Thursday, January 01, 2009

Wawancara Akhir Tahun 2008 dengan Majalah Trust

T (Trust Tanya)
J: (Jawaban Maswig)


T: Bagaimana anda melihat industri telekomunikasi selama tahun 2008 ini? Apakah menunjukkan arah yang positif? Apa acuannya?

J: Kinerja industri telekomunikasi selama tahun 2008 menurut hemat saya tidak terlalu istimewa dibandingkan dengan tahun – tahun sebelumnya. Meskipun tidak sampai negatif, namun pertumbuhan tidak signifikan, perhitungan sementara, rata – rata pertumbuhan (meliputi aspek pelanggan, EBITDA, jaringan) berkisar antara 9 s.d 15%.

T: Bagaimana anda melihat peluang industri ini ditahun 2009 mendatang? Sebab saat ini tengah terjadi krisis global. Apakah jumlah pelanggan masih bisa digenjot seperti tahun 2008?

J: Jika dilihat dari perspektif makro, dapat dikatakan masih cukup besar, karena wilayah yang belum terlayani fasilitas telekomunikasi masih sekitar 45% dari total wilayah Indonesia, khususnya di luar pulau Jawa. Selain itu, dari perspektif demografi, masih ada tidak kurang dari 80 juta rumah tangga (house holds) yang tempat tinggalnya belum tersedia layanan telepon tetap (fixed line). Dan, dari 180-an juta penduduk Indonesia yang sudah pantas memiliki layanan telepon selular, baru sekitar 40-an juta yang sudah benar-benar menikmati layanan telepon selular.

Namun demikian jika dianalisa dari sudut pandang mikro, peluang masing-masing operator telekomunikasi dalam meraih peluang pasar ternyata tidak linier. Operator besar memiliki peluang untuk meraih lebih banyak dibandingkan operator kecil. Bahkan, di tahun 2009, saya memprediksi, beberapa operator kecil sudah sangat sulit untuk tumbuh bila tidak sejak awal tahun mengubah strategi bisnisnya.

Terkait dengan krisis global, tentu ada dan akan banyak pengaruhnya terhadap industri telekomunikasi Indonesia secara keseluruhan, khususnya dalam pendanaan untuk meningkatkan jangakuan dan kapasitas jaringan. Sebagaimana kita tahu, krisis keuangan global menyebabkan kelangkaan likuiditas untuk investasi. Padahal daya saing operator telekomunikasi akan sebanding dengan network coverage dan capacity (NCC). Untuk mewujudkan peningkatan NCC diperlukan tambahan investasi, maka jika sumber investasi langka, otomatis NCC akan mengalami stagnan.

Bagi operator besar yang National NCC-nya sudah mencapai lebih dari 75% kemandegan atau perlambatan pertumbuhan NCC tidak terlalu masalah, bagi mereka tinggal mempertahankan kualitas layanan guna meningkatkan loyalitas pelanggan, atau membuat produk – produk inovatif guna mengoptimalisasi utilisasi jaringan dan fasilitas jaringan sekaligus meningkatkan revenue. Di pihak lain, bagi operator kecil yang National NCC-nya kurang dari 25%, akan mengalami dilema, untuk tumbuh dibutuhkan tambahan investasi, sementara sumber investasi sedang langka; sebaliknya jika tidak tumbuh, ceruk pasar (market niche) yang sudah dikuasasi akan terambil oleh operator besar, karena terjadi migrasi pelanggan (akibat pelanggan kecewa, atau terjadi penurunan kualitas layanan).

Wal hasil, saya kira, secara umum strategi terbaik bagi semua operator telekomunikasi adalah survival; bertahan, bergerak perlahan dengan seksama dan waspada. Sebaiknya tidak terlalu ambisius menetapkan sekian persen pertumbuhan pelanggan baru. Sebaliknya, saya malah menyarankan, perhatikan berapa persen pelanggan yang lari ke operator lain. Atau beraap persen pertumbuhan nomor yang non-aktif atau hangus (churn).

T: Apakah industri telekomunikasi di tanah air dapat melewatinya?

