Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Penerapan
Good Governance di Indonesia*)
Ditulis dan disajikan oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Pengantar
Banyak pihak berpendapat bahwa penggunaan Teknologi Informasi (TI) mendukung penerapan Good Governance. Pendapat ini tidak salah namun juga belum sepenuhnya benar. Hubungan antara TI dan good governance serta implikasi yang dihasilkan dari hubungan tersebut relatif belum banyak terdefinisikan.
Paper ini mencoba memberi gambaran mengenai hubungan dan implikasi antar keduanya serta mengajukan usulan bagaimana masyarakat memanfaatkan hubungan ini dalam upaya mewujudkan masyarakat yang taat dan tertib.
Pendahuluan
Jika menggunakan pemahaman awam, TI tak lebih dari sekedar alat yang dibuat untuk memudahkan manusia dalam berkarya. Dalam konteks ini, TI tak berbeda halnya dengan pisau, cangkul, atau mobil. Sebagai alat TI bersifat netral, ia dapat dipakai untuk tujuan kebaikan, demikian pula dapat digunakan sebagai alat bantu kejahatan atau aktivitas lain yang negatif. Berbeda dengan alat lain yang hanya berfungsi pada ruang lingkup kegunaan tertentu, TI memiliki kegunaan yang luas dan hampir tidak terbatas. Dikatakan demikian karena hampir semua aspek kehidupan manusia dapat difasilitasi dengan TI. TI dipakai secara luas di lingkungan organisasi bisnis, institusi pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan pemerintahan.
Di lingkungan akademis, Teknologi Informasi didefinisikan sebagai sisi teknologi dari suatu sistem informasi, yang terdiri dari perangkat keras (hardware), basis data (database), perangkat lunak (software), jaringan komputer, dan peralatan lain terkait.[1] Penggunaan TI sebagai bagian dari Sistem Informasi di organisasi swasta telah berhasil mendorong adanya: peningkatan produktivitas (pengurangan biaya, peningkatan efektivitas), perbaikan kualitas layanan kepada stakeholder, peningkatan daya saing, perbaikan proses pengambilan keputusan, peningkatan kreativitas dan inovasi, serta perbaikan struktur dan fungsi organisasi[2].
Jika manfaat penggunaan TI di organisasi swasta telah dapat dirasakan secara luas, sementara kita sepakat bahwa TI dapat digunakan untuk memfasilitasi hampir semua kegiatan manusia, pertanyaannya adalah bagaimana atau sejauh mana TI dapat dimanfaatkan institusi pemerintahan untuk meningkatkan kinerja mereka. Mengapa hal ini ditanyakan? Jawabnya, kinerja pemerintahan yang baik menunjukkan, dan berkorelasi dengan, adanya tata pemerintahan yang baik (good governance).
Good governance dilihat dari sisi luar organisasi seolah merupakan refleksi perilaku institusi. Namun demikian, jika kita kaji lebih mendalam, good governance dari sebuah organisasi merupakan agregat perilaku individu yang taat dan tunduk pada ketentuan (regulatory) yang telah ditetapkan. Ketentuan ini biasanya menyangkut tentang batasan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan atau petunjuk/prosedur pelaksanaan suatu aktivitas dalam rantai nilai pelayanan kepada stakeholder. Dengan demikian, good governance mencerminkan bagaimana manusia berkarya secara benar, benar dalam pengertian sesuai dengan ketentuan regulasi yang telah ditetapkan.
Manusia memiliki kecenderungan melakukan segala sesuatu yang sesuai dengan keinginannya, baik yang menguntungkan diri sendiri namun tidak merugikan orang lain maupun yang menguntungkan diri sendiri dengan merugikan pihak lain. Masing – masing individu berupaya agar apa yang diinginkan dapat tercapai. Perjuangan individu memperoleh apa yang diinginkan seringkali menimbulkan benturan kepentingan. Mencegah hal tersebut menjadi potensi negatif, oleh karena itu diperlukan aturan. Dalam konteks inilah kemudian muncul governance yakni apa dan bagaimana sebuah peraturan dibuat serta dijalankan. Peraturan ini di kalangan pemerintahan dapat berupa UU, atau peraturan pelaksanaan di bawahnya. Di kalangan organisasi privat dapat berupa kebijakan perusahaan.
