Monday, August 15, 2005

Seri Pengenalan Cyberlaw: Apa dan Bagaimana

Pendahuluan
Perbincangan mengenai cyberlaw di Indonesia sudah mulai ramai sejak awal tahun 1998 menyusul makin maraknya pemanfaatan Internet di kalangan pemerintahan maupun bisnis dan menjadi semakin intensif belakangan ini menyusul pembahasan Rancangan Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE). Namun demikian, hingga hari ini sebetulnya belum ada kesepahaman di antara pelaku dan mereka yang terlibat dalam wacana cyberlaw mengenai apa dan bagaimana sebenarnya cyberlaw di Indonesia. Kesepahaman mengenai definisi, sifat, ruang lingkup, substansi, dan daya - tindak mengenai cyberlaw menjadi isu strategis mengingat dari tataran ini, akan ditindak lanjuti dengan langkah – langkah konstruktif untuk membangun cyberlaw. Sayangnya pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam mempersiapkan apa yang mereka sebut “cyberlaw” tidak menggunakan pola pengembangan kebijakan publik yang sistematis, melainkan menggunakan pendekatan politis-pragmatis sehingga yang muncul adalah suatu rancangan kebijakan berupa RUU yang hanya sepotong – sepotong mengatur pemanfaatan teknologi yang sudah begitu luas penggunaannya di berbagai aspek kehidupan manusia.

Munculnya diskursus cyberlaw tidak lepas dari fenomena konvergensi teknologi informasi dan telekomunikasi yang wujudnya dengan mudah dikenali dalam bentuk Internet. Ketika telekomunikasi masih didominasi oleh teknologi analog, kemampuan yang dimilikinya masih relatif terbatas, baik dalam kelengkapan (features) maupun berbagai jenis layanan yang dapat ditawarkan. Sebagai contoh, pesawat dan jaringan telepon tetap (PSTN), ketika masih menggunakan teknologi analog tidak dapat menyediakan fasilitas redial atau menyimpan nomor – nomor telepon tertentu. Dengan teknologi digital, pesawat telepon rumah sudah lazim dilengkapi dengan fasilitas redial, memory, bahkan dapat digunakan untuk mengirim dan menerima Short Message Services (SMS), sebagaimana pada hand phone. Kemajuan dalam layanan telepon ini, menjadi lazim sesudah teknologi telekomunikasi menggunakan teknologi digital yang menjadi dasar dari sistem kerja komputer. Perkembangan lebih jauh dari pemanfaatan teknologi komputer dalam telekomunikasi salah satunya ditandai dengan adanya layanan yang berbeasis jaringan pintar (Intelligent Network), yakni pengendalian berbagai layanan telekomunikasi yang dilakukan oleh sistem komputer dengan sedikit keterlibatan manusia.

Di sisi lain, teknologi informasi yang semula hanya berbicara di wilayah teknologi digital dan komputer beserta peripheral pendukungnya lambat laun bergeser ke pemenuhan tantangan bagaimana satu sistem komputer dapat berkomunikasi dengan sistem komputer lainnya. Dari sinilah muncul apa yang kemudian disebut Komunikasi Data, yang mendasari dibangunnya Local Area Network (LAN). Untuk memenuhi kebutuhan komunikasi antar-sistem komputer dalam wilayah geografis yang lebih luas, suatu LAN tidaklah mencukupi. Sebagai solusinya maka digunakanlah teknologi telekomunikasi untuk mendukung teknologi informasi. Muncullah kemudian Internet, suatu jaringan komputer global di mana penggunanya dapat mengakses ke jaringan dari mana saja, kapan saja dan dapat berbicara dengan siapa saja.

Internet merupakan revolusi dalam kehidupan manusia yang semakin menguatkan pendapat bahwa teknologi informasi dapat memasuki berbagai aspek kehidupan manusia. Selanjutnya, Internet dianggap memiliki dua peran: sebagai alat (means) dan sebagai tujuan (ends). Hakikat alat adalah mempermudah pekerjaan, demikian pula dengan Internet. Dalam berbagai hal, Internet mempermudah pekerjaan manusia. Karena kemampuannya dalam mempermudah pekerjaan manusia dan dampaknya bagi perbaikan tata sosial kemasyarakatan maupun perekonomian serta digunakannya penguasaan teknologi informasi sebagai indikator kemajuan suatu bangsa, tak pelak penetrasi Internet menjadi salah satu tujuan pembangunan berbagai negara. Dengan demikian Internet tidak hanya sebagai alat, namun ia juga sebagai dambaan dari banyak manusia di bumi.

