Belum lama ini terbit Surat Keputusan (SK) Dirjen Postel No.199/2001 yang mengatur tentang tata cara perijinan dan penyelenggaraan Voice over Internet Protocol (VoIP). SK Dirjen Postel ini oleh sebagian pihak dinilai kontroversial, dan oleh karenanya mengundang protes, karena adanya ketentuan bagi penyelenggara layanan VoIP untuk menyediakan jaminan pelayanan berupa deposito senilai Rp. 10 milyar. Meski tujuannya baik, membuka pelayanan VoIP dan melindungi pengguna, namun dari aspek substansi dan proses pembuatan keputusan SK ini menunjukkan pemerintah tidak cermat dalam menetapkan kebijakan. Kolom ini akan membahas sebagian kecil dari aspek - aspek yang relevan seperti: apa itu voip, apa mudharat serta manfaat sosial bagi masyarakat, serta kebijakan apa yang sebaiknya diterapkan berkaitan dengan pembangunan dan penyebaran telematika di Indonesia.
Meningkatkan efisiensi
Ravich (2000) dalam Marketization and Democracy, East Asian Experiences, dengan tegas menyatakan, teknologi yang menawarkan pelayanan jasa secara lebih murah dan efisien tidak dapat dibendung. Fakta menunjukkan bahwa sekuat apapun suatu rejim pemerintahan menghambat penggunaan teknologi baru dalam proses industri maupun jasa pelayanan, toh pada akhirnya desakan pasar tidak dapat ditahan. Oleh karena itu upaya pemerintah meregulasi penggunaan teknologi, bila tidak disertai dengan kajian yang komprehensif, dapat diperkirakan kebijakan tersebut akan sia – sia belaka. Bukti empiris pernah terjadi di Indonesia, ketika Departemen Penerangan, pada waktu itu, melarang penggunaan Direct Broadcasting Satellite (DBS) dan pencetakan koran jarak jauh (remote publishing). Apapun alasannya, namun toh pada akhirnya kedewasaan pasar-lah yang membuktikan bahwa kebijakan pelarangan tersebut hanya menambah noda hitam di wajah pemerintah.
VoIP, yang oleh Tharom dan Onno Purbo didefinisikan sebagai suatu sistem yang menggunakan jaringan Internet untuk mengirimkan data paket suara dari suatu tempat ke tempat lain menggunakan perantara protokol Internet (IP atau Internet Protocol) pada kenyataannya memberikan efisiensi kinerja jaringan telekomunikasi konvensional. Dengan teknologi VoIP, setidaknya tiga jenis layanan komunikasi publik – komunikasi suara, surat suara (voice mail) yang dapat ditinggalkan pada nomor yang dihubungi, dan transmisi faksimili – memiliki kualitas yang hampir sama dengan teknologi komunikasi konvensional sebelumnya. Efisiensi yang dihasilkan disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah informasi yang mengalir pada saluran telekomunikasi. Bila semula satu saluran hanya dapat digunakan untuk satu sessi pembicaraan, dengan VoIP saluran yang sama dapat digunakan oleh delapan atau lebih sessi pembicaraan. Penghematan penggunaan bandwidth inilah yang kemudian tercermin dari lebih murahnya biaya telekomunikasi menggunakan VoIP dibandingkan dengan yang konvensional. Akan tetapi, keuntungan bagi pengguna jasa telekomunikasi baru dapat dirasakan untuk komunikasi jarak jauh (SLJJ) dan internasional (SLI), untuk komunikasi lokal biasa, VoIP tidak memberikan manfaat berarti bagi pelanggan telepon.
Manfaat Sosial
Suatu pelayanan publik harus memberi manfaat sosial yang lebih besar dari biaya yang harus dikeluarkannya. Demikian pendapat para ahli kebijakan publik setiap kali memberikan advokasi untuk berbagai masalah kebijakan. Manfaat sosial yang dimaksud tidak saja bagi sisi permintaan atau dalam kasus ini pelanggan telepon, namun juga bagi penyedia jasa layanan dan stakeholder lainnya. Dengan demikian, bila pelayanan jasa VoIP akan dibuka, maka penikmat manfaatnya sebaiknya tidak terbatas pada segelintir pengguna telepon yang sering ber-SLJJ dan ber-SLI saja, namun juga penyelenggara jaringan telekomunikasi (saat ini masih dimonopoli oleh PT. Telkom), pelanggan telepon biasa yang tidak banyak memiliki permintaan untuk SLJJ dan SLI, serta masyarakat yang belum memiliki kesempatan menjadi pelanggan telepon.
Konsep manfaat sosial ini sebetulnya bukan hal baru, karena sejak lama Vilfredo Pareto (1848 – 1923) telah mengajarkan kepada kita alokasi sumber daya yang efisien (pareto efficient). Pareto mengatakan: An allocation is efficient if goods cannot be reallocated to make someone better off without making someone else worse off. Poin yang ingin disampaikan di sini adalah, meskipun ada alokasi atau penggunaan sumber daya yang menguntungkan bagi sementara pihak namun bila akibat dari eksploitasi sumber daya tersebut mengakibatkan kerugian bagi pihak lain terkait, maka upaya tadi dikatakan tidak efisien dan oleh karena itu tidak menciptakan manfaat sosial yang optimal.