J: Kita pernah mengalami krisis seperti ini di tahun 1997-98, dan waktu itu industri telekomunikasi Indonesia mampu membuktikan diri sebagai sektor yang tetap tumbuh, sementara sektor-sektor lain terpuruk. Meski kontek nasional dan lingkungan industri telekomunikasi pda waktu itu berbeda dengan kondisi saat ini dan tahun 2009, namun dua hal utama: karakter industri telekomunikasi (termasuk pelanggan dan pengguna) dan pengalaman operator dalam berhubungan dengan lingkungan bisnis yang sedang dalam kondisi tidak stabil; pada hemat saya memberi keyakinan kepada kita semua bahwa industri telekomunikasi nasional mampu bertahan dan akan kembali memelopori pertumbuhan ekonomi nasional.

Di atas saya sebutkan karakter industri telekomunikasi dapat menjadi faktor pembangkit optimisme dalam menghadapi krisis global. Kenapa demikian? Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, informasi sudah menjadi kebutuhan penting yang dapat disetarakan dengan kebutuhan mereka terhadap bahan pangan. Dalam kata lain, pada kelompok ini (yang jumlahnya semakin besar, informasi sudah setara dengan kebutuhan pokok hidup yang tidak dapat ditunda, namun hanya bisa dikurangi konsumsinya (ketika uang di saku menipis) sama seperti beras, air minum, BBM, dan lain sejenisnya. Jika sudah begini, walaupun operator telekomunikasi sedang mengaami kesulitan memperoleh tambahan investasi dari pasar modal, namun karena demand telekomunikasi masih tinggi, operator dapat terselamatkan cash flow-nya dari arus revenue yang relatif terjaga. Jika masih tetap ingin investasi, maka tantangan bagi operator adalah meningkatkan efisiensi sehingga mampu menekan boaya operational, dan akhirnya menghasilkan laba yang selanjutnya digunakan untuk tambahan investasi.
Jadi operator yang akan sukses dalam menghadapi situasi krisis finansial global adalah operator yang masih memiliki atau mampu menjaga likuiditasnya, meningkatkan efisiensi operasional, sehingga tingkat profitabilitas masih relatif tinggi, dan mampu digunakan sebagai sumber pendanaan internal. Operator yang mengandalkan pendanaan investasi dari luar, saya kira akan sakit parah.

T: Dari operator yang saat ini beroperasi, apakah akan ada yang gulung tikar? Siapa saja mereka yang kemungkinan besar akan gulung tikar?

J: Sampai gulung tikar (baca: bangkrut) saya kira tidak akan ada. Belum pernah ada sejarah di Indonesia (atau bahkan di dunia) operator telekomunikasi bangkrut. Kalaupun ada (MCI di USA) lebih disebabkan karena managemen perusahaan melakukan fraud. Jika kesulitan keuangan dialami oleh operator telekomunikasi milik negara atau yang terafiliasi dengan negara, tentu akan mendapat bantuan (bail out) dari pemerintah, karena menyangkut kebanggaan nasional. Bagi operator telekomunikasi milik konglomerat, ketika menghadapi kesulitan, pemilik (pemegang saham majoritas) akan mempertahankan mati-matian eksistensi perusahaan, karena menyangkut kredibilitas mereka sebagai businessman.

Untuk mencegah bangkrut, beberapa strategi sering diambil oleh pemilik perusahaan, antara lain, merger dengan operator yang lebih besar, atau mencari strategic partner, dengan menjual sebagian besar sahamnya kepada investor besar. Di semester dua tahun 2008, saya lihat beberapa pemegang saham operator kecil sudah mulai menawarkan sahamnya kepada perator lain ataupun kepada investor asing.

Krisis global mudah-mudahan menjadi moment yang tepat bagi pelaku industri telekomunikasi Indonesia untuk melakukan konsolidasi pasar, dengan cara merger antar operator yang teknologinya sejenis (CDMA dengan CDMA; dan GSM/3G dengan GSM/3G). Jika hal ini dapat terlaksana, besar kemungkinan di tahun 2009, kita akan menyaksikan hanya ada 4 operator GSM/3G, dan 2 atau 3 operator CDMA.


