Hampir semua perusahaan Indonesia yang beraset di atas lima ratus juta rupiah sudah menggunakan komputer untuk mendukung operasional sehari-hari. Meski hanya satu buah Personal Computer (PC), dan hanya digunakan untuk tugas – tugas administrasi dan korespondensi namun perusahaan yang sudah memanfaatkan PC tergolong cukup maju. Disadari atau tidak, penggunaan PC telah menggeser mesin ketik, kadang-kadang kalkulator, dan bahkan lemari penyimpan berkas. Namun demikian, komputer dan perangkat pendukungnya tidak sekedar berfungsi menggantikan alat kantor konvensional, lebih tinggi dari itu, komputer jika digunakan dengan terencana, terukur dan terkelola dengan baik akan menjadi “alat perang unggul” dalam mengalahkan pesaing (di kalangan perusahaan pencari laba) dan “alat layanan publik” yang efisien dan efektif di lingkungan organisasi nirlaba baik di pemerintahan maupun swasta.
Persoalannya, masih banyak eksekutif atau pimpinan organisasi yang belum menyadari peran penting komputer bagi eksistensi dan kelangsungan hidup organisasinya. Di awal tahun 1990-an banyak perusahaan membeli PC hanya agar tidak terkesan ketinggalan zaman. Awal 2000-an semakin banyak perusahaan Indonesia yang memiliki komputer, namun belum banyak yang memanfaatkan komputer dan fasilitas pendukung komputer secara optimal, kebanyakan masih digunakan untuk otomatisasi kantor saja. Periode 2005 hingga awal 2007, wajah penggunaan komputer di Indonesia khususnya di lingkungan organisasi bisnis telah mulai berubah. Semakin banyak perusahaan atau instansi pemerintah yang tersambung ke Internet, memiliki website, hampir di setiap meja karyawan terpasang personal komputer, para eksekutif terbiasa dengan notebook,atau Personal Digital Assistance, laporan hasil kerja tidak lagi disajikan hanya dengan kertas, namun dipresentasikan dalam softcopy, lalu lintas elektronik mail semakin meningkat, akses pengguna Internet kantoran menempati ranking teratas, terutama pada jam-jam kantor.
Statistik memang menunjukkan peningkaan pemanfaatan komputer, namun kembali ke awal paragraf di atas, kenyataan bahwa pimpinan organisasi belum sepenuhnya paham peran dan fungsi komputer secara khusus maupun teknologi informasi secara umum, meski sudah banyak pemakaian komputer di kantornya, hal-hal seperti ini yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas investasi komputer. Artinya, jika dibandingkan dengan investasi sumber daya lain, seperti kendaraan, gedung, mesin-mesin pabrik dan lain sebagainya yang mudah diukur return atas investasi-nya, mestinya investasi teknologi informasi juga dapat diukur tingkat return-nya. Sayangnya, tidak semua organisasi, termasuk yang paling menonjol adalah di organisasi pemerintahan, yang melakukan kajian tingkat kembalian (return on investment = ROI) ketika hendak membeli perangkat teknologi informasi. Kebiasaan yang lazim, sesudah proposal teknis dan anggaran disetujui langsung diikuti dengan pengadaan.
Perlu disadari bahwa dalam hal investasi, selalu terjadi persaingan dalam “perebutan” alokasi dana investasi. Selain itu investasi teknologi informasi pada umumnya masih dievaluasi seperti halnya investasi untuk sektor lain. Terkait dengan bagaimana memberi justifikasi pentingnya investasi teknologi informasi dan hubungannya dengan kemampuan pengembalian investasi, Ward (2003) mengatakan there is no simple answer to the question: on what basis should information system and information technology investments be assessed against other investments? Artinya? Hal ini merupakan tantangan segera dibuatnya prinsip dan kebijakan penilaian manfaat investasi sistem informasi dan atau teknologi informasi yang dapat menjadi acuan bagi keputusan dan atau penentuan prioritas investasi.
Ada bebeberapa isu penting yang perlu diperhatikan oleh mereka yang diberi kewenangan untuk melakukan investasi teknologi informasi. Pertama, dianjurkan untuk menentukan dasar-dasar pertimbangan dalam investasi. Tidak selalu nilai manfaat investasi teknologi informasi harus dihitung menggunakan ROI, perlu dipertimbangkan pula faktor-faktor non-teknologi, seperti apakah investasi teknologi informasi akan berpotensi meningkatkan penjualan, kepuasan pelanggan, tingkat keuntungan dan lain sebagainya. Guna memudahkan dalam mengukur manfaat, khususnya manfaat keuangan, bagi perusahaan yang akan mengimplementasikan teknologi informasi dalam skala luas dan bersifat strategis perlu memertimbangkan untuk meninjau kembali perlakuan akuntansi yang akan digunakan untuk menilai kinerja investasi teknologi informasi. Data akuntansi sangat penting dalam menghitung manfaat investasi teknologi informasi.
Setelah identifikasi dasar-dasar pertimbangan dilakukan, maka langkah kedua adalah menentukan prioritas, dengan memperhatikan cakupan manfaat bisnis dan ekonomi, keterbatasan sumber daya, dan faktor lainnya. Bagaimanapun, dari semua pertimbangan di atas perlu dipilih dan dipilah mana yang harus didahulukan dari lainnya. Prioritas penting terutama jika sumber daya perusahaan tidak mencukupi semua kebutuhan investasi teknologi informasi.
Jika prioritas telah ditentukan, sumber daya keuangan dan lainnya yang diperlukan untuk investasi telah dialokasikan, maka langkah ketiga yang disarankan untuk dilakukan adalah melakukan proses pengelolaan dalam mewujudkan manfaat yang diharapkan. Dalam konteks manajemen sistem informasi, langkah ini tergolong operasionalisasi investasi teknologi informasi, tergolong kritis, dan oleh karenanya memerlukan perhatian penuh dari manajemen.
Melengkapi tiga langkah sebelumnya, eksekutif perlu menguji resiko investasi berdasarkan karakteristik aplikasi dan pendekatan dalam pengelolaannya. Pada era awal penggunaan sistem informasi identifikasi resiko pemanfaatan teknologi informasi tidak banyak dilakukan. Namun sejalan dengan semakin berperannya komputer dalam kegiatan bisnis dan menjadikan komputer sebagai jantung kehidupan dari organisasi, mulai disadari resiko atas investasi teknologi informasi. Sebagai contoh, jika sebuah bank yang sudah menyelenggarakan layanan online, atau sebuah perusahaan penerbangan yang sudah melayani penjualan tiket melalui Internet, atau perusahaan operator telekomunikasi yang sangat tergantung pada teknologi informasi, semua fasilitas komputernya padam dalam waktu sehari saja, dapat dibayangkan berapa besar potensi kerugian yang diderita oleh perusahaan- perusahaan tersebut.*****
Bermanfaat Bagi Manusia Lain Tidak Harus Memberi Dalam Bentuk Barang, Tetapi Dapat Memberi Dalam Wujud Ilmu Pengetahuan Yang Berguna Positif. Bermanfaat Itu Memberi Apa Yang Dibutuhkan, Bukan Apa Yang Diinginkan. Semoga Kumpulan Tulisan Ini Dapat Memenuhi Mereka Yang Membutuhkan. Illahi Anta Maqsudi Wa Ridhoka Matlubi. Ya Allah, Semua Yang Saya Kerjakan Tiada Lain Hanya Untuk Mendapat RidhoMu.
Monday, October 15, 2012
Filosofis, Agama, Atau Urusan Perut
Dalam diskusi pro-kontra open source versus proprietary, saya mempertanyakan mengapa wacana diskusi hanya pada tataran senang atau tidak senang terhadap produk tertentu, bukankah ada tujuan yang lebih utama dalam pemanfaatan teknologi informasi? menanggapi pertanyaan saya, Mas Budi Rahardjo dalam milist technomedia menyatakan "Pemilihan produk atau teknologi yang dipilih itu ternyata tidak hanya terbatas di sisi teknis saja, akan tetapi sudah mengarah kepada filosofi. Ibaratnya pemilihan teknologi ini seperti pemilihan AGAMA.
Selanjutnya Mas Budi menyatakan, semua agama tentu tujuannya baik, tetapi kita memiliki agama yang berbeda-beda. Tentu saja masing-masing merasa bahwa agama dia yang paling benar. Jadi, meskipun tujuannya sama namun tetap akan ada perdebatan mengenai perbedaan itu. Jadi perdebatan Linux vs Microsoft bukan sekedar masalah rejeki akan tetapi masalah filosofi (Open Source vs. Proprietary).
Pada bagian akhir pernyataan Mas Budi mengatakan, Nah sekarang yang diperebutkan adalah orang-orang untuk mengikuti "agama TIK" kita. he he he. Oh ya. Dalam satu agamapun ada madzhab yang berbeda. Di Linux ada yang seperti ini juga. he he he. Misalnya ada yang suka Debian, Redhat, Slackware, Suse, ... dst.
Mencermati pendapat mas Budi saya melihat jika diskusi mengarah kepada aspek filosofi dan di-analogikan seperti agama, maka pertama, pada tataran filosofi, biasanya diskusinya fokus pada konsepsi, penalaranan, teoritis, metoda pemikiran, dan pengembangan keilmuan. lha dari yang saya baca di milist ini, ramenya hanya pada tataran aplikasi (baca penerapan suatu teknologi) yang kemudian terjebak pada isu-isu sempit. Saya ingat Mas Budi sempat ulas buku Cathedral and Bazaar (?) saya belum sempat baca cover to cover, hanya sekilas saja, rasanya buku-buku semacam inilah yang dapat menjadi titik tolak bagi pegiat open source (OS) ketika hendak berwacana pada tataran filosofis. Mungkin para teknolog (mengutip istilah yang dikemukakan oleh rekan Adi Indrayanto) masih lebih suka baca "bit and byte", yang terkesan heroic dan techiest. Adapun saya (yang sudah bukan teknolog) lebih suka baca bukunya John Mingers and Leslie Willcocks eds (2004) "Social Theory and Philosophy for Information System" dan karya James W. Cortada (2002) "Making The Information Society" (yang keduanya tidak ada nuansa heroic sama sekali, buku pertama kajian filosofis, buku kedua tentang know how, praktikal).
Kedua, jika dianalogikan seperti AGAMA, ada wajah lain dari agama yang barangkali berbeda dengan pergerakan open source dalam "melawan" hegemony proprietary. di lingkungan agama dunia, yang minoritas relatif stabil, sedangkan yang majorias sangat dipenuhi dengan dinamika bahkan pertentangan mengenai how to build a good society (dalam pengertian luas). yang disebabkan oleh adanya perbedaan pemahaman dan kepentingan politik. sementara itu di kancah system operasi komputer, kejadiannya terbalik, yang mayoritas (baca:penguasa pasar) tampil anggun, menjalankan strategi bisnis secara terencana, terukur dan terkendali, lobby-lobby politik dan bantuan ekonomi dilakukan di banyak negara, citra sebagai korporasi yang baik selalu diupayakan. sebaliknya pegiat open source (yang secara agregat masih dapat dikatakan sebagai minoritas) berbisnis layaknya organisasi LSM, bukan seperti lazimnya pelaku bisnis profesional. entrepreneurship memang menonjol dalam kiprah pegiat open source, namun entrepreneurship saja tidaklah cukup dalam industri ICT yang semakin kompetitif.
ketiga, di dalam AGAMA samawiyah, yang muncul belakangan (Islam) ternyata mendapat respon dan dianut oleh majoritas penduduk dunia, sementara yang diwahyukan sebelumnya (Kristen dan Yehuda) dianut oleh relatif kecil dibandingkan yang diwahyukan sesudahnya (Islam). mengapa hal ini terjadi, mungkin ahli sejarah agama lebih mahir untuk menjelaskan dari pada saya. dalam konteks sistem operasi komputer, keadaannya terbalik. proprietary (dalam hal ini MS) yang datang lebih dulu mampu bertahan dan malahan menjadi penguasa pasar.
dikatakan full proprietary sebenarnya juga tidak. jika boleh dibagi dalam kelompok, kelompok proprietary Operating System (O/S) generasi pertama adalah ketika mulai dibuatnya O/S untuk mendukung komputer, pada generasi ini semua O/S komputer adalah proprietary (karena hanya ada satu jenis). ketika komputer sudah masuk ke ranah industri komersial, masing- masing produsen membuat pembeda dari produsen komputer lainnya. hal inilah yang mendorong munculnya proprietary O/S generasi kedua, yang dapat dilihat dari adanya berbagai merek komputer dengan O/S yang spesifik, satu komputer tidak dapat berbicara dengan komputer merek lain. bagi mereka yang tahun 1970-1980an sudah belajar komputer mungkin masih ingat masing-masing merek punya O/S sendiri (saya dulu pakai PRIMOS, O/S-nya Prime computer). melihat akibat dari islandisation of O/S ini malah merugikan pengguna komputer, mulailah muncul UNIX yang diharapkan bisa menjadi "jembatan" bagi berbagai proprietary software. kompatibilitas dan konektivitas menjadi isu penting dalam UNIX. di Jakarta, mereka yang sudah bergiat di bidang komputer pada tahun 80-an hingga awal 90-an mudah-mudahan ingat ada organisasi INDONIX (Indonesian Unix User Society). Nah kembali ke generasi proprietary, MS muncul sebagai O/S generasi ketiga dengan ide mengatasi kendala yang timbul pada mesin-mesin besar, kalau tidak boleh dikatakan mencuri ide-nya UNIX. kompatibiltas dan konektivitas inilah yang digotong MS pertama kali. apapun komputernya O/S-nya MS. demikian kira-kira bahasa iklan meniru iklannya produk teh botol. jika kita cermati, dibalik visi bill gates (apapun komputer-nya, O/S-nya MS) terkandung masalah keterbukaan system (open system). open system inilah isu yang rame ketika mulai muncul UNIX dan sayangnya yang berhasil meraih sukses dalam skala besar hanya MS.
perkembangan selanjutnya, karena MS berdomisili di amrik yang menghargai dan melindungi karya cipta, mendorong inovasi dengan memberikan reward bagi para inovator, percaya bahwa kemakmuran sosial ekonomi dapat tercapai dari karya-karya penemuan, inovasi dan kompetisi sehat, maka MS tumbuh bak jamur di musim hujan. pertumbuhan me-raksasa ini menjadikan yang semula "terbuka" menjadi diusahakan "tertutup" kembali melalui mekanisme penerapan dan enforcement IPR. di banyak negara yang siap dengan dan mengantisipasi gelombang "penutupan kembali karya cipta yang semula terbuka" membuat kebijakan yang menguntungkan masyarakatnya, Bli Made bisa cerita bagaimana Jerman membuat kebijakan ini. pada tataran kebijakan, isu utama bukan pada pilihan "A" atau "B" atau lainnya, namun bagaimana pemerintah dan masyarakat penguna komputer dapat memanfaatkan komputer secara legal, bermartabat, bermanfaat, produktif, aman, efisien, efektif, dan mampu meningkatkan daya saing negara.
di AGAMA berlaku ketentuan "meng-AGAMA-kan orang yang sudah beragama itu tidak etis, bahkan diangap musuh (penganut) AGAMA. dulu di kampung saya ada misionaris yang hampir mati dikeroyok karena dianggap merekrut penganut AGAMA tertentu (yang relatif miskin) untuk pindah ke AGAMA yang dibawa misionaris, dengan bantuan pangan dan obat-obatan. Sangat sensitif. Lah kalau di O/S komputer, "me-Linux-kan orang yang sudah ber-MS" dipandang hal biasa. bagi sementara kalangan malah wajib. sementara teman-teman MS memiliki misi "memelekkan orang yang belum melek komputer". jika kalimat saya ini benar, mana yang lebih mulia?
beberapa bulan lalu di Warta Ekonomi saya menulis kolom dengan judul "Be Legal". di sarasehan guru telematika se indonesia di semarang selasa 27 agustus 2007 lalu ketika menjawab pertanyaan peserta tentang apakah harus pilih Open Source (OS) atau proprieatry (MS) saya jawab, ada dua level isu: pertama berkaitan dengan dunia internasional, martabat bangsa, governance, jawabnya "Be Legal", kedua untuk menjadi legal Anda punya pilihan, mau yang berbayar atau yang free domain. yang berbayar bisa yang murah (atau gratis, tidak diharuskan membayar) atau yang mahal. yang murah atau gratis bisa diperoleh jika Anda (para guru pengajar dan pengelola unit telematika di sekolah) bisa rame - rame didukung pemerintah dan asosiasi minta harga discount, atau minta donasi kepada produsen proprietary sebagai realisasi Corporate Social Responsibility (CSR). yang mahal tidak usah dibahas. mau yang free domain? tinggal download Ubuntu, Debian, Redhat, Slackware, Suse, dll. dari Internet. Yang penting LEGAL.
