Ditengah duka nasional atas gempa yang melanda saudara kita di Yogjakarta, izinkan saya mengucapkan rasa duka dan bela sungkawa kepada keluarga korban, seraya berdoa agar mereka semua yang dipanggil oleh Tuhan YME mendahului kita semua melalui gempa ini diampuni dosa-dosanya dan diberikan tempat yang layak di sisiNya.
Yang masih diberi kesempatan lebih lama menikmati alam dunia harus terus bergerak, beribadah, meningkatkan iman dan taqwa; memperbaiki sistem kehidupan, diri sendiri, lingkungan dan masyarakat, agar kualitas kehidupan makin baik, sejahtera. Dalam rangka memperbaiki sistem kehidupan masyarakat inilah posting ini saya layangkan ke hadapan Anda semua.
Cerita bermula dari pertanyaan “berapa harga sebuah kesabaran?”
Bagi saya – MasWig – kemaren, Selasa 29 Mei 2006, harga sebuah kesabaran bernilai Rp 150.000,- per satu jam. Mengapa demikian?
Senin, 22 Mei 2006 saya mengantar anak bungsu – lelaki – ke Kantor Imigrasi Tangerang (Kanim) untuk mengurus Paspor baginya, karena anak saya ingin melihat suasana sekolah di Singapore. Setamat SMP dia ingin melanjutkan SMA-nya di Singapore. Datang di Kanim sekitar jam 10, karena pertama kali ke situ, perlu semenit-dua untuk orientasi suasana. Ternyata suasana cukup ramai. Saya berusaha mencari loket informasi, ada dua, dan langsung bertanya bagaimana prosedur aplikasi paspor, dijawab dengan simpatik oleh seorang Bapak Petugas dengan menunjuk pada papan pengumuman yang menampangkan proses pengurusan paspor.
Karena yakin bisa mengurus sendiri, kami langsung ke loket pembelian formulir dan membeli seharga Rp.15.000,-. Setelah mengantri barang sepuluh menit, akhirnya memperoleh meja untuk kami dapat mengisi formulir dengan nyaman. Selagi mengisi formulir, ada seorang pria berseragam Kanim (yang kemudian saya tahun dia orang dalam, pegawai Kanim yang nyambi jadi calo, padahal di banyak tempat ditempel agar tidak berhubungan dengan calo, langsung ke loket) yang bertanya dengan ramah “ada kesulitan?, dapat saya bantu?” dengan sopan pula saya jawab “tidak ada Pak, kami dapat mengisinya” . lalu si pria ini mendekati dua orang Ibu di sebelah kami, bertanya serupa dan para Ibu ini minta tolong diisikan. Si pria membantu mengisinya.
Selesai mengisi formulir kami langsung menyerahkannya kembali ke loket, dan mendapat tanda terima dengan pemberitahuan supaya balik lagi hari Selasa 30 Mei 2006. Saya tanya mengapa lama sampai seminggu? Ibu di loket menjawab “ini sudah siang Pak, pelayanan tutup jam 12.00, besok kami libur panjang.”saya lihat jam dinding baru 11.25. masih ada 35 menit lagi sampai tutup. Tidak mencoba berargumen kami hanya berujar “Ya Bu, terimakasih”. Selagi mau beranjak ke luar gedung, saya mampir dulu mencari toilet, eh ternyata terlihat dua Ibu yang tadi dibantu pria berseragam Kanim tadi sudah duduk diwawancara dan dipotret. Mulailah saya mencium aroma percaloan orang dalam. Tetapi karena tidak sedang dalam kondisi kepepet, akhirnya kami pulang.
Selasa, 30 Mei 2006, dengan harapan dapat selesai cepat, karena sehari itu saya punya empat acara meeting, pukul 6.15am kami sudah meninggalkan rumah menuju Kanim. Tepat pukul 07.00 kami sudah sampai di depan Kanim dan pintu kantor baru saja dibuka, di dalamnya saya lihat sudah ada beberapa pegawai. Belum ada warga lain yang akan minta pelayanan, sehingga boleh dikata kami orang nomor satu yang hadir di Kanim pagi itu. Bertanya kepada seorang petugas tentang proses aplikasi paspor sambil menunjukkan kertas tanda terima mendapat jawaban “taruh saja di situ Pak, nanti kami panggil, pelayanan dimulai pukul 08.00”. Satu dua orang lain mulai berdatangan. Aksi yang sama mereka lakukan, hingga akhirnya tumpukan kertas tadi cukup tebal. Tidak ada nomor urut. Pukul 8.00 lewat sudah, namun pelayanan belum dimulai, satu-dua petugas terlihat mondar-mandir di antara warga. Pukul 08.30 layanan baru dimulai. Keanehan mulai muncul ketika satu persatu mulai dipanggil, kertas kami berada di paling bawah tumpukan, tetapi kami mendapat nomor 23, orang yang datang sesudah kami malah mendapat nomor kecil. Dari loket ini, kami menyerahkan berkas ke loket pengambilan sidik jari. Perlu waktu setengah jam untuk mengantri ambil sidik jari. Layanan sidik jari dimulai pukul 08.45, anak saya dipanggil pada urutan ke lima, empat terdahulu, tidak termasuk yang ngantri di loket pertama, berkas mereka di bawa oleh pria berseragam Kanim dan pria berbaju sipil biasa (ternyata dari perusahaan jasa pembuatan paspor).
