Saturday, December 18, 2004

"Rethinking & Reformasi dalam Kebijakan dan Pola Investasi TI"

Wawancara dengan media massa soal investasi IT. Angle tulisan nantinya akan diarahkan pada, bagaimana berfikir ulang tentang kebijakan investasi TI.

Kiranya bapak bisa menjawab beberapa pertanyaan yang saya ajukan secara gamblang dan detail. Maklum tulisan itu nantinya akan dibuat panjang.

Berikut adalah daftar pertanyaan

Menurut pengamatan bapak, seberapa kritis perusahaan tentang rethinking IT saat ini?

Tidak semua perusahaan merasa perlu untuk melakukan perubahan mendasar atau menambah investasi IT. Hal ini bisa dipahami karena banyak perusahaan yang sukses operasinya tidak mengandalkan pada pemanfaatan secara optimal IT. Sebaliknya sektor usaha yang faktor kunci sukses-nya ditentukan sebagian besar oleh IT merasa perlu untuk selalu meninjau ulang strategi IT-nya sebagai bagian strategi perusahaan secara keseluruhan. Sebagai contoh, pada saat ini industri jasa keuangan: perbankan, asuransi, sekuritas; industri jasa penerbangan adalahduacontoh industri yang sangat tergantung pada IT. Kita bisa bayangkan bagaimana bank BCA, BRI, BNI, Mandiri, dan bank – bank lain yang sudah punya layanan ATM di seluruh Indonesia bisa beroperasi dengan baik kalau infrastruktur sistem informasi-nya tergangu untuk waktu yang cukup lama, atau dapat pula dikatakan bahwa bagi industri perbankan, keberadaan IT sudah merupakan darah bagi kehidupannya.

Sebaliknya, kita juga harus melihat kenyataan bahwa sekalipun sudah besar dan berskala nasional, namun karena karakter bisnis maupun sifat produknya yang tidak banyak memerlukan keterlibatan IT, maka kelompok usaha semacam ini belum merasa perlu untuk berpikir ulang terhadap strategi pemanfaatan IT sebagai bagian dari strategi perusahaan. Perusahaan manufaktur padat karya semacam pabrik rokok, tekstil, dan properti merupakan contoh industri yang kurang kritis dalam memutuskan perlu tidaknya menetapkan strategi pemanfaatan IT. Bagi perusahaan kelompok ini, IT masih sering dianggap sebagai pelengkap (asesories) belum menjadi darah sebagai mana kelompok pertama di atas.

Di antara dua kelompok di atas, ada satu kelompok lagi yang mulai mengarah kepada pemanfaatan IT secara intensif, tidak saja digunakan untuk membantu sistem informasi manajemen, namun juga pada upaya efisiensi produksi dan operasional perusahaan. Pemanfaatan ERP dan aplikasi – aplikasi Real Time Production Information Systems yang digunakan untuk dan mengendalikan peralatan produksi di banyak perusahaan manufaktur menunjukkan adanya itikad meningkatkan efisiensi produksi.


Benarkah semakin banyak perusahaan saat ini yang skeptis bahkan putus asa tentang pemanfaatan TI yang belum maksimal?, Mengapa sampai terjadi seperti itu?

Saya tidak melihat ke arah adanya skeptisisme, dalam pengertian manajemen perusahaan masa bodoh dengan ada atau tidaknya IT di perusahaan. Saya belum memperoleh bukti ada suatu perusahaan yang putus asa hanya karena IT-nya tidak jalan. Yang sering saya temui adalah banyak manajer sistem informasi yang mengeluh mengapa berbagai upaya pemanfaatan IT untuk mendukung kinerja perusahaan tidak diakui eksistensinya oleh manajemen puncak. Atau dalam kata lain banyak top manajer yang tidak bisa merasakan sudah seberapa banyak sebetulnya bagian sistem informasi – dengan investasi IT-nya – memberi kontribusi kepada kinerja, revenue atau profitabilitas perusahaan.