Sebagaimana lazimnya suatu alat yang bersifat netral, jika dipergunakan dengan baik Internet dapat membawa manfaat bagi masyarakat luas. Namun sebaliknya, bila digunakan oleh orang jahat yang berniat merugikan pihak lain, maka jadilah Internet alat kejahatan yang tak kalah hebatnya dari senjata api atau bahkan bom yang mampu menewaskan ribuan orang. Dari sinilah muncul pemikiran untuk mengurangi dampak negatif dari pemanfaatan Internet oleh masyarakat. Berbagai upaya dapat dilakukan, dari yang bersifat teknis seperti penggunaan teknik atau metoda pengamanan (security) sampai yang non teknis seperti sosialisasi penggunaan Internet secara benar dan bertanggung jawab. Namun demikian, semua upaya di atas dianggap belum cukup karena belum sepenuhnya dapat melindungi pengguna Internet dari kejahatan. Oleh karena itu, perlu dibuat ketetapan hukum berupa Undang – Undang di bidang pemanfaatan Internet khususnya maupun teknologi informasi dan telekomunikasi pada umumnya.

Permasalahannya, sebagaimana disebutkan di depan bahwa konvergensi teknologi informasi dan telekomunikasi yang berwujud Internet ini telah memasuki dan merasuki berbagai aspek kehidupan manusia. Ekstremnya, tidak ada bagian dari aktivitas kehidupan manusia yang tidak dapat difasilitasi teknologi informasi dan telekomunikasi. Kegiatan pendidikan, pemerintahan, perbankan, asuransi, transportasi, penegakan hukum, penegakan demokrasi, peneguhan agama, dan masih banyak lagi adalah area yang dapat ditingkatkan kinerjanya menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi. Oleh karena itu dampak yang dihasilkan adanya penyalah gunaan Internet menjadi lebih serius dari yang diperkirakan semula. Jika semula orang mengira bahwa dampak dari penyalah – gunaan Internet terbatas hanya pada aktivitas perdagangan elektronik (e-commerce), yang terjadi adalah adanya ancaman bahaya dan atau kerugian pada hampir semua kegiatan manusia yang menggunakan Internet.

Beberapa contoh kasus yang sudah sering kita dengar antara lain: penggunaan nama domain yang berlanjut pada persidangan pidana dengan tuntutan praktek persaingan tidak sehat, penipuan transaksi jual beli menggunakan kartu kredit milik orang lain yang dilakukan melalui Internet (sering disebut carding), pemalsuan halaman depan situs Internet suatu bank, dan lain – lain. Selain kasus – kasus tersebut, ada kekhawatiran dari sementara kalangan yang selama ini menjalankan e-commerce mengenai tiadanya perlindungan hukum atas suatu transaksi ekonomi yang dilakukan melalui Internet. Demikian pula adanya keresahan dari masyarakat khususnya pengguna Internet mengenai hilang atau berkurangnya nya privasi individu, sehingga dengan mudah orang dapat mengetahui identitas pribadi orang lain yang sebenarnya hanya berhak diketahui oleh pihak lain dengan seijin pihak pemiliknya.

Kepolisian sebagai salah satu pilar penegakan hukum, seringkali menghadapi hambatan dalam penyelidikan dan penyidikan kasus – kasus sengketa maupun pidana di bidang teknologi informasi ini. Pasalnya, alat bukti kejahatan mudah sekali hilang atau dihilangkan. Lebih dari itu, ternyata, pengadilan belum menerima dan mengakui catatan elektronik sebagai bukti yang sah di pengadilan. Padahal, tanpa bukti yang benar dan sah, susah bagi hakim untuk menentukan putusan yang adil.

Implikasi pemanfaatan Internet secara negatif tidak hanya pada hukum pidana, namun pula memasuki wilayah hukum perdata. Tidak hanya pada lingkup kecil kalangan praktisi teknologi informasi semata, namun meluas pada berbagai sektor kegiatan. Oleh karena itu, perlu kajian mendalam mengenai apa dan bagaimana tata aturan perundangan yang dibutuhkan dalam pemanfaatan Internet.

Ruang Lingkup Cyberlaw
Secara teknis, perubahan yang signifikan dari pemanfaatan Internet dalam keseharian hidup manusia adalah adanya perubahan pola hubungan dari yang semula menggunakan kertas (paper) menjadi nirkertas (paperless). Selain paperless, Internet juga dapat memfasilitasi suatu perikatan tanpa para pihak yang akan melakukan kontrak bertemu secara fisik dalam dimensi ruang dan watu yang sama. Hambatan jarak dan waktu menjadi bukan masalah lagi. Perubahan – perubahan ini membawa implikasi hukum yang cukup serius bila tidak ditangani dengan benar.