Selanjutnya Mas Budi menyatakan, semua agama tentu tujuannya baik, tetapi kita memiliki agama yang berbeda-beda. Tentu saja masing-masing merasa bahwa agama dia yang paling benar. Jadi, meskipun tujuannya sama namun tetap akan ada perdebatan mengenai perbedaan itu. Jadi perdebatan Linux vs Microsoft bukan sekedar masalah rejeki akan tetapi masalah filosofi (Open Source vs. Proprietary).
Pada bagian akhir pernyataan Mas Budi mengatakan, Nah sekarang yang diperebutkan adalah orang-orang untuk mengikuti "agama TIK" kita. he he he. Oh ya. Dalam satu agamapun ada madzhab yang berbeda. Di Linux ada yang seperti ini juga. he he he. Misalnya ada yang suka Debian, Redhat, Slackware, Suse, ... dst.
Mencermati pendapat mas Budi saya melihat jika diskusi mengarah kepada aspek filosofi dan di-analogikan seperti agama, maka pertama, pada tataran filosofi, biasanya diskusinya fokus pada konsepsi, penalaranan, teoritis, metoda pemikiran, dan pengembangan keilmuan. lha dari yang saya baca di milist ini, ramenya hanya pada tataran aplikasi (baca penerapan suatu teknologi) yang kemudian terjebak pada isu-isu sempit. Saya ingat Mas Budi sempat ulas buku Cathedral and Bazaar (?) saya belum sempat baca cover to cover, hanya sekilas saja, rasanya buku-buku semacam inilah yang dapat menjadi titik tolak bagi pegiat open source (OS) ketika hendak berwacana pada tataran filosofis. Mungkin para teknolog (mengutip istilah yang dikemukakan oleh rekan Adi Indrayanto) masih lebih suka baca "bit and byte", yang terkesan heroic dan techiest. Adapun saya (yang sudah bukan teknolog) lebih suka baca bukunya John Mingers and Leslie Willcocks eds (2004) "Social Theory and Philosophy for Information System" dan karya James W. Cortada (2002) "Making The Information Society" (yang keduanya tidak ada nuansa heroic sama sekali, buku pertama kajian filosofis, buku kedua tentang know how, praktikal).
Kedua, jika dianalogikan seperti AGAMA, ada wajah lain dari agama yang barangkali berbeda dengan pergerakan open source dalam "melawan" hegemony proprietary. di lingkungan agama dunia, yang minoritas relatif stabil, sedangkan yang majorias sangat dipenuhi dengan dinamika bahkan pertentangan mengenai how to build a good society (dalam pengertian luas). yang disebabkan oleh adanya perbedaan pemahaman dan kepentingan politik. sementara itu di kancah system operasi komputer, kejadiannya terbalik, yang mayoritas (baca:penguasa pasar) tampil anggun, menjalankan strategi bisnis secara terencana, terukur dan terkendali, lobby-lobby politik dan bantuan ekonomi dilakukan di banyak negara, citra sebagai korporasi yang baik selalu diupayakan. sebaliknya pegiat open source (yang secara agregat masih dapat dikatakan sebagai minoritas) berbisnis layaknya organisasi LSM, bukan seperti lazimnya pelaku bisnis profesional. entrepreneurship memang menonjol dalam kiprah pegiat open source, namun entrepreneurship saja tidaklah cukup dalam industri ICT yang semakin kompetitif.
ketiga, di dalam AGAMA samawiyah, yang muncul belakangan (Islam) ternyata mendapat respon dan dianut oleh majoritas penduduk dunia, sementara yang diwahyukan sebelumnya (Kristen dan Yehuda) dianut oleh relatif kecil dibandingkan yang diwahyukan sesudahnya (Islam). mengapa hal ini terjadi, mungkin ahli sejarah agama lebih mahir untuk menjelaskan dari pada saya. dalam konteks sistem operasi komputer, keadaannya terbalik. proprietary (dalam hal ini MS) yang datang lebih dulu mampu bertahan dan malahan menjadi penguasa pasar.
dikatakan full proprietary sebenarnya juga tidak. jika boleh dibagi dalam kelompok, kelompok proprietary Operating System (O/S) generasi pertama adalah ketika mulai dibuatnya O/S untuk mendukung komputer, pada generasi ini semua O/S komputer adalah proprietary (karena hanya ada satu jenis). ketika komputer sudah masuk ke ranah industri komersial, masing- masing produsen membuat pembeda dari produsen komputer lainnya. hal inilah yang mendorong munculnya proprietary O/S generasi kedua, yang dapat dilihat dari adanya berbagai merek komputer dengan O/S yang spesifik, satu komputer tidak dapat berbicara dengan komputer merek lain. bagi mereka yang tahun 1970-1980an sudah belajar komputer mungkin masih ingat masing-masing merek punya O/S sendiri (saya dulu pakai PRIMOS, O/S-nya Prime computer). melihat akibat dari islandisation of O/S ini malah merugikan pengguna komputer, mulailah muncul UNIX yang diharapkan bisa menjadi "jembatan" bagi berbagai proprietary software. kompatibilitas dan konektivitas menjadi isu penting dalam UNIX. di Jakarta, mereka yang sudah bergiat di bidang komputer pada tahun 80-an hingga awal 90-an mudah-mudahan ingat ada organisasi INDONIX (Indonesian Unix User Society). Nah kembali ke generasi proprietary, MS muncul sebagai O/S generasi ketiga dengan ide mengatasi kendala yang timbul pada mesin-mesin besar, kalau tidak boleh dikatakan mencuri ide-nya UNIX. kompatibiltas dan konektivitas inilah yang digotong MS pertama kali. apapun komputernya O/S-nya MS. demikian kira-kira bahasa iklan meniru iklannya produk teh botol. jika kita cermati, dibalik visi bill gates (apapun komputer-nya, O/S-nya MS) terkandung masalah keterbukaan system (open system). open system inilah isu yang rame ketika mulai muncul UNIX dan sayangnya yang berhasil meraih sukses dalam skala besar hanya MS.
perkembangan selanjutnya, karena MS berdomisili di amrik yang menghargai dan melindungi karya cipta, mendorong inovasi dengan memberikan reward bagi para inovator, percaya bahwa kemakmuran sosial ekonomi dapat tercapai dari karya-karya penemuan, inovasi dan kompetisi sehat, maka MS tumbuh bak jamur di musim hujan. pertumbuhan me-raksasa ini menjadikan yang semula "terbuka" menjadi diusahakan "tertutup" kembali melalui mekanisme penerapan dan enforcement IPR. di banyak negara yang siap dengan dan mengantisipasi gelombang "penutupan kembali karya cipta yang semula terbuka" membuat kebijakan yang menguntungkan masyarakatnya, Bli Made bisa cerita bagaimana Jerman membuat kebijakan ini. pada tataran kebijakan, isu utama bukan pada pilihan "A" atau "B" atau lainnya, namun bagaimana pemerintah dan masyarakat penguna komputer dapat memanfaatkan komputer secara legal, bermartabat, bermanfaat, produktif, aman, efisien, efektif, dan mampu meningkatkan daya saing negara.
di AGAMA berlaku ketentuan "meng-AGAMA-kan orang yang sudah beragama itu tidak etis, bahkan diangap musuh (penganut) AGAMA. dulu di kampung saya ada misionaris yang hampir mati dikeroyok karena dianggap merekrut penganut AGAMA tertentu (yang relatif miskin) untuk pindah ke AGAMA yang dibawa misionaris, dengan bantuan pangan dan obat-obatan. Sangat sensitif. Lah kalau di O/S komputer, "me-Linux-kan orang yang sudah ber-MS" dipandang hal biasa. bagi sementara kalangan malah wajib. sementara teman-teman MS memiliki misi "memelekkan orang yang belum melek komputer". jika kalimat saya ini benar, mana yang lebih mulia?
beberapa bulan lalu di Warta Ekonomi saya menulis kolom dengan judul "Be Legal". di sarasehan guru telematika se indonesia di semarang selasa 27 agustus 2007 lalu ketika menjawab pertanyaan peserta tentang apakah harus pilih Open Source (OS) atau proprieatry (MS) saya jawab, ada dua level isu: pertama berkaitan dengan dunia internasional, martabat bangsa, governance, jawabnya "Be Legal", kedua untuk menjadi legal Anda punya pilihan, mau yang berbayar atau yang free domain. yang berbayar bisa yang murah (atau gratis, tidak diharuskan membayar) atau yang mahal. yang murah atau gratis bisa diperoleh jika Anda (para guru pengajar dan pengelola unit telematika di sekolah) bisa rame - rame didukung pemerintah dan asosiasi minta harga discount, atau minta donasi kepada produsen proprietary sebagai realisasi Corporate Social Responsibility (CSR). yang mahal tidak usah dibahas. mau yang free domain? tinggal download Ubuntu, Debian, Redhat, Slackware, Suse, dll. dari Internet. Yang penting LEGAL.
Saturday, September 17, 2011
Apa dan Bagaimana Mengukur Kinerja
Sudah jadi kelaziman, bahkan merupakan keharusan
bagi perusahaan untuk menetapkan strategi bisnis. Menjelang berakhirnya tahun
takwim perusahaan mulai menugaskan para manager membangun strategi untuk tahun
berikutnya. Banyak upaya dan sumber daya yang dibelanjakan untuk hasilkan
strategi, bahkan tak sedikit perusahaan yang menyewa konsultan untuk membangun
strategi bisnis agar lebih berhasil di tahun – tahun ke depan. Dan menjelang
tahun baru, jadilah strategi yang pembuatannya menghabiskan beratus jam kerja,
mengerahkan semua eksekutif, dan tak jarang harus meninggalkan kantor beberapa
hari hanya untuk rapat pembahasan strategi bisnis. Akan tetapi, setelah tahun
takwim mulai berjalan, strategi bisnis baik yang dikerjakan sendiri ataupun
yang dikerjakan konsultan, tak jarang yang berakir hanya sebagai buku
tesrsimpan rapi tampak indah dilemari pajangan. Perusahaan tetap saja dikelola
dengan gaya dan selera para pemimpinnya. Segala materi yang dibahas di ruang
rapat, ditulis sebagai dokumen perusahaan, seolah tak membekas sama sekali.
Manajemen perusahaan jarang atau bahkan tak pernah meninjau kembali untuk
melihat apakah hasil yang dicapai, atau kebijakan operasional yang dijalankan
sudah sesuai dengan strategi yang ditetapkan di awal tahun. Jika seperti ini
kondisi yang terjadi, beberapa hal yang layak dipertanyakan; seperti adakah
strategi yang dibangun sesuai dengan kondisi internal dan eksternal perusahaan?
Apakah semua personal memiliki komitmen untuk menerapkannya, apakah pimpinan
perusahaan memberikan komitmen untuk menjalankannya, dan adakah mekanisme
pengendalian serta pengukuran kinerja sehingga setiap orang di dalam lingkungan
perusahaan dapat dengan mudah mengetahui prestasi dan kinerjanya masing-masing,
setiap orang dapat mengukur apakah kinerjanya sesuai dengan target yang menjadi
kewajibannya?
Artikel ini dimaksudkan untuk membahas bagaimana
mengukur kinerja individu, kelompok, department, divisi dan perusahaan pasca
diimplementasikannya strategi bisnis. Bila sumber daya utama perusahaan (pasokan
bahan baku, brainware, modal, sistem dan prosedur, serta teknologi) sudah
dimiliki, sasaran semua jangka (pendek, menengah dan panjang) sudah ditetapkan,
strategi bisnis sudah dibuat? apalagi yang diperlukan? apakah yang sudah
dimiliki saat ini menjadi jaminan teraihnya sasaran dan sukses perusahaan?
rasanya belum jaminan. lalu apa dan bagaimana yang mesti disempurnakan?
Secara umum, individu dan atau organisasi
senantiasa ingin terus tumbuh menjadi lebih baik dari masa – masa sebelumnya. Peningkatan
kapasitas individu, kelompok kerja, atau organisasi tak mungkin terlaksana
kecuali ada suatu cara untuk mendapatkan umpan balik (fedback), yang didapat dari suatu mekanisme pengukuran. Bagi perusahaan
yang ukuran bisnisnya, jumlah asetnya, jangkauan usahanya, bidang usahanya,
sejarah dan track record masa lalu
sudah mencapai nilai tertentu sehingga layak dikategorikan sebagai perusahaan
menengah dan besar, dapat dikatakan memiliki hampir semua syarat yang
dibutuhkan perusahaan tersebut untuk tetap eksis alias survive sampai kurun waktu yang masih panjang ke depan. Pertanyaan
pertamanya, apakah sekedar survive?
jawabnya tentu TIDAK, apalagi bila memerhatikan kompentensi dan sumber daya
yang dimilikinya, suatu perusahaan sah-sah saja bercita – cita menjadi yang terbesar
di sektor yang digelutinya. Tak hanya terbesar ukuran bisnisnya namun pula
terbesar dari profitabilitas dan pertumbuhan bisnis dari tahun ke tahun.
Ambillah perusahaan pemegang konsensi eksplorasi
migas sebagai contoh untuk kita telaah strategi dan bagaimana mengukur
kinerjanya. memerhatikan sifat produknya, di sisi output rasanya tak perlu
susah payah bagi perusahaan untuk menjual migas hasil produksinya. Tak usah
repot-repot pasarkan ke luar negeri, pasar domestik masih membutuhkan energi
migas dalam jumlah sangat besar, bahkan rasanya tak akan pernah surut. Artinya,
di sisi marketing dan sales perusahaan migas tak terlalu habiskan effort dan
energi besar untuk memastikan produknya laku terjual. Jika di sisi output tak
perlu banyak risau, di mana mesti perlu perhatian besar?
