Monday, August 15, 2005

Berapa Sebaiknya Nilai Ekonomi Spektrum 3G?

Di antara rangkaian pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika berkaitan dengan penataan kembali perijinan telekomunikasi, ada dua hal yang menarik untuk disimak, yakni rencana penetapan pemberian ijin layanan 3G menggunakan metoda lelang (auction) dan pembayaran biaya hak penggunaan frekuensi (BHP-frekuensi) spektrum 3G di depan (up front fee payment). Menarik, karena dua hal ini, jika jadi dilaksanakan, akan menandai diterapkannya ketentuan baru dalam rejim perijinan jaringan dan jasa telekomunikasi di Indonesia. Sebagaimana yang tengah berjalan hingga hari ini, Postel selaku regulator telekomunikasi menerapkan metoda proses adminisitrasi – siapa yang lebih dahulu mendaftar diberi kesempatan pertama (first come first served) – dan metoda seleksi berdasarkan kriteria administrasi dan teknis (beauty contest). Pada dua metoda ini pemegang ijin tidak diharuskan membayar sejumlah nilai tertentu untuk dapat menguasai spektrum frekuensi, namun demikian diharuskan membayar BHP-frekuensi yang dilakukan setiap tahun selama perusahaan tersebut masih memegang ijin. Besarnya BHP-frekuensi didasarkan pada formula yang ditetapkan Postel.

Lelang Spektrum
Tren penggunaan lelang (auction) sebagai metoda alokasi dan pemberian ijin penggunaan spektrum diawali pada tahun 1990-an sebagai bagian dari upaya reformasi regulasi telekomunikasi secara lebih luas. New Zealand tercatat sebagai negara yang pertama kali menerapkan lelang spektrum. Kebijakan lelang dimaksudkan untuk menggantikan metoda proses administrasi, lotere, dan beauty contest. Argumen yang mendukung mengacu pada teori ekonomi, lelang menunjukkan hasil terbaik di antara semua metoda yang ada. Terbaik dalam kontek untuk memperoleh penghasilan pemerintah yang lebih besar, menunjukkan praktek birokrasi yang transparan, memastikan tercapainya sasaran kebijakan publik, dan menghindari kembalinya praktek monopoli oleh incumbent dengan memberi peluang kepada pemain baru.

Keunggulan metoda lelang bukan tanpa prasyarat. Lelang spektrum berbeda dengan lelang pengadaan barang pemerintah. Pada yang terakhir, pemerintah telah memiliki anggaran belanja maksimum, peserta lelang yang mengajukan penawaran terendah akan memenangkan pekerjaan. Sementara itu, metoda lelang spektrum akan menguak berapa sebenarnya nilai yang layak bagi suatu pita spektrum. Agar efisien, sebelumnya regulator telekomunikasi diharapkan telah memperkirakan berapa besar perusahaan akan mengajukan penawaran, bukan seberapa besar yang diinginkan diperoleh dari lelang tersebut. Angka penawaran tertingi dalam lelang spektrum akan mencerminkan nilai ekonomi suatu pita spektrum, namun demikian nilai ekonomi tersebut menjadi tidak optimal bila, (a) tidak cukup banyak peserta lelang untuk menciptakan suasana kompetisi yang sebenarnya; (b) peserta tender tidak cukup yakin berapa angka yang tepat untuk diajukan guna mencerminkan nilai spektrum yang sesuai dengan kemampuan masing – masing. Dengan demikian lelang spektrum tidak sekedar upaya meraup sejumlah besar uang untuk menambah kas pemerintah. Melalui lelang spektrum akan terkuak nilai tertinggi yang menunjukkan kebersediaan perusahaan untuk memberi kompensasi kepada masyarakat sebagai ganti sumber daya publik yang dikuasainya.

