Cyberlaw: Perlu Dukungan Semua Pihak.
Oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, Pengamat Hukum dan Kebijakan Telematika
Diskursus mengenai kerangka hukum di bidang Telematika (Cyberlaw) di Indonesia sudah cukup lama menempati ruang dan waktu sebagian kecil kelompok masyarakat, namun demikian, setelah lebih dari lima tahun sejak pertama kali digulirkan, hingga sekarang belum ada tanda – tanda kepastian kapan Cyberlaw yang dinanti kunjung diundangkan. Disebutkan sebagian kecil kelompok masyarakat, karena pada kenyataannya yang tertarik untuk terlibat dan atau setidaknya memberi komentar mengenai Cyberlaw hanyalah dari kalangan komunitas Telematika, atau mereka yang berkecimpung di bidang penyediaan sarana dan jasa Telematika, baik dari kalangan pemerintahan maupun swasta. Meskipun ada kemungkinan memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung, namun kalangan di luar komunitas Telematika yang tergolong sebagai industri pengguna Telematika, seperti lembaga keuangan, perbankan, penerbangan, perdagangan, praktisi politik di parlemen, dan lain sebagainya tidak banyak menunjukkan perhatian yang sungguh – sungguh terhadap Cyberlaw.
Memperhatikan proses yang berlarut serta masih sedikitnya perhatian sebagian besar masyarakat terhadap Cyberlaw, kolom kali ini ingin mengetengahkan substansi Cyberlaw yang banyak dianut oleh berbagai negara, analisis terhadap permasalahan yang berkaitan dengan Cyberlaw di Indonesia, serta dampak ada/tidaknya Cyberlaw terhadap industri pengguna Telematika.
Literatur akademis maupun fakta empirik yang dapat digunakan sebagai referensi dalam membangun Cyberlaw sudah banyak dan mudah didapat. Setidaknya hingga saat ini belum ada kesepakatan mengenai definisi baku Cyberlaw. Pavan Dugal dalam Cyberlaw The Indian Persepective (2002) mengajukan definisi Cyberlaw yang diterima oleh berbagai kalangan :
Cyberlas is a generic term, which refers to all the legal and regulatory aspects of Internet and the World Wide Web. Anything concerned with or related to or emanating from any legal aspects or issues concerning any activity of netizens and others, in Cyberspace comes within the amit of Cyberlaw.
Memperhatikan definisi di atas, menjadi jelas kiranya bahwa Cyberlaw tidak hanya mengatur masalah pengakuan hukum terhadap bukti atau transaksi elektronik sebagaimana menjadi judul dan substansi utama dalam Rancangan Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU-ITE) yang dibuat oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Lingkup Cyberlaw yang dianut oleh banyak negara meliputi namun tidak terbatas pada perlindungan terhadap: hak cipta (khususnya yang berkaitan dengan program komputer); merek dagang; pencemaran nama baik/fitnah; privasi; kehati – hatian (duty of care); kriminalitas; prosedur (hukum acara); kontrak elektronik dan tanda tangan digital; etika; pembuktian; penyalah-gunaan informasi; dan penyelesaian perkara lintas batas (antar-negara).
Dari bermacam aspek yang perlu menjadi bagian dari Cyberlaw, permasalahan perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang terkait dengan komputer diatur dalam serangkaian undang – undang yang meliputi:
a. UU-RI Nomor 30 tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang.
b. UU-RI Nomor 31 tahun 2000 Tentang Desain Industri.
c. UU-RI Nomor 32 tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
d. UU-RI Nomor 14 tahun 2001 Tentang Paten.
e. UU-RI Nomor 15 tahun 2001 Tentang Merk.
f. UU-RI Nomor 19 tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
Adapun yang terkait dengan hal – hal lain sebagaimana disebut di atas, dapat dikatakan sudah ada perundangan konvensional yang dapat digunakan sebagai landasan hukumnya. Namun demikian, perundangan konvensional ini menjadi tidak berdaya ketika dihadapkan pada munculnya modus baru kejahatan yang menggunakan sistem komputer sebagai alat dan atau sasarannya, kejahatan lintas negara di mana korban dan pelaku tidak perlu saling bersentuhan secara fisik sebagaimana terjadi pada kejahatan biasa, memudarnya batasan etika di dunia maya, demikian pula perlunya pengakuan terhadap kontrak elektronik yang dilakukan melalui Internet, serta adanya tuntutan catatan elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan.
Digunakannya Internet dalam kegiatan bisnis, serta berubahnya praktik bisnis sebagai akibatnya membawa dampak yang luar biasa bagi semua pelaku bisnis. Bahaya yang terkandung cukup besar, apalagi pada perusahaan yang mengandalkan Internet sebagai sarana komunikasi utamanya. Sayangnya belum banyak perusahaan yang menyadari bahaya ini. Sehingga yang terlihat di Indonesia, industri keuangan, penerbangan, pariwisata, perdagangan, dan praktisi politik tidak merasa perlu terlibat dan atau berkepentingan terhadap segera dimilikinya Cyberlaw. Padahal, bayangkan betapa besar kerugian sebuah bank yang sudah memberi layanan online melalui Internet bila sistem komputernya disusupi, di-hacked, atau database-nya dihancurkan. Pernahkah kita bayangkan bagaimana bila sistem komputer online milik Bank Indonesia, Garuda Indonesia, PLN, Angkasa Pura, atau Telkom dirusak dan tidak dapat beroperasi selama sehari, seminggu?
Cyberlaw tidak hanya menjadi urusan Kominfo atau komunitas Telematika. Melihat perkembangan pemanfaatan Internet yang pada sisi gelap memunculkan perilaku negatif maupun persoalan hukum lainnya, menjadi semakin nyata bahwa tidak ada satu pihakpun yang kebal dari bahaya pemanfaatan Internet secara negatif. Untuk itu, jika sekarang baru sedikit yang memahami,, tertarik dan ikut “berbicara”, hendaknya Pemerintah dapat menjadikan Cyberlaw sebagai Agenda Nasional yang tidak saja menjadi bagian dari upaya reformasi hukum, namun juga menjadi pembuka isolasi transaksi bisnis internasional melalui Internet yang sudah hampir dua tahun ini diblokade karena pelaku bisnis internasional menganggap berbisnis melalui Internet dengan Indonesia tidak aman.
Tak kalah pentingnya, Pemerintah selaku pembuat RUU-ITE perlu juga membuka diri dan memperhatikan bahwa lingkup Cyberlaw tidak hanya mengatur masalah informasi dan transaksi elektronik semata.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.