menyorot, perilaku konsumen dan produsen di pasar premium ini, disertai analisis ringkas mengenai implikasinya terhadap perekonomian secara umum, dan kebijakan publik apa yang sekiranya diperlukan untuk menjaga agar pertumbuhan pasar premium tidak menimbulkan kerusakan pada sistem perekonomian dan tata sosial masyarakat.

Produk Unggulan
Menghasilkan produk yang baik sudah menjadi syarat utama bagi setiap produsen. Baik dalam pengertian memenuhi kriteria kualitas bahan, bentuk serta fungsi. Namun demikian, produk yang bagus belum menjadi jaminan sukses di pasaran. Oleh karenanya, merupakan suatu hal yang umum dilakukan bila kemudian perusahaan mengemas suatu produk sedemikian rupa sehingga mampu bersaing di pasar dan memberikan return bagi perusahaan. Salah satu strategi yang dianjurkan oleh pakar manajemen Michael Porter dan ahli manajemen pemasaran Philip Kotler adalah dengan melakukan salah satu atau kombinasi dari: fokus pada ceruk pasar tertentu, menawarkan produk/jasa yang unik, dan secara konsisten beroperasi secara cost efficient. Konsekuensi dari implementasi strategi ini adalah munculnya segmentasi pasar yang sangat tipis (lean) dengan penawaran produk yang eksklusif, dan perolehan margin yang tinggi.

Surplus Konsumen
Pasar yang lean, demikian kata Czepiel dalam Competitive Marketing Strategy (1992), adalah pasar yang dipenuhi dengan kelompok konsumen yang memiliki daya beli tinggi, dan elastisitas permintaan yang rendah. Ini artinya, kelompok semacam ini tidak sensitif terhadap harga, dan bersedia membeli barang/jasa dengan harga di atas harga rata – rata. Variable dominan yang digunakan dalam proses pembelian bukan lagi harga melainkan faktor lain seperti selera, prestise, dan kesenangan membelanjakan uang atau memiliki barang mahal.

Pada kenyataannya, kelompok masyarakat ini tergolong mereka yang memiliki surplus income yang sudah jauh melebihi kebutuhan minimalnya. Dalam hal ini ada faktor motifasi bagi seseorang untuk menyimpan atau membelanjakan kelebihan income-nya. Mereka yang membeli produk unggulan, dan selanjutnya menjadi anggota kelompok eksklusif tergolong pada golongan kedua yang memutuskan untuk membelanjakan uangnya guna memiliki barang – barang mahal.

Implikasi Ekonomi
Permasalahannya adalah, apakah makin maraknya pasar premium perlu dikhawatirkan atau disyukuri? Dikhawatirkan karena akan makin menunjukkan adanya ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin, selain adanya dorongan kuat yang menjurus kepada pembelanjaan yang bersifat konsumtif. Di pihak lain, maraknya pasar premium bisa jadi disyukuri oleh, tentu saja, perusahaan yang menyediakan barang/jasa premium. Jika kelompok pengusaha yang melayani segmen premium ini berperilaku jujur, dengan membayar pajak baik yang menjadi kewajibannya maupun menyetorkan pajak penjualan barang mewah yang menjadi tanggungan pembeli, maka dapat diperkirakan terjadi peningkatan pendapatan negara dari pajak.

Namun demikian, jika dilihat dari statistik, penghasilan negara dari pajak barang mewah sebetulnya tidaklah signifikan. Hal ini selain karena barang mewah baru dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat, juga didorong oleh belum terselenggaranya administrasi perpajakan yang mampu mengumpulkan pajak dari transaksi ekonomi yang tidak terlaporkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penikmat langsung dari pasar barang eksklusif masih tetap diterima oleh pengusaha penjual barang/jasa premium dan sebagian kecil masyarakat yang lebih dari berkecukupan.

Implikasi Sosial
Jika implikasi ekonomi relatif terbatas dan terkendali, tidak demikian halnya dengan implikasi sosial. Edwards (2001) berargumen bahwa ketidak mampuan kelompok kaya untuk menahan diri dari belanja barang – barang eksklusif dan memamerkannya ke tengah publik yang relatif miskin akan mendorong terjadinya kesenjangan sosial yang menjurus kepada rasa permusuhan. Sinyalemen Edwards sebetulnya dapat kita lihat dalam keseharian di kota – kota besar di Indonesia. Sentimen kaya – miskin akan memudahkan tersulutnya kerusuhan sosial yang hanya disebabkan oleh perkara kecil saja.

Dapat dipahami bahwa apabila ada segelintir orang yang mampu memiliki rumah dan mobil mewah yang berisikan perabotan luks impor, serta perangkat harian yang melekat di badan dipenuhi dengan merk – merk eksklusif, sementara tetangga kanan – kiri masih harus terseok – seok mengais rejeki, tidak aneh bila hal seperti ini dapat menjadi bibit munculnya kecemburuan sosial. Apalagi bila tindak – tanduk dan perilaku si kaya, sama sekali tidak santun, atau bahkan cenderung pongah.

Kebijakan Publik
Pertanyaan yang cukup mengusik dan sulit terjawab, adalah apakah terhadap konsumsi barang – barang mewah perlu diatur dalam suatu kebijakan publik? Dunn (1994) dan Weimer & Vining(2000) menyatakan, tidak semua fenomena yang berkembang di masyarakat memerlukan kebijakan publik tertentu yang dimaksudkan untuk mengatur dan mengawasi. Sepanjang aktivitas masyarakat dapat diatur oleh diri sendiri (self regulating) atau tidak menimbulkan kerugian bagi publik lainnya (negative externalities), maka sebaiknya tidak perlu ada kebijakan khusus. Kebijakan yang sudah ada dan dianggap masih mencukupi untuk keperluan pengaturan masih dapat dilanjutkan.

Dengan pola pikir di atas, kebijakan pengenaan pajak barang mewah yang dikenakan terhadap barang – barang tertentu, secara selektif masih perlu dipertahankan. Dikatakan selektif karena dari pengalaman di masa lalu, ketentuan pajak barang mewah ini ternyata dikenakan juga terhadap barang – barang investasi untuk industri maupun barang penunjang pendidikan seperti perangkat komputer. Kebijakan publik lain di bidang ekonomi yang – barangkali – diperlukan untuk mengatur tata niaga barang premium adalah membatasi jumlah barang dan mengawasi peredarannya. Kebijakan semacam ini lazim digunakan di negara – negara sosialis atau totaliter dengan sistem ekonomi tertutup. Dalam sistem perekonomian yang terbuka seperti Indonesia, dapat diterapkan untuk barang yang sangat classified seperti senjata api genggam yang belakangan ini menjadi mode di kalangan elite, selebritis dan politikus.

Yang juga tak kalah pentingnya adalah kebijakan publik guna mencegah kecemburuan sosial yang muncul sebagai akibat ketidak – mampuan sebagian besar golongan masyarakat menikmati barang premium, sementara hanya segelintir golongan kaya saja yang dengan leluasa memamerkan kekayaannya.

Mas Wigrantoro Roes Setiyadi



No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.