Monday, August 13, 2018

IMPROMPTU, Bericara Spontan, Berbagi Ide



Kata di atas diambil dari judul buku terbitan awal 2018, ditulis oleh Judith Humphrey, diterbitkan oleh Wiley, dengan judul lengkap “Prepare to be Spontaneous, IMPROMPTU, Leading in the Moment”.

Humphrey dalam kata pembukanya menanyakan kepada pembaca apakah pernah mengalami ketika anda sedang berada dalam suatu pertemuan dengan teman sejawat, bersama rekan-rekan sealmamater, acara rapat kantor, sedang berada di acara makan malam perusahan, atau ketika sedang berkumpul bersama tetangga, atau sedang hadir dalam rapat kerja mendengarkan arahan pimpinan; tiba – tiba anda diminta memberikan sambutan, berbicara di depan publik secara spontan, tidak memiliki persiapan sebelumnya; padahal topik atau materi yang dibicarakan sangatlah penting, dan semua hadirin memandang ke arah anda, menunggu suara keluar dari mulut anda, menyampaikan ide atau pendapat yang sedetik atau semenit sebelumnya dalam benak anda tak terbayangkan akan diminta bicara.

Bayangkan, anda sedang wawancara sebagai bagian dalam proses seleksi agar anda dapat diterima sebagai pegawai atau pimpinan suatu perusahaan, tiba-tiba diminta bicara tentang sesuatu yang anda tak bayangkan sama sekali sebelumnya. Bila anda diam saja atau menolak untuk berbicara, atau berbicara namun dengan suara tak meyakinkan sudah dapat dibayangkan apa yang akan terjadi.

Bayangkan, bila anda tak berbicara, rapat penting, atau diskusi strategis, atau bincang-bincang ringan tapi serius berubah menjadi hambar, tak bermakna, bila anda tak memenuhi harapan hadirin lain agar anda bicara, setidak-pentingpun pendapat anda.

Pernahkah anda mengalami tiba-tiba diminta untuk memberi sambutan pada acara perpisahan pegawai yang hendak pensiun? Atau tiba-tiba diminta memberikan sambutan di acara peringatan hari ulang tahun kemerdekaan?

Cobalah perhatikan, dalam setiap pertemuan, rapat atau diskusi, selalu ada beberapa orang yang dominan bicara, yang sekali-sekali bicara, dan yang bahkan tak sepatah katapun keluar dari mulutnya ikut memberi warna dalam pertemuan, rapat atau diskusi tersebut. Padahal, bila anda hadir di rapat dalam kualitas sebagai peserta yang sejajar dengan peserta-peserta lain, anda memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan peserta lain. Hak peserta dalam rapat adalah berbicara. Bila anda tidak berbicara dan memberi kontribusi berupa ide, maka pertama, anda tidak menggunakan hak bicara (kecuali diatur lain), dan kedua anda tidak memberikan kontribusi baik untuk mendukung, memberikan perspektif lain yang melengkapi ide-ide yang mengalir di dalam rapat, atau menolak sebagian atau seluruh ide yang sedang dibicarakan.

Pertanyaannya, bagaimana menghadapi suasana ketika anda tiba-tiba harus bicara? Bila di dalam rapat atau diskusi yang telah ditetapkan dengan agenda tertentu, besar kemungkinan para hadirin, termasuk anda, sudah menyiapkan apa saja yang akan anda bicarakan dan tidak bicarakan. Akan tetapi bagaimana bila pertemuannya mendadak, seperti misalnya ketika sedang takziah, melayat seseorang yang wafat, anda diminta memberikan sambutan, atau dalam acara pertemuan unsur pimpinan suatu perusahaan anda diminta bicara, atau dalam acara reuni alumni sekolah, anda tiba-tiba diminta bicara, dan lain sebagainya.

Menjawab pertanyaan di atas, Humphrey mengajak pembaca bukunya untuk mengenang saat masih duduk di bangku sekolah, ketika guru bahasa, atau guru-guru lain memerintahkan kita – para siswa – maju ke depan kelas dan menceritakan sesuatu hal, misal apa saja yang dikerjakan selama liburan yang baru saja berlalu, atau menceritakan dongeng yang disukainya, atau menceritakan bagaimana berhasil meraih kemenangan dalam lomba tertentu, dan lain sebagainya, yang ketika sebelum disuruh bercerita, tidak terbayang sama sekali akan mendapat tugas bercerita.

