Telematika tidak hanya menjadi bagian dari gaya hidup manusia saja, tetapi ia juga dapat mempercantik kinerja pemerintahan. Demikian pendapat salah seorang pakar yang kebetulan juga birokrat dalam suatu diskusi mengenai impelementasi Telematika di organisasi pemerintah. Sejalan dengan makin meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap Telematika, dan banyaknya pendapat yang menyatakan bahwa Telematika akan menjadi lokomotif bagi terbentuknya era ekonomi baru, pertanyaan yang sering muncul adalah apakah Telematika dapat merubah tata kerja birokrasi? Jika jawabnya ya, bagaimana kira – kira bentuknya di Indonesia? dan apa saja kendala yang dihadapi dalam mengimplementasikam Telematika di pemerintahan.
Beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, Jepang, Korea, Australia, Kanada, dan Amerika Serikat sudah mulai menerapkan tata laksana kepemerintahan berbasis elektronik, yang disebut e-Government. Sebetulnya, e-Government dalam bentuknya seperti sekarang ini, bukan hal baru di negara – negara tersebut, karena sebelumnya hampir di setiap negara pasti ada Sistem Informasi Pemerintah (SIP). Tetapi, jika sebelumnya SIP ini bagaikan sekumpulan pulau yang tidak saling terhubung satu dengan lainnya, sekarang dengan munculnya Internet, terjadi integrasi antar sub-sistem pendukung SIP. Keterhubungan dan kesesuaian antar element di dalam SIP menjadi salah satu syarat bagi sukses tidaknya implementasi e-Government.
Selain membutuhkan keterhubungan dan kesesuaian, pada level strategis, impelementasi Telematika di pemerintahan juga menuntut dukungan pemimpin nasional serta komitmen untuk bersedia melakukan perubahan mendasar terhadap paradigma kekuasaan. Tidak dapat dipungkiri, masih banyak pejabat pemerintah yang menganggap dirinya adalah penguasa yang memiliki kewenangan membuat kebijakan dan keputusan, meski kadang keputusan yang dihasilkan tidak bijak. Pada kondisi seperti ini, proses administrasi pemerintahan yang telah diotomatisasi, menjadi tidak bermanfaat bila pada simpul – simpul proses tertentu diinterupsi hanya untuk memenuhi kepentingan kekuasaaan. Padahal, e-Government hanya akan berfungsi dengan optimal bila manusia pengelolanya juga mengikuti karakter Telematika yang bebas dari interest. Dengan demikian, keberhasilan impelementasi e-Government di negara – negara tersebut di atas, salah satunya adalah karena adanya kesediaan dari birokrasi dan cabang pemerintah lainnya untuk tunduk dan sepenuhnya taat pada perubahan yang mereka buat sendiri.
Di Indonesia, inisiatif penggunaan e-Government sudah diwujudkan oleh beberapa pemerintah kabupaten dengan membangun portal pelayanan publik. Pemerintah pusat sendiri sejauh ini masih berkutat pada ketidak- jelasan mengenai siapa yang memiliki wewenang koordinatif untuk menetapkan kebijakan nasional tentang e-Government. Belum tersedianya kebijakan nasional dan adanya ketidak jelasan siapa yang paling berhak menjadi lokomotif pembangunan e-Government menimbulkan potensi ketidak-sesuaian atar-lembaga pemerintah yang makin tinggi. Fakta menunjukkan terjadi banyak ketidak samaan dalam mendefinisikan e-Government. Ada yang berpendapat bahwa e-Government adalah menampilkan informasi lembaganya di Internet, dipihak lain, ada yang mengatakan bahwa e-Government adalah pelayanan pubilik secara online melalui Internet. Demikian pula ada kecenderungan masing – masing instansi ingin membangun sesuai seleranya sendiri. Jika kondisi demikian dibiarkan, bukan mustahil pulau – pulau informasi yang sudah ada akan tetap menjadi pulau yang walau sudah dapat terhubung satu dengan lainnya, namun tidak memberi manfaat kepada masyarakat.
Mengantisipasi hal tersebut, sekelompok pakar dan aktivist di bidang Telematika mengadakan diskusi intensif guna mengidentifikasi aspek – aspek yang terkandung dalam e-Government, tidak hanya yang bersifat teknis, namun juga menyangkut aspek non-teknis seperti perubahan manajemen pemerintahan, sumber daya manusia, implikasi terhadap regulasi yang ada, hingga sosialisai kepada lingkungan pemerintah dan masayarakat. Dari identifikasi ini selanjutnya dirancang strategi pembangunan e-Government di mana di dalamnya termasuk membangun model – model e-Government dari tingkat pusat hingga daerah.
Banyak sekali tantangan dan hambatan yang menghadang dalam merealisasikan e-Government di Indonesia. Dari yang relatif mudah diatasi seperti kelangkaan infrastruktur telekomunikasi, belum tersedianya aplikasi, masih mahalnya harga perangkat, hingga yang sulit dirubah yaitu perilaku birokrat dan masyarakat yang selama ini diketahui tidak transparan dan tidak efisien. Satu hal yang sering dilupakan oleh kita semua adalah menetapkan tujuan ketika kita mengerjakan segala sesuatu. Bagi Singapura tujuannya jelas, sebagaimana dikatakan oleh Lee Kua Yew: “meningkatkan kemakmuran masyarakat dengan memberi pelayanan publik yang murah, cepat dan akurat”. Sayangnya, hal seperti ini belum pernah muncul dari pemimpin kita. Lalu kapan kita dapat memiliki e-Government? Jawabannya masih kita tunggu.
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Country Advocate GIPI – Indonesia,
Anggota Mastel
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.