Pertahanan dan Keamanan Nasional membutuhkan ketersediaan berbagai sarana publik termasuk Telekomunikasi. Telekomunikasi digunakan untuk mendukung berbagai aktivitas masyarakat melalui penyampaian pesan dan informasi. Menyusul memudarnya era ekonomi industri, informasi sudah mulai menunjukkan peran pentingnya bagi pembentukan era ekonomi baru, ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Di sisi lain, informasi juga berperan signifikan dalam proses pendidikan masyarakat, penyebar-luasan pengetahuan, perkuatan budaya, dan pemupukan ideologi bangsa yang pada akhirnya akan memengaruhi pembinaan mental dan karakter anak bangsa. Dengan kata lain, posisi telekomunikasi menjadi sangat strategis bagi Republik Indonesia, karena telekomunikasi memfasilitasi penguatan sistem pertahanan dan ketahan nasional.
Permasalahan
Meskipun disadari bahwa posisi telekomunikasi sangat strategis, namun kinerja telekomunikasi nasional masih di bawah standar yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari statistik kinerja telekomunikasi sejak kemerdekaan hingga enam dekade sesudahnya.
Di antara banyak faktor penyebab, beberapa di antaranya adalah regulasi, ketersediaan modal, struktur pasar, dan perilaku industri.
Penyelenggaraan telekomunikasi sejak kelahirannya merupakan jenis layanan publik yang dikuasai pemerintah karena adanya pemahaman bahwa telekomunikasi merupakan kekayaan alam yang dimiliki negara dan digunakan sebanyak-banyaknya bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Dalam perjalanan waktu, pemerintah memberikan kekuasaan pengelolaan telekomunikasi kepada sebuah badan usaha milik negara (BUMN) untuk menjalankan fungsi penyediaan infrastruktur dan penyelenggraan telekomunikasi. Guna memastikan pelaksanaan mandat negara kepada BUMN dibuatlah regulasi yang memberikan koridor operasional. Dengan demikian secara sengaja terbentuklah struktur pasar dan perilaku monopoli.
Gobalisasi di lain pihak, mendesak agar pemerintah mulai mengizinkan operator lain untuk memasuki bisnis telekomunikasi. Para penganjurnya percaya bahwa kompetisi merupakan resep mujarab bagi mengatasi permasalahan rendahnya teledensity dan penyebaran layanan telekomunikasi. Ketika akhirnya pemerintah memberikan izin bagi operator telekomunikasi lain, persoalan teledensity dan penyebaran layanan ternyata belum juga terselesaikan. Muncul persoalan lain seperti, sulit dilakukannya keterhubungan antar-operator (interkoneksi), tarif yang mahal, keterbatasan sumber daya frekuensi, dan lain sebagainya.
Kesulitan interkoneksi dan mahalnya tarif telekomunikasi merupakan hambatan terbesar dalam meningkatkan teledensity dan penyebaran layanan. Jika demikian halnya, dan bila dibiarkan terus menerus, tidak ada kebijakan nasional untuk memperbaikinya, maka peran strategis telekomunikasi dalam mendukung sistem pertahanan dan ketahanan nasional perlu dipertanyakan. Dalam kata lain, mengingat dominasi telekomunikasi dibandingkan dengan aspek lain dalam mendukung sistem pertahanan dan ketahanan nasional, maka jika kinerja sektor telekomunikasi buruk (tercermin dari rendahnya teledensitas, sulitnya interkoneksi, mahalnya tarif) sistem pertahanan dan ketahanan nasional yang handal jangan – jangan tidak pernah akan tercapai.
Analisis Ekonomi-Politik
Pada tataran mikro, yang dapat dijadikan kambing hitam dari kelambatan kinerja pembangunan sektor telekomunikasi adalah inefisiensi yang luar biasa parahnya. Teori ekonomi dasar menyebutkan inefisiensi terjadi ketika input semakin banyak diasupkan ke dalam sistem namun output-nya tidak meningkat secara linier, atau untuk suatu target output tertentu dibutuhkan input yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan proses yang terjadi pada perusahaan lain sejenis. Artinya, terjadi penyerapan sumber daya di dalam sistem yang akhirnya lari entah ke mana (dead weight loss). Banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu telah melakukan kajian tentang sebab-musabab inefisiensi, namun belum ada satupun yang mujarab menyembuhkan penyakit inefisiensi yang menjangkiti BUMN Indonesia.