Hal ini bisa dipahami karena ketika IT sudah menjadi darah dari aktivitas perusahaan, cukup sulit untuk memisahkannya dalam komponen biaya sebagai driver cost sehingga dapat diketahui dengan pasti seberapa besar kontribusinya bagi kinerje perusahaan. Selain itu kelaziman yang masih dianut, sejak rencana investasi tidak ada parameter yang diciptakan dan disepakati bersama oleh manajemen untuk mengetahui berhasil – tidaknya investasi IT, jika berhasil berapa besar, demikian pula jika gagal, berapa banyak. Ketiadaan parameter ukur inilah yang menyebabkan seolah – olah pemanfaatan IT tidak pernah optimal. Apalagi didukung oleh usia hidup (life cycle) peralatan IT yang cenderung makin singkat, sehingga ketika suatu investasi IT belum diangap kembali, namun harus membuat investasi baru lagi (untuk mengejar ketertinggalan) makin kuat saja anggapan manajemen bahwa investasi sebelumnya tidak optimal.


Bagaimana step by step investasi/implementasi TI yang ideal?, Bagaimana cara menentukan sasaran, tingkat keperluan dsb (mohon agak detail)?

Sebetulnya tidak ada resep ideal yang berlaku generik bagi semua perusahaan. Masing – masing sektor industri, atau bahkan dua perusahaan sejenis dalam satu sektor industri bisa memiliki strategi investasi IT ideal namun saling berbeda.

Hal pertama yang perlu diperhatikan ketika perusahaan bermaksud menambah investasinya untuk peralatan IT adalah menjawab pertanyaan apakah IT nantinya akan berperan sebagai darah yang harus ada dan menghidupi perusahaan, atau hanya sebagai pelengkap yang mempercantik “wajah” perusahaan, dengan kata lain, tidak ada IT-pun perusahaan dapat tetap beroperasi dengan baik. Untuk menjawab pertanyaan ini dengan baik, tentunya manajemen harus terlebih dahulu memahami dengan benar karakter bisnisnya, lingkungan usaha, dan sasaran pengembangan perusahaan ke depan.

Selanjutnya, jawaban dari pertanyaan pertama akan menentukan ruang lingkup (scope), kompleksitas, dan tentu saja jenis peralatan serta besaran investasi yang akan ditanamkan. Ruang lingkup tidak hanya pada desain aplikasi dan sistem informasi yang akan dibangun, tetapi termasuk juga perubahan struktur, dan tata laksana organisasi yang harus disesuaikan sedemikian rupa sejalan dengan investasi IT. Banyak perusahaan yang ketika memutuskan untuk investasi IT, tidak memperhatikan hal ini, sementara IT akan menjadi darah bagi operasional perusahaan, sehingga yang muncul adalah adanya kesan bagian sistem informasi dan peralatan IT-nya sebagai pelangkap saja, bukan bagian strategis dari rantai nilai yang hendak diserahkan kepada pelanggan.

Jika ruang lingkup, detail desain sistem informasi, dan tahapan implementasi sudah disepakati, langkah berikutnya adalah menetapkan ukuran keberhasilan/kegagalan dari investasi IT tersebut secara kuantitatif, bukan secara kualitatif sebagaimana sering dilakukan pada saat ini. Sasaran keberhasilan setelah adanya investasi IT harus ditetapkan. Demikian pula perlu ditetapkan apakah operasional dari investasi ini akan dipisah dari aktivitas perusahaan dalam suatu SBU dengan account tersendiri atau tetap sebagai bagian/divisi dari perusahaan. Pemisahan ini perlu untuk mengetahui efisiensi dan efektivitas investasi IT. Kelemahan mendasar pada perusahaan yang tidak memisahkan divisi IT seringkali berpangkal pada tidak disediakannya account (cost center) khusus yang digunakan untuk mencatat biaya dan kontribusi revenue yang terjadi dari investasi IT ini.

