Monday, August 15, 2005

Optimalisasi Pendapatan Negara Bukan Pajak Dari Penggunaan Spektrum Frekuensi 3G

1. Latar Belakang Permasalahan
Penyelenggaraan telekomunikasi selular generasi ketiga (3G) di Indonesia diawali dengan diterbitkannya izin prinsip layanan 3G kepada PT Cyber Accesss Communication (CAC) pada bulan Oktober 2003 dan izin penyelenggaraan setahun kemudian. Perizinan yang diberikan kepada CAC didasarkan pada hasil tender yang pada waktu itu diikuti oleh tujuh perusahaan. Pada sekitar pertengahan tahun 2004, Pemerintah melalui Menteri Perhubungan menerbitkan izin penambahan spektrum frekuensi kepada PT Natrindo Telepon Selular (NTS) yang memungkinkan NTS menyelenggarakan layanan 3G. Alasan yang dikemukakan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Postel) waktu itu adalah untuk membantu NTS dari kebangkrutan karena selama ini NTS sebagai operator GSM regional Jawa Timur menghadapi banyak kendala akibat perubahan kebijakan.

Sementara itu, Pemerintah juga memberikan izin penggunaan spektrum frekuensi IMT-2000[1] kepada operator telekomunikasi untuk layanan CDMA, antara lain kepada TelkomFlexi (Telkom), StarOne (Indosat), dan Wireless Indonesia (WIN). Dan pada pertengahan tahun 2005 ini, Pemerintah kembali mengeluarkan izin percobaan layanan 3G kepada Telkomsel dan XLCom.

Permasalahan muncul ketika pada kuartal pertama tahun 2005 muncul berita di media massa yang mempertanyakan kesepakatan penjualan sebagian saham NTS kepada Maxis (Malaysia) dan CAC kepada Hutchinson (Hongkong). Sofyan Mile, Ketua Komisi V DPR, sebagaimana dikutip Kompas (8 Maret 2005) mengatakan PT. CAC tidak boleh jual saham. Di pihak lain, ada sebagian pihak yang beranggapan bahwa pengalihan kepemilikan saham di kedua perusahaan pemegang izin 3G tersebut tidak menyalahi peraturan perundang – undangan yang ada. Menyusul pro-kontra pengalihan saham CAC dan NTS, Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Sofyan Djalil dengan surat bertanggal 18 Maret 2005 membentuk Tim Audit Perijinan 3G, untuk memeriksa fakta yang ada dalam proses perizinan 3G yang diberikan kepada dua operator tersebut.

Persoalan berlanjut hingga ke ruang sidang DPR. Dari acara Rapat Dengar Pendapat antara Komisi V DPR dengan jajaran Kominfo, media massa mengutip pernyataan Menteri dalam rapat tersebut bahwa pemerintah bermaksud menata – ulang perizinan 3G. Termasuk dalam konteks ini adalah mengkaji kembali efisiensi alokasi spektrum, prosedur penetapan perizinan, besaran Biaya Hak Penggunaan Frekuensi (BHP), dan metoda pembayaran BHP.


2. Sasaran Kebijakan
Berangkat dari permasalahan sebagaimana tersebut di atas dan sejalan dengan perlunya mengoptimalkan penggunaan spektrum frekuensi sebagai sumber daya publik, dikaitkan dengan keperluan untuk memperluas jaringan dan layanan telekomunikasi, suatu kebijakan pengaturan layanan 3G yang baik perlu diterbitkan dengan sasaran:
menciptakan prosedur perizinan layanan telekomunikasi khususnya 3G agar lebih adil, transparan dan bermartabat;
menata ulang pemanfaatan spektrum frekuensi IMT-2000;
meningkatkan pendapatan negara bukan pajak dari pemanfaatan spektrum frekuensi IMT-2000;
memfasilitasi peningkatan investasi di sektor telekomunikasi;
meningkatan teledensitas telepon selular khususnya layanan 3G; dan
mengawasi penggunaan spektrum frekuensi IM-2000 dari penggunaan non 3G.


3. Landasan Pemikiran
Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) menyatakan “Cabang – cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara”. Lebih lanjut dalam Undang – Undang Nomor 36 tahun 1999 Pasal 3 dinyatakan “Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antar bangsa.” Spektrum frekuensi sebagai salah satu media telekomunikasi dapat digolongkan sebagai cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Selain itu, spektrum frekuensi juga merupakan sumber daya ekonomi untuk kepentingan publik yang jumlahnya relatif terbatas. Oleh karenanya pemanfaatan spektrum frekuensi harus diatur secara efektif dan efisien, agar manfaatnya dapat dinikmati sebesar – besarnya untuk kesejahteraan masyarakat.