Jawab singkatnya di faktor produksi, atau segala
sesuatu yang berkaitan dengan operasional. apa tantangannya di sini? Banyak. Di
antara yang banyak itu ada satu yang ingin saya sampaikan karena - rasanya
sangat penting, dan mudah-mudahan belum tersorot oleh "lampu strategi
bisnis" yang sudah dikembangkan, sehingga tulisan ini menjadi bermanfaat.
satu yang saya maksud adalah secara konsisten mengembangkan dan mengaplikasikan
alat ukur (parameter) kinerja.
Parameter kinerja? Ya. Kinerja individu, kelompok
kerja, department, divisi hingga korporat perlu diukur dengan benar, konsisten,
kontinyu dan konsekuen. Ukuran kinerja dapat dikelompokkan ke dalam dua
type dasar: yang terkait dengan hasil (output atau luaran seperti keunggulan
daya saing, kinerja keuangan, kinerja produksi, dan kinerja pemasaran), dan
yang fokus pada input penentu hasil (determinant
inputs) seperti kualitas, fleksibilitas, dan pemanfaatan sumberdaya (resource-based), dan inovasi. Hal
ini menyiratkan bahwa kerangka pengukuran kinerja dapat dibangun di sekitar
konsep hasil dan penentunya.
Mengapa kinerja perlu diukur dan perlu mendapat
perhatian ekstra? bukankah selama dan sekarang ini perusahaan telah menerapkan Key
Performance Indicators (KPI)? dan berbagai alat ukur kinerja manajemen
lainnya? apanya yang perlu diperbarui? Benar bahwa perusahaan telah menerapkan
berbagai management tools untuk memberikan gambaran pencapaian dan
prestasi. Persoalannya, adakah secara konsisten laporan kinerja tersebut digunakan
sebagai fedback bagi improvement? layaknya peralatan
instrument di pabrik memerlukan feedback
sebagai sarana kendali proses? apakah kinerja individu, kelompok kerja,
departmen dan divisi disajikan setiap periode secara terus menerus, sehingga
upaya perbaikan, jika terjadi penurunan atau penyimpangan, dapat segera
diindentifikasi, dikoreksi dan dilakukan tanpa menunggu sampai akhir tahun pada
saat performance appraisal untuk
menentukan merit, kenaikan gaji
maupun promosi. ini yang saya sebut sebagai continuous performance
managament system yang kemudian disinergikan dengan management control
system atau sistem pengendalian managemen.
Yang perlu diperhatikan, disukai atau tidak,
disadari atau dilupakan, pengukuran merupakan langkah pertama dari perbaikan (improvement).
Perbaikan sebaiknya dilakukan setiap waktu atau segera setelah diketahui
terjadi defect, tak harus menunggu berakhirnya suatu periode operasi. Dengan
mengukur kinerja manajer tahu posisi relatif terhadap target atau mengetahui
apakah strategi bisnis yang ditetapak di awal tahun telah secara optimal
dijalankan. Para manager memegang data prestasi masing-masing untuk mengetahui
posisi kinerjanya relatif terhadap orang lain, kelompok lain, maupun terhadap
sasaran perusahaan. Bila prestasi pada suatu periode operasional di bawah
target, pimpinan di atasnya akan mengingatkan agar lebih giat, menambah input
dan atau memerbaiki proses kerja sehingga kinerjanya dapat kembali on track.
Monitoring kinerja di lapangan relatif mudah
dilakukan seperti halnya monitoring kinerja proses operasional di fasilitas
produksi yang sudah terotomatisasi. Pertanyaannya, apakah juga mudah (dan kalau
mudah apakah sudah dilaksanakan) melakukan monitoring, evaluasi dan perbaikan
kinerja terhadap staf di kantor? Di mana variabel ukur tak sepenuhnya dengan
mudah diakses (muncul sendiri dari proses) atau diukur (karena sifatnya yang
kualitatif) atau hal-hal lain yang menyebabkan rendahnya objektivitas dalam
pengukuran.
Jika demikian, lantas bagaimana merancang dan membangun
sistem pengukuran kinerja, khususnya bagi mereka yang sifat pekerjaannya terus
menerus, susah diukur secara kuantitatif? Berbagai teori dan metoda pengukuran
kinerja telah disorongkan oleh pakar dan praktisi manajemen. Beberapa di
antaranya dapat diterapkan untuk semua jenis kegiatan usaha, dan beberapa
lainnya hanya cocok untuk jenis bisnis tertentu. Secara umum ada 20 item yang
layak menjadi perhatian dalam merancang dan menerapkan sistem pengukuran
kinerja, yakni sebaiknya:
1.
sederhana dan mudah digunakan,
2.
tujuan pengukuran terdefinisi dengan jelas dan
mudah dimengerti oleh semua personel,
3.
memberikan umpan balik yang cepat,
4.
mencakup semua elemen terkait (internal, external,
finansial dan nonfinansial),
5.
dikaitkan dengan peningkatan kinerja (performance improvement) tak hanya
monitoring,
6.
memperkuat (kembali) strategi perusahaan,
7.
berhubungan dengan sasaran perusahaan untuk jangka
pendek, menengah dan panjang,
8.
cocok dengan budaya organisasi (perusahaan),
9.
tidak ada konflik dengan sistem lain yang sudah berjalan,
10. terintegrasi
secara horisontal dan vertikal dengan struktur korporat,
11. konsisten dengan reward and recognition system yang
berlaku di perusahaan,
12. fokus pada apa
yang penting bagi customer,
13. fokus pada
dinamika persaingan di mana perusahaan ikut menjadi partisipan,
14. mengupayakan
identifikasi dan pengurangan limbah atau kelebihan bahan baku (waste) guna mencegah kemubaziran,
15. membantu dan
mendorong percepatan kapasitas perusahaan dalam proses pembelajaran (organization learning),
16. membantu terciptanya
konsensus untuk lakukan perubahan tatkala harapan pasar/customer berubah atau strategi dan prioritas mendorong perusahaan
melakukan hal-hal berbeda dari yang sedang berlaku,
17. evaluasi secara
proporsional peran individu dalam kelompok, peran kelompok dalam department,
peran departmen dalam divisi dan divisi dalam korporat,
18. seoptimal mungkin
gunakan ukuran numerik yang terstandar untuk semua sasaran perusahaan,
19. selalu tersedia
untuk di-review setiap saat dibutuhkan,
20. lakukan secara
konsisten baik perusahan dalam kondisi lancar maupun turbulen, bukan secara
insidentil, hanya apabila muncul situasi genting.
Guna memenuhi harapan di atas, sistem pengukuran kinerja
perlu memiliki:
1.
kumpulan data (data
base) dan metoda penghitungan kinerja, baik yang diukur secara kuantitatif
maupun kualitatif yang kemudian dikonversi menjadi kuantitatif, yang
terdefinisi dengan jelas;
2.
sarana yang dapat mengenali perbedaan lokasi, unit
kerja yang sifat dan kondisi kerjanya berlainan, hindari mentalitas "one
size fits all";
3.
mekanisme re-evaluasi secara periodik untuk
mengetahui apakah sistem pengukuran kinerja yang berlaku masih sesuai dengan
lingkungan kompetitif yang terus berubah;
4.
kemampuan untuk mengidentifikasi kompetisi,
melokalisir area yang bermasalah secara cepat dan akurat, membantu perusahaan
dalam memperbaharui objektif strategik dan dalam pembuatan keputusan taktis
guna mencapai sasaran dimaksud, dan menyediakan fedback sesudah
keputusan diimplementasikan; serta
5.
kemampuan untuk memastikan kompatibilitas ukuran
kinerja pada setiap fungsi dan level.
Esensinya, dengan semua elemen/lapisan
kinerja diukur maka akan tercipta suatu organisasi yang performance-nya top, soalnya kalau kinerja dari satu elemen rendah,
karena dideteksi dengan cepat, maka corrective
action dapat segera diambil untuk memperbaikinya. Akhirnya, karena
lingkungan usaha dan perekonomian terus berubah, manajer perlu secara terus
menerus meninjau dan menyempurnakan sistem pengukuran kinerja yang digunakan.
Kegagalan dalam modifikasi dapat menghambat kemampuan organisasi untuk menjadi pelaku
bisnis yang efektif dan efisien. *****
Monday, September 12, 2011
Kemalasan Dalam Zona Nyaman, Hambatan Utama Produktivitas, Bagaimana Mengatasinya?
Dalam tulisan terdahulu saya
menyebut mereka yang sudah berada pada zona nyaman (comfort zone) cenderung enggan melakukan perubahan, sehingga
potensial menjadi musuh latent bagi
upaya peningkatan produktivitas. Benarkah hanya kemalasan karena sudah nyaman
atau ada hal lain yang dapat dirujuk sebagai penyebab rendahnya produktivitas?
Bagaimana mengatasinya?
Ditinjau dari teori kesisteman, memahami
dan menemukan permasalahan produktivitas dapat dilihat dari elemen yang secara
bersama membentuk proses produksi. Proses produksi itu sendiri, dalam tataran
sederhana hanya terdiri dari tiga unsur: input, proses, dan output.
Produktivitas merupakan perban-dingan antara output dengan input untuk
mengetahui berapa rasio input menghasilkan input setelah input diproses. Atau
dalam kalimat lain produktivitas juga menunjukkan kemampuan proses mengkonversi
input menjadi output. Semakin efisien sebuah proses, dan semakin baik kualitas
input serta semakin bagus interaksi antara input dan proses, akan tercapai
output yang optimal.
Persoalannya, kondisi ideal
sebagaimana diharapkan tak selalu hadir, bahkan yang acap muncul justru kondisi
tidak ideal seperti misalnya, rendahnya kualitas input, kelangkaan kuantitas
input, kualifikasi proses di bawah spesifikasi (under specification), proses mengalami kerusakan, dan masih banyak
lagi. Dari sini dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa potensi penyebab
rendahnya produktivitas terentang dari input, proses hingga output-nya itu
sendiri. Lantas apa hubungannya dengan perilaku manusia yang berada dalam zona
nyaman? Bagaimana penjelasannya?
Setelah meninjau dari teori
kesisteman, kita cermati teori perilaku manusia (human behaviour theory) dan kaitan antara kedua teori tersebut.
Dalam teori kesisteman, manusia dikategorikan sebagai input, hal ini sejalan
dengan teori dasar ekonomi bahwa tenaga kerja (labor) yang nota bene manusia merupakan salah satu dari faktor
produksi (input) selain tanah (land) dan modal (capital). Tanah dan modal keduanya merupakan benda mati yang sifat
dan perannya ditentukan oleh pemilik (manusia). Sementara tenaga kerja adalah
juga manusia yang memiliki keunikan dan sifat kemanusiaan yang diterima dari
penciptanya (Allah SWT). Setiap manusia memiliki sifat unik, memiliki kesadaran
untuk berpikir dan bertindak secara rasional maupun emosional. Sifat dan
karakter inilah yang membedakan manusia dari binatang atau benda mati.
Sesuai fitrahnya, manusia
senantiasa berupaya mencapai posisi “paling atas’ , mendekati kesempurnaan
sifat Illahi, semampu yang dicapai atau diingininya. Di sinilah persoalannya. Posisi “paling atas” ini ternyata relatif antara satu
manusia dengan manusia lainnya.
Ada yang merasa kalau sudah mendapat pendidikan dasar saja sudah merasa
paling atas, namun ada pula lainnya yang merasa sudah “paling atas’ jika sudah
menempati posisi pimpinan negara atau pemerintahan. Mengapa setiap orang berbeda? Selain karena fitrahnya,
barangkali karena jika semua manusia sama, maka tidak dapat mereka saling
mengenal dan menghormati. Selain itu, ini barangkali yang paling penting,
perbedaan menimbulkan semangat
kompetisi untuk semakin maju, yang merasa posisinya belum mencapai “paling
atas” termotivasi untuk berupaya meningkatkan kualitasnya hingga mencapai
posisi “paling atas” sebagaimana diharapkan.
Mereka yang sadar dan senanatiasa
ingin terus bergerak “ke atas” mendekati sifat kesempurnaan Illahi inilah yang disebut
sebagai manusia produktif, sementara mereka yang sudah puas dengan posisi yang
didudukinya dan tak berniat atau berupaya mencapai posisi yang lebih tinggi
lagi, inilah kelompok yang sudah enggan bergerak dari zona nyaman. Tetapi
benarkah posisinya sudah nyaman betul, dan mereka tak mungkin tergulingkan dari
situ? Tak ada yang absolut, tak satupun orang dapat menjamin keberadaaan di
suatu posisi secara abadi. Jika demikian, lantas apakah berdiam diri di zona
nyaman layak dipertahankan? Jawabnya
sekali lagi kembali kepada masing-masing individu.
Bagaimana jika seseorang yang
sudah berada di zona nyaman ingin bergerak keluar, mencari keseimbangan baru,
namun tak mampu mengerjakannya sendiri? Ini pertanda bagus. Artinya, dalam
dirinya sudah muncul dorongan perubahan. Tinggal berapa besar energi perubahan
yang ada pada dirinya. Teori fisika mengatakan perubahan posisi suatu benda
dapat terjadi bila ada energi yang lebih besar dari moment massa tersebut.
Energi tersebut dapat datang dari dirinya sendiri, misal erupsi gunung berapi,
atau bergeraknya pesawat terbang, kapal, dan mobil; atau datang dari luar
seperti misalnya besi diangkat oleh crane,
meja didorong oleh orang. Pada mereka yang sudah muncul energi perubahan di
dalam dirinya, tantangannya bagaimana membesarkan energi tersebut hingga
terakumulasi dan mampu merobohkan hambatan kelembaman. Ada sementara orang yang
mampu membangun energi sehingga semakin membara dan membesar, orang – orang
seperti ini kita sebut self developer. Namun ada lebih banyak orang yang perlu
dibantu dari luar dalam membangun energinya.
Di pihak lain, mereka yang sama
sekali tidak punya keingingan untuk berubah, ingin melanggengkan posisinya di
dalam zona nyaman, untuk dan atas nama kepentingan publik yang lebih luas,
tindakan yang pantas kepada mereka adalah tidak dimasukkan ke dalam status
sebagai input, alias dilepas statusnya sebagai bagian dari proses produksi.
Mengutip ajaran yang diberikan
oleh CEO Bakrie Metal Industries (BMI) Bapak Santoso Wardoyo Ramelan (SWR)
bahwa ada tiga penyebab rendahnya produktivitas: malas, maling dan mubazir
(yang disebut sebagai Tiga-M), maka berdiam diri dalam zona nyaman sesuai
dengan kriteria malas. Mengapa demikian? Seseorang yang malas sama dengan input
yang tidak berkualitas, yang pada gilirannya akan memengaruhi proses dan
akhirnya output. Misal, si A memiliki kemampuan mengelas dengan kualitas baik
10 meter sambungan per hari kerja, namun karena dia malas, tak dipergunakan
semua kemampuannya sehingga hanya hasilkan 6 meter sambungan untuk jam kerja
yang sama. Apa dampaknya? Durasi penyelesaian pekerjaan semakin lama, biaya
bertambah, dan akhirnya alih-alih meraih untung, rugi yang didapat.
Jika hanya satu orang (si A saja)
tak terlalu masalah, menjadi problem besar jika perilaku semacam ini mewabah
hingga majoritas pekerja, di suatu organisasi, industri bahkan nasional.