Khusus mengenai tahapan implementasi, hal yang seringkali luput dari perhatian manajemen adalah model – model implementasi akan mempengaruhi tingkat keberhasilan dari investasi IT itu sendiri. Seringkali terjadi, akibat dari rendahnya kualitas perencanaan ketika memasuki tahap implementasi terjadi perubahan – perubahan pada berbagai hal. Sayangnya, ketika merubah – karena disesuaikan dengan kindisi lapangan – perubahan ini tidak didokumentasikan dengan baik, atau manajemen tidak lagi menghitung dengan cermat dampak yang akan muncul dari perubahan yang dilakukan, sementara top manajemen masih menggunakan acuan lama sebelum dirubah. Ketika terjadi kinerja yang tidak sesuai dengan rencana semula, maka wajar saja jika top manajemen menyalahkan bawahan yang bertanggung jawab, atau menyalahkan IT itu sendiri.

Kapan sebuah perusahaan merasa perlu memanfaatkan TI?

Perusahaan perlu memanfaatkan TI ketika: [1] sebagian besar proses operasionalnya (produksi, pemasaran, keuangan, dll) sudah bersifat repetitif; [2] kinerja perusahaan tidak dapat ditingkatkan lagi outputnya dengan penambahan input manusia; [3] marginal cost cenderung meningkat sementara marginal revenue tetap/flat

Keunggulan IT (yang berbasis komputer) sangat dirasakan ketika digunakan untuk mengerjaan tugas - tugas besar yang rutin dan berulang (repetitive). Dalam konteks ini IT mengisi kelemahan manusia khususnya pada keakurasian perhitungan, kecepatan proses, dan daya tahan (endurance). Pada proses manufaktur massal misalnya, penggunaan mesin untuk otomatisasi produksi sangat dirasa manfaatnya dalam menggantikan tenaga manusia yang lamban, serta seringkali terpengaruh oleh kondisi emosional. Sebaliknya, dengan IT, manusia cukup berperan sebagai pengendali saja.

Pada kondisi di mana ketika input tenaga kerja dinaikkan namun outputnya tidak meningkat proporsional dengan inputnya, maka dalam kondisi demikian pemanfaatan IT sangat relevan. Sebagai contoh, untuk proses sistem penagihan layanan telepon atau listrik. Jika sistemnya dilakukan secara manual, penambahan tenaga kerja tidak akan sebanding dan tetap tidak dapat melayani jumlah pelanggan yang sedemikian banyaknya. Dalam kondisi semacam ini pemanfaatan IT menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat dielakkan.

Persaingan pasar dengan segala konsekuensinya seringkali menjadi pendorong utama untuk investasi IT. Dari analisis ekonomi, hal ini sebenarnya untuk mengantisipasi berhentinya laju pendapatan sementara penambahan biaya dari masa ke masa tidak dapat dielakkan. Jika hal ini dibiarkan maka perusahaan akan tutup, karena menanggung rugi. Dalam konteks ini, IT digunakan untuk menopang atau menjamin adanya kestabilan arus pendapatan sehingga dapat menutup semua biaya perusahaan. Atau dalam bahsa teknisnya, IT akan menjaga agar dari masa ke masa marginal revenue selalu lebih besar dari marginal cost. Sayangnya, pemahaman seperti ini belum banyak dimiliki oleh perusahaan, atau tidak menjadi pertimbangan utama ketika melakukan investasi IT.


Apa patokan (ukuran) untuk menentukan bahwa perusahaan butuh IT?

Pertama, jika secara horisontal manajemen mulai menyadari bahwa kinerja perusahaan jauh tertinggal dari perusahaan sejenis lainnya, sementara setelah dilakukan uji ke dalam, kondisi – kondisi sebagaimana saya uraikan di jawaban pertanyaan nomor 4 diatas terpenuhi.

Atau, karakter perusahaan yang tidak dapat beroperasi bila tidak ada peralatan IT. Perusahaan yang tergolong dalam kelompok ini misalnya, Internet Service Provider (ISP), dotcom, pengembang aplikasi software, perusahaan jaringan dan jasa telekomunikasi, perbankan, PLN, dan penerbangan.

Bagaimana perusahaan menentukan piranti yang tepat buat kebutuhannya?, mulai dari yang sederhana hingga yang canggih (seperti ERP, CRM, dsb)?