Sebagai barang publik yang langka, pemanfaatan spektrum frekuensi bersifat ekslusif, artinya ketika suatu pita spektrum frekuensi telah diduduki untuk penyelenggaraan suatu layanan tertentu, maka pita spektrum frekuensi tersebut tidak dapat digunakan oleh pihak lain dalam radius pancaran yang sama sesuai dengan karakteristik yang melekat padanya. Akibatnya, jika suatu spektrum telah “diduduki” maka anggota masyarakat lainnya telah kehilangan peluang untuk menggunakannya. Atas dasar inilah pengguna spektrum frekuensi harus membayar kompensasi kepada anggota masyarakat lainnya yang telah kehilangan peluang untuk memanfaatkan spektrum frekuensi tersebut. Pengenaan Biaya Hak Penggunaan Frekuensi (BHP) merupakan kebijakan untuk mewujudkan konsep kompensasi di atas.

Pemerintah selama ini telah memiliki ketentuan yang mengatur besaran BHP yang harus dibayar untuk suatu pita spektrum tertentu. Selain itu, Postel selaku regulator telekomunikasi menerapkan metoda proses adminisitrasi – siapa yang lebih dahulu mendaftar diberi kesempatan pertama (first come first served) – dan metoda seleksi berdasarkan kriteria administrasi dan teknis (beauty contest). Pada dua metoda ini pemegang ijin tidak diharuskan membayar sejumlah nilai tertentu untuk dapat menguasai spektrum frekuensi, namun demikian diharuskan membayar BHP yang dilakukan setiap tahun selama perusahaan tersebut masih memegang ijin. Besarnya BHP didasarkan pada formula yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri.


3.1. Azas - azas
Pergantian kabinet yang diikuti penggabungan Postel ke dalam naungan Kominfo membawa angin perubahan. Prosedur yang selama ini berlaku dianggap kurang mencerminkan semangat yang tercermin dalam Undang – Undang Nomor 36 tahun 1999 Pasal 2, yang mengimplikasikan pemanfaatan pita spektrum frekuensi sebagai bagian dari penyelenggaraan telekomunikasi harus berdasarkan azas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.

Azas manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil guna baik sebagai infrastruktur pembangunan, sarana penyelenggaraan pemerintahan, sarana pendidikan, sarana perhubungan maupun sebagai komoditas ekonomi yang dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin. Azas adil dan merata adalah bahwa penyelenggaraan telekomunikasi memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada semua pihak yang memenuhi syarat dan hasil-hasilnya dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata.

Azas kepastian hukum berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang menjami kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum baik bagi para investor, penyelenggara telekomunikasi, maupun kepada pengguna telekomunikasi. Azas kepercayaan pada diri sendiri, dilaksanakan dengan memanfaatkan secara maksimal potensi sumber daya nasional secara efisien serta penguasaan teknologi telekomunikasi, sehingga dapat meningkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan sebagai suatu bangsa dalam menghadapi persaingan global.

Azas kemitraan mengandung makna bahwa penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat mengembangkan iklim yang harmonis, timbal balik, dan sinergi, dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Azas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaraan telekomunikasi selalu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan, pembangunan, dan pengoperasiannya. Azas etika dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat profesionalisme, kejujuran, kesusilaan, dan keterbukaan.

Intinya, perubahan yang dikehendaki adalah bagaimana dalam menetapkan siapa yang akan diberi hak untuk memanfaatkan spektrum frekuensi 3G, menentukan berapa besar kompensasi yang harus dibayarkan oleh operator, dan kapan kewajiban membayar kompensasi tersebut harus ditunaikan, semuanya harus didasarkan pada keseluruhan azas di atas.


3.2. Konsep Ekonomi Telekomunikasi
Literatur ekonomi memberikan dua alasan utama bagi pengaturan layanan telekomunikasi (Davis, 1994), Pertama, terdapat skala ekonomi dan jangkauan produksi yang selanjutnya menjadi alasan bagi diterapkannya monopoli dalam layanan telekomunikasi. Kedua, penyelenggaraan layanan telekomunikasi mengandung dua jenis positive consumption externalities. Yang pertama disebut call externality, pemanggil memberikan manfaat kepada yang dipanggil (biaya percakapan ditanggung oleh pemanggil, sementara manfaat percakapan ditanggung oleh pemanggil). Kedua, disebut network externality, ketika pelanggan baru bergabung ke suatu jaringan, pelanggan lama akan menikmati manfaat yang lebih besar tanpa harus membayar biaya tambahan, manfaat diperoleh dari bertambahnya peluang yang lebih besar untuk berkomunikasi. Kekuatan monopoli dan network externality keduanya dapat menghasilkan kekuatan pasar bagi operator lama (incumbent). Untuk mengimbangi kekuatan incumbent yang cenderung mendistorsi pasar, struktur pasar jasa telekomunikasi perlu diubah menjadi pasar persaingan. Pada tahapan lanjut, persaingan tidak saja pada penyediaan layanan namun juga termasuk persaingan dalam memperoleh sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan telekomunikasi.