Dampaknya produktivitas nasional menurun, daya saing hilang, dan prospek
ekonomi menyuram, hingga akhirnya manusia hidup dalam perekonomian yang serba
susah.
Beranjak dari zona nyaman,
meninggalkan kemalasan, keduanya menuju suatu keseimbangan baru dipercaya
merupakan salah satu upaya dari sekian banyak resep meningkatkan produktivitas.
Kembali ke elemen produksi, sebagaimana disebutkan manusia memang bukan
satu-satunya elemen produksi; meski demikian manusia-lah satu-satunya elemen
produksi yang dapat mengubah sifat, bentuk, jumlah, kualitas, dan kinerja
elemen produksi lainnya. Dalam konteks ini manusia sebagai aktor utama yang
berperan menentukan produktif tidaknya suatu venture. Jika demikian sentralnya fungsi dan peran manusia, mengapa
tidak semua manusia memahaminya? Dan bila ada yang sudah paham, mengapa tidak
berperan secara optimal? Dan bila sudah berperan secara optimal mengapa masih
saja ada venture yang gagal?
Kita cari jawabnya di artikel selanjutnya.
Saturday, September 10, 2011
Produktivitas, Dari Mana Asal-Usulnya? Apa Hambatannya?
Produktivitas, banyak pihak membicarakan bagaimana meningkatkan produktivitas, namun tidak semua mengetahui mengapa perlu ditingkatkan dan dan bagaimana meningkatkannya? Apa kiat – kita yang perlu diketahui sehingga keinginan meningkatkan produktivitas tercapai.
Dalam sistem ekonomi pasar pendapatan (income) ditentukan oleh produktivitas tenaga kerja (labor); yakni oleh output hasil kerja manusia, yang dipengaruhi oleh ketrampilan (skills) baik individu maupun secara agregat, modal yang diinvestasikan dalam sebuah usaha seperti implementasi teknologi canggih bebasis komputer, dan oleh efektivitas organisasi dalam mengelola dan mengawasi bisnisnya di mana ia bergerak memberikan fungsi secara optimal.
Dalam perjalanan waktu, produktivitas dapat dimaksudkan sebagai produktivitas nasional, individu atau organisasi/perusahaan. Produktivitas nasional dapat diformulasikan sebagai agregat dari produktivitas individu dan organisasi dalam suatu wilayah negara. Produktivitas, baik pada level nasional, individu maupun organisasi dapat meningkat ketika modal (input) ditambahkan. Modal memberi stimulus baru dalam proses produksi sehingga outputnya meningkat. Produktivitas dapat pula meningkat tatkala disuntikkan insentif ke dalam mekanisme pasar (dalam produktivitas nasional) maupun insentif kebijakan ke dalam organisasi (dalam produktivitas organisasi). Insentif atau kebijakan tertentu mengubah proses produksi yang dari perubahan tersebut diharapkan terjadi efek amplifikasi (pembesaran) input beberapa kali sehingga outputnya menjadi lebih besar. Sebagaimana diketahui rumus sederhana produktivitas adalah output dibagi input. Memainkan variabel input dan atau proses diharapkan dapat memengaruhi output.
Salah satu contoh peningkatan produktivitas yang dilakukan melalui insentif kebijakan dapat dilihat ketika pemerintah China pada tahun 1978-80 mengijinkan para petani untuk menjual kelebihan produksi yang dhasilkannya lantaran melebihi target yang direncanakan secara terpusat oleh Partai Penguasa. Kebijakan ini mendorong petani menghasilkan output yang lebih besar dari kewajiban yang telah digariskan, timbul motivasi individu untuk meraih lebih banyak pendapatan (income).
Akan tetapi, sementara insentif pasar dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas, ia tak senantiasa sanggup menghasilkan perubahan yang berke-lanjutan dalam produktivitas dan pendapatan. Artinya, ada suatu ambang batas di mana produktivitas tak dapat dinaikkan lagi meski berapapun modal (input) ditambahkan. Kondisi ini disebut the maximum limit of production capacity. Bila input terus ditambah, alih-alih meningkatkan output, yang terjadi justru sebaliknya, penurunan output yang dalam jangka panjang dapat mengurangi atau bahkan merusak sistem produksi yang sebelumnya telah solid. Hal ini menyiratkan sebuah sinyal pentingnya manajemen organisasi memahami batas – batas kekuatan organisasi dalam aktivitas produksi.
Pertanyaannya, fakta dari tahun ke tahun, secara agregat yang terjadi justru peningkatan produktivitas, khususnya di negara – negara maju. Artinya hipotesis batas maksimum kapasitas produksi terhadap penambahan input menjadi tidak relevan dalam kondisi tertentu. Kondisi yang bagaimana?
Jawabnya tak lain adalah ketika ada inovasi, yang secara sederhana didefinisikan sebagai kemajuan teknologi yang senantiasa memperbaharui proses produksi dengan implementasi teknik-teknik terbaru yang secara signifikan meningkatkan kapasitas produksi sehingga mampu menampung penambahan input dan tetap menghasilkan penambahan ouput. Bila dalam pengertian pertama, proses produksi diasumsikan sebagai statis, maka dengan inovasi yang berkelanjutan asumsinya bergeser, proses produksi diperlakukan sebagai sesuatu yang dinamis baik sistem di dalamnya maupun lingkungan luar yang memengaruhinya.
Inovasi memastikan dengan kuantitas dan kualitas input (modal, tenaga kerja, bahan baku, energi) yang sama organisasi mampu menghasilkan output yang lebih banyak dan lebih bagus (bernilai). Dalam sudut pandang lain, inovasi yang berujung pada peningkatan produktivitas dapat pula berarti upaya penurunan biaya produksi untuk hasilkan sejumlah output yang lebih besar.
Inovasi pada umumnya mengintroduksi teknologi, baik teknologi baru yang sebelumnya tak ada, atau teknologi lama yang di-upgrade kinerjanya, maupun penggabungan beberapa teknologi menjadi suatu fungsi tertentu yang bermanfaat pada suatu proses produksi tertentu. Banyak contoh inovasi berbasis teknologi berhasil memfasilitasi peningkatan produktivitas: teknologi komputasi meng-ekonomis-kan tenaga kerja dengan cara mengurangi proses manual dan berulang, sementara teknologi lain memacu efisiensi investasi, seperti teknologi monitoring kualitas produksi secara otomatik untuk gantikan teknik serupa model lama yang sangat mahal dan butuhkan interaksi intensif antara manusia dan mesin, atau teknologi selular yang mengurangi secara signifikan biaya penggelaran jaringan kabel (network deployment).
Sementara inovasi diakui sebagai salah satu sarana dalam upaya peningkatan produktivitas, persoalan lain yang masih belum jelas bagi kita adalah bagaimana memacu inovasi? Apakah kita akan selalu ikuti derap kemajuan teknologi hasil inovasi bangsa lain atau lakukan inovasi karya sendiri?
Dalam banyak hal, harus kita akui, bangsa ini baru mampu berperan sebagai pengguna teknologi, walau dalam banyak kasus, dengan skala relatif kecil sudah mampu hasilkan karya berbasis inovasi. Konsekuensi dan tantangan dari posisi sebagai pengguna adalah bagaimana memanfaatkan teknologi hasil inovasi orang lain sebagai sarana (tools) bagi inovasi baru di lingkungan organisasi yang kita kelola. Agar mudah dipahami diberikan contoh sebagai berikut. Komputer adalah karya inovasi teknologi yang dihasilkan oleh bangsa lain. nah tantangan bagi kita sebagai pengguna komputer, adalah bagaimana kita manfaatkan komputer sebagai alat bantu dalam melakukan inovasi yang sesuai dengan bidang tugas dan kegiatan kita, misalnya komputer kita gunakan untuk menata ulang prses produksi, komputer kita gunakan dalam proses rekayasa dan lain sebagainya.
Para pakar produktivitas memperkenalkan terminologi Total Faktor Productivity (TFP) yang secara sederhana dimaknai sebagai seberapa besar suatu entitas (negara, organisasi, individu) mampu berproduksi dengan seperangkat input yang telah ditetapkan. Dalam mekanisme pasar yang utuh (tidak terdistorsi) TFP berubah mengikuti hasil inovasi dan kemajuan teknologi. Hal ini berarti TFP suatu negara, misalnya, diprediksi akan berubah bila negara tesebut mengadopsi teknologi atau knowledge yang sudah terbukti memberikan hasil positif/negatif di negara lain. Peristiwa ini menjelaskan mengapa perlu terjadi transfer of technology atau transfer of knowledge baik pada skala negara, organisasi maupun individu.
Jika dicermati, transfer of technology maupun knowledge tak lebih tak kurang sebangun dengan proses belajar, yang belum tahu menggali, melalui proses induksi maupun deduksi guna meraih nilai tambah, dari sebelumya tidak tahu menjadi lebih tahu, dari sebelumnya kapasitas, misalnya hanya 3 menjadi -misalnya - 9 maka terjadi delta atau perubahan positif 200%.
Walhasil, produktivitas menuntut para pelaku produksi untuk secara kontinyu dan konsisten belajar, menyerap, mengadopsi, mengimplementasikan teknologi yang telah terbukti memberi keberhasilan kepada orang lain guna memberikan manfaat bagi dirinya. Dengan inovasi dan proses belajar, terbuka peluang terciptanya nilai tambah atau munculnya produk-produk baru, atau teknik – teknik baru untuk hasilkan produk yang sebelumya telah dihasilkan.
Oleh karena itu, peningkatan produktivitas bukan kerja sihir atau sulap, ia tercapai setelah melalui proses perubahan yang terencana, terkendali dan terukur. Produktivas harus diciptakan, bukan datang sendiri. Pendekatan yang saya jelaskan ini oleh para ahli disebut pendekatan endogenous, menciptakan pertumbuhan dan produktivitas sebagai bagian dari model dinamis dalam pengelolaan organisasi, produktivitas dihasilkan sebagai dampak dari proses perubahan yang dilakukan di dalam organisasi, bukan datang tiba – tiba dari lingkungan luar.
Apa keunggulan dari model endogenous ini? Dengan asumsi para pengelola organisasi memahami karakter dan budaya organisasinya, maka jika suatu saat proses produksi sudah tak sesuai dengan tuntutan pasar, maka lingkungan internal itu sendirilah yang secara sukarela mengubah tatanan guna menemukan hal – hal baru, melakukan inovasi lanjut guna gantikan hasil inovasi sebelumnya (oleh Joseph Schumpeter disebut creative destruction). Secara hipothesis perubahan yang dipicu oleh kesadaran internal terhadap lingkungannya sendiri, dilakukan oleh dirinya sendiri yang hasilnya dinikmati sendiri, resistensinya relatif kecil dibandingkan dengan perubahan yang dipicu dari luar organisasi.
Persoalannya seringkali para manager sudah duduk lupa berdiri singsingkan lengan baju pelopori perubahan, jika sudah berada di comfort zone enggan beranjak untuk lalukan perubahan secara mendasar, hingga kalaupun ikut dalam arus perbuahan hanya beranjak pada tataran perubahan kosmetik belaka. Inilah sejatinya musuh latent produktivitas. Bagaimana menyikapinya? Perlu kajian tersendiri. *****
Rempoa, Sabtu 10 September 2011.
Serie selanjutnya: Bagaimana Atasi Hambatan Produktivitas.
Dalam sistem ekonomi pasar pendapatan (income) ditentukan oleh produktivitas tenaga kerja (labor); yakni oleh output hasil kerja manusia, yang dipengaruhi oleh ketrampilan (skills) baik individu maupun secara agregat, modal yang diinvestasikan dalam sebuah usaha seperti implementasi teknologi canggih bebasis komputer, dan oleh efektivitas organisasi dalam mengelola dan mengawasi bisnisnya di mana ia bergerak memberikan fungsi secara optimal.
Dalam perjalanan waktu, produktivitas dapat dimaksudkan sebagai produktivitas nasional, individu atau organisasi/perusahaan. Produktivitas nasional dapat diformulasikan sebagai agregat dari produktivitas individu dan organisasi dalam suatu wilayah negara. Produktivitas, baik pada level nasional, individu maupun organisasi dapat meningkat ketika modal (input) ditambahkan. Modal memberi stimulus baru dalam proses produksi sehingga outputnya meningkat. Produktivitas dapat pula meningkat tatkala disuntikkan insentif ke dalam mekanisme pasar (dalam produktivitas nasional) maupun insentif kebijakan ke dalam organisasi (dalam produktivitas organisasi). Insentif atau kebijakan tertentu mengubah proses produksi yang dari perubahan tersebut diharapkan terjadi efek amplifikasi (pembesaran) input beberapa kali sehingga outputnya menjadi lebih besar. Sebagaimana diketahui rumus sederhana produktivitas adalah output dibagi input. Memainkan variabel input dan atau proses diharapkan dapat memengaruhi output.
Salah satu contoh peningkatan produktivitas yang dilakukan melalui insentif kebijakan dapat dilihat ketika pemerintah China pada tahun 1978-80 mengijinkan para petani untuk menjual kelebihan produksi yang dhasilkannya lantaran melebihi target yang direncanakan secara terpusat oleh Partai Penguasa. Kebijakan ini mendorong petani menghasilkan output yang lebih besar dari kewajiban yang telah digariskan, timbul motivasi individu untuk meraih lebih banyak pendapatan (income).
Akan tetapi, sementara insentif pasar dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas, ia tak senantiasa sanggup menghasilkan perubahan yang berke-lanjutan dalam produktivitas dan pendapatan. Artinya, ada suatu ambang batas di mana produktivitas tak dapat dinaikkan lagi meski berapapun modal (input) ditambahkan. Kondisi ini disebut the maximum limit of production capacity. Bila input terus ditambah, alih-alih meningkatkan output, yang terjadi justru sebaliknya, penurunan output yang dalam jangka panjang dapat mengurangi atau bahkan merusak sistem produksi yang sebelumnya telah solid. Hal ini menyiratkan sebuah sinyal pentingnya manajemen organisasi memahami batas – batas kekuatan organisasi dalam aktivitas produksi.
Pertanyaannya, fakta dari tahun ke tahun, secara agregat yang terjadi justru peningkatan produktivitas, khususnya di negara – negara maju. Artinya hipotesis batas maksimum kapasitas produksi terhadap penambahan input menjadi tidak relevan dalam kondisi tertentu. Kondisi yang bagaimana?
Jawabnya tak lain adalah ketika ada inovasi, yang secara sederhana didefinisikan sebagai kemajuan teknologi yang senantiasa memperbaharui proses produksi dengan implementasi teknik-teknik terbaru yang secara signifikan meningkatkan kapasitas produksi sehingga mampu menampung penambahan input dan tetap menghasilkan penambahan ouput. Bila dalam pengertian pertama, proses produksi diasumsikan sebagai statis, maka dengan inovasi yang berkelanjutan asumsinya bergeser, proses produksi diperlakukan sebagai sesuatu yang dinamis baik sistem di dalamnya maupun lingkungan luar yang memengaruhinya.
Inovasi memastikan dengan kuantitas dan kualitas input (modal, tenaga kerja, bahan baku, energi) yang sama organisasi mampu menghasilkan output yang lebih banyak dan lebih bagus (bernilai). Dalam sudut pandang lain, inovasi yang berujung pada peningkatan produktivitas dapat pula berarti upaya penurunan biaya produksi untuk hasilkan sejumlah output yang lebih besar.
