Monday, December 27, 2004

Kebiasaan Yang Menghalangi Kebenaran Berpikir

Kali ini lain dari biasanya saya ingin menulis mengenai perilaku manusia yang seringkali menghalangi dari berpikir secara benar. Berpikir secara benar adalah menggunakan daya cipta dan kreasi secara jujur, serta menyampaikan buah pikirannya dengan lisan atau tulisan sebagaimana keadaaan nyatanya yang dialami baik di dalam hatinya maupun yang pernah diucapkannya atau dituliskannya.

Berpikir secara benar seringkali diwarnai oleh berbagai macam latar belakang pendidikan, keluarga, pengalaman, pergaulan sosial, dan lain sebagainya. Pengingkaran terhadap apa yang pernah terpikirkan, terucapkan, atau dilakukan mendorong seseorang untuk mempertahankan perbuatan tersebut, sehingga alih – alih memperoleh sesuatu yang baik dengan pengingakaran tersebut, malahan menjadi tambah berdosa, dan beban berbohong harus ditanggungnya pula oleh nurani dan jiwanya.

Para ahli[1] mengungkapkan setidaknya ada enam ciri kebiasaan penghalang kebenaran berpikir: milikku lebih baik (mine is better), menyelamatkan muka (face saving), keengganan untuk berubah (resistance to change), mencocok – cocokan (conformity), meniru – niru (stereotyping), meniup diri sendiri (self-deception).

Milikku lebih baik (mine is better)
Perilaku atau kebiasaan semacam ini sungguh alamiah, sebagian besar orang pernah melakukannya, terutama ketika masih kanak – kanak. Ingatkah ketika dengan teman sebaya di masa kanak – kanak, kita sling membanggakan orang tua, mainan, atau apapaun yang kita miliki.”Bapakku doong, hebat”, atau “Ibuku lebih cantik dari ibumu”, atau “Mobil – mobilanku lebih bagus dari punyamu”. Semuanya menunjukkan keinginan diakui bahwa yang dimiliknya lebih baik dari milik orang lain.

Ketika mulai tumbuh dewasa, perilaku atau kebiasaan semacam ini tidak mudah hilang begitu saja. Bahkan, sebagaimana dikatakan oleh Jepson, makin banyak orang yang beranggapan bahwa dalam perjalanan hidupnya mereka selalu memperoleh yang lebih baik bahkan yang terbaik dari orang lain. Anggapan bahwa mereka selalu menerima yang terbaik, dan mampu melakukan yang terbaik dari orang lain dapat menyesatkan. Seringkali orang tidak mampu menerima kenyataan bahwa yang dia hasilkan, atau yang dia peroleh bukan yang terbaik.

Lebih ekstreem lagi perasaaan menjadi yang lebih baik dari orang atau kelompok lain menjadi bahaya karena menganggap orang, kelompok, atau bangsa lain lebih rendah dari dirinya, dan karena itu menjadi tidak mau bergaul, atau melekat perasaaan sombing pada orang atau kelompok orang yang dihinggapi anggapan bahwa miliknyalah yang terbaik. Anggapan semacam ini menguragi objektivitas dalam berpikir.

Menyelamatkan muka (face saving)
-udahan dulu besok disambung -
[1] Vincent Ayan Ruggiero, dalam The Art of Thinking, Longman, 1999.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.