Judul berita di halaman T1 Harian Bisnis Indonesia tanggal 7 Agustus bertajuk “Perbaikan RUU IETE libatkan tim ad hoc” tidak mengagetkan namun cukup serius untuk dikaji dan ditindak-lanjuti lebih jauh. Tidak mengagetkan karena sudah banyak desakan untuk memperbaiki rancangan undang – undang (RUU) yang diajukan oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi baik yang secara tidak langsung maupun terbuka melalui media massa. Salah satu contoh misalnya berita di harian yang sama tanggal 30 Juli 2003 yang bertajuk “Salah konsepsi RUU IETE” yang menyajikan pendapat saudara Inderanta Depari seorang praktisi hukum dari Universitas Indonesia bahwa terjadi salah konsepsi dalam RUU IETE yang dianggap untuk mengatur Internet. Menurut Inderanta Depari, kesalahan yang sangat fatal adalah lahirnya UU IETE nantinya ditujukan untuk mengatur Internet, padahal ada begitu banyak persoalan yang terjadi di dalam cyberspace yang tidak akan terangkum dalam RUU tersebut. Komentar Inderanta ini senada dengan pendapat seorang dosen senior di fakultas hukum perguruan tinggi yang sama yang mengatakan bahwa RUU IETE yang diajukan Kementrian Kominfo sebagai hasil pembahasan sejumlah pakar telematika dan hukum serta sudah dibahas oleh birokrat dari berbagai departemen (interdep) tersebut cenderung menjadi RUU-A3, atau rancangan undang – undang apa aja ada.
Terlepas dari benar tidaknya sinyalemen bahwa RUU IETE - yang dari namanya saja selalu berubah mengikuti perkembangan pembahasan - mengandung kesalahan konsepsi, adanya pernyataan Menteri Kominfo bahwa bila dianggap kurang sempurna RUU itu akan diperbaiki, serta tambahan informasi dari Sekretaris Menteri Kominfo JB Kristiadi yang mengemukakan bahwa RUU IETE yang sudah disampaikan kepada Presiden kemungkinan masih ada beberapa hal yang perlu disempurnakan mengindikasikan dua hal. Pertama para petinggi Kementrian Kominfo sebagai instansi yang memiliki kewenangan membuat kebijakan di bidang komunikasi dan informasi akhirnya mengakui bahwa RUU IETE`yang sudah dihasilkan masih perlu perbaikan. Kedua sejalan dengan pengakuan ini, muncul sederet pertanyaan antara lain: mengapa perlu diperbaiki dan perbaikan apa saja yang perlu dilakukan terhadap RUU IETE ini? Dalam konteks yang lebih luas, pertanyaan yang seringkali dilontarkan namun belum pernah terjawab tuntas adalah apakah RUU IETE akan menjadi satu – satunya undang – undang di bidang pemanfaatan teknologi informasi (Cyberlaws) di Indonesia? Atau masih diperlukan undang – undang lain yang mengatur masalah ini.
Fakta di berbagai negara yang telah mulai mengatur pemanfaatan teknologi informasi menunjukkan tidak ada satupun negara yang mengatur pemanfaatan teknologi informasi hanya dengan satu undang – undang saja. Namun demikian, tidak ada keseragaman tentang apa saja yang perlu diatur dan bagaimana mengaturnya. Malaysia misalnya, memulai dengan membuat Computer Missuse Act (CMA) yang diundangkan tahun 1997 namun baru dapat berlaku sejak tahun 2000. Setelah membuat CMA, berturut – turut sesuai kebutuhan Malaysia membuat Telemedicine Act, E-Commerce Law, dan sekarang sedang dalam proses pembuatan Cybercrime Act. Meskipun terjadi perbedaan dalam prioritas pembuatan cyberlaw, arah penyediaan perangkat hukum makin menuju pada dua undang – undang pokok yang mendasari pemanfaatan teknologi informasi, khususnya Internet, yaitu penyediaan undang – undang yang mengatur masalah transaksi yang dilakukan melalui Internet, dan undang – undang yang mengatur pencegahan dan penindakan atas kejahatan yang menggunakan teknologi informasi sebagai alat maupun sasaran. Selain kedua undang – undang tersebut, ada berbagai macam ketentuan yang mengatur pemanfatan Internet baik pada level undang – undang semacam Telemedicine Act di Malaysia atau swa-pengaturan oleh komunitas seperti pengaturan Nama Domain yang cukup diatur oleh cc-TLD saja. Jika kita sepakat mengikuti trend dunia, maka draft awal RUU IETE yang semula dibuat oleh Lembaga Kajian Hukum Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKHT-FHUI) sebenarnya sudah berada pada jalur yang benar. Konsepsi dasarnya adalah menyediakan perangkat hukum yang mengakui catatan transaksi elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan maupun dalam perikatan yang memiliki konsekuensi hukum. Bahwasanya sebagian besar transaksi elektronik terjadi pada media Internet, bukan berarti bahwa RUU IETE hasil kajian LKHT FHUI ini dimaksudkan sebagai justifikasi untuk menjadi solusi bagi diboikotnya transaksi kartu kredit via Internet dari Indonesia, sebagaimana dikatakan oleh salah satu petinggi Kementrian Kominfo di atas.