Inovasi pada umumnya mengintroduksi teknologi, baik teknologi baru yang sebelumnya tak ada, atau teknologi lama yang di-upgrade kinerjanya, maupun penggabungan beberapa teknologi menjadi suatu fungsi tertentu yang bermanfaat pada suatu proses produksi tertentu. Banyak contoh inovasi berbasis teknologi berhasil memfasilitasi peningkatan produktivitas: teknologi komputasi meng-ekonomis-kan tenaga kerja dengan cara mengurangi proses manual dan berulang, sementara teknologi lain memacu efisiensi investasi, seperti teknologi monitoring kualitas produksi secara otomatik untuk gantikan teknik serupa model lama yang sangat mahal dan butuhkan interaksi intensif antara manusia dan mesin, atau teknologi selular yang mengurangi secara signifikan biaya penggelaran jaringan kabel (network deployment).
Sementara inovasi diakui sebagai salah satu sarana dalam upaya peningkatan produktivitas, persoalan lain yang masih belum jelas bagi kita adalah bagaimana memacu inovasi? Apakah kita akan selalu ikuti derap kemajuan teknologi hasil inovasi bangsa lain atau lakukan inovasi karya sendiri?
Dalam banyak hal, harus kita akui, bangsa ini baru mampu berperan sebagai pengguna teknologi, walau dalam banyak kasus, dengan skala relatif kecil sudah mampu hasilkan karya berbasis inovasi. Konsekuensi dan tantangan dari posisi sebagai pengguna adalah bagaimana memanfaatkan teknologi hasil inovasi orang lain sebagai sarana (tools) bagi inovasi baru di lingkungan organisasi yang kita kelola. Agar mudah dipahami diberikan contoh sebagai berikut. Komputer adalah karya inovasi teknologi yang dihasilkan oleh bangsa lain. nah tantangan bagi kita sebagai pengguna komputer, adalah bagaimana kita manfaatkan komputer sebagai alat bantu dalam melakukan inovasi yang sesuai dengan bidang tugas dan kegiatan kita, misalnya komputer kita gunakan untuk menata ulang prses produksi, komputer kita gunakan dalam proses rekayasa dan lain sebagainya.
Para pakar produktivitas memperkenalkan terminologi Total Faktor Productivity (TFP) yang secara sederhana dimaknai sebagai seberapa besar suatu entitas (negara, organisasi, individu) mampu berproduksi dengan seperangkat input yang telah ditetapkan. Dalam mekanisme pasar yang utuh (tidak terdistorsi) TFP berubah mengikuti hasil inovasi dan kemajuan teknologi. Hal ini berarti TFP suatu negara, misalnya, diprediksi akan berubah bila negara tesebut mengadopsi teknologi atau knowledge yang sudah terbukti memberikan hasil positif/negatif di negara lain. Peristiwa ini menjelaskan mengapa perlu terjadi transfer of technology atau transfer of knowledge baik pada skala negara, organisasi maupun individu.
Jika dicermati, transfer of technology maupun knowledge tak lebih tak kurang sebangun dengan proses belajar, yang belum tahu menggali, melalui proses induksi maupun deduksi guna meraih nilai tambah, dari sebelumya tidak tahu menjadi lebih tahu, dari sebelumnya kapasitas, misalnya hanya 3 menjadi -misalnya - 9 maka terjadi delta atau perubahan positif 200%.
Walhasil, produktivitas menuntut para pelaku produksi untuk secara kontinyu dan konsisten belajar, menyerap, mengadopsi, mengimplementasikan teknologi yang telah terbukti memberi keberhasilan kepada orang lain guna memberikan manfaat bagi dirinya. Dengan inovasi dan proses belajar, terbuka peluang terciptanya nilai tambah atau munculnya produk-produk baru, atau teknik – teknik baru untuk hasilkan produk yang sebelumya telah dihasilkan.
Oleh karena itu, peningkatan produktivitas bukan kerja sihir atau sulap, ia tercapai setelah melalui proses perubahan yang terencana, terkendali dan terukur. Produktivas harus diciptakan, bukan datang sendiri. Pendekatan yang saya jelaskan ini oleh para ahli disebut pendekatan endogenous, menciptakan pertumbuhan dan produktivitas sebagai bagian dari model dinamis dalam pengelolaan organisasi, produktivitas dihasilkan sebagai dampak dari proses perubahan yang dilakukan di dalam organisasi, bukan datang tiba – tiba dari lingkungan luar.
Apa keunggulan dari model endogenous ini? Dengan asumsi para pengelola organisasi memahami karakter dan budaya organisasinya, maka jika suatu saat proses produksi sudah tak sesuai dengan tuntutan pasar, maka lingkungan internal itu sendirilah yang secara sukarela mengubah tatanan guna menemukan hal – hal baru, melakukan inovasi lanjut guna gantikan hasil inovasi sebelumnya (oleh Joseph Schumpeter disebut creative destruction). Secara hipothesis perubahan yang dipicu oleh kesadaran internal terhadap lingkungannya sendiri, dilakukan oleh dirinya sendiri yang hasilnya dinikmati sendiri, resistensinya relatif kecil dibandingkan dengan perubahan yang dipicu dari luar organisasi.
Persoalannya seringkali para manager sudah duduk lupa berdiri singsingkan lengan baju pelopori perubahan, jika sudah berada di comfort zone enggan beranjak untuk lalukan perubahan secara mendasar, hingga kalaupun ikut dalam arus perbuahan hanya beranjak pada tataran perubahan kosmetik belaka. Inilah sejatinya musuh latent produktivitas. Bagaimana menyikapinya? Perlu kajian tersendiri. *****
Rempoa, Sabtu 10 September 2011.
Serie selanjutnya: Bagaimana Atasi Hambatan Produktivitas.
Wednesday, April 27, 2011
Triple Bottom Line: Bisnis Bukan Hanya Cari Profit
Sekarang ini, mengutamakan profit tak lagi menjamin bisnis terus mendapat untung, eksploitasi bisnis tanpa memerhatikan lingkungan sosial, alih – alih mendapat untung, lambat ataupun cepat malahan menjadi buntung. Masih banyak pelaku bisnis yang beranggapan bahwa keuntungan yang diraihnya merupakan hasil karya mereka sendiri, peran lingkungan dan sosial masyarakat, tak masuk dalam hitungan. Padahal faktor internal perusahaan seperti modal, investasi, pegawai, manajemen, sistem dan prosedur hanyalah bagian kesil dari ekosistem bisnis yang mendukung keberadaan dan kelangsungan hidup industri. Alhasil, ketika ketidak-pedulian ini semakin tinggi, industri terus mengeksploitasi sumber daya tanpa memerhatikan keseimbangan lingkungan dan kepentingan sosial, bencana tak dapat dihindarkan. Banyak perusahaan lambat namun pasti akan merugi, bangkrut, dan akhirnya industri tertentu akan punah.
Ada banyak contoh yang dapat mendukung pernyataan di atas, salah satunya adalah punahnya industri penangkapan ikan paus (whale) di Amerika Utara. Bisnis perburuan paus sempat booming pada 1840-an, terus berlanjut hingga 1950-an. Perburuan paus dan ikan – ikan jenis lainnya yang nilai komersialnya tinggi secara luar biasa banyaknya dan terus menerus selama hampir 100 tahun, tanpa menghiraukan kecepatan tumbuh binatang buruan tersebut, menuai berturun drastisnya populasi paus sehingga semakin sulit nelayan menangkap ikan dan pabrik-pabrik pengolahan ikan tutup dan akhirnya habislah industri penangkapan paus amerika utara.
Praktek semacam yang dilakukan industri penangkapan paus di Amerika Utara awal abad 20 ternyata masih ditiru oleh berbagai sektor bisnis lain terutama yang mengandalkan sumber daya alam sebagai bahan baku komoditas, seperti namun tidak terbatas pada pertambangan, perhutanan, dan penangkapan ikan. Dalam jangka pendek mungkin belum dirasa dampaknya, namun mengacu prinsip going concern yakni bisnis mesti terus berlangsung sepanjang hayat, maka dalam jangka panjang bisa jadi pasokan bahan baku (minyak bumi, batu bara, kayu, ikan) habis, berhentilah kegiatan industri – industri tersebut.
Jadi kata kunci yang ingin disampaikan di sini adalah kelestarian bisnis (business sustainability) yang perlu menjadi paradigma baru bagi segenap pelaku bisnis di sektor apapun. Pertanyaan sederhananya, bagaimana pelaku bisnis sebaiknya mengelola perusahaannya sedemikian rupa sehingga lestari. Bukankah dalam menjalani bisnis perusahaan tak hanya membutuhkan sumber daya keuangan (seperti investasi dalam wujud mata uang dan penghasilan dari penjualan) namun juga sumber daya lingkungan seperti air, energi listrik, bahan baku; dan sumber daya sosial seperti sumber daya manusia serta infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah?
Awalnya para ahli manajemen berteori bahwa bisnis akan terus eksis bila secara konsisten dalam periode yang panjang meraih untung wajar. Persoalannya untuk dapat konsisten dalam periode panjang tak hanya membutuhkan kepiawaian dalam mengelola perusahaan melainkan juga perlu dan kuatnya dukungan lingkungan eksternal berupa lingkungan dan sosial. Kita tahu, bahan baku atau segala macam yang dibutuhkan industri mesti didatangkan dari pihak luar. Nah apabila pihak luar ini tak mampu lagi mendukung karena berbagai alasan, maka kelestarian perusahaan masuk ke dalam kategori bahaya. Demikian juga ketika produk yang dihasilkan tak berterima di masyarakat lantaran produknya dianggap jelek atau membahayakan, atau proses produksinya mencemari lingkungan, atau sebab – sebab lainnya, maka inipun pada akhirnya akan membuka peluang bagi berhentinya aktivitas suatu industri.
Pertumbuhan ekonomi dan sukses finansial adalah penting dan memberikan manfaat signifikan bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan. Namun demikian nilai – nilai kemanusiaan lainnya – seperti keharmonisan rumah tangga, pertumbuhan kecerdasan sosial, ekspresi seni, pembangunan moral, spiritual dan etika - juga tak kalah pentingnya untuk diperhatikan dan dimasukkan dalam pengelolaan perusahaan. Kelestarian usaha dalam konteks ini diartikan sebagai mengelola bisnis untuk meraih untung dan pertumbuhan bersamaan dengan itu mengenali dan mendukung aspirasi ekonomi dan non-ekonomi masyarakat baik di dalam maupun di luar perusahaan, di mana keberadaan bisnis bergantung kepadanya.
Dalam tataran operasional strategik, meraih kelestarian bisnis dapat dilakukan dengan identifikasi segenap stakeholder, membangun hubungan erat dengan mereka, dan temukan cara terbaik untuk bekerja sama secara menguntungkan bagi semua pihak. Bila hal ini dapat dikerjakan, dalam jangka panjang dapat menciptakan profit dan atau manfaat yang lebih besar tak hanya bagi perusahaan, namun juga memberi kemakmuran sosial, ekonomi dan lingkungan bagi masayarakat.
Mereka yang sudah menyadari dan meyakini perlunya sinergi dengan lingkungan sosial dimana perusahaan eksis, mengaktualisasikannya ke dalam program Corporate Social Responsibility (CSR). Istilah CSR lebih banyak mengandung makna tanggung jawab (responsibility) bagi perusahaan terhadap lingkungan sosial. Jadi lebih fokus pada lingkungan luar, padahal kelestarian bisnis (sustainability) memberi makna kesamaan pentingnya meraih manfaat yang dinikmati oleh bisnis itu sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk meraih sustainability, perusahaan perlu peduli terhadap lingkungan alam sekitar (natural environment), hak-hak pegawai, perlindungan konsumen, corporate governance, dan pengaruh perilaku bisnis terhadap issue-issue sosial pada umumnya seperti kekurangan pangan, kemiskinan, pendidikan, perawatan kesehatan, HAM, yang semuanya dihubungkan dengan profit.
Berangkat dari perspektif CSR di atas ada sebagian pihak yang membuat tantangan “bagaimana masyarakat dapat memetik manfaat jika perusahaan melakukan lebih banyak tindakan yang bertangung jawab (responsible approach)?” pertanyaan tantangan tersebut menjadi kurang relevan lagi karena yang lebih penting justru “bagaimana perusahaan meraih untung semakin banyak dengan mengerjakan hal-hal yang benar termasuk memberi perhatian besar terhadap lingkungan (environmental) dan sosial kemasyarakatan.
Menjawab pertanyaan terakhir, John Elkington menawarkan konsep Triple Bottom Line (TBL). Elkington menganjurkan agar bisnis perlu mengukur sukses (atau kinerja) tak hanya dengan kinerja keuangan (berapa besar deviden atau bottom line yang dihasilkan, yang dinyatakan dalam rasio seperti ROI, profitabilitas, shareholder value) namun juga dengan pengaruh mereka terhadap perekonomian secara luas, lingkungan dan masyarakat di mana mereka beroperasi. Bisnis yang lestari perlu memiliki kemampuan untuk mengukur, mendokumentasikan, dan melaporkan ROI yang positif untuk semua tiga bottom lines – ekonomi, lingkungan (environmental), dan sosial yang masing-masing setara besarnya. TBL yang positif merefleksikan peningkatan nilai perusahaan, termasuk profitabilitas dan shareholder value, serta nilai sosial, kemanusiaan dan modal lingkungan.
Bagaimana mewujudkan TBL dalam praktek perusahaan? Siapa saja perusahaan di Indonesia yang sudah menerapkan TBL? Bagaimana perubahan yang terjadi setelah perusahaan menerapkan TBL, baik terhadap lingkungan internal maupun eksternal? Bagaimana reaksi shareholder atas penerapan TBL di perusahaan milik mereka? Bagaimana dukungan pegawai terhadap implementasi TBL? Adakah pihak yang menentang konsep maupun implementasi TBL? Bila ada, apa argumen mereka?
Pertanyaan – pertanyaan tersebut di atas layak mendapat jawaban. Sementara ini saya masih mengumpulkan jawabannya. Barangkali di antara Anda ada yang sudah punya data dan berkenan memberikan jawabannya, tentu kita semua akan sangat senang untuk diskusikan di forum ini.
Ada banyak contoh yang dapat mendukung pernyataan di atas, salah satunya adalah punahnya industri penangkapan ikan paus (whale) di Amerika Utara. Bisnis perburuan paus sempat booming pada 1840-an, terus berlanjut hingga 1950-an. Perburuan paus dan ikan – ikan jenis lainnya yang nilai komersialnya tinggi secara luar biasa banyaknya dan terus menerus selama hampir 100 tahun, tanpa menghiraukan kecepatan tumbuh binatang buruan tersebut, menuai berturun drastisnya populasi paus sehingga semakin sulit nelayan menangkap ikan dan pabrik-pabrik pengolahan ikan tutup dan akhirnya habislah industri penangkapan paus amerika utara.
Praktek semacam yang dilakukan industri penangkapan paus di Amerika Utara awal abad 20 ternyata masih ditiru oleh berbagai sektor bisnis lain terutama yang mengandalkan sumber daya alam sebagai bahan baku komoditas, seperti namun tidak terbatas pada pertambangan, perhutanan, dan penangkapan ikan. Dalam jangka pendek mungkin belum dirasa dampaknya, namun mengacu prinsip going concern yakni bisnis mesti terus berlangsung sepanjang hayat, maka dalam jangka panjang bisa jadi pasokan bahan baku (minyak bumi, batu bara, kayu, ikan) habis, berhentilah kegiatan industri – industri tersebut.