Kesabaran mulai diuji ketika kami harus menunggu giliran wawancara dan photo. Tepat jam 09.00 sidik jari selesai dan saya nyelonong masuk ke ruang wawancara menanyakan giliran kami. Pria petugas Kanim menjawab “tunggu saja di luar, nanti kami panggil”. Ternyata panggilan pertama bukan untuk anak saya tetapi untuk serombongan orang yang dibawa oleh pria sipil biasa (calo, jasa pengurusan paspor). Sesudah itu, silih berganti antara rombongan “calo luar”dan “calo orang dalam” membawa masuk berkas untuk diwawancara. Alhasil, anak saya sudah mulai tidak sabar, demikian juga dengan orang – orang lain yang antri. Mendadak saya lihat pria petugas yang hari Senin 22 Mei lalu menawarkan bantuan. Sambil lalu saya hampiri dia dan menanyakan mengapa tidak dipanggil – panggil sementara kami datang paling awal, jawabnya datar saja “ini melanjutkan layanan yang kemaren belum selesai” lalu saya tanya “emang kenapa kok lama” dijawab “sekarang pakai biometrik, online” di ujung kalimat dia kembali menawarkan bantuan “ada yang dapat saya bantu”, sambil lalu saya tanya, “apa yang Bapak dapat bantu?” dia jawab “biar cepet selesai Pak”. Saya lihat jam sudah 10.30, satu setengah jam menunggu, saya menukas “yah nanti Pak jam 11.00, eh tapi berapa yang saya mesti berikan untuk bantuan Bapak?”dia menjawab “ndak banyak Pak, tiga ratus ribu, paspor hari ini selesai” lalu saya jawab “ok Pak ntar ya jam 11.00”. Saya menghitung biaya yang sudah dikeluarkan, formulir 15 ribu, buku paspor 48 halaman 200 ribu (pakai kwitansi) plus 60 ribu entah untuk apa, resmi bayar di kasir tetapi tidak ada kwitansi. Kalau saya nambah 300 ribu lagi berarti biaya paspor jadi 575 ribu.
Jam 10.45 anak saya dipanggil, masuk ruang wawancara, hanya dua menit dicocokkan datanya dan lima menit untuk ambil gambar. Total sambil nunggu giliran difoto 15 menit. Jam 11.00 si Bapak tadi menghampiri saya dan menanyakan masihkah saya perlu bantuannya, saya jawab “maaf Pak sudah tidak perlu lagi”. Keluar dari ruang wawancara kami harus mengembalikan nomor ke loket pertama, dan diberi tahu pengambilan paspor hari Jum’at 2 Juni 2006. Jika dihitung dari tanggal 22 Mei 2006, maka diperlukan waktu 12 hari kalender (atau 9 hari kerja) untuk proses aplikasi paspor dengan cara normal, sementara jika bersedia membayar lebih, proses pembuatan paspor dapat selesai 2 jam (kasus dua Ibu).
Saya memilih cara normal dengan alasan memberi pelajaran bagi anak saya agar mengerti proses pelayanan publik di negeri ini, selain ikut berpatisipasi memperbaiki birokrasi. Ternyata Teknologi Informasi (biometrik dan online) tidak sepenuhnya mampu mengubah sistem layanan publik, bila masih ada mental calo di lingkungan internal dan di sebagian masyarakat. Sebagian masyarakat lain, juga masih senang dengan cara potong kompas, tidak menghormati upaya orang lain yang bersedia antri mematuhi peraturan. Sistem layanan paspor Kanim, tidak membedakan layanan melalui jasa (calo) dan langsung yang bersangkutan, kecenderungannya, pemohon aplikasi sendiri, dikalahkan oleh pemohon alikasi yang melalui calo, apalagi jika calonya orang dalam.
Saya sadar, menghapuskan calo (dalam dan luar) sungguh sulit, namun menggabungkan layanan dalam satu jalur menjadi tidak adil bagi orang seperti kami yang patuh dan tidak mau berurusan dengan calo. Jika boleh saran, sebaiknya dibuat dua jalur layanan: cepat, via jasa calo, dan tentu saja lebih mahal; dan normal diurus sendiri, tarif resmi. Saya berhemat Rp. 300 ribu untuk tidak berurusan dengan calo orang dalam, dengan kompensasi harus menunggu hingga dua jam untuk mendapat giliran diwawancara dan photo. Semoga Jumát 2 Juni 2006 nanti Paspor anak saya sudah selesai dan kami dapat mengambilnya dengan cepat.*****
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.