Beberapa tahun lalu, kita menyaksikan pelaku industri komputer menggandrungi model vertikal. semua dibuat sendiri. dari processor, monitor, memory, hard disk dan I/O devices hingga OS semua dibuat sendiri, proprietary. ketika diperkenalkan open system konstelasi berubah. apalagi ketika muncul PC dan operating system yang independen, tidak tergantung mesin, maka model vertikal di bisnis komputer tinggal menjadi legenda. pada saat ini kita menyaksikan bagaimana suatu produk harus kompatibel dengan memenuhi standar konektivitas, agar apat diterima pasar. produk yang ekslusif, yang hanya mampu bicara dengan rekannya satu system, dijamin tidak laku di pasar.
perjalanan komputer merambah ke dunia telekomunikasi, ini jika dilihat dari perspektif komputer. dari arah sebaliknya, digitalisasi transmisi, modulasi dan mixing suara dengan frekuensi carrier membuka pandora, yang semula tidak dapat disimpan, teknologi digital mampu menyimpan informasi lebar pita frekuensi, signaling, pengalamatan, switching, routing dan interkoneksi. walhasil, inilah sebenarnya kunci jawaban mengapa lantas terjadi perkawinan antara komputer dan telekomunikasi, yang saya sebut sebagai telekomputasi atau orang pandai menyebutnya konvergensi. entahlah.. mana yang benar.
wujudnya kita saksikan hari - hari ini. yang semula komputer, selain ukurannya semakin kecil, akhirnya dilengkapi pula, dan sudah menjadi fitur standar, perangkat telekomunikasi, sehingga komputer dapat digunakan untuk "berbicara" dengan orang lain di seberang bagian dunia sana. dari seberang, perangkat kirim-terima telepon nirkabel (handphone) yang semula hanya dapat digunakan untuk bicara, lantas dilengkapi fitur untuk kirim text, gambar, membuat agenda, dokumen, ambil dan simpan gambar foto, dan lain sebagainya.
pertemuan dua stream bermuara pada perkawinan telekomputasi lambat laun bergerak pasti mengubah kemapanan tidak hanya di hilir, sebagaimana sudah banyak dirasakan oleh pengguna teknologi informasi, namun juga mengubah konstelasi di industri hulu-nya. apa itu?
industri selular sekarang mirip industri komputer yang diceritakan di atas. operator selular memiliki sendiri jaringan, switiching, system pendukung di back office, sampai ke lini pemasaran. hampir sebagian dikerjakan sendiri. ini mirip - mohon maaf - manajemen mikrolet atau topeng monyet. semua dikerjakan sendiri oleh sopir atau oleh dalang topeng monyet.
kala demand mulai berubah, yang muncul di hilir akibat telekomputasi, diwarnai oleh munculnya berbagai perusahaan software yang menyertai "new gadget" operator selular masih merasa dirinya sebagai pemain utama, lainnya hanyalah figuran, tidak penting. oleh karena itu, tidak aneh ketika banyak cerita dari pengusaha content provider yang mengeluhkan betapa kedudukan mereka hanya dipandang sebelah mata oleh para operator. marginal gitu loooh.
perubahan terus berlangsung, termasuk tingkat kematangan industri software, tingkat kecanduan masyarakat terhadap konten-konten favorit. di pihak lain krisis keuangan global mau tidak mau berpengaruh terhadap rencana laju investasi operator selular. tidak hanya investasi baru, pengaruh krisis ternyata cukup dalam, mengurangi revenue dan bahkan membuat rugi.
di setiap krisis selalu muncul peluang, demikian kata seorang pakar strategi. di satu sisi dihantui krisis keuangan yang terus menggerus laba, di pihak lain ada peningkatan potensi revenue yang hanya dapat diraih bila mau mengorbankan model vertikal yang hampir uang. apa artinya?
model horisontal mengacu pada: kedudukan yang sama (equal level of playing field); masing - masing pihak fokus pada kompetensinya; terjadi koneksititas setara antar-pihak untuk menghasilkan sinergi. walhasil, dengan model horisontal ini operator selular tidka perlu lagi membangun menara sendiri, membangun jaringan backbone dan last mile sendiri, membangn dan mengelola sistem billing sendiri, membangn dan memiliki content provider untuk layanan broadband, dan lain sebagainya. semua layanan tersebut diselenggarakan oleh masing- masing penyedia yang memiliki komitmen tinggi. operator tinggal bertindak sebagai impresario atau promotor yang mengintegrasikan semua layanan tersebut.
jadi, jika dahulu operator memiliki gedung pertunjukan, panggung, kursi, gamelan dan sekaligus crew wayang orang serta menentukan lakon cerita, dalam konsep horisontal ini, operator mungkin hanya menyediakan gedung dan panggungnya saja, kebutuhan lain agar pertunjukan berlangsung seru, seperti lakon, crew, gamelan, tata-rias dan lains ebagainya, disediakan oleh pihak lain dalam suatu model kerja sama setara dan saling menguntungkan.*****
Bermanfaat Bagi Manusia Lain Tidak Harus Memberi Dalam Bentuk Barang, Tetapi Dapat Memberi Dalam Wujud Ilmu Pengetahuan Yang Berguna Positif. Bermanfaat Itu Memberi Apa Yang Dibutuhkan, Bukan Apa Yang Diinginkan. Semoga Kumpulan Tulisan Ini Dapat Memenuhi Mereka Yang Membutuhkan. Illahi Anta Maqsudi Wa Ridhoka Matlubi. Ya Allah, Semua Yang Saya Kerjakan Tiada Lain Hanya Untuk Mendapat RidhoMu.
Friday, October 30, 2009
Kebijakan Fiskal Versus Daya Saing Industri
Bahwasanya Pemerintah dan masyarakat perlu berpihak pada industri dalam negeri tidak ada yang menyangkal, bahwasanya kebijakan fiskal merupakan aspek penting dalam upaya menyehatkan keuangan negara tidak ada satupun pihak yang menentangnya. Namun ketika dua kebijakan diterapkan bersama – sama yang terjadi bukan hubungan positif, melainkan sebuah paradoks. Daya saing industri dalam negeri bukan menguat, sebaliknya malah melemah, jangankan di pasar internasional, di pasar domestik-pun rata – rata produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor. Mengapa hal seperti ini terjadi?
Seorang sahabat, industriwan peralatan elektronika memberikan ilustrasi. Untuk membuat unit PBX (private branch exchange), perangkat penerima dan pembagi sambungan telepon, dia harus impor bahan baku, nilai kandungan impor mencapai 70%, artinya masih ada porsi komponen dalam negeri sebesar 30%. Total biaya untuk impor bahan baku (termasuk pajak dan bea masuk) per unit PBX $700, jika ditambah dengan komponen dalam negeri maka biaya produksi per unit menjadi $1,000. Dengan profit 20%, harga jual akan menjadi $1.200 plus PPN 10% maka konsumen akan membayar $1.320. Di pihak lain, jika dia impor unit PBX lengkap landed cost-nya hanya sebesar $700. Atas impor unit lengkap ini tidak dikenakan bea masuk, karena Indonesia sudah terikat perjanjian internasional yang mengenakan tarif bea masuk 0% untuk peralatan elektronika. Dengan profit 20% dan PPN 10% maka dia bisa menjual produk impor tersebut dengan harga $924, masih di bawah total biaya produksi di dalam negeri.
Kasus serupa di atas terjadi pula di industri manufaktur peralatan ketenagalistrikan. Dalam diskusi panel dengan thema “Dukungan Domestik Dalam Percepatan Proyek Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik” terungkap selisih harga impor dan produk lokal untuk kategori jenis pembangkit tertentu (2x8MW) mencapai 68%. Dan celakanya, selisih harga ini dikarenakan perbedaan perlakuan pajak. Sebagai contoh, untuk produk impor dari China, pemerintah memberikan keringanan bea masuk dan pajak rata-rata 17% dari porsi FOB (PPN Import 10%, PPh Import 2.55, dan Bea Masuk 5%) sebesar US$2,184,000. Sementara untuk produk dalam negeri keringanan pajak yang diberikan hanya sebesar US$ 472,500.
Perbedaan perlakukan pajak antara produk barang-jadi impor dan produk dalam negeri, berdampak pada pemungutan pajak yang lebih besar kepada produsen dalam negeri dari pada produsen luar negeri. Dari contoh unit pembangkit 2x8MW di atas pendapatan pemerintah akibat adanya import material untuk difabrikasi/assembly lokal mencapai US$ 665,446.81 sementara bila diimpor langsung sebagai barang jadi, pemerintah tidak memperoleh apa – apa. Selain itu, pendapatan pemerintah akibat adanya PPN terhadap porsi lokal juga berbeda cukup signifikan; untuk produk impor produsen luar negeri hanya menyumbang US$672.000 sementara produsen dalam negeri harus dibebani pajak mencapai US$1,532,200. Di sampiing itu, produsen dalam negeri masih dibebani PPh final sebesar 3% yang nominalnya mencapai US$591,000 sementara produsen luar negeri sama sekali tidak memberi kontribusi PPh kepada Pemerintah RI.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia bidang Energi mengatakan secara umum industri manufaktur lokal masih mengidap inferiority syndrome karena masih lemah dalam kemampuan rekayasa dan desain, belum ada perusahaan manufaktur yang berskala besar, masih lemah dalam kendali kualitas, tidak ada pihak yang secara terus menerus dan konsisten memperjuangkan industri dalam negeri, masih lemahnya dukungan pasar domestik, kurangnya ketersediaan modal, dan masih lekatnya karut-marut kebijakan fiskal. Pendapat pejabat Kadin ini diamini oleh pejabat Departemen Perindustrian yang menambahi faktor masih ada keraguan tentang mutu produk dalam negeri dan belum adanya dukungan dan keberpihakan.
Jadi siapa sebenarnya biang keladi dari lemahnya daya saing industri dalam negeri, bahkan di negeri sendiri? Departemen Perindustrian menyajikan sederet kebijakan pemerintah di bidang industri yang – konon – dimaksudkan meningkatkan kemampuan dan daya saing industri lokal. Di pihak lain pejabat Departemen Keuangan yang mengurusi kebijakan fiskal berusaha meyakinkan masyarakat bahwa sudah banyak sekali, kebijakan fiskal yang diterbitkan untuk mendukung industri nasional? Lantas kenapa industri daam negeri masih dan selalu lesu, loyo dan senantiasa kalah bersaing?
Menggunakan analisa sederhana dari disiplin public policy development bisa jadi apa (kebijakan) yang dibuat bukan yang dibutuhkan, baik secara substansi maupun konteksnya. Atau dapat juga karena yang membuat kebijakan tidak tahu apa yang dibutuhkan oleh pasar, atau tidak tahu “dunia luar” sehingga kebijakan yang dihasikan bersifat partial, sektoral, tidak merupakan kebijakan yang terintegrasi dapat mengakomidasi kepentingan multisektor. Sinyalemen dari kalangan pemerintah tentang tidak adanya dukungan dan keberpihakan bisa jadi merupakan pengakuan terhadap sikap diri sendiri. Yang pasti, kriteria kebijakan publik yang baik bukan hanya dari apa saja yang diatur namun juga tak kalah pentingnya adalah bagaimana implikasi dari kebijakan dan regulasi setelah diimplementasikan. Jika hasilnya negatif atau nol, maka kebijakan dan regulasi tersebut layak disebut sebagai flaw policies and regulations, kebijakan dan regulasi yang cacat.
Lantas bagaimana solusinya? Membiarkan saja? Atau melakukan sesuatu untuk mengubah kondisi yang tidak menguntungkan bagi industri manufaktur dalam negeri? Diam membela status quo bukan tugas pejabat publik, jadi pilihannya hanya lakukan perubahan. Selagi masih hangat duduk di kursi kabinet, para menteri terkait sebaiknya mulai memikirkan bagaimana merenovasi kebijakan industri dalam negeri agar lebih punya daya saing. Michael Porter dalam karya besarnya menyatakan “daya saing negara bukan di tangan pemerintah, namun industri; jika industri berdaya saing, maka ekonomi negara akan berdaya saing” Tidak ada yang salah dari pendapat Porter ini, kecuali hanya sebuah koreksi dari Richard Vietor yang menyatakan “bagaimanapun Pemerintah masih punya pengaruh dalam membangun daya saing perekonomiannya; melalui regulasi industri Pemerintah dapat menguatkan atau melemahkan industri dalam negeri.”
Sampai di sini benang merahnya jelas. Tujuan yang baik ternyata masih memerlukan keterbukaan wawasan, keberpihakan, dukungan berbagai pihak, dan keberanian untuk menyempurnakan kebijakan yang ada. Jika tidak, paradoks akan terus terjadi***
Seorang sahabat, industriwan peralatan elektronika memberikan ilustrasi. Untuk membuat unit PBX (private branch exchange), perangkat penerima dan pembagi sambungan telepon, dia harus impor bahan baku, nilai kandungan impor mencapai 70%, artinya masih ada porsi komponen dalam negeri sebesar 30%. Total biaya untuk impor bahan baku (termasuk pajak dan bea masuk) per unit PBX $700, jika ditambah dengan komponen dalam negeri maka biaya produksi per unit menjadi $1,000. Dengan profit 20%, harga jual akan menjadi $1.200 plus PPN 10% maka konsumen akan membayar $1.320. Di pihak lain, jika dia impor unit PBX lengkap landed cost-nya hanya sebesar $700. Atas impor unit lengkap ini tidak dikenakan bea masuk, karena Indonesia sudah terikat perjanjian internasional yang mengenakan tarif bea masuk 0% untuk peralatan elektronika. Dengan profit 20% dan PPN 10% maka dia bisa menjual produk impor tersebut dengan harga $924, masih di bawah total biaya produksi di dalam negeri.
Kasus serupa di atas terjadi pula di industri manufaktur peralatan ketenagalistrikan. Dalam diskusi panel dengan thema “Dukungan Domestik Dalam Percepatan Proyek Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik” terungkap selisih harga impor dan produk lokal untuk kategori jenis pembangkit tertentu (2x8MW) mencapai 68%. Dan celakanya, selisih harga ini dikarenakan perbedaan perlakuan pajak. Sebagai contoh, untuk produk impor dari China, pemerintah memberikan keringanan bea masuk dan pajak rata-rata 17% dari porsi FOB (PPN Import 10%, PPh Import 2.55, dan Bea Masuk 5%) sebesar US$2,184,000. Sementara untuk produk dalam negeri keringanan pajak yang diberikan hanya sebesar US$ 472,500.
Perbedaan perlakukan pajak antara produk barang-jadi impor dan produk dalam negeri, berdampak pada pemungutan pajak yang lebih besar kepada produsen dalam negeri dari pada produsen luar negeri. Dari contoh unit pembangkit 2x8MW di atas pendapatan pemerintah akibat adanya import material untuk difabrikasi/assembly lokal mencapai US$ 665,446.81 sementara bila diimpor langsung sebagai barang jadi, pemerintah tidak memperoleh apa – apa. Selain itu, pendapatan pemerintah akibat adanya PPN terhadap porsi lokal juga berbeda cukup signifikan; untuk produk impor produsen luar negeri hanya menyumbang US$672.000 sementara produsen dalam negeri harus dibebani pajak mencapai US$1,532,200. Di sampiing itu, produsen dalam negeri masih dibebani PPh final sebesar 3% yang nominalnya mencapai US$591,000 sementara produsen luar negeri sama sekali tidak memberi kontribusi PPh kepada Pemerintah RI.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia bidang Energi mengatakan secara umum industri manufaktur lokal masih mengidap inferiority syndrome karena masih lemah dalam kemampuan rekayasa dan desain, belum ada perusahaan manufaktur yang berskala besar, masih lemah dalam kendali kualitas, tidak ada pihak yang secara terus menerus dan konsisten memperjuangkan industri dalam negeri, masih lemahnya dukungan pasar domestik, kurangnya ketersediaan modal, dan masih lekatnya karut-marut kebijakan fiskal. Pendapat pejabat Kadin ini diamini oleh pejabat Departemen Perindustrian yang menambahi faktor masih ada keraguan tentang mutu produk dalam negeri dan belum adanya dukungan dan keberpihakan.
Jadi siapa sebenarnya biang keladi dari lemahnya daya saing industri dalam negeri, bahkan di negeri sendiri? Departemen Perindustrian menyajikan sederet kebijakan pemerintah di bidang industri yang – konon – dimaksudkan meningkatkan kemampuan dan daya saing industri lokal. Di pihak lain pejabat Departemen Keuangan yang mengurusi kebijakan fiskal berusaha meyakinkan masyarakat bahwa sudah banyak sekali, kebijakan fiskal yang diterbitkan untuk mendukung industri nasional? Lantas kenapa industri daam negeri masih dan selalu lesu, loyo dan senantiasa kalah bersaing?
Menggunakan analisa sederhana dari disiplin public policy development bisa jadi apa (kebijakan) yang dibuat bukan yang dibutuhkan, baik secara substansi maupun konteksnya. Atau dapat juga karena yang membuat kebijakan tidak tahu apa yang dibutuhkan oleh pasar, atau tidak tahu “dunia luar” sehingga kebijakan yang dihasikan bersifat partial, sektoral, tidak merupakan kebijakan yang terintegrasi dapat mengakomidasi kepentingan multisektor. Sinyalemen dari kalangan pemerintah tentang tidak adanya dukungan dan keberpihakan bisa jadi merupakan pengakuan terhadap sikap diri sendiri. Yang pasti, kriteria kebijakan publik yang baik bukan hanya dari apa saja yang diatur namun juga tak kalah pentingnya adalah bagaimana implikasi dari kebijakan dan regulasi setelah diimplementasikan. Jika hasilnya negatif atau nol, maka kebijakan dan regulasi tersebut layak disebut sebagai flaw policies and regulations, kebijakan dan regulasi yang cacat.
Lantas bagaimana solusinya? Membiarkan saja? Atau melakukan sesuatu untuk mengubah kondisi yang tidak menguntungkan bagi industri manufaktur dalam negeri? Diam membela status quo bukan tugas pejabat publik, jadi pilihannya hanya lakukan perubahan. Selagi masih hangat duduk di kursi kabinet, para menteri terkait sebaiknya mulai memikirkan bagaimana merenovasi kebijakan industri dalam negeri agar lebih punya daya saing. Michael Porter dalam karya besarnya menyatakan “daya saing negara bukan di tangan pemerintah, namun industri; jika industri berdaya saing, maka ekonomi negara akan berdaya saing” Tidak ada yang salah dari pendapat Porter ini, kecuali hanya sebuah koreksi dari Richard Vietor yang menyatakan “bagaimanapun Pemerintah masih punya pengaruh dalam membangun daya saing perekonomiannya; melalui regulasi industri Pemerintah dapat menguatkan atau melemahkan industri dalam negeri.”
Sampai di sini benang merahnya jelas. Tujuan yang baik ternyata masih memerlukan keterbukaan wawasan, keberpihakan, dukungan berbagai pihak, dan keberanian untuk menyempurnakan kebijakan yang ada. Jika tidak, paradoks akan terus terjadi***
Dilema Tarif Listrik Dalam Pertumbuhan Ekonomi
Bahwasanya terdapat hubungan dan saling pengaruh antara listrik dan aktivitas ekonomi sudah banyak diteliti dan bukti empirik sudah menunjukkan adanya hubungan positif di antara keduanya. Persoalan yang dihadapi oleh banyak negara berkembang termasuk Indonesia terkait dengan hubungan antara listrik dan aktivitas ekonomi tidak jauh dari pertumbuhan permintaan tenaga listrik sebagai akibat peningkatan aktivitas ekonomi di satu pihak dengan kemampuan menyediakan pasokan listrik di pihak lain. Ketidak-mampuan mencukupi permintaan listrik pada gilirannya akan menyusutkan aktivitas ekonomi, yang semula menandakan adanya pertumbuhan. Wal hasil, ekonomi gagal tumbuh alias stagnan atau bahkan menyusut hanya karena minimnya pasokan listrik.
Ada banyak hal yang dapat dijadikan “kambing hitam” minimnya pasokan listrik. Salah satu di antaranya, yang menyentuh semua stakeholder yang terlibat dalam penyediaan, distribusi dan penggunaan listrik, adalah tarif. Hingga hari ini listrik masih diperlakukan sebagai utilitas, belum sebagai komoditas, sehingga industri tenaga listrik masih bersifat regulated. Struktur, conduct dan kinerja diatur oleh Pemerintah selaku pembuat kebijakan dan regulator. Meskipun dalam visi dan misi regulator ketenagalistrikan dinyatakan penyediaan listrik untuk mendukung tercapainya kesejahteraan masyarakat, dalam kenyataannya regulasi tarif masih menciptakan jebakan pertumbuhan ekonomi. Mengapa demikian?
Indonesia mengandalkan energi primer BBM, Gas Alam, Batubara, dan Panas Bumi. Keempat sumber energi primer ini terdapat dalam jumlah besar tersebar di wilayah NKRI dari Sabang hingga Merauke. Ketergantungan PLN kepada empat jenis energi primer ini sangat tinggi. Persoalan muncul ketika kebijakan energi primer tidak nyambung dengan kebijakan energi listrik. Harga energi primer dilepas sesuai mekanisme pasar, sementara listrik yang masih dianggap sebagai utilitas tarif dasar atau harga jual kepada konsumen dibuat serendah mungkin. Akibatnya, timbul gap yang kemudian ditutup dengan subsidi. Tidak ada masalah dengan subsidi apabila kondisi fiskal senantiasa mencukupi. Menjadi masalah ketika subsidi dikurangi, sementara rakyat sudah telanjur menikmati listrik murah.
Masalah terkait tarif juga muncul di sisi pembangkitan. Ketika PLN sebagai pemegang mandat pemerintah untuk melaksanakan penyediaan listrik tidak mampu memenuhi seluruh permintaan, dan di pihak lain swasta sudah mulai mampu berinvestasi di sektor tenaga listrik, diselenggarakanlah listrik swasta (Independen Power Producer / IPP). IPP membangun pembangkit listrik berdasarkan perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement / PPA), dan daya listrik yang dihasilkan dijual kepada PLN. IPP generasi pertama praktis tidak banyak menemui masalah, hal ini terutama karena pada waktu itu Pemerintah masih berkenan menerbitkan Jaminan sehingga lembaga keuangan dan perbankan bersuka cita memberikan pendanaan. Selain itu, tarif harga jual listrik, oleh perbankan, masih dianggap layak untuk memberikan tingkat kembalian investasi yang memadai.
Masalah muncul di IPP generasi kedua. Pertama, pemerintah tidak lagi memberikan jaminan; kedua, tarif yang disepakati dalam PPA menjadikan proyek tidak layak (lagi) untuk didanai. Mengapa demikian? Tarif yang ditawarkan oleh para investor pada waktu tender pada umumnya dibawah US$ 5 cent per kWh. Angka ini merupakan angka imaginer yang diturunkan dari sebuah regulasi tentang tarif beli listrik oleh PLN kepada IPP yang kemudian dijadikan acuan dalam tender. Selain adanya “batas atas imaginer” rupanya program listrik swasta mengundang minat banyak investor. Akibatnya para investor bersedia menawarkan harga di bawah US$ 5 cent per kWh agar dapat memenangi tender IPP. Inilah awal dilema tarif yang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.
Dilema tidak hanya dihadapi oleh investor, namun juga oleh PLN, Pemerintah, lembaga keuangan, vendor teknologi, dan tentu saja masyarakat selaku konsumen listrik. Bagi investor jika proyek dihentikan, terbayang potensi kerugian; sebaliknya jika dilanjutkan dengan tarif yang sudah disepakati pun akan lebih besar lagi kerugiannya. Bagi PLN, jika listrik swasta tidak berhasil, ini dapat berarti kegagalan manajemen, kegagalan memenuhi pasokan listrik, dan kegagalan memenuhi komitmen yang telah dinyatakan kepada pemerintah.
Dengan harga di bawah US$ 5 cent per kWh dan kondisi pasar global yang volatile, harga bahan baku melejit dari yang semula diperkirakan, menjadikan hanya tinggal 8 (delapan) IPP yang terus melaju dari 160-an pemegang PPA. Yang 8 (delapan) inipun sekarang terhenti kemajuan proyeknya. Bank tidak bersedia mendanai proyek yang tidak feasible, walaupun produk dari proyek tersebut akan bermanfaat bagi segenap manusia.
Tantangannya sekarang, apakah kita mau membiarkannya saja sebagai suatu dilema sehingga semua pihak dirugikan, atau lakukan sesuatu sehingga semua pihak meraih manfaat. Dalam kebijakan publik tidak ada keajaiban timbul dari keputusan tidak melakukan sesuatu (status quo). Perubahan harus dengan sengaja direncanakan, dibuat keputusan dan dilaksanakan. Menteri ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) tentang tarif jual listrik yang semula diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi dilakukannya negosiasi ulang tarif PPA. Namun kenyataannya Permen tersebut tidak dapat diimplementasikan. PLN belum bersedia menyesuaikan tarif beli listrik dari IPP. Argumen manajemen PLN, masih dibutuhkan payung hukum yang lebih tinggi.
Undang – Undang Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan telah disahkan, dapatkah UU 30/09 ini menjadi payung hukum bagi upaya penyesuaian tarif jual-beli listrik? Sebagian pihak meragukan. Ada yang berargumen, masih diperlukan peraturan pelaksanaan (yang sampai sekarang belum diterbitkan), ada juga yang menyatakan terlalu tinggi, cukup dengan Peraturan atau Instruksi Presiden saja. Apapun yang akan menjadi payung hukum, ada satu hal esensial yang tidak boleh ditinggal, keberpihakan. Apakah kekuasaan hanya untuk kekuasaan, atau kekuasaan untuk berpihak kepada kemakmuran rakyat. Presiden tahu jawabnya.*****
Ada banyak hal yang dapat dijadikan “kambing hitam” minimnya pasokan listrik. Salah satu di antaranya, yang menyentuh semua stakeholder yang terlibat dalam penyediaan, distribusi dan penggunaan listrik, adalah tarif. Hingga hari ini listrik masih diperlakukan sebagai utilitas, belum sebagai komoditas, sehingga industri tenaga listrik masih bersifat regulated. Struktur, conduct dan kinerja diatur oleh Pemerintah selaku pembuat kebijakan dan regulator. Meskipun dalam visi dan misi regulator ketenagalistrikan dinyatakan penyediaan listrik untuk mendukung tercapainya kesejahteraan masyarakat, dalam kenyataannya regulasi tarif masih menciptakan jebakan pertumbuhan ekonomi. Mengapa demikian?