Selain menghitung besaran investasi yang harus dikeluarkan untuk pengadaan barang modal, dalam melakukan invetasi di sektor telekomunikasi, investor pada umumnya menghitung besarnya biaya transaksi (transaction cost), biaya hangus (sunk costs), hambatan masuk (entry barriers) dan tentu saja tingkat kembalian investasi (ROI). Biaya transaksi mengacu pada eksekusi pasar atau semua biaya yang dibutuhkan berkaitan dengan perolehan kontrak, baik kontrak dengan pemasok, pelanggan dan dengan pemerintah dalam bentuk perolehan perizinan. Semakin tinggi biaya transaksi, semakin menunjukkan lingkungan industri yang tidak kondusif bagi investasi.

3.3. Kepemilikan Spektrum
Ada dua pendekatan dalam hal perizinan penggunaan spekrum frekuensi. Pertama, dalam pendekatan tradisional, perizinan pemanfaatan spektrum diberlakukan sebagai “hak untuk mengoperasikan” (right to operate) atau “hak untuk menggunakan” (right to use). Kedua, dalam pendekatan baru, pemberian izin pemanfaatan spektrum frekuensi mengacu kepada pemindahan hak milik (transfer of property). Pada pendekatan pertama, terkandung pengertian regulator (sebagai institusi yang diberi legitimasi untuk mengelola sumber daya publik) menganugerahkan hak untuk menggunakan spektrum frekuensi kepada operator telekomunikasi yang dianggap memenuhi kriteria. Sebaliknya dalam pendekatan kedua, regulator menstranfer hak milik negara (property of the State) berupa spektrum frekuensi dengan cara menjualnya kepada operator telekomunikasi. Dikatakan menjual, pada dasarnya karena operator diwajibkan membayar BHP baik dilakukan selama pemegang izin menggunakan spektrum (going concern), maupun di depan (up front) segera setelah diberi izin prinsip. Spektrum frekuensi yang dianggap memiliki sifat sebagai property ini diperlakukan sama dengan property lainnya, yang apabila tidak dibutuhkan lagi dapat dijual kepada pihak lain.

Pendekatan yang lebih kini memberlakukan spektrum frekuensi sebagai sumber daya alam yang dapat dibagi ke dalam paket (parcel) dan dijual atau disewakan. Dalam pendekatan ini spektrum dianalogikan seperti sebidang tanah yang dibagi dalam kavling – kavling. Pemilik tanah dapat mengelola sendiri tanahnya, menyewakannya kepada orang lain atau menjualnya. Spektrum juga demikian, regulator dianggap sebagai pemilik yang mempunyai hak penuh untuk mengelolanya sendiri[2] menyewakannya kepada operator telekomunikasi dengan cara membayar BHP selama operator masih memakai spektrum tersebut, atau menjualnya kepada oerator dengan maksud memperoleh penghasilan di muka.


4. Lelang Spektrum
Kebijakan perizinan yang menggunakan metoda proses administrasi (first come first served) dilandasi paradigma pasar monopoli dan pengelolaan sumber daya publik sepenuhnya dilakukan oleh negara. Adapun metode seleksi berdasarkan kriteria administrasi dan teknis lebih tepat menjadi metode transisi menuju pasar sumber daya telekomunikasi yang kompetitif. Ketika pasar sudah kompetitif sebagaimana yang dikehendaki oleh semangat Undang – Undang Nomor 36 tahun 1999, maka metoda yang tepat adalah lelang (auction).

Tren penggunaan lelang sebagai metoda alokasi dan pemberian ijin penggunaan spektrum diawali pada tahun 1990-an sebagai bagian dari upaya reformasi regulasi telekomunikasi secara lebih luas. New Zealand tercatat sebagai negara yang pertama kali menerapkan lelang spektrum. Kebijakan lelang dimaksudkan untuk menggantikan metoda proses administrasi, lotere, dan beauty contest. Argumen yang mendukung mengacu pada teori ekonomi, lelang menunjukkan hasil terbaik di antara semua metoda yang ada. Terbaik dalam kontek untuk mempromosikan efisiensi ekonomi, mengungkapkan kemauan (willingness) pengguna/operator untuk membayar dengan nilai yang menguntungkan bagi dirinya dan masyarakat, memaksimalkan pendapatan pemerintah yang lebih besar, menunjukkan praktek birokrasi yang transparan, memastikan tercapainya sasaran kebijakan publik, dan menghindari kembalinya praktek monopoli oleh incumbent dengan memberi peluang kepada pemain baru.