Potensi Kegagalan Lelang Spektrum
Pada awal diberlakukannya ketentuan lelang, terjadi hal – hal yang menggagalkan atau mengurangi keberhasilan kebijakan tersebut. Kerugian tidak hanya harus ditangggng pemerintah namun juga oleh masyarakat, hal yang kemudian menyulut adanya anggapan lelang tersebut menjadi tidak adil. Keadaan seperti ini pernah dialami New Zealand. Kejadian pertama, peserta yang dinyatakan sebagai pemenang ternyata membayar tidak sebesar nilai tertinggi yang diajukan dalam lelang, pada waktu itu, penawaran tertinggi sebesar NZ$100,000 tetapi karena penawar tertinggi mengundurkan diri, penawar tertinggi kedua sebesar NZ$6 dinyatakan sebagai pemenang. Kejadian kedua, peserta lelang hanya 3, penawaran tertinggi sebesar NZ$7 juta, sedangkan dua penawaran lain masing – masing sebesar NZ$5,000 dan NZ$250. Kejadian ketiga, untuk suatu lelang spektrum televisi pesertanya hanya satu orang, mengajukan penawaran sebesar NZ$1. Dia dinyatakan sebagai pemenang dan berhak memperoleh ijin penggunaan spektrum frekuensi televisi dengan biaya yang sangat murah. Kejadian keempat, konsultan yang disewa pemerintah memperkirakan perolehan dari lelang spektrum sebesar NZ$240 juta untuk layanan selular, ternyata perolehan yang didapat hanya sebesar NZ$36 juta.

Belajar dari praktek lelang spektrum di negara – negara lain, Pemerintah perlu merancang lelang spektrum sedemikian rupa sehingga kedua belah pihak, pemerintah dan masyarakat di satu pihak dan peserta lelang di lain pihak memperoleh manfaat yang optimal. Ada dua model teori yang lazim diacu dalam lelang spektrum, model nilai umum (common-value model) dan model nilai-privat-independen (independent-private-value model). Jika ketidak – pastian tentang teknologi yang akan digunakan masih tinggi dan permintaan terhadap layanan menggunakan teknologi tersebut pada pita spektrum yang dilelang masih rendah, serta ada tidaknya pasar sekunder (ijin dapat dijual kepada operator lain), pendekatan perhitungan nilai ekonomi spektrum pada umumnya menggunakan model yang pertama. Sebaliknya, jika masing – masing peserta lelang sudah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai jasa yang akan dijalankan pada spektrum yang akan dilelang, memiliki kemampuan sumber daya yang berbeda dalam mengelola spektrum yang diinginkannya, kencenderungan peserta lelang menggunakan model kedua lebih besar.

Metoda
Berkaitan dengan rencana penyelenggaraan lelang spektrum bagi calon operator layanan 3G yang belum memiliki ijin, ada baiknya Pemerintah memperhatikan metoda asesment yang lazim digunakan untuk menentukan nilai spektrum frekuensi dari kaca mata operator telekomunikasi (investor). Hal ini sesuai dengan model kedua di atas, dan untuk mengimbangi kencederungan penggunaan model pertama yang sering digunakan kalangan regulator telekomunikasi.

Metoda pertama disebut Nilai-kini BHP-selamanya, yakni menghitung nilai sekarang (present value) dari penerimaan BHP untuk jangka waktu selama perusahaan beroperasi. Sebagai contoh, suatu operator 3G yang menguasai 10MHz, untuk melayani cakupan nasional perlu mengoperasikan 500 BTS dengan rata – rata 2 carrier dan 500 stasiun radio transmisi gelombang mikro berkewajiban membayar total BHP setiap tahunnya – misalnya – Rp. 26 Milyar. Jika ijin operasi berlaku – misalnya – selama 20 tahun, maka total BHP yang harus dibayarkan selama periode tersebut adalah sebesar Rp. 520 Milyar. Dengan asumsi tingkat bunga sebesar 12%, maka nilai-kini-BHP adalah sebesar Rp. 248.12 Milyar. Dengan kurs US$ 1 = RP. 9,900, maka perkiraan nilai ekonomi spektrum 3G per MHz kurang lebih sebesar US$ 2.5 juta.

