Dalam suatu rapat pengurus Kadin Indonesia, kemudian juga pad suatu rapat pengurus MASTEL, kemudian juga ketika ngobrol bersama pengusaha keturunan India (anak buahnya Sri Nivasan) yang terjadi beberapa waktu lalu, muncul keluhan dari pengusaha produsen alat-alat elektronik anggota Asosiasi Industri Elektronika Telematika Indonesia (AIETI), yang intinya, sekarang ini bagi pengusaha produsen elektronika tidak ada insentif (untungnya) bila mau buat alat/produk sendiri, dibandingkan dengan mengimpor. Sebagai ilustrasi nyata, sebuah Handset Fixed-CDMA-2000-EVDO sudah dapat diproduksi di dalam negeri dengan total biaya (landed costs) $600 per unit. Dengan margin 20% (keuntungan wajar) harga jualnya (di dalam negeri) menjadi $750. Bandingkan dengan produk impor dari China atau Korea, dengan harga $600 (di dalam negeri) si penjual sudah mengantongi untung $150. Lha akhirnya produk dalam negeri tidak laku jual karena lebih mahal dibandingkan produk impor.Walhasil, lebih untung impor barang jadi dari pada susah – susah bikin sendiri bukan?
Pertanyaannya, mengapa hal tersebut sampai terjadi? Selidik punya selidik, ternyata impor bahan baku dikenai bea masuk 30%, sementara impor barang jadi bea masuknya nol persen. Artinya memang dari sononya (baca: Pemerintah ngkali ya...) sudah tidak berpihak pada upaya pembuatan produk dalam negeri. Jika sudah demikian, lalu apa yang mesti dikata?
Mau contoh lain? Teman saya (yang kebetulan juga dosen saya di UI) bulan – bulan terakhir ini sedang pusing, pasalnya usaha mebel di mana dia mewarisi dari orang tuanya sedang dirundung persoalan berad. Sebelum ini, dia selalu sukses mengekspor produk mebelnya ke Jepang, Amerika dan Eropa. Namun dengan diberlakukannya nol persennya bea masuk produk mebel impor ditambah adanya paralel impor dari produsen China ke Indonesia, untuk pasar dalam negeri yang memberi kontribusi 60% dari total revenue mulai terkikis, kalah sama DaVinci, kalah sama produk China yang murah namun kualitasnya jauh lebih baik. Di pasar luar negeripun tidak beda, kalah harga. Dia malah sedang mikir – mikir untuk turn around ganti bisnis dagang saja ndak usah jadi produsen mebel, tidak ada choan-nya. Teman istri saya yang juga punya bisnis pabrikan mebel malahan sudah lebih dulu menjual pabriknya yang cukup besar dan semi otomatis di bilangan ciputat, dan sekarang beralih jadi pialang saham.
Tidak mudah untuk mencintai Indonesia, bila hanya dipandang dari sudut penggunaan produksi dalam negeri versus impor. Contoh lain, menjelang bulan puasa saya beli sepatu sandal, semula saya pikir mau beli yang buatan dalam negeri, ternyata harganya terpaut lumayan, lebih mahal dari pada produk china. Karena terpengaruh ajakan Merry untuk mencitai produk dalam negeri, biar lebih mahal saya beli juga, eh baru dipakai beberapa hari (memakainya juga di rumah saja, kalau sore, sehabis pulang kerja) sudah rusak, akhirnya dibuang, dan ujungnya beli yang produk impor, total – total malah jadi lebih mahal.
Jadi, saya malah sedang berpikir mencari referensi, bukti empiris mengenai masihkah relevan untuk mengetengahkan dikotomi menggunakan produk dalam dan luar negeri yang dikaitkan dengan menyayangi negara sendiri. Pertanyaan saya: apakah kalau seseorang (atau sekelompok orang) menyukai produk – produk luar negerinya lalu dia/mereka identik dengan tidak menyayangi negaranya sendiri? Atau apakah dalam era kompetisi global seperti sekarang ini, kita masih harus berpijak seperti layaknya era Mahatma Gandi? Seberapa kuat? Atau bila dari sisi lain, apakah ada ukuran lain tentang nasionalisme yang melihat bukan dari penggunaan produk tetapi dari seberapa besar seseorang/sekelompok orang memberikan kontribusi bagi negaranya, terlepas dari apakah dia suka produk dalam negeri atau luar negeri. Lalu, apakah kemandirian selalu diartikan sebagai memenuhi segala sesuatunya sendiri? Apakah tidak boleh jika saya mengajukan suatu konsep baru mengenai kemandirian seperti misalmnya, “kemandirian adalah upaya individu/sekelompok orang untuk berkinerja secara optimal dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia, baik sumber daya yang dibangunnya sendiri, maupun yang dihasilkan oleh pihak lain”. Dengan definisi ini, terkandung makna bahwa di dalam suatu upaya mandiri bisa saja terdapat tangan – tangan tersembunyi (invisible hands) yang membantunya. Persoalannya, dikatakan mandiri bila pengelolaan oleh diri sendiri lebih besar dari campur tangan pihak lain.
Jadi maukah Merry, terus merugi demi keinginan untuk mandiri, demi wujudkan cinta kasih kepada negeri, sementara ada jalan lain yang memberikan keuntungan bagi diri sendiri maupun pihak lain, dan jalan lain inipun masih dapat dikatakan sebagai benuk lain mencitai negeri.??????
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.