Dalam merancang suatu sistem informasi, terlebih dahulu harus diketahui ruang lingkup dan jangkauan layanan yang dikehendaki, sebagaimana saya uraikan dalam jawaban pertanyaan nomor 3 di atas. Permasalahannya, seringkali manajer sudah mengetahui kebutuhannya, tetapi tidak dapat memastikan alat (tools) apa yang tepat digunakan untuk memenuhi kebutuhan tadi. Sehingga yang sering terjadi, manajemen perusahaan menurut saja apa yang ditawarkan oleh vendor (vendor driven). Kelemahan dari kondisi semacam ini adalah ketergantungan yang sangat tinggi kepada vendor. Selain itu, biaya migrasi jika suatu ketika sistem yang ditawarkan sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan menjadi sangat tinggi.

Untuk mengatasi hal ini, manajemen perlu memiliki pemahaman umum mengenai sistem informasi terutama mengenai bagaimana sistem informasi membantu manajemen dalam pengambilan keputusan, serta model – model sistem informasi yang sesuai dengan karakter bisnisnya. Ketika memutuskan untuk memilih suatu piranti IT yang akan digunakan dalam mendukung sistem informasi, beberapa faktor perlu diperhatikan. Pertama, kapasitas pengolahan, bandingkan dengan laju pertumbuhan perusahaan yang diproyeksikan 2 atau 3 tahun ke depan. Kapasitas pengolahan termasuk aplikasi piranti lunak maupun perangkat kerasnya. Proyeksi kelayakan pemanfaatan peralatan IT tidak dapat lagi lebih dari lima tahun karena life cycle peralatan IT cenderung makin pendek, sementara pada perusahaan – perusahaan yang sudah menggunakan IT terjadi kencederungan peningkatan produksi dokumen elektronik yang cukup besar. Kedua, frekuensi pemanfaatan. Seringkali pemberian fasilitas IT kepada karyawan, khususnya bagian non-operasional tidak mempertimbangkan frekuensi pemanfaatan. Di perusahaan – perusahaan besar, sering kita lihat di setiap meja terdapat komputer dan printer. Padahal belum tentu sebagian majoritas karyawan menggunakan sebagian besar waktu kerjanya menggunakan komputer. Dengan argumen seperti ini, model pemanfaatan bersama sumber daya sistem informasi dapat diterapkan dengan maksud meningkatkan pemanfaatan IT itu sendiri.
Ketiga, ukuran kepuasan pelanggan bukan pada ada tidaknya IT di suatu perusahaan. Seringkali persoalannya dibalik, kalau ada IT pasti pelanggan puas, padahal nyatanya tidak demikian. Meski tidak pakai ERP atau CRM, atau bahkan tidak ber-IT sekalipun, namun kalau mampu melayani pelanggan dengan memuaskan tidak perlu ada kekhawatiran usahanya akan bangkrut. Dengan latar belakang pemikiran semacam ini, ingin ditekankan bahwa bukan model atau peralatan yang menjadi pertimbangan utama, namun tujuan pelayanan-lah yang harus didahulukan, sehingga sistem atau peralatan yang akan dibeli harus disesuaikan. Tidak harus SAP, ERP, CRM, atau sistem lain yang canggih, membangun sistem informasi sendiri-pun masih patut dilakukan sepanjang dapat memenuhi tujuan pelayanan kepada stake holder.


7.Bila sudah tahu tingkat kebutuhannya, bagaimana menentukan investasinya?, Haruskah yang ditentukan mesti dipenuhi dengan biaya sebesar apapun?

Mengetahui kebutuhan saja belum cukup, masih harus diikuti dengan membuat daftar prioritas yang disesuaikan dengan strategi perusahaan. Daftar prioritas diperlukan ketika perusahaan tidak memiliki dana yang cukup atau manajemen tidak menyetujui secara keseluruhan investasi IT yang diajukan. Selain itu, dukungan kelayakan berupa data kuantitatif atau proyeksi manfaat yang akan diperoleh perlu disediakan untuk meyakinkan manajemen dalam menyetujui usulan investasi IT. Jika dilengkapi dengan skenario investasi akan lebih baik lagi, sehingga terdapat berbagai opsi.