Dari penjelasan di atas bila hendak dibuat relasi antara governance dan TI adalah bagaimana TI digunakan secara benar dalam setiap proses kebijakan yang meliputi perancangan, pembuatan, pelasakanaan, dan evaluasi suatu peraturan. Sebagaimana layaknya suatu hubungan, interaksi antara TI dan governance menghasilkan berbagai implikasi yang dipengaruhi oleh sifat dasar dari keduanya, maupun aktor yang terlibat dalam proses kebijakan.
Istilah Government, Governance, dan Good Governance
Secara umum istilah government lebih mudah dipahami sebagai “pemerintah” yaitu lembaga beserta aparaturnya yang mempunyai tanggung-jawab untuk mengurusi negara dan menjalankan kehendak rakyat. Pemerintah dalam arti yang paling dasar diterjemahkan sebagai sekumpulan orang yang memiliki mandat yang absah dari rakyat untuk menjalankan wewenang – wewenangnya dalam urusan – urusan pemerintahan. Dalam hal ini ada hubungan “kontrak sosial” antara rakyat sebagai pemberi mandat dan pemerintah sebagai pelaksana mandat[3]. Jika diadakan pendekatan dari segi bahasa terhadap kata “pemerintah” atau “pemerintahan”, kedua kata tersebut berasal dari suku kata “perintah” yang berarti sesuatu yang harus dilaksanakan. Beberapa hal yang terkandung dalam makna pemerintah adalah sebagai berikut:[4]
1. adanya keharusan menunjukkan kewajiban untuk melaksanakan apa yang diperintahkan;
2. adanya dua pihak, yaitu yang memberi dan yang menerima perintah;
3. adanya hubungan fungsional antara yang memberi dan yang menerima perintah;
4. adanya wewenang atau kekuasaan untuk memberi perintah.
Proses pemahaman umum mengenai governance atau good governance mulai mengemuka di Indonesia sejak tahun 1990-an dan mulai semakin bergulir pada tahun 1996, seiring dengan interaksi pemerintah Indonesia dengan negara luar beserta lembaga – lembaga bantuannya yang menyoroti kondisi objektif perkembangan ekonomi dan politik Indonesia. Lembaga pemberi donor baik yang bersifat multilateral maupun bilateral memperkenalkan good governance yang dikaitkan dengan kebijaksanaan pemberian bantuan, dalam arti good governance dijadikan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian bantuan baik berupa pinjaman (loan) maupun hibah (grant).
Governance merupakan tata pemerintahan. Good governance adalah tata pemerintahan yang baik. Ada tiga komponen yang terlibat dalam governance, yaitu pemerintah, dunia usaha (swasta, commercial society) dan masyarakat pada umumnya (termasuk partai politik). Hubungan ketiganya harus dalam posisi sejajar dan saling kontrol (checks and balances), untuk menghindari penguasaan atau eksploitasi oleh satu komponen terhadap komponen lainnya. Bila salah satu komponen lebih tinggi dari yang lain, maka akan terjadi dominasi kekuasaan atas dua komponen lainnya.
Karakteristik Good Governance
Meski secara sederhana pemahaman mengenai good governance dapat dinyatakan sebagai tata pemerintahan yang baik, dalam implementasinya tidak mudah untuk mendefinisikan secara seragam. Hal ini dikarenakan good governance memiliki banyak sumbangan makna yang bervariasi selain dari luasnya bahasan. Namun demikian, pada hakekatnya keberagaman makna tersebut memiliki kesamaam prinsip dan tujuan yakni terselanggaranya pemerintahan yang seimbang di antara semua komponen pelaku. Semua pelaku harus saling tahu apa yang dilakukan oleh pelaku lainnya, ada ruang dialog agar para pelaku saling memahami perbedaan di antara mereka. Dengan proses seperti ini diharapkan tumbuh konsensus dan sinergi di dalam masyarakat.
UNDP mendefinisikan Good Governance sebagai pelaksanaan otoritas politik, ekonomi dan administrasi untuk mengatur urusan – urusan negara, yang memiliki mekanisme, proses, hubungan, serta kelembagaan yang kompleks di mana warga negara dan berbagai kelompok mengartikulasikan kepentingan mereka, melaksanakan hak dan kewajiban mereka serta menengahi perbedaan yang ada di antara mereka.[5].