Ada murid yang dengan gagah dan percaya diri maju ke depan kelas dan menceritakan apa yang dia pernah alami, semuanya sesuai dengan fakta yang dia lihat dan rasakan, Ada juga murid yang percaya diri, namun hal yang diceritakan tak sepenuhnya sesuai fakta, ada beberapa yang mungkin dia lupa, namun karena keinginannya menyajikan yang terbaik, dianggapnya tak apalah bila “ngarang-ngarang’ dikit. Ada juga siswa yang terpaksa maju, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan, percaya diri, dan dibuatlah “cerita” seolah-olah apa yang disampaikannya benar-benar dilihat dan dialaminya. Ini tiga type pada golongan pertama yang termasuk percaya diri.

Di bagian lain, ada pula siswa yang tak berani maju, entah karena takut, malu atau pasrah biarlah saya dimarahi guru asal saya tidak maju ke depan kelas, walau sebenarnya di kepalanya banyak bertumpuk fakta yang ingin dia ceritakan, tetapi malunya itu loh. Mereka yang takut bisa jadi karena terbawa sifatnya sebagai penakut, walau hanya maju ke depan kelas dan bercerita (pernah ada yang bahkan sampai ngompol di depan kelas karena ketakutan), atau takut karena menurutnya tidak punya fakta yang harus diceritakan dan apabila bercerita sesuatu yang dikarang (tanpa fakta utuh) dia takut disalahkan bahkan takut berdosa, berbohong.

Mereka yang merasa malu, bimbang, berada di persimpangan jalan, antara maju  tetapi merasa cerita yang ada di kepalanya tidak bermutu, tidak layak saji, atau karena merasa rendah diri, merasa dirinya bodoh, merasa penampilannya di depan kelas tak pantas (dahulu masih ada siswa yang hadir di kelas tak bersepatu sementara lainya sudah bersepatu, baju yang dikenakannya  sudah lusuh dan kusam karena hanya punya satu setel, sementara siswa lain kenakan baju yang masih cerah dan baru).

Wal hasil meski urusannya sederhana, berbicara di depan kelas, tak semua siswa memiliki keberanian tampil dengan predikat memuaskan. Pertanyaannya, bukankah manusia diberi Sang Pencipta kemampuan berbicara, kemampuan berpikir. Ketika dalam lingkungan yang dikenalinya, merasa dirinya terbiasa dan mampu mengendalikan dirinya dalam suasana yang dikenalinya tersebut, sehingga tidak merasa tertekan, manusia normal mampu berbicara, apa saja sesuai yang diinginkannya. Namun mengapa menjadi berbeda ketika seseorang (subject) berada di suasana yang tidak dikenalnya, atau baru dikenalnya, yang tiba-tiba, tuntutannya tinggi, yang semuanya itu menjadikan dirinya merasa mendapat tekanan, untuk lakukan hal – hal yang diinginkan oleh orang lain, walau mungkin dia sendiri tak suka melakukannya.

Pertanyaan kunci yang diajukan oleh penulis, apakah kemampuan berbicara di depan publik, khususnya yang impromptu, tanpa persiapan, tiba-tiba diminta bicara, merupakan bakat, talenta, atau sesuatu yang dapat dipelajari oleh semua manusia normal?

Menjawab pertanyaan tersebut Humphrey mengatakan memang banyak orang yang memiliki bakat bawaan untuk mampu bicara, tak hanya untuk bicara di depan sekelompok kecil orang lain, tetapi bahkan sebagai orator, membakar semangat, membangun motivasi pendengarnya. Orang – orang ini, ada yang – namanya juga bakat – tanpa belajar secara rutin dan formal mampu mengembangkan dirinya mampu bicara di depan publik atau mampu berbicara spontan tanpa persiapan. Ada sebagian lagi yang berawal dari bakat, menyadari bakatnya, memoles bakat tersebut dengan belajar teknik berbicara, membangun kepercayaa diri, dan akhirnya berhasil menjadi pembicara yang suaranya dirindukan oleh orang banyak.