Dengan kerangka pikir ini timbul pertanyaan, apakah penyelenggaraan VoIP dapat atau sudah efisien dan memberikan manfaat sosial yang optimal? Satu sumber mengatakan bahwa ada penyelenggara VoIP yang sudah melayani trafik komunikasi mencapai 6 juta pulsa per bulan. Jika harga rata – rata per pulsa $5 cent (untuk SLJJ dan SLI), maka pendapatan per bulan penyelenggara VoIP tadi mendekati Rp. 3 Milyar (dengan kurs USD = Rp. 10,000). Jika selama ini ada 18 penyelenggara dengan rata – rata penghasilan yang sama, maka nilai bisnis VoIP mencapai Rp. 648 Milyar per tahun. Nilai sebesar inilah yaang sebelumnya menjadi jatah bagi Telkom dan Indosat yang nota bene sebagai pemegang monopoli SLJJ dan SLI. Angka tadi masih bisa lebih besar lagi bila penggunaan VoIP oleh perusahaan – perusahaan multi nasional dimasukan dalam perhitungan. Sudah bukan rahasia lagi, dan bukan hal yang sulit bagi perusahaan besar untuk menambah fasilitas Intranet-nya dengan server VoIP, sehingga bagi perusahaan tersebut diperoleh penghematan biaya telekomunikasi.
Dari sisi pemakai, ternyata terbesar ada di Jakarta disusul kota – kota besar di Jawa lainnya. Survei untuk melihat profil pengguna VoIP belum pernah diadakan, namun dapat diperkirakan mereka yang menggunakan VoIP jelas bukan dari golongan menengah ke bawah yang sedikit memiliki keperluan untuk ber-SLJJ apalagi SLI. Ketika mengamati stand penyelenggara jasa VoIP - meski tidak dikatakan sebagai VoIP – dalam suatu pameran, penulis melihat sebagian besar pengunujng yang tertarik adalah mereka yang berpenampilan sebagai profesional atau mahasiswa. Jika demikian, kesimpulan sementara yang dapat diajukan adalah bahwa meski VoIP secara teknis mampu memurahkan biaya telekomunikasi, namun penyelenggaraannya belum memberikan nilai tambah bagi sebagian besar anggota masyarakat yang belum menikmati sarana telekomunikasi. Selain itu, harus diakui bahwa penyelenggaraan VoIP telah mengurangi potensi penghasilan penyelenggara jaringan, atau bila kita menggunakan pendekatan pareto efficiency, belum memberikan manfaat sosial yang efisien.
Kebijakan Publik
Adam Smith dengan konsepnya the invisible hand mengajarkan bahwa the economy will automatically allocate resources efficiently without the need for governmental regulatory control. Idealnya, mekanisme pasarlah yang mengatur ekonomi, namun hal ini hanya mungkin terjadi ketika pasar sudah kompetitif dan pelakunya tidak sembrono (negligence). Masuknya kendali pemerintah oleh karena itu, harus berlatar belakang mencegah kegagalan pasar, bukan untuk membuat entry barrier, memberi kemudahan dan atau perlindungan bagi pihak tertentu saja. Azas manfaat dan keadilan juga harus dipertimbangkan dalam menetapkan kebijakan. Untuk melindungi pelanggan perlu jaminan, namun sebaiknya bukan dalam bentuk uang tunai yang ditahan, melainkan berikan kewajiban lain yang lebih produktif
Lazimnya, perusahaan akan enggan meninggalkan pasar bila sunk cost akibat penarikan diri ini besar sekali, sebaliknya jika tidak ada resiko maka akan dengan mudah perusahaan meninggalkan pasar. Sementara itu, penyelenggaraan VoIP jelas tidak memerlukan investasi dalam jumlah besar sebagaimana harus ditanggung oleh penyelenggara jaringan. Padahal kenyataannya dengan adanya VoIP potensi penghasilan yang sebelumnya dinikmati penyelenggara jaringan dari SLI dan SLJJ sebagian sekarang diambil oleh penyelanggara VoIP. Akibatnya ada keengganan pada penyelenggara jaringan untuk melakukan ekspansi jaringan ke daerah - daerah yang selama ini belum terlayani. Pengusaha jaringan, karena tidak mau ketinggalan akhirnya memasuki bisnis baru termasuk VoIP dan melupakan kewajibannya membangun dan memperluas jaringan. Dapat dibayangkan jka akhirnya yang kaya makin kaya, yang tertinggal tetaplah tidak terjangkau oleh sarana telekomunikasi apalagi akses ke Internet.
Dengan memperhatikan bahwa: (1) penggunaan teknologi yang efisien tidak boleh dihambat, (2) penyelenggaraan VoIP belum memberikan manfaat sosial yang optimal, (3) penikmat VoIP masih terbatas pada sebagian kecil kelompok masyarakat (4) masih adanya perilaku pengusaha yang sembrono, dan (5) masih dibutuhkan penambahan dan penyebaran jaringan telekomunikasi di daerah – daerah; maka kebijakan publik yang sebaiknya dilakukan berkaitan dengan ini adalah: (1) membuka selebar - lebarnya penyelanggaraan VoIP, (2) menetapkan standar kualitas pelayanan, dan (3) mewajibkan kepada penyelenggara VoIP untuk membangun jaringan telekomunikasi tetap lokal sebanyak nilai tertentu di daerah daerah yang ditetapkan pemerintah, dan (4) mewajibkan kepada penyelenggara jaringan saat ini (Telkom dan Indosat) untuk bersedia bekerja sama dengan penyelenggara VoIP yang membangun jaringan telekomunikasi, secara menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.