Governance ini tidak semata – mata menjadi monopoli tugas negara, namun juga menjadi kewajiban bagi sektor swasta, dan semua komponen civil society. Karena posisi yang sama penting dari semua aktor dakam civil society tersebut, good governance harus ditandai dengan proses sinergi di antara mereka. Dalam hal ini, karakter good governance terutama mencakup:[6]
1. Participatory dan sustanainable (berkelanjutan),
2. Legitimate, acceptable, dan transparan bagi masyarakat,
3. Meningkatkan equity, dan equality, mengembangkan sumberdaya dan metode governance,
4. Meningkatkan keseimbangan, serta mentoleransi dan menerima perspektif yang bermacam – macam,
5. Mampu memobilisasi sumber daya untuk tujuan – tujuan sosial,
6. Memperkuat mekanisme – mekanisme asli (indigenous),
7. Beroperasi berdasarkan aturan hukum, serta efektif dan efisien dalam penggunaan sumber daya,
8. Melahirkan dan memerintahkan respect, trust, dan accountable,
9. Mampu mendefinisikan dan mengambil keputusan,
10. Enabling dan fasilitatif sebagai regulator daripada kontrol, dan
11. Dapat mengatasi isu – isu temporer dan berorientasi pelayanan.
Sementara itu, Sekretariat Pengembangan Public Good Governance Bappenas menyatakan setidaknya ada empat belas karakteristik dalam wacana good governance:
1. Berwawasan ke depan (visi strategis); semua kegiatan pemerintahan berupa pelayanan publik dan pembangunan di berbagai bidang seharusnya didasarkan pada visi dan misi tertentu disertai strategi implementasi yang jelas.
2. Terbuka (transparan); semua urusan tata pemerintahan berupa kebijakan – kebijakan publik baik yang berkenaan dengan pelayanan publik maupun pembangunan di daerah harus diketahui publik. Isi keputusan dan alasan pengambilan kebijakan publik harus dapat diakses oleh publik dan harus diumumkan agar mendapat tanggapan publik. Demikian pula informasi tentang kegiatan pelaksanaan kebijakan tersebut dan hasil – hasilnya harus terbuka dan dapat diakses publik.
3. Cepat tanggap (responsif); aparat pemerintah harus cepat tanggap dan segera mengambil prakarsa penaggulangan terhadap berbagai permasalahan sosial yang muncul di masyarakat. Selain itu, birokrasi juga harus mengakomodasi aspirasi masyarakat sekaligus menindak-lanjutinya dalam bentuk peraturan/kebijakan, kegiatan atau program yang diusulkan.
4. Bertanggung jawab/bertanggung gugat (akuntabel); penyelenggara pemerintahan harus menerapkan prinsip akuntabilitas atau bertanggung jawab/bertanggung gugat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini diawali pada saat penyusunan program pelayanan publik dan pembangunan, pembiayaan, pelaksanaan, pemantauan, dan penilaian kinerja, sehingga program tersebut dapat memberikan hasil seoptimal mungkin sesuai dengan sasaran atau tujuan yang dtetapkan.
5. Profesional dan kompeten; di dalam pemberian pelayanan publik dan pembangunan dibutuhkan aparat pemerintahan yang memiliki kualifikasi dan kemampuan tertentu, dengan profesionalisme yang sesuai. Dibutuhkan upaya untuk menempatkan aparat secara tepat, dengan memperhatikan kecocokan antara tuntutan pekerjaan dengan kualifikasi kemampuan dan profesionalisme.
6. Efisien dan efektif; agar dapat meningkatkan kinerja tata pemerintahan baik di pusat maupun daerah dibutuhkan struktur yang tepat. Untuk tercapainya hal ini, pemerintah perlu secara periodik melakukan evaluasi terhadap dukungan struktur yang ada, disertai dengan perubahan jika dipandang perlu, yang meliputi perubahan struktur, tugas pokok jabatan dan fungsi.
7. Desentralistis; upaya pendelegasian kewenangan pusat ke daerah dalam rangka otonomi daerah telah dilakukan. Namun hal ini belum cukup. Masih diperlukan pendelegasian kewenangan di daerah dari Bupati/Walikota kepada dinas – dinas atau badan/lembaga teknis yang ada di bawahnya disertai dengan pemberian sumber daya pendukungnya.
8. Demokratis; perumusan kebijakan tentang pelayanan publik dan pembangunan di pusat dan daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh eksekutif. Dalam konteks in wakil – wakil rakyat di DPR/D diberi akses untuk secara aktif menyuarakan kepentingan masyarakat dan menindak-lanjuti aspirasi masyarakat sampai terwujud secara nyata.