Yang sudah berbakat pun masih perlu belajar, apalagi yang tidak berbakat, sangat perlu belajar. Makna yang terkandung dari kalimat terakhir ini kurang lebih, kecakapan berbicara di depan publik, berbicara spontan di depan publik dapat dipelajari layaknya kita – manusia – belajar berenang, belajar golf, belajar mengemudikan kendaraan, belajar mengoperasikan mesin produksi, belajar matematika dan berbagai hal lain yang memerlukan latihan. Pertanyaan berikutnya bagaimana cara terbaik untuk mampu bicara di depan publik dan khususnya bicara spontan?

Sebelum memberikan tip and trick mengenai membangun kemampuan bicara di depan publik secara spontan, ada baiknya terlebih dahulu kita samakan pengertian kita mengenai bicara spontan di depan publik. Yang dimaksudkan di sini bukan asal bicara, omdo, atau bicara yang negative emosional, isinya bersifat destruktif, menyulut permusuhan, “pokoknya”, bukan hal-hal seperti itu semua. Lalu apa?

Yang dimaksudkan dengan bicara spontan di depan adalah berbicara yang mampu memberikan insight, memancing ide baru, berbicara sesuai konteks atau relevan dengan topik atau thema yang didiskusikan, memanusiakan manusia para pendengarnya, memberi motivasi dan atau penghargaan, positif, membangkitkan semangat juang, dan semacam itu yang semuanya dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas eksistensi kita sebagai manusia dan makhluk bagian dari alam yang diciptakan oleh Allah SWT, Tuhan Sang Pencipta.

Nah kalau kita sudah memiliki kesamaan pemahaman mengenai apa itu kemampuan berbicara spontan di depan publik, baru kita bahas bagaimana caranya agar kita yang termasuk tidak berbakat dapat meningkatkan kemampuan yang diharapkan.

Zaman terlah berubah. Era ketika pemimpin bicara di atas podium, memberikan sambutan dengan gesture menunduk kaku, wajah dingin serius, membaca teks yang sudah disiapkan staf, telah lewat. Bagi sementara kalangan, era itu sudah menjadi kenangan sejarah. Perhatikan para pemimpin Zaman Now, ketika berbicara di depan publik, kepala mereka tegak, mata memandang tajam ke arah publik agar setia mendengarkan, fokus dan interaktif (mengundang respon pendengar), gaya bicara dan intonasi suara tegas, berirama (tidak monoton) untuk menimbulkan kesan memahami apa yang sedang dia bicarakan, tangan tidak diam lurus jahitan celana, namun bergerak disesuaikan dengan intisari yang ingin disampaikan. Terkadang diselingi dengan canda ringan untuk menyegarkan suasana.  Ini bagian pertama yang perlu disiapkan untuk menjadi mampu bicara spontan di depan publik.

Perlu diingat, bicara spontan BERBEDA dengan memberikan orasi ilmiah, pidato atau sambutan formal yang disampaikan oleh President, Menteri, Gubernur, atau CEO.  Bila dianalogikan dengan karya tulis, atau orasi ilmiah, sambutan formal layaknya menulis essay, panjang, ada latar belakang, menyajikan dan mengupas permasalahan, memberikan solusi komprehensive, dan saran yang memotivasi pendengarnya untuk melaksanakan ide-ide yang disampaikan. Sebaliknya, bicara spontan di depan publik dalam kontek tulisan ini, dapat dianalogikan sebagai sebuah puisi. Padat berisi, singkat berbobot, tak perlu memutar untuk sampaikan ide yang mungkin bertabrakan dengan kepentingan pihak lain, lugas; namun dampak yang diharapkan dari  bicara spontan ini melekat kuat dibenak para pendengarnya.

Membangun kemampuan sebagaimana diuraikan di atas, dapat dilakukan dengan cara membiasakan diri membaca berbagai hal, guna menambah khasanah pengetahuan. Hanya itu? Masih ada lagi.

Menjalin dan membangun persahabatan, networking dengan berbagai kalangan untuk mengupdate berbagai informasi, perlu dibiasakan. Menguasai satu atau lebih hal-hal yang unik (pengetahuan, ketrampilan, usaha perekonomian, kegatan sosial, dlsb.) yang dapat memberi inspirasi bagi orang lain, akan memberi nilai tambah bagi anda. Mendengarkan dan menyimak initi sari ketika ada orang lain berbicara ini juga sangat bermanfaat. Membiasakan diri berbicara berdasarkan fakta dan data dari pada common sense atau hanya mengira-ira, akan sangat membantu. Melihat sesuatu peristiwa dan menganalisisnya dari berbagai sudut pandang, bukan hanya dari satu disiplin, dapat memberikan kesan bahwa anda menguasai berbagai aspek. Senantiasa berpola pikir positif, terbuka menerima masukan, tidak memaksakan kehendak, atau bertahan habis-habisan ketika ada pihak lain yang menyerang atau menolak pendapat anda semua ini menunjukkan tingkat kedewasaaan dalam berrelasi dengan orang lain.

