*** Artikel ini pernah dimuat di Majalah Telset.
Pasca disahkannya Undang – Undang Penyiaran (UUP) pada tanggal 28 November 2002 lalu, masyarakat pemirse televisi dikagetkan dengan iklan “dukacita” yang ditayangkan secara terus menerus. Ketika pertama kali melihatnya, muncul pertanyaan “wah siapa yang meninggal?”, namun ternyata yang dikatakan “meninggal” adalah kebebasan berekspresi dan munculnya kembali rejim sensor yang dikhawatirkan akan membabat habis kreativitas pelaku industri pers, khususnya televisi. Benarkah kebebasan berekspresi di Indonesia telah wafat menyusul disahkannya UUP? Atau benarkah kebijakan sensor akan menjadi monster yang membabat habis kreatifitas? Ulasan kali ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran benar – tidaknya sinyalemen para penyelenggara televisi yang tergabung dalam Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), termasuk ada apa di balik iklan dukacita.
UUP terdiri dari 12 Bab dan 64 Pasal. Format terakhir hingga disahkannya UUP ini merupakan hasil akhir dari suatu perjalanan panjang yang melibatkan pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat pelaku penyiaran. Beberapa hal mendasar yang menjiwai UUP ini antara lain adalah bahwa penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dengan azas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tangung jawab. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.
Hal penting lain yang menjadi perhatian banyak pihak antara lain masalah penyelenggaraan penyiaran dan hadirnya Komisi Penyiaran Independen (KPI). Pasal 6 ayat (3) menyebutkan dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan dan stasiun lokal. Berikutnya, pada ayat (4) dinyatakan bahwa untuk penyelenggaraan penyiaran dibentuk sebuah Komisi Penyiaran Independen. Pada pasal 13 (2) menyatakan jasa penyiaran diselenggarakan oleh: Lembaga Penyiaran Publik; Swasta; Komunitas; dan Berlangganan.
Pasal dan ayat di atas merupakan bagian dari UUP yang menjadi pembeda utama dari Undang – Undang Penyiaran sebelumnya. Implikasi dari ditetapkannya pola jaringan nasional dalam bentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal mau tidak mau mengganggu kemapanan yang sekarang sudah dimiliki oleh lembaga penyiaran khususnya televisi yang telah mengantongi ijin siaran nasional yang diberikan oleh rejim pemerintah orde baru. Secara otomatis hak siaran nasional menjadi tidak ada lagi, karena diganti dengan hak stasiun lokal. Hal ini berarti kepada setiap penyelenggara siaran televisi yang berminat menyelenggarakan atau mempertahankan siaran nasional hanya ada dua alternatif yang dapat dikerjakan, meningkatkan status hukum stasiun relai yang sudah ada sebelumnya di daerah – daerah menjadi stasiun siaran lokal afiliasi, atau bagi yang belum mempunyai stasiun relai di daerah, membangun sendiri sarana dan prasarana siaran lokal di daerah atau bekerja sama dengan investor atau televisi lokal yang sudah banyak eksis. Memang disadari, untuk menyesuaikan diri diperlukan waktu dan biaya. UUP yang baru ini memberikan masa transisi selama tiga tahun untuk jasa siaran televisi. Ini artinya masih banyak waktu untuk merancang pola bisnis televisi pasca UUP serta mencari mitra bisnis yang dapat diajak bersama membangun stasiun jaringan.
Diakuinya keberadaan Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) memberi arti tersendiri bagi para pelaku LPK, karena selama ini keberadaan mereka seringkali dianggap ilegal. Di sisi lain, dengan UUP ini makin jelaslah posisi TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran publik membawa misi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat sehingga tidak boleh komersial.Permasalahannya, sementara TVRI mulai bebenah diri dengan menayangkan iklan komersial, UUP ini kemudian melarangnya.
Cek setengah kosong yang dihasilkan oleh UUP ini adalah mengenai KPI. Ada enam pasal yang mengatur tentang KPI. Di antara pendukung KPI, ada sedikti kekhawatiran mengenai kinerja dan kekuasaan yang akan dijalankan oleh KPI. Hal ini mengingat masih ada sedikitnya sembilan pasal yang menyatakan diperlukannya Peraturan Pemerintah, sementara banyak hal yang masih belum jelas mengenai keberadaan KPI itu sendiri, seperti mekanisme rekruitmen anggota KPI, susunan organisasi dan sekretariat KPI, hubungan kelembagaan antara KPI dan KPI Daerah, serta mekanisme pemberian ijin serta pencabutan ijin. Kekhawatiran in dapat dimengerti karena ternyata dalam banyak pasal, KPI maupun KPI Daerah tidak sepenuhnya independen dari pemerintah.
Bagi pengusaha penyelenggara siaran radio dan televisi, rasanya sudah tidak mungkin lagi untuk mencabut investasi yang telah ditanamkan, sunk cost atau investasi hangus yang ditimbulkan oleh penarikan investasi cukup besar jumlahnya, sementara return belum mencapai titik impas. Dengan keadaan demikian, alternatif yang dianjurkan adalah point of no return, artinya bisnis harus jalan terus apapun resiko yang harus dihadapi, asal tidak membuat bisnis menjadi bangkrut.
Hikmah yang kelak dapat kita rasakan dari UUP ini antara lain, makin bertambahnya variasi informasi yang diterbitkan oleh sekian puluh stasiun televisi dan beratus stasiun radio. Dengan demikian, seseorang di Manado misalnya memperoleh kesempatan untuk memilih apakah mau memirsa siaran jaringan atau siaran lokal yang sesuai dengan seleranya. Dampak bisnis ikutan yang diperkirakan muncul adalah tumbuhnya Production House lokal mengikuti keberadaan stasiun televisi di daerah - daerah.
Lalu bagaimana dengan konten, masih adakah sensor? Undang – Undang ini tidak menyatakan secara eksplisit bahwa materi siaran harus disensor oleh KPI atau pemerintah. Yang dilarang, sesuai pasal 36 ayat (5) adalah isi siaran yang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong; menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan maroktika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan. Selain itu pada ayat (6) dijelaskan pula isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan atau mengabaikan nilai – nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan Internasional. Suatu batasan yang sering disebut pasal karet dan bukan hal baru dalam dunia penyiaran.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.