9. Mendorong partisipasi masyarakat; partisipasi masyarakat mutlak diperlukan agar penyelenggara pemerintahan dapat mengenal lebih dekat siapa masyarakat dan warganya berikut cara pikir dan kebiasaan hidupnya, masalah yang dihadapi, cara atau jalan keluar yang disarankan, apa yang dapat disumbangkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi, dan lain sebagainya. Kehadiran masyarakat dalam forum pertemuan publik dan keaktifan mereka dalam memberikan saran dan masukan menunjukkan bahwa urusan pemerintahan juga menjadi urusan mereka dan bukan semata urusan birokrat.
10. Mendorong kemitraan dengan swasta dan masyarakat; masyarakat dan sektor swasta harus diberdayakan lewat pembentukan kerjasama atau kemitraan antara pemerintah dengan swasta, pemerintan dengan masyarakat, dan antara swasta dengan masyarakat. Kemitraan ini harus didasarkan pada kebutuhan yang nyata pada masing - masing belah, bukan sekedar untuk memenuhi persyaratan saja. Wujud nyata dari kemitraan ini adalah perbaikan sistem pelayanan kepada masyarakat dan sektor swasta.
11. Menjunjung supremasi hukum; dalam pemberian pelayanan publik dan pelaksanaan pembangunan seringkali terjadi pelanggaran hukum. Dalam konteks ini, siapa saja yang melanggarnya harus diproses dan ditindak secara hukum atau sesuai dengan ketentuan perundang – undangan yang berlaku. Wujud nyata dari prinsip supermasi hukum antara lain mencakup upaya pembentukan peraturan perundangan, pemberdayaan lembaga penegak hukum, penuntasan kasus KKN dan pelanggaran HAM, peningkatan kesadaran hukum, dan pengembangan budaya hukum.
12. Berkomitmen pada pengurangan kesenjangan; aparat pemerintahan harus berupaya memperkecil kesenjangan yang terjadi di antara masyarakat. Kesenjangan ini dapat berupa kesenjangan ekonomi, sosial, gender, dan budaya. Kesenjangan dapat terjadi antara pusat dan daerah, antar daerah, antar golongan, dan lain sebagainya. Adanya kesenjangan merupakan insentif negatif bagi upaya pembangunan.
13. Berkomitmen pada tuntutan pasar; pengalaman membuktikan bahwa campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi seringkali berlebihan sehingga akhirnya membebani anggaran belanja dan bahkan merusak pasar. Upaya pengaitan kegiatan ekonomi masyarakat dengan pasar baik di dalam daerah maupun antar-daerah merupakan contoh wujud nyata penerapan prinsip tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada pasar.
14. Berkomitmen pada lingkungan hidup, masalah lingkungan dewasa ini telah berkembang menjadi isu yang sangat penting baik pada tataran nasional maupun internasional. Hal ini berakar pada kenyataan bahwa daya dukung lingkungan semakin lama semakin menurun akibat pemanfaatan yang tidak terkendali. Kewajiban penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan secara konsisten, program reboisasi, penegakan hukum lingkungan secara konsekuen, merupakan contoh perwujudan tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada lingkungan.
E-Governance
E-governance melebihi ruang lingkup e-government. Jika e-government didefi-nisikan sebagai penyampaian layanan pemerintah dan informasi kepada publik menggunakan sarana elektronik, e-governance memungkinkan partisipasi langsung dari konstituen di dalam aktivitas pemerintahan. Blake Haris menyimpulkan e-governance sebagai berikut:
E-governance is not just about government web site and e-mail. It is not just about service delivery over the Internet. It is not just about digital access to government information or electronic payments. It will change how citizens relate to governments as much as it changes how citizens relate to each other. It will bring forth new concepts of citizenship, both in terms of needs and responsibilities.
E-governance memungkinkan warga negara berkomunikasi antar-mereka maupun dengan pemerintah, dan berpatisipasi dalam proses pembuatan keputusan, mengeks-presikan kebututuhan nyata mereka tentang kesejahteraan dengan menggunakan e-government sebagai sarananya (means).
Berkenaan dengan hubungan antara e-governance dan pemanfaatan Teknologi Informasi, ada dua pertanyaan mendasar yang perlu mendapat jawaban tuntas. Pertama, bagaimana menetapkan kriteria good governance untuk pemanfaatan TI itu sendiri, dan kedua, bagaimana menempatkan posisi TI dalam upaya pencapaian good governance dari suatu organisasi, yang ditandai dengan adanya transparansi, akuntabilitas, adil (fair), efektif, dan dapat mengakomodasi partisipasi seluruh warga masyarakat.