Indonesia mengandalkan energi primer BBM, Gas Alam, Batubara, dan Panas Bumi. Keempat sumber energi primer ini terdapat dalam jumlah besar tersebar di wilayah NKRI dari Sabang hingga Merauke. Ketergantungan PLN kepada empat jenis energi primer ini sangat tinggi. Persoalan muncul ketika kebijakan energi primer tidak nyambung dengan kebijakan energi listrik. Harga energi primer dilepas sesuai mekanisme pasar, sementara listrik yang masih dianggap sebagai utilitas tarif dasar atau harga jual kepada konsumen dibuat serendah mungkin. Akibatnya, timbul gap yang kemudian ditutup dengan subsidi. Tidak ada masalah dengan subsidi apabila kondisi fiskal senantiasa mencukupi. Menjadi masalah ketika subsidi dikurangi, sementara rakyat sudah telanjur menikmati listrik murah.
Masalah terkait tarif juga muncul di sisi pembangkitan. Ketika PLN sebagai pemegang mandat pemerintah untuk melaksanakan penyediaan listrik tidak mampu memenuhi seluruh permintaan, dan di pihak lain swasta sudah mulai mampu berinvestasi di sektor tenaga listrik, diselenggarakanlah listrik swasta (Independen Power Producer / IPP). IPP membangun pembangkit listrik berdasarkan perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement / PPA), dan daya listrik yang dihasilkan dijual kepada PLN. IPP generasi pertama praktis tidak banyak menemui masalah, hal ini terutama karena pada waktu itu Pemerintah masih berkenan menerbitkan Jaminan sehingga lembaga keuangan dan perbankan bersuka cita memberikan pendanaan. Selain itu, tarif harga jual listrik, oleh perbankan, masih dianggap layak untuk memberikan tingkat kembalian investasi yang memadai.
Masalah muncul di IPP generasi kedua. Pertama, pemerintah tidak lagi memberikan jaminan; kedua, tarif yang disepakati dalam PPA menjadikan proyek tidak layak (lagi) untuk didanai. Mengapa demikian? Tarif yang ditawarkan oleh para investor pada waktu tender pada umumnya dibawah US$ 5 cent per kWh. Angka ini merupakan angka imaginer yang diturunkan dari sebuah regulasi tentang tarif beli listrik oleh PLN kepada IPP yang kemudian dijadikan acuan dalam tender. Selain adanya “batas atas imaginer” rupanya program listrik swasta mengundang minat banyak investor. Akibatnya para investor bersedia menawarkan harga di bawah US$ 5 cent per kWh agar dapat memenangi tender IPP. Inilah awal dilema tarif yang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.
Dilema tidak hanya dihadapi oleh investor, namun juga oleh PLN, Pemerintah, lembaga keuangan, vendor teknologi, dan tentu saja masyarakat selaku konsumen listrik. Bagi investor jika proyek dihentikan, terbayang potensi kerugian; sebaliknya jika dilanjutkan dengan tarif yang sudah disepakati pun akan lebih besar lagi kerugiannya. Bagi PLN, jika listrik swasta tidak berhasil, ini dapat berarti kegagalan manajemen, kegagalan memenuhi pasokan listrik, dan kegagalan memenuhi komitmen yang telah dinyatakan kepada pemerintah.
Dengan harga di bawah US$ 5 cent per kWh dan kondisi pasar global yang volatile, harga bahan baku melejit dari yang semula diperkirakan, menjadikan hanya tinggal 8 (delapan) IPP yang terus melaju dari 160-an pemegang PPA. Yang 8 (delapan) inipun sekarang terhenti kemajuan proyeknya. Bank tidak bersedia mendanai proyek yang tidak feasible, walaupun produk dari proyek tersebut akan bermanfaat bagi segenap manusia.
Tantangannya sekarang, apakah kita mau membiarkannya saja sebagai suatu dilema sehingga semua pihak dirugikan, atau lakukan sesuatu sehingga semua pihak meraih manfaat. Dalam kebijakan publik tidak ada keajaiban timbul dari keputusan tidak melakukan sesuatu (status quo). Perubahan harus dengan sengaja direncanakan, dibuat keputusan dan dilaksanakan. Menteri ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) tentang tarif jual listrik yang semula diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi dilakukannya negosiasi ulang tarif PPA. Namun kenyataannya Permen tersebut tidak dapat diimplementasikan. PLN belum bersedia menyesuaikan tarif beli listrik dari IPP. Argumen manajemen PLN, masih dibutuhkan payung hukum yang lebih tinggi.
Undang – Undang Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan telah disahkan, dapatkah UU 30/09 ini menjadi payung hukum bagi upaya penyesuaian tarif jual-beli listrik? Sebagian pihak meragukan. Ada yang berargumen, masih diperlukan peraturan pelaksanaan (yang sampai sekarang belum diterbitkan), ada juga yang menyatakan terlalu tinggi, cukup dengan Peraturan atau Instruksi Presiden saja. Apapun yang akan menjadi payung hukum, ada satu hal esensial yang tidak boleh ditinggal, keberpihakan. Apakah kekuasaan hanya untuk kekuasaan, atau kekuasaan untuk berpihak kepada kemakmuran rakyat. Presiden tahu jawabnya.*****
Sunday, October 18, 2009
Harga saham untuk sektor telekomunikasi terlihat semakin "sexy". Bisa diartikan, sektor ini mencatatkan pertumbuhan yang cukup berarti. Bagaimana dengan prospek sektor telekomunikasi di tanah air pada 2010 nanti?
Tahun 2010 saya perkirakan tidak banyak perubahan dari tahun 2009. Mengapa demikian? Pertama, dari aspek teknologi, tidak ada implementasi teknologi baru. 2G sudah mencapai maturity, 3G secara teknologi sudah terpasang tinggal diupayakan penyebar-luasan basis pelanggan. Untuk teknologi selular lain seperti CDMA, profile-nya juga sama, sudah terpasang tinggal peningkatana pentrasi pasar. Jikapun ada perubahan, akan terjadi pada peningkatan kapasitas jaringan tulang punggung (backbone) khususnya di wilayah Indonesia bagian timur yang pada bulan Oktober ini mulai dipasang jaringan serat optik. Selain itu, tender Wimax di pertengahan tahun 2009, kemungkinan sudah ada perusahaan pemenang tender yang mulai menawarkan layanan. Inipun dengan catatan, apabila secara komersial layak dioperasionalkan mengingat, ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang menjadi syarat utama, sementara kemampuan manufaktur dalam negeri bisa jadi belum mampu memenuhi permintaan pasar, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Kedua, dari aspek regulasi, saya memperkirakan peluang terjadi perubahan dalam regulasi telekomunikasi relatif kecil. Regulasi signifikan seperti pengaturan tarif, interkoneksi, standarisasi peralatan, USO, frekuensi, dan perizinan sudah dibuat pada tahun 2009 ke belakang, dan secara substansial sudah mencukupi sebagai syarat dalam industri telekomunikasi yang kompetitif. Khusus tentang perizinan, suatu aspek yang sangat berpengaruh terhadap struktur industri, arahnya akan berubah, tidak lagi satu izin untuk satu jenis layanan seperti sekarang ini, namun mengarah ke satu izin untuk berbagai layanan (universal licensing = UL). Saya perkirakan sepanjang tahun 2010 diskursus kebijakan dan regulasi telekomunikasi akan diwarnai oleh topik UL ini. Hal ini dapat dimaklumi, karena Indonesia mulai memasuki tahap pendewasaan dalam era kompetisi, yang mensyaratkan pengelolaan sumberdaya telekomunikasi secara efisien dan efektif.
Masih terkait aspek regulasi, buntut dari kebijakan menteri Kominfo yang terbit di awal tahun 2008 tentang penggunaan bersama menara telekomunikasi masih akan eksis hingga akhir tahun 2010. Sepanjang tahun 2009, industri telekomunikasi khususnya layanan selular bergerak mendapat “musuh bersama” ketika muncul Perda-perda yang menolak pemberian izin baru pendirian menara telekomunikasi, bahkan di Kabupaten Badung, menara telekomunikasi yang semual memiliki IMB dirobohkan oleh Pemda, hanya karena Pemda telah bekerja-sama secara monopoli dengan suatu perusahaan penyedia menara telekomunikasi. Saya perkirakan “fenomena Badung” masih akan terulang oleh pemerintah daerah yang badung. Yang menarik, ternyata di balik tindakan badung beberapa pemertintah daerah, ada pengusaha yang berperan sebagai aktor intelektual. Sayangnya pengusaha semacam ini takut berkompetisi, sehingga mereka menggunakan tameng para pejabat daerah yang dalam beberapa hal, dapat dibodohi oleh pengusaha semacam ini.
Masih terkait aspek regulasi dan kebijakan, jika struktur Departemen Kominfo berubah, saya perkirakan karakter industri telekomunikasi Indonesia akan terpengaruh, dan apabila masa transisi pembuat kebijakan regulator ini tidak dikelola dengan baik, ada kemungkinan dapat menggoyahkan keyakinan investor, atau malah dapat menurunkan kualitas layanan. Dari rancangan struktur Kominfo yang saya terima tenagh bulan Spetember 2009, tidak terlihat posisi badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang jelasa dan tegas, sehingga eksistensinya masih menjadi tanda tanya besar.
Ketiga, dari aspek bisnis, persaingan harga akan semakin ketat. Namun demikian, saya menduga, para eksekutif telekomunikasi akan lebih bijak dalam bersaing. Belajar dari tahun – tahun lalu, persaingan tajam yang saling memprovokasi harga hanya berujung pada penurunan keuntungan. Sementara, loyalitas pelanggan yang meningkatkan value perusahaan susah tercapai lantaran mudahnya berganti-ganti nomor serta “berhasilnya” program provokasi harga.
Bisnis data dan akses Internet secara mobil yang mulai ditawarkan operator sejak awal 2008 (setelah infrastruktur 3G terpasang) dan mulai menanjak pada 2009, pada 2010 akan menemui tantangan persaingan dari operator Broadband Wireless Access (BWA) yang menggunakan Wimax. Memang lisensi BWA yang ditenderkan pada Mei 2009 untuk jenis layanan nomadic alias tetap (fixed) namun dapat bergerak selagi masih berada dalam jangkauan Base Transceve System (BTS) dan ketika pergerakan melewati batas jangkauan (coverage) pengguna harus menyambung kembali hubungan yang terputus. Mengingat apabila hanya mengandalkan layanan nomadic daya tariknya diperkirakan relatif rendah, maka saya menduga pemegang lisensi BWA akan mulai “memperkenalkan” secara diam-diam layanan mobile BWA, hal ini karena secara teknologi memungkinkan.
Masih dalam aspek bisnis, mulai maraknya layanan broadband internet access baik menggunakan teknologi EDGE, GPRS, 3g maupun Wimax, lazimnya akan menuntut ketersediaan konten. Tanpa konten, ibarat jalan raya yang dapat dilalui kendaraan berkecepatan tinggi, mobil sudah mampu melaju dengan kecepatan tinggi, namun tidak ada penumpang di dalamnya. Bicara konten, produk asing yang sudah terkenal oleh masyarakat penggunan perangkat ICT di Indonesia ada banyak sekali, salah satu contohnya facebook. Dari segi ini mestinya ketersediaan konten sudah tidak perlu diragukan lagi, orang asing luar negeri sudah banyak yang membuatnya, tinggal gunaka saja, gratis. Persoalannya, dari yang tersedia banyak ini, porsi konten produksi dalam negeri masih sangat sedikit, untuk menggantikan kata tidak ada yang meraih sukses pasar di negeri sendiri. Padahal, bisnis konten mestinya memberi nilai tambah yang cukup besar bagi bisnis telekomunkasi. Kalaupun ada konten prosuksi dalam negeri lebih banyak yang ecek-ecek, dan banyak pihak merasa dirugikan karena mengikuti layanan nilai tambah seperti sms berhadiah, sms ramalan, dan lain sebagainya.
Apa saja yang menjadi peluang dan tantangan sektor ini di tahun depan?
Peluang? Masih banyak daerah di wilayah Indonesia yang belum terjangkau layanan telekomunikasi baik untuk suara maupun data. Sementara, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tahu manfaat telekomunikasi. Artinya permintaan terhadap layanan telekomunikasi masih cukup besar untuk diberikan oleh semua operator telekomunikasi yang ada.
Tantangan? Bagaimanapun, suka atau benci, sadar atau tidak tahu, telekomunikasi sudah beralih rupa menjadi komoditas. Namun demikian, perlakuan penyediaan layanan telekomunikasi hanya dengan pendekatan bisnis tidak tepat. Masih banyak wilayah dan penduduk Indonesia yang membutuhkan “bantuan” hingga mampu memiliki “kebutuhan” terhadap telekomunikasi. Konflik kepentingan semacam ini perlu dijembatani oleh pembuat kebijakan dengan menyatakan bahwa untuk daerah – daerah tertentu, seperti misalnya kawasan tertinggal, daerah perbatasan, daerah terpencil, penyediaan layanan telekomunikasi menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam pelaksanaannya bisa saja diserahkena ke swasta atau BUMN, namun karena masih merugi sehingga pemerintah memberikan subsidi.
Tantangan lain? Masih banyak, khususnya bagi operator yang masuk ke pasar relatif belakangan, seperti 3 (baca: three) dan Axis. Mereka berdua masuk ke layanan GSM dan 3G ketika pasar sudah dikuasai oleh 3 pemain besar Telkomsel, Indosat dan XL. Tantangan pertama bagi kedua operator pendatang baru ini sudah terlewati, seperti mendapatkan interkoneksi dari semua operator lainnya, tantangan kedua juga sudah berhasil diatasi, ketika kedua operator baru ini mulai memasuki pasar dan memperkenalkan produk mereka dengan tarif yang lebih murah dari para pendahulunya. 2010 akan menjadi tahun penentu bagi kedua 3 dan Axis, apakah masing-masing sanggup meraih 10 juta pelanggan setia. Dengan layanan yang tidak berbeda dari para pesaingnya, tidak ada perbedaan signifikan segmentasi pasar yang disasar, serta wilayah jangkauan yang sama (nasional) maka hanya tersisa strategi perusahaan yang akan membedakan dua perusahaan ini dari golongan kalah atau menang. Jika kalah, maka saya perkirakan, merger dan akuisisi akan terjadi di 2011.
Apakah ketatnya persaingan di sektor ini akan memunculkan tren merger atau bahkan akuisisi?
Pembicaraan merger dan akuisisi antara dua operator telekomunikasi dengan teknologi yang sama (CDMA) sudah terjadi sejak tengah tahun 2009, sampai wawancara ini ditulis, transaksi belum terjadi. Jika segala sesuatunya lancar, awal 2010 akan diwarnai oleh bergabungnya dua operator CDMA. Atau jika sampai dengan tengah tahun 2010 berita merger dua operator CDMA ini tidak muncul, maka salah satu atau keduanya sudah diakuisisi oleh investor yang berbeda. Yang hampir pasti, kedua operator CDMA ini memerlukan “pertolongan” atau darah segar dari pemilik baru.
Untuk operator selular yang berbasis GSM dan 3G, profile knerjanya agak berbeda. Tiga operator besar (Telkomsel, Indosat dan XL) rasanya tidak ada perubahan dalam susunan pemilik saham. Hal ini dapat dimengerti karena motivasi pemegang saham lebih pada perluasan usaha serupa mereka di negerinya masing-masing, dan mereka mudah-mudahan bukan tergolong investor yang jangkauan wawasannya pendek. Ketiga operator sellular tersebut relatif sudah stabil, tinggal mengembangkan layana dan mempertahankan diri jika sewaktu-waktu terjadi goncangan pasar. Merger dua atau lebih operator selular berbasis GSM dan 3G keliatannya tidak terjadi di 2010, tetapi ada kemungkinan terjadi di tahun 2011. Itupun dengan asumsi kedua pendatang baru operator GSM/3G tersebut gagal mencapai moment perubahan pada kuartal 4 tahun 2010.
Akuisisi operator selular terhadap perusahaan pendukung atau penyedia jasa nilai tambah, ada kemungkinan akan terjadi lagi, setelah tahu 2008 dilakukan oleh Telkom terhadap Sigma. Motivasi akuisisi semacam ini lebih pada sinergi penyediaan aplikasi pendukung operasional seperti penyediaan aplikasi billing, ERP. SCM, dan atau CRM. Lebih jauh, akuisisi yang mungkin akan terjadi dimaksudkan untuk komplemen terhadap infrastruktur telekomunikasi yang sudah dimiliki. Dengan demikian, ke depan operator telekomunikasi tidak hanya menjual layanan konvensional suara dan data (akses Internet) namun juga melayani jasa nilai tambah seperti fasilitasi transaksi dan pembayaran secara elektronik, penyedia konten, jasa konsultasi ICT dan lain sebagainya yang semuanya memanfaatkan kompetensi dan sumber daya yang sudah dimiliki. Jadi hal ini semacam ekstensifikasi pemanfaatan sumber daya perusahaan.
Tahun 2010 saya perkirakan tidak banyak perubahan dari tahun 2009. Mengapa demikian? Pertama, dari aspek teknologi, tidak ada implementasi teknologi baru. 2G sudah mencapai maturity, 3G secara teknologi sudah terpasang tinggal diupayakan penyebar-luasan basis pelanggan. Untuk teknologi selular lain seperti CDMA, profile-nya juga sama, sudah terpasang tinggal peningkatana pentrasi pasar. Jikapun ada perubahan, akan terjadi pada peningkatan kapasitas jaringan tulang punggung (backbone) khususnya di wilayah Indonesia bagian timur yang pada bulan Oktober ini mulai dipasang jaringan serat optik. Selain itu, tender Wimax di pertengahan tahun 2009, kemungkinan sudah ada perusahaan pemenang tender yang mulai menawarkan layanan. Inipun dengan catatan, apabila secara komersial layak dioperasionalkan mengingat, ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang menjadi syarat utama, sementara kemampuan manufaktur dalam negeri bisa jadi belum mampu memenuhi permintaan pasar, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Kedua, dari aspek regulasi, saya memperkirakan peluang terjadi perubahan dalam regulasi telekomunikasi relatif kecil. Regulasi signifikan seperti pengaturan tarif, interkoneksi, standarisasi peralatan, USO, frekuensi, dan perizinan sudah dibuat pada tahun 2009 ke belakang, dan secara substansial sudah mencukupi sebagai syarat dalam industri telekomunikasi yang kompetitif. Khusus tentang perizinan, suatu aspek yang sangat berpengaruh terhadap struktur industri, arahnya akan berubah, tidak lagi satu izin untuk satu jenis layanan seperti sekarang ini, namun mengarah ke satu izin untuk berbagai layanan (universal licensing = UL). Saya perkirakan sepanjang tahun 2010 diskursus kebijakan dan regulasi telekomunikasi akan diwarnai oleh topik UL ini. Hal ini dapat dimaklumi, karena Indonesia mulai memasuki tahap pendewasaan dalam era kompetisi, yang mensyaratkan pengelolaan sumberdaya telekomunikasi secara efisien dan efektif.
Masih terkait aspek regulasi, buntut dari kebijakan menteri Kominfo yang terbit di awal tahun 2008 tentang penggunaan bersama menara telekomunikasi masih akan eksis hingga akhir tahun 2010. Sepanjang tahun 2009, industri telekomunikasi khususnya layanan selular bergerak mendapat “musuh bersama” ketika muncul Perda-perda yang menolak pemberian izin baru pendirian menara telekomunikasi, bahkan di Kabupaten Badung, menara telekomunikasi yang semual memiliki IMB dirobohkan oleh Pemda, hanya karena Pemda telah bekerja-sama secara monopoli dengan suatu perusahaan penyedia menara telekomunikasi. Saya perkirakan “fenomena Badung” masih akan terulang oleh pemerintah daerah yang badung. Yang menarik, ternyata di balik tindakan badung beberapa pemertintah daerah, ada pengusaha yang berperan sebagai aktor intelektual. Sayangnya pengusaha semacam ini takut berkompetisi, sehingga mereka menggunakan tameng para pejabat daerah yang dalam beberapa hal, dapat dibodohi oleh pengusaha semacam ini.
Masih terkait aspek regulasi dan kebijakan, jika struktur Departemen Kominfo berubah, saya perkirakan karakter industri telekomunikasi Indonesia akan terpengaruh, dan apabila masa transisi pembuat kebijakan regulator ini tidak dikelola dengan baik, ada kemungkinan dapat menggoyahkan keyakinan investor, atau malah dapat menurunkan kualitas layanan. Dari rancangan struktur Kominfo yang saya terima tenagh bulan Spetember 2009, tidak terlihat posisi badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang jelasa dan tegas, sehingga eksistensinya masih menjadi tanda tanya besar.
Ketiga, dari aspek bisnis, persaingan harga akan semakin ketat. Namun demikian, saya menduga, para eksekutif telekomunikasi akan lebih bijak dalam bersaing. Belajar dari tahun – tahun lalu, persaingan tajam yang saling memprovokasi harga hanya berujung pada penurunan keuntungan. Sementara, loyalitas pelanggan yang meningkatkan value perusahaan susah tercapai lantaran mudahnya berganti-ganti nomor serta “berhasilnya” program provokasi harga.
Bisnis data dan akses Internet secara mobil yang mulai ditawarkan operator sejak awal 2008 (setelah infrastruktur 3G terpasang) dan mulai menanjak pada 2009, pada 2010 akan menemui tantangan persaingan dari operator Broadband Wireless Access (BWA) yang menggunakan Wimax. Memang lisensi BWA yang ditenderkan pada Mei 2009 untuk jenis layanan nomadic alias tetap (fixed) namun dapat bergerak selagi masih berada dalam jangkauan Base Transceve System (BTS) dan ketika pergerakan melewati batas jangkauan (coverage) pengguna harus menyambung kembali hubungan yang terputus. Mengingat apabila hanya mengandalkan layanan nomadic daya tariknya diperkirakan relatif rendah, maka saya menduga pemegang lisensi BWA akan mulai “memperkenalkan” secara diam-diam layanan mobile BWA, hal ini karena secara teknologi memungkinkan.
Masih dalam aspek bisnis, mulai maraknya layanan broadband internet access baik menggunakan teknologi EDGE, GPRS, 3g maupun Wimax, lazimnya akan menuntut ketersediaan konten. Tanpa konten, ibarat jalan raya yang dapat dilalui kendaraan berkecepatan tinggi, mobil sudah mampu melaju dengan kecepatan tinggi, namun tidak ada penumpang di dalamnya. Bicara konten, produk asing yang sudah terkenal oleh masyarakat penggunan perangkat ICT di Indonesia ada banyak sekali, salah satu contohnya facebook. Dari segi ini mestinya ketersediaan konten sudah tidak perlu diragukan lagi, orang asing luar negeri sudah banyak yang membuatnya, tinggal gunaka saja, gratis. Persoalannya, dari yang tersedia banyak ini, porsi konten produksi dalam negeri masih sangat sedikit, untuk menggantikan kata tidak ada yang meraih sukses pasar di negeri sendiri. Padahal, bisnis konten mestinya memberi nilai tambah yang cukup besar bagi bisnis telekomunkasi. Kalaupun ada konten prosuksi dalam negeri lebih banyak yang ecek-ecek, dan banyak pihak merasa dirugikan karena mengikuti layanan nilai tambah seperti sms berhadiah, sms ramalan, dan lain sebagainya.
Apa saja yang menjadi peluang dan tantangan sektor ini di tahun depan?
Peluang? Masih banyak daerah di wilayah Indonesia yang belum terjangkau layanan telekomunikasi baik untuk suara maupun data. Sementara, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tahu manfaat telekomunikasi. Artinya permintaan terhadap layanan telekomunikasi masih cukup besar untuk diberikan oleh semua operator telekomunikasi yang ada.
Tantangan? Bagaimanapun, suka atau benci, sadar atau tidak tahu, telekomunikasi sudah beralih rupa menjadi komoditas. Namun demikian, perlakuan penyediaan layanan telekomunikasi hanya dengan pendekatan bisnis tidak tepat. Masih banyak wilayah dan penduduk Indonesia yang membutuhkan “bantuan” hingga mampu memiliki “kebutuhan” terhadap telekomunikasi. Konflik kepentingan semacam ini perlu dijembatani oleh pembuat kebijakan dengan menyatakan bahwa untuk daerah – daerah tertentu, seperti misalnya kawasan tertinggal, daerah perbatasan, daerah terpencil, penyediaan layanan telekomunikasi menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam pelaksanaannya bisa saja diserahkena ke swasta atau BUMN, namun karena masih merugi sehingga pemerintah memberikan subsidi.
Tantangan lain? Masih banyak, khususnya bagi operator yang masuk ke pasar relatif belakangan, seperti 3 (baca: three) dan Axis. Mereka berdua masuk ke layanan GSM dan 3G ketika pasar sudah dikuasai oleh 3 pemain besar Telkomsel, Indosat dan XL. Tantangan pertama bagi kedua operator pendatang baru ini sudah terlewati, seperti mendapatkan interkoneksi dari semua operator lainnya, tantangan kedua juga sudah berhasil diatasi, ketika kedua operator baru ini mulai memasuki pasar dan memperkenalkan produk mereka dengan tarif yang lebih murah dari para pendahulunya. 2010 akan menjadi tahun penentu bagi kedua 3 dan Axis, apakah masing-masing sanggup meraih 10 juta pelanggan setia. Dengan layanan yang tidak berbeda dari para pesaingnya, tidak ada perbedaan signifikan segmentasi pasar yang disasar, serta wilayah jangkauan yang sama (nasional) maka hanya tersisa strategi perusahaan yang akan membedakan dua perusahaan ini dari golongan kalah atau menang. Jika kalah, maka saya perkirakan, merger dan akuisisi akan terjadi di 2011.
Apakah ketatnya persaingan di sektor ini akan memunculkan tren merger atau bahkan akuisisi?
Pembicaraan merger dan akuisisi antara dua operator telekomunikasi dengan teknologi yang sama (CDMA) sudah terjadi sejak tengah tahun 2009, sampai wawancara ini ditulis, transaksi belum terjadi. Jika segala sesuatunya lancar, awal 2010 akan diwarnai oleh bergabungnya dua operator CDMA. Atau jika sampai dengan tengah tahun 2010 berita merger dua operator CDMA ini tidak muncul, maka salah satu atau keduanya sudah diakuisisi oleh investor yang berbeda. Yang hampir pasti, kedua operator CDMA ini memerlukan “pertolongan” atau darah segar dari pemilik baru.