Keunggulan metoda lelang bukan tanpa prasyarat. Lelang spektrum berbeda dengan lelang pengadaan barang pemerintah. Pada yang terakhir, pemerintah telah memiliki anggaran belanja maksimum, peserta lelang yang mengajukan penawaran terendah akan memenangkan pekerjaan. Sementara itu, metoda lelang spektrum akan menguak berapa sebenarnya nilai yang layak bagi suatu pita spektrum. Agar semua manfaat lelang tercapai secara optimal, sebelum pelaksanaan lelang regulator telekomunikasi diharapkan telah memperkirakan berapa besar peserta lelang akan mengajukan penawaran, bukan seberapa besar yang diinginkan diperoleh dari lelang tersebut.

Angka penawaran tertinggi dalam lelang spektrum akan mencerminkan nilai ekonomi suatu pita spektrum, namun demikian nilai ekonomi tersebut menjadi tidak optimal bila,
(a) tidak cukup banyak peserta lelang untuk menciptakan suasana kompetisi yang sebenarnya;
(b) peserta tender tidak cukup yakin berapa angka yang tepat untuk diajukan guna mencerminkan nilai spektrum yang sesuai dengan kemampuan masing – masing;
(c) tidak ada persyaratan awal berupa kemampuan teknis, keuangan dan manajemen yang harus dipenuhi peserta lelang, sehingga siapapun dapat mengikuti lelang;
(d) jumlah lisensi yang akan dilelang tidak disesuaikan dengan spektrum frekuensi yang tersedia, dan lebar bandwidth untuk masing – masing alokasi tidak seragam;
(e) tidak ada kejelasan mengenai batasan penggunaan spektrum, apakah untuk layanan tunggal (misalnya untuk 3G saja) atau boleh untuk layanan lainnya[3] atau boleh juga untuk layanan beragam (multi services in one spektrum);
(f) tidak ada peraturan tentang jadwal pembangunan yang mewajibkan pemenang lelang harus membangun jaringan dan jangkauan layanan dalam jumlah, wilayah, dan periode tertentu;
(g) tidak ada jaminan dari pemerintah bahwa pemenang lelang akan memperoleh hak interkoneksi dengan operator telekomunikasi lainnya;
(h) tidak ada penjelasan tentang cakupan perizinan, apakah mencakup nasional atau regional;
(i) tidak ada jaminan dari Pemerintah bahwa spektrum yang dilelang sudah bersih dari pengguna lain.

Dengan demikian lelang spektrum tidak sekedar upaya meraup sejumlah besar uang untuk menambah kas pemerintah. Melalui lelang spektrum akan terungkap nilai tertinggi yang menunjukkan kebersediaan perusahaan untuk memberi kompensasi kepada masyarakat sebagai ganti sumber daya publik yang dikuasainya. Lelang juga memberikan konsekuensi yang harus diberikan pemerintah, yakni terpenuhinya semua azas penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana diamanatkan Undang – Undang Nomor 36 tahun 1999.



5. Potensi Kegagalan Lelang Spektrum
Pada awal diberlakukannya ketentuan lelang, terjadi hal – hal yang menggagalkan atau mengurangi keberhasilan kebijakan tersebut. Kerugian tidak hanya harus ditanggung pemerintah namun juga oleh masyarakat, hal yang kemudian menyulut adanya anggapan lelang tersebut menjadi tidak adil. Keadaan seperti ini pernah dialami New Zealand. Kejadian pertama, peserta yang dinyatakan sebagai pemenang ternyata membayar tidak sebesar nilai tertinggi yang diajukan dalam lelang, pada waktu itu, penawaran tertinggi sebesar NZ$100,000 tetapi karena penawar tertinggi mengundurkan diri, penawar tertinggi kedua sebesar NZ$6 dinyatakan sebagai pemenang. Kejadian kedua, peserta lelang hanya 3, penawaran tertinggi sebesar NZ$7 juta, sedangkan dua penawaran lain masing – masing sebesar NZ$5,000 dan NZ$250. Kejadian ketiga, untuk suatu lelang spektrum televisi pesertanya hanya satu orang, mengajukan penawaran sebesar NZ$1. Dia dinyatakan sebagai pemenang dan berhak memperoleh ijin penggunaan spektrum frekuensi televisi dengan biaya yang sangat murah. Kejadian keempat, konsultan yang disewa pemerintah memperkirakan perolehan dari lelang spektrum sebesar NZ$240 juta untuk layanan selular, ternyata perolehan yang didapat hanya sebesar NZ$36 juta.