Apakah hanya yang tersebut di atas? Bisa tetapi masih kurang. Apa kurangnya? Ingat berbicara spontan, bukan berpidato. Ini artinya waktunya sangat terbatas, mungkin semenit, lima menit, namun tak lebih dari 10 menit, 15 menit sudah termasuk berpidato. Jadi bagaimana?

Ingat, waktu yang tersedia bagi anda sangat terbatas. Waktu adalah yang tidak pernah bisa diputar balik, sekali liwat, bahkan sedetikpun lewat sudah jadi masa lalu. Artinya, bicara spontan di depan publik akan menjadi bermutu bila straight forward, langsung ke sasaran, tidak bertele-tele, kosakatanya mudah dimengerti, gunakan bahasa yang dipahami oleh sebagian besar pendengarnya. Untuk itu, biasakan untuk berandai-andai, ketika anda masuki suasana ramai, untuk berbagai kepentingan, berandai-andailah bila ada yang tiba-tiba meminta anda bicara memberikan sambutan spontan. Apa yang akan anda sampaikan.

Anda bisa memulai dengan memerhatikan lingkungan di sekitar ruangan, atau lokasi di mana anda berada. Perhatikan tata letak meja, kursi, hidangan, vas bunga, backdrop, pintu masuk, tempat sampah, siapa yang duduk atau berdiri di sebelah anda, warna ruangan, dan lain sebagainya. Selanjutnya anda bisa juga membaca atau mencari tahu thema atau pokok acara yang sedang berlangsung, bila anda belum mengetahui tanyakan kepada penerima tamu atau siapa saja di sekitar anda yang kiranya dapat memberikan informasi. Bila sudah tahu (thema dan atau acara) kaitkan dengan kepentingan anda hadir atau kepentingan orang – orang yang hadir (dapat diketahui dari identitas mereka).

Setelah mendapatkan semua informasi yang disebut di atas, tenangkan diri anda endapkan semua informasi tadi, tak usah diingat-ingat, leburkan diri anda sepenuhnya dalam acara yang sedang berlangung, hayati, jadikan diri anda bagian tidak terpisahkan dari acara tersebut. Dan apabila tiba-tiba ada yang meminta anda bicara, mulailah satu dari hal-hal yang anda perhatikan tadi, cukup disampaikan dengan satu-dua kalimat, misal “saya senang berada di antara anda, mengingatkan saya pada saat kita masih remaja…” atau “merupakan kehormatan bagi saya untuk bicara singkat di ruangan yang penuh hiasan dan semerbak wangi parfum mahal dari Ibu-ibu ….bla…bla..” selanjutnya, biarkan mulut anda berbicara mengalirkan suara HANYA UNTUK paling lama 5 atau 10 menit. Bila anda hanya ingin berterima kasih, sampaikan kalimat terima kasih. Bila yang ingin anda sampaikan teguran, sampaikan secara langsung teguran, Bila yang ingin anda sampaikan pujian, sampaikan pujian secara langsung. Bila anda ingin cerita yang dimaksudkan untuk memotivasi, usahakan singkat dan jelas.

Satu hal yang paling menantang adalah menyampaikan kata – kata singkat namun efeknya akan diingat terus menerus oleh pendengar. Untuk mencapai ini, tidak mudah, perlu latihan. Namanya latihan, tak cukup sekali, mesti tekun berkali-kali, jangan takut salah, jangan malu ditertawakan, ketika ada yang menertawakan usahakan untuk menikmatinya.

Yang paling akhir, alam mengajarkan “pohon tak tumbuh besar seketika setelah ditanam, ia tumbuh seiring waktu, dipanasi oleh sinar matahari, itupun bila dijaga dan dirawat dengan baik.” Dan ingat, kita, manusia bagian dari alam.*****

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.