Untuk operator selular yang berbasis GSM dan 3G, profile knerjanya agak berbeda. Tiga operator besar (Telkomsel, Indosat dan XL) rasanya tidak ada perubahan dalam susunan pemilik saham. Hal ini dapat dimengerti karena motivasi pemegang saham lebih pada perluasan usaha serupa mereka di negerinya masing-masing, dan mereka mudah-mudahan bukan tergolong investor yang jangkauan wawasannya pendek. Ketiga operator sellular tersebut relatif sudah stabil, tinggal mengembangkan layana dan mempertahankan diri jika sewaktu-waktu terjadi goncangan pasar. Merger dua atau lebih operator selular berbasis GSM dan 3G keliatannya tidak terjadi di 2010, tetapi ada kemungkinan terjadi di tahun 2011. Itupun dengan asumsi kedua pendatang baru operator GSM/3G tersebut gagal mencapai moment perubahan pada kuartal 4 tahun 2010.
Akuisisi operator selular terhadap perusahaan pendukung atau penyedia jasa nilai tambah, ada kemungkinan akan terjadi lagi, setelah tahu 2008 dilakukan oleh Telkom terhadap Sigma. Motivasi akuisisi semacam ini lebih pada sinergi penyediaan aplikasi pendukung operasional seperti penyediaan aplikasi billing, ERP. SCM, dan atau CRM. Lebih jauh, akuisisi yang mungkin akan terjadi dimaksudkan untuk komplemen terhadap infrastruktur telekomunikasi yang sudah dimiliki. Dengan demikian, ke depan operator telekomunikasi tidak hanya menjual layanan konvensional suara dan data (akses Internet) namun juga melayani jasa nilai tambah seperti fasilitasi transaksi dan pembayaran secara elektronik, penyedia konten, jasa konsultasi ICT dan lain sebagainya yang semuanya memanfaatkan kompetensi dan sumber daya yang sudah dimiliki. Jadi hal ini semacam ekstensifikasi pemanfaatan sumber daya perusahaan.
Mengintip Wajah Telekomunikasi 2010
Harga saham untuk sektor telekomunikasi terlihat semakin "sexy". Bisa diartikan, sektor ini mencatatkan pertumbuhan yang cukup berarti. Bagaimana dengan prospek sektor telekomunikasi di tanah air pada 2010 nanti?
Tahun 2010 saya perkirakan tidak banyak perubahan dari tahun 2009. Mengapa demikian? Pertama, dari aspek teknologi, tidak ada implementasi teknologi baru. 2G sudah mencapai maturity, 3G secara teknologi sudah terpasang tinggal diupayakan penyebar-luasan basis pelanggan. Untuk teknologi selular lain seperti CDMA, profile-nya juga sama, sudah terpasang tinggal peningkatana pentrasi pasar. Jikapun ada perubahan, akan terjadi pada peningkatan kapasitas jaringan tulang punggung (backbone) khususnya di wilayah Indonesia bagian timur yang pada bulan Oktober ini mulai dipasang jaringan serat optik. Selain itu, tender Wimax di pertengahan tahun 2009, kemungkinan sudah ada perusahaan pemenang tender yang mulai menawarkan layanan. Inipun dengan catatan, apabila secara komersial layak dioperasionalkan mengingat, ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang menjadi syarat utama, sementara kemampuan manufaktur dalam negeri bisa jadi belum mampu memenuhi permintaan pasar, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Kedua, dari aspek regulasi, saya memperkirakan peluang terjadi perubahan dalam regulasi telekomunikasi relatif kecil. Regulasi signifikan seperti pengaturan tarif, interkoneksi, standarisasi peralatan, USO, frekuensi, dan perizinan sudah dibuat pada tahun 2009 ke belakang, dan secara substansial sudah mencukupi sebagai syarat dalam industri telekomunikasi yang kompetitif. Khusus tentang perizinan, suatu aspek yang sangat berpengaruh terhadap struktur industri, arahnya akan berubah, tidak lagi satu izin untuk satu jenis layanan seperti sekarang ini, namun mengarah ke satu izin untuk berbagai layanan (universal licensing = UL). Saya perkirakan sepanjang tahun 2010 diskursus kebijakan dan regulasi telekomunikasi akan diwarnai oleh topik UL ini. Hal ini dapat dimaklumi, karena Indonesia mulai memasuki tahap pendewasaan dalam era kompetisi, yang mensyaratkan pengelolaan sumberdaya telekomunikasi secara efisien dan efektif.
Masih terkait aspek regulasi, buntut dari kebijakan menteri Kominfo yang terbit di awal tahun 2008 tentang penggunaan bersama menara telekomunikasi masih akan eksis hingga akhir tahun 2010. Sepanjang tahun 2009, industri telekomunikasi khususnya layanan selular bergerak mendapat “musuh bersama” ketika muncul Perda-perda yang menolak pemberian izin baru pendirian menara telekomunikasi, bahkan di Kabupaten Badung, menara telekomunikasi yang semual memiliki IMB dirobohkan oleh Pemda, hanya karena Pemda telah bekerja-sama secara monopoli dengan suatu perusahaan penyedia menara telekomunikasi. Saya perkirakan “fenomena Badung” masih akan terulang oleh pemerintah daerah yang badung. Yang menarik, ternyata di balik tindakan badung beberapa pemertintah daerah, ada pengusaha yang berperan sebagai aktor intelektual. Sayangnya pengusaha semacam ini takut berkompetisi, sehingga mereka menggunakan tameng para pejabat daerah yang dalam beberapa hal, dapat dibodohi oleh pengusaha semacam ini.
Masih terkait aspek regulasi dan kebijakan, jika struktur Departemen Kominfo berubah, saya perkirakan karakter industri telekomunikasi Indonesia akan terpengaruh, dan apabila masa transisi pembuat kebijakan regulator ini tidak dikelola dengan baik, ada kemungkinan dapat menggoyahkan keyakinan investor, atau malah dapat menurunkan kualitas layanan. Dari rancangan struktur Kominfo yang saya terima tenagh bulan Spetember 2009, tidak terlihat posisi badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang jelasa dan tegas, sehingga eksistensinya masih menjadi tanda tanya besar.
Ketiga, dari aspek bisnis, persaingan harga akan semakin ketat. Namun demikian, saya menduga, para eksekutif telekomunikasi akan lebih bijak dalam bersaing. Belajar dari tahun – tahun lalu, persaingan tajam yang saling memprovokasi harga hanya berujung pada penurunan keuntungan. Sementara, loyalitas pelanggan yang meningkatkan value perusahaan susah tercapai lantaran mudahnya berganti-ganti nomor serta “berhasilnya” program provokasi harga.
Bisnis data dan akses Internet secara mobil yang mulai ditawarkan operator sejak awal 2008 (setelah infrastruktur 3G terpasang) dan mulai menanjak pada 2009, pada 2010 akan menemui tantangan persaingan dari operator Broadband Wireless Access (BWA) yang menggunakan Wimax. Memang lisensi BWA yang ditenderkan pada Mei 2009 untuk jenis layanan nomadic alias tetap (fixed) namun dapat bergerak selagi masih berada dalam jangkauan Base Transceve System (BTS) dan ketika pergerakan melewati batas jangkauan (coverage) pengguna harus menyambung kembali hubungan yang terputus. Mengingat apabila hanya mengandalkan layanan nomadic daya tariknya diperkirakan relatif rendah, maka saya menduga pemegang lisensi BWA akan mulai “memperkenalkan” secara diam-diam layanan mobile BWA, hal ini karena secara teknologi memungkinkan.
Masih dalam aspek bisnis, mulai maraknya layanan broadband internet access baik menggunakan teknologi EDGE, GPRS, 3g maupun Wimax, lazimnya akan menuntut ketersediaan konten. Tanpa konten, ibarat jalan raya yang dapat dilalui kendaraan berkecepatan tinggi, mobil sudah mampu melaju dengan kecepatan tinggi, namun tidak ada penumpang di dalamnya. Bicara konten, produk asing yang sudah terkenal oleh masyarakat penggunan perangkat ICT di Indonesia ada banyak sekali, salah satu contohnya facebook. Dari segi ini mestinya ketersediaan konten sudah tidak perlu diragukan lagi, orang asing luar negeri sudah banyak yang membuatnya, tinggal gunaka saja, gratis. Persoalannya, dari yang tersedia banyak ini, porsi konten produksi dalam negeri masih sangat sedikit, untuk menggantikan kata tidak ada yang meraih sukses pasar di negeri sendiri. Padahal, bisnis konten mestinya memberi nilai tambah yang cukup besar bagi bisnis telekomunkasi. Kalaupun ada konten prosuksi dalam negeri lebih banyak yang ecek-ecek, dan banyak pihak merasa dirugikan karena mengikuti layanan nilai tambah seperti sms berhadiah, sms ramalan, dan lain sebagainya.
Apa saja yang menjadi peluang dan tantangan sektor ini di tahun depan?
Peluang? Masih banyak daerah di wilayah Indonesia yang belum terjangkau layanan telekomunikasi baik untuk suara maupun data. Sementara, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tahu manfaat telekomunikasi. Artinya permintaan terhadap layanan telekomunikasi masih cukup besar untuk diberikan oleh semua operator telekomunikasi yang ada.
Tantangan? Bagaimanapun, suka atau benci, sadar atau tidak tahu, telekomunikasi sudah beralih rupa menjadi komoditas. Namun demikian, perlakuan penyediaan layanan telekomunikasi hanya dengan pendekatan bisnis tidak tepat. Masih banyak wilayah dan penduduk Indonesia yang membutuhkan “bantuan” hingga mampu memiliki “kebutuhan” terhadap telekomunikasi. Konflik kepentingan semacam ini perlu dijembatani oleh pembuat kebijakan dengan menyatakan bahwa untuk daerah – daerah tertentu, seperti misalnya kawasan tertinggal, daerah perbatasan, daerah terpencil, penyediaan layanan telekomunikasi menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam pelaksanaannya bisa saja diserahkena ke swasta atau BUMN, namun karena masih merugi sehingga pemerintah memberikan subsidi.
Tantangan lain? Masih banyak, khususnya bagi operator yang masuk ke pasar relatif belakangan, seperti 3 (baca: three) dan Axis. Mereka berdua masuk ke layanan GSM dan 3G ketika pasar sudah dikuasai oleh 3 pemain besar Telkomsel, Indosat dan XL. Tantangan pertama bagi kedua operator pendatang baru ini sudah terlewati, seperti mendapatkan interkoneksi dari semua operator lainnya, tantangan kedua juga sudah berhasil diatasi, ketika kedua operator baru ini mulai memasuki pasar dan memperkenalkan produk mereka dengan tarif yang lebih murah dari para pendahulunya. 2010 akan menjadi tahun penentu bagi kedua 3 dan Axis, apakah masing-masing sanggup meraih 10 juta pelanggan setia. Dengan layanan yang tidak berbeda dari para pesaingnya, tidak ada perbedaan signifikan segmentasi pasar yang disasar, serta wilayah jangkauan yang sama (nasional) maka hanya tersisa strategi perusahaan yang akan membedakan dua perusahaan ini dari golongan kalah atau menang. Jika kalah, maka saya perkirakan, merger dan akuisisi akan terjadi di 2011.
Apakah ketatnya persaingan di sektor ini akan memunculkan tren merger atau bahkan akuisisi?
Pembicaraan merger dan akuisisi antara dua operator telekomunikasi dengan teknologi yang sama (CDMA) sudah terjadi sejak tengah tahun 2009, sampai wawancara ini ditulis, transaksi belum terjadi. Jika segala sesuatunya lancar, awal 2010 akan diwarnai oleh bergabungnya dua operator CDMA. Atau jika sampai dengan tengah tahun 2010 berita merger dua operator CDMA ini tidak muncul, maka salah satu atau keduanya sudah diakuisisi oleh investor yang berbeda. Yang hampir pasti, kedua operator CDMA ini memerlukan “pertolongan” atau darah segar dari pemilik baru.
Untuk operator selular yang berbasis GSM dan 3G, profile knerjanya agak berbeda. Tiga operator besar (Telkomsel, Indosat dan XL) rasanya tidak ada perubahan dalam susunan pemilik saham. Hal ini dapat dimengerti karena motivasi pemegang saham lebih pada perluasan usaha serupa mereka di negerinya masing-masing, dan mereka mudah-mudahan bukan tergolong investor yang jangkauan wawasannya pendek. Ketiga operator sellular tersebut relatif sudah stabil, tinggal mengembangkan layana dan mempertahankan diri jika sewaktu-waktu terjadi goncangan pasar. Merger dua atau lebih operator selular berbasis GSM dan 3G keliatannya tidak terjadi di 2010, tetapi ada kemungkinan terjadi di tahun 2011. Itupun dengan asumsi kedua pendatang baru operator GSM/3G tersebut gagal mencapai moment perubahan pada kuartal 4 tahun 2010.
Akuisisi operator selular terhadap perusahaan pendukung atau penyedia jasa nilai tambah, ada kemungkinan akan terjadi lagi, setelah tahu 2008 dilakukan oleh Telkom terhadap Sigma. Motivasi akuisisi semacam ini lebih pada sinergi penyediaan aplikasi pendukung operasional seperti penyediaan aplikasi billing, ERP. SCM, dan atau CRM. Lebih jauh, akuisisi yang mungkin akan terjadi dimaksudkan untuk komplemen terhadap infrastruktur telekomunikasi yang sudah dimiliki. Dengan demikian, ke depan operator telekomunikasi tidak hanya menjual layanan konvensional suara dan data (akses Internet) namun juga melayani jasa nilai tambah seperti fasilitasi transaksi dan pembayaran secara elektronik, penyedia konten, jasa konsultasi ICT dan lain sebagainya yang semuanya memanfaatkan kompetensi dan sumber daya yang sudah dimiliki. Jadi hal ini semacam ekstensifikasi pemanfaatan sumber daya perusahaan.
Tahun 2010 saya perkirakan tidak banyak perubahan dari tahun 2009. Mengapa demikian? Pertama, dari aspek teknologi, tidak ada implementasi teknologi baru. 2G sudah mencapai maturity, 3G secara teknologi sudah terpasang tinggal diupayakan penyebar-luasan basis pelanggan. Untuk teknologi selular lain seperti CDMA, profile-nya juga sama, sudah terpasang tinggal peningkatana pentrasi pasar. Jikapun ada perubahan, akan terjadi pada peningkatan kapasitas jaringan tulang punggung (backbone) khususnya di wilayah Indonesia bagian timur yang pada bulan Oktober ini mulai dipasang jaringan serat optik. Selain itu, tender Wimax di pertengahan tahun 2009, kemungkinan sudah ada perusahaan pemenang tender yang mulai menawarkan layanan. Inipun dengan catatan, apabila secara komersial layak dioperasionalkan mengingat, ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang menjadi syarat utama, sementara kemampuan manufaktur dalam negeri bisa jadi belum mampu memenuhi permintaan pasar, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Kedua, dari aspek regulasi, saya memperkirakan peluang terjadi perubahan dalam regulasi telekomunikasi relatif kecil. Regulasi signifikan seperti pengaturan tarif, interkoneksi, standarisasi peralatan, USO, frekuensi, dan perizinan sudah dibuat pada tahun 2009 ke belakang, dan secara substansial sudah mencukupi sebagai syarat dalam industri telekomunikasi yang kompetitif. Khusus tentang perizinan, suatu aspek yang sangat berpengaruh terhadap struktur industri, arahnya akan berubah, tidak lagi satu izin untuk satu jenis layanan seperti sekarang ini, namun mengarah ke satu izin untuk berbagai layanan (universal licensing = UL). Saya perkirakan sepanjang tahun 2010 diskursus kebijakan dan regulasi telekomunikasi akan diwarnai oleh topik UL ini. Hal ini dapat dimaklumi, karena Indonesia mulai memasuki tahap pendewasaan dalam era kompetisi, yang mensyaratkan pengelolaan sumberdaya telekomunikasi secara efisien dan efektif.
Masih terkait aspek regulasi, buntut dari kebijakan menteri Kominfo yang terbit di awal tahun 2008 tentang penggunaan bersama menara telekomunikasi masih akan eksis hingga akhir tahun 2010. Sepanjang tahun 2009, industri telekomunikasi khususnya layanan selular bergerak mendapat “musuh bersama” ketika muncul Perda-perda yang menolak pemberian izin baru pendirian menara telekomunikasi, bahkan di Kabupaten Badung, menara telekomunikasi yang semual memiliki IMB dirobohkan oleh Pemda, hanya karena Pemda telah bekerja-sama secara monopoli dengan suatu perusahaan penyedia menara telekomunikasi. Saya perkirakan “fenomena Badung” masih akan terulang oleh pemerintah daerah yang badung. Yang menarik, ternyata di balik tindakan badung beberapa pemertintah daerah, ada pengusaha yang berperan sebagai aktor intelektual. Sayangnya pengusaha semacam ini takut berkompetisi, sehingga mereka menggunakan tameng para pejabat daerah yang dalam beberapa hal, dapat dibodohi oleh pengusaha semacam ini.
Masih terkait aspek regulasi dan kebijakan, jika struktur Departemen Kominfo berubah, saya perkirakan karakter industri telekomunikasi Indonesia akan terpengaruh, dan apabila masa transisi pembuat kebijakan regulator ini tidak dikelola dengan baik, ada kemungkinan dapat menggoyahkan keyakinan investor, atau malah dapat menurunkan kualitas layanan. Dari rancangan struktur Kominfo yang saya terima tenagh bulan Spetember 2009, tidak terlihat posisi badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang jelasa dan tegas, sehingga eksistensinya masih menjadi tanda tanya besar.
Ketiga, dari aspek bisnis, persaingan harga akan semakin ketat. Namun demikian, saya menduga, para eksekutif telekomunikasi akan lebih bijak dalam bersaing. Belajar dari tahun – tahun lalu, persaingan tajam yang saling memprovokasi harga hanya berujung pada penurunan keuntungan. Sementara, loyalitas pelanggan yang meningkatkan value perusahaan susah tercapai lantaran mudahnya berganti-ganti nomor serta “berhasilnya” program provokasi harga.
Bisnis data dan akses Internet secara mobil yang mulai ditawarkan operator sejak awal 2008 (setelah infrastruktur 3G terpasang) dan mulai menanjak pada 2009, pada 2010 akan menemui tantangan persaingan dari operator Broadband Wireless Access (BWA) yang menggunakan Wimax. Memang lisensi BWA yang ditenderkan pada Mei 2009 untuk jenis layanan nomadic alias tetap (fixed) namun dapat bergerak selagi masih berada dalam jangkauan Base Transceve System (BTS) dan ketika pergerakan melewati batas jangkauan (coverage) pengguna harus menyambung kembali hubungan yang terputus. Mengingat apabila hanya mengandalkan layanan nomadic daya tariknya diperkirakan relatif rendah, maka saya menduga pemegang lisensi BWA akan mulai “memperkenalkan” secara diam-diam layanan mobile BWA, hal ini karena secara teknologi memungkinkan.
Masih dalam aspek bisnis, mulai maraknya layanan broadband internet access baik menggunakan teknologi EDGE, GPRS, 3g maupun Wimax, lazimnya akan menuntut ketersediaan konten. Tanpa konten, ibarat jalan raya yang dapat dilalui kendaraan berkecepatan tinggi, mobil sudah mampu melaju dengan kecepatan tinggi, namun tidak ada penumpang di dalamnya. Bicara konten, produk asing yang sudah terkenal oleh masyarakat penggunan perangkat ICT di Indonesia ada banyak sekali, salah satu contohnya facebook. Dari segi ini mestinya ketersediaan konten sudah tidak perlu diragukan lagi, orang asing luar negeri sudah banyak yang membuatnya, tinggal gunaka saja, gratis. Persoalannya, dari yang tersedia banyak ini, porsi konten produksi dalam negeri masih sangat sedikit, untuk menggantikan kata tidak ada yang meraih sukses pasar di negeri sendiri. Padahal, bisnis konten mestinya memberi nilai tambah yang cukup besar bagi bisnis telekomunkasi. Kalaupun ada konten prosuksi dalam negeri lebih banyak yang ecek-ecek, dan banyak pihak merasa dirugikan karena mengikuti layanan nilai tambah seperti sms berhadiah, sms ramalan, dan lain sebagainya.
Apa saja yang menjadi peluang dan tantangan sektor ini di tahun depan?
Peluang? Masih banyak daerah di wilayah Indonesia yang belum terjangkau layanan telekomunikasi baik untuk suara maupun data. Sementara, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tahu manfaat telekomunikasi. Artinya permintaan terhadap layanan telekomunikasi masih cukup besar untuk diberikan oleh semua operator telekomunikasi yang ada.
Tantangan? Bagaimanapun, suka atau benci, sadar atau tidak tahu, telekomunikasi sudah beralih rupa menjadi komoditas. Namun demikian, perlakuan penyediaan layanan telekomunikasi hanya dengan pendekatan bisnis tidak tepat. Masih banyak wilayah dan penduduk Indonesia yang membutuhkan “bantuan” hingga mampu memiliki “kebutuhan” terhadap telekomunikasi. Konflik kepentingan semacam ini perlu dijembatani oleh pembuat kebijakan dengan menyatakan bahwa untuk daerah – daerah tertentu, seperti misalnya kawasan tertinggal, daerah perbatasan, daerah terpencil, penyediaan layanan telekomunikasi menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam pelaksanaannya bisa saja diserahkena ke swasta atau BUMN, namun karena masih merugi sehingga pemerintah memberikan subsidi.
Tantangan lain? Masih banyak, khususnya bagi operator yang masuk ke pasar relatif belakangan, seperti 3 (baca: three) dan Axis. Mereka berdua masuk ke layanan GSM dan 3G ketika pasar sudah dikuasai oleh 3 pemain besar Telkomsel, Indosat dan XL. Tantangan pertama bagi kedua operator pendatang baru ini sudah terlewati, seperti mendapatkan interkoneksi dari semua operator lainnya, tantangan kedua juga sudah berhasil diatasi, ketika kedua operator baru ini mulai memasuki pasar dan memperkenalkan produk mereka dengan tarif yang lebih murah dari para pendahulunya. 2010 akan menjadi tahun penentu bagi kedua 3 dan Axis, apakah masing-masing sanggup meraih 10 juta pelanggan setia. Dengan layanan yang tidak berbeda dari para pesaingnya, tidak ada perbedaan signifikan segmentasi pasar yang disasar, serta wilayah jangkauan yang sama (nasional) maka hanya tersisa strategi perusahaan yang akan membedakan dua perusahaan ini dari golongan kalah atau menang. Jika kalah, maka saya perkirakan, merger dan akuisisi akan terjadi di 2011.
Apakah ketatnya persaingan di sektor ini akan memunculkan tren merger atau bahkan akuisisi?
Pembicaraan merger dan akuisisi antara dua operator telekomunikasi dengan teknologi yang sama (CDMA) sudah terjadi sejak tengah tahun 2009, sampai wawancara ini ditulis, transaksi belum terjadi. Jika segala sesuatunya lancar, awal 2010 akan diwarnai oleh bergabungnya dua operator CDMA. Atau jika sampai dengan tengah tahun 2010 berita merger dua operator CDMA ini tidak muncul, maka salah satu atau keduanya sudah diakuisisi oleh investor yang berbeda. Yang hampir pasti, kedua operator CDMA ini memerlukan “pertolongan” atau darah segar dari pemilik baru.
Untuk operator selular yang berbasis GSM dan 3G, profile knerjanya agak berbeda. Tiga operator besar (Telkomsel, Indosat dan XL) rasanya tidak ada perubahan dalam susunan pemilik saham. Hal ini dapat dimengerti karena motivasi pemegang saham lebih pada perluasan usaha serupa mereka di negerinya masing-masing, dan mereka mudah-mudahan bukan tergolong investor yang jangkauan wawasannya pendek. Ketiga operator sellular tersebut relatif sudah stabil, tinggal mengembangkan layana dan mempertahankan diri jika sewaktu-waktu terjadi goncangan pasar. Merger dua atau lebih operator selular berbasis GSM dan 3G keliatannya tidak terjadi di 2010, tetapi ada kemungkinan terjadi di tahun 2011. Itupun dengan asumsi kedua pendatang baru operator GSM/3G tersebut gagal mencapai moment perubahan pada kuartal 4 tahun 2010.
Akuisisi operator selular terhadap perusahaan pendukung atau penyedia jasa nilai tambah, ada kemungkinan akan terjadi lagi, setelah tahu 2008 dilakukan oleh Telkom terhadap Sigma. Motivasi akuisisi semacam ini lebih pada sinergi penyediaan aplikasi pendukung operasional seperti penyediaan aplikasi billing, ERP. SCM, dan atau CRM. Lebih jauh, akuisisi yang mungkin akan terjadi dimaksudkan untuk komplemen terhadap infrastruktur telekomunikasi yang sudah dimiliki. Dengan demikian, ke depan operator telekomunikasi tidak hanya menjual layanan konvensional suara dan data (akses Internet) namun juga melayani jasa nilai tambah seperti fasilitasi transaksi dan pembayaran secara elektronik, penyedia konten, jasa konsultasi ICT dan lain sebagainya yang semuanya memanfaatkan kompetensi dan sumber daya yang sudah dimiliki. Jadi hal ini semacam ekstensifikasi pemanfaatan sumber daya perusahaan.
Perbaikan Jalan: Bodoh, Cuek, atau Korupsi?
