Kinerja sektor telekomunikasi selama dua dasawarsa terakhir kurang memuaskan, hal ini dapat dilihat dari output yang diberikan sektor ini terhadap Pendapatan Nasional yang rata – rata per tahun tidak pernah lebih besar dari 5%. Kondisi semacam ini menarik untuk diperbincangkan mengingat layanan telekomunikasi selama separoh abad dipegang oleh satu perusahaan milik negara di bawah perlindungan ketat dari pemerintah, sementara desakan liberalisasi, kompetisi dan tuntutan terhadap terpenuhinya layanan telekomunikasi dapat menjadi pemicu ketidak-puasan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Upaya perbaikan sudah banyak dilakukan, namun hasilnya belum terlihat nyata. Salah satu di antaranya adalah diberlakukanya UU 36/1999 tentang Telekomunikasi beserta Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri sebagai aturan pelaksanaannya. Apabila dicermati, tersedianya peraturan dan perundangan saja ternyata jauh dari mencukupi, masih diperlukan perlakuan lain yang mampu mendorong peningkatan kinerja sektor telekomunikasi.
Disadari atau tidak, di mata pemimpin nasional sektor telekomunikasi sebenarnya masih ditempatkan di posisi marginal. Dari kabinet ke kabinet, keberadaan sektor telekomunikasi selalu berpindah – pindah “ditempelkan” dari satu sektor ke sektor lain. Tercatat, telekomunikasi pernah menjadi bagian dari Departemen Pariwisata, dan Departemen Perhubungan. Dengan posisi ini, konsekuensinya adalah penanggung jawab birokrasi tertinggi sektor telekomunikasi ada di tangan Direktur Jenderal yang kewenangannya di bawah Menteri. Implikasi lain adalah alokasi anggaran investasi pemerintah untuk membangun infrastruktur telekomunikasi otomatis tidak seleluasa bila ditangani oleh satu departemen yang berdiri sendiri. Bukti bahwa pemerintah kurang serius dalam mengembangkan infrastruktur telekomunikasi dapat dilihat dari APBN sejak tahun 1987 yang tidak mengalokasikan dana untuk pembangunan jaringan telekomunikasi. Investasi untuk membangun jaringan telekomunikasi – yang nota bene sama dengan infrastruktur ekonomi lainnya seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan lain sebagainya – sepenuhnya diserahkan kepada operator telekomunikasi pemegang monopoli. Di sisi lain, adanya desakan untuk pengembangan usaha, mendorong operator untuk membangun di wilayah – wilayah yang makmur saja, sehingga pertumbuhan sarana telekomunikasi di wilayah – wilayah lain menjadi sangat terhambat. Ketimpangan ini makin parah ketika muncul jenis – jenis layanan baru yang berbasis telekomunikasi seperti Internet dan jasa nilai tambah lainnya. Konsentrasi layanan Internet sebagian besar terpusat di kota – kota besar saja, sementara di banyak ibukota kabupaten masih sulit memperoleh layanan Internet. Padahal, Internet sebagai wahana baru dalam menyediakan dan mengakses informasi sudah menjadi kebutuhan utama dalam pengembangan bisnis maupun layanan publik.
Mengatasi hal – hal negatif akibat posisi marginal diperlukan keberanian pemimpin nasional untuk menjadikan telekomunikasi dan teknologi informasi sebagai sektor utama dalam pembangunan nasional dengan langkah pertama membentuk suatu institusi pemerintah pada tingkat departemen yang khusus menangani telekomunikasi dan teknologi informasi. Dorongan pengakuan terhadap telekomunikasi dan teknologi informasi sebagai sektor utama dalam pembangunan nasional semakin mendesak karena beberapa hal. Pertama, semakin kompleksnya permasalahan telekomunikasi seiring dengan munculnya konvergensi dengan teknologi informasi. Salah satu implikasinya adalah telah bergesernya pasar monopoli menuju ke pasar yang kompetitif. Undang – Undang 36/1999 mengamanatkan perlunya perubahan mendasar industri jasa telekomunikasi di Indonesia. Pada saat ini, pasar kompetitif sebagaimana diinginkan belum terwujud, sehingga dapat dikatakan meski secara hukum pasar jasa telekomunikasi Indonesia sudah memasuki era kompetisi, namun secara de facto, pasar masih dikuasai oleh PT. TELKOM selaku pemegang hak monopoli selama lebih dari lima puluh tahun. Adapun INDOSAT sebagai pendatang baru yang sudah diberi hak untuk menyelenggarakan layanan telepon lokal hingga paper ini ditulis belum sepenuhnya dapat melaksanakan haknya. Oleh karena itu, dapat dikatakan periode sejak diberlakukannya UU 36/1999 hingga batas waktu ketika kompetisi secara luas telah benar – benar terwujud, dapat dikatakan sebagai masa transisi industri telekomunikasi. Sebagaimana layaknya suatu masa transisi, maka layak bila terjadi penyesuaian – penyesuaian baik pada kelembagaan, penyediaan regulasi, maupun pada layanan yang layak atau tidak layak ditawarkan kepada masyarakat. Dalam hal kelembagaan, pemisahan antara pembuat kebijakan dan pelaksananya (regulator) perlu dilakukan tidak saja untuk memenuhi mandat undang – undang namun pula untuk memberikan lingkungan yang kondusif bagi investasi dan pelaksanaan pembangunan sektor telekomunikasi dan teknologi informasi. Berkaitan dengan penyempurnaan regulasi sektor telekomunikasi, berbagai peraturan dan ketentuan yang menghambat inisiatif implementasi teknologi dan layanan telekomunikasi dan teknologi informasi hendaknya ditinjau kembali, hal ini diperlukan untuk mendukung munculnya inovasi dan kreatifitas usaha dari kalangan usaha kecil menengah atau generasi muda yang memiliki minat dalam mengembangkan jasa dan layanan di sektor ini. Salah satu implikasi lain dari makin kompleksnya permasalahan telekomunikasi dan teknologi informasi adalah munculnya berbagai jenis layanan yang berbasis teknologi informasi dan telekomunikasi. Sebagai akibatnya, penggolongan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana diatur dalam undang – undang seringkali menjadi tidak jelas lagi. Namun demikian, pemerintah agak terlambat dalam mengantisipasi munculnya masalah – masalah seperti ini, sehingga di kalangan pebisnis telekomunikasi dan teknologi informasi khususnya yang berskala menengah dan atau bukan pemegang monopoli seringkali merasa dirugikan, atau sebaliknya kelompok pebisnis ini karena merasa diperlakukan tidak adil acapkali tidak mengindahkan ketentuan perundangan dan peraturan yang berlaku, sehingga kondisi di lapangan menjadi semakin carut marut. Keadaaan semacam ini rupanya tidak teratasi meski pada saat ini sudah ada dua lembaga pemerintah setingkat menteri yang memiliki bidang tugas pembinaan masing – masing di sektor telekomunikasi dan komunikasi dan informasi.