Sejatinya, antara TI dan good governance saling mendukung. TI yang dikelola dengan baik - yang secara fisik dapat diakses, dengan biaya terjangkau, dan tanggap terhadap kebutuhan manusia – pada gilirannya akan mempercepat pembangunan nasional menjadi lebih demokratis, berkelanjutan (sustainable), dan memfasilitasi tercapainya masyarakat yang lebih sejahtera. Beberapa negara maju dan negara sedang membangun memberi contoh bagaimana upaya good governance selalu memasukkan unsur kebijakan di bidang hukum, dan keuangan yang mendorong kelompok wirausaha untuk melakukan inovasi dan penemuan baru yang mengarah pada terbentuknya perusahaan. Lingkungan yang dapat mempercepat layanan publik di bidang pendirian perusahaan, dan memu-dahkan usaha kecil menengah memperoleh kredit permodalan, adalah lingkungan yang mampu mendorong kalangan bisnis memperkenalkan teknologi baru ke masyarakat.
Pada akhirnya sasarannya adalah bagaimana membuat agarlebih banyak orang dapat memanfaatkan TI, sehingga TI dapat mendorong terjadinya transformasi sosial dan ekonomi. Dengan demikian ungkaoan yang lebih tepat adalah “good governance dalam memanfaatkan TI, dan TI untuk mendukung upaya good governance.”
Implementasi TI Untuk Mendukung Good Governance
Beberapa negara telah membuktikan keberhasilan mereka dalam memanfaatkan TI untuk mendukung good governance. Menyusul diperkenalkannya layanan telepon selular, pemerintah Uganda membuat kebijakan yang mengatur rasio telepon di wilayah urban dan rural. Peraturan tersebut menyatakan bahwa setiap penambahan jaringan dan pelanggan di daerah perkotaan, harus diimbangi dengan pembangunan jaringan telekomunikasi serupa di wilayah rural. Setelah beberapa tahun kebijakan ini berjalan, hasilnya adalah daerah liputan (coverage) layanan telepon selular di Uganda mencapai 98%. Kelebihan lain, muncul jenis usaha baru layanan sewa telepon selular di wilayah rural, yang banyak diantaranya digunakan untuk berkomunikasi dengan stasiun radio siaran yang memiliki program acara penegakan demokrasi, sesuatu yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan di Uganda selama negeri tersebut di bawah kekuasaan diktator.
Banyak negara telah menggunakan Internet sebagai sarana pelayanan publik (e-government) yang menghasilkan adanya transparansi, akuntabilitas, adil (fair), efektif, dan dapat mengakomodasi partisipasi seluruh warga masyarakat. Demikian pula dengan penyelenggaraan distance learning melalui Internet yang dirancang khusus bagi peningkatan pengetahuan dan ketrampilan pegawai negeri (civil servant) di Mexico dan Kanada dapat menambah contoh bagaimana TI digunakan dalam mendukung upaya good governance.
Contoh tentang bagaimana TI dibangun dengan maksud untuk mendukung upaya good governance banyak sekali termasuk di Indonesia. Dari lingkungan non-pemerintahan, Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) tengah mengembangkan pilot proyek Balai Informasi Masyarakat (BIM) yang dimaksudkan untuk menyediakan sarana akses informasi bagi kelompok masyarakat tertentu sehingga kelompok target ini dapat menggunakan informasi tersebut untuk mendukung kegiatan usaha mereka.
Berbagai kegiatan lain yang mengarah pada bagaimana membangun good governance dalam memanfaatkan TI juga sering dilakukan. Pada umumnya, wujud kegiatannya berupa seminar dan atau workshop dengan topik pad alevel mikro operasional suatu sistem informasi dalam organisasi. Di kesempatan lain, kegiatan seminar, diskusi kebijakan di bidang TI yang banyak diselenggarakan oleh lembaga non-pemerintah baik melalui kerjasama dengan pemerintah maupun dilaksanakan sendiri, merupakan upaya memanfaatkan TI untuk mendukung penerapan good governance.