Aku tinggal di Rempoa sudah hampir 20 tahun. Selama itu pula jalan raya Rempoa rasanya tidak permah atau jarang sekali mulus dalam tempo lama. Saya katakan "lama" untuk ukuran jalan tentu dalam kurun tahun, dua tahun lah paling tidak. dari catatan dan ingatan, usia jalan mulus paling lama dua sampai tiga bulan, sesudah itu jalan akan mulau berlubang lagi, untuk beberapa bulan dan tahun. begitu seterusnya,
Ada beberapa ruas jalan yang oleh warga diurug dengan sisa reruntuhan bahan bangunan, atau bahkan di-semen, namun hasilnya sama saja, tetap akan berlubang lagi. di ruas jalan masuk dari jalan raya ke komplek perumahan di mana kami tinggal, seingat saya sejak tahun 1991 sampai sekaranghanya diaspal satu kali saja. menjelang pilkada bupati tangerang di bagian depan sepanjang kurang lebih 30 meter diaspal halus. sisanya sepanjang 500 meter tetap saja dibiarkan berlubang, menahan laju ratusan kendaraan (termasuk truk tanah yang sedang mengurug situ untuk dijadikanperluasan sebuah komplek perumahan di atas lokas perumahan di mana kami tinggal), rus jalan ini sering dipakai parkir metromini, truck tanki atau bis yang entah siapa yang punya. semakin hari semakin merata lubang sehingga susah dibedakan mana jaan halus mana lubang kerana semuanya tiada lagi yang rata nan halus.
kembali ke jalan raya, dari arah pertigaaan situ gintung, sekitar dua tahun lalu ada tiga ruas jalan yang ditinggikan dengan disemen. ruas pertama tidak jauh dari pertigaan situ gintung sepanjang kurang lebih 100 meter, setelah ruas pertama ini jalan aspal kembali seperti tiada perubahan. ruas kedua, juga disemen, mulai dari pertigaan Mabad hingga ujung utara tembok Sandratex, kurang lebih sepanjang 400 meter, sesudah itu jaan kembali berlobang, besar dan jika hujan air tergenang mirip kubangan kerbau. ruas ketiga hanya sekitar 50 meter setelah klinik panti nugraha hingga bakmi rempoa. tiga ruas ini sebelumnya senantiasa berlobang, setelah dibeton terlihat agak lumayan. permasalahan yang masih tersisa di dibiarkan tetap menjadi masalah adalah pada tanjakan dan turunan ke dan dari jalan beton tersebut yang cukup terjal dan tidak ada tanda - tanda dibuat landai secara permanen. setiap kali mobil akan memasuki ruas jalan betin ini, setidaknya perlu memperlambat jalan dan meletakkan ban sedemikian rupa agar bagian bawah mobil tidak membentur muka jalan. di antara ketiga ruas ini, jalan tetap berlobang.
beberapa minggu belakangan ini, terlihat ada kegiatan perbaikan jalan, ruas jalan dari masjid Al Falah rempoa yang tidak jauh dari ujung tembok Sandratex ditinggikan dengan dibeton. pembetonan hingga minggu siang ini sudah sampai mulut pertigaan jalan Delima jaya. namun itupun baru di sisi barat. di satu sisi kami - warga - menyambut gembira atas upaya pemerintah daerah memperbaiki jalan rempoa raya ini. namun di pihak lain, kami sedih, geleng-geleng kepala, tidak ngerti apa yang dikehendaki atau yang dipikirkan oleh kontraktor yang memborong pembetonan jalan tersebut.
mengapa demikian? frekuensi lalu lintas jalan rempoa raya cukup padat, terutama di pagi, sore hingga malam, bahkan pada hari libur. jalan rempoa raya merupakan jalan penghubung dan atau jalan alternatif bagi kendaraan dari arah ciputat menuju kebayoran. selain itu di sepanjang jalan rempoa raya, veteran hingga tanah kusir sekarangini sudah banyak sekali komplek perumahan, yang semuanya menggunakan jalan raya rempoa untuk menuju jakarta dan atau daerah lain di luar rempoa. frekuensi lalu lintas yang padat ini rupanya tidak dimengerti atau setidaknya diantisipasi oleh pemborong pembetonan jalan. buktinya?
beberapa hari sebelum proyek di mulai, beberapa orang menaruh macadam (batu pecah) di pinggir hingga separuh badan jalan, tindakan tersebut tentu saja menyempitkan badan jalan dan menghambat arus lalu lintas dari dua arah. antrian panjang hinga satu kilometer setiap pagi menjadi pemandangan lazim, tanpa ada yang merasa bersalah. tidak lama setelah penimbunan macadam di pinggir dan badan jalan, mulailah petugas memasang cetakan beton dan meratakan batu-bat tersebut. praktis hanya separuh badan jalan yang dapat digunakan selama pengecoran.
masalah muncul ketika pengecorang jalan berhenti tepat di mulut pertigaan jalan delima raya. konstruksi jalan beton yang tebalnya hingga 20 centimeter dan tepat di mulut pertigaan membuat kendaraan dari jalan delima yang akan berbelok ke kanan atau kendaraan dari arah situ gintung yang akan belok kiri ke jalan delima tidak bisa keluar masuk lantaran perbedaan ketinggian badan jalan tidak dibuatkan penghubung atau pelandai jalan. selain itu kendaraan yang akan masuk atau keluar jaan delima juga mesti antri satu persatu dengan memasuki halaman parkir toko 69 yang terpaksa mencabut tiang pembatas agar halamannya dapat diliwati mobil.
sejak pembetonan berhenti dan setiap kali saya keluar masuk jalan delima selalau tanya di dalam benak muncul. "sampai kapan pembetonan ini akan dibuat selesai?, sampai ujung mana jalan beton ini akan berakhir? siapa yang merancang pekerjaan seperti ini? insinyurkah, atau hanya tukang yang tidak pernah sekolah sama sekali? jika insinyur kenapa bodoh benar? ya bodoh karena tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa jalan raya itu untuk kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi. tujuannya membangun, namun dalam prosesnya menyengsarakan rakyat. lebih jauh lagi, kenapa pembangunannya berhenti, jalan, berhenti, jalan, on-off-on-off seperti nyala lampu lalu lintas.
sampai kapan model pembangunan jalan semacam ini akan tuntas? sampai kapan kami pembayar pajak akan "dirajakan" oleh pengelola uang rakyat? lebih jauh lagi saya sering membatin, bagaimana mau kompetitif? bagaimana mau maju? bagaimana mau mengalahkan negara - negara lain? bagaimana mau modern? bagaimana mau menguasai teknologi tinggi? lha wong memperbaiki jalan yang teknologinya rendah saja membuat sengsara rakyat.....
Ada beberapa ruas jalan yang oleh warga diurug dengan sisa reruntuhan bahan bangunan, atau bahkan di-semen, namun hasilnya sama saja, tetap akan berlubang lagi. di ruas jalan masuk dari jalan raya ke komplek perumahan di mana kami tinggal, seingat saya sejak tahun 1991 sampai sekaranghanya diaspal satu kali saja. menjelang pilkada bupati tangerang di bagian depan sepanjang kurang lebih 30 meter diaspal halus. sisanya sepanjang 500 meter tetap saja dibiarkan berlubang, menahan laju ratusan kendaraan (termasuk truk tanah yang sedang mengurug situ untuk dijadikanperluasan sebuah komplek perumahan di atas lokas perumahan di mana kami tinggal), rus jalan ini sering dipakai parkir metromini, truck tanki atau bis yang entah siapa yang punya. semakin hari semakin merata lubang sehingga susah dibedakan mana jaan halus mana lubang kerana semuanya tiada lagi yang rata nan halus.
kembali ke jalan raya, dari arah pertigaaan situ gintung, sekitar dua tahun lalu ada tiga ruas jalan yang ditinggikan dengan disemen. ruas pertama tidak jauh dari pertigaan situ gintung sepanjang kurang lebih 100 meter, setelah ruas pertama ini jalan aspal kembali seperti tiada perubahan. ruas kedua, juga disemen, mulai dari pertigaan Mabad hingga ujung utara tembok Sandratex, kurang lebih sepanjang 400 meter, sesudah itu jaan kembali berlobang, besar dan jika hujan air tergenang mirip kubangan kerbau. ruas ketiga hanya sekitar 50 meter setelah klinik panti nugraha hingga bakmi rempoa. tiga ruas ini sebelumnya senantiasa berlobang, setelah dibeton terlihat agak lumayan. permasalahan yang masih tersisa di dibiarkan tetap menjadi masalah adalah pada tanjakan dan turunan ke dan dari jalan beton tersebut yang cukup terjal dan tidak ada tanda - tanda dibuat landai secara permanen. setiap kali mobil akan memasuki ruas jalan betin ini, setidaknya perlu memperlambat jalan dan meletakkan ban sedemikian rupa agar bagian bawah mobil tidak membentur muka jalan. di antara ketiga ruas ini, jalan tetap berlobang.
beberapa minggu belakangan ini, terlihat ada kegiatan perbaikan jalan, ruas jalan dari masjid Al Falah rempoa yang tidak jauh dari ujung tembok Sandratex ditinggikan dengan dibeton. pembetonan hingga minggu siang ini sudah sampai mulut pertigaan jalan Delima jaya. namun itupun baru di sisi barat. di satu sisi kami - warga - menyambut gembira atas upaya pemerintah daerah memperbaiki jalan rempoa raya ini. namun di pihak lain, kami sedih, geleng-geleng kepala, tidak ngerti apa yang dikehendaki atau yang dipikirkan oleh kontraktor yang memborong pembetonan jalan tersebut.
mengapa demikian? frekuensi lalu lintas jalan rempoa raya cukup padat, terutama di pagi, sore hingga malam, bahkan pada hari libur. jalan rempoa raya merupakan jalan penghubung dan atau jalan alternatif bagi kendaraan dari arah ciputat menuju kebayoran. selain itu di sepanjang jalan rempoa raya, veteran hingga tanah kusir sekarangini sudah banyak sekali komplek perumahan, yang semuanya menggunakan jalan raya rempoa untuk menuju jakarta dan atau daerah lain di luar rempoa. frekuensi lalu lintas yang padat ini rupanya tidak dimengerti atau setidaknya diantisipasi oleh pemborong pembetonan jalan. buktinya?
beberapa hari sebelum proyek di mulai, beberapa orang menaruh macadam (batu pecah) di pinggir hingga separuh badan jalan, tindakan tersebut tentu saja menyempitkan badan jalan dan menghambat arus lalu lintas dari dua arah. antrian panjang hinga satu kilometer setiap pagi menjadi pemandangan lazim, tanpa ada yang merasa bersalah. tidak lama setelah penimbunan macadam di pinggir dan badan jalan, mulailah petugas memasang cetakan beton dan meratakan batu-bat tersebut. praktis hanya separuh badan jalan yang dapat digunakan selama pengecoran.
masalah muncul ketika pengecorang jalan berhenti tepat di mulut pertigaan jalan delima raya. konstruksi jalan beton yang tebalnya hingga 20 centimeter dan tepat di mulut pertigaan membuat kendaraan dari jalan delima yang akan berbelok ke kanan atau kendaraan dari arah situ gintung yang akan belok kiri ke jalan delima tidak bisa keluar masuk lantaran perbedaan ketinggian badan jalan tidak dibuatkan penghubung atau pelandai jalan. selain itu kendaraan yang akan masuk atau keluar jaan delima juga mesti antri satu persatu dengan memasuki halaman parkir toko 69 yang terpaksa mencabut tiang pembatas agar halamannya dapat diliwati mobil.
sejak pembetonan berhenti dan setiap kali saya keluar masuk jalan delima selalau tanya di dalam benak muncul. "sampai kapan pembetonan ini akan dibuat selesai?, sampai ujung mana jalan beton ini akan berakhir? siapa yang merancang pekerjaan seperti ini? insinyurkah, atau hanya tukang yang tidak pernah sekolah sama sekali? jika insinyur kenapa bodoh benar? ya bodoh karena tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa jalan raya itu untuk kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi. tujuannya membangun, namun dalam prosesnya menyengsarakan rakyat. lebih jauh lagi, kenapa pembangunannya berhenti, jalan, berhenti, jalan, on-off-on-off seperti nyala lampu lalu lintas.
sampai kapan model pembangunan jalan semacam ini akan tuntas? sampai kapan kami pembayar pajak akan "dirajakan" oleh pengelola uang rakyat? lebih jauh lagi saya sering membatin, bagaimana mau kompetitif? bagaimana mau maju? bagaimana mau mengalahkan negara - negara lain? bagaimana mau modern? bagaimana mau menguasai teknologi tinggi? lha wong memperbaiki jalan yang teknologinya rendah saja membuat sengsara rakyat.....
Sunday, October 04, 2009
UU Rahasia Negara: Perlu atau Tidak?
bincang ngomong soal UU Rahasia Negara (dan UU lainnya) yang menuai banyak keberatan oleh berbagai kalangan khususnya sahabat pers, saya yang awam urusan ini, jadi berpikir, apa ya kira - kira solusinya?
1. apakah tidak perlu ada uu rahasia negara?
2. jika perlu, mengapa perlu? jika tidak perlu, mengapa tidak perlu?
3. jika perlu, siapa yang dirugikan? siapa yang diuntungkan?
4. jika tidak perlu, siapa juga yang dirugikan dan yang diuntungkan?
sekarang sudah hampir menjadi UU, dan dianggap (akan) menghambat kegiatan pers, demokrasi, dan lain sebagainya. jadi pertanyaannya
5. apakah perlu di-stop? agar tidak disahkan sebagai UU.
6. jika mau di-stop, apa ada dan perlu UU sejenis yang menggantikannya?
7. jika tidak bisa di-stop, apakah pasal - pasal yang dianggap akan merugikan masyarakat masih bisa diubah?
8. jika tetap akan disahkan, seberapa besar kekhawatiran sementara pihak akan terwujud?
lantas, jika kita menukik kepada UU,
9. adakah UU yang di dalamnya tidak ada sanksi atau hukuman pidananya?
10. jadi bagaimana sebaiknya isi UU Rahasia Negara itu (yang dianggap tidak membahayakan masyarakat)?
11. jika tidak berisi ancaman pidana atau jenis hukuman lainnya, apakah masih layak disebut UU?
12. jika tidak mengatur dan membatasi runag gerak masyarakat atas suatu kegiatan tertentu, masihkah dapat disebut peraturan publik (UU sebagai wujud peraturan publik)?
saya juga penasaran, dan sedang mencari jawabnya:
13. adakah UU (bukan UUD) yang menyenangkan (satisfy) semua stakeholders dalam entitas negara/bangsa?
14. jika ada, bolehkah diberi contohnya? di mana (negara mana)? uu tentang apa?
15. jika tidak ada, lantas siapa yang boleh dirugikan paling banyak/besar? (politisi, kelompok tertentu, masyarakat luas, dlsb).
16, jika ada yang dirugikan, mengapa mesti dibuat rugi? bukankah bernegara dan berbangsa itu dimaksudkan untuk kemaslahatan bersama?
17. jika da yang dirugikan, benarkah yang diuntungkan menerima benefit nyata dari UU yang dibuat khusus untuk itu?
demikianlah kawan, pertanyaan orang awam bin bodoh dari saya, mudah-mudahan ada yang berkenan menjawab dan memberi pencerahan kepadaku.
kalau hanya mengumpat, mengeluh, memprotes, menolak, rasanya banyak yang bisa melakukannya, namun memberi jalan keluar, mengajukan solusi konkret dan sekaligus memberi contoh melaksanakannya, rasanya hanya para pemimpin sejati yang bisa memberikannya. Anda termasuk yang mana?
1. apakah tidak perlu ada uu rahasia negara?
2. jika perlu, mengapa perlu? jika tidak perlu, mengapa tidak perlu?
3. jika perlu, siapa yang dirugikan? siapa yang diuntungkan?
4. jika tidak perlu, siapa juga yang dirugikan dan yang diuntungkan?
sekarang sudah hampir menjadi UU, dan dianggap (akan) menghambat kegiatan pers, demokrasi, dan lain sebagainya. jadi pertanyaannya
5. apakah perlu di-stop? agar tidak disahkan sebagai UU.
6. jika mau di-stop, apa ada dan perlu UU sejenis yang menggantikannya?
7. jika tidak bisa di-stop, apakah pasal - pasal yang dianggap akan merugikan masyarakat masih bisa diubah?
8. jika tetap akan disahkan, seberapa besar kekhawatiran sementara pihak akan terwujud?
lantas, jika kita menukik kepada UU,
9. adakah UU yang di dalamnya tidak ada sanksi atau hukuman pidananya?
10. jadi bagaimana sebaiknya isi UU Rahasia Negara itu (yang dianggap tidak membahayakan masyarakat)?
11. jika tidak berisi ancaman pidana atau jenis hukuman lainnya, apakah masih layak disebut UU?
12. jika tidak mengatur dan membatasi runag gerak masyarakat atas suatu kegiatan tertentu, masihkah dapat disebut peraturan publik (UU sebagai wujud peraturan publik)?
saya juga penasaran, dan sedang mencari jawabnya:
13. adakah UU (bukan UUD) yang menyenangkan (satisfy) semua stakeholders dalam entitas negara/bangsa?
14. jika ada, bolehkah diberi contohnya? di mana (negara mana)? uu tentang apa?
15. jika tidak ada, lantas siapa yang boleh dirugikan paling banyak/besar? (politisi, kelompok tertentu, masyarakat luas, dlsb).
16, jika ada yang dirugikan, mengapa mesti dibuat rugi? bukankah bernegara dan berbangsa itu dimaksudkan untuk kemaslahatan bersama?
17. jika da yang dirugikan, benarkah yang diuntungkan menerima benefit nyata dari UU yang dibuat khusus untuk itu?
demikianlah kawan, pertanyaan orang awam bin bodoh dari saya, mudah-mudahan ada yang berkenan menjawab dan memberi pencerahan kepadaku.
kalau hanya mengumpat, mengeluh, memprotes, menolak, rasanya banyak yang bisa melakukannya, namun memberi jalan keluar, mengajukan solusi konkret dan sekaligus memberi contoh melaksanakannya, rasanya hanya para pemimpin sejati yang bisa memberikannya. Anda termasuk yang mana?
Kisah Nyata: Optimisme dan Pengeluh
Saya baru balik dari Kalimantan, kebetulan ada bisnis dengan BUMN Listrik Wilayah Kaltim (menyewakan generator pembangkit listrik). Dan kebetulan lagi, eh ternyata satu dari beberapa orang yang saya temui, adik kelas sewaktu sekolah di STM Pembangunan Semarang. Kisah di bawah ini, cerita nyata tentang Sukarno, adik kelas saya yang sekarang bekerja di BUMN tersebut cabang Kaltim, yang mungkin dari situ kita (terutama saya) bisa mengambil hikmahnya.
Ceritanya, 10 (tahun 1998) tahun lalu Karno masih jadi teknisi listrik di Pembangkit Listrik Tenaga Diesel yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN Kaltim. Suatu hari, ia ditugasi untuk service dan memperbaiki switchgear tegangan 20KV, berdua dengan rekan sejawatnya (sebutlah namanya Djoko). bersamaan dengan mereka berdua ada seorang siswa STM (sebut namanya Agus) yang sedang kerja praktek.
Setelah semua prosedur dilakukan, termasuk mematikan aliran listrik, melepas circuit breaker dan lain sebagainya sesuai dengan SOP yang berlaku, Karno masuk ke Cubical. Cubical ini masih model lama (warisan Belanda, yang tidak ada lampu otomatis menyala ketika pintu dibuka). Ketika Karno masuk ke cubical, Djoko mengawasi dari luar sambil memegangi lampu senter. Kondisi ruangan di dalam cubical agak gelap karena cahaya lampu terhalang oleh cable conduit dan Bus Bar 20KV. Rupanya Agus yang diperintahkan untuk menunggu tidak jauh dari cubical pengin tahu apa yang sedang dikerjakan oleh kedua orang ini, tanpa sepengetahuan Djoko dan Karno, Agus berjalan ke arah sisi lain dari cubical untuk melihat keduanya bekerja.
Tanpa disadari oleh Agus, di balik cubical di bagian atas ada batang besi penghantar (busbar) 20KV dari transformer menuju circuit breaker lainnya yang sedang life, dan karena posturnya yang tinggi, pas berdiri di belakang punggungnya Karno (yang sedang duduk di lantai cubical), Agus tersengat listrik 20KV. badan Agus menyentuh badan Karno, sehingga Karno ikut kena setrum.
Apa yang terjadi kemudian? badan Agus hangus, dengkul Karno menyentuh sisi cubical dan cubical setebal 4 mm jebol berlubang, pantat Karno hancur, muka, tangan dan sebagian besar badannya hangus. dua buah generator masing-masing berkapasitas 20MW trip, meskipun kejadian hanya berlangsun 3 seconda saja. Agus akhirnya meninggal setelah tiga hari dirawat di rumah sakit. Karno berhasil diselamatkan dan sampai sekarang masih bekerja di PLN Samarinda, posisinya saat ini Manager Unit Pembangkitan.
Apa yang membuat Karno berhasil sehat kembali? Selain karena kuasa Allah SWT, ternyata optimisme dan semangat hidup Karno tinggi sekali. Enam hari tidak sadarkan diri, dioperasi plastik sampai 11 kali, wajahnya direnovasi, diambil kulit dari sekujur bagian tubuh yang masih utuh. dirawat di rumah sakit selama 6 bulan, dan selama itu tidak pernah mengeluh sedikitpun. Awalnya anggota badan (kaki, dan tangan termasuk jari jemari) tidak bisa digerakkan. dengan semangat keras, Karno berusaha menggerakkan anggota badannya, meski - katanya - sakit sekali. teman-teman sekantor yang diwajibkan untuk menjagainya (karena waktu itu keluarga Karno masih di Semarang) tidak pernah mendengar sekalipun teriakan atau keluhan dari mulutnya. selama dua bulan sebelum dinyatakan boleh pulang dari rumah sakit, setiap saat Karno berlatih menggerakkan anggota badannya. Hasilnya, ketika sembuh, walau punggung masih bolong selebar bola pingpong (di bagian ini, Agus menyentuh badan Karno), dan kulit masih seperti sisik ikan, bekas luka bakar, namun sudah bisa berjalan dan memegang sesuatu dengan benar. Sampai sekarang Karno sehat wal afiat.
Selain cerita Karno, ada lagi cerita (sebutlah Imran) yang juga mengalami kesetrum listrik tegangan 20KV, namun tidak se-dramatis peristiwa Karno. ceritanya, Imran ditugasi membersihkan switchgear. Setelah menyapu lantai (jadi ingat waktu saya masih jadi electrician di Arjuna Sakti dan Quarters), Imran melihat panel breaker kotor. maka dengan maksud membersihkan, dia kibaskan kain ke panel tersebut. apa lacur, entah kenapa, sewaktu mengibaskan kain tersebut, tangannya tertarik ke panel dan kesetrumlah ia. tangan kanannya hingga muka bagian kanan hangus luka kesetrum listrik tegangan tinggi.
Imran dibawa ke rumah sakit, dirawat selama 4 bulan. selama perawatan lebih banyak menggerutu, mengeluh dan menyalahkan orang lain, serta yang kemudian berpengaruh sampai hari ini, dia tidak melakukan latihan seperti yang dilakukan oleh Karno. Walhasil, setelah luka bakarnya sembuh, jari - jari hingga lengan tangan kanan tidak bisa digerakkan, kaku dan - maaf - jadi bengkok seperti tangan Gareng. sekarang Imran masih bekerja tetapi sudah tidak bisa pulih seperti sebelumnya. mau pensiun usianya masih muda, tidak pensiun praktis sudah tidak produktif lagi. Pimpinan masih memberinya tugas sebagai tenaga pembantu administrasi.
Kisah nyata teman saya Karno dan Imran, membuka mata dan hati saya, ketika dihadapkan pada suasana tidak menguntungkan atau sangat sulit, optimisme dan kerja nyata (latihan yang dilakukan oleh Karno) pada akhirnya memberi hasil lebih bagus dari pada hanya mengeluh, menyalahkan orang lain, berdiam diri, hanya menerima nasib (seperti yang dilakukan oleh Imran).
Ceritanya, 10 (tahun 1998) tahun lalu Karno masih jadi teknisi listrik di Pembangkit Listrik Tenaga Diesel yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN Kaltim. Suatu hari, ia ditugasi untuk service dan memperbaiki switchgear tegangan 20KV, berdua dengan rekan sejawatnya (sebutlah namanya Djoko). bersamaan dengan mereka berdua ada seorang siswa STM (sebut namanya Agus) yang sedang kerja praktek.
Setelah semua prosedur dilakukan, termasuk mematikan aliran listrik, melepas circuit breaker dan lain sebagainya sesuai dengan SOP yang berlaku, Karno masuk ke Cubical. Cubical ini masih model lama (warisan Belanda, yang tidak ada lampu otomatis menyala ketika pintu dibuka). Ketika Karno masuk ke cubical, Djoko mengawasi dari luar sambil memegangi lampu senter. Kondisi ruangan di dalam cubical agak gelap karena cahaya lampu terhalang oleh cable conduit dan Bus Bar 20KV. Rupanya Agus yang diperintahkan untuk menunggu tidak jauh dari cubical pengin tahu apa yang sedang dikerjakan oleh kedua orang ini, tanpa sepengetahuan Djoko dan Karno, Agus berjalan ke arah sisi lain dari cubical untuk melihat keduanya bekerja.
Tanpa disadari oleh Agus, di balik cubical di bagian atas ada batang besi penghantar (busbar) 20KV dari transformer menuju circuit breaker lainnya yang sedang life, dan karena posturnya yang tinggi, pas berdiri di belakang punggungnya Karno (yang sedang duduk di lantai cubical), Agus tersengat listrik 20KV. badan Agus menyentuh badan Karno, sehingga Karno ikut kena setrum.
Apa yang terjadi kemudian? badan Agus hangus, dengkul Karno menyentuh sisi cubical dan cubical setebal 4 mm jebol berlubang, pantat Karno hancur, muka, tangan dan sebagian besar badannya hangus. dua buah generator masing-masing berkapasitas 20MW trip, meskipun kejadian hanya berlangsun 3 seconda saja. Agus akhirnya meninggal setelah tiga hari dirawat di rumah sakit. Karno berhasil diselamatkan dan sampai sekarang masih bekerja di PLN Samarinda, posisinya saat ini Manager Unit Pembangkitan.
Apa yang membuat Karno berhasil sehat kembali? Selain karena kuasa Allah SWT, ternyata optimisme dan semangat hidup Karno tinggi sekali. Enam hari tidak sadarkan diri, dioperasi plastik sampai 11 kali, wajahnya direnovasi, diambil kulit dari sekujur bagian tubuh yang masih utuh. dirawat di rumah sakit selama 6 bulan, dan selama itu tidak pernah mengeluh sedikitpun. Awalnya anggota badan (kaki, dan tangan termasuk jari jemari) tidak bisa digerakkan. dengan semangat keras, Karno berusaha menggerakkan anggota badannya, meski - katanya - sakit sekali. teman-teman sekantor yang diwajibkan untuk menjagainya (karena waktu itu keluarga Karno masih di Semarang) tidak pernah mendengar sekalipun teriakan atau keluhan dari mulutnya. selama dua bulan sebelum dinyatakan boleh pulang dari rumah sakit, setiap saat Karno berlatih menggerakkan anggota badannya. Hasilnya, ketika sembuh, walau punggung masih bolong selebar bola pingpong (di bagian ini, Agus menyentuh badan Karno), dan kulit masih seperti sisik ikan, bekas luka bakar, namun sudah bisa berjalan dan memegang sesuatu dengan benar. Sampai sekarang Karno sehat wal afiat.