T: Bagaimana solusi yang harus mereka lakukan agar dapat bertahan dan melalui krisis?

J: Di atas sudah saya jelaskan, dalam masa krisis strategi terbaik adalah survival strategy. Menunda rencana ekspansi, kalaupun ekspansi harus diteruskan, karena melanjutkan proses yang sudah berlangsung dari tahun sebelumnya, lakukan dengan membuat skala prioritas berdasarkan kemampuan masing – masing proyek dalam menghasilkan revenue baik dari kecepatan maupun jumlah. Meningkatkan kualitas layanan kepada pelanggan agar pelanggan puas dan tidak lari ke operator lain. Meningkakan efisiensi guna mengurangi biaya operasional. Melakukan promosi dan pemasaran dengan sangat selektif. Strategi penurunan atau perang harga tidak dianjurkan. Dan tidak kalah pentingnya adalah inovasi menciptakan kreasi produk baru (seperti layanan konten) dengan maksud menggali potensi revenue di luar jasa yang sudah ada (layanan suara, sms, mms, akses internet, dll.)

T: Saat ini promo tarif gencar diberikan operator. Apakah di tahun 2009 konsumen masih bisa mendapatkan tarif yang murah?

J: Pada hemat saya, jika di tahun 2009 masih ada operator yang perang harga, atau promosi penurunan harga, menawarkan harga discount secara jor-joran seperti tahun – tahun lalu, maka hanya ada tiga kemungkinan: manajemen operator tersebut bodoh, tidak tahu apa yang terbaik harus dilakukan dalam lingkungan krisis; atau perusahaan masih memiliki likuiditas yang luar biasa besar, National NCC sudah mencapai 100%, dan operator tersebut ingin mematikan operator lain; atau manajemen dengan sengaja ingin membuat perusahan bangkrut.

Kepada konsumen saya berharap dapat memahami kesulitan yang sedang dihadapi oleh para operator telekomunikasi. Jika mereka (operator) masih dituntut untuk menurunkan harga layanan, tarif, namun akibatnya operator pada gulung tikar, bukankah kita sendiri, konsumen yang akan kehilangan kenyamanan yang sudah dirasakan.

Berhemat dalam berkomunikasi adalah kata kunci yang mari kita (operator dan pelanggan) sama – sama lakukan.


T: Apakah operator yang memberikan tarif murah atau promo tersebut nanti bisa bertahan menghadapi krisis?

J: Saya sudah menjawab pertanyaan ini di atas.

T: Bagaimana anda melihat pelayanan operator kepada konsumen di tahun 2008 ini? Apakah tahun 2009 nanti mereka masih memberikan kwalitas layanan yang sama? Atau malah makin buruk?

J: Dengan skala 1 s.d. 7 (1 untuk sangat tidak memuaskan, dan 7 sangat memuaskan), pelayanan operator telekomunikasi kepada pelanggan, secara umum saya nilai dalam skala 4 (cukup memuaskan), di bawah memuaskan (5), lebih memuaskan (6), dan sangat memuaskan (7).

Meskipun tahun depan kita akan mengalami krisis yang semakin dalam, saya tentu berharap operator mampu meningkatkan kualitas pelayanan kepada pelanggan sehingga score-nya meningkat. Mengapa demikian, sebagaimana saya uraikan di atas, krisis sebaiknya digunakan sebagai moment untuk memulai upaya serius peningkatan kualitas pelayanan, selagi konsentrasi manajemen tidak fokus kepada ekspansi NCC.

T: Dari pengamatan anda, operator mana yang memberikan layanan paling baik bagi pelanggannya? Lalu yang paling buruk?

J: Maaf, karena mendukung semua operator, dan dalam kedudukan saya sebagai pengurus (Ketua) Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) di mana mereka (semua operator) adalah anggota kami, maka rasanya akan tidak etis jika saya menyebut operator A paling baik, atau operator B paling buruk. Baik buruk saya kembalikan kepada pelanggan untuk menilainya. *****

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.