Belajar dari praktek lelang spektrum di negara – negara lain, Pemerintah perlu merancang lelang spektrum sedemikian rupa sehingga kedua belah pihak, pemerintah dan masyarakat di satu pihak dan peserta lelang di lain pihak memperoleh manfaat yang optimal. Ada dua model teori yang lazim diacu dalam lelang spektrum, model nilai umum (common-value model) dan model nilai-privat-independen (independent-private-value model). Jika ketidak – pastian tentang teknologi yang akan digunakan masih tinggi dan permintaan terhadap layanan menggunakan teknologi tersebut pada pita spektrum yang dilelang masih rendah, serta ada tidaknya pasar sekunder (ijin dapat dijual kepada operator lain), pendekatan perhitungan nilai ekonomi spektrum pada umumnya menggunakan model yang pertama. Sebaliknya, jika masing – masing peserta lelang sudah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai jasa yang akan dijalankan pada spektrum yang akan dilelang, memiliki kemampuan sumber daya yang berbeda dalam mengelola spektrum yang diinginkannya, kencenderungan peserta lelang menggunakan model kedua lebih besar.




6. Metoda Perkiraan Nilai Ekonomi
Berkaitan dengan rencana penyelenggaraan lelang spektrum bagi calon operator layanan 3G yang belum memiliki ijin, ada baiknya Pemerintah memperhatikan metoda asesment yang lazim digunakan untuk menentukan nilai spektrum frekuensi dari kaca mata operator telekomunikasi (investor). Hal ini sesuai dengan model kedua di atas, dan untuk mengimbangi kencederungan penggunaan model pertama yang sering digunakan kalangan regulator telekomunikasi.

Literatur kebijakan ekonomi telekomunikasi menunjukkan setidaknya ada empat model pendekatan untuk menaksir nilai ekonomi suatu spektrum yang dikaitkan dengan perolehannya secara lelang. Keempat model tersebut adalah: nilai kini BHP-selamanya (present value of frequency usage charge – going concern), acuan internasional (international benchmark), pertimbangan makro (macro concern), dan pertimbangan belanja modal maksimum (maximum capex-concern).

6.1. Nilai Kini BHP-Selamanya
Metoda pertama disebut Nilai Kini BHP-Selamanya (present value of frequency usage charge – going concern), yakni menghitung nilai sekarang (present value) dari penerimaan BHP untuk jangka waktu selama perusahaan beroperasi. Sebagai contoh, suatu operator 3G yang memperoleh 10MHz, untuk melayani cakupan nasional perlu mengoperasikan 500 BTS[4] dengan rata – rata 2 carrier dan 500[5] stasiun radio transmisi gelombang mikro berkewajiban membayar total BHP setiap tahunnya – misalnya – Rp. 26 Milyar[6]. Jika ijin operasi berlaku – misalnya – selama 20[7] tahun, maka total BHP yang harus dibayarkan selama periode tersebut adalah sebesar Rp. 520 Milyar. Dengan asumsi tingkat bunga sebesar 12%[8], maka nilai-kini-BHP adalah sebesar Rp. 248.12 Milyar. Dengan kurs US$ 1 = RP. 9,900, maka perkiraan nilai ekonomi spektrum 3G per MHz kurang lebih sebesar US$ 2.5 juta.



6.2. Acuan Internasional
Metoda kedua dinamai Acuan Internasional (international benchmark) karena mengacu pada angka perolehan yang didapat negara – negara yang sudah melakukan lelang. Dari 5 negara Eropa[9] (Austria, Belgia, Denmark, Jerman dan Yunani) yang telah mengadakan lelang pada tahun 2001 nilai perolehan tertinggi didapat Austria (832 juta Euro) dan terendah Jerman (50 juta Euro). Rata – rata perolehan lelang dari lima negara tersebut sebesar 260 juta Euro dengan masa berlaku perijinan selama 20 tahun. Sehingga biaya lisensi pertahun untuk pita selebar 10 MHz adalah 13 juta Euro atau setara dengan US$ 15.756 juta, artinya rata – rata nilai ekonomi yang didapat dari lelang spektrum 3G per MHz di lima negara Eropa tersebut sebesar US$ 1.58 juta saja.


6.3. Pertimbangan Makro
Metoda ketiga dinamai Pertimbangan Makro (macro concern). Model ini mengaitkan hubungan antara gross domestic product (GDP), pendapatan per kapita, Average Revenue per User (ARPU), dan BHP. Sementara statistik menunjukkan tren peningkatan GDP per kapita, di sisi lain ARPU per GDP per kapita justru menunjukkan angka yang semakin menurun. Artinya, di tengah peningkatan jumlah pelanggan selular, ternyata operator harus dihadapkan pada penurunan laju pendapatan. Padahal, BHP diberlakukan sebagai komponen biaya tetap (fixed cost) yang besarannya berkisar antara 3.5% hingga 5% dari ARPU, dan harus tetap dibayar walaupun ARPU-nya makin menurun. Dengan proyeksi pertumbuhan pelanggan selular dari 45 juta di tahun 2005 dan mencapai 130 juta di tahun 2015 dan estimasi jumlah pelanggan 3G sebesar 1% hingga 25% dari total pelanggan selular selama 10 tahun mendatang, serta estimasi tingkat diskonto sebesar 15% per tahun, Net Present Values (NPV) BHP frekuensi untuk pita selebar 60 MHz (sesuai alokasi ITU untuk pita IMT-2000) diperoleh sebesar US$ 162 juta[10]. Artinya nilai ekonomi spektrum frekuensi 3G yang wajar adalah sebesar US$ 2.7 juta per MHz[11].