Kedua, prestasi pembangungan sektor telekomunikasi dan teknologi informasi yang belum memuaskan dibandingkan sektor – sektor lain seperti pertanian, kehutanan, pekerjaan umum, dan lain – lain. Mengacu pada hasil perhitungan Pendapatan Nasional, rata – rata kontribusi sub-sektor telekomunikasi terhadap Pendapatan nasional selama dua dasawarsa terakhir tidak lebih dari 5%. Angka inipun sebetulnya belum murni sektor telekomunikasi, karena masih menjadi bagian dari sektor perhubungan di mana di dalamnya terdapat sub-sektor perhubungan (darat, laut dan udara). Rendahnya kinerja sektor telekomunikasi setidaknya mengindikasikan dua hal, pertama masih belum optimalnya kinerja instansi yang ditugasi membina sektor telekomunikasi, dan atau kedua, masih terbatasnya sumber daya (dana, SDM, teknologi, dan lain – lain) yang dialokasikan untuk membangun sektor ini.
Ketiga, peranan sektor telekomunikasi dan teknologi informasi ke depan akan sangat menonjol terutama sejalan dengan globalisasi dan meningkatnya peran informasi di hampir semua aspek kehidupan manusia. Kencenderungan dalam mengembangkan pemanfaatan telekomunikasi dan teknologi informasi dengan membentuk lembaga setingkat menteri di berbagai negara telah meningkat pada sepuluh tahun terakhir ini. Beberapa negara berkembang yang telah membentuk lembaga setingkat menteri yang khusus menangani telekomunikasi dan teknologi informasi dalam satu institusi seperti Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Thailand, India, dan lain – lain menunjukkan perkembangan pesat kinerja sektor ini khususnya, dan perekonomian nasional mereka pada umumnya. Memang tidak dapat dikatakan bahwa satu – satunya kunci keberhasilan pembangunan ekonomi di negara – negara tersebut “hanya” karena kontribusi sektor telekmonikasi dan teknologi informasi beserta keberadaan lembaga setingkat menteri yang mengurusi sektor tersebut. Namun demikian tak dapat pula diingkari bahwa pertumbuhan ekonomi negara – negara tersebut dipercepat dengan pemanfaatan sektor ini mengingat peranan informasi yang sudah semakin dominan dalam percaturan bisnis maupun kegiatan perekonomian global dewasa ini.
Keempat, sektor telekmunikasi dan teknologi informasi merupakan sektor yang mampu menyerap sejumlah besar tenaga kerja trampil. Dengan memberi perhatian yang baik kepada sektor ini, diharapkan investasi akan meningkat dan pada gilirannya terjadi multiplier effects yang cukup berarti yang dicerminkan dari adanya penyerapan tenaga kerja dalam skala besar, maupun peningkatan output ekonomi yang dihasilkan. Dari sisi penyediaan tenaga kerja trampil di bidang telekomunikasi dan teknologi informasi, setiap tahun dihasilkan sedikitnya dihasilkan 5000 lulusan Sarjana dan Diploma Teknik Telekomunikasi atau Komputer dari kurang lebih 100 perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi Teknik Telekomunikasi, Elektro, atau Komputer. Pasokan tenaga kerja terdidik di bidang telekomunikasi dan teknologi informasi ini apabila tidak terserap ke industri dikhawatirkan akan berdampak serius terhadap perkembangan telekomunikasi dan teknologi informasi itu sendiri. Semacam boomerang. Dengan keahlian yang dimiliki, sementara lapangan kerja tak kunjung berhasil diraih, kedekatan dengan tindakan kriminal merupakan salah satu potensi negatif yang perlu diantisipasi. Salah satu tindak kejahatan yang dikhawatirkan dilakukan oleh kelompok ini adalah cybercrime. Salah satu upaya pencegahan adalah dengan membantu para lulusan ini agar dapat menciptakan dunia kerja yang memberikan masa depan bagi mereka. Namun demikian, memperhatikan bahwa sektor telekomunikasi merupakan bidang usaha yang regulated, sementara sebaliknya bisnis teknologi informasi sejak lahirnya sudah bernuansa kompetitif, kondisi antara regulated dan kompetitif serta tujuan memfasilitasi para muda yang ingin masuk ke bisnis telekomunikasi dan teknologi informasi memerlukan kearifan dan kesungguhan dari lembaga yang dipercaya membina sektor ini.****
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.