Adanya kekurang-pahaman mengenai bagaimana sebaiknya membuat kerangka hukum di bidang teknologi informasi inilah yang menjadi salah satu pendorong digabungnya dua RUU yang sebetulnya sifat dan semangatnya berbeda satu dengan lainnya. Maka lahirlah evolusi nama RUU dari semula RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI ) dan RUU IETE menjadi RUU Informasi, Komunikasi dan Transaksi Elektronik (RUU-IKTE), dan akhirnya menjadi RUU Informasi Dan Transaksi Elektronik (RUU-ITE). Meski namanya menjadi RUU ITE, namun sebetulnya - menurut ahli bahasa yang menjadi salah satu anggota pembahasan interdep - nama ini merupakan kepraktisan dari RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU-IETE). Ketentuan dalam pembuatan undang – undang menyatakan bahwa harus ada kesesuaian antara nama dan substansi. Jika kemudian namanya kembali menjadi RUU IETE, maka mengacu pada ketentuan tadi, seharusnya substansi yang diatur-pun dikembalikan kepada semangat semula, tanpa ditambahi dengan dengan ketentuan lain yang tidak relevan.
Ternyata rancangan final RUU IETE yang diajukan kepada Presiden masih mengandung ketentuan – ketentuan yang tidak relevan dengan jiwa dan semangat pembuatan RUU IETE yang semula dimaksudkan hanya untuk mengatur transaksi elektronik. Beberapa bagian yang tidak relevan antara lain Bab VI tentang nama domain, hak kekayaan intelektual dan perlindungan hak pribadi (privasi), Bab VII tentang pemanfaatan teknologi informasi dan perlindungan sistem elektronik, Bab IX tentang peran pemerintah dan masyarakat, serta Bab XII tentang ketentuan pidana. Argumen yang mendasari pendapat ini selain karena bab – bab tersebut di atas di luar jiwa dan semangat pengaturan mengenai transaksi elektronik, juga karena pertama, pengaturan nama domain tidak perlu diatur dalam suatu undang – undang, karena sudah berjalan dengan baik dengan mekanisme pengaturan yang ditetapkan oleh ICANN pada cakupan internasional dan IDNIC di tataran nasional. Berbagai pihak mengakui kinerja IDNIC sangat bagus, dan tidak perlu lembaga lain yang ikut – ikutan mengatur masalah nama domain. Kedua, pengaturan mengenai hak kekayaan intelektual sudah diatur dalam serangkaian undang – undang lain (UU 14/2001, UU 15/2001, dan UU 19/2002), sehingga walau hanya diatur dengan satu pasal sekalipun (pasal 27) ketentuan ini menimbulkan duplikasi dengan ketiga undang – undang tersebut yang sudah ada terlebih dahulu.
