Tadi malam, Kamis 21 September 2006, saya termasuk salah satu dari sekitar 30-an orang yang diundang salah satu operator layanan selular yang baru saja meluncurkan layanan 3G-nya, untuk menjadi responden sebuah riset layanan 3G.
Di undangan tertera acara dimulai pukul 18.30, tetapi ketika jam sudah menunjukkan waktu undangan, petugas masih mengutak-atik notebook di podium. Tiga puluh lima menit sesudah lewat dari 18.30, acara dimulai dengan suguhan penyanyi cantik yang mengalunkan lagu jazzy diiringi trio denting piano, saksopone, dan gitar betot. Setelah lagu dimulai baru dipersilakan mengambil makanan yang telah terhidang. Mas MC yang berambut kribo, mengundang seorang Ibu yang menjabat sebagai VP untuk memberikan sambutan sekaligus membuka acara tersebut.
Sambutan usai, dilanjutkan dengan penjelasan mengapa kami diundang, dan bersamaan dengan itu petugas membagi tas kertas berisi….. HP baru. Setiap tamu mendapat 1 buah HP. Saya kebagian HP yang bisa dilipat dari suatu merek yang belum pernah saya memilikinya. Kemudian kami semua dipersilakan membuka, mengisinya dengan SIM-Card,memasang Batere dan menghidupkannya. Mungkin karena baru pertama kali membuka HP baru dari merek tersebut, saya tidak begitu lancar memasang menginstall HP yang saya terima. Mungkin karena terbiasa membaca manual dulu sebelum mengotak – atik sesuatu barang elektronik, sementara buku manual-nya tidak saya temukan dalam paket tersebut, sehingga akhirnya seorang petugas cantik membantu saya.
Setelah terpasang dan dihidupkan, peserta diminta untuk mencoba saling menelepon. Di sinilah mulai terjadi kekhawatiran saya selama ini, sambungan tidak berhasil. Saya call ke nomor HP 3G-nya Mas HN, Mas Eko Indrajid, dan Bang Renee yang duduk di semeja, ndak nyambung. Begitu juga ketika mencoba menelepon nomor-nya Mas Hendro Wiyono yang duduk di meja sebelah, sami mawon. Frustasi mulai menjalar di kepala saya, diundang , datang dan saya pikir mau enjoy, eh malah sumpek. Lelah mencoba menghubungi nomor-nomor 3G yang ada di ruangan, saya coba menghubungi nomor selular operator lain, ternyata tidak menyambung, saya pikir pasti interkoneksi 3G-nya belum berfungsi. Hal yang sama – tidak berhasil nyambung – ketika saya coba menelpon nomor telepon rumah, padahal menggunakan HP GSM berhasil nyambung (nomor tujuan sedang tidak dipakai).
Sementara presenter sedang mengajarkan bagaimana menggunakan fitur 3G, saya mencoba browsing, beberapa kali dicoba baru berhasil landing ke situs operator tersebut. Mau nyoba video streaming, eh yang selalu muncul pesan “error 503 data sever not available”. Mencoba masuk ke mail.yahoo.com sama saja tidak bisa going through. Alhasil saya berhenti coba – coba akses layanan 3G dan beralih memahami fitur HP baru tersebut. Inipun sama saja. Mungkin pembuatnya sudah berupaya membuat sangat user friendly, tetapi karena di kepala saya sudah ada “mental barrier” (saya lupa siapa yang pertama kali mengatakan istilah ini); karena terbiasa dan sudah enak dengan fitur produk tertentu, sehingga ketika disodorkan produk lain, selalu mengacu kepada produk yang sudah lama dipakainya; maka saya merasa HP baru ini bukan membuat lebih nyaman, tetapi malah lebih ribet.
Di tengah perasaan sudah mulai tidak enak hati, datang dan duduk di sebelah saya seorang wanita muda menanyakan bagaimana dengan uji cobanya. Langsung saya tanya, kenapa kok akses sulit? Dijawabnya, ya Pak untuk demo malam hanya disediakan 8 (delapan) line (artinya pada saat bersamaaan hanya bisa digunakan untuk 8 sambungan). Bah, macam apa ini, kalian main – main. Lha wong yang diundang lebih dari 30 orang, kenapa fasilitas sambungan yang disediakan hanya untuk 8 sambungan saja, mestinya paling sedikit 15 lah…. Setelah sang nona muda beranjak (mungkin tidak tahan menghadapi sergahan saya) datang dua orang lelaki berpangkat GM dan GM. Mereka menanyakan hal serupa kepada saya.