Jika ditarik ke tataran makro, kinerja telekomunikasi juga dipengaruhi oleh lingkungan makro yang selalu menunjukkan gerak turbulensi, dari intervensi penguasa politik kepada eksekutif BUMN, pengaruh krisis keuangan, perubahan sistem politik yang mengarah pada euforia politik sehingga karyawan yang seharusnya fokus pada bidang tugasnya mulai menyenangi demonstrasi untuk mengekspresikan keinginan mereka, hingga desakan globalisasi yang memberi angin segar bagi masuknya investor asing menguasai sektor strategis telekomunikasi. Perubahan lingkungan eksternal yang demikian kuat ternyata tidak mendapat respons positif dari lingkungan internal. Hal ini setidaknya tercermin dari perilaku bisnis operator dominan yang baru saja melepas status monopolinya (sambungan telepon lokal, jarak jauh, dan internasional).
Keengganan bekerja-sama dengan operator lain dalam hal interkoneksi yang ditunjukkan oleh beberapa pihak di lingkungan operator dominan merupakan cerminan dari ketakutan menghadapi persaingan. Ketidak-bersediaan menetapkan standar baru dalam menghitung tarif telekomunikasi dengan metoda berbasis biaya, dapat mengindikasikan masih adanya keberatan mengurai benang kusut inefisiensi, yang pada akhirnya dibebankan kepada operator lain dan atau pelanggannya sendiri.
Proses yang diharapkan akan terjadi dengan adanya perubahan sistem interkoneksi adalah peningkatan teledensitas dan penyebaran layanan. Hal ini dimungkinkan karena - dengan asumsi terjadi efisiensi - perubahan dari metoda bagi hasil (revenue sharing) menjadi berbasis biaya (cost-based) akan menurunkan biaya interkoneksi. Penurunan biaya interkoneksi berpeluang menurunkan tarif ritel yang harus dibayar pelanggan. Asumsi ekonomi menyatakan penurunan harga akan meningkatkan daya beli, peningkatan daya beli memberi peluang terjadinya peningkatan penjualan dan menambah pendapatan perusahaan. Pendapatan yang makin meningkat dikurangi biaya yang semakin efisien menghasilkan cadangan investasi bagi perluasan jaringan yang pada akhirnya menjawab permasalahan teledensitas dan penyebaran layanan.
Saran Kebijakan
Regulasi interkoneksi sudah dibuat. Terlepas dari kualitasnya, regulasi tersebut sebaiknya dilaksanakan dengan konsisten dan konsekuen. Untuk dapat memastikan regulasi interkoneksi berfungsi dengan baik, Regulator Telekomunikasi sebaiknya membuka diri bagi masukan dari masyarakat luas, terutama dalam proses evaluasi terhadap Daftar Penawaran Interkoneksi yang diajukan oleh tiga operator dominan.
Dalam jangka pendek penegakan regulasi interkoneksi yang baru saja diterbitkan akan merugikan pemegang saham operator dominan yang nota bene Pemerintah sendiri, namun dalam jangka panjang akan mendukung sistem pertahanan dan ketahanan nasional.
Jika regulasi tidak dapat ditegakkan, sekarang dan seterusnya seluruh pelanggan telekomunikasi akan dirugikan. Bila demikian, kegagalan menerapkan regulasi interkoneksi sama saja dengan melemahkan sistem pertahanan dan ketahanan nasional.
Agar semua pihak – operator dominan, operator baru, pelanggan, investor, dan pemerintah – diuntungkan dalam jangka panjang, perlu dikaji lebih mendalam prosedur interkoneksi yang diintegrasikan ke dalam lembaga penyedia layanan interkoneksi nasional. *****
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, Direktur INSTEPS & Ketua MASTEL
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.