6.4. Pertimbangan Capex
Metoda keempat dinamai model pertimbangan belanja modal maksimum (maximum capex-concern). Dibanding tiga model lainnya, model ini paling mendekati realita yang dirasakan oleh investor. Apabila pembayaran BHP ditetapkan dengan metoda bayar di muka (upfront fee) kebijakan ini akan berdampak pada arus kas (cash flow) perusahaan. Di dalam menentukan nilai ekonomi spektrum, peserta lelang akan memberlakukan BHP yang harus dibayar di depan sebagai bagian dari belanja modal (capital expenditure – capex). Komponen lain dari belanja modal adalah pengadaan gedung kantor, penyediaan sarana pendukung operasional, penyediaan jaringan dan sistem informasi. Dengan masuknya BHP sebagai komponen belanja modal, maka besaran persentasi komponen lainnya harus dikurangi. Dengan total besaran investasi yang telah ditetapkan, semakin besar BHP yang harus dibayar di depan, semakin mengurangi kemampuan perusahaan untuk menyediakan belanja modal lainnya.

Persoalannya, yang sering dikorbankan justru investasi untuk penambahan jaringan. Padahal ketersediaan jaringan akan memberi efek pengungkit (leverage) bagi perolehan pendapatan. Perusahaan dihadapkan pada dilema, mengajukan penawaran setinggi – tingginya berarti mengurangi kemampuannya untuk membangun, sementara mengajukan nilai yang rendah mengurangi peluang untuk memenangkan lelang.

Hukum pareto 20-80 sering digunakan dalam mengatasi dilema semacam ini. Artinya maksimum yang boleh dibelanjakan untuk membayar belanja modal yang tidak secara langsung menghasilkan pendapatan hanya sebesar 20% dari total rencana investasi di tahun pertama. Dengan asumsi kebutuhan investasi tahun pertama untuk memenuhi komitmen perijinan modern sebesar US$100 juta, maka maksimum besarnya BHP yang layak adalah sebesar US$ 20 juta.

Kelemahan model ini adalah hanya menitik – beratkan pada ketersediaan dana investasi yang dimiliki perusahaan peserta lelang, yang bervariasi satu dan lainnya. Selain itu model ini juga tidak memperhitungkan berapa besar spektrum yang akan dialokasikan untuk setiap operator. Oleh karena itu nilai ekonomi yang diperkirakan dari model ini bervariasi. Jika operator mendapat bandwidth 10MHz, maka nilai ekonomi spektrum 3G hanya sebesar US$2 juta per MHz atau US$ 4 juta per MHz untuk yang hanya menguasai 5MHz.


6.5. Estimasi Pendapatan
Dengan menggunakan besaran parameter berdasarkan asumsi yang mendekati nilai sebenarnya, simulasi keempat model di atas menghasilkan rentang nilai ekonomi spektrum frekuensi 3G dari US$ 1.58 - US$ 2.7 juta per MHz-nya. Nilai inilah yang mencerminkan harga spektrum frekuensi 3G dan dapat dianggap sebagai kesediaan membayar (willingness to pay) dari peserta lelang 3G di Indonesia. Menggunakan penetapan alokasi IMT-2000 spektrum 3G sebesar 60MHz, maka minimum penghasilan Pemerintah yang diperoleh dari penataan kembali spektrum frekuensi 3G berkisar antara US$ 94.8 hingga US$ 162 juta.


7. Klasifikasi Operator 3G
Pendapatan Pemerintah dari penataan ulang spektrum frekuensi 3G sebesar antara US$ 94.8 hingga US$ 162 juta dikatakan minimum karena masih ada peluang untuk meningkatkan potensi pendapatan hingga sebesar – besarnya. Caranya adalah dengan membagi operator 3G ke dalam 3 golongan, yakni operator 3G baru, operator 3G berijin namun belum beroperasi penuh, dan operator layanan non-3G yang beroperasi menggunakan spektrum frekuensi IMT-2000. Penggolongan ini penting, karena masing – masing memiliki perbedaan, selain itu juga merupakan upaya semua pihak untuk taat pada semua azas sebagaimana termaktub dalam pasal 2 Undang – Undang Nomor 36 tahun 1999.