Selain cerita Karno, ada lagi cerita (sebutlah Imran) yang juga mengalami kesetrum listrik tegangan 20KV, namun tidak se-dramatis peristiwa Karno. ceritanya, Imran ditugasi membersihkan switchgear. Setelah menyapu lantai (jadi ingat waktu saya masih jadi electrician di Arjuna Sakti dan Quarters), Imran melihat panel breaker kotor. maka dengan maksud membersihkan, dia kibaskan kain ke panel tersebut. apa lacur, entah kenapa, sewaktu mengibaskan kain tersebut, tangannya tertarik ke panel dan kesetrumlah ia. tangan kanannya hingga muka bagian kanan hangus luka kesetrum listrik tegangan tinggi.
Imran dibawa ke rumah sakit, dirawat selama 4 bulan. selama perawatan lebih banyak menggerutu, mengeluh dan menyalahkan orang lain, serta yang kemudian berpengaruh sampai hari ini, dia tidak melakukan latihan seperti yang dilakukan oleh Karno. Walhasil, setelah luka bakarnya sembuh, jari - jari hingga lengan tangan kanan tidak bisa digerakkan, kaku dan - maaf - jadi bengkok seperti tangan Gareng. sekarang Imran masih bekerja tetapi sudah tidak bisa pulih seperti sebelumnya. mau pensiun usianya masih muda, tidak pensiun praktis sudah tidak produktif lagi. Pimpinan masih memberinya tugas sebagai tenaga pembantu administrasi.
Kisah nyata teman saya Karno dan Imran, membuka mata dan hati saya, ketika dihadapkan pada suasana tidak menguntungkan atau sangat sulit, optimisme dan kerja nyata (latihan yang dilakukan oleh Karno) pada akhirnya memberi hasil lebih bagus dari pada hanya mengeluh, menyalahkan orang lain, berdiam diri, hanya menerima nasib (seperti yang dilakukan oleh Imran).
taqwa hanya ada apabila ada iman, iman terwujud bila ada ikhtiar dan ikhlas
niatku hanya mau share apa yang kulihat semalam di televisi BBC Knowledge, dan beberapa buku yang kubaca hari-hari belakangan ini siapa tahu bermanfaat.
semalam di BBC Knowledge aku menyaksikan tayangan perjalanan seorang pendeta (pelayan umat) Kristen warga negara inggris yang sedang berupaya mencari Tuhan. Jones, demikian nama pria ini, sudah mengelana ke Cina untuk mendalami Theologi Budha, kemudian dia pergi ke India untuk "mencari" Tuhan sebagaimana dilakukan umat Hindu di India. tayangan semalam, dia pergi ke Mesir untuk menapak-tilasi, menirukan dan merasakan apa yang dahulu, 1800 tahun lalu, dilakukan oleh Saint (orang suci) Antonius dengan mengasingkan diri di gua di gurun pasir Mesir.
dari buku dan tayangan TV tersebut, saya kombinasikan, ada dua hal menarik yang menurut saya layak kita ketahui. pertama, jiwa manusia merupakan cermin dari eksistensi Tuhan Allah, jiwa manusia sebagai microcosmic sedangkan Allah dengan segala sifatnya merupakan marocosmic. cermin yang bersih, rata, dan bening akan memantulkan Nur-IIlahi yang bersifat baik, inilah tanda taqwa. sebaliknya cermin yang buram, legam dan tidak rata, tidak mampu memantulkan Nur-Illahi yang bersifat baik. Yang keluar dari cermin tersebut sebagian besar berupa cahaya hitam yang berasal dari sisi-sisi gelap alam (yang juga diciptakan oleh Tuhan Allah). Sampai di sini, saya berkesimpulan bahwa baik dan jahat keduanya berasal dari dzat tertinggi Maha Pencipta Alam.
manusia diciptakan dengan kesadaran nalar dan kemampuan berpikir. artinya, sama - sama makhluk, manusia diberi kebebasan untuk menentukan kualitas cermin jiwanya, apakah akan mengupayakan dirinya sebagai cermin bening atau legam. lantas apa yang mempengaruhi seseorang sehingga memiliki cermin yang berbeda-beda? jawabnya, Iman. Pertanyaannya, apakah Iman yang dimiliki seseorang itu diberi oleh Tuhan, atau terbangun karena upaya manusia itu sendiri? saya menduga, di dalam ruh atau jiwa manusia, sudah tertanam Iman, sejalan dengan perubahan fisik manusia, modal iman yang diberikan oleh Allah ini juga mengalami perubahan, ada yang semakin berkilat, halus, menguat dan bercahaya putih, ada juga yag tetap saja, atau ada pula yang berubah tidak berkilat, melainkan buram, hitam, kasar, bopeng, legam.
pertanyaan berikutnya, apakah yang buram, hitam, kasar, bopeng dan legam itu buruk, dan sebaliknya yang berklilat, halus dan bercahaya putih itu bagus? jawabnya tergantung di sisi mana kesadaran seseorang akan iman yang ada pada dirinya relatif terhadap orang lain itu berada. di sinilah barangkali titik singgung dengan teori relativitasnya Einstein. terlepas dari relativitas, yang masih perlu jawab adalah sebuah tanya teknis tentang bagaimana menggosok iman agar relative baik di mata manusia lain, dan secara mutlak bagus di hadapan sang Maha Mutlak Allah Azza Wajalla. Di sinilah berkah atau modal lain yang diberikan Allah perlu didaya-fungsikan. apa itu? tiada lain, Ikhtiar atau usaha dan Ikhlas atau sabar dan menerima sepenuh hati apa yang sudah menjadi hak dan kewajibannya. jadi taqwa hanya ada apabila ada iman, iman terwujud bila ada ikhtiar dan ikhlas.
hal kedua yang menurut saya menarik adalah, ketika ditayangkan ritual (tata cara) berdoa yang dilakukan oleh mereka (penganut Kristen Ortodok) yang masih setia mengikuti ajaran Kristiani sebagaimana diajarkan oleh Saint Antonius. Narasi menceritakan, St. Antonius adalah orang suci Kristiani pertama yang mengajarkan "pencarian Tuhan" dengan mengasingkan diri dari kerumunan manusia lain. Konon, biara seperti dikenal pada hari ini, yang mengawali adalah St. Antonius. Biara Kristen pertama di dunia ada di Mesir, yang sampai sekarang masih terawat dengan baik. diceritakan, sekarang ini ada sekitar 100-an rahib yang dengan setia menjalani hidup dalam kesunyian di bihara di tengah gurun pasir ini. walaupun terletak di tengah gurun, namun tanah di dalamnya subur, ada banyak bunga mawar dan berbagai tumbuhan lain terlihat hijau. yang menarik bagi saya, dan oleh karenanya saya sajikan di tulisan ini, dalam melakukan ritual berdoa, para rahib di dalam bihara ini mengerjakannya seperti orang Islam melakukan sholat. berdiri, mengangkat tangan, kemudian ruku' dan sujud. narasi menjelaskan bahwa cara berdoa seperti inilah yang dulu diajarkan oleh Saint Antonius mengikuti apa yang dia dapat dari Jesus. ditambahkan, Islam kemudian meng-adopt cara berdoa seperti ini, sementara penganut kristen modern sudah meningggalkannya.
di antara100-an orang pengikut Kristen Ortodoks ini ada satu orang yang tinggal sendirian (seorang diri) di dalam gua jauh terpisah dari yang lain. namanya Pastur Lazarus. dalam dialog antara Lazarus dengan Jones, Lazarus banyak mengajarkan ke-Tuhan-an, kedudukan manusia di hadapan Tuhan, hingga bagaimana berdoa. ternyata doa para rahib di bihara dan Lazarus menggunakan bahasa Arab (ini mungkin karena mereka warganegara Mesir), dan di-narasi-kan ke dalam bahasa Inggris, serta teks terjemahan dalam bahasa Indonesia yang persis sama dengan doa kita orang Islam, seperti misalnya "ya Allah ampuni kami."
jadi sementara ini saya membuat kesimpulan, yang semula berasal dari satu, perjalanan waktu membuatnya menjadi beragam dan berbeda, tujuannya untuk apa? agar di antara kita saling mengenal? kalau sudah saling kenal lalu apa? terjadi relasi. relasi ini salah satu bentuk ikhtiar. jika dilakukan dengan ikhlas akan menumbuhkan iman, dan bila iman sudah kuat akan membentuk taqwa. sedangkan taqwa itu tanda berterima kasih kepada Sang Pencipta. Oleh karena itu, kalau kita pada hari ini masih ribut soal perbedaan dengan kelompok lain, penganut agama lain, penganut paham lain dalam satu agama, dan sebagainya yang serba berbeda pada tataran ikhtiarnya (tata cara, ritual, hukum, syar'a adat, budaya, aturan, dlsb), maka, pada hemat saya, kita masih jauh dari mencapai target taqwa, berterima kasih kepada Sang Maha Pencipta.
semalam di BBC Knowledge aku menyaksikan tayangan perjalanan seorang pendeta (pelayan umat) Kristen warga negara inggris yang sedang berupaya mencari Tuhan. Jones, demikian nama pria ini, sudah mengelana ke Cina untuk mendalami Theologi Budha, kemudian dia pergi ke India untuk "mencari" Tuhan sebagaimana dilakukan umat Hindu di India. tayangan semalam, dia pergi ke Mesir untuk menapak-tilasi, menirukan dan merasakan apa yang dahulu, 1800 tahun lalu, dilakukan oleh Saint (orang suci) Antonius dengan mengasingkan diri di gua di gurun pasir Mesir.
dari buku dan tayangan TV tersebut, saya kombinasikan, ada dua hal menarik yang menurut saya layak kita ketahui. pertama, jiwa manusia merupakan cermin dari eksistensi Tuhan Allah, jiwa manusia sebagai microcosmic sedangkan Allah dengan segala sifatnya merupakan marocosmic. cermin yang bersih, rata, dan bening akan memantulkan Nur-IIlahi yang bersifat baik, inilah tanda taqwa. sebaliknya cermin yang buram, legam dan tidak rata, tidak mampu memantulkan Nur-Illahi yang bersifat baik. Yang keluar dari cermin tersebut sebagian besar berupa cahaya hitam yang berasal dari sisi-sisi gelap alam (yang juga diciptakan oleh Tuhan Allah). Sampai di sini, saya berkesimpulan bahwa baik dan jahat keduanya berasal dari dzat tertinggi Maha Pencipta Alam.
manusia diciptakan dengan kesadaran nalar dan kemampuan berpikir. artinya, sama - sama makhluk, manusia diberi kebebasan untuk menentukan kualitas cermin jiwanya, apakah akan mengupayakan dirinya sebagai cermin bening atau legam. lantas apa yang mempengaruhi seseorang sehingga memiliki cermin yang berbeda-beda? jawabnya, Iman. Pertanyaannya, apakah Iman yang dimiliki seseorang itu diberi oleh Tuhan, atau terbangun karena upaya manusia itu sendiri? saya menduga, di dalam ruh atau jiwa manusia, sudah tertanam Iman, sejalan dengan perubahan fisik manusia, modal iman yang diberikan oleh Allah ini juga mengalami perubahan, ada yang semakin berkilat, halus, menguat dan bercahaya putih, ada juga yag tetap saja, atau ada pula yang berubah tidak berkilat, melainkan buram, hitam, kasar, bopeng, legam.
pertanyaan berikutnya, apakah yang buram, hitam, kasar, bopeng dan legam itu buruk, dan sebaliknya yang berklilat, halus dan bercahaya putih itu bagus? jawabnya tergantung di sisi mana kesadaran seseorang akan iman yang ada pada dirinya relatif terhadap orang lain itu berada. di sinilah barangkali titik singgung dengan teori relativitasnya Einstein. terlepas dari relativitas, yang masih perlu jawab adalah sebuah tanya teknis tentang bagaimana menggosok iman agar relative baik di mata manusia lain, dan secara mutlak bagus di hadapan sang Maha Mutlak Allah Azza Wajalla. Di sinilah berkah atau modal lain yang diberikan Allah perlu didaya-fungsikan. apa itu? tiada lain, Ikhtiar atau usaha dan Ikhlas atau sabar dan menerima sepenuh hati apa yang sudah menjadi hak dan kewajibannya. jadi taqwa hanya ada apabila ada iman, iman terwujud bila ada ikhtiar dan ikhlas.
hal kedua yang menurut saya menarik adalah, ketika ditayangkan ritual (tata cara) berdoa yang dilakukan oleh mereka (penganut Kristen Ortodok) yang masih setia mengikuti ajaran Kristiani sebagaimana diajarkan oleh Saint Antonius. Narasi menceritakan, St. Antonius adalah orang suci Kristiani pertama yang mengajarkan "pencarian Tuhan" dengan mengasingkan diri dari kerumunan manusia lain. Konon, biara seperti dikenal pada hari ini, yang mengawali adalah St. Antonius. Biara Kristen pertama di dunia ada di Mesir, yang sampai sekarang masih terawat dengan baik. diceritakan, sekarang ini ada sekitar 100-an rahib yang dengan setia menjalani hidup dalam kesunyian di bihara di tengah gurun pasir ini. walaupun terletak di tengah gurun, namun tanah di dalamnya subur, ada banyak bunga mawar dan berbagai tumbuhan lain terlihat hijau. yang menarik bagi saya, dan oleh karenanya saya sajikan di tulisan ini, dalam melakukan ritual berdoa, para rahib di dalam bihara ini mengerjakannya seperti orang Islam melakukan sholat. berdiri, mengangkat tangan, kemudian ruku' dan sujud. narasi menjelaskan bahwa cara berdoa seperti inilah yang dulu diajarkan oleh Saint Antonius mengikuti apa yang dia dapat dari Jesus. ditambahkan, Islam kemudian meng-adopt cara berdoa seperti ini, sementara penganut kristen modern sudah meningggalkannya.
di antara100-an orang pengikut Kristen Ortodoks ini ada satu orang yang tinggal sendirian (seorang diri) di dalam gua jauh terpisah dari yang lain. namanya Pastur Lazarus. dalam dialog antara Lazarus dengan Jones, Lazarus banyak mengajarkan ke-Tuhan-an, kedudukan manusia di hadapan Tuhan, hingga bagaimana berdoa. ternyata doa para rahib di bihara dan Lazarus menggunakan bahasa Arab (ini mungkin karena mereka warganegara Mesir), dan di-narasi-kan ke dalam bahasa Inggris, serta teks terjemahan dalam bahasa Indonesia yang persis sama dengan doa kita orang Islam, seperti misalnya "ya Allah ampuni kami."
jadi sementara ini saya membuat kesimpulan, yang semula berasal dari satu, perjalanan waktu membuatnya menjadi beragam dan berbeda, tujuannya untuk apa? agar di antara kita saling mengenal? kalau sudah saling kenal lalu apa? terjadi relasi. relasi ini salah satu bentuk ikhtiar. jika dilakukan dengan ikhlas akan menumbuhkan iman, dan bila iman sudah kuat akan membentuk taqwa. sedangkan taqwa itu tanda berterima kasih kepada Sang Pencipta. Oleh karena itu, kalau kita pada hari ini masih ribut soal perbedaan dengan kelompok lain, penganut agama lain, penganut paham lain dalam satu agama, dan sebagainya yang serba berbeda pada tataran ikhtiarnya (tata cara, ritual, hukum, syar'a adat, budaya, aturan, dlsb), maka, pada hemat saya, kita masih jauh dari mencapai target taqwa, berterima kasih kepada Sang Maha Pencipta.
Menghadirkan Surga dan Neraka Selagi Masih Hidup Di Alam DUnia, Mungkinkah?
setiap umat beragama pasti percaya dan yakin akan eksistensi surga dan neraka. suatu "tempat" yang telah disediakan kelak ketika manusia sudah tiba di alam akhirat, alam kelanggengang. surga dijanjikan sebagai "tempat" yang diliputi kenikmatan, penuh pesona nan tiada tara. di pihak lain, neraka dijanjikan akan ditempati oleh mereka yang ketika masih hidup di alam dunia berperilaku jahat, ingkar kepada Tuhan.
sebagai anggota dari umat beragama, yang diberi karunia kemampuan berpikir, bernalar, saya seringkali berwacana pada diri sendiri, apakah untuk menyaksikan dan tinggal di surga atau neraka mesti menunggu sampai mati, jasad ditinggalkan oleh ruh, jasad masuk liang lahat, ruh pergi entah ke mana? jika begitu lama, dan demikian adanya, apakah hal ini tidak berarti bahwa surga dan neraka itu sebagai suatu tempat yang akan digunakan untuk menampung ruh kita? lalau kalau hanya dengan ruh, bagaimana kesadaran kita (sebagai wujud manusia) masih bisa merasakan nikmat surga dan atau siksa neraka? dalam keterbatasan kemampuan nalar, saya berpendapat, bahwa yang dapat merasakan nikmat dan siksa adalah raga (fisik) yang di dalam raga tersebut masih dihidupi oleh ruh atau nyawa.
ketika ruh atau nyawa sudah tidak menetap di raga, baik karena kondisi raga tidak mampu lagi mendukung eksistensi nyawa; atau raga masih sehat, kuat dan mampu, namun ruh atau nyawa sudah tidak menghendaki atau ditugasi (oleh Allah) lagi utuk meninggalkan raga. dalam kondisi seperti ini, disebut mati, dan raga tidak memiliki kemampuan lagi merasakan, sementara barangkali, nyawa atau ruh juga tidak punya alat lagi untuk merasakan suasana alam manusia.
dengan bermonolog seperti tersebut di atas, saya mereka-reka, mungkinkah surga dan neraka yang diajarkan kepada manusia, sebagai suatu konsep pencegahan dari pada penindakan. dalam tataran konsep, surga dan neraka itu sama saja, keduanya sebagai wahana untuk pembalasan baik dalam bentuk reward maupun punishment. yang membedakan hanyalah positioning-nya saja. surga diposisikan sebagai tempat penuh kenikmatan, kesenangan; di pihak lain neraka merujuk pada suatu tempat untuk penyiksaan, derita. namun sampai di sini pertanyaan kembali muncul bagian mana dari ke-manusia-an kita yang masih dapat merasakan nikmat dan atau siksa setelah jasad remuk hancur dimakan ulat.
selain itu, saya juga sering bermonolog. bukankah alam dan jagad raya itu representasi dari Allah? sama seperti ada sepatu tentu ada pembuatnya. sang pembuat kekuasaannya (power) tentu lebih dari yang dibuat. kalau tiada yang dibuat maka tiada pula yang membuat. premis dalam kalimat terakhir ini bisa jadi kurang kuat, karena bukankah bisa saja si pembuat dengan kuasaNya tidak mau membuat apa - apa. kenyataanya telah banyak tak terhitung materi yang dibuat oleh Sang Pembuat. artinya, walaupun premise-nya lemah, namun buktinya kuat. kenapa demikian? jawabnya, untuk membuktikan eksistensi Sang Pembuat. sama dengan manusia, Anda tidak pernah akan dikatakan pembuat sepatu bila tidak pernah membuat sepatu.
lantas, adakah Sang Pembuat berkeinginan menghancur-leburkan karyaNya? walau ada pelajaran yang menyatakan bahwa bumi dan alam raya akan hancur, dengan keberanian nalar saya mengartikannya berbeda. kalau pembuat sepatu menghancurkan sepatu buatannya dan kemudian tidak lagi membuat sepatu, maka ia akan disebut mantan pembuat sepatu. hal ini tentu berbeda dengan pembuat sepatu memodifikasi sepatunya dengan memotong, mengurangi dan menambah di sana - sini sehingga muncul sepatu baru hasil pengembangan dari sepatu lama. jika hal ini dilakukan secara terus menerus, eksistens sebagai tukang sepatu akan hidup terusdan sepatunya akan terus bermanfaat. demikian juga kiranya dengan alam raya ini, Sang Pembuat dengan kuasaNya, tidak akan menghancur-leburkan sehingga merupa debu dan meniadakan sifat benda dunia. manusia pencetus Hukum kekekalan energi sudah diberi pencerahan akan tidak dihancurkannya alam raya. apa yang terjadi? modifikasi alam. gempa bumi, banjir, kekeringan, gunung meletus dan masih banyak lagi, bagi saya semuanya merupakan upaya modifikasi agar keseimbangan alam senanatiasa terjaga. mereka (yang kemudian disebut sebagai bencana) juga merupakan sinyal bahwa Sang Pembuat masih eksis, dan pasca "sinyal" akan muncul keseimbangan - kesimbangan baru.
surga dan neraka juga merupakan konsep keseimbangan. jika ditarik pada kebiasaaan yang terjadi di dunia manusia, bukankah banyak bukti yang menunjukkan tiada beda antara nikmat dan derita? Nikmat yang amat nikmat, nikmat yang rasa nikmatnya terlalu lama, bukankah akan berubah menjadi siksa dan derita? saya kasih contoh, anda suka makan soto ayam ambengan, dan soto ayam ambengan memang nikmat, bukan? jika disajikan semangkok-dua mangkok tatkala lapar, nikmat bukan? tetapi saya yakin anda tidak akan pernah mau jika terus menerus, setiap saat dikasih makan soto ambengan tiada berhenti. akan berubah jadi siksa.
siksa dan derita-pun jika terjadi pada kurun lama, berangsur akan menjadi nikmat. mau contoh? coba tanya kepada mereka yang dipenjara karena melakukan kesalahan. pada hari, mingggu dan bulan - bulan pertama stres, marah, derita itu yang dirasakan, namun pada bulan ketiga menjelang keempat sudah merasakan nikmatnya tinggal di penjara. setidaknya itulah yang saya dengar dari seseorang teman yang pada hari ini masih harus tinggal di penjara karena dihukum dengan tuduhan melakukan pidana publik.
jadi baik nikmat dan derita, pada kenyataannya hanya bersifat sementara (short term), ketika nikmat dan derita berusia panjang (long term) maka keduanya akan saling bertukar yang satu menjadi lainnya, nikmat berubah menjadi derita, demikian pula derita menjadi nikmat.
kembali ke atas, jika dikatakan surga dan neraka itu suatu tempat yang menandakan suasana alam kelanggengan dengan sifat tetap, yang nikmat tetap nikmat dan derita tiada berubah, maka pertanyaan berikutnya, apakah tidak ada hubungan sifat alam dunia dengan sifat alam akhirat. mencoba menjawab pertanyaan ini, saya menemukan ambiguity. pertama, ya ada hubungan, surga dan neraka adalah sarana pembalasan atas apa yang dilakukan manusia ketika masih hidup di alam dunia, jadi ada hubungan positif. sebaliknya, untuk sifat alam dunia dan alam akhirat, tidak ada hubungan. jika di dunia nikmat dan derita saling berubah, di alam akhirat nikmat dan derita sifatnya langgeng. walau dalam keyakinan Islam, akan ada yang masuk neraka, setelah menjalani siksaan untuk waktu tertentu baru dientaskan ke surga.
masih penasaran juga. apakah untuk merasakan surga dan neraka harus mati dari alam dunia dulu? apakah tidak ada cara lain untuk merasakan surga dan neraka selagi masih hidup di alam dunia? saya berani mengatakan, "karena Allah Maha Kasih dan Maha Adil" maka keinginan untuk merasakan surga dan neraka selagi masih jidup di dunia dapat dikabulkan. bagaimana caranya?
jangan lupa surga dan neraka sebagai konsep pembalasan, ada hubungan sebab akibat di dalam konsep surga neraka ini. ada juga konsep keseimbangan. selain itu, di dalam surga dan neraka juga mengandung konsep non-ragawi, non-fisik, jadi lebih kepada jiwa, ruh, nyawa. kemudian, surga dan neraka itu sifatnya langgeng, tetap untuk waktu yang tidak berbatas. bukan temporer. nah bila kita dapat menghadirkan tiga karakter surga neraka di dalam kehidupan di alam dunia, secara teoretis manusia dapat menghadirkan surga dan neraka di alam dunia. wallahu alam bisawab.
sebagai anggota dari umat beragama, yang diberi karunia kemampuan berpikir, bernalar, saya seringkali berwacana pada diri sendiri, apakah untuk menyaksikan dan tinggal di surga atau neraka mesti menunggu sampai mati, jasad ditinggalkan oleh ruh, jasad masuk liang lahat, ruh pergi entah ke mana? jika begitu lama, dan demikian adanya, apakah hal ini tidak berarti bahwa surga dan neraka itu sebagai suatu tempat yang akan digunakan untuk menampung ruh kita? lalau kalau hanya dengan ruh, bagaimana kesadaran kita (sebagai wujud manusia) masih bisa merasakan nikmat surga dan atau siksa neraka? dalam keterbatasan kemampuan nalar, saya berpendapat, bahwa yang dapat merasakan nikmat dan siksa adalah raga (fisik) yang di dalam raga tersebut masih dihidupi oleh ruh atau nyawa.
ketika ruh atau nyawa sudah tidak menetap di raga, baik karena kondisi raga tidak mampu lagi mendukung eksistensi nyawa; atau raga masih sehat, kuat dan mampu, namun ruh atau nyawa sudah tidak menghendaki atau ditugasi (oleh Allah) lagi utuk meninggalkan raga. dalam kondisi seperti ini, disebut mati, dan raga tidak memiliki kemampuan lagi merasakan, sementara barangkali, nyawa atau ruh juga tidak punya alat lagi untuk merasakan suasana alam manusia.
dengan bermonolog seperti tersebut di atas, saya mereka-reka, mungkinkah surga dan neraka yang diajarkan kepada manusia, sebagai suatu konsep pencegahan dari pada penindakan. dalam tataran konsep, surga dan neraka itu sama saja, keduanya sebagai wahana untuk pembalasan baik dalam bentuk reward maupun punishment. yang membedakan hanyalah positioning-nya saja. surga diposisikan sebagai tempat penuh kenikmatan, kesenangan; di pihak lain neraka merujuk pada suatu tempat untuk penyiksaan, derita. namun sampai di sini pertanyaan kembali muncul bagian mana dari ke-manusia-an kita yang masih dapat merasakan nikmat dan atau siksa setelah jasad remuk hancur dimakan ulat.