Mendengar pertanyaan serupa, klise, dan tidak inovatif, saya spontan mengatakan, mohon maaf saya tidak dapat ikut berpartisipasi menjadi responden beta tester, dan ini HP saya kembalikan. Alasan yang saya kemukakan, menu HP-nya ribet, saya susah menggunakannya. Kemudian saya langsung pamit dan pergi diiringi pandangan setengah tidak percaya dari para petugas, lha wong dikasih HP latest technology dengan harga tak kurang dari 3 juta kok malah ditolak…..
Dalam perjalanan menuju rumah, saya menulis butir-butir pengalaman tadi, apa yang dapat saya sumbangkan kepada operator 3G lain sebagai lesson learned dari serangkaian acara launching 3G.
Operator 3G atau konsultan yang ditunjuk melaksanakan riset, lupa bahwa kemungkinan ada beberapa responden yang memiliki “mental barrier” sudah terbiasa dengan gadget tertentu dan sulit untuk berpindah ke gadget lain. Seyogyanya, sebelum atau bersamaan dengan undangan ditanyakan kepada calon responden apakah sudah familiar dengan handset 3G merek tertentu yang akan diberikan sebagai alat test, atau adakah preferensi terhadap gadget tertentu yang sama – sama memiliki fasilitas 3G. Mereka (operator dan konsultan) mungkin lupa bahwa gadget yang 3G ready sudah lebih dulu tersedia di pasaran sebelum layanan 3G ditawarkan.
pesiapan launching seyogyanya perfect, launching penting karena merupakan etalase pertama sebelum calon pelanggan masuk perangkap, terpikat, dan akhirnya tidak dapat lepas dari layanan 3G. Lha kalu launching-nya saja amburadul (sound system kualitasnya jelek bunyi kresek-kresek, acara dimulai tidak tepat waktu, peserta tidak tahu agenda acara), kapasitas sambungan yang disediakan tidak sebanding dengan probabilitas akan terjadinya sambungan selama acara, materi presentasi menjemukan, tidak ada panduan tertulis yang dibagikan kepada peserta (dipikirnya semua peserta sudah mahir ber-HP-ria), dan lain – lain.
melihat rata – rata luasan display handset 3G ready kecil – kecil, saya memerkirakan layanan yang akan ramai hanya dua: video call dan MMS. Layanan browsing internet, hanya akan ramai di masa awal ketika baru diperkenalkan, dan segera menjemukan ketika akhirnya pelanggan sadar bahwa mata mereka harus selalu dipicingkan untuk dapat melihat isi informasi yang tampil di layar (terutama jika ada teks-nya). Dari sini, dan jika prakiraan saya mendekati kebenaran, ada baiknya operator 3G segera melakukan edukasi besar-besaran kepada masyarakat, dan ini juga merupakan peluang bagi produsen handset 3G agar segera meluncurkan produk terbarunya yang memiliki layar display cukup lebar.
tarif layanan 3G di luar voice dan SMS perlu segera mendapat perhatian BRTI untuk segera diatur. Jika panggilan hanya di antara pelanggan sesama operator, maka untuk layanan video call, Video streaming, Internet Browsing dan MMS tidak menjadi isu. Namun akan menjadi serius bila pelanggan operator A menikmati layanan video streaming, dll. dari operator B. Terjadi interkoneksi layanan. Berapa tarif interkoneksi untuk layanan semacam ini?. Contoh, bila operator B menerapkan harga ritel Rp. 250,- per Kbps, dan Operator A menerapkan harga Rp. 400,- per kbps, maka ada kemungkinan pelanggan operator A akan ramai – ramai menjelajah konten video streaming (nonton pilem) yang disediakan oleh operator B, bukan?
ketentuan 6 menit pertama video call dan komunikasi data tidak dikenakan tagihan (?) dapat berpotensi resiko, pelanggan akan berhenti bicara pada menit ke 5.59 dan setelah itu menyambung lagi untuk berbicara gratis enam menit berikutnya, demikian seterusnya. Jika hal ini terjadi, operator 3G pasti akan rugi.
Saya belum melihat konten – konten 3G yang merupakan produk saudara – saudara kita sebangsa dan setanah air. Yang tersedia baru hasil karya oom dan tante serta sepupu kita yang punya ID Card amerika, eropa, jepang, korea dan negara lain. Apakah produk konten karya dalam negeri tidak layak menjadi partner operator 3G. *****