Jadi kata kunci yang ingin disampaikan di sini adalah kelestarian bisnis (business sustainability) yang perlu menjadi paradigma baru bagi segenap pelaku bisnis di sektor apapun. Pertanyaan sederhananya, bagaimana pelaku bisnis sebaiknya mengelola perusahaannya sedemikian rupa sehingga lestari. Bukankah dalam menjalani bisnis perusahaan tak hanya membutuhkan sumber daya keuangan (seperti investasi dalam wujud mata uang dan penghasilan dari penjualan) namun juga sumber daya lingkungan seperti air, energi listrik, bahan baku; dan sumber daya sosial seperti sumber daya manusia serta infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah?
Awalnya para ahli manajemen berteori bahwa bisnis akan terus eksis bila secara konsisten dalam periode yang panjang meraih untung wajar. Persoalannya untuk dapat konsisten dalam periode panjang tak hanya membutuhkan kepiawaian dalam mengelola perusahaan melainkan juga perlu dan kuatnya dukungan lingkungan eksternal berupa lingkungan dan sosial. Kita tahu, bahan baku atau segala macam yang dibutuhkan industri mesti didatangkan dari pihak luar. Nah apabila pihak luar ini tak mampu lagi mendukung karena berbagai alasan, maka kelestarian perusahaan masuk ke dalam kategori bahaya. Demikian juga ketika produk yang dihasilkan tak berterima di masyarakat lantaran produknya dianggap jelek atau membahayakan, atau proses produksinya mencemari lingkungan, atau sebab – sebab lainnya, maka inipun pada akhirnya akan membuka peluang bagi berhentinya aktivitas suatu industri.
Pertumbuhan ekonomi dan sukses finansial adalah penting dan memberikan manfaat signifikan bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan. Namun demikian nilai – nilai kemanusiaan lainnya – seperti keharmonisan rumah tangga, pertumbuhan kecerdasan sosial, ekspresi seni, pembangunan moral, spiritual dan etika - juga tak kalah pentingnya untuk diperhatikan dan dimasukkan dalam pengelolaan perusahaan. Kelestarian usaha dalam konteks ini diartikan sebagai mengelola bisnis untuk meraih untung dan pertumbuhan bersamaan dengan itu mengenali dan mendukung aspirasi ekonomi dan non-ekonomi masyarakat baik di dalam maupun di luar perusahaan, di mana keberadaan bisnis bergantung kepadanya.
Dalam tataran operasional strategik, meraih kelestarian bisnis dapat dilakukan dengan identifikasi segenap stakeholder, membangun hubungan erat dengan mereka, dan temukan cara terbaik untuk bekerja sama secara menguntungkan bagi semua pihak. Bila hal ini dapat dikerjakan, dalam jangka panjang dapat menciptakan profit dan atau manfaat yang lebih besar tak hanya bagi perusahaan, namun juga memberi kemakmuran sosial, ekonomi dan lingkungan bagi masayarakat.
Mereka yang sudah menyadari dan meyakini perlunya sinergi dengan lingkungan sosial dimana perusahaan eksis, mengaktualisasikannya ke dalam program Corporate Social Responsibility (CSR). Istilah CSR lebih banyak mengandung makna tanggung jawab (responsibility) bagi perusahaan terhadap lingkungan sosial. Jadi lebih fokus pada lingkungan luar, padahal kelestarian bisnis (sustainability) memberi makna kesamaan pentingnya meraih manfaat yang dinikmati oleh bisnis itu sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk meraih sustainability, perusahaan perlu peduli terhadap lingkungan alam sekitar (natural environment), hak-hak pegawai, perlindungan konsumen, corporate governance, dan pengaruh perilaku bisnis terhadap issue-issue sosial pada umumnya seperti kekurangan pangan, kemiskinan, pendidikan, perawatan kesehatan, HAM, yang semuanya dihubungkan dengan profit.
Berangkat dari perspektif CSR di atas ada sebagian pihak yang membuat tantangan “bagaimana masyarakat dapat memetik manfaat jika perusahaan melakukan lebih banyak tindakan yang bertangung jawab (responsible approach)?” pertanyaan tantangan tersebut menjadi kurang relevan lagi karena yang lebih penting justru “bagaimana perusahaan meraih untung semakin banyak dengan mengerjakan hal-hal yang benar termasuk memberi perhatian besar terhadap lingkungan (environmental) dan sosial kemasyarakatan.
Menjawab pertanyaan terakhir, John Elkington menawarkan konsep Triple Bottom Line (TBL). Elkington menganjurkan agar bisnis perlu mengukur sukses (atau kinerja) tak hanya dengan kinerja keuangan (berapa besar deviden atau bottom line yang dihasilkan, yang dinyatakan dalam rasio seperti ROI, profitabilitas, shareholder value) namun juga dengan pengaruh mereka terhadap perekonomian secara luas, lingkungan dan masyarakat di mana mereka beroperasi. Bisnis yang lestari perlu memiliki kemampuan untuk mengukur, mendokumentasikan, dan melaporkan ROI yang positif untuk semua tiga bottom lines – ekonomi, lingkungan (environmental), dan sosial yang masing-masing setara besarnya. TBL yang positif merefleksikan peningkatan nilai perusahaan, termasuk profitabilitas dan shareholder value, serta nilai sosial, kemanusiaan dan modal lingkungan.
Bagaimana mewujudkan TBL dalam praktek perusahaan? Siapa saja perusahaan di Indonesia yang sudah menerapkan TBL? Bagaimana perubahan yang terjadi setelah perusahaan menerapkan TBL, baik terhadap lingkungan internal maupun eksternal? Bagaimana reaksi shareholder atas penerapan TBL di perusahaan milik mereka? Bagaimana dukungan pegawai terhadap implementasi TBL? Adakah pihak yang menentang konsep maupun implementasi TBL? Bila ada, apa argumen mereka?
Pertanyaan – pertanyaan tersebut di atas layak mendapat jawaban. Sementara ini saya masih mengumpulkan jawabannya. Barangkali di antara Anda ada yang sudah punya data dan berkenan memberikan jawabannya, tentu kita semua akan sangat senang untuk diskusikan di forum ini.
Sunday, April 24, 2011
Korupsi Sulit Terendus
Setelah mengulas ringkas Korupsi Lisensi, ternyata ada lagi jenis korupsi yang masih jarang terendus oleh aparat pemburu koruptor. Apa itu?
Pernahkah Anda perhatikan, sampai sekarang masih banyak orang bilang "setiap ganti Menteri, ganti kebijakan". Contoh yang sering terjadi di Departemen (sekarang Kementerian) yang mengurusi bidang pendidikan nasional. masih ingat di tengah dekade 70-an ketika ada seorang Menteri yang mengubah awal tahun ajaran baru dari Januari ke Juni, yang kalau tak salah ingat, alasannya biar mirip model yang diterapkan di luar negeri. Lain lagi yang terjadi di suatu kementerian yang mengurusi bidang komunikasi. Pejabat birokratnya masih sama, ketika ganti menteri sang pejabat birokrat juga yang mengubah kebijakan yang dibuatnya sendiri pada periode menteri sebelumnya, padahal kebijakan yang lamapun belum terimplementasi dengan baik. Apa hubungan antara ganti menteri ganti kebijakan dengan korupsi?
Satu lagi, bila diperhatikan, menyusul pergantian direksi BUMN pada umumnya berlaku juga perubahan gaya kepemimpinan maupun manajerialnya. Perubahan semacam ini masih wajar, mengingat karakter kepemimpinan dan bagaimana direksi baru mengelola (me-managemen-i) perusahaan akan menentukan sukses atau gagal membawa amanah yang diberikan oleh pemegang saham.
Yang menarik, banyak terjadi, tidak lama setelah pergantian direksi (baca: dari Dirut hingga beberapa direktur lainnya) diikuti dengan pergantian logo perusahaan, baik yang dihasilkan melalui sayembara maupun pesanan khusus kepada perusahaan konsultan pembuat logo. Pergantian logo? Apa hubungannya dengan korupsi?
Amati dan perhatikan juga, bagaimana banyak perusahaan besar (baik BUMN maupun swasta) berlomba memberikan donasi atau sponsorship untuk berbagai acara baik yang bersifat sosial maupun komersial. Yang bersifat sosial dapat pula dikemas dalam program CSR, sebagai pertanda keikut-sertaan dalam dinamika sosial dengan lingkungan di mana perusahaan beroperasi, maupun kegiatan independen yang tak terkait dengan CSR. Sekali lagi, apa hubungan antara donasi, sponsorship, CSR dan korupsi?
Modus pergantian kebijakan
Publik yang awam tentu tak banyak paham bagaimana proses pembuatan kebijakan baru, apalagi kalau tak punya urusan langsung dengan instansi pemerintah. Ketidak-tahuan publik inilah yang dimanfaatkan oleh birokrat dan teknokrat ketika mereka baru duduk di kursi kekuasaan untuk membuat kebijakan baru menggantikan kebijakan lama yang – barangkali – belum sempat diimplementasikan. Apa yang mereka lakukan? Membuat Undang-Undang (UU), kebijakan atau regulasi baru.
Dengan alasan keterbatasan kemampuan sumber daya manusia, untuk membuat draft UU, kebijakan atau regulasi biasanya dialih-dayakan ke konsultan. Nah di sinilah peluang untuk membuat deal secara manual dengan perusahaan konsultan yang akan dimenangkan untuk mengerjakan pembuatan draft UU, kebijakan atau regulasi. Bayangkan, hampir tak ada acuan (baku) untuk menentukan besaran biaya yang dibutuhkan untuk membuat UU, kebijakan atau regulasi. Suatu draft UU bisa saja menghabiskan ratusan juta atau puluhan milyar, boleh dikatakan besarannya tergantung para pejabat publik yang berwenang menetapkan anggaran.
Praktek semacam ini yang kemudian sering saya sebut di depan kelas, kepada para mahasiswa, mengapa sedikit sekali kebijakan publik yang lestari, berkualitas, usia regulasi bukan ditentukan oleh ketidak-sesuaiannya dengan perubahan zaman, melainkan karena perbedaan selera para penguasa, dan adanya tujuan tersembunyi di balik pergantian UU, kebijakan dan regulasi menyusul pergantian pejabat tinggi.
Modus Ganti Logo
Bagi sementara kalangan, membuat logo perusahaan adalah sebuah kriya atau karya seni. Layaknya karya seni, maka ada dua pendekatan untuk menilai kualitasnya. Pertama, dengan melihat bobot seni yang acuannya tentu sangat subjektif dan relatif. Subjektif karena bobotnya tergantung dari apakah pemesan dapat menerima argumen yang disorongkan oleh pembuatnya, sementara relatif karena tentu saja penilaian seseorang akan berbeda dari orang lain, hal ini lumrah karena apresiasi untuk sebuah karya seni sangat ditentukan oleh apakah si penilai memahami dan menghayati kesenian atau hanya sekedar awam belaka. Kedua, dengan mengukurnya dari besaran biaya yang diajukan oleh si pembuat. Ada karya seni yang nilai seninya tergolong atau dianggap tinggi (oleh kalangan pegiat seni) namun oleh si pembuatnya dijual dengan harga rendah (misal karya seni patung suku Asmat), sebaliknya ada karya seni bermutu rendah namun dihargai tinggi (yang ini banyak sekali contohnya).
Dua karakter karya seni inilah yang digunakan sebagai lubang keluaran (loop holes) untuk praktek korupsi yang sulit terendus. Ketiadaan standar biaya dan relatifitas dalam menilai karya seni digunakan sebagai modus dalam praktek korupsi dengan deal manual antara pemesan (biasanya direksi baru BUMN/S) dengan pembuat logo.
Praktek korupsi tak berhenti hanya di perubahan logo. Menyusul perubahan logo akan dilanjutkan dengan pergantian logo di kartu nama, stempel, mesti pasang iklan di berbagai media untuk memperkenalkan logo baru, ganti kop surat dan lain sebagainya. Semua aktifitas ini, meski boleh dibilang kecil tetapi agregasinya menjadi besar.
Modus Donasi, Sponsorship, CSR, Pasang Iklan
Bila perubahan logo tak dapat dilakukan karena berbagai alasan, jangan khawatir, masih ada cara lain untuk melakukan korupsi yang sulit terendus.
Ketika perusahaan atau instansi pemerintah memberikan donasi, bantuan sosial untuk korban bencana, panti asuhan, peringatan hari raya nasional, dukungan kepada ormas, atau para miskin, maka pemberian donasi ini dapat menjadi “kendaraan” bagi praktek korupsi. Salah satu contoh yang sudah terungkap oleh KPK adalah praktek korupsi bansos mesin jahit, sapi, busana yang diberikan oleh suatu kementerian yang mengurusi masalah sosial. Bahkan menterinya pun ikut dijadikan tersangka. Kenapa kalau di instansi pemerintah mudah terendus, namun kalau di BUMN atau swasta sulit diketahui? Apakah karena birokrat pemerintah kurang canggih dalam ber-korupsi? Bisa jadi birokrat pemerintah kurang canggih. Kalau yang disumbangkan berupa barang yang mudah dicari tahu harga per unitnya pasti gampang diketahui kalau dalam pemberian donasi telah terjadi korupsi. Namun kalau yang didonasikan berupa intangible goods yang tak ada standar harganya atau berupa man power yang jumlahnya mudah dimanipulasi atau barang yang langka, maka besar kemungikan donasi yang disusupi itikad korupsi sulit terendus oleh hidung pemburu koruptor.
Modus serupa terjadi juga pada sponsorship yang – sekali lagi – traceability-nya rendah karena belum ada standar baku yang dapat dijadikan acuan kelayakan sebuah sponsorship. Sebagai contoh, bila sebuah BUMN membukukan pemberian sponsorship rp. 5 milyar untuk event olahraga, kalau hanya dilihat dari pembukuan dua belah pihak (pemberi dan penerima) mungkin tak akan terlihat telah terjadi korupsi, karena bisa saja angka di buku pemberi sama dengan angka di buku penerima. Tetapi pemberian 5 Milyar untuk sebuah event perlu dinilai layak tidaknya. Karena bisa saja di balik sponsorship, ternyata ada deal tertentu yang menguntungkan oknum di pihak pemberi dan penerima.
CSR, cita-citanya memang mulia, namun dalam implementasinya masih banyak lobang tikus, yang dapat digunakan sebagai kendaraan untuk melakukan korupsi. Beberapa kelemahan dalam implementadi CSR antara lain: (1) belum adanya standar umum untuk menilai kelayakan besaran sebuah program CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan. Apakah berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan tahun sebelumnya, atau berdasarkan profit atau ditetapkan oleh pemerintah, atau diskresi pimpinan perusahaan. (2) target penerima CSR sangat beragam, boleh dikatakan siapa saja dapat menerima program CSR, saya menduga belum ada panduan dari pemerintah perusahaan bidang X sebaiknya memberikan CSR untuk bidang x’, x’’… xn saja, di luar itu sebaiknya dilakukan oleh perusahaan lain.