selain itu, saya juga sering bermonolog. bukankah alam dan jagad raya itu representasi dari Allah? sama seperti ada sepatu tentu ada pembuatnya. sang pembuat kekuasaannya (power) tentu lebih dari yang dibuat. kalau tiada yang dibuat maka tiada pula yang membuat. premis dalam kalimat terakhir ini bisa jadi kurang kuat, karena bukankah bisa saja si pembuat dengan kuasaNya tidak mau membuat apa - apa. kenyataanya telah banyak tak terhitung materi yang dibuat oleh Sang Pembuat. artinya, walaupun premise-nya lemah, namun buktinya kuat. kenapa demikian? jawabnya, untuk membuktikan eksistensi Sang Pembuat. sama dengan manusia, Anda tidak pernah akan dikatakan pembuat sepatu bila tidak pernah membuat sepatu.
lantas, adakah Sang Pembuat berkeinginan menghancur-leburkan karyaNya? walau ada pelajaran yang menyatakan bahwa bumi dan alam raya akan hancur, dengan keberanian nalar saya mengartikannya berbeda. kalau pembuat sepatu menghancurkan sepatu buatannya dan kemudian tidak lagi membuat sepatu, maka ia akan disebut mantan pembuat sepatu. hal ini tentu berbeda dengan pembuat sepatu memodifikasi sepatunya dengan memotong, mengurangi dan menambah di sana - sini sehingga muncul sepatu baru hasil pengembangan dari sepatu lama. jika hal ini dilakukan secara terus menerus, eksistens sebagai tukang sepatu akan hidup terusdan sepatunya akan terus bermanfaat. demikian juga kiranya dengan alam raya ini, Sang Pembuat dengan kuasaNya, tidak akan menghancur-leburkan sehingga merupa debu dan meniadakan sifat benda dunia. manusia pencetus Hukum kekekalan energi sudah diberi pencerahan akan tidak dihancurkannya alam raya. apa yang terjadi? modifikasi alam. gempa bumi, banjir, kekeringan, gunung meletus dan masih banyak lagi, bagi saya semuanya merupakan upaya modifikasi agar keseimbangan alam senanatiasa terjaga. mereka (yang kemudian disebut sebagai bencana) juga merupakan sinyal bahwa Sang Pembuat masih eksis, dan pasca "sinyal" akan muncul keseimbangan - kesimbangan baru.
surga dan neraka juga merupakan konsep keseimbangan. jika ditarik pada kebiasaaan yang terjadi di dunia manusia, bukankah banyak bukti yang menunjukkan tiada beda antara nikmat dan derita? Nikmat yang amat nikmat, nikmat yang rasa nikmatnya terlalu lama, bukankah akan berubah menjadi siksa dan derita? saya kasih contoh, anda suka makan soto ayam ambengan, dan soto ayam ambengan memang nikmat, bukan? jika disajikan semangkok-dua mangkok tatkala lapar, nikmat bukan? tetapi saya yakin anda tidak akan pernah mau jika terus menerus, setiap saat dikasih makan soto ambengan tiada berhenti. akan berubah jadi siksa.
siksa dan derita-pun jika terjadi pada kurun lama, berangsur akan menjadi nikmat. mau contoh? coba tanya kepada mereka yang dipenjara karena melakukan kesalahan. pada hari, mingggu dan bulan - bulan pertama stres, marah, derita itu yang dirasakan, namun pada bulan ketiga menjelang keempat sudah merasakan nikmatnya tinggal di penjara. setidaknya itulah yang saya dengar dari seseorang teman yang pada hari ini masih harus tinggal di penjara karena dihukum dengan tuduhan melakukan pidana publik.
jadi baik nikmat dan derita, pada kenyataannya hanya bersifat sementara (short term), ketika nikmat dan derita berusia panjang (long term) maka keduanya akan saling bertukar yang satu menjadi lainnya, nikmat berubah menjadi derita, demikian pula derita menjadi nikmat.
kembali ke atas, jika dikatakan surga dan neraka itu suatu tempat yang menandakan suasana alam kelanggengan dengan sifat tetap, yang nikmat tetap nikmat dan derita tiada berubah, maka pertanyaan berikutnya, apakah tidak ada hubungan sifat alam dunia dengan sifat alam akhirat. mencoba menjawab pertanyaan ini, saya menemukan ambiguity. pertama, ya ada hubungan, surga dan neraka adalah sarana pembalasan atas apa yang dilakukan manusia ketika masih hidup di alam dunia, jadi ada hubungan positif. sebaliknya, untuk sifat alam dunia dan alam akhirat, tidak ada hubungan. jika di dunia nikmat dan derita saling berubah, di alam akhirat nikmat dan derita sifatnya langgeng. walau dalam keyakinan Islam, akan ada yang masuk neraka, setelah menjalani siksaan untuk waktu tertentu baru dientaskan ke surga.
masih penasaran juga. apakah untuk merasakan surga dan neraka harus mati dari alam dunia dulu? apakah tidak ada cara lain untuk merasakan surga dan neraka selagi masih hidup di alam dunia? saya berani mengatakan, "karena Allah Maha Kasih dan Maha Adil" maka keinginan untuk merasakan surga dan neraka selagi masih jidup di dunia dapat dikabulkan. bagaimana caranya?
jangan lupa surga dan neraka sebagai konsep pembalasan, ada hubungan sebab akibat di dalam konsep surga neraka ini. ada juga konsep keseimbangan. selain itu, di dalam surga dan neraka juga mengandung konsep non-ragawi, non-fisik, jadi lebih kepada jiwa, ruh, nyawa. kemudian, surga dan neraka itu sifatnya langgeng, tetap untuk waktu yang tidak berbatas. bukan temporer. nah bila kita dapat menghadirkan tiga karakter surga neraka di dalam kehidupan di alam dunia, secara teoretis manusia dapat menghadirkan surga dan neraka di alam dunia. wallahu alam bisawab.
Batas Nalar dan Iman
agama, menurut sebagian ahli, berdasarkan asal-usulnya, dibedakan ke dalam dua golongan: yang berasal dari Tuhan dan berasal dari kreasi manusia (yang memperoleh pencerahan). agama apapun menjanjikan surga dan neraka sebagai pembalasan atas apa yang manusia lakukan selagi masih hidup di alam dunia. majoritas manusia di dunia memeluk agama. di antara pemeluk agama ada yang sangat taat, banyak taat, kadang-kadang taat, sedikit taat dan sama sekali tidak taat. tingkat ketaatan dalam menjalankan ajaran agama yang dianut secara umum mestinya mencerminkan tingkat baik-buruk perilaku manusia dengan acuan ajaran agama tertentu. benarkah demikian?
di pihak lain, ada kelompok manusia yang mengaku dirinya tidak ber-Tuhan dan tidak ber-agama, atau mengenal Tuhan tetapi tidak percaya agama. sebagai manusia, dua kelompok terakhir ini pun berperilaku dalam continuum dari sangat baik hingga sangat jahat.
dari dua paragraf di atas dapat dipertanyakan, apakah ada hubungan dan pengaruh antara ber-Tuhan atau tidak ber-Tuhan, dan ber-agama atau tidak ber-agama dengan baik-buruknya perilaku secara umum? saya tidak tahu apakah pernah ada orang yang memperkarakan ihwal semacam ini. mudah -mudahan ada, sehingga saya bukan orang pertama yang menyoalnya. logika umum menyatakan orang yang ber-Tuhan dan ber-Agama tentu perilakunya lebih baik dari yang tidak ber-Tuhan dan tidak ber-Agama. faktanya? bukankah secara nominal, bukti empirik menunjukkan pelanggaran hukum Agama justru dilakukan lebih banyak oleh manusia ber-Agama dari pada yang tidak ber-agama? wah mengapa demikian? Ah jangan-jangan maswig sedang gundah, bingung atau sedang mengajak orang untuk tidak ber-Agama.
Bukan itu, wacana ini disajikan justru untuk mengajak agar manusia ber-Agama lebih mencintai lagi, lebih mau menjalankan perintah-perintah agamanya masing-masing. bagaimana bisa?
begini, dalam artikel sebelumnya saya menyinggung surga dan neraka sebagai sebuah janji pembalasan yang kemudian dengan kemampuan nalar, saya katakan sebagai pencegahan dari pada penindakan. mencegah manusia dari berbuat jahat dan dosa, melanggar perintah Tuhan. selanjutnya, sebagai sebuah janji, untuk dapat merasakan nikmat atau derita mesti menunggu sampai ruh manusia masuk ke alam akhirat, meninggalkan jasad di alam dunia. di luar itu, selagi manusia masih ada di alam dunia, Tuhan memberikan kebebasan serta kemampuan berpikir dan bertindak. Kebebesan yang diberikan Tuhan ini bukan absolut, karena ia dibatasi oleh hukum Tuhan yang tertuang dalam kitab yang dibawa oleh para Utusan Tuhan (the Messengers of God).
nah di sinilah permasalahannya, di satu sisi manusia ber-agama tunduk akan sifatnya sebagai makhluk TUhan, dan mengerti serta meyakini aturan TUhan yang tertuang dalam Agama, namun karena pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan dan Agama hanya dihukum dengan janji akan diberi neraka, sementara jasad pelaku pengingkaran tidak lagi dapat merasakan eksistensi neraka, tidak aneh bila semakin banyak manusia yang berani meninggalkan perintah dan laranganNya. dengan kalimat ini apakah berarti saya melemahkan eksistensi TUhan? tidak juga. sifat Tuhan tidak berubah, apakah manusia ciptaannya taat atau ingkar, Tuhan tetap yang Maha Perkasa.
di pihak lain, sebagian orang yang memosisikan dirinya taat, perlu membuat diri mereka berbeda dari orang yang ingkar. namun demikian, walaupun taat serta percaya bahwa Tuhan akan membalas apapun perbuatan manusia, tetapi karena ada balasan TUhan yang tidak seketika, maka dengan ajaran agama yang dibawa oleh para Utusan Allah, mereka ingin menyegerakan menghukum orang lain yang dianggap tidak taat. di titik inilah muncul para "pembela agama". persoalannya, apakah agama perlu dibela? apakah Tuhan perlu dibela? jika saya jawab Ya, sebagaimana mereka yang meng-klaim dirinya pembela Agama, secara tidak langsung berarti saya menganggap bahwa agama yang dibawa para Rasul itu lemah sehingga perlu dibela; agama yang diajarkan para RAsul itu ada kekurang-sempurnaan sehingag perlu dibel; Tuhan itu lemah sehingga perlu dibela. Padahal Tuhan yang menciptakan manusia. mestinya manusia mengakui keperkasaan Tuhan, bukan. padahal, Tuhan melalui RasulNya menyatakan Agama (Islam) itu sempurna. Jadi siapa yang perlu dibela oleh manusia? menurut nalar saya, yang perlu dibela oleh manusia ya manusia lainnya, alias sesama manusia saling membela dan melindungi.
melindungi dari apa? dari tindak kejahatan manusia lain yang merugikan manusia lain, seperti membunuh, menipu, mengganggu kehormatan, menganggu keyakinan, mencuri, dan lain sebagainya. jadi wahai manusia, belalah dirimu sendiri, bukan membela apa yang lebih tinggi kedudukannya dari dirimu.
kembali ke masalah pembalasan, apakah manusia yang ketika hidup di dunia tidak mengakui eksistensi Tuhan dan tidak ber-agama otomatis kelak akan mendapat jatah neraka? Tuhan dalam hukumNya yang tertuang dalam Kitab Suci yang dibawa para Rasul memastikan jawabnya. YA. persoalannya, bagi sebagian orang yang lebih banyak mengandalkan daya pikir, masih dapat beragumen "berikan buktinya!", atau "apakah sudah ada bukti empirik?" atau lebih jauh lagi, ini khususnya bagi mereka yang suka ingkar, "biarlah neraka, toh jasadku akan membusuk duluan di tanah kubur, sama akan membusuknya seperti mereka yang taat."
di sinilah batasnya ke-iman-an yang berujung taqwa. bagi yang ber-Iman namun takut ke-iman-annya terganggu tentu akan berhenti pada batas nalar, dan kemudian menguatkan hukum Tuhan sebagai suatu keyakinan. bagi yang ingin memperkuat keimanan dan keyakinan, bisa jadi belum berhenti sampai di situ, ia akan terus berkelana mencari tahu rahasia Tuhan, bukti surga neraka, sampai kuasa Tuhan memberikan pencerahan atau membiarkannya saja. wallahu alam bisawab.
di pihak lain, ada kelompok manusia yang mengaku dirinya tidak ber-Tuhan dan tidak ber-agama, atau mengenal Tuhan tetapi tidak percaya agama. sebagai manusia, dua kelompok terakhir ini pun berperilaku dalam continuum dari sangat baik hingga sangat jahat.
dari dua paragraf di atas dapat dipertanyakan, apakah ada hubungan dan pengaruh antara ber-Tuhan atau tidak ber-Tuhan, dan ber-agama atau tidak ber-agama dengan baik-buruknya perilaku secara umum? saya tidak tahu apakah pernah ada orang yang memperkarakan ihwal semacam ini. mudah -mudahan ada, sehingga saya bukan orang pertama yang menyoalnya. logika umum menyatakan orang yang ber-Tuhan dan ber-Agama tentu perilakunya lebih baik dari yang tidak ber-Tuhan dan tidak ber-Agama. faktanya? bukankah secara nominal, bukti empirik menunjukkan pelanggaran hukum Agama justru dilakukan lebih banyak oleh manusia ber-Agama dari pada yang tidak ber-agama? wah mengapa demikian? Ah jangan-jangan maswig sedang gundah, bingung atau sedang mengajak orang untuk tidak ber-Agama.
Bukan itu, wacana ini disajikan justru untuk mengajak agar manusia ber-Agama lebih mencintai lagi, lebih mau menjalankan perintah-perintah agamanya masing-masing. bagaimana bisa?
begini, dalam artikel sebelumnya saya menyinggung surga dan neraka sebagai sebuah janji pembalasan yang kemudian dengan kemampuan nalar, saya katakan sebagai pencegahan dari pada penindakan. mencegah manusia dari berbuat jahat dan dosa, melanggar perintah Tuhan. selanjutnya, sebagai sebuah janji, untuk dapat merasakan nikmat atau derita mesti menunggu sampai ruh manusia masuk ke alam akhirat, meninggalkan jasad di alam dunia. di luar itu, selagi manusia masih ada di alam dunia, Tuhan memberikan kebebasan serta kemampuan berpikir dan bertindak. Kebebesan yang diberikan Tuhan ini bukan absolut, karena ia dibatasi oleh hukum Tuhan yang tertuang dalam kitab yang dibawa oleh para Utusan Tuhan (the Messengers of God).
nah di sinilah permasalahannya, di satu sisi manusia ber-agama tunduk akan sifatnya sebagai makhluk TUhan, dan mengerti serta meyakini aturan TUhan yang tertuang dalam Agama, namun karena pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan dan Agama hanya dihukum dengan janji akan diberi neraka, sementara jasad pelaku pengingkaran tidak lagi dapat merasakan eksistensi neraka, tidak aneh bila semakin banyak manusia yang berani meninggalkan perintah dan laranganNya. dengan kalimat ini apakah berarti saya melemahkan eksistensi TUhan? tidak juga. sifat Tuhan tidak berubah, apakah manusia ciptaannya taat atau ingkar, Tuhan tetap yang Maha Perkasa.
di pihak lain, sebagian orang yang memosisikan dirinya taat, perlu membuat diri mereka berbeda dari orang yang ingkar. namun demikian, walaupun taat serta percaya bahwa Tuhan akan membalas apapun perbuatan manusia, tetapi karena ada balasan TUhan yang tidak seketika, maka dengan ajaran agama yang dibawa oleh para Utusan Allah, mereka ingin menyegerakan menghukum orang lain yang dianggap tidak taat. di titik inilah muncul para "pembela agama". persoalannya, apakah agama perlu dibela? apakah Tuhan perlu dibela? jika saya jawab Ya, sebagaimana mereka yang meng-klaim dirinya pembela Agama, secara tidak langsung berarti saya menganggap bahwa agama yang dibawa para Rasul itu lemah sehingga perlu dibela; agama yang diajarkan para RAsul itu ada kekurang-sempurnaan sehingag perlu dibel; Tuhan itu lemah sehingga perlu dibela. Padahal Tuhan yang menciptakan manusia. mestinya manusia mengakui keperkasaan Tuhan, bukan. padahal, Tuhan melalui RasulNya menyatakan Agama (Islam) itu sempurna. Jadi siapa yang perlu dibela oleh manusia? menurut nalar saya, yang perlu dibela oleh manusia ya manusia lainnya, alias sesama manusia saling membela dan melindungi.
melindungi dari apa? dari tindak kejahatan manusia lain yang merugikan manusia lain, seperti membunuh, menipu, mengganggu kehormatan, menganggu keyakinan, mencuri, dan lain sebagainya. jadi wahai manusia, belalah dirimu sendiri, bukan membela apa yang lebih tinggi kedudukannya dari dirimu.
kembali ke masalah pembalasan, apakah manusia yang ketika hidup di dunia tidak mengakui eksistensi Tuhan dan tidak ber-agama otomatis kelak akan mendapat jatah neraka? Tuhan dalam hukumNya yang tertuang dalam Kitab Suci yang dibawa para Rasul memastikan jawabnya. YA. persoalannya, bagi sebagian orang yang lebih banyak mengandalkan daya pikir, masih dapat beragumen "berikan buktinya!", atau "apakah sudah ada bukti empirik?" atau lebih jauh lagi, ini khususnya bagi mereka yang suka ingkar, "biarlah neraka, toh jasadku akan membusuk duluan di tanah kubur, sama akan membusuknya seperti mereka yang taat."
di sinilah batasnya ke-iman-an yang berujung taqwa. bagi yang ber-Iman namun takut ke-iman-annya terganggu tentu akan berhenti pada batas nalar, dan kemudian menguatkan hukum Tuhan sebagai suatu keyakinan. bagi yang ingin memperkuat keimanan dan keyakinan, bisa jadi belum berhenti sampai di situ, ia akan terus berkelana mencari tahu rahasia Tuhan, bukti surga neraka, sampai kuasa Tuhan memberikan pencerahan atau membiarkannya saja. wallahu alam bisawab.
Menentukan Reaksi Atas Aksi Pesaing
Manakala pesaing masuk dan mulai menganggu arena bisnis kita, sebagai manajer perusahaan apa yang akan Anda lakukan? pertanyaan seperti ini sering muncul dalam wawancara rekrutmen calon manajer bisnis atau ketika dalam ujian di sekolah - sekolah bisnis, khususnya bagi mereka yang mengambil mata kuliah dinamika persaingan. sebagian besar dari mereka yang ditanya menjawab akan menghadapi persaingan bisnis dengan gagah berani, membalas api dengan api, atau melakukan tindakan yang kurang lebih sama dengan yang dilakukan pesaing, atau membalas penurunan harga dengan penurunan harga yang lebih tajam, dan aksi lain yang lebih banyak berupa tindakan responsif dari pada reaksi cerdas sehingga memenangkan persaingan.
Apa itu reaksi cerdas? sejatinya, ada banyak sekali opsi untuk menjawab tantangan pesaing yang tidak bersifat head to head atau api balas api, nyawa balas nyawa. contohnya? Anda dapat merespon provokasi perang harga dengan reaksi tak terduga seperti meluncurkan produk atau jenis layanan baru yang menawarkan value lebih tinggi dari produk/jasa pesaing (yang harganya sedang di-discount besar-besaran). Atau bisa juga bereaksi dengan menambah tenaga penjualan, atau membuka pasar baru yang berbeda sama sekali dengan produk dan atau wilayah pasar yang sudah dimiliki pesaing. Intinya, membuat pesaing kecele (ah apa ya istilah yang tepat?) naaah ini dia, membuat pesaing keliru sangka. dikiranya kita terprovokasi, mengikuti ritme pasar persaingan yang ingin dimainkannya, eh kita malah lakukan sesuatu yang tidak terduga, yang dapat membuat pesaing garuk-garuk kepala, bingung seperti orang bertepuk sebelah tangan.
jadi alternatif pertama guna menjawab pertanyaan dalam kalimat pembuka artikel ini adalah menghadapi provokasi persaingan dengan menghindar dari persaingan. hanya itu? tentu tidak, masih ada langkah lain.
setelah tahu ada "naga di halaman bisnis kita", selain menghindar, ada pilihan reaksi lain. Bila masih ada waktu dan keberadaan pesaing belum terlalu membahayakan, Anda dapat secara perlahan - lahan mempertimbangkan apakah akan menghindar, membiarkan (toh naganya masih kecil sementara aku naga besaaar sekali) atau menghadapi bukan untuk memusuhi tetapi mengakomodasi sehingga malah terjadi coopetition alias kerja sama dalam kompetisi. jadi pilihan apakah akan membiarkan dulu dan kemudian melawan atau mengakomodasi, atau bereaksi segera setelah ada provokasi sepenuhnya ditentukan oleh seberapa besar penilaian kita atas implikasi provokasi persaingan terhadap eksistensi dan interest perusahaan.
secara umum setidaknya ada lima isu kunci yang perlu diperhatikan ketika perusahaan berinteraksi dengan pesaing dan selanjutnya menentukan sikap dalam menghadapi persaingan. pertama, posisi kompetitif, apakah perusahaan perlu merespon? jika perlu seberapa agresif? kedua, besaran atau magnitude dari tindakan responsif yang akan diambil, apakah akan menghadapi semua lini persaingan atau di beberapa front saja, misalnya. ketiga kecepatan (speed), seberapa cepat perusahaan sebaiknya merespons terhadap aksi pesaing? apakah perlu wait and see? atau tindakan segera sebelum kompetitor mengambil sebagian besar kue pasar yang selama ini dikuasai perusahaan. keempat, wilayah kerja atau domain, di mana (segmen pasar atau wilayah geografi) perusahaan perlu merespon? apakah hanya di wilayah pasar yang sedang diserang saja? atau juga termasuk wilayah pasar lain yang masih adem ayem. kelima, senjata (weapon) atau instrument pemasaran dan atau strategi bisnis yang perlu disiapkan untuk menjawab tantangan perang. selain itu, masih termasuk dalam weapon ini adalah bagaimana perusahaan memutuskan instrument strategi yang akan digunakan.
Apa itu reaksi cerdas? sejatinya, ada banyak sekali opsi untuk menjawab tantangan pesaing yang tidak bersifat head to head atau api balas api, nyawa balas nyawa. contohnya? Anda dapat merespon provokasi perang harga dengan reaksi tak terduga seperti meluncurkan produk atau jenis layanan baru yang menawarkan value lebih tinggi dari produk/jasa pesaing (yang harganya sedang di-discount besar-besaran). Atau bisa juga bereaksi dengan menambah tenaga penjualan, atau membuka pasar baru yang berbeda sama sekali dengan produk dan atau wilayah pasar yang sudah dimiliki pesaing. Intinya, membuat pesaing kecele (ah apa ya istilah yang tepat?) naaah ini dia, membuat pesaing keliru sangka. dikiranya kita terprovokasi, mengikuti ritme pasar persaingan yang ingin dimainkannya, eh kita malah lakukan sesuatu yang tidak terduga, yang dapat membuat pesaing garuk-garuk kepala, bingung seperti orang bertepuk sebelah tangan.
jadi alternatif pertama guna menjawab pertanyaan dalam kalimat pembuka artikel ini adalah menghadapi provokasi persaingan dengan menghindar dari persaingan. hanya itu? tentu tidak, masih ada langkah lain.
setelah tahu ada "naga di halaman bisnis kita", selain menghindar, ada pilihan reaksi lain. Bila masih ada waktu dan keberadaan pesaing belum terlalu membahayakan, Anda dapat secara perlahan - lahan mempertimbangkan apakah akan menghindar, membiarkan (toh naganya masih kecil sementara aku naga besaaar sekali) atau menghadapi bukan untuk memusuhi tetapi mengakomodasi sehingga malah terjadi coopetition alias kerja sama dalam kompetisi. jadi pilihan apakah akan membiarkan dulu dan kemudian melawan atau mengakomodasi, atau bereaksi segera setelah ada provokasi sepenuhnya ditentukan oleh seberapa besar penilaian kita atas implikasi provokasi persaingan terhadap eksistensi dan interest perusahaan.
secara umum setidaknya ada lima isu kunci yang perlu diperhatikan ketika perusahaan berinteraksi dengan pesaing dan selanjutnya menentukan sikap dalam menghadapi persaingan. pertama, posisi kompetitif, apakah perusahaan perlu merespon? jika perlu seberapa agresif? kedua, besaran atau magnitude dari tindakan responsif yang akan diambil, apakah akan menghadapi semua lini persaingan atau di beberapa front saja, misalnya. ketiga kecepatan (speed), seberapa cepat perusahaan sebaiknya merespons terhadap aksi pesaing? apakah perlu wait and see? atau tindakan segera sebelum kompetitor mengambil sebagian besar kue pasar yang selama ini dikuasai perusahaan. keempat, wilayah kerja atau domain, di mana (segmen pasar atau wilayah geografi) perusahaan perlu merespon? apakah hanya di wilayah pasar yang sedang diserang saja? atau juga termasuk wilayah pasar lain yang masih adem ayem. kelima, senjata (weapon) atau instrument pemasaran dan atau strategi bisnis yang perlu disiapkan untuk menjawab tantangan perang. selain itu, masih termasuk dalam weapon ini adalah bagaimana perusahaan memutuskan instrument strategi yang akan digunakan.
Sunday, September 06, 2009
laporan pandangan mata, buka puasa bersama di luar rumah.
puasa ramadhan 1430H sudah berjalan hampir separo bulan, hari pertama kedua - karena hari libur - aku buka puasa di rumah. setelah hari ketiga, lebih banyak berbuka puasa di luar rumah, baik di kantor, di jalan, atau bersama - sama sahabat buka puasa bersama di restaurant, di resto-hotel, atau di resto-mall. kali ini saya menyoroti suasana berbuka puasa di restaurant yang terletak di Mall atau di Hotel.