Beberapa isu yang muncul dari kemampuan Internet dalam memfasilitasi transaksi antar pihak ini antara lain: masalah keberadaan para pihak (reality), kebenaran eksistensi dan atribut (accuracy), penolakan atau pengingkaran atas suatu transaksi (non-repudiation), keutuhan informasi (integrity of information), pengakuan saat pengiriman dan penerimaan, privasi, dan jurisdiksi.

Keberadaan para pihak yang bertransaksi perlu dipertegas mengingat bisa saja “seseorang” yang menjadi lawan transaksi sebenarnya bukan orang sungguhan namun sudah diganti dengan mesin atau sistem layanan otomatis. Oleh karena itu pengecekan untuk mengetahui kebenaran eksistensi para pihak menjadi sangat penting. Jika tidak, bisa saja seorang C mengaku sebagai A tanpa sepengetahuannya dan bertransaksi dengan B. Karena tanpa mengecek kebenaran atribut mitra transaksinya, B memiliki potensi untuk dirugikan oleh C, demikian pula dengan A yang namanya digunakan dalam transaksi tersebut.

Dalam “dunia kertas” tidak mudah bagi seseorang untuk menolak atau tidak mengakui bahwa ia telah berbuat sesuatu, karena adanya bukti fisik yang dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa seseorang telah melakukan sesuatu. Tidak demikian halnya dengan “dunia nirkertas”. Seseorang dengan mudah bisa saja menolak bahwa ia telah berbuat sesuatu di Internet karena tidak ada bukti fisik yang memaksanya untuk mengakui bahwa ia telah berbuat sesuatu. Agar penolakan semacam ini tidak terjadi di dunia Internet, secara teknis sudah mampu disediakan teknologi yang mampu membuktikan adanya suatu transaksi. Namun ini masih belum cukup, dan perlu diperkuat dengan ketentuan hukum dalam undang – undang. Ketentuan mengenai larangan pengingkaran suatu transaksi melaui Internet ini disebut dengan non-repudiation.

Akibat dari perkembangan teknologi informasi yang menyebabkan perkembangan interaksi di bidang sosial dan ekonomi berlangsung dalam dunia maya (cyberspace) maka diperlukan pengaturan yang bersifat khusus, tidak lagi tertampung oleh hukum atau peraturan perundang – undangan konvensional. Suatu pemahaman yang hanya meninjau kegiatan e-commerce sebagai satu – satunya kegiatan di dalam cyberspace sehingga secara kondisi logis pengaturan yang diperlukan terbatas pada kasus – kasus yang terjadi di dalam kegiatan e-commerce, dapat diasumsikan sebagai terlalu menyederhanakan permasalahan yang sedang dan akan muncul dalam kegiatan di dalam cyberspace secara keseluruhan. Akibat dari pemahaman tersebut, seringkali muncul keliruan bahwa cyberlaw adalah hanya semata – mata hukum yang mengatur kegiatan e-commerce[1].

Dari sudut pandang secara praktis, dapat dipahami bahwa dalam kegiatan e-commerce memerlukan sense of urgency untuk dicarikan jalan keluar atas akibat- akibat atau permsalahan hukum yang muncul. Namun demikian, pada sisi lain, dengan memperhatikan praktek di negara lain, nampaknya akan lebih bijaksana apabila tidak ada pembatasan secara sempit ruanglingkup cyberlas itu sendiri[2].

Dalam upaya mendapatkan informasi dan pemahaman yang menyeluruh tentang cyberlaw sebagai suatu rezim hukum yang baru dengan bentuk pengaturan yang bersifat khusus atas kegiatan – kegiatan di dalam cyberspace, Jonathan Rosenoer, dalam Cyberlaw – The Law of Internet, sebagaimana dikutip Saefullah dan Budhijanto dan pakar cyberlaw lainnya mengingatkan ruang lingkup dari cyberlaw antara lain mencakup:
Hak Cipta (Copy Rights)
Hak Merek (Trademark)
Pencemaran nama baik (Defamation)
Fitnah, penistaan, penghinaan (Hate Speech)
Serangan terhadap fasilitas komputer (Hacking, Viruses, Illegal Access)
Pengaturan Sumberdaya Internet seperti IP-adress, Domain Name, dan lain – lain.
Kenyamanan Individu / Privasi (Privacy)
Prinsip kehati – hatian (Duty Care), termasuk dalam hal ini adalah negligence
Tindakan kriminal (Criminal Liability) biasa yang menggunakan TI sebagai alat.
Isu prosedural, seperti jurisdiksi, pembuktian, penyidikan, dan lain – lain
Kontrak / Transaksi elektronik dan tanda tangan digital/elektronik
Pornografi, termasuk pornografi anak - anak
Pencurian melalui Internet
Perlindungan konsumen
Pemanfaatan Internet dalam aktivitas keseharian manusia, seperti e-perdagangan, e-penyelenggaraan-negara, e-perpajakan, e-pendidikan, e-layanan-kesehatan, dan lain sebagainya.