Keputusan apakah dipenuhi sebagian atau seluruhnya saya kira tergantug kepada ketersediaan dana, urgensi dari investasi IT itu sendiri, serta keyakinan pengambil keputusan bahwa usulan investasi IT yang diajukan memang sangat diperlukan, dan akan memberi benefit bagi perusahaan.

Perlu diperhatikan, tidak ada patokan baku untuk investasi IT pada suatu perusahaan tertentu. Batasan kepantasan ditentukan oleh masing – masing perusahaan.


Kapan kita memutuskan menggunakan pola outsourcing ketimbang membeli piranti TI sendiri?, Apa yang mesti diperhatikan?

Dalam hal outsourcing layanan sistem informasi, perlu saya luruskan pertanyaan Anda. Outsourcing dalam layanan sistem informasi dapat berupa jasa operasional saja, atau jasa operasional plus peralatan. Pada outsourcing model pertama, perusahaan outsourcer tetap menyediakan perangkat IT-nya, namun pengoperasiannya diserahkan kepada pihak lain. Pada outsourcing model kedua, peralatan dan operasional disediakan oleh outsourcee. Dalam konteks ini outsourcer menerima bersih layanan yang diberikan oleh outsourcee.

Outsourcing jenis pertama biasanya dilakukan dengan alasan efisiensi tenaga kerja. Perusahaan tidak berniat menambah tenaga kerja, atau tidak memiliki cukup tenaga kerja yang terampil di bidang IT, sementara kebutuhan sudah mendesak, sedangkan bila diselenggarakan pelatihan memerlukan waktu yang lama. Sedangkan pada outsourcing jenis kedua, umumnya perusahaan tidak mau dibebani fixed cost yang tinggi sementara peranan IT belum cukup strategis dalam mendukung operasional perusahaan. Selain itu, beberapa perusahaan besar berargumen bahwa sejalan dengan pertumbuhan transaksi data dan meningkatnya kompleksitas operasional perusahaan, outsourcing model kedua memberi keleluasaan kepada perusahaan ketika hendak meng-upgrade sistem informasinya.

Hal – hal yang perlu diperhatikan ketika berniat untukoutsourcing antara lain: [1] kredibilitas outsourcee, dan [2] analisis biaya versus manfaat. Menyangkut kredibilitas mitra outsourcing, perlu diperhatikan bagaimana Service Level Agreement-nya (SLA), apakah mampu melayani 24/7 (dua puluh empat jam sehari, tujuh hari dalam satu minggu) non stop? Demikian pula apakah mitra outsourcing mampu menjaga Non Disclosure Agreement (NDA) yang mengharuskan tidak membuka kepada siapapun informasi perusahaan. Sedangkan yang menyangkut analisis biaya versus manfaat adalah tidak semua outsourcing memberikan outcome positif bagi perusahaan. Jika dapat dikelola sendiri dengan peralatan milik sendiri dengan lebih murah, sebaiknya tidak perlu dilakukan outsourcing. Analisis ini hanya untuk satu saat saja, namun untuk selama masa kontrak outsourcing tersebut.


9. Apakah perusahaan selalu membutuhkan konsultan untuk menentukan hal-hal diatas?, Bagaimana cara memilihnya?, Apa yang harus diperhatikan?, Bagaimana juga cara memilih vendor?, apa yang harus diperhatikan
dalam hal ini?

Konsultan baru diperlukan bila sumber daya manusia di dalam perusahaan tidak mampu mengerjakan sendiri, atau mampu tetapi manajemen belum yakin apakah desain dan rancangan sistem akan berjalan dengan baik.

