Interkoneksi, keterhubungan antar operator penyelenggara jaringan telekomunikasi, merupakan suatu keharusan yang diamanatkan oleh Undang – Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi untuk memberikan jaminan kepada pengguna agar dapat mengakses jasa telekomunikasi. Ketika pasar telekomunikasi masih monopoli, interkoneksi tidak menjadi isu sensitif. Dalam pasar monopoli, penyelesaian (settlement) tagihan antar wilayah pengelolaan jaringan dilakukan dengan metoda sender keeps all, artinya pihak pemanggil (originator) memungut seluruh biaya percakapan, sedangkan jaringan penerima (terminator) hanya menyalurkan panggilan ke nomor tujuan. Metoda semacam ini layak dilakukan karena seluruh jaringan telekomunikasi nasional dimiliki oleh satu perusahaan.
Ketika pasar telekomunikasi mulai terbuka, ada operator lain selain operator yang sudah ada (incumbent), metoda sender keeps all menjadi tidak layak lagi. Potensi kerugian lebih besar terjadi pada incumbent, karena arah panggilan lebih banyak berasal dari pelanggan operator baru ke pelanggan incumbent dari pada sebaliknya. Maka dibuatlah kesepakatan baru yang disebut revenue sharing. Dalam metoda terakhir ini, incumbent menetapkan porsi pendapatan yang dikehendakinya ketika operator baru hendak ber-interkoneksi dengan jaringan miliknya. Mengingat status hukumnya sebagai BUMN dan dominasi dalam penguasaan pasar, incumbent memiliki kekuatan yang lebih besar dalam menetapkan persentasi bagi hasil dengan mitranya.
Dalam perjalanan waktu, metoda revenue sharing dianggap tidak fair, khususnya bagi operator baru, dan tidak mencerminkan efisiensi jaringan karena informasi tentang biaya sesungguhnya atas penyelenggaraan interkoneksi tidak dapat diketahui. Proporsi bagi hasil hanya ditetapkan berdasarkan kepantasan dan proyeksi pendapatan yang ingin diraih, tidak ada hitung – hitungan akuntansi biaya layaknya perusahaan menghitung ongkos produksi. Desakan perubahan dari berbagai kalangan khususnya industri selular ditambah dengan terjadinya trend perubahan regulasi telekomunikasi pada aras internasional, mendorong pemerintah mengajak stakeholders telekomunikasi untuk bersama–sama menyusun regulasi interkoneksi. Hasilnya, Menteri Komunikasi dan Informatika menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 8 tahun 2006 tentang Interkoneksi (Permen 8/06).
Prinsip Dasar
Permen 8/06 dimaksudkan untuk menjamin kepastian dan transparansi penyediaan dan pelayanan interkoneksi antar penyelenggara telekomunikasi. Karena menyangkut pengaturan sumber daya publik, ada prinsip dasar yang harus diacu dalam sebuah kebijakan publik. Ditinjau dari aspek ekonomi publik keberadaan regulasi baru harus memberikan value yang lebih baik dari sebelum adanya regulasi tersebut. Interkoneksi terkait dengan biaya, oleh karena itu acuan ekonomis yang perlu diacu adalah bahwa NPVb > NPCl, di mana NPVb adalah Net Present Value setelah adanya Permen 8/06, dan NPVl adalah Net Present Value sebelum ada Permen 8/06.
Selain itu, dari aspek makro, perubahan dari metoda revenue sharing ke penghitungan berdasarkan biaya aktual (cost-based) mencerminkan upaya peningkatan efisiensi industri. Dalam tataran ideal, operator jaringan telekomunikasi yang tidak efisien akan “didesak”oleh para mitra. Sesuai dengan teori ekonomi jaringan, ketidak-efisienan salah satu simpul jaringan (node), jika tidak dibuat suatu aturan pembatasan (guard policy) maka ketidak-efisienan tersebut ikut ditanggung oleh pihak lain (negative externalities). Contoh yang sering kita hadapi, keterlambatan jadwal terbang, akan berdampak negatif (keterlambatan) pada rute penerbangan selanjutnya.
