Bahwa ICT di banyak negara telah membuktikan mafaatnya dan memberikan tambahan kekayaan bagi pembangun dan penggunanya, tidak diragukan lagi. Namun ketika ICT menimbulkan dampak persaingan sengit (hyper competition) masih banyak yang mendebatkannya. Boar (2001) termasuk salah satu yang mendukung analisa dampak ICT terhadap persaingan. Di pihak lain, Lucas (1998) MacDonald et all (2003), dan Masson et all (2003) mengakui adanya manfaat ICT, tetapi tidak berhenti sampai di situ karena justru menimbulkan paradoks. Yang menjadi persoalan, bagaimana secara bijak mengelola dampak ICT (baik positif maupun negatif) dan mengatasi paradoks yang muncul, atau justru menciptakan paradoks – paradoks baru untuk memajukan bisnis.
Paradoks pertama: Internet membuat dunia semakin kecil, memudahkan dan mempercepat komunikasi manusia di seantero belahan dunia. Dampaknya, banyak perusahaan kecil tumbuh dan berkembang, sebaliknya tidak sedikit juga perusahaan besar yang mengecil, bahkan bangkrut.
Paradoks kedua: Untuk mencipatakan keunggulan (dari pesaing), perlu segera dilakukan penghancuran (meninggalkan) keunggulan yang sudah dimiliki.
Paradoks ketiga: Untuk memperoleh uang, tidak diperlukan uang
Paradoks keempat: Menjual tidak menjadi kaya, membantu orang lain malahan menjadi kaya raya
Paradoks kelima: untuk menjadi inovatif, tidak perlu harus selalu mendengar keluhan pelanggan
Paradoks keenam: Untuk memanfaatkan ICT secara lebih efisien, Anda harus menggunakannya dalam jumlah besar.
Sebagaimana lazimnya suatu paradoks, ia muncul dikarenakan adanya ketidak-sempurnaan system. Atau dalam kata lain, perkembangan sektor-sektor yang satu dengan lainnya berkecepatan tidak sama. Akibatnya, meski di satu sektor (misal: ICT) kinerjanya melaju dengan kencang, namun karena implementasi ICT tidak dapat lepas dari sistem-sistem yang lain seperti ekonomi, sosial, budaya, hukum dan lain sebagainya, maka kondisi semacama ini berpeluang menimbulkan paradoks. Jangan lupa bahwa masyarakat dengan segala isinya merupakan eko-system yang saling bergantung satu dengan lainnya. Sayangnya, para penggiat di satu sektor, banyak yang hanya fokus pada sektor yang diketahuinya saja, tanpa berminat memerhatikan relasi atau dampaknya terhadap sektor –sektor lain. Orang yang semula belajar IT atau teknologi telekomunikasi, pada awalnya acapkali melihat segala sesuatunya dari kaca mata kepintaran yang dimiliknya (orang semacam ini disebut techies), Jika dalam perjalanan kariernya, tidak mengalami pendewasaan kecerdasan lingkungan, kecerdasan moral, dan kecerdasan manajerial (meski memiliki IQ, EQ, dan SQ yang tinggi), maka dapat diperkirakan probabilitasnya tinggi orang tersebut akan mengalami paradoks, yang apabila tidak segera disadari, maka dapat menjadi penghalang karier kehidupannya.
Paradoks ICT tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi merupakan fenomena global. Adat, tradisi, atau tatanan sosial selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Namun laju perubahannya relatif lebih lambat dari perubahan yang dialami teknologi (dhi ICT). Akibatnya? Paradoks. Lihat misalnya paradoks pertama dalam posting saya terdahulu. Di satu pihak ketersediaan Internet memberikan sarana baru dalam komunikasi dan transaksi. Dua hal ini jika diterapkan secara konsisten dan terukur dalam suatu organisasi akan mengubah kinerja. Namun demikian, karena organisasi juga merupakan sebuah system, peningkatan dan ketersediaan sarana komunikasi dan transaksi yang efisien (via Internet) ternyata masih membutuhkan sarana lain agar kinerjanya bertambah. Sarana lain tersebut antara lain: fleksibilitas, proses dan kualitas pengambilan keputusan; struktur organisasi; dukungan SDM; budaya organisasi; ukuran organisasi, cakupan wilayah bisnis, ketersediaan modal, dan lain sebagainya. Akan halnya menjadi paradoks, ternyata mengacu sederet persyaratan tersebut, yang berpeluang memanfaatkan Internet lebih besar untuk menumbuhkan perusahaan adalah kelompok perusahaan kecil, dan sebaliknya banyak perusahaan besar menjadi mengecil ukuran bisnisnya karena tidak mampu mengelola pemanfaatan Internet.