Pemerintah kabinet Megawati sendiri melalui Lembaga Informasi Nasional (LIN) telah berhasil membangun simpul – simpul Jaringan Informasi Elektronik Masyarakat Indonesia (JIEMI) yang dimaksudkan sebagai sarana diseminasi informasi dalam rangka meningkatkan transparansi, membangun partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan melalui mekanisme komunikasi dua arah, serta menyediakan sarana bagi masyarakat di sekitar simpul JIEMI untuk dapat menghasilkan informasi yang dapat disebarkan kepada anggota masyarakat di daerah lain. Dengan demikian terjadi interaksi antara masyarakat dengan pemerintah, maupun antar-masyarakat.
Secara normatif, pada tataran kebijakan nasional, salah satunya dapat dilihat dari substansi Inpres 6/2001 di mana dinyatakan bahwa Indonesia perlu melakukan terobosan agar dapat secara efektif mempercepat pendayagunaan teknologi telematika[7] yang potensinya sangat besar itu, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mempererat persatuan bangsa sebagai landasan yang kokoh bagi pembangunan secara berkelanjutan. Di dalam hal ini pemerintah perlu secara proaktif dan dengan komitmen yang tinggi membangun kesadaran politik dan menumbuhkan komitmen nasional,membentuk lingkungan bisnis yang kompetitif, serta meningkatkan kesiapan masyarakat untuk mempercepat pengembangan dan pendayagunaan teknologi telematika secara sistematik.
Lebih jauh, Inpres 6/2001 menyatakan bahwa untuk mempercepat proses demokrasi, Indonesia harus mampu mendayagunakan potensi teknologi telematika untuk keperluan:
· meniadakan hambatan pertukaran informasi antar masyarakat dan antar wilayah negara, karena hanya dengan demikian berbagai bentuk kesenjangan yang mengancam kesatuan bangsa dapat teratasi secara bertahap;
· memberikan kesempatan yang sama serta meningkatkan ketersediaan informasi dan pelayanan publik yang diperlukan untuk memperbaiki kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, serta memperluas jangkauannya agar dapat mencapai seluruh wilayah negara;
· memperbesar kesempatan bagi usaha kecil dan menengah untuk berkembang karena dengan teknologi telematika mampu memanfaatkan pasar yang lebih luas;
· meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kemampuan inovasi dalam sektor produksi, serta memperlancar rantai distribusi, agar daya saing ekonomi nasional dalam persaingan global dapat diperkuat;
· meningkatkan transparansi dan memperbaiki efisiensi pelayanan publik, serta memperlancar interaksi antar lembaga-lembaga pemerintah, baik pada tingkat pusat maupun daerah, sebagai landasan untuk membentuk kepemerintahan yang efektif, bersih,dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Secara lebih spesifik, Inpres 6/2001 menyebut tentang pemanfaatan TI dalam upaya penegakan good governance bahwa melalui penerapan jaringan informasi di lingkungan pemerintah pusat dan daerah secara terpadu telah menjadi prasyarat yang penting untuk mencapai good governance dalam rangka meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan kepemerintahan guna antara lain memperbaiki pelayanan publik, meningkatkan efisiensi pelaksanaan otonomi daerah, serta mengurangi berbagai kemungkinan kebocoran anggaran.
Agar pemerintah dapat meningkatkan hubungan kerja antar instansi pemerintah serta dapat menyediakan pelayanan bagi masyarakat dan dunia usaha secara efektif dan transparan, diperlukan kerangka arsitektur dan platform yang kompatibel bagi semua departemen dan lembaga pemerintah, serta penerapan standardisasi bagi berbagai hal yang terkait dengan penggunaan teknologi telematika secara luas. Beberapa yang akan dilaksanakan termasuk pengembangan "G online backbone" bagi kepentingan semua instansi pemerintah dan penyediaan layanan masyarakat, memperbaharui kerangka peraturan dan prosedur transaksi di lingkungan pemerintah, serta membangun komitmen dan kesepakatan untuk memperlancar pertukaran dan penggunaan informasi antar instansi pemerintah.
Kesimpulan
Meski secara umum kinerja instansi pemerintah di Indonesia dalam menegakkan good governance masih relatif rendah, namun demikian mengacu pada berbagai upaya yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar birokrat telah mengerti apa dan bagaimana good governance. Permasalahan yang muncul dari kondisi semacam ini adalah adanya ketidak-pedulian di antara pejabat birokrasi tentang perlunya good governance. Dengan demikian, hambatan utama dalam penegakkan good governance bukan pada institusi, melainkan terletak pada sikap moral manusianya. Komitmen penegakan good governance bukan terletak pada institusi sebagaimana sebagian penggiat bidang ini menganggapnya, melainkan pada individu yang memiliki kesadaran moral akan pentingnya good governance.