Ketiga, pasal 28 yang dimaksudkan untuk memberi perlidungan terhadap privasi individu selain kurang relevan dengan substansi informasi dan transaksi elektronik, juga masih sangat minim untuk dapat dikatakan sebagai alat perlindungan privasi individu. Permasalahan perlindungan privasi tidak sesederhana sebagaimana cukup diatur dalam satu pasal saja. Di Amerika Serikat, perlindungan mengenai privasi perlu dibuat undang – undang tersendiri, begitu pula di beberapa negara eropa. Kecenderungan makin tidak dipedulikannya pentingnya privasi di dunia maya menjadi permasalahan di banyak negara. Berbeda dengan Indonesia yang (berusaha) menyelesaikannya hanya dengan satu pasal, negara maju mengatasi perlunya perlindungan privasi individu tidak tanggung – tanggung, dibuat undang – undang tersendiri, karena mereka percaya inilah penghargaan dan perlindungan terhadap manusia.
Keempat, pada Bab VII yang terdiri dari 8 pasal (29 s.d. 36) sekali lagi terjadi kerancuan antara judul bab dan substansi yang diatur dalam pasal – pasal. Judulnya tentang pemanfaatan teknologi informasi dan perlindungan sistem elektronik namun isinya tentang larangan yang tidak relevan sama sekali dengan tujuan dari RUU IETE yakni mengakui catatan transaksi elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Pembelaan atas susunan Bab VII ini dapat saja diajukan seperti mencegah pemanfaatan secara negatif terhadap sistem elektronik, namun demikian penyusunan semacam ini dapat menimbulkan kerancuan pemahaman terhadap undang – undang itu sendiri, sebagai akibat tidak sinkronnya antara judul dan substansi.
Kelima, menjadi pertanyaan apakah bila tidak dicantumkan dalam undang – undang ini peran pemerintah dalam meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi tidak ada sama sekali? Demikian pula bukankah tanpa disebutkan dalam undang – undang partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan teknologi informasi sudah ada dan dirasakan manfaatnya jauh sebelum rancangan undang – undang ini dibicarakan. Memang ada banyak undang – undang yang muncul sesudah atau menjelang runtuhnya orde baru menegaskan peran pemerintah dan masyarakat. Namun hendaknya disadari bahwa sebagian besar atau hampir semua undang – undang tersebut mengatur bidang yang sebelumnya dikuasai pemerintah atau perusahaan milik pemerintah yang mengandung proteksi dan monopoli serta sangat minimnya keterlibatan masyarakat di dalamnya. Dalam hal teknologi informasi khususnya trasaksi elektronik, keterlibatan pemerintah selama ini sebetulnya kecil sekali, yang menonjol justru peran masyarakat yang tanpa diatur-pun sudah mampu mengembangkan pemanfaatannya. Pencantuman pasal 43 dan 44 menegaskan kembali betapa pemerintah masih ingin campur tangan kegiatan masyarakat yang sebenarnya sudah dapat diatur sendiri.
Keenam, jika dikaitkan dengan kecenderungan global dalam penyediaan perangkat hukum di bidang cyber, tidak jelas apakah pasal 48 s.d. 52 ini dimaksudkan untuk memerangi cybercrime secara total. Dipertanyakan demikian karena jika memang dimaksudkan untuk memerangi cybercrime, rasanya masih jauh dari mencukupi. Banyak ragam kejahatan cyber yang belum diancam hukuman dengan hanya lima pasal tersebut. Sebaliknya kalau dibiarkan seperti itu, pasal – pasal ketentuan pidana yang bermaksud memenjarakan mereka yang melanggar ketentuan dalam Bab VII menjadi tidak relevan lagi dengan jiwa, semangat, dan tujuan RUU IETE.
Jika sepakat dengan uraian di atas, dan bersedia melepas ego pribadi demi terciptanya perangkat hukum di bidang telematika yang implementable di lapangan, hendaknya beberapa item di atas dapat dijadikan masukan bagi tim ad hoc yang kelak akan dibentuk. Perbedaan pendapat dalam memandang apa dan bagaimana sebaiknya undang – undang dibuat hendaknya disikapi dengan perilaku akademik yang santun bukan dengan memarginalkan mereka yang berbeda pendapat. Apabila hal tersebut tetap dilaksanakan, menunjukkan betapa kerdilnya mentalitas birokrat pemerintah.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.