Jika ditarik lebih jauh, Permen 8/06 dapat pula menjadi instrumen kebijakan untuk menurunkan tarif interkoneksi. Dalam rantai nilai telekomunikasi, penurunan tarif interkoneksi pada umumnya akan diikuti dengan penurunan tarif ritel (pada dasarnya tarif interkoneksi sama dengan tarif wholesale). Penurunan tarif ritel, berujung ke dua hal: pertama, peningkatan frekuensi percakapan, yang lajunya diperkirakan lebih tinggi dari laju penurunan tarif ritel sehingga menghasilkan peningkatan revenue; dan kedua sebagai akibat dari peningkatan revenue cadangan untuk investasi lebih besar, dengan asumsi tidak ada aliran investasi keluar dari sektor telekomunikasi, hal ini berarti akan menambah teledensitas.
Fakta Lapangan
Apa yang ideal dan menjadi dambaan tidak selalu menjadi kenyataan ketika suatu agenda publik sudah diimplementasikan di lapangan. Menyusul Permen 8/06, Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi menerbitkan SK Dirjen nomor 141/Dirjen/2006 (SK 141/06) tentang “Penetapan Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi Dengan Pendapatan Usaha 25% Atau Lebih Dari Total Pendapatan Usaha Seluruh Penyelenggara Telekomunikasi Dalam Segmentasi Layanannya Tahun 2006.” Bagi awam sekilas dapat membingungkan, intinya, dalam melaksanakan interkoneksi, operator jaringan telekomunikasi yang memiliki pangsa pasar sama atau lebih besar dari 25%, Daftar Penawaran Interkoneksi-nya (DPI) harus mendapat persetujuan dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
Di sinilah persoalan latent mulai terbuka. Permen 8/06 beserta lima lampirannya (total halaman mencapai 500 halaman lebih) dan regulasi lain terkait yang seyogyanya menjadi acuan dalam penerbitan DPI ternyata tidak sepenuhnya diacu. Hal ini diperkirakan karena dua hal: pertama, formula penghitungan biaya yang ditetapkan dalam Permen 8/06 (sesuai saran konsultan asing) ternyata sulit diaplikasikan, dan kedua operator dominan belum sepenuhnya siap dan ikhlas untuk mengubah sistem lama ke sistem baru. Hal kedua dapat dipahami mengingat kompleksitas organisasi dan jaringan. Namun hal pertama sulit dimengerti mengapa BRTI langsung menerima formula yang diajukan konsultan tanpa melakukan simulasi dengan sampel data yang representatif mencerminkan validitas populasi trafik interkoneksi. Argumen bahwa rumus tersebut sudah banyak dipakai di banyak negara tidak dapat begitu saja menjadi legitimasi bagi diterimanya rumus tersebut.
Akibatnya, dominasi incumbent masih kuat tercermin dalam DPI dan alih – alih menurunkan tarif interkoneksi, data yang berhasil kami kumpulkan menunjukkan interkoneksi antar operator selular terjadi penurunan antara 30% - 47% (peak time) dan rata-rata 2% (off peak time), sedangkan untuk interkoneksi dari selular ke jaringan tetap mengalami kenaikan antara 112% (long distance, offpeak) hingga 114% (lokal, peak time). Artinya, dengan berlakunya Permen 8/06 dan apabila DPI operator dominan disetujui BRTI, pengguna telepon selular harus membayar lebih mahal ketika hendak menghubungi pelanggan telepon tetap. Jika demikian, pertanyaannya, untuk siapa Permen Interkoneksi ini? Apakah sebagai legalitas bagi incumbent dan operator dominan untuk menaikkan tarif? Atau peningkatan pemerataan layanan telekomunikasi? *****
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.