7.1. Operator 3G Baru
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang terhitung pada tanggal ditetapkannya peraturan penataan ulang 3G belum memiliki Izin Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Selular Generasi 3 (3G). Suatu operator telekomunikasi meskipun telah lama beroperasi dengan izin layanan telepon tetap atau telepon bergerak selular generasi 2 (GSM), tetap digolongkan sebagai operator baru 3G, jika pada saat kebijakan penataan ulang 3G diterbitkan yang bersangkutan belum memiliki izin penyelenggaraan dimaksud. Dalam hal ini, Telkomsel dan Exelcomindo yang baru memiliki izin percobaan 3G tetap dimasukkan dalam kelompok oerator 3G baru.

7.2. Operator 3G Berijin Namun Belum Beroperasi Penuh
Yang termasuk kelompok ini adalah perusahaan yang telah memperoleh Izin Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Selular Generasi 3 (3G) namun karena sesuatu dan lain hal sebagai alasan yang dapat diterima oleh regulator, belum beroperasi secara penuh. Batasan beroperasi secara penuh antara lain, telah memenuhi komitmen pembangunan jaringan dan layanan sesuai tahapan yang tercantum dalam Perizinan Modern serta telah memasuki tahap komersial. NTS dan CAC termasuk dalam kelompok ini.

7.3. Operator non-3G yang beroperasi pada spektrum frekuensi IMT-2000
Yang termasuk kelompok ini adalah operator telekomunikasi bergerak selular non 3G, namun memperoleh alokasi untuk beroperasi menggunakan spektrum frekuensi IMT-2000. Telkomflexi, StarOne dan WIN tergolong dalam kelompok ini.


8. Metoda Penetapan
Selain membuat klasifikasi operator 3G upaya optimalisasi pendapatan negara bukan pajak dari penataan ulang spektrum frekuensi 3G, haru sdikaitkan pula dengan metoda penetapannya. Metoda penetapan adalah cara yang digunakan untuk menentukan besaran nilai ekonomi (harga) spektrum berdasarkan klasifikasi operator 3G sebagaimana diuraikan di atas. Setidaknya ada tiga model penetapan yang masing – masing lebih cocok untuk satu klasifikasi operator 3G saja.

8.1. Lelang
Penetapan perzinan dengan metoda lelang ini lebih tepat diterapkan hanya bagi operator baru, hal ini mengingat pertimbangan perlunya jaminan kepastian hukum bagi operator 3G maupun non 3G yang sudah memiliki izin penggunaan spektrum frekuensi pada pita IMT-2000. Selain itu, dengan lelang, Pemerintah dapat menetapkan estimasi nilai ekonomi spektrum di atas sebagai nilai penawaran awal.

Persoalan yang perlu diwaspadai adalah apabila ternyata investor yang mengikuti lelang hanya satu atau dua perusahaan saja, sementara spektrum yang ditawarkan cukup untuk lebih dari dua operator. Dalam hal seperti ini, metoda lelang dapat menemui kegagalan dalam mencapai target perolehan.

8.2. Harga Dasar Plus Premium
Penetapan perizinan menggunakan metoda harga dasar plus premium lebih tepat diterapkan bagi Operator 3G Berizin Namun Belum Beroperasi Penuh, atau pada kondisi di mana metoda lelang tidak dapat dijalankan dengan sempurna. Pertimbangan metoda ini khususnya bagi operator 3G yang berizin namun belum beroperasi penuh adalah azas keadilan, azas kepastian hukum, dan azas manfaat. Menjadi tidak adil bagi masyarakat apabila operator yang telah diberi izin tetapi tidak memanfaatkan izin yang dimilikinya secara optimal. Demikian pula tidak adil bagi operator tersebut apabila diharuskan mengikuti kembali proses perizinan seperti yangtelah dilakukan sebelumnya. Perizinan yang sudah dimiliki harus dihormati untuk menjunjung azas kepastian hukum. Namun demikian mengacu pada azas keadilan dan manfaat, operator tersebut perlu memberi kompensasi atas spektrum yang sudah diterimanya.

Perkiraan nilai ekonomi spektrum di atas dapat digunakan sebagai acuan (harga dasar) dalam negosiasi antara Pemerintah dengan operator. Dalam negosiasi, perlu diperoleh kesediaan operator untuk memberikan premium (nilai tambahan) terhadap harga dasar yang telah ditetapkan.


8.3. Harga dasar plus premium plus kompensasi nilai
Bagi operator non-3G yang beroperasi pada spektrum frekuensi IMT-2000 metoda penetapan perizinan yang tepat adalah harga dasar plus premium plus kompensasi nilai. Artinya, selain proses yang dijalani sebagaimana butir 8.2 di atas, Pemerintah dapat pula meminta kompensasi tambahan apabila operator tersebut masih tetap akan menggunakan spektrum IPT-2000 untuk layanan non-3G. Alasan dari permintaan kompensasi tambahan ini adalah karena penggunaan yang tidak semestinya mengakibatkan berkurangnya manfaat agregat (ekonomi dan sosial) bagi masyarakat.


