Menjelang Rapat Umum Pemegang Saham suatu perusahaan milik negara, di mana lazimnya akan dilaporkan hasil kerja selama periode setahun sebelumnya dan agenda penting lainnya yang perlud dibahas seperti pergantian pengurus, ada salah seorang pengurus serikat pekerja yang menyuarakan pesan yang maksudnya kurang lebih “individu yang duduk dalam kepengurusan perusahaan baik sebagai direksi atau komisaris sebaiknya membawa kemajuan bagi organisasinya; bukan sebaliknya, individu menggunakan organisasi sebagai alat untuk memajukan dirinya”. Pesan tersebut dapat menggambarkan suasana yang sering terjadi, adanya kekhawatiran, dan menghimbau agar pengurus perusahan tersebut tidak meniru praktek yang sering terjadi yang membuat serikat pekerja tersebut khawatir.
Sudah menjadi pengetahuan umum banyak orang ingin menjadi pemimpin organisasi terkenal, baik itu partai politik, lembaga swadaya masyarakat, entitas bisnis, maupun lembaga publik. Bukan semata – mata untuk memberi kontribusi bagi kemajuan lingkungan internal dan eksternal organisasi, tetapi, meski tidak selalu terungkap, selalu ada kepentingan pribadi yang ingin dicapainya melalui kedudukannya dalam organisasi tersebut. Hubungan individu anggota organisasi dengan organisasi sebagai kumpulan individu yang memiliki persamaan kepentingan sering kali sulit dipisahkan (Jones, 2004).
Kreitner dan Kinichi (2004) bahkan menyebut organisasi adalah kenyataan sosial yang memiliki kriteria sosial sebagaimana dinyatakan oleh Greenberg dan Baron (2003) yakni ada interaksi sosial antara dua orang atau lebih, adanya struktur interaksi yang stabil, perlu ada minat atau sasaran bersama di antara para anggotanya, dan tiap anggota perlu membedakan diri dengan yang bukan anggota. Dalam hubungan seperti tersebut di atas, jelas terlihat antara organisasi sebagai lembaga dan individu sebagai pengelolanya dapat saling memanfaatkan satu terhadap lainnya. Persoalannya berkaitan dengan etika, adakah batasan yang dapat membedakan kepentingan individu dan kepentingan organisasi? Dalam konteks kini, ketiadaan, kekaburan atau rendahnya pemahaman terhadap batasan tersebut dapat berujung pada tindakan korupsi jabatan.
Di pihak lain, interaksi organisasi dengan lingkungan luarnya, seringkali memberi berkah sekaligus hujatan bagi perusahaan. Jurnalis seringkali memberi atribut positif kepada perusahaan atas aksi mereka yang dinilai memberi manfaat bagi masyarakat. Atribut positif yang terus terakumulasi ini lambat laun menjadikan organisasi tersebut diberi status sebagai organisasi selebriti (Rindova et all, 2006). Rein, Kotltler dan Stoller (1987) memberi pengertian tentang selebriti: individual or organisation whose name has attention-getting, interest-riveting and profit generating value. Individu dalam organisasi selebriti (celebrity firm) berpeluang menjadi individu selebriti (individual celebrity) apabila tindakan yang dilakukannya sejalan dengan strategi dan langkah organisasi dan selalu berusaha agar status selebriti organisasinya tidak hilang. Sebaliknya meski duduk di dalam kepengurusan organisasi selebriti, individu lainnya tidak serta merta menjadi individu selebriti jika tidak dapat memanfaatkan posisi organisasi sebagai organisasi selebriti.
Joel Bakan dalam “The Corporation, The Pathological Pursuit of Profit and Power” (2004) mengingatkan bahwa acap kali kita tidak menyadari bahwa di sekeliling kita sudah dipenuhi oleh produk – produk organisasi selebriti. Apa yang kita makan, minum, lihat, kenakan, dengar, kendarai, pikirkan, kerjakan hampir semuanya didominasi oleh produk korporasi yang sebagian besar sudah menjadi organisasi selebriti. Kehidupan, perilaku dan budaya kita tanpa disadari dipengaruhi oleh “kekuasaan” para selebriti, baik itu selebriti politik, seni, teknokrat, dan lain sebagainya. Bakan juga mengingatkan bahwa dengan statusnya sebagai korporasi yang mencapai status sebagai organisasi selebriti seringkali para eksekutifnya justru merusak reputasi dirinya maupun organisasinya. Kasus Enron dan WorldCom, atau skandal politik yang melanda para elite merupakan contoh hal tersebut.
Dalam konteks Indonesia, dapatkah kita dengan mudah mengenali institusi atau perusahaan mana yang layak memperoleh status sebagai organisasi selebriti? Mereka yang nama dan sosoknya disukai publik, dapat mengeratkan berbagai kepentingan yang berbeda, atau dapat menghasilkan keuntungan materi dan non-materi pantas dinobatkan sebagai organisasi selebriti. Jika dikaitkan dengan pendapat Jones (2004) di atas, bukankah individu dalam organisasi selebriti berpeluang menjadi individu selebriti?
Di sinilah kekhawatiran rekan tadi beralasan. Apakah bila seseorang menjadi pengurus organisasi selebriti dan dirinya menjadi individu selebriti lantas hal demikian layak kita haramkan? Jawabnya, individu pengurus organisasi selebriti yang memanfaatkan status organisasi guna meningkatkan nilai dirinya (menjadi berstatus selebriti) masih dianggap wajar bila dalam upayanya tersebut berpegang pada etika sehingga dapat membedakan kepentingan organisasi dan individu. Kegagalan individu selebriti sebagai pengelola organisasi selebriti yang disebabkan oleh ketidak-mampuan memegang teguh etika akan menghancurkan status dan reputasi organisasi selebriti, selain menghancurkan reputasi dirinya sendiri****
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.