Untuk memilih konsultan, asumsi pertama yang harus kita pegang adalah mengetahui ruang lingkup pekerjaan yang akan diberikan kepada konsultan. Sebagai contoh, jika suatu perusahaan baru pertama kali hendak memanfaatkan IT, apakah ruang lingkup pekerjaan yang akan diberikan kepada konsultan meliputi desain, pengembangan, implementasi, dan operasional dari sistem IT, atau hanya sebagian saja dari empat tahapan pemanfaatan IT. Berbeda dengan konsultan di bidang konstruksi sipil yang seringkali terpisah antara konsultan perencanaan, pembangunan, dan pengawasan; konsultan di bidang IT biasanya dapat mencakup semuanya, baik untuk proyek berukuran kecil ataupun besar.

Setelah mengetahui ruang lingkup pekerjaan dan outcome yang diharapkan dari pekerjaan konsultan, asumsi kedua adalah manajemen sudah mengetahui anggaran yang akan disediakan untuk membayar konsultan. Dengan mengetahui jumlah anggaran yang tersedia, manajemen dapat menggunakannya sebagai acuan untuk memilih konsultan yang sesuai dengan anggaran dan ruang lingkup pekerjaan serta keluaran yang diharapkan. Di sini sering terjadi trade-off, konsultan yang sudah terkenal biasanya bertarif mahal, jika anggaran tidak mencukupi, tetapi tetap ingin menyewa konsultan tersebut, berarti manajemen harus menyesuaikan beban kerja yang akan ditawarkan.

Secara umum ada dua cara untuk memilih konsultan, terbuka atau tertutup. Terbuka berarti manajemen mengumumkan kepada publik bahwa perusahaannya sedang membutuhkan jasa konsultan dan mengundang konsultan yang memenuhi persyaratan untuk mengajukan penawaran. Setelah ada proposal dari calon konsultan, langkah selanjutnya adalah evaluasi dan penetapan siapa yang akan diberi pekerjaan. Langkah semacam ini lazimnya, dan menjadi prosedur, dilakukan di instansi pemerintah. Model kedua adalah model tertutup. Manajemen mengundang secara terbatas perusahaan penyedia jasa konsultasi di bidang IT untuk mengajukan proposal. Setelah masing – masing memberikan presentasi dan tentunya dengan tanya jawab, manajemen menentukan siapa yang terbaik. Model seperti ini biasanya terjadi di perusahaan swasta nasional besar. Di luar dua model tersebut, ada satu model yang sering terjadi di perusahan swasta menengah yang pemiliknya masih merangkap sebagai pengelola. Di perusahaan semacam ini, pemilihan konsultan biasanya sepenuhnya diputuskan oleh pemilik.

10. Untuk semua proses penentuan diatas (penentuan kebutuhan hingga konsultan), sebaiknya siapa yang bertanggung jawab?, Mengapa?,

Tergantung kepada ukuran dan struktur organisasi perusahaan. Pada perusahaan – perusahaan besar (MNC atau Swasta Nasional) yang sudah memiliki bagian Sistem Informasi yang cukup handal, penanggung jawab bisa CIO, atau Manajer di bawahnya, atau malahan bisa ditunjuk manajer proyek yang ditugasi khusus untuk implementasi IT baik dibangun sendiri ataupun dengan konsultan.

Sebaliknya untuk perusahaan – perusahaan yang sumber daya manusianya belum mumpuni di bidang IT, manajemen dapat mempekerjakan orang kepercayaan yang dianggap mampu mewakili perusahaan untuk melaksanakan implementasi IT, khususnya yang dilakukan secara outsourcing.

Penunjukkan penanggung jawab proyek investasi IT harus dengan pertimbangan bahwa yang bersangkutan memang kompeten di bidang manajemen proyek IT, serta menguasai hampir semua aspek yang terkait dengan investasi IT, khususnya yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja perusahaan.


11. Lalu organisasi TI yang ideal itu seperti apa?, Apakah CEO perlu turun langsung?, Atau cukup CIO chief informations officer) saja dibantu beberapa GM? mohon jawabannya diurai panjang)

Tidak ada model organisasi IT yang ideal bagi semua perusahaan. Saya kira ukuranya bukan ideal atau tidak ideal, tetapi organisasi IT harus diukur dari kinerjanya yang meliputi efisiensi dan efektivitas dan keduanya ini dikaitkan dengan lingkungan perusahaan. Efisien dalam penggunaan sumber daya (input) untuk menghasilkan layanan kepada internal organisasi maupun stakeholder. Efektivitas dalam pengertian semua outcome yan dihasilkan oleh organisasi IT bermanfaat dan berdaya guna secara tepat bagi sasaran yang telah ditetapkan.