Dari tahun ke tahun saya perhatikan semakin banyak orang, secara berkelompok berbuka puasa di restaurant yang berlokasi di mall atau hotel. hal ini barangkali juga didukung oleh semakin banyaknya Mall dan Hotel berbintang di kota jakarta. ternyata, acara berbuka puasa dapat pula dimanfaatkan untuk, selain bersilaturahmi, juga ajang promosi, lobby, dan mempererat jalinan antara pagawai dan manajemen, antara perusahaan dan vendor serta klien. bagi keluarga atau pertemanan yang berbuka puasa di resto-mall atau resto hotel, acara ini dapat pula dimanfaatkan sebagai sarana reuni, kumpul keluarga besar (seperti yang sore ini saya lihat terjadi di sebuah hotel bintang lima di bilangan senayan, oleh keluarga besar seorang pucuk pimpinan bank swasta), atau bahkan memperkenalkan teman dekat sang anak kepada orang tuanya.
dilihat dari kepentingan bisnis, selama romadhan, restaurant, rumah makan, warung diperkirakan mengalami kenaikan omzet penjualan. saya bayangkan, berbuka puasa di restaurant hotel bintang per orang nett-nya sekitar Rp. 275.000,- jika setiap sore ada 500 tamu, dengan gelaran hanya sekitar 3 jam, unit restaurant tersebut sudah menangguk pendapatan tidak kurang dari Rp. 137.500.000,- jumlah yang cukup besar. padahal ada banyak hotel di jakarta. itu baru resto-hotel, belum lagi resto-mall yang jumlahnya ribuan, warung yang puluhan ribu. singkat cerita, bulan puasa meningkatkan gairah perekonomian dari belanja makan - minum.
hal lain yang juga semakin lazim, adalah... ternyata yang ikut merayakan acara berbuka puasa bersama, tidak hanya muslim yang berpuasa saja, melainkan juga sahabat non-muslim yang tidak berpuasa. malahan kemaren dan sore tadi saya lihat, rasanya lebih banyak yang non-puasa dari pada yang puasa. ini - barangkali - menandakan ritual berbuka sebagai bagian dari puasa, sudah bukan ekslusif milik warga muslim, tetapi suasana gembira ini juga ingin dirasakan oleh sahabat non-mulsim. dari perspektif lain, barangkali ini juga sebagai penanda kehormatan dari sahabat non-muslim kepada sahabat muslim yang berpuasa, ini tercermin dari undangan buka puasa bersama yang dilayangkan oleh sahabat non-muslim.
hal lain yang saya perhatikan adalah ketersediaan dan kualitas mushola. mall-mal baru pada umumnya menyediakan mushola yang terletak di suatu lantai, dirawat dengan baik dan cukup lebar untuk menampung sampai 50-an orang. disediakan penitipan alas kaki, ber-AC. Jika di Mall pada umumnya disediakan mushola yang cukup nyaman, tidak demikian halnya bila kita berbuka di restaurant tunggal. di suatu resto di bilangan kebayoran baru, disediakan mushola darurat di lantai paling atas yang terbuat dari beton tanpa atap, ada juga sebuah resto di bilangan Benhil yang mushola-nya hanya cukup untuk 2 orang saja, sehingga mesti antri. ada seorang sahabat yang mulai antri sekitar setengah jam sesudah bedug maghrib, sampai kehabisan waktu maghrib, masih ngantri eh sudah adzan sholat Isha. Di hotel bagaimana? kemaren saya berbuka di hotel di bilangan casablanca kuningan, hotel menyediakan mushola di lantai 10 yang dedicated (sebuah ruang yang hanya digunakan untuk mushola). jika hotel ini menyediakan ruang khusus, ada dua hotel lain yang lokasinya tidak jauh dari hotel ini yang menyediakan ruang sholat dengan menggunakan kamar hotel, semua perabotan dikeluarkan, dan selama ramadhan digunakan untuk sholat para tamu tidak menginap yang berbuka. selain ruang khusus dan kamar yang disulap menjadi mushola, ada juga hotel bintang lima yang menempatkan mushola di pelataran parkir lantai paling atas. jemaah yang hendak sholat mesti kuat menaiki tangga, karena tidak tersedia lift. kalau hotel bintang lima di jakarta ini menempatkan mushola di lantai parkir paling atas, suatu hotel di kota Solo yang merupakan anggota dari rantai hotel nasional, menempatkan mushola di basement, cukup besar dan sekaligus digunakan untuk Jum'atan. di Semarang, suatu hotel yang relatif baru di bilangan jalan Gajah Mada, menempatkan mushola di lantai 2, tidak jauh dari business center, cafe dan ruang-ruang meeting.
cara berpakaian. aku masih agak heran, kenapa masih banyak wanita muslim yang tidak atau belum menutup aurat sesuai dengan ajaran Rasul Muhammad SAW. padahal dalam acara berbuka dan sahur (di hotel), sebagai bagian dari ibadah, mestinya berbusana yang sopan dan memenuhi aturan agama. kalaupun tidak berkerudung, yang penting aurat yang vital - vital (termasuk perut, puser dan punggung bagian bawah) tidak diobral. sore ini saya menyaksikan ada wanita cantik (mudah-mudahan masih gadis, karena wajahnya masih belia) yang berbusana ketat, bagian atasnya (dada) dan bagian bawah (pinggul) terlihat - maaf - sengaja ditonjolkan, dan punggungnya - astaghfirullah - terbuka alias backless. padahal beliau sedang berbuka puasa. di semarang hari minggu lalu, saya makan sahur di hotel di bilangan gajah mada, saya lihat ada beberapa wanita muda yang juga makan sahur, maaf, pakaian mereka tidak mencerminkan sedang menjalankan ibadah, mosok pakai celana pendek berbahan jean (short) yang kalau duduk dalamannya bisa terlihat, ada lagi yang maaf pakai kaos tipis longgar, wis tho pokoknya kalau zaman dulu saya senang melihatnya, tetapi sekarang minta ampun kalau lihat yang seperti itu.
di samping arah positif seperti semakin ramai orang berbuka puasa di luar rumah, mendorong gerak laju perekonomian, mempererat persahabatan baik sesama muslim mamupun muslim dengan non-muslim, ada satu hal yang menjadi keprihatinan saya. saya perhatikan, banyak sahabat muslim yang berbuka puasa di resto, resto-mall, resto-hotel, yang - mungkin - keasyikan makan - minum, ngobrol atau secara sengaja, meninggalkan sholat maghrib. sayang sejuta sayang, saya senantiasa ingat, sholat dan puasa itu rukun Islam, jadi kalau rukun tidak dikerjakan dengan sempurna maka belum Islam. saya menganalogikan dengan sekolah menjadi sarjana, salah satu rukun menjadi sarjana adalah lulus ujian, jika ujian ditinggalkan, mana mungkin menjadi sarjana, bukan?
akhir kata, teman saya, seorang eksekutif, pimpinan perusahaan dari sebuh group bisnis besar di negeri ini bilang, "maswig, biar kata pilihan makanan enak banyak sekali di hotel ini (ketika itu kami sedang berbuka puasa di hotel bintang lima di bilangan SCBD), biar kata berapapun harganya masih bisa bayar, yang paling enak tetap saja berbuka puasa di rumah bersama istri dan anak." benar juga yah...???
rempoa, 6 September 2009
Dari tahun ke tahun saya perhatikan semakin banyak orang, secara berkelompok berbuka puasa di restaurant yang berlokasi di mall atau hotel. hal ini barangkali juga didukung oleh semakin banyaknya Mall dan Hotel berbintang di kota jakarta. ternyata, acara berbuka puasa dapat pula dimanfaatkan untuk, selain bersilaturahmi, juga ajang promosi, lobby, dan mempererat jalinan antara pagawai dan manajemen, antara perusahaan dan vendor serta klien. bagi keluarga atau pertemanan yang berbuka puasa di resto-mall atau resto hotel, acara ini dapat pula dimanfaatkan sebagai sarana reuni, kumpul keluarga besar (seperti yang sore ini saya lihat terjadi di sebuah hotel bintang lima di bilangan senayan, oleh keluarga besar seorang pucuk pimpinan bank swasta), atau bahkan memperkenalkan teman dekat sang anak kepada orang tuanya.
dilihat dari kepentingan bisnis, selama romadhan, restaurant, rumah makan, warung diperkirakan mengalami kenaikan omzet penjualan. saya bayangkan, berbuka puasa di restaurant hotel bintang per orang nett-nya sekitar Rp. 275.000,- jika setiap sore ada 500 tamu, dengan gelaran hanya sekitar 3 jam, unit restaurant tersebut sudah menangguk pendapatan tidak kurang dari Rp. 137.500.000,- jumlah yang cukup besar. padahal ada banyak hotel di jakarta. itu baru resto-hotel, belum lagi resto-mall yang jumlahnya ribuan, warung yang puluhan ribu. singkat cerita, bulan puasa meningkatkan gairah perekonomian dari belanja makan - minum.
hal lain yang juga semakin lazim, adalah... ternyata yang ikut merayakan acara berbuka puasa bersama, tidak hanya muslim yang berpuasa saja, melainkan juga sahabat non-muslim yang tidak berpuasa. malahan kemaren dan sore tadi saya lihat, rasanya lebih banyak yang non-puasa dari pada yang puasa. ini - barangkali - menandakan ritual berbuka sebagai bagian dari puasa, sudah bukan ekslusif milik warga muslim, tetapi suasana gembira ini juga ingin dirasakan oleh sahabat non-mulsim. dari perspektif lain, barangkali ini juga sebagai penanda kehormatan dari sahabat non-muslim kepada sahabat muslim yang berpuasa, ini tercermin dari undangan buka puasa bersama yang dilayangkan oleh sahabat non-muslim.
hal lain yang saya perhatikan adalah ketersediaan dan kualitas mushola. mall-mal baru pada umumnya menyediakan mushola yang terletak di suatu lantai, dirawat dengan baik dan cukup lebar untuk menampung sampai 50-an orang. disediakan penitipan alas kaki, ber-AC. Jika di Mall pada umumnya disediakan mushola yang cukup nyaman, tidak demikian halnya bila kita berbuka di restaurant tunggal. di suatu resto di bilangan kebayoran baru, disediakan mushola darurat di lantai paling atas yang terbuat dari beton tanpa atap, ada juga sebuah resto di bilangan Benhil yang mushola-nya hanya cukup untuk 2 orang saja, sehingga mesti antri. ada seorang sahabat yang mulai antri sekitar setengah jam sesudah bedug maghrib, sampai kehabisan waktu maghrib, masih ngantri eh sudah adzan sholat Isha. Di hotel bagaimana? kemaren saya berbuka di hotel di bilangan casablanca kuningan, hotel menyediakan mushola di lantai 10 yang dedicated (sebuah ruang yang hanya digunakan untuk mushola). jika hotel ini menyediakan ruang khusus, ada dua hotel lain yang lokasinya tidak jauh dari hotel ini yang menyediakan ruang sholat dengan menggunakan kamar hotel, semua perabotan dikeluarkan, dan selama ramadhan digunakan untuk sholat para tamu tidak menginap yang berbuka. selain ruang khusus dan kamar yang disulap menjadi mushola, ada juga hotel bintang lima yang menempatkan mushola di pelataran parkir lantai paling atas. jemaah yang hendak sholat mesti kuat menaiki tangga, karena tidak tersedia lift. kalau hotel bintang lima di jakarta ini menempatkan mushola di lantai parkir paling atas, suatu hotel di kota Solo yang merupakan anggota dari rantai hotel nasional, menempatkan mushola di basement, cukup besar dan sekaligus digunakan untuk Jum'atan. di Semarang, suatu hotel yang relatif baru di bilangan jalan Gajah Mada, menempatkan mushola di lantai 2, tidak jauh dari business center, cafe dan ruang-ruang meeting.
cara berpakaian. aku masih agak heran, kenapa masih banyak wanita muslim yang tidak atau belum menutup aurat sesuai dengan ajaran Rasul Muhammad SAW. padahal dalam acara berbuka dan sahur (di hotel), sebagai bagian dari ibadah, mestinya berbusana yang sopan dan memenuhi aturan agama. kalaupun tidak berkerudung, yang penting aurat yang vital - vital (termasuk perut, puser dan punggung bagian bawah) tidak diobral. sore ini saya menyaksikan ada wanita cantik (mudah-mudahan masih gadis, karena wajahnya masih belia) yang berbusana ketat, bagian atasnya (dada) dan bagian bawah (pinggul) terlihat - maaf - sengaja ditonjolkan, dan punggungnya - astaghfirullah - terbuka alias backless. padahal beliau sedang berbuka puasa. di semarang hari minggu lalu, saya makan sahur di hotel di bilangan gajah mada, saya lihat ada beberapa wanita muda yang juga makan sahur, maaf, pakaian mereka tidak mencerminkan sedang menjalankan ibadah, mosok pakai celana pendek berbahan jean (short) yang kalau duduk dalamannya bisa terlihat, ada lagi yang maaf pakai kaos tipis longgar, wis tho pokoknya kalau zaman dulu saya senang melihatnya, tetapi sekarang minta ampun kalau lihat yang seperti itu.
di samping arah positif seperti semakin ramai orang berbuka puasa di luar rumah, mendorong gerak laju perekonomian, mempererat persahabatan baik sesama muslim mamupun muslim dengan non-muslim, ada satu hal yang menjadi keprihatinan saya. saya perhatikan, banyak sahabat muslim yang berbuka puasa di resto, resto-mall, resto-hotel, yang - mungkin - keasyikan makan - minum, ngobrol atau secara sengaja, meninggalkan sholat maghrib. sayang sejuta sayang, saya senantiasa ingat, sholat dan puasa itu rukun Islam, jadi kalau rukun tidak dikerjakan dengan sempurna maka belum Islam. saya menganalogikan dengan sekolah menjadi sarjana, salah satu rukun menjadi sarjana adalah lulus ujian, jika ujian ditinggalkan, mana mungkin menjadi sarjana, bukan?
akhir kata, teman saya, seorang eksekutif, pimpinan perusahaan dari sebuh group bisnis besar di negeri ini bilang, "maswig, biar kata pilihan makanan enak banyak sekali di hotel ini (ketika itu kami sedang berbuka puasa di hotel bintang lima di bilangan SCBD), biar kata berapapun harganya masih bisa bayar, yang paling enak tetap saja berbuka puasa di rumah bersama istri dan anak." benar juga yah...???
rempoa, 6 September 2009
Saturday, September 05, 2009
Benarkah Memberi Selalu Lebih Baik Dari Menerima
Memberi dalam beberapa hal lebih baik dari pada menerima. Ini kalimat yang saya tayangkan di webblog saya http://maswig.blogspot.com benarkah memberi selalu lebih baik dari menerima? Tidak juga, memberi sesuatu yang akan menghasilkan kondisi menyenangkan, menyehatkan fisik dan psikis baik untuk si pemberi maupun si penerima, akan terjadi bila memenuhi syarat – syarat sebagai berikut:
Bagi pemberi, syarat pertama mesti IKHLAS. Apa itu ikhlas? Dalam kontek bebas (common sense) saya mengartikan ikhlas sebagai: sebelum, ketika dan sesudah memberi tidak punya alasan lain kecuali untuk memberi, itu saja, tidak ada motif lain. Ada yang berpendapat bahwa ikhlas itu semata mengharap ridho dari Allah SWT. Ikhlas itu tidak ada tradeable transaction layaknya berdagang. Kalaupun ada, ikhlas itu bertransaksi HANYA dengan Allah SWT. Jadi tidak dapat dikatakan ikhlas bila dalam pemberian dimaksudkan untuk mendapatkan “balasan” dari si penerima baik secara langsung maupun tidak langsung, seketika atau suatu hari kelak. Termasuk tidak ikhlas bila pemberian juga dimaksudkan agar si pemberi menjadi terkenal pemurah hati (generous), atau ada ikatan lain, seperti halnya ketika para politisi gencar melakukan kampanye menjelang pemilu. Ikhlas tidak hanya sebelum dan ketika memberi, namun termasuk sesudah pemberian. Jika sesudah memberi si pemberi memikir-mikirkannya, atau mengabar-kabarkan kepada orang lain, ini juga pertanda suatu pemberian yang tidak ikhlas.
Syarat kedua, barang atau sesuatu yang diberikan statusnya HALAL. Apa itu halal? Kembali dengan kalimat bebas (tidak merujuk ke sesuatu atau informasi yang sudah diakui kebenarannya) saya berpendapat Halal itu barang (atau sesuatu) yang sifat keberadaannya dan kontek pengadaan (pembuatan), serta pemanfaatannya tidak melanggar aturan agama, dan atau hukum manusia tentang yang boleh dan tidak boleh. Tentang sifat keberadaan, sesuatu yang sudah ditetapkan halal, misalnya nasi, sepanjang ia masih berujud dan mempunyai sifat nasi, maka menurut hemat saya masih halal. Akan berubah dan menjadi tidak halal, ketika ke dalam nasi dicampur sesuatu atau tindakan yang tidak halal, misalnya dicampur dengan kuah daging (soup) babi (oleh Islam hukumnya haram), atau diperoleh dari mencuri, korupsi, menipu. Nah, barang atau sesuatu yang tidak atau sudah menjadi tidak halal (haram) maka ketika diberikan kepada orang lain, walaupun memberikannya secara ikhlas, menurut hemat saya manfaat pemberian sudah berkurang, bahkan menjurus dosa, atau mendorong orang lain juga berbuat dosa, karena menerima/menggunakan barang tidak halal.
Syarat ketiga, barang atau sesuatu yang diberikan itu harus TEPAT. Apa ini maksudnya? Tepat di sini meliputi: tepat barang/sesuatu, tepat jumlah/ukuran, tepat waktu pemberian. Misalnya si A membutuhkan sepatu untuk keperluan sekolah, tetapi si B memberikan sandal. Walaupun sandal dan sepatu sama-sama alas kaki, namun keduanya berbeda. Walhasil pemberian sandal, mungkin diterima oleh si A, namun tidak menyelesaikan kebutuhan A. Untuk itu, ada baiknya sebelum memberi, terlebih dahulu tanyakan apa yang dibutuhkan bukan yang diinginkan si penerima. Seringkali para dermawan, donatur memberikan berbagai hal, namun tidak termasuk yang sedang dibutuhkan. Dalam suatu acara pemberian donasi berupa sembako, terdengar celetuk dari seorang bapak, sembako teruss… sembako teruss, yang kubutuhkan (saat ini) celana seragam buat si Entong yang mau masuk SD.
Selain tepat barang, jumlah dan ukuran juga perlu tepat. Dalam contoh di atas, misalnya sepatu yang dibutuhkan A nomor 36, tetapi karena si pemberi asal saja, ia memberikan sepatu nomor 40, maka si A tidak dapat memakai sepatu pemberian tersebut karena kebesaran. Dalam ruang kelas, kasus seperti ini sering terjadi, guru atau dosen memberikan materi kuliah kurang dari yang seharusnya diberikan, ini juga tidak tepat. Tepat yang ketiga, tepat waktu pemberian. Sudah ikhlas, halal, tepat barang, tepat jumlah/ukuran, namun menyerahkannya sudah melewati batas waktu kebutuhan, keadaan seperti ini mengurangi manfaat pemberian. Bisa jadi, yang ditemui bukan terima kasih, melainkan penolakan atau mengerutu, ejekan, “waaah terlambat, kenapa tidak kemaren?”
Untuk mengatasi masalah kekurang-tepatan, biasanya diambil jalan mudah dengan memberi uang, dengan angapan si penerima memiliki kebebasan untuk membelanjakannya sesuai kebutuhan. Dalam kondisi si penerima memiliki kemampuan untuk membeli (sehat fisik, lokasi pasar/toko terjangkau, barang yang dibutuhkan dan akan dibeli tersedia di pasar, uang yang dimiliki dari pemberian sesuai dengan harga barang), maka pemberian uang dapat menyelesaikan masalah kekurang-tepatan. Namun demikian, kondisi seperti ini tidak selalu dimiliki oleh si penerima. Walhasil, uang bisa jadi tidak berarti apa – apa dibandingkan barang atau sesuatu (layanan).
Di sisi penerima, pemberian (atau penerimaan) akan memberi manfaat lahir bathin, jika dalam menerima juga ikhlas, berterima kasih kepada Allah SWT (Karena rejeki datangnya dari Allah SWT), berterima kasih kepada si pemberi (sebagai perantara rejeki yang datangnya dari Allah SWT), memanfaatkan pemberian tersebut sebaik-baiknya, serta mempunyai niat suatu hari kelak mampu memberikan barang atau sesuatu yang serupa kepada orang lain yang membutuhkan (ada optimisme). Optimisme ini penting agar si penerima tidak terjebak menjadi peminta-minta alias pengemis.
Semoga bermanfaat.*****
Mas Wigrantoro Roes setiyadi
Rempoa, 5 September 2009
Bagi pemberi, syarat pertama mesti IKHLAS. Apa itu ikhlas? Dalam kontek bebas (common sense) saya mengartikan ikhlas sebagai: sebelum, ketika dan sesudah memberi tidak punya alasan lain kecuali untuk memberi, itu saja, tidak ada motif lain. Ada yang berpendapat bahwa ikhlas itu semata mengharap ridho dari Allah SWT. Ikhlas itu tidak ada tradeable transaction layaknya berdagang. Kalaupun ada, ikhlas itu bertransaksi HANYA dengan Allah SWT. Jadi tidak dapat dikatakan ikhlas bila dalam pemberian dimaksudkan untuk mendapatkan “balasan” dari si penerima baik secara langsung maupun tidak langsung, seketika atau suatu hari kelak. Termasuk tidak ikhlas bila pemberian juga dimaksudkan agar si pemberi menjadi terkenal pemurah hati (generous), atau ada ikatan lain, seperti halnya ketika para politisi gencar melakukan kampanye menjelang pemilu. Ikhlas tidak hanya sebelum dan ketika memberi, namun termasuk sesudah pemberian. Jika sesudah memberi si pemberi memikir-mikirkannya, atau mengabar-kabarkan kepada orang lain, ini juga pertanda suatu pemberian yang tidak ikhlas.
Syarat kedua, barang atau sesuatu yang diberikan statusnya HALAL. Apa itu halal? Kembali dengan kalimat bebas (tidak merujuk ke sesuatu atau informasi yang sudah diakui kebenarannya) saya berpendapat Halal itu barang (atau sesuatu) yang sifat keberadaannya dan kontek pengadaan (pembuatan), serta pemanfaatannya tidak melanggar aturan agama, dan atau hukum manusia tentang yang boleh dan tidak boleh. Tentang sifat keberadaan, sesuatu yang sudah ditetapkan halal, misalnya nasi, sepanjang ia masih berujud dan mempunyai sifat nasi, maka menurut hemat saya masih halal. Akan berubah dan menjadi tidak halal, ketika ke dalam nasi dicampur sesuatu atau tindakan yang tidak halal, misalnya dicampur dengan kuah daging (soup) babi (oleh Islam hukumnya haram), atau diperoleh dari mencuri, korupsi, menipu. Nah, barang atau sesuatu yang tidak atau sudah menjadi tidak halal (haram) maka ketika diberikan kepada orang lain, walaupun memberikannya secara ikhlas, menurut hemat saya manfaat pemberian sudah berkurang, bahkan menjurus dosa, atau mendorong orang lain juga berbuat dosa, karena menerima/menggunakan barang tidak halal.
Syarat ketiga, barang atau sesuatu yang diberikan itu harus TEPAT. Apa ini maksudnya? Tepat di sini meliputi: tepat barang/sesuatu, tepat jumlah/ukuran, tepat waktu pemberian. Misalnya si A membutuhkan sepatu untuk keperluan sekolah, tetapi si B memberikan sandal. Walaupun sandal dan sepatu sama-sama alas kaki, namun keduanya berbeda. Walhasil pemberian sandal, mungkin diterima oleh si A, namun tidak menyelesaikan kebutuhan A. Untuk itu, ada baiknya sebelum memberi, terlebih dahulu tanyakan apa yang dibutuhkan bukan yang diinginkan si penerima. Seringkali para dermawan, donatur memberikan berbagai hal, namun tidak termasuk yang sedang dibutuhkan. Dalam suatu acara pemberian donasi berupa sembako, terdengar celetuk dari seorang bapak, sembako teruss… sembako teruss, yang kubutuhkan (saat ini) celana seragam buat si Entong yang mau masuk SD.
Selain tepat barang, jumlah dan ukuran juga perlu tepat. Dalam contoh di atas, misalnya sepatu yang dibutuhkan A nomor 36, tetapi karena si pemberi asal saja, ia memberikan sepatu nomor 40, maka si A tidak dapat memakai sepatu pemberian tersebut karena kebesaran. Dalam ruang kelas, kasus seperti ini sering terjadi, guru atau dosen memberikan materi kuliah kurang dari yang seharusnya diberikan, ini juga tidak tepat. Tepat yang ketiga, tepat waktu pemberian. Sudah ikhlas, halal, tepat barang, tepat jumlah/ukuran, namun menyerahkannya sudah melewati batas waktu kebutuhan, keadaan seperti ini mengurangi manfaat pemberian. Bisa jadi, yang ditemui bukan terima kasih, melainkan penolakan atau mengerutu, ejekan, “waaah terlambat, kenapa tidak kemaren?”
Untuk mengatasi masalah kekurang-tepatan, biasanya diambil jalan mudah dengan memberi uang, dengan angapan si penerima memiliki kebebasan untuk membelanjakannya sesuai kebutuhan. Dalam kondisi si penerima memiliki kemampuan untuk membeli (sehat fisik, lokasi pasar/toko terjangkau, barang yang dibutuhkan dan akan dibeli tersedia di pasar, uang yang dimiliki dari pemberian sesuai dengan harga barang), maka pemberian uang dapat menyelesaikan masalah kekurang-tepatan. Namun demikian, kondisi seperti ini tidak selalu dimiliki oleh si penerima. Walhasil, uang bisa jadi tidak berarti apa – apa dibandingkan barang atau sesuatu (layanan).
Di sisi penerima, pemberian (atau penerimaan) akan memberi manfaat lahir bathin, jika dalam menerima juga ikhlas, berterima kasih kepada Allah SWT (Karena rejeki datangnya dari Allah SWT), berterima kasih kepada si pemberi (sebagai perantara rejeki yang datangnya dari Allah SWT), memanfaatkan pemberian tersebut sebaik-baiknya, serta mempunyai niat suatu hari kelak mampu memberikan barang atau sesuatu yang serupa kepada orang lain yang membutuhkan (ada optimisme). Optimisme ini penting agar si penerima tidak terjebak menjadi peminta-minta alias pengemis.
Semoga bermanfaat.*****
Mas Wigrantoro Roes setiyadi
Rempoa, 5 September 2009
Sunday, August 23, 2009
Merdeka Itu Tidak Merdeka
Ketika proklamasi disuarakan, kedaulatan direbut dari ketiak penjajah, bendera dua warna ditegakkan, berkibar. Suka riang pendahulu kita memekik “MERDEKA!!!”.
Merdeka, bergema di seantero nusantara. Nun di hutan, belantara tempat darah pejuang menetes, semangat perang bersemayam, terdengar tentara pelajar berbisik kepada teman satu kompi “benarkah kita sudah merdeka?” Tak percaya, jangan – jangan hanya angin surga yang dihembuskan dari elite pergerakan di tanah jawa.