Seperti modus yang terjadi di ganti logo, iklan dan sponsorship maka di modus CSR inipun tak mudah untuk mengendusnya, karena “kepentingan oknum” dititipkan di kegiatan CSR yang ditargetkan kepada kelompok masyarakat tertentu. Bila penerima tak bersedia membawa dan menyerahkan “titipan” maka urung mereka menjadi penerima atau target CSR. Sulit terendus, karena “barang” (meminjam istilah anggota DPR) yang diserahkan bukan berupa barang yang lazim dan mudah diukur keberadaan dan harganya, seperti kompor, alat bantu kerja, dan lain sebaainya; melainkan “barang” tersebut dalam wujud intangible yang relatif sulit dilacak keberadaannya.
Sama halnya pembuatan logo, pembuatan materi iklan sampai batas tertentu juga dianggap sebagai karya seni. Kalau sudah masuk karya seni maka standar penetapan harga menjadi bias dan sangat relatif, karena _sekali lagi - tak ada standar yang dapat menjadi acuan. Kata seorang kawan, korupsi iklan itu “enaknya puoollll”
Merger dan Akuisisi
Setiap kali terbaca berita di koran perusahaan A merger dengan perusahaan B, atau perusahaan C mengakuisisi perusahaan D, muncul pertanyaan tiadakah itikad korupsi di dalamnya oleh para pelakunya?
Saya berteori, setiap transaksi bisnis berpeluang terjadi korupsi di dalamnya. Merger dan Akuisisi (M&A) termasuk transaksi bisnis, maka bila konsisten dengan teori di atas, di dalam setiap M&A mungkin saja terjadi (ada peluang) korupsi.
Bagaimana modusnya? Sama seperti korupsi konvensional, menaikkan (inflating) harga saham, misal harga wajar rp 100,- per saham, transaksi menjadi rp. 200,- per saham. Setelah terjadi transaksi maka selisih nilai wajar dan nilai transaksi masuk ke kantong pribadi para oknum. Atau cara lain, oknum yang mewakili pembeli mendapat sejumlah komisi dari penjual yang disepakati di depan sebelum terjadinya transaksi
Pelajaran
Uraian di atas hanya khayalan belaka. Saya tak jamin kebenaran maupun kesalahannya, dan tak pula saya anjurkan pembaca memercayainya. Namun demikian, bila kita semua arif bijaksana, sembari mengamati lingkungan di sekitar keberadaan masing-masing, praktek semacam tersebut di atas sebetulnya bukan barang aneh lagi. Bagi sebagian orang malah sudah menjadi kebiasaan.
Selama ini yang banyak terdengar adalah korupsi yang dilakukan di instansi pemerintah, dengan pelaku pejabat birokrasi bekerja sama dengan rekanan swasta. Yang belum banyak terdengar adalah pengungkapan korupsi yang dilakukan oleh manajemen BUMN atau perusahaan swasta, tanpa melibatkan birokrat pemerintah, yang dilakukan dengan modus perubahan logo, pembuatan dan pemasangan iklan, sponsorship, CSR serta Merger dan Akuisisi.
Ketiadaaan standar baku yang harus dijadikan acuan dalam setiap transaksi dalam perubahan logo perusahaan, pembuatan dan pemasangan iklan di berbagai media, khususnya media elektronik (radio , Internet dan TV) , sponsorship, donasi, CSR, serta Merger dan Akuisisi menjadikan semua kegiatan tersebut di atas menjadi kendaran yang sangat empuk bagi para pimpinan perusahaan milik negara maupun swasta untuk bermanuver memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan merugikan publik atau pemegang saham.
Barangkali sudah masanya aparat pemburu koruptor mulai melangkahkan perhatian seriusnya kepada praktek korupsi di kalangan BUMN dan BUMS yang selama ini seperti tak terendus. Di tataran legislasi, barangkali juga sudah masanya UU Anti Korupsi di-ekstent tak hanya ihwal merugikan negara, namun mencakup pula merugikan publik dan pemegang saham.*****
Pernahkah Anda perhatikan, sampai sekarang masih banyak orang bilang "setiap ganti Menteri, ganti kebijakan". Contoh yang sering terjadi di Departemen (sekarang Kementerian) yang mengurusi bidang pendidikan nasional. masih ingat di tengah dekade 70-an ketika ada seorang Menteri yang mengubah awal tahun ajaran baru dari Januari ke Juni, yang kalau tak salah ingat, alasannya biar mirip model yang diterapkan di luar negeri. Lain lagi yang terjadi di suatu kementerian yang mengurusi bidang komunikasi. Pejabat birokratnya masih sama, ketika ganti menteri sang pejabat birokrat juga yang mengubah kebijakan yang dibuatnya sendiri pada periode menteri sebelumnya, padahal kebijakan yang lamapun belum terimplementasi dengan baik. Apa hubungan antara ganti menteri ganti kebijakan dengan korupsi?
Satu lagi, bila diperhatikan, menyusul pergantian direksi BUMN pada umumnya berlaku juga perubahan gaya kepemimpinan maupun manajerialnya. Perubahan semacam ini masih wajar, mengingat karakter kepemimpinan dan bagaimana direksi baru mengelola (me-managemen-i) perusahaan akan menentukan sukses atau gagal membawa amanah yang diberikan oleh pemegang saham.
Yang menarik, banyak terjadi, tidak lama setelah pergantian direksi (baca: dari Dirut hingga beberapa direktur lainnya) diikuti dengan pergantian logo perusahaan, baik yang dihasilkan melalui sayembara maupun pesanan khusus kepada perusahaan konsultan pembuat logo. Pergantian logo? Apa hubungannya dengan korupsi?
Amati dan perhatikan juga, bagaimana banyak perusahaan besar (baik BUMN maupun swasta) berlomba memberikan donasi atau sponsorship untuk berbagai acara baik yang bersifat sosial maupun komersial. Yang bersifat sosial dapat pula dikemas dalam program CSR, sebagai pertanda keikut-sertaan dalam dinamika sosial dengan lingkungan di mana perusahaan beroperasi, maupun kegiatan independen yang tak terkait dengan CSR. Sekali lagi, apa hubungan antara donasi, sponsorship, CSR dan korupsi?
Modus pergantian kebijakan
Publik yang awam tentu tak banyak paham bagaimana proses pembuatan kebijakan baru, apalagi kalau tak punya urusan langsung dengan instansi pemerintah. Ketidak-tahuan publik inilah yang dimanfaatkan oleh birokrat dan teknokrat ketika mereka baru duduk di kursi kekuasaan untuk membuat kebijakan baru menggantikan kebijakan lama yang – barangkali – belum sempat diimplementasikan. Apa yang mereka lakukan? Membuat Undang-Undang (UU), kebijakan atau regulasi baru.
Dengan alasan keterbatasan kemampuan sumber daya manusia, untuk membuat draft UU, kebijakan atau regulasi biasanya dialih-dayakan ke konsultan. Nah di sinilah peluang untuk membuat deal secara manual dengan perusahaan konsultan yang akan dimenangkan untuk mengerjakan pembuatan draft UU, kebijakan atau regulasi. Bayangkan, hampir tak ada acuan (baku) untuk menentukan besaran biaya yang dibutuhkan untuk membuat UU, kebijakan atau regulasi. Suatu draft UU bisa saja menghabiskan ratusan juta atau puluhan milyar, boleh dikatakan besarannya tergantung para pejabat publik yang berwenang menetapkan anggaran.
Praktek semacam ini yang kemudian sering saya sebut di depan kelas, kepada para mahasiswa, mengapa sedikit sekali kebijakan publik yang lestari, berkualitas, usia regulasi bukan ditentukan oleh ketidak-sesuaiannya dengan perubahan zaman, melainkan karena perbedaan selera para penguasa, dan adanya tujuan tersembunyi di balik pergantian UU, kebijakan dan regulasi menyusul pergantian pejabat tinggi.
Modus Ganti Logo
Bagi sementara kalangan, membuat logo perusahaan adalah sebuah kriya atau karya seni. Layaknya karya seni, maka ada dua pendekatan untuk menilai kualitasnya. Pertama, dengan melihat bobot seni yang acuannya tentu sangat subjektif dan relatif. Subjektif karena bobotnya tergantung dari apakah pemesan dapat menerima argumen yang disorongkan oleh pembuatnya, sementara relatif karena tentu saja penilaian seseorang akan berbeda dari orang lain, hal ini lumrah karena apresiasi untuk sebuah karya seni sangat ditentukan oleh apakah si penilai memahami dan menghayati kesenian atau hanya sekedar awam belaka. Kedua, dengan mengukurnya dari besaran biaya yang diajukan oleh si pembuat. Ada karya seni yang nilai seninya tergolong atau dianggap tinggi (oleh kalangan pegiat seni) namun oleh si pembuatnya dijual dengan harga rendah (misal karya seni patung suku Asmat), sebaliknya ada karya seni bermutu rendah namun dihargai tinggi (yang ini banyak sekali contohnya).
Dua karakter karya seni inilah yang digunakan sebagai lubang keluaran (loop holes) untuk praktek korupsi yang sulit terendus. Ketiadaan standar biaya dan relatifitas dalam menilai karya seni digunakan sebagai modus dalam praktek korupsi dengan deal manual antara pemesan (biasanya direksi baru BUMN/S) dengan pembuat logo.
Praktek korupsi tak berhenti hanya di perubahan logo. Menyusul perubahan logo akan dilanjutkan dengan pergantian logo di kartu nama, stempel, mesti pasang iklan di berbagai media untuk memperkenalkan logo baru, ganti kop surat dan lain sebagainya. Semua aktifitas ini, meski boleh dibilang kecil tetapi agregasinya menjadi besar.
Modus Donasi, Sponsorship, CSR, Pasang Iklan
Bila perubahan logo tak dapat dilakukan karena berbagai alasan, jangan khawatir, masih ada cara lain untuk melakukan korupsi yang sulit terendus.
Ketika perusahaan atau instansi pemerintah memberikan donasi, bantuan sosial untuk korban bencana, panti asuhan, peringatan hari raya nasional, dukungan kepada ormas, atau para miskin, maka pemberian donasi ini dapat menjadi “kendaraan” bagi praktek korupsi. Salah satu contoh yang sudah terungkap oleh KPK adalah praktek korupsi bansos mesin jahit, sapi, busana yang diberikan oleh suatu kementerian yang mengurusi masalah sosial. Bahkan menterinya pun ikut dijadikan tersangka. Kenapa kalau di instansi pemerintah mudah terendus, namun kalau di BUMN atau swasta sulit diketahui? Apakah karena birokrat pemerintah kurang canggih dalam ber-korupsi? Bisa jadi birokrat pemerintah kurang canggih. Kalau yang disumbangkan berupa barang yang mudah dicari tahu harga per unitnya pasti gampang diketahui kalau dalam pemberian donasi telah terjadi korupsi. Namun kalau yang didonasikan berupa intangible goods yang tak ada standar harganya atau berupa man power yang jumlahnya mudah dimanipulasi atau barang yang langka, maka besar kemungikan donasi yang disusupi itikad korupsi sulit terendus oleh hidung pemburu koruptor.
Modus serupa terjadi juga pada sponsorship yang – sekali lagi – traceability-nya rendah karena belum ada standar baku yang dapat dijadikan acuan kelayakan sebuah sponsorship. Sebagai contoh, bila sebuah BUMN membukukan pemberian sponsorship rp. 5 milyar untuk event olahraga, kalau hanya dilihat dari pembukuan dua belah pihak (pemberi dan penerima) mungkin tak akan terlihat telah terjadi korupsi, karena bisa saja angka di buku pemberi sama dengan angka di buku penerima. Tetapi pemberian 5 Milyar untuk sebuah event perlu dinilai layak tidaknya. Karena bisa saja di balik sponsorship, ternyata ada deal tertentu yang menguntungkan oknum di pihak pemberi dan penerima.
CSR, cita-citanya memang mulia, namun dalam implementasinya masih banyak lobang tikus, yang dapat digunakan sebagai kendaraan untuk melakukan korupsi. Beberapa kelemahan dalam implementadi CSR antara lain: (1) belum adanya standar umum untuk menilai kelayakan besaran sebuah program CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan. Apakah berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan tahun sebelumnya, atau berdasarkan profit atau ditetapkan oleh pemerintah, atau diskresi pimpinan perusahaan. (2) target penerima CSR sangat beragam, boleh dikatakan siapa saja dapat menerima program CSR, saya menduga belum ada panduan dari pemerintah perusahaan bidang X sebaiknya memberikan CSR untuk bidang x’, x’’… xn saja, di luar itu sebaiknya dilakukan oleh perusahaan lain.
Seperti modus yang terjadi di ganti logo, iklan dan sponsorship maka di modus CSR inipun tak mudah untuk mengendusnya, karena “kepentingan oknum” dititipkan di kegiatan CSR yang ditargetkan kepada kelompok masyarakat tertentu. Bila penerima tak bersedia membawa dan menyerahkan “titipan” maka urung mereka menjadi penerima atau target CSR. Sulit terendus, karena “barang” (meminjam istilah anggota DPR) yang diserahkan bukan berupa barang yang lazim dan mudah diukur keberadaan dan harganya, seperti kompor, alat bantu kerja, dan lain sebaainya; melainkan “barang” tersebut dalam wujud intangible yang relatif sulit dilacak keberadaannya.
Sama halnya pembuatan logo, pembuatan materi iklan sampai batas tertentu juga dianggap sebagai karya seni. Kalau sudah masuk karya seni maka standar penetapan harga menjadi bias dan sangat relatif, karena _sekali lagi - tak ada standar yang dapat menjadi acuan. Kata seorang kawan, korupsi iklan itu “enaknya puoollll”
Merger dan Akuisisi
Setiap kali terbaca berita di koran perusahaan A merger dengan perusahaan B, atau perusahaan C mengakuisisi perusahaan D, muncul pertanyaan tiadakah itikad korupsi di dalamnya oleh para pelakunya?
Saya berteori, setiap transaksi bisnis berpeluang terjadi korupsi di dalamnya. Merger dan Akuisisi (M&A) termasuk transaksi bisnis, maka bila konsisten dengan teori di atas, di dalam setiap M&A mungkin saja terjadi (ada peluang) korupsi.
Bagaimana modusnya? Sama seperti korupsi konvensional, menaikkan (inflating) harga saham, misal harga wajar rp 100,- per saham, transaksi menjadi rp. 200,- per saham. Setelah terjadi transaksi maka selisih nilai wajar dan nilai transaksi masuk ke kantong pribadi para oknum. Atau cara lain, oknum yang mewakili pembeli mendapat sejumlah komisi dari penjual yang disepakati di depan sebelum terjadinya transaksi
Pelajaran
Uraian di atas hanya khayalan belaka. Saya tak jamin kebenaran maupun kesalahannya, dan tak pula saya anjurkan pembaca memercayainya. Namun demikian, bila kita semua arif bijaksana, sembari mengamati lingkungan di sekitar keberadaan masing-masing, praktek semacam tersebut di atas sebetulnya bukan barang aneh lagi. Bagi sebagian orang malah sudah menjadi kebiasaan.
Selama ini yang banyak terdengar adalah korupsi yang dilakukan di instansi pemerintah, dengan pelaku pejabat birokrasi bekerja sama dengan rekanan swasta. Yang belum banyak terdengar adalah pengungkapan korupsi yang dilakukan oleh manajemen BUMN atau perusahaan swasta, tanpa melibatkan birokrat pemerintah, yang dilakukan dengan modus perubahan logo, pembuatan dan pemasangan iklan, sponsorship, CSR serta Merger dan Akuisisi.
Ketiadaaan standar baku yang harus dijadikan acuan dalam setiap transaksi dalam perubahan logo perusahaan, pembuatan dan pemasangan iklan di berbagai media, khususnya media elektronik (radio , Internet dan TV) , sponsorship, donasi, CSR, serta Merger dan Akuisisi menjadikan semua kegiatan tersebut di atas menjadi kendaran yang sangat empuk bagi para pimpinan perusahaan milik negara maupun swasta untuk bermanuver memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan merugikan publik atau pemegang saham.
Barangkali sudah masanya aparat pemburu koruptor mulai melangkahkan perhatian seriusnya kepada praktek korupsi di kalangan BUMN dan BUMS yang selama ini seperti tak terendus. Di tataran legislasi, barangkali juga sudah masanya UU Anti Korupsi di-ekstent tak hanya ihwal merugikan negara, namun mencakup pula merugikan publik dan pemegang saham.*****
Korupsi Lisensi
Kalau beli barang seharga Rp.100,- kemudian di-markup jadi Rp.125,- ini namanya korupsi. Membuktikan korupsi seperti ini mudah, apalagi kalau yang dibeli barang fisik yang banyak tersedia di pasaran seperti mesin jahit, sarung, pemadam kebakaran, komputer, dan barang sejenis lainnya. Praktek korupsi semacam ini dulu sangat subur makmur terjadi di lembaga pemerintahan. Sekarang, modus seperti ini sudah jarang terjadi, kalaupun masih terjadi biasanya dilakukan oleh pegawai pemerintah yang lokasinya jauh dari keriuh-rendahan kota metropolitan yang semakin banyak di negara tercinta ini.
Kalau korupsi markup harga sudah sangat mudah dilacak, lalu modus korupsi apa saja yang masih menjadi perburuan KPK? Ada banyak. Misalnya, korupsi perizinan atau korupsi lisensi. Apa itu?
Definisi bebas untuk korupsi lisensi adalah praktek korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara atau pejabat pemerintahan dengan menggunakan kewenangan yang ada pada dirinya untuk memberikan perizinan (lisensi) pengusahaan sumber daya ekonomi publik yang diberikan kepada swasta, atas pemberian lisensi ini, sang pejabat dan jajaran di bawahnya atau yang terkait mendapatkan upeti (gratifikasi) sebagai tanda terima kasih maupun sebagai transaksi kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.
Jadi dalam korupsi lisensi ini setidaknya terdapat 3 (tiga) unsur yang saling berkelindan membentuk praktek korupsi, Pertama, aktor atau para personalia yang terlibat seperti perusahaan atau individu pemohon aplikasi, staf birokrasi yang memproses secara administrasi dan teknis, pejabat tinggi yang berwenang menerbitkan perizinan, serta kadang kala ada aktor pembantu yang memfasilitasi seperti staf khusus, kawan dekat pejabat, penasehat pengusaha dan lain sebagainya yang menjembatani antara kepentingan swasta dan kewenangan yang melekat pada diri sang pejabat.
Unsur kedua adalah bidang usaha yang diajukan perizinannya. Bidang usaha yang menjadi latar belakang dari korupsi jenis ini adalah bidang usaha yang penyelenggaraannya diatur (regulated), baik pada tahap entry, maupun pelaksanaan bisnis (conduct). Mengapa perlu diatur? Ada beberapa alasan, pertama karena bisnis tersebut menguasai sumber daya publik, misalnya bisnis pertambangan, jasa telekomunikasi, kehutanan, transportasi, dan lain – lain; atau menyangkut kepentingan masyarakat luas seperti perbankan, asuransi, bursa saham, farmasi, restaurant, pabrikasi senjata dan peralatan militer, dan lain sebagainya. Intinya hampir semua bidang usaha diatur dan oleh karenanya memerlukan izin dari pemerintah.
Unsur ketiga adalah modus atau tata cara bagaimana korupsi lisensi tersebut dilaksanakan. Berbicara modus, dapat dibagi ke dalam beberapa jenis yang dibedakan dari magnitude atau besaran bidang bisnis dan sumber daya publik yangakan digunakan oleh pemohon aplikasi. Jenis pertama adalah modus otomatis, ini berlaku untuk semua jenis bisnis, seperti diketahui sebelum perusahaan didirikan, Notaris yang membantu pendirian perusahaan perlu mengecek ketersediaan (availability) nama perusahaan melalui Sisminbakum, tanpa ada “upeti” nama perusahaan tak mudah keluar dari sistem yang telah menelan korban dengan tuduhan korupsi tersebut. Upeti ini tentu harus ditangung oleh pihak yang akan mendirikan perusahaan. Setelah Akta Notaris terbit, ia perlu disahkan di Kemenkumham dan mengajukan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) serta izin – izin lainnya. Modus otomatis adalah jenis korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara layanan publik karena sifatnya otomatis melekat pada pelayanan, tanpa upeti otomatis, pemohon izin mesti rela berhari, berbulan atau bertahun menunggu terbitnya kertas perizinan yang diidamkan.
Jenis kedua adalah modus semi otomatis, ini adalah praktek yang banyak sekali dilakukan oleh para aktor untuk pengurusan izin penyelenggaran bidang usaha yang relatif sudah rame, tetapi masih tumbuh seperti jasa transportasi dalam kota (angkot), warung serba ada mini (mini dan midi), jasa restaurant, klinik kesehatan, rumah sakit, hotel, hiburan, dan lain-lain yang kewenangan perizinan ada di tangan pemerintah daerah. Dikatakan semi otomatis karena sejatinya untuk perizinan – perizinan bidang usaha tersebut sudah banyak Pemda yang melakukannya secara online, secara elektronik, terintegrasi dalam naungan kantor perizinan yang melibatkan berbagai dinas; namun demikian tanpa “upaya tambahan” berupa “upeti’ maka sistem layanan publik yang dirancang secara otomatis tak dapat berjalan lancar, jadi di titik-titik pertemuan antara satu proses dengan proses berikutnya masih dibutuhkan ‘pemicu” berupa upeti itu tadi.
Jenis ketiga adalah modus manual, ini adalah praktek korupsi lisensi untuk bidang bisnis yang ukuran investasinya besar, tergolong langka, strategis bagi perekonomian nasional, memerlukan sumber daya publik dalam skala massive, kewenangan perizinan ada di pemerintah pusat. Dikatakan manual karena pemohon mesti bertatap muka dengan pemegang kewenangan untuk mencapai deal tertentu sehingga urusan bisnis besarnya dilancarkan melalui terbitnya perizinan. Sebagai kontra prestasi atas penerbitan izin, tentu saja pemohon harus membalas budi. Berani tak membalas budi maka urusan selanjutnya akan sulit.
Lantas apa masalahnya sehingga korupsi lisensi perlu dicermati? Bukankah dari segi keuangan, negara tidak dirugikan? Bukankah uang yang diberikan sebagai upeti berasal dari dana milik si pemohon? Di sinilah masalah utamanya. Memang dana upeti dari kantong si pemohon, namun bukankah pengusaha itu makhluk rasional? Sudah baran tentu semua pengeluaran termasuk untuk upeti akan dibukukan sebagai bagian dari investasi yang pada gilirannya harus dibayar oleh pembeli atau pelangan barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh pemilik izin? Dengan demikian, artinya para aktor, baik itu pemohon, birokrat dan pejabat yang terlibat secara tidak langsung telah memiskinkan publik. Selain itu, dapat pula dikatakan para aktir teleh merugikan negara secara tidak langsung karena uangyang mestinya masuk ke kas negara ehhh masuk ke kantong pejabat. Bukankah itu artinya korupsi? Apalagi kerugian publik? Izin yang diberikan karena ada interest pribadi, transaksional, bisa jadi merugikan publik lebih hebat bila ternyata perusahaan yang diberi izin ternyata tidak cakap, merusak lingkungan, atau bertindak sewenang-wenang; karena menganggap sudah memperoleh perlindungan dari penguasa negara.
Bila korupsi lisensi ini ternyata merugikan banyak pihak, mengapa praktek semacam ini masih dibiarkan saja berlaku dan bahkan meluas ke hampir semua sektor pemerintahan dari tingkat desa hingga pusat? Kata Ebiet, untuk mencari jawab, tanya saja pada rumput yang bergoyang.*****
Kalau korupsi markup harga sudah sangat mudah dilacak, lalu modus korupsi apa saja yang masih menjadi perburuan KPK? Ada banyak. Misalnya, korupsi perizinan atau korupsi lisensi. Apa itu?
Definisi bebas untuk korupsi lisensi adalah praktek korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara atau pejabat pemerintahan dengan menggunakan kewenangan yang ada pada dirinya untuk memberikan perizinan (lisensi) pengusahaan sumber daya ekonomi publik yang diberikan kepada swasta, atas pemberian lisensi ini, sang pejabat dan jajaran di bawahnya atau yang terkait mendapatkan upeti (gratifikasi) sebagai tanda terima kasih maupun sebagai transaksi kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.
Jadi dalam korupsi lisensi ini setidaknya terdapat 3 (tiga) unsur yang saling berkelindan membentuk praktek korupsi, Pertama, aktor atau para personalia yang terlibat seperti perusahaan atau individu pemohon aplikasi, staf birokrasi yang memproses secara administrasi dan teknis, pejabat tinggi yang berwenang menerbitkan perizinan, serta kadang kala ada aktor pembantu yang memfasilitasi seperti staf khusus, kawan dekat pejabat, penasehat pengusaha dan lain sebagainya yang menjembatani antara kepentingan swasta dan kewenangan yang melekat pada diri sang pejabat.
Unsur kedua adalah bidang usaha yang diajukan perizinannya. Bidang usaha yang menjadi latar belakang dari korupsi jenis ini adalah bidang usaha yang penyelenggaraannya diatur (regulated), baik pada tahap entry, maupun pelaksanaan bisnis (conduct). Mengapa perlu diatur? Ada beberapa alasan, pertama karena bisnis tersebut menguasai sumber daya publik, misalnya bisnis pertambangan, jasa telekomunikasi, kehutanan, transportasi, dan lain – lain; atau menyangkut kepentingan masyarakat luas seperti perbankan, asuransi, bursa saham, farmasi, restaurant, pabrikasi senjata dan peralatan militer, dan lain sebagainya. Intinya hampir semua bidang usaha diatur dan oleh karenanya memerlukan izin dari pemerintah.
Unsur ketiga adalah modus atau tata cara bagaimana korupsi lisensi tersebut dilaksanakan. Berbicara modus, dapat dibagi ke dalam beberapa jenis yang dibedakan dari magnitude atau besaran bidang bisnis dan sumber daya publik yangakan digunakan oleh pemohon aplikasi. Jenis pertama adalah modus otomatis, ini berlaku untuk semua jenis bisnis, seperti diketahui sebelum perusahaan didirikan, Notaris yang membantu pendirian perusahaan perlu mengecek ketersediaan (availability) nama perusahaan melalui Sisminbakum, tanpa ada “upeti” nama perusahaan tak mudah keluar dari sistem yang telah menelan korban dengan tuduhan korupsi tersebut. Upeti ini tentu harus ditangung oleh pihak yang akan mendirikan perusahaan. Setelah Akta Notaris terbit, ia perlu disahkan di Kemenkumham dan mengajukan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) serta izin – izin lainnya. Modus otomatis adalah jenis korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara layanan publik karena sifatnya otomatis melekat pada pelayanan, tanpa upeti otomatis, pemohon izin mesti rela berhari, berbulan atau bertahun menunggu terbitnya kertas perizinan yang diidamkan.
Jenis kedua adalah modus semi otomatis, ini adalah praktek yang banyak sekali dilakukan oleh para aktor untuk pengurusan izin penyelenggaran bidang usaha yang relatif sudah rame, tetapi masih tumbuh seperti jasa transportasi dalam kota (angkot), warung serba ada mini (mini dan midi), jasa restaurant, klinik kesehatan, rumah sakit, hotel, hiburan, dan lain-lain yang kewenangan perizinan ada di tangan pemerintah daerah. Dikatakan semi otomatis karena sejatinya untuk perizinan – perizinan bidang usaha tersebut sudah banyak Pemda yang melakukannya secara online, secara elektronik, terintegrasi dalam naungan kantor perizinan yang melibatkan berbagai dinas; namun demikian tanpa “upaya tambahan” berupa “upeti’ maka sistem layanan publik yang dirancang secara otomatis tak dapat berjalan lancar, jadi di titik-titik pertemuan antara satu proses dengan proses berikutnya masih dibutuhkan ‘pemicu” berupa upeti itu tadi.
Jenis ketiga adalah modus manual, ini adalah praktek korupsi lisensi untuk bidang bisnis yang ukuran investasinya besar, tergolong langka, strategis bagi perekonomian nasional, memerlukan sumber daya publik dalam skala massive, kewenangan perizinan ada di pemerintah pusat. Dikatakan manual karena pemohon mesti bertatap muka dengan pemegang kewenangan untuk mencapai deal tertentu sehingga urusan bisnis besarnya dilancarkan melalui terbitnya perizinan. Sebagai kontra prestasi atas penerbitan izin, tentu saja pemohon harus membalas budi. Berani tak membalas budi maka urusan selanjutnya akan sulit.
Lantas apa masalahnya sehingga korupsi lisensi perlu dicermati? Bukankah dari segi keuangan, negara tidak dirugikan? Bukankah uang yang diberikan sebagai upeti berasal dari dana milik si pemohon? Di sinilah masalah utamanya. Memang dana upeti dari kantong si pemohon, namun bukankah pengusaha itu makhluk rasional? Sudah baran tentu semua pengeluaran termasuk untuk upeti akan dibukukan sebagai bagian dari investasi yang pada gilirannya harus dibayar oleh pembeli atau pelangan barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh pemilik izin? Dengan demikian, artinya para aktor, baik itu pemohon, birokrat dan pejabat yang terlibat secara tidak langsung telah memiskinkan publik. Selain itu, dapat pula dikatakan para aktir teleh merugikan negara secara tidak langsung karena uangyang mestinya masuk ke kas negara ehhh masuk ke kantong pejabat. Bukankah itu artinya korupsi? Apalagi kerugian publik? Izin yang diberikan karena ada interest pribadi, transaksional, bisa jadi merugikan publik lebih hebat bila ternyata perusahaan yang diberi izin ternyata tidak cakap, merusak lingkungan, atau bertindak sewenang-wenang; karena menganggap sudah memperoleh perlindungan dari penguasa negara.
Bila korupsi lisensi ini ternyata merugikan banyak pihak, mengapa praktek semacam ini masih dibiarkan saja berlaku dan bahkan meluas ke hampir semua sektor pemerintahan dari tingkat desa hingga pusat? Kata Ebiet, untuk mencari jawab, tanya saja pada rumput yang bergoyang.*****
Sunday, January 16, 2011
Setia Pada Prosfesi
Kadang terpikir, berapa penghasilannya sehari? atau apakah tak pernah mencoba profesi lain? atau kapan akan berhenti menarik becak?
Subscribe to:
Posts (Atom)