Mengenai apakah CEO harus turun langsung? Jawabnya, pada umumnya tidak. Tetapi perlu turun langsung atau tidaknya, sebaiknya mesti terlebih dahulu melihat berbagai aspek seperti: apakah sudah ada bagian yang khusus menangani IT, seberapa bagus kinerja bagian IT, tingkat kompleksitas organisasi dan investasi IT itu sendiri, adakah komitmen dari manajer dan karyawan yang akan terpengaruh oleh adanya investasi IT, dan lain – lain.

Jika di dalam suatu organisasi sudah ada CIO-nya, maka sebenarnya pengelolaan investasi IT dapat diserahkan kepada dan menjadi tanggung jawab CIO. Yang menjadi masalah, sejauh mana kewenangan yang dimiliki CIO. Apakah CIO memiliki tugas terbatas pada pengelolaan bagian sistem informasi saja, atau memiliki kewenangan yang cukup untuk mengatur pemanfaatan IT di unit organisasi lainnya. Pada umumnya – terutama di perusahaan besar – CIO memiliki kewenangan dan bidang tugas yang cukup luas dalam pengumpulan, pengolahan dan penyajian informasi. Bila demikian halnya, sebaiknya CIO diberi kepercayaan untuk melaksanakan investasi pengembangan IT


12. Penggunaan TI, baik milik sendiri maupun outsourcing membutuhkan change manajemen karena adanya sesuatu yang baru dalam tubuh perusahaan. Bagaimana perusahaan melakukan ini kira-kira?, Apa yang mesti diperhatikan dan dilakukan?

Belajar dari pengalaman pada awal pemanfaatan IT secara luas oleh organisasi, ketika itu isu change management belum menjadi isu kritis. Mengapa? Ketika pemanfaatan IT oleh organisasi hanya sebagai otomatisasi proses organisasi, dan atau IT masih berperan sebagai pelengkap dari proses organisasi secara keseluruhan, keberadaan IT menjadi kurang berarti. Oleh karena itu ada atau tidaknya change management tidak berpengaruh besar kepada kinerja IT itu sendiri maupun perusahaan secar keseluruhan. Efek dari keadaaan semacam ini yang kemudian kita kenal sebagai IT Paradox, dimana secara agregat investasi perusahaan untuk penyediaan IT meningkat, namun tidak disertai dengan peningkatan produktivitas, padahal selalu dikatakan bahwa IT merupakan alat terbaik untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas.

Suasananya berubah ketika orang mulai menyadari bahwa ada yang salah dengan pemanfaatan IT. Barulah kemudian disadari bahwa ketika IT sudah digunakan oleh suatu organisasi – tentunya dengan perencanaan dan implementasi yang benar - potensi IT sedemikian besarnya dalam memfasilitasi kemajuan perusahaan sehingga akan sia – sia investasi IT yang ditanamkan apabila tidak disertai perubahan – perubahan dalam tata laksana perusahaan. Hal ini makin terasa lagi ketika IT itu sendiri sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut nadi perusahaan. Pada kondisi seperti ini, struktur dan perilaku (conduct) perusahaan tidak dapat lagi mengikuti struktur dan perilaku lama. Keduanya harus disesuaikan. Inilah yang kemudian melatar-belakangi diperlukannya manajemen perubahan dalam perusahaan. Jadi, manajemen perubahan diperlukan bukan dengan alasan dikerjakan sendiri atau outsourcing, namun menjadi syarat utama bagi perusahaan masa kini ketika berencana menggunakan IT.

