harinya Sabtu
tanggal natal bagi umat nasrani
berdua istri kutelusuri pinggir pantai banten
dari anyer, labuan hingga menes
sampai di saketi ak ke kiri
menuju malingping terus ke bayah
tepat sebelas ketika kami lapar
ikan roti dan bawal santapan siang kami,
ditambah cumi yang semuanya dibakar
menyumpal perut mengganti lapar
di pertigaan sumur tanjung lesung
ragu kami, terus atau ke kanan
ingin kami ke ujung pulau jawa ini
menyusur tepi barat hingga ke binuangeun
pantai di batas antara lebak dan pandegelang
dengan pelabuhan ikan besar
minim informasi membuat kami terus
menyusur jalan yang telah kukenal
tanpa henti hingga lohor memanggil
ada banyak mesjid
tetapi semua pintunya tertutup
entah mengapa,
kami menemukan satu yang terbuka
sungguh sayang mesjid bagus
namun kurang terawat,
dan lihatlah air untuk berwudlu
diambil dari air sawah yang kuning dan keruh
aku yakinkan kami bahwa ini air suci yang sah untuk berwudlu
lantai berdebu tak mengurungkan menunaikan kewajiban kami
sampailah kami di Malingping
kota kecamatan di persimpangan
antara Bayah dan Leuwidamar
mobil mesti kami isi bensin,
aku minta enam puluh ribu,
si akang memberi lima puluh tujuh ribu,
sudah penuh katanya,
aku menukas, terus isi hingga enam puluh ribu,
terbayang muka kecewa tidak berhasil menambah sedikit tambahan penghasilan.
tiga sore sampailah kami di Bayah,
kota kecamatan di tepian pantai selatan,
ombak mendebur pasir yang pasrah sepanjang tahun,
kami berhenti di rumah kenalan,
dua butir kelapa hijau terhidang,
habis pula airnya meski kami tidak haus,
cerita punya cerita,
rumah tersebut hendak dijual,
tempo hari ketika aku menginap di situ sudah pula mendengar rumah di tepi pantai dengan latar rumput yang total luas tiga belas ribu lima ratus meter persegi tersebut akan dijual,
kali ini penjaga menawarkan enam puluh ribu per meter, sudah termasuk rumah.
setengah empat,
kami meninggalkan Bayah menuju Pelabuhan Ratu,
enam puluh dua kilometer jauhnya,
dua puluh pertama jalan mulus,
menanjak,menurun berkelok, asyik bagiku mengemudi,
sesudah itu,
tiga puluh kilo berikutnya,
seperti melewati jalan di masa tiga puluh tahun lalu
jalan jeblok berkelok
batu dan aspal enggan bersatu
kerikil meloncat ketika ban menginjak
lubang besar tak malu menunjukkan dirinya,
serasa menguji ketrampilan pengemudi,
hujan rintik melicinkan sebagian jalan yang sudah mulai lenyap aspalnya,
kanan tebing, kiri jurang, di tengah hutan sunyi,
tempat strategis bagi perampok,
serasa menguji nyali kami yang lewat.
jalanan sepi, hanya satu dua kendaraan,
yang searah dengan kami hanya dua truk,
terkadang sepeda motor,
hingga cibareno siksaan jalan perjuangan berakhir,
kami berujar,
cobalah si jubir presiden suruh lewati jalanan ini,
atau pula, sang ketum partai beringin,
atau pula presidennya sendiri,
tidak tergerakkah mereka untuk memberdayakan masyarakat Banten Selatan,
aku percaya, kondisi seperti ini, hanya salah satu dari mungkin beratus, beribu tempat lain di bumi Indonesia yang serupa, jeblok, rusak, tidak terurus, dan tertinggal,
bicara tertinggal, sudah masukkah menteri gus ipul ke daerah seperti ini??
sekian dulu,
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.