Common Ground
Sebagaimana dikatakan Jim Dempsey bahwa kebijakan publik dalam pengaturan pemanfaatan Internet haruslah berdasarkan pada: (1) sekumpulan undang – undang yang terkait (mix of laws), (2) pengaturan yang dibuat oleh industri terkait (industry self-regulation), dan (3) standar teknis yang memberi kuasa kendali kepada penggunanya, maka jika diamati dengan cermat, dalam berbagai bentuk pemanfaatan Internet baik untuk aktivitas yang bersifat positif maupun negatif, ada tiga hal yang menjadi landasan umum (common ground), yakni: Informasi Elektronik, Bukti Elektronik, dan Transaksi Elektronik. Dikatakan sebagai landasan umum, karena ketiga hal ini menjadi esensi dari pertukaran informasi antar-pihak yang dilakukan melalui media Internet. Lingkup pengertian transaksi tidak sekedar pertukaran yang dapat dilihat secara fisik sebagaimana terjadi pengertian konvensional, seperti jual dan beli, namun diperluas mencakup pertukaran informasi elektronik melalui media elektronik (Internet). Adapun Bukti elektronik menjelaskan adanya informasi elektronik yang dipertukarkan dalam transaksi elektronik. Di atas tiga hal tersebut di atas barulah terletak berbagai keperluan dan kondisi yang langsung dirasakan dan dilihat oleh manusia, apakah itu e-commerce, pornografi, kejahatan melalui Internet, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, menggunakan kerangka pikir diatas, dapat disimpulkan bahwa Rancangan Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) yang saat ini sedang diproses oleh pemerintah, bukan merupakan satu – satunya cyberlaw yang perlu dibuat di Indonnesia, karena menilik dari nama dan substansi secara umum, hanya mengatur tiga hal yang termasuk Common Ground. Dalam upaya memberikan perlindungan hukum dari pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (Internet) secara negatif masih diperlukan adanya perangkat hukum lainnya yang khusus mengatur pemanfaatan khusus dan atau lebih lanjut dari Internet, seperti e-perdagangan, e-penyelenggaraan negara, e-kriminal, dan lain sebagainya termasuk hal – hal yang menyangkut isu prosedural, seperti jurisdiksi, pembuktian, penyidikan, dan lain – lain.

Saran dan Langkah Selanjutnya
Memperhatikan kurangnya perangkat hukum yang mengatur masalah pemanfaatan Teknologi Informasi (Internet) disarankan agar pemerintah dan stakeholder di bidang Telematika perlu segera :
Melakukan inventarisasi berbagai peraturan perundangan yang sekiranya (dapat) berhubungan atau menggunakan teknologi informasi.
Melakukan identifikasi pemanfaatan Teknologi Informasi (Internet) secara negatif yang tergolong perdata dan pidana.
Menyusun peta kerangka penegakan hukum (semacam road map) di bidang Teknologi Informasi (Internet)
Menyempurnakan Rancangan Undang – Undang yang mengatur masalah common ground (RUU – ITE).
Menyusun atau memperbaiki undang – undang yang mengatur kegiatan manusia yang berkaitan atau menggunakan Teknolgi Informasi (Internet).

Daftar Pustaka
Mieke Komar Kantaatamadja, et.al., Cyberlaw: Suatu Pengantar, ELIPS, 2001.
Assafa Endeshaw, Internet and E-Commerce Law, With a Focus on Asia-Pacific, Prentice Hall, 2001.
Kelli Arena, et.al., Cybercrime: An International Problem For Every Lawyer, Business & Country, Report on Annual Meeting of American Bar Association, 2002.
Asril Sitompul, SH., LL.M, Hukum Internet, Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, Citra Aditya Bakti, 2001.
Yaman Akdeniz, Clive Walker and David Wall, eds., The Internet, Law and Society, Longman, 2000
Douglas Thomas & Brian D. Loader, eds., Cybercrime: Law Enforcement, Security and Surveillance in The Information Age, Routledge, 2000. Jim Dempsey, Trust and Security in Cyberspace: The Legal and Policy Framework For Addressing Cybercrime, Center for Democracy and Technologi, 2002 at www.internetpolicy.net
[1] E.Saefullah Wirapradja, Danrivanto Budhijanto, Perspektif Hukum International Tentang Cyberlaw, dalam Mieke Komar Kantaatamadja, et.al., Cyberlaw: Suatu Pengantar, ELIPS, 2001.
[2] Ibid.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.