Manajemen perubahan memerlukan komitmen kuat dari semua pihak terutama top manajer dan manajer lini di bawahnya. Selain itu, upaya edukasi dan sosialisasi kepada karyawan juga perlu dilakukan secara intensif. Manajer, dalam melaksanakan manajemen perubahan harus mengangapnya sebagai bagian dari strategi perusahaan secara keseluruhan, tidak dapat dianggap hanya sebagai bagian tugas dari divisi sistem informasi atau CIO saja. Selain itu, pelaksanaan manajemen perubahan harus menggunakan rentang waktu (time frame) dan tahapan pelaksanaan serta tolok ukur keberhasilan (individu, bagian, dan organisasi) yang dapat dimengerti oleh semua pihak.




13. Ketika implementasi TI dilakukan, bagaimana tindakan perusahaan agar proyek implementasi bisa mulus?, Haruskan semuanya diserahkan kepada konsultan dan vendor?

Jangan melakukan perubahan besar atau mendasar ketika implementasi sudah berjalan. Sebelum implementasi dijalankan, lakukan simulasi dengan berbagai variasi kejadian dan minimalkan kelemahan –kelamahan dari sistem yang akan diimplementasikan. Demikian pula pelaksana proyek harus mengidentifikasi berbagai faktor yang kemungkinan akan menghambat proyek implementasi IT. Cegah secara dini semua faktor yang mungkin menghambat. Semua ini dapat dikerjakan bersama dengan manajer perusahaan, konsultan dan atau vendor.


14. Bagaimana cara mengukur pemanfaatan TI?, Apa indikator-indikator yang mesti diperhatikan?

Hingga saat ini belum ada indikator kuantitatif yang disepakati secara umum untuk mengukur keberhasilan pemanfaatan IT pada suatu organisasi. Meski demikian, indikator – indikator tersebut dapat dibangun sendiri, dan disesuaikan dengan ruang lingkup dari investasi IT yang dibangun. Sebagai misal, jika hanya digunakan untuk mendukung operasional bagian akuntansi, indikator yang dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan pemanfaatan IT antara lain, seberapa banyak terjadi peningkatan proses payrol, laporan keuangan, dan lain – lain dibandingkan dengan sebelum menggunakan IT. Jadi secara sederhana, kumpulkan data kinerja sebelumnya, dan bandingkan dengan kinerja setelah menggunakan IT, dari situ kita bisa menarik seberapa besar kontribusi IT terhadap operasional perusahaan.


15. Dan yang tak kalah penting, bagaimana caranya untuk menghitung return on investment (ROI) di TI? (mohon untuk yang satu ini juga bisa detail).

Secara teoretis, dan dengan pendekatan sederhana, bandingkan saja ROI sebelum dan sesudah implementasi IT, selisihnya adalah ROI karena ada investasi IT. Permasalahannya menjadi tidak sederhana karena:

[1] masih banyak ketidak jelasan posisi Divisi IT; ada yang menempatkan sebagai cost center, atau revenue center, atau profit center, dan ada pula yang menganggapnya sebagai investment center.

[2] Perbedaan perlakuan terhadap investasi IT dan organisasi pengelolanya berimplikasi terhadap: penting tidaknya perlu dihitung ROI, proporsi pengitungan biaya atau pendapatan yang dihasilkan oleh divisi IT relatif terhadap laporan keuangan perusahaan.

[3] ketika IT sudah menjadi bagian integral dari operasional perusahaan, terjadi kesulitan untuk memisahkan proporsi penentu biaya (cost driver) mana yang dari IT, dan mana yang dari lainnya. Hal ini terutama dirasakan pada perusahaan yang menerapkan cost-based pricing.

Jika saja sejak awal (tahap perencanaan) dan seterusnya hingga operasional, semua biaya (investasi dan operasional) dan pendapatan dipisahkan dari akun lainnya, serta ada prosedur pemisahan biaya dari suatu layanan atau produk di mana di dalamnya terdapat unsur IT, maka penghitungan ROI IT menjadi mudah. Sayangnya untuk menjalankan strategi semacam ini diperlukan tambahan pekerjaan yang luar biasa susahnya, sehingga ada atau tidaknya ROI IT bukan menjadi perhatian utama.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.