Metoda kedua dinamai Acuan Internasional (international benchmark) karena mengacu pada angka perolehan yang didapat negara – negara yang sudah melakukan lelang. Dari 5 negara Eropa (Austria, Belgia, Denmark, Jerman dan Yunani) yang telah mengadakan lelang pada tahun 2001 nilai perolehan tertinggi didapat Austria (832 juta Euro) dan terendah Jerman (50 juta Euro). Rata – rata perolehan lelang dari lima negara tersebut sebesar 260 juta Euro dengan masa berlaku perijinan selama 20 tahun. Sehingga biaya lisensi pertahun untuk pita selebar 10 MHz adalah 13 juta Euro atau setara dengan US$ 15.756 juta, artinya rata – rata nilai ekonomi yang didapat dari lelang spektrum 3G per MHz di lima negara Eropa tersebut sebesar US$ 1.58 juta saja.

Metoda ketiga dinamai GDP-ARPU-approach model. Model ini mangaitkan hubungan antara gross domestic product (GDP), pendapatan per kapita, Average Revenue per User (ARPU), dan BHP-Frekuensi. Sementara statistik menunjukkan tren peningkatan GDP per kapita, di sisi lain ARPU per GDP per kapita justru menunjukkan angka yang semakin menurun. Artinya, di tengah peningkatan jumlah pelanggan selular, ternyata operator harus dihadapkan pada penurunan laju pendapatan. Padahal, BHP-Frekuensi yang besarnya rata – rata sebesar 3.5% dari ARPU harus tetap dibayar walaupun ARPU-nya makin menurun. Dengan estimasi pertumbuhan pelanggan selular dari 45 juta di tahun 2005 dan mencapai 130 juta di tahun 2015 dan estimasi jumlah pelanggan 3G sebesar 1% hingga 25% dari total pelanggan selular selama 10 tahun, serta tingkat diskonto 15% per tahun, Net Present Values (NPV) BHP frekuensi untuk pita selebar 60 MHz (sesuai alokasi ITU untuk pita IMT-2000) diperoleh sebesar US$ 162 juta. Artinya nilai ekonomi spektrum frekuensi 3G yang wajar adalah sebesar US$ 2.7 juta per MHz.

Metoda keempat dinamai model pertimbangan belanja modal (capex consideration model). Di dalam menentukan nilai ekonomi spektrum perusahaan akan menempatkan BHP-frekuensi yang harus dibayar di depan sebagai bagian dari belanja modal (capital expenditure – capex). Komponen lain dari belanja modal adalah pengadaan gedung kantor, penyediaan sarana pendukung operasional, penyediaan jaringan dan sistem informasi. Dengan masuknya BHP-frekuensi sebagai komponen belanja modal, maka besaran persentasi komponen lainnya harus dikurangi. Dengan besaran investasi yang telah ditetapkan, semakin besar BHP-frekuensi yang harus dibayar di depan, semakin mengurangi kemampuan perusahaan untuk menyediakan belanja modal lainnya. Persoalannya, yang sering dikorbankan justru investasi untuk penambahan jaringan. Padahal ketersediaan jaringan akan memberi efek pengungkit (leverage) bagi perolehan pendapatan. Perusahaan dihadapkan pada dilema, mengajukan penawaran setinggi – tingginya berarti mengurangi kemampuannya untuk membangun, sementara mengajukan nilai yang rendah mengurangi peluang untuk memenangkan lelang. Hukum pareto 20-80 sering digunakan dalam mengatasi dilema semacam ini. Artinya maksimum yang boleh dibelanjakan untuk membayar belanja modal yang tidak secara langsung menghasilkan pendapatan hanya sebesar 20% dari total rencana investasi di tahun pertama. Dengan asumsi kebutuhan investasi tahun pertama untuk memenuhi komitmen perijinan modern sebesar US$100 juta, maka besarnya maksimum BHP-frekuensi yang layak adalah sebesar US$ 20 juta. Persoalan dengan model ini adalah tidak diketahui berapa lebar pita yang akan diberikan, jika 10MHz, maka nilai ekonomi spektrum 3G hanya sebesar US$2 juta per MHz atau US$ 4 juta per MHz untuk yang hanya menguasai 5MHz.*****

*)
Direktur, Institute for Technology and Economic Policy Studies <>Ketua, Masyarakat Telematika Indonesia [MASTEL]

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.