Selanjutnya paradok kedua, saya katakan untuk mencipatakan keunggulan (dari pesaing), perlu segera dilakukan penghancuran (meninggalkan) keunggulan yang sudah dimiliki. Uraian dari pernyataan ini, banyak eksekutif yang memiliki pola pikir linier. Jika sudah berhasil meraih keunggulan, maka akan seterusnya (atau setidaknya dalam waktu relatif lama) berada pada posisi unggul. Anggapan semacam ini benar bila: orang lain (pesaing) tidak melakukan apa-apa, atau orang lain (pesaing) melakukan banyak hal namun selalu gagal atau outputnya masih jauh di bawah kinerja yang diraih pemenang. Dalam pasar yang bergerak cepat, cenderung turbulence, lantaran digerakkan oleh roda – roda ekonomi bermesin ICT, akuisi terhadap mesin – mesin ICT dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk oleh pesaing. Demikian halnya akuisi terhadap informasi, bukan hanya si pemenang saja yang mampu memperolehnya. Internet yang tersedia di mana saja memungkinkan siapa saja para aktor ekonomi mengakses informasi. Informasi yang dikemas dengan konteks tertentu berubah menjadi knowledge yang pada gilirannya menjadi sarana meniru (imitative) strategi peraih keunggulan. Keadaan semacam ini menjadikan perlunya peraih keunggulan untuk segera meninggalkan kurva keunggulan yang dimilikinya dan beralih ke keunggulan baru. Intinya. Internet/ICT memacu perubahan semakin cepat, mereka yang berubah lebih lamban akan tergilas.
Jadi tidak selalu mirip dengan ketika kita masuk ke suatu perkampungan yang belum kita kenal sama sekali seperti pertanyaan Anda, karena pada dasarnya di mana – mana pada umumnya kampung memiliki struktur sosial yang mirip – mirip, hanya konteksnya saja yang berbeda. Persoalannya seberapa cepat kita mengidentifikasi berbagai kondisi yang ada di perkampungan tersebut, seberapa cepat kita menyesuaikan diri dengan kondisi kampung tersebut, dan seberapa kuat kita mampu mengubah lingkungan kampung yang tidak kita sukai (misal: kotor, jorok, asusila, tidak aman, dan lain sebagainya) menjadi lingkungan yang kita sukai.
Memang benar bahwa perkembangan ICT menjadi salah satu pendorong munculnya pioner – pioner tatanan dunia baru. Saya katakan salah satu karena memang bukan satu – satunya. Electronic Commerce, Eletronic Government merupakan dua contoh dari tatanan dunia baru. Internet menggantikan transaksi berbasis kertas menjadi nirkertas. Tatanan dunia baru lainnya? Anda lihat Google dan Yahoo, apa yang mereka nerdua lakukan? Apakah mereka menjual sesuatu? Apakah ketika anda melakukan search untuk mencari sesuatu harus membayar kepada Google? Apakah kita semua (anggota milis) harus membayar kepada Yahoo untuk menggunakan email address xyz@yahoo.com atau mailing list technomedia@yahoogroups.com Bagaimana model bisnis mereka? Jika saya tidak salah, bisnis mereka adalah membantu orang lain, membantu kita yang membutuhkan wadah berkomunikasi, membantu pengguna Internet untuk mencari sesuatu yang dibutuhkan. Apakah pendiri Google dan Yahoo penganut paham alturism? Rasanya tidak, mereka pebisnis tulen. Lalu dari mana mereka mendapat uang? Inilah paradoksnya, sementara majoritas orang masih berkeyakinan untuk mendapatkan uang harus dengan menjual sesuatu dan bermodalkan uang. Dengan ICT membuktikan, untuk mendapatkan uang dan bahkan menjadi kaya raya tidak perlu uang, cukup hanya membantu orang lain saja (menciptakan value yang tidak diberikan orang lain) sebagaimana dilakukan oleh pendiri Google dan Yahoo.
Dari uraian singkat di atas, muncul pertanyaan apakah akan ada efek split personality pada para pelaku ICT? Mohon maaf saya tidak mampu menjawabnya, saya belum menjadi ahli psikologi sosial, saya sama sekali tidak memiliki kompetensi ilmiah di bidang psikologi. Namun pertanyaan Anda yang menarik ini akan saya bawa ke dalam diskusi bersama teman – teman psikolog yang menggemari Internet ICT. Bila sudah memperoleh pengetahuan tersebut, meski sedikit, mudah – mudahan saya tidak lupa membaginya. Kata orang bijak: “jika engkau tahu satu ayat, dan substansi ayat itu bermanfaat bagi orang lain, ajarilah mereka”. Kata saya: “membagi pengetahuan yang kita miliki tidak menjadikan diri kita miskin.” *****
Salam dan semoga bermanfaat
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.