9. Metoda Pembayaran
Selain memperhatikan kepentingan untuk mengumpulkan pendapatan bagi kas negara, Pemerintah perlu pula memperhatikan kekuatan keuangan operator dan atau calon operator. Hal ini penting karena menyangkut kelangsungan hidup perusahaan, pemberian peluang bagi masuknya pemain baru, maupun akomodasi prioritas investasi.

9.1. Pembayaran Di Muka
Pembayaran BHP di muka (upfront fee) diperkirakan tidak menjadi masalah besar bagi operator lama yang telah memiliki banyak cadangan investasi. Selain itu, operator lama (existing operators) yang termasuk operator 3G baru pada umumnya telah memiliki jaringan telekomunikasi dalam jumlah besar, sehingga ketika memperoleh izin 3G tidak harus membangun dari nol. Fasilitas yang ada dapat dimanfaatkan juga untuk layanan 3G.


9.2. Pembayaran Dengan Jangka Waktu
Bagi operator pemegang izin 3G yang masih memerlukan investasi awal untuk membangun jaringan dan layanan, ada baiknya diberi kesempatan untuk memenuhi kewajiban pembayaran BHP dengan jangka waktu. Penetapan jangka waktu ini pun harus pula mempertimbangkan kepentingan Pemerintah. Maksimum jangka waktu yang diberikan (grace period) paling lama satu tahun, dan kepada operator dikenakan bunga untuk kompensasi nilai waktu. Apabila ternyata setelah jangka waktu satu tahun perusahaan tidak dapat memenuhi kewajibannya, demi keadilan dan kepastian hukum, izin yangtelah diberikan dapat dicabut.


10. Simpulan
Guna mencapai sasaran kebijakan yang sejalan dengan upaya penataan ulang spektrum frekuensi 3G ada berbagai pertimbangan yang berkaitan dengan aspek ekonomi yang perlu diperhatikan. Penentuan nilai ekonomi spektrum merupakan salah satunya. Mengingat belum adanya formula baku, dalam upaya meningkatkan manfaat spektrum Pemerintah perlu meninjau berbagai metoda penaksiran yang lazim digunakan. Angka yang diperoleh dalam paper ini menggunakan asumsi yang dapat saja berbeda dari satu pihak ke pihak lainnya, meskipun demikian metodanya merupakan metoda yang lazim digunakan dalam perhitungan bisnis dan investasi.

[1] Spektrum IMT–2000 adalah pita frekuensi antara 1920 – 1980 KHZ yang ditetapkan ITU untuk layanan 3G
[2] Ketentuan mengenai telekomunikasi khusus yang diselenggarakan oleh dan untuk kepentingan pemerintah mengacu pada konsep ini. Instansi pemerintah penyelenggara telekomunikasi khusus dianggap sebagai bagian dari pemilik sumber daya telekomunikasi, dan oleh karenanya dibebaskan dari ketentuan membayar BHP frekuensi dan biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi.
[3] Seperti sekarang ini, Telkom, Indosat dan PT. WINmasing – masing menggunakan spektrum IMT-2000 untuk layanan berbasis teknologi CDMA (TelkomFlexi, StarOne, dan WIN).
[4] Asumsi 500 BTS didasarkan pada perkiraan cakupan maksimum layanan 3G yang disesuaikan dengan permintaan pasar. Diperkirakan permintaan layanan 3G hanya akan terpusat di kota – kota besar saja, sehingga jumlah BTS yang harus dibangun pun tidak perlu sebesar layanan selular 2G.
[5] Selain BTS, dalam menghitung kewajiban pembayaran BHP juga perlu dimasukkan radio gelombang mikro yang digunakan untuk transmisi terestrial, baik untuk jaringan backbone maupun akses antar BTS.
[6] Karena formula BHP untuk 3G belum dibakukan, angka ini dihasilkan dari penghitungan BHP menggunakan formula layanan selular CDMA yang tergolong layanan 2.5G. Acuannya, 500 BTS dan 500 stasiun radio gelombang mikro, dipasang di zona 1 dan 2 sesuai dengan target layanan 3G.
[7] Mengacu pada praktek yang sudah berlaku di Eropa, lisensi 3G yang diperoleh dari lelang berlaku untuk waktu selama 20 tahun.
[8] Tingkat bunga yang dipakai adalah tingkat bunga kredit yang berlaku pada saat paper ini dipersiapkan.
[9] Lihat lampiran 1, yang berisi data mengenai pemberian lisensi 3G di sejumlah negara Eropa, data ini diperoleh dari Koran Bisnis Indonesia, Senin 20 Juni 2005.
[10] Lihat Lampiran 2, Penjelasan rinci perhitungan menggunakan model Pertimbangan Makro.
[11] Diperoleh dari US$ 162 juta dibagi 60 MHz.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.