Di pihak lain, pemanfaatan TI di lingkungan organisasi pemerintah telah cukup lama berjalan. Namun demikian alasan utama pemanfaatan TI ini bukan dalam rangka penegakan good governance, melainkan lebih pada menganggapnya sebagai alat yang memudahkan pekerjaan saja. Kesadaran bahwa TI dapat mendukung upaya penegakan good governance baru muncul setelah ada desakan dari donor, sesudah melihat bagaimana dua kondisi yang saling terkait terjadi, yakni tidak ada good governance dalam pemanfaatan TI, dan TI tidak dimanfaatkan untuk mendukung tata laksana pemerintahan yang baik.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan yang menganjurkan agar TI dapat dimanfaatkan untuk mendukung tata laksana pemerintahan yang baik. Tetapi, pelaksanaan kebijakan tersebut masih jauh dari memuaskan. Menyusul pergantian pemimpin nasional terjadi perubahan kebijakan yang sayangnya tidak menggunakan kebijakan terdahulu sebagai acuan dalam penetapan kebijakan – kebijakan baru di bidang Telematika khususnya TI.
Upaya memanfaatkan TI dalam penerapan good governance di Indonesia ternyata tidak hanya dilakukan oleh kalangan pemerintahan saja, namun juga dilakukan oleh organisasi sosial, swasta dan berbagai kalangan non-pemerintahan lainnya.
Di tengah maraknya pemanfaatan TI untuk mendukung berbagai kegiatan masyarakat termasuk pemerintahan, yang belum terlihat secara nyata adalah bagaimana implementasi TI dapat mengurangi angka kebocoran pembangunan baik yang disebabkan oleh korupsi maupun sebagai akibat dari pelaksanaan program pemerintah yang tidak efisien karena minimnya sentuhan teknologi khususnya Teknologi Informasi. Secara teknis hal ini sangat mungkin, hambatan terbesar masih tetap pada manusianya, bukan pada teknologinya. *****
*) Paper dipresentasikan dalam seminar “PARADIGMA GOOD GOVERNANCE DI ERA INFORMASI YANG KOMPETITIF, DEMOKRATIS DAN TRANSPARAN” diselenggarkan oleh Universitas Gunadarma Jakarta, pada tanggal 11 Juni 2003. Materi yang ditulis dan disajikan dalam paper ini adalah pendapat dan menjadi tanggung jawab pribadi penulis, serta tidak mewakili organisasi di mana penulis berkarya.
[1] Turban, McLean, Wetherbe, Information Technology for Management Improving Quality and Productivity, John Wiley & Sons, Inc., 1996.
[2] Ibid.
[3] Sekretariat Pengembangan Public Good Governance BAPPENAS, Public Good Governance Sebuah Paparan Singkat, April 2002.
[4] Bayu Suryaningrat, Mengenal Ilmu Pemerintahan, hal 9, Jakarta, Rineka Cipta, 1992.
[5] Hamengku Buwono X, Membangun Kemitraan Dalam Sebuah Civil Society Menuju Good Governance, Konsep dan Implementasi, 2001.
[6] Pratikno, Dimensi – Dimensi Utama Kepemimpinan Politik dan Pemerintah Daerah, Pendalaman Kompetensi Kelegislatifan bagi Anggota DPRD Kabupaten Sleman Periode 1999 – 2000, dikutip dalam Hamengku Buwono X (2001).
[7] Istilah Telematika muncul sebagai keputusan politik yang mengacu pada fenomena konvergensi antara Telekomunikasi dan Teknologi Informasi. Selanjutnya ada sebagian pihak yang menyatakan bahwa Telematika merupakan akronim dari Telekomunikasi, Multimedia, dan Informatika.
Saya mendapat tulisan anda dari google search engine. kebetulan saat ini saya sedang mencari ulasan tentang pro dan kontra tentang RUU PTI untuk tugas mata kuliah saya, Indonesian Political System.
ReplyDeleteTulisan ini sangat menarik. Bolehkah saya menggunakan tulisan ini sebagai attachment di dalam tugas saya untuk dijadikan pembanding atas komentar saya untuk RUU PTI?