Maka kabar tersiar ke mana – mana, sampai ke telinga bocah, yang belum tahu makna Merdeka. “Kak, apa itu merdeka?” tanya si bocah kepada kakaknya, mereka berdua baru saja kehilangan ayah lantaran berani menahan mesiu panas muntahan senjata penjajah.
Merdeka itu, kita boleh dapat makan, tidak lapar lagi seperti kemaren bulan dan tahun lalu. Merdeka itu tanah sawah ladang menjadi milik kita, bukan lagi milik tuan sinyo. Merdeka itu kita bakal sehat, tak seperti emak yang sakit-sakitan lantaran tidur di lantai tanah, berbaju karung, berbantal tikus pembawa penyakit pes. Merdeka itu kita bebas memilih sekolah. Merdeka itu.. terbebas dari segala macam mimpi buruk di masa kolonial. Ooo alangkah indahnya Merdeka itu.
Hari berlalu, bulan berganti tahun. Politik silih berganti, pemimpin enggan pergi, seumur hidup itu maunya. Aku yang membuat negeri ini merdeka, maka aku berhak duduk di kursiku. Bapak berjasa membela negara, maka layak dipuja. Ibu telah membantu, maka tiada apa ikut bersabda. Dan jadilah negeri ini kepunyaanku, begitulah anggapan mereka yang nasibnya mujur berkuasa di pemerintah.
Karena negeri ini milikku, tebangi kayu hutan, keruk tambang segala mineral, tangkap semua yang melawan. Sampai akhirnya aku kepayahan dan menyerah kalah.
Zaman berubah, merdeka masih melekat, tetapi di mana janji merdeka berada? Tanahku dikuasai manca negara, ladangku kerontang dan kebanjiran, rumahku gelap terang padahal batu bara dan minyak bumi tinggal di ladang sebelah, otakku tetap saja pandir, tak mampu sekolah tinggi kuhampiri padahal katanya sudah ada bantuan operasional sekolah, puluhan juta rupiah kalau aku ingin menikmati kerasnya kursi kampus, hatiku senantiasa was-was setiap kali keluar rumah lantaran jambret, copet, tukang pelet hingga teroris senantiasa mengancam harta dan nyawaku.
Di sebelah sana, di ruang – ruang dingin ber-ac, mereka yang mujur nasibnya, terima kasih merdeka, aku telah sukses, hartaku melimpah, perusahaanku ratusan, pegawaiku ribuan, ladang sawitku puluhan ribu hektar, kilang minyak aku punya, pesawat pribadi setia membawaku kemana kusuka.
Dua kutub membara, di tengahnya para kstaria pelayan rakyat, yang mulut anaknya perlu makan, otak cucunya butuh sekolah. Racun negara milikku-pun menetap di bilik – bilik hati para ksatria, mengubah alim menjadi serakah, karir berbalut korupsi.
Ternyata merdeka membawa petaka, bagi bangsa, bagi rakyat kecil yang dulu ikut berjuang, namun hilang penghargaan kepada mereka. Merdeka dan jiwa miskin membuat semuanya merasa bebas, bebas mencuri harta negara dan hak orang lain, bebas mengucapkan janji yang akhirnya tiada pernah ditepati, bebas membunuh masa depan anak-anak. Tiada malu bagi pejabat menerima upeti, ah itu kan wajar, aku kan baru saja dilantik jadi pejabat eselon 1, tak apalah kuterima mobil mewah ini dari mitra swastaku.
Ketika semua merasa merdeka dan bebas, lingkungan sosial menjadi tidak merdeka. Sejatinya merdeka itu tidak sepenuhnya merdeka, karena merdeka yang benar-benar bebas merdeka akan membuat semua menderita, dan derita itu tandanya tidak merdeka.
Itulah maka firman diturunkan, nabi diutus, undang-undang ditulis, aturan disepakati, adat dijunjung, syarah ditegakkan. Untuk apa? Aku rasa kalian sudah tahu jawabnya.
Rempoa, 14 Agustus 2009
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Merdeka, bergema di seantero nusantara. Nun di hutan, belantara tempat darah pejuang menetes, semangat perang bersemayam, terdengar tentara pelajar berbisik kepada teman satu kompi “benarkah kita sudah merdeka?” Tak percaya, jangan – jangan hanya angin surga yang dihembuskan dari elite pergerakan di tanah jawa.
Maka kabar tersiar ke mana – mana, sampai ke telinga bocah, yang belum tahu makna Merdeka. “Kak, apa itu merdeka?” tanya si bocah kepada kakaknya, mereka berdua baru saja kehilangan ayah lantaran berani menahan mesiu panas muntahan senjata penjajah.
Merdeka itu, kita boleh dapat makan, tidak lapar lagi seperti kemaren bulan dan tahun lalu. Merdeka itu tanah sawah ladang menjadi milik kita, bukan lagi milik tuan sinyo. Merdeka itu kita bakal sehat, tak seperti emak yang sakit-sakitan lantaran tidur di lantai tanah, berbaju karung, berbantal tikus pembawa penyakit pes. Merdeka itu kita bebas memilih sekolah. Merdeka itu.. terbebas dari segala macam mimpi buruk di masa kolonial. Ooo alangkah indahnya Merdeka itu.
Hari berlalu, bulan berganti tahun. Politik silih berganti, pemimpin enggan pergi, seumur hidup itu maunya. Aku yang membuat negeri ini merdeka, maka aku berhak duduk di kursiku. Bapak berjasa membela negara, maka layak dipuja. Ibu telah membantu, maka tiada apa ikut bersabda. Dan jadilah negeri ini kepunyaanku, begitulah anggapan mereka yang nasibnya mujur berkuasa di pemerintah.
Karena negeri ini milikku, tebangi kayu hutan, keruk tambang segala mineral, tangkap semua yang melawan. Sampai akhirnya aku kepayahan dan menyerah kalah.
Zaman berubah, merdeka masih melekat, tetapi di mana janji merdeka berada? Tanahku dikuasai manca negara, ladangku kerontang dan kebanjiran, rumahku gelap terang padahal batu bara dan minyak bumi tinggal di ladang sebelah, otakku tetap saja pandir, tak mampu sekolah tinggi kuhampiri padahal katanya sudah ada bantuan operasional sekolah, puluhan juta rupiah kalau aku ingin menikmati kerasnya kursi kampus, hatiku senantiasa was-was setiap kali keluar rumah lantaran jambret, copet, tukang pelet hingga teroris senantiasa mengancam harta dan nyawaku.
Di sebelah sana, di ruang – ruang dingin ber-ac, mereka yang mujur nasibnya, terima kasih merdeka, aku telah sukses, hartaku melimpah, perusahaanku ratusan, pegawaiku ribuan, ladang sawitku puluhan ribu hektar, kilang minyak aku punya, pesawat pribadi setia membawaku kemana kusuka.
Dua kutub membara, di tengahnya para kstaria pelayan rakyat, yang mulut anaknya perlu makan, otak cucunya butuh sekolah. Racun negara milikku-pun menetap di bilik – bilik hati para ksatria, mengubah alim menjadi serakah, karir berbalut korupsi.
Ternyata merdeka membawa petaka, bagi bangsa, bagi rakyat kecil yang dulu ikut berjuang, namun hilang penghargaan kepada mereka. Merdeka dan jiwa miskin membuat semuanya merasa bebas, bebas mencuri harta negara dan hak orang lain, bebas mengucapkan janji yang akhirnya tiada pernah ditepati, bebas membunuh masa depan anak-anak. Tiada malu bagi pejabat menerima upeti, ah itu kan wajar, aku kan baru saja dilantik jadi pejabat eselon 1, tak apalah kuterima mobil mewah ini dari mitra swastaku.
Ketika semua merasa merdeka dan bebas, lingkungan sosial menjadi tidak merdeka. Sejatinya merdeka itu tidak sepenuhnya merdeka, karena merdeka yang benar-benar bebas merdeka akan membuat semua menderita, dan derita itu tandanya tidak merdeka.
Itulah maka firman diturunkan, nabi diutus, undang-undang ditulis, aturan disepakati, adat dijunjung, syarah ditegakkan. Untuk apa? Aku rasa kalian sudah tahu jawabnya.
Rempoa, 14 Agustus 2009
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Monday, August 10, 2009
Dapat Diduga Korupsi: Penggunaan Lahan Sekolah Negeri Untuk Kepentingan Bisnis Swasta
Hari Sabtu 1 Agustus 2009 saya diundang Himpunan Mahasiswa Elektro Politeknik Negeri Semarang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman di bidang Telekomunikasi dan Teknologi Informasi.
Selesai acara di Tembalang, saya bergerak menuju Pandanaran karena ada keperluan ke toko buku Gramedia. Selesai urusan di Gramedia, saya bergerak lagi menuju Banyumanik, karena rindu ingin melihat segenap wajah lingkungan tempat saya sekolah dulu, saya bergerak melalui Jalan Pandanaran II, menuju bunderan Air mancur, putar ke kanan, langsung naik Siranda, Sultan Agung, dan terus menuju Jatiangeleh, Srondol hingga sampai di tempat tujuan.
Ketika melewati Jalan Pandanaaran II, mobil yang saya tumpangi melambat persis di depan pintu masuk SMKN7 Semarang (dari belakang), dan setelah bergerak sedikit, saya kaget melihat, ternyata sekarang di lokasi sebelah kiri pintu masuk ada sebuah bengkel cukup besar, menghadap ke Jalan Pandanaran II. Karena senantiasa berpikir positif, secara reflek yang terpikir "wah hebat sekolah saya ini, berhasil mengelola unit produksi otomotif (atau sekarang oleh Pak Joko Sutrisno, Direktur SMK, yang teman baik saya itu, disebut sebagai Business Center), sehingga menjadi besar dan rame."
Seandainya tidak terlalu sore, karena sudah mendekati pukul 17.00, saya segera ingin berhenti dan - tentu saja - melihat - lihat sambil mengucapkan apresiasi kepada guru atau siapapun warga SMKN 7 yang sedang berada di situ. keinginan berhenti saya urungkan, jalan terus, namun keinginan untuk memberi apresiasi mendorong saya menelepon beberapa teman warga kamisetembang yang saya duga mengetahui ihwal bengkel tersebut.
dari tiga orang yang saya ajak bincang - bincang, dua dari tiga orang ini saya anggap mengerti status bengkel, cita rasa yang semula ingin memberi apresisasi berubah menjadi kecewa berat. Mengapa saya kecewa? dari info yang saya terima, ternyata bengkel tersebut dioperasikan oleh pihak lain (swasta) berdasarkan suatu "perjanjian" antara pimpinan sekolah dan pihak swasta tersebut. Saya sebut "perjanjian" karena tidak jelas, apakah itu perjanjian tertulis atau hanya lisan (verbal) antara pimpinan sekolah dan sang pengusaha swasta.
insting sebagai analist kebijakan publik dan pegiat good governance dan anti korupsi muncul begitu saja yang mendorong mulut dan tangan ini bicara. kepada sahabat tersebut, saya tanyai, bagaimana sejarahnya sehingga lahan milik negara diizinkan dipakai oleh swasta? apa dasarnya sehingga pimpinan sekolah "BERANI" memberikan hak penggunaan lahan kepada swasta? apakah ada perjanjian penggunaan lahan tersebut? Jika ada, apa saja isinya? siapa yang menanda-tangani dari pihak sekolah? apa hak dan kewajiban masing - masing pihak? apa bentuk benefit yang diterima oleh sekolah? uang? berapa banyak? kerja praktek siswa? sudah berapa banyak siswa yang kerja praktek di bengkel tersebut? jika sekolah menerima uang, apakah besarannya diketahui oleh semua atau hanya oleh beberapa orang saja? untuk apa pemanfaatan uang dari penggunaan lahan tersebut? Secara aturan Pemerintah (Daerah), apakah dibenarkan sekolah menerima uang dari penggunaan lahan? dan masih banyak pertanyaan lain yang saya semprotkan kepada teman ini dan tentu saja tidak terjawab oleh mereka berdua. saya kira mereka tidak tahu duduk persoalannya, sehingga mereka hanya bilang "MWR, aku ora ngerti".
nah, karena saya tahu pasti isi UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3, yang berbunyi "Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)." Dan karena rasanya Anda semua tahu bagaimana KPK sukses menghukum pelaku korupsi dengan UU dan Pasal 3 ini, maka agar siapa saja pihak di SMKN 7 Semarang baik pimpinan sekarang maupun terdahulu tidak terlaporkan ke KPK dan terhukum seperti bunyi ancaman pasal 3 tersebut, maka dengan penuh rasa tanggung jawab sebagai warga negara, saya mohon agar:
1. Pihak sekolah, dalam hal ini pimpinan tertinggi, supaya menjelaskan status penggunaan lahan yang digunakan untuk bengkel tersebut (supaya dijawab, semua pertayaan yang saya sebutkan di atas;
2. Semua penghasilan dari penggunaan lahan tersebut, supaya dibukukan secara transparan dan dijelaskan untuk apa saja penggunaannya.
3. Jika dalam kenyataannya, sangat sedikit manfaat (dalam bentuk finansial maupun lainnya yang diterima sekolah (secara keseluruhan), sebaiknya segera diakhiri dan lahan tidak lagi digunakan untuk bengkel swasta, ubah bengkel menjadi business center sesuai program Pemerintah.
Apa yang saya ingin cari tahu, bukan untuk membuat malu pimpinan sekolah atau siapa saja yang telah terlibat dalam urusan ini, namun semata untuk menegakkan hukum, meningkatkan citra sekolah.
Selesai acara di Tembalang, saya bergerak menuju Pandanaran karena ada keperluan ke toko buku Gramedia. Selesai urusan di Gramedia, saya bergerak lagi menuju Banyumanik, karena rindu ingin melihat segenap wajah lingkungan tempat saya sekolah dulu, saya bergerak melalui Jalan Pandanaran II, menuju bunderan Air mancur, putar ke kanan, langsung naik Siranda, Sultan Agung, dan terus menuju Jatiangeleh, Srondol hingga sampai di tempat tujuan.
Ketika melewati Jalan Pandanaaran II, mobil yang saya tumpangi melambat persis di depan pintu masuk SMKN7 Semarang (dari belakang), dan setelah bergerak sedikit, saya kaget melihat, ternyata sekarang di lokasi sebelah kiri pintu masuk ada sebuah bengkel cukup besar, menghadap ke Jalan Pandanaran II. Karena senantiasa berpikir positif, secara reflek yang terpikir "wah hebat sekolah saya ini, berhasil mengelola unit produksi otomotif (atau sekarang oleh Pak Joko Sutrisno, Direktur SMK, yang teman baik saya itu, disebut sebagai Business Center), sehingga menjadi besar dan rame."
Seandainya tidak terlalu sore, karena sudah mendekati pukul 17.00, saya segera ingin berhenti dan - tentu saja - melihat - lihat sambil mengucapkan apresiasi kepada guru atau siapapun warga SMKN 7 yang sedang berada di situ. keinginan berhenti saya urungkan, jalan terus, namun keinginan untuk memberi apresiasi mendorong saya menelepon beberapa teman warga kamisetembang yang saya duga mengetahui ihwal bengkel tersebut.
dari tiga orang yang saya ajak bincang - bincang, dua dari tiga orang ini saya anggap mengerti status bengkel, cita rasa yang semula ingin memberi apresisasi berubah menjadi kecewa berat. Mengapa saya kecewa? dari info yang saya terima, ternyata bengkel tersebut dioperasikan oleh pihak lain (swasta) berdasarkan suatu "perjanjian" antara pimpinan sekolah dan pihak swasta tersebut. Saya sebut "perjanjian" karena tidak jelas, apakah itu perjanjian tertulis atau hanya lisan (verbal) antara pimpinan sekolah dan sang pengusaha swasta.
insting sebagai analist kebijakan publik dan pegiat good governance dan anti korupsi muncul begitu saja yang mendorong mulut dan tangan ini bicara. kepada sahabat tersebut, saya tanyai, bagaimana sejarahnya sehingga lahan milik negara diizinkan dipakai oleh swasta? apa dasarnya sehingga pimpinan sekolah "BERANI" memberikan hak penggunaan lahan kepada swasta? apakah ada perjanjian penggunaan lahan tersebut? Jika ada, apa saja isinya? siapa yang menanda-tangani dari pihak sekolah? apa hak dan kewajiban masing - masing pihak? apa bentuk benefit yang diterima oleh sekolah? uang? berapa banyak? kerja praktek siswa? sudah berapa banyak siswa yang kerja praktek di bengkel tersebut? jika sekolah menerima uang, apakah besarannya diketahui oleh semua atau hanya oleh beberapa orang saja? untuk apa pemanfaatan uang dari penggunaan lahan tersebut? Secara aturan Pemerintah (Daerah), apakah dibenarkan sekolah menerima uang dari penggunaan lahan? dan masih banyak pertanyaan lain yang saya semprotkan kepada teman ini dan tentu saja tidak terjawab oleh mereka berdua. saya kira mereka tidak tahu duduk persoalannya, sehingga mereka hanya bilang "MWR, aku ora ngerti".
nah, karena saya tahu pasti isi UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3, yang berbunyi "Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)." Dan karena rasanya Anda semua tahu bagaimana KPK sukses menghukum pelaku korupsi dengan UU dan Pasal 3 ini, maka agar siapa saja pihak di SMKN 7 Semarang baik pimpinan sekarang maupun terdahulu tidak terlaporkan ke KPK dan terhukum seperti bunyi ancaman pasal 3 tersebut, maka dengan penuh rasa tanggung jawab sebagai warga negara, saya mohon agar:
1. Pihak sekolah, dalam hal ini pimpinan tertinggi, supaya menjelaskan status penggunaan lahan yang digunakan untuk bengkel tersebut (supaya dijawab, semua pertayaan yang saya sebutkan di atas;
2. Semua penghasilan dari penggunaan lahan tersebut, supaya dibukukan secara transparan dan dijelaskan untuk apa saja penggunaannya.
3. Jika dalam kenyataannya, sangat sedikit manfaat (dalam bentuk finansial maupun lainnya yang diterima sekolah (secara keseluruhan), sebaiknya segera diakhiri dan lahan tidak lagi digunakan untuk bengkel swasta, ubah bengkel menjadi business center sesuai program Pemerintah.
Apa yang saya ingin cari tahu, bukan untuk membuat malu pimpinan sekolah atau siapa saja yang telah terlibat dalam urusan ini, namun semata untuk menegakkan hukum, meningkatkan citra sekolah.
COnditional Lotere Sebagai Alternatif Dalam Penmberian Izin Pengunaan Spektrum Frekuensi
Bicara soal undian (lotere) jika hanya baca sedikit sampai Bab Pendahuluan atau kata orang pada tataran common sense, yes you are right, Anda benar, akan banyak spekulan. Jadi bagaimana mencegah negative impact undian, sementara mekanisme ini juga dimaksudkan untuk efisiensi investasi jaringan?
Saya sebut sebagai "conditional lotere (CL)", pakai kata conditional karena ada prasyarat yang harus dipenuhi oleh peserta undian sebelum dinyatakan sah sebagai peserta undian. Syarat tersebut mencakup misalnya, kemampuan teknis, administrasi, keuangan dan komitmen pembangunan. Dengan mekanisme CL maka suatu region hanya boleh diikuti oleh kelas perusahan tertentu (misalnya UKM). Setiap peserta wajib menyerahkan bukti kemampuan keuangan (jaminan kepesertaan) dan jaminan pembangunan berupa cash yang disimpan dalam escrow account, yang dapat digunakan untuk membangun (dengan pengawasan dari regulator, dengan maksud mencegah penggunaan di luar keperluan pembangunan jaringan). Bila setelah menang undian perusahaan tersebut tidak melanjutkan pembangunan karena alasan apapun, maka jaminan kepesertaan dan jaminan pembangunan akan dicairkan dan menjadi milik pemerintah. selanjutnya uang ini dapat digunakan untuk membangun jaringan (oleh pemerintah) yang selanjutnya dijual kepada swasta. jadi bagi pemenang undian, bila tidak ingin jaminan kepesertaan dan jaminan pembangunannya hilang begitu saja, dia harus membangun.
lantas bagaimana dengan tujuan agar harga layanan kepada masyarakat menjadi murah? jawabnya, kebijakan BHP frekuensi dengan model up front fee (UFF) dan IPSR seperti yang sudah diberlakukan tetap bisa digunakan, hanya bedanya, tidak terjadi eskalasi Reserve Price (RP) seperti yang terjadi pada lelang BWA belum lama ini. Regulator menetapkan RP berdasar analisa kelayakan ekonomi dengan memperhatikan kondisi setiap region. Apa yang dilakukan Pemerintah sekarang ini dengan menetapkan RP setiap region sudah baik. bedanya dengan undian, kepada pemenang undian diwajibakan membayar UFF sebesar RP dan IPSR pada tahun - tahun sesudahnya misalnya 50% dari UFF. beda lainnya lagi? pembayaran UFF BUKAN pada tahun pertama segera setelah menerima lisensi, karena ini akan memberatkan investor, tetapi pada tahun kedua atau tahun ketiga setelah menerima lisensi. Jika ternyata pemenang undian gagal membangun dan mengundurkan diri sebelum tahun kedua, maka kepadanya akan dikenakan sanksi kewajiban membayar UFF, sehingga kerugian (bila tidak serius membangun) akan banyak sekali. selain itu dapat pula dikenakan sanksi sosial berupa pengumuman di media massa tidak hanya nama perusahaan, tetapi juga nama pemilik dan manajemennya.
jadi, undian itu mudah di awal, tetapi ketika sudah beruntung dan mendapat hak, maka pemenangnya harus komit, jika tidak (komit) maka ia akan menanggung rugi, menanggung malu. suatu kerugian yang wajar karena ia telah mengambil opportunity yang dapat diraih orang lain yang pada waktu undian. selain itu undian secara terbuka akan memberi peluang yang sama kepada setiap peserta yang lulus prakualifikasi, tidak ada hanky pangky, kong kali kong.
kelemahan dari undian semacam ini adalah, tidak dapat digunakan untuk cakupan nasional dengan kemampuan peserta yang beragam. tidak adil bagi perusahaan dengan kemampuan keuangan kecil menengah jika dijadikan satu kelompok dengan perusahaan besar atau multinasional. selain itu pada tahap prakualifikasi guna menentukan siapa saja yang memenuhi syarat mengikuti undian dibutuhkan profesionalisme khususnya di pihak regulator, dengan tidak memihak, sehingga seluruh peserta merasa diperlakukan adil, semua syarat kelulusan termasuk bagaimana criteria dan metode penilaian harus dibuka ke publik agar mudah dipahami oleh khalayak.*****
Saya sebut sebagai "conditional lotere (CL)", pakai kata conditional karena ada prasyarat yang harus dipenuhi oleh peserta undian sebelum dinyatakan sah sebagai peserta undian. Syarat tersebut mencakup misalnya, kemampuan teknis, administrasi, keuangan dan komitmen pembangunan. Dengan mekanisme CL maka suatu region hanya boleh diikuti oleh kelas perusahan tertentu (misalnya UKM). Setiap peserta wajib menyerahkan bukti kemampuan keuangan (jaminan kepesertaan) dan jaminan pembangunan berupa cash yang disimpan dalam escrow account, yang dapat digunakan untuk membangun (dengan pengawasan dari regulator, dengan maksud mencegah penggunaan di luar keperluan pembangunan jaringan). Bila setelah menang undian perusahaan tersebut tidak melanjutkan pembangunan karena alasan apapun, maka jaminan kepesertaan dan jaminan pembangunan akan dicairkan dan menjadi milik pemerintah. selanjutnya uang ini dapat digunakan untuk membangun jaringan (oleh pemerintah) yang selanjutnya dijual kepada swasta. jadi bagi pemenang undian, bila tidak ingin jaminan kepesertaan dan jaminan pembangunannya hilang begitu saja, dia harus membangun.
lantas bagaimana dengan tujuan agar harga layanan kepada masyarakat menjadi murah? jawabnya, kebijakan BHP frekuensi dengan model up front fee (UFF) dan IPSR seperti yang sudah diberlakukan tetap bisa digunakan, hanya bedanya, tidak terjadi eskalasi Reserve Price (RP) seperti yang terjadi pada lelang BWA belum lama ini. Regulator menetapkan RP berdasar analisa kelayakan ekonomi dengan memperhatikan kondisi setiap region. Apa yang dilakukan Pemerintah sekarang ini dengan menetapkan RP setiap region sudah baik. bedanya dengan undian, kepada pemenang undian diwajibakan membayar UFF sebesar RP dan IPSR pada tahun - tahun sesudahnya misalnya 50% dari UFF. beda lainnya lagi? pembayaran UFF BUKAN pada tahun pertama segera setelah menerima lisensi, karena ini akan memberatkan investor, tetapi pada tahun kedua atau tahun ketiga setelah menerima lisensi. Jika ternyata pemenang undian gagal membangun dan mengundurkan diri sebelum tahun kedua, maka kepadanya akan dikenakan sanksi kewajiban membayar UFF, sehingga kerugian (bila tidak serius membangun) akan banyak sekali. selain itu dapat pula dikenakan sanksi sosial berupa pengumuman di media massa tidak hanya nama perusahaan, tetapi juga nama pemilik dan manajemennya.
jadi, undian itu mudah di awal, tetapi ketika sudah beruntung dan mendapat hak, maka pemenangnya harus komit, jika tidak (komit) maka ia akan menanggung rugi, menanggung malu. suatu kerugian yang wajar karena ia telah mengambil opportunity yang dapat diraih orang lain yang pada waktu undian. selain itu undian secara terbuka akan memberi peluang yang sama kepada setiap peserta yang lulus prakualifikasi, tidak ada hanky pangky, kong kali kong.
kelemahan dari undian semacam ini adalah, tidak dapat digunakan untuk cakupan nasional dengan kemampuan peserta yang beragam. tidak adil bagi perusahaan dengan kemampuan keuangan kecil menengah jika dijadikan satu kelompok dengan perusahaan besar atau multinasional. selain itu pada tahap prakualifikasi guna menentukan siapa saja yang memenuhi syarat mengikuti undian dibutuhkan profesionalisme khususnya di pihak regulator, dengan tidak memihak, sehingga seluruh peserta merasa diperlakukan adil, semua syarat kelulusan termasuk bagaimana criteria dan metode penilaian harus dibuka ke publik agar mudah dipahami oleh khalayak.